ANALISIS DAMPAK NON-TARIFF MEASURES (NTMs)
TERHADAP EKSPOR IKAN TUNA INDONESIA KE NEGARA
TUJUAN UTAMA
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak Non-
Tariff Measures (NTMs) Terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Negara Tujuan
Utama adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Oktavina Widya Kristriana
NIM H14110033
ABSTRAK
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA. Analisis Dampak Non Tariff
Measures (NTMs) Terhadap Ekspor Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama.
Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI.
Dewasa ini, perdagangan internasional mengalami hambatan baik tarif
maupun non tarif. Negara- negara pelaku perdagangan cenderung memberlakukan
tindakan non tarif (NTM). Kebijakan NTM yang paling banyak diberlakukan
adalah Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT).
Salah satu ekspor potensial Indonesia yang menghadapi hambatan NTM yaitu
komoditi ikan tuna. Beberapa negara tujuan utama ekspor ikan tuna antara lain
China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura, dan Vietnam.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kinerja ekspor serta dampak NTM terhadap
ekspor komoditi tuna Indonesia. Metode yang digunakan yakni pendekatan
inventory (coverage ratio dan frequency index) dan model gravity. Hasil
pendekatan inventory menunjukkan Amerika Serikat sebagai negara yang
memberlakukan NTM terbanyak dan kelompok komoditi tuna yang paling banyak
terkena NTM adalah tuna beku. Hasil estimasi menunjukkan SPS dan TBT
berpengaruh nyata terhadap ekspor ikan tuna dengan koefisien positif sebesar 0,011
dan 0,015.
Kata kunci: ikan tuna, model gravity, NTM, SPS, dan TBT
ABSTRACT
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA. Impact Analysis of The Major
Destination Countries’ Non Tariff Measures (NTM) on The Indonesian Tuna
Exports. Supervised by WIWIEK RINDAYATI
Currently, International trading is hampered in both tariff and non-tariff.
Non-Tariff Measures (NTM) is likely applied by some major trading countries.
Sanitary and Phytosanitary (SPS) and Technical Barrier to Trade (TBT) are the
most widely applied NTM policy. Tuna commodities is one of Indonesian potential
exports facing NTM barriers. Some of Indonesian tuna export major destinations
are China, Japan, Thailand, United States, South Korea, Singapore, and Vietnam.
This study aims to analyze the export performance and NTM impact on the
Indonesian tuna export commodities. The methods used are descriptive analysis
through inventory approach (coverage ratio and frequency index) and gravity
model. The results show that United States as a country imposing highest NTM and
frozen tuna as the most affected commodity group by NTM effects. The estimation
results SPS and TBT affect tuna fish exports with positive coefficient of each 0,011
and 0,015
Keywords: gravity model, NTM, SPS, TBT, and tuna fish.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
ANALISIS DAMPAK NON-TARIFF MEASURES (NTMs)
TERHADAP EKSPOR IKAN TUNA INDONESIA KE
NEGARA TUJUAN UTAMA
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunianya sehingga skripsi yang berjudul Analisis Dampak Non- Tariff Measures
(NTMs) Terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama ini dapat
diselesaikan. Penyusunan tulisan ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
program Strata-1 pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. Ucapan terima kasih disampaikan
kepada:
1. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis, dan moril selama proses
penyelesaian skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si dan Dr. Eka Puspitawati selaku penguji atas
kritik dan masukan yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Orang tua dan keluarga penulis Tri Imam H. (Ayah) dan Kristintien Mulyani
(Ibu), dan Yusril W. Mahendra (Adik) atas doa dan dukungan baik secara
moril maupun materil yang diberikan kepada penulis dalam proses
penyelesaian tugas akhir ini.
4. Ibu Darmiati Dahar alumni Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi FEM IPB yang
telah memberikan ilmu dan bantuan mengenai informasi Non-Tariff
Measures (NTMs) kepada penulis.
5. Teman- teman satu bimbingan yaitu Annisa Meidianty, Dian Rahmadhani,
Khairunnisa, dan Selamet Widodo yang senantiasa mendukung dan saling
membantu dalam penyusunan skripsi. Sahabat- sahabat terbaik yaitu
Chintia A.M, Anggun Tina, Indah Hardiyanti, Seftiyana, Aurora Fathyaa,
Octavianne D. M, Ika Fauziah, Rusy Laytifah M, Latifa Dinna P, Danu
Pramudia, Dani Arwan, dan Kemal Akbar, sebagai partner bertukar pikiran
dalam berbagai hal dan juga berbagi semangat. Keluarga Power Rangers
Astri Septiani, Khairunnisa M, Diana F.L, Asma Zakiyah, Desy S, Soleha,
Puti H, Nurul Hikmah, Panny W, yang senantiasa berbagi keceriaan dan doa.
6. Teman- teman Ilmu Ekonomi FEM IPB Angkatan 48 yang telah sama- sama
berproses dalam dunia kampus dan berbagi pengalaman selama hampir
empat tahun.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2015
Oktavina Widya Kristriana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
Ruang Lingkup Penelitian 6
TINJAUAN PUSTAKA 7
METODE PENELITIAN 14
Jenis dan Sumber Data 14
Metode Analisis 14
HASIL DAN PEMBAHASAN 17
Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Industri Ikan Tuna Indonesia 17
Kinerja Perdagangan Komoditi Ikan Tuna Indonesia 18
Pemberlakuan Non Tariff Measures (NTM) pada Komoditi Ikan Tuna
Indonesia 21
Dampak NTMs Pada Ekspor Komoditi Tuna Indonesia ke Negara Tujuan
Utama 27
SIMPULAN DAN SARAN 32
Simpulan 32
Saran 32
DAFTAR PUSTAKA 33
LAMPIRAN 35
RIWAYAT HIDUP 42
DAFTAR TABEL
1 Tabel 1 Nilai PDB menurut lapangan usaha tahun 2011- 2013 2 2 Tabel 2 Volume dan nilai ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama
dan negara tujuan 2011-2012 3 3 Tabel 3 Jenis dan sumber data 14 4 Tabel 4 Produksi perikanan tangkap di laut menurut komoditas utama
2008-2013 18 5 Tabel 5 Perkembangan ekspor ikan tuna segar Indonesia tahun 2009-2013
ke negara tujuan utama 19 6 Tabel 6 Perkembangan ekspor ikan tuna beku Indonesia tahun 2009-2013
ke negara tujuan utama 19
7 Tabel 7 Perkembangan ekspor ikan tuna olahan Indonesia tahun 2009-
2013 ke negara tujuan utama 20 8 Tabel 8 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi
ikan tuna di negara tujuan utama tahun 2002- 2013 21 9 Tabel 9 Hasil Uji Chow dan Hausman 28 10 Tabel 10 Hasil estimasi model dampak SPS dan TBT 28
DAFTAR GAMBAR
1 Gambar 1 Kontribusi perikanan terhadap PDB sektor pertanian 2013 2 2 Gambar 2 Klasifikasi baru NTM 9
3 Gambar 3 Kerangka Pemikiran 13 4 Gambar 4 PDB sektor pertanian atas dasar harga berlaku 2008-2013 17 5 Gambar 5 Nilai ekspor ikan tuna Indonesia ke negara tujuan utama tahun
2013 (000 USD) 20 6 Gambar 6 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013 22 7 Gambar 7 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013 23 8 Gambar 8 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi 24 9 Gambar 9 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi 24
10 Gambar 10 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013 25
11 Gambar 11 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013 26 12 Gambar 12 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi 26 13 Gambar 13 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi 27
DAFTAR LAMPIRAN
1 Lampiran 1 Cakupan Kode HS Ikan Tuna 35 2 Lampiran 2 Cakupan Kode HS Ikan Tuna 35 3 Lampiran 3 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan
utama tahun 2009- 2013 (000 USD) 36 4 Lampiran 4 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan
utama berdasarkan kelompok komoditi tahun 2010- 2013 (000 USD) 37 5 Lampiran 5 Cross sections effect 37 6 Lampiran 6 Hasil uji normalitas 38 7 Lampiran 7 Hasil uji multikolinearitas 38
8 Lampiran 8 Hasil uji heteroskedastisitas 38 9 Lampiran 9 Klasifikasi SPS dan TBT 40
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekspor merupakan mesin penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, ekspor
merupakan salah satu bagian penting yang harus diperhatikan kelangsungannya.
Peranan ekspor menjadi semakin penting seiring dengan perubahan strategi
industrialisasi dari industri substitusi impor menuju industri promosi ekspor.
Perdagangan yang dilakukan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor
mengalami hambatan baik tarif maupun non tarif. World Trade Organization
(WTO) telah menetapkan tingkat tarif yang diberlakukan untuk komoditas di
seluruh dunia, baik untuk negara maju maupun berkembang. Melalui perjanjian
preferensi dalam perdagangan global, berbagai macam bentuk tarif telah semakin
berkurang. Adanya batasan tarif ini membuat negara memberlakukan tindakan non
tarif (non tariff measures/ NTMs) sebagai bentuk proteksi pada produsen domestik
dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing (Dahar 2014).
Dewasa ini terdapat dua kecenderungan dalam sektor pertanian, yaitu
peningkatan konsumsi masyarakat dan persoalan mengenai keaslian produk serta
komposisinya. Masyarakat akan lebih memperhatikan keamanan produk serta
keberlanjutan lingkungan dalam sebuah proses produksi sehingga nantinya akan
berdampak pada keputusan konsumen untuk membeli sebuah produk pertanian.
Akan tetapi keputusan membeli tentu saja tidak dapat ditentukan oleh masyarakat
sendiri, sehingga dalam hal ini, peran non tariff measures menjadi sangat penting
(Boza 2013). Tujuan diberlakukannya NTMs yakni melakukan tindakan untuk
melindungi manusia, hewan, dan tumbuhan pada suatu negara dari penyakit, serta
untuk menjamin kesejahteraan nasional yang berkelanjutan dengan memperbaiki
kegagalan pasar.
Saini (2009) mendefinisikan NTMs sebagai tindakan selain tarif yang
berkaitan dengan aktivitas administratif negara dan mempengaruhi harga, kuantitas,
struktur dan/ atau arah dari arus perdagangan internasional berupa barang atau jasa
serta sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi produk atau jasa tersebut.
UNCTAD mengklasifikasikan NTMs secara mendetail, dimana klasifikasi tersebut
merupakan taksonomi dari semua langkah tindakan yang dianggap relevan dalam
perdagangan internasional saat ini (Rahmaniar 2013). Secara garis besar, regulasi
teknis dibagi menjadi dua kategori besar, yakni sanitary or phytosanitary (SPS) dan
technical barriers to trade (TBT). Kedua regulasi ini dimaksudkan sebagai bentuk
proteksi terhadap manusia, hewan atau tumbuhan pada suatu negara dari penyakit,
dan juga mencakup segala macam regulasi teknis, standar, serta prosedurnya
(UNCTAD 2013).
Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang tergabung dalam
sebuah organisasi yang disebut World Trade Organization (WTO). Dengan menjadi
anggota WTO, berarti Indonesia harus bersedia membuka pasar dalam negeri bagi
negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas. Kebijakan
perdagangan internasional setiap negara berbeda antara negara satu dengan yang
lainnya, sehingga sebagai negara pengekspor, Indonesia berusaha untuk memenuhi
2
persayaratan kebijakan yang diberlakukan oleh negara pengimpor serta
memaksimalkan potensi ekspornya dalam rangka mendorong surplus neraca
perdagangan nasional
Tabel 1 Nilai PDB menurut lapangan usaha tahun 2011- 2013
Sumber: BPS 2013
Terdapat sembilan sektor utama pilar perekonomian nasional, dimana sektor
pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan satu dari sembilan
sektor utama penopang perekonomian Indonesia. Tabel 1 memperlihatkan kinerja
sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap nilai PDB yang
mengalami tren peningkatan sepanjang tahun 2011- 2013. Nilai PDB sektor
pertanian, peternakan, kehutanan atas dasar harga konstan meningkat dari 315
triliun rupiah pada tahun 2011 menjadi 328,3 triliun rupiah pada 2012 dan 339.9
triliun rupiah pada 2013.
Sumber: Dirjen Kelautan dan Perikanan, 2013
Gambar 1 Kontribusi perikanan terhadap PDB sektor pertanian 2013
Kehutanan4%
Perikanan 21%
Tanaman Bahan
Makanan50%
Peternakan dan Hasil-hasilnya
12%
Tanaman Perkebunan
13%
Lapangan Usaha
Atas Dasar Harga Berlaku
(triliun rupiah)
Atas Dasar Harga Konstan
2000 (triliun rupiah)
2011 2012 2013 2011 2012 2013
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan, dan Perikanan 1 091.4 1 193.5 1 311.0 315.0 328.3 339.9
Pertambangan dan Penggalian 877.0 970.8 1 020.8 190.1 193.1 195.7
Industri Pengolahan 1 806.1 1 972.5 2 152.6 633.8 670.2 707.5
Listrik, Gas, dan Air Bersih 55.9 62.2 70.1 18.9 20.1 21.2
Bangunan 753.6 844.1 907.3 159.1 170.9 182.1
Perdagangan, Hotel, dan
Restoran 1 023.7 1 148.7 1 301.5 437.5 473.1 501.2
Pengangkutan dan
Komunikasi 491.3 549.1 636.9 241.3 265.4 292.4
Keuangan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan 535.2 598.5 683.0 236.2 253.0 272.1
Jasa- jasa 785.0 890.0 1 000.8 232.7 244.8 258.2
Produk Domestik Bruto (PDB) 7 419.2 8 229.4 9 048.0 2 464.6 2 618.9 2 770.3
PDB Tanpa Migas 6 785.9 7 588.3 8 416.0 2 322.7 2 481.8 2 637.0
3
Gambar 1 menunjukkan kontribusi masing- masing subsektor dalam PDB
sektor pertanian. Kontribusi terbesar yakni tanaman bahan makanan (tabama)
sebesar 50% dan disusul oleh subsektor perikanan sebesar 21%. Dalam periode
2009-2012, capaian PDB sub sektor perikanan berdasarkan harga berlaku
mengalami peningkatan rata- rata sebesar 13.07%, dan pada periode yang sama
PDB nasional mengalami peningkatan sebesar 13.95%.
Dirjen Kelautan dan Perikanan (2013) mencatat bahwa pada tahun 2013,
volume ekspor hasil perikanan sebesar 802 ribu ton dengan nilai total USD 2.6
milyar. Salah satu komoditas penyumbang nilai ekpor terbesar yaitu ikan tuna,
dengan nilai USD 515 juta.
Tabel 2 Volume dan nilai ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama dan
negara tujuan 2011-2012
Negara Tujuan
Tahun Perubahan
2011 2012 2011/2012
Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai
(ton) (USD 000) (ton) (USD 000) % %
Jepang 123 830 806 060 118 732 842 118 -4.12 4.47
Udang 37 897 427 301 33 521 372 825 -11.55 -12.75
Tuna/ Cakalang 44 604 174 060 38 526 171 203 -13.63 -1.64
Kepiting 1 149 12 892 383 2 763 -66.67 -78.57
Lainnya 5 601 23 611 2 900 27 414 -48.22 16.11
Amerika Serikat 126 931 1 070 484 133 476 1 147 191 5.16 7.17
Udang 70 059 615 055 62 194 500 307 -11.23 -18.66
Tuna/ Cakalang 15 062 71 374 14 545 91 357 -3.43 28.00
Kepiting 10 016 198 319 4 976 91 236 -50.32 -54.00
Lainnya 4 032 14 614 29 376 298 299 628.57 1941.19
China 242 397 220 998 295 486 284 664 21.90 28.81
Udang 5 920 25 432 6 136 39 804 3.65 56.51
Tuna/ Cakalang 711 1 518 6 640 5 684 833.90 274.44
Kepiting 4 379 16 033 6 950 41 622 58.71 159.60
Lainnya 110 961 93 549 147 176 116 041 32.64 24.04
Negara Lainnya 563 858 963 626 594 304 1 133 795 5.40 17.66
Udang 27 527 97 652 43 858 279 302 59.33 186.02
Tuna/ Cakalang 51 263 154 159 113 645 358 242 121.69 132.39
Kepiting 6 386 23 756 14 642 181 477 129.28 663.92
Lainnya 79 593 184 346 105 847 1 896 32.99 -98.99
Total 1 159 349 3 521 091 1 229 114 3 853 658 6.02 9.44
Udang 158 062 1 309 674 162 068 1304 149 2.53 -0.42
Tuna/ Cakalang 141 774 498 591 201 159 749 992 41.89 50.42
Ikan lainnya 618 294 1 075 401 538 723 965 062 -12.87 -10.26
Kepiting 23 089 262 321 28 212 329 724 22.19 25.69
Lainnya 218 130 375 105 298 952 504 731 37.05 34.56
Sumber: KKP 2012
Dari empat komoditas terbesar sektor perikanan, tabel 2 memperlihatkan
potensi nilai ekspor tuna ke beberapa negara tujuan utama seperti Jepang, China,
4
dan Amerika Serikat. Perubahan nilai komoditas tuna untuk semua negara kecuali
Jepang menunjukkan angka yang positif dengan persentase terbesar jika
dibandingkan dengan komoditas lain. Persentase nilai perubahan terbesar pada
tahun 2011-2012 adalah ekspor ke China yang mencapai 274.44%.
Ikan tuna merupakan salah satu dari sepuluh komoditas potensial Indonesia
(Kemendag 2015). Beberapa negara tujuan utama ekspor ikan tuna antara lain
China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura, dan Vietnam.
Adanya pertumbuhan nilai ekspor yang positif ke negara tujuan utama serta pasar
yang terus berkembang di negara- negara tersebut memberikan peluang besar bagi
Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor ikan tunanya. Peluang ini pun
semakin diperkuat dengan keanggotaan Indonesia dalam berbagai asosiasi dunia
berkaitan dengan ikan tuna, diantaranya Komisi Perikanan Wilayah Pasifik Barat
dan Tengah (Western and Central Pacific Fisheries Commission/ WCPFC), Komisi
untuk Konservasi Tuna Sirip Biru (Commisssion for the the Conservation of
Southern Bluefin Tuna/ CCSBT) dan Komisi Tuna Samudera Hindia (Indian Ocean
Tuna Commission/ IOTC). Keanggotaan Indonesia dalam berbagai asosiasi tersebut
semakin memperkuat posisi tawar Indonesia sebagai eksportir tuna di pasar dunia.
Maraknya isu non tarif seperti SPS dan TBT yang telah banyak ditetapkan
oleh negara pengimpor sebagai bentuk proteksi dapat menjadi hambatan bagi
ekspor tuna Indonesia. Akan tetapi, peranan asosiasi tuna domestik seperti Asosiasi
Tuna Longline Indonesia (ATLI), Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), Asosiasi
Perikanan Pole and Line and Hand Line (AP2HI), serta Komisi Tuna Indonesia
(KTI) agaknya menjadi salah satu kunci penting dalam industri tuna dalam
menghadapi isu tersebut, yakni dalam rangka menekan biaya perdagangan
sekaligus mendorong daya saing tuna Indonesia melalui peningkatan standar mutu
dan kualitas. Adanya dukungan asosiasi dalam rangka menghadapi kebijakan non
tarif pada komoditi tuna Indonesia membuat hal ini menjadi menarik untuk diteliti,
yakni dengan menganalisis apakah dampak kebijakan non tariff tetap menjadi
hambatan atau justru menciptakan peluang baru bagi komoditi ikan tuna Indonesia.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menghasilkan implikasi kebijakan sebagai
upaya dalam rangka meningkatkan kinerja ekspor ikan tuna Indonesia ke negara-
negara tujuan utama.
Perumusan Masalah
Perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara- negara di seluruh
dunia seharusnya dapat dilakukan secara leluasa sehingga menguntungkan dua
belah pihak yang melakukan perdagangan. Berbagai macam bentuk perjanjian
preferensial baik regional maupun bilateral dilakukan semata untuk dapat
mengurangi tingkat tarif demi mempermudah arus ekspor dan impor. Dengan tetap
memperhatikan standar- standar tertentu untuk menjamin keamanan dan kualitas
produk, NTMs merupakan satu bentuk pengawasan perdagangan yang mulai
banyak diterapkan di negara- negara pelaku perdagangan internasional. Sebuah
studi dilakukan oleh OECD berfokus pada NTMs yang berlaku di negara- negara
berkembang. Hasil penelitian menunjukkan rasio frekuensi dari kuantitas dan
tindakan pengendalian harga yang cenderung lebih tinggi di negara- negara dengan
tingkat pendapatan perkapita dan keterbukaan lebih rendah (Rahmaniar 2013).
5
Terlepas dari tujuan penerapan kebijakan perdagangan sebagai proteksi atau
mengatasi kegagalan pasar, NTMs diperkirakan memiliki efek distorsi pada
perdagangan internasional. Kebijakan non tarif yang ditetapkan oleh negara- negara
pengimpor komoditas justru memberikan hambatan baru dalam perdagangan
internasional dan membatasi akses pasar menggantikan kebijakan tarif pada periode
sebelumnya. Hal ini dijelaskan melalui studi yang dilakukan oleh International
Trade Centre (2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa intensi proteksi
sekalipun, NTMs dapat meningkatkan biaya perdagangan, mengalihkan perhatian
manajerial, serta menekan eksportir kecil terutama pada negara berkembang
dimana akses hukum dan informasi regulasi cenderung sulit dilakukan. Adanya
regulasi teknis dan standar produk misalnya, dapat meningkatkan biaya
perdagangan melalui dua cara. Pertama, meningkatkan beban biaya tetap bagi
eksportir yang harus menyesuaikan produk dengan standar dan regulasi yang
diberlakukan oleh negara pengimpor. Kedua, prosedur penilaian kesesuaian seperti
pengujian untuk menunjukkan bahwa suatu produk telah sesuai dengan regulasi
teknis juga dapat menjadi biaya tambahan.
Sanitary and Phytosanytary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT)
merupakan dua bentuk penerapan NTMs yang paling banyak diberlakukan untuk
subsektor perikanan khususnya komoditas tuna. UNCTAD (2013) menyatakan SPS
dan TBT sebagai kebijakan non tarif yang paling banyak diberlakukan oleh seluruh
negara di dunia, dengan nilai permberlakuan regulasi 15- 30% dari komoditas yang
diperdagangkan. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh negara
pengekspor dalam mencapai kualitas dan keamanan produk untuk memenuhi
ketentuan- ketentuan tersebut dan memperluas akses pasar di negara tujuan ekspor.
Berdasarkan data Dirjen Kelautan dan Perikanan (2014) total produksi
perikanan Indonesia tahun 2013 mencapai 11.06 juta ton dengan total nilai sebesar
Rp 126 triliun. Sub sektor perikanan tangkap mengalami pertumbuhan sebesar
3.53% dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dan didominasi oleh komoditas tuna
dan cakalang masing masing 269.5 ton dan 381 ton. Total volume ekspor hasil
perikanan Indonesia pada tahun 2013 tumbuh sebesar 3.51%. Komoditas tuna,
tongkol, dan cakalang (TTC) merupakan salah satu penyumbang terbesar nilai hasil
ekspor perikanan dengan nilai USD 515 juta.
Angka pertumbuhan baik dalam segi nilai ekspor maupun produksi
menunjukkan potensi ekspor yang besar untuk komoditas ikan tuna. Akan tetapi,
penerapan hambatan non tariff pada komoditas tuna oleh negara pengimpor NTMs
mengharuskan Indonesia untuk memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi
dan secara tidak langsung berdampak bagi peningkatan biaya perdagangan
komoditas tersebut. Peranan berbagai asosiasi tuna Indonesia seperti ATLI,
ASTUIN, AP2HI, dan KTI menjadi penting. Keanggotaan nelayan serta eksportir
tuna Indonesia dalam asosiasi- asosiasi tersebut merupakan salah satu upaya
menekan biaya perdagangan yang harus ditanggung dalam memenuhi persyaratan
dan standar yang diberlakukan oleh negara- negara pengimpor, terlebih karena
masing- masing negara memiliki standar yang berbeda- beda sehingga biaya yang
dibutuhkan akan menjadi lebih besar.
Penerapan SPS dan TBT oleh negara tujuan utama ekspor yang berpotensi
menjadi hambatan perdagangan perlu dikaji lebih lanjut, sehingga terdapat
beberapa permasalahan untuk diteliti yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana kinerja ekspor ikan tuna Indonesia?
6
2. Bagaimana pemberlakuan NTMs pada komoditas ikan tuna di negara-
negara tujuan ekspor?
3. Bagaimana dampak NTMs pada ekspor ikan tuna Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan pada uraian sebelumnya, tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan kinerja ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
2. Mendeskripsikan pemberlakuan NTMs pada ekspor komoditas ikan tuna
Indonesia di negara- negara tujuan utama.
3. Menganalisis dan mengestimasi dampak pemberlakuan NTMs terhadap
kinerja ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharpkan dapat memberi manfaat antara lain:
1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi serta
pertimbangan untuk mengambil kebijakan dalam rangka mendorong
potensi ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
2. Bagi pelaku sektor perikanan khususnya untuk komoditas ikan tuna,
penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran untuk meningkatkan
kinerja ekspor komoditas ikan tuna.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan
baik secara umum maupun khusus mengenai kebijakan perdagangan Non
Tariff Measures (NTMs), serta mengetahui dampak NTMs terhadap arus
ekspor pada komoditas ikan tuna Indonesia. Hasil dari penelitian ini juga
diharapkan dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian lanjutan.
4. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memperdalam ilmu
pengetahuan dan wawasan penulis tentang kebijakan perdagangan Non
Tariff Measures (NTMs), serta mengetahui dampak NTMs terhadap arus
ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup arus ekspor perdagangan Indonesia
dengan negara negara tujuan ekspor (China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat,
Korea Selatan, Vietnam, dan Singapura). Penelitian ini membahas mengenai
kinerja ekspor dan dampak pemberlakuan NTMs (SPS dan TBT) pada komoditi
ikan tuna Indonesia. Komoditas yang digunakan berdasarkan HS 96
pengelompokan 6 digit yakni 030231, 030232, 030233, 030239, 030240, dan
030250 untuk tuna segar, 030341, 030342, 030343, dan 030349 untuk tuna beku,
serta 160414 untuk tuna olahan (Lampiran 1). Metode pada penelitian ini
menggunakan model data panel dengan pendekatan gravity. Data yang digunakan
untuk analisis pada penelitian ini dengan periode tahun 2009- 2013.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan dan pertukaran secara ekonomi dapat didefinisikan sebagai proses
tukar- menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela. Suatu perdagangan akan
terjadi apabila pihak- pihak pelaku perdagangan mendapatkan manfaat atau
keuntungan. Demikian pula dengan perdagangan internasional. Dalam arti sempit,
perdagangan internasional merupakan suatu gugusan masalah yang timbul
sehubungan dengan pertukaran komoditas antar negara. Apabila tidak ada
perdagangan internasional maka masing- masing negara harus mengkonsumsi hasil
produksinya sendiri (Salvatore 1997).
Kebijakan Perdagangan Internasional Kebijakan perdagangan internasional merupakan tindakan atau kebijaksanaan
ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
komposisi, arah, serta bentuk dari perdagangan internasional (Nopirin, 1999).
Instrumen- instrumen kebijakan perdagangan internasional yaitu:
1. Kebijakan perdagangan internasional
Meliputi tindakan pemerintah terhadap current account dari neraca
pembayaran internasional, khususnya ekspor dan impor barang dan jasa.
2. Kebijakan pembayaran internasional
Meliputi tindakan pemerintah terhadap capital account dalam neraca
pembayaran internasional.
3. Kebijakan bantuan luar negeri
Meliputi tindakan pemerintah berhubungan dengan bantuan (grants),
pinjaman (loans), bantuan yang bertujuan untuk membantu rehabilitasi
serta pembangunan, dan bantuan militer terhadap negara lain.
Non Tariff Measures (NTMs)
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, khususnya pada sektor manufaktur,
pemerintah berbagai negara memiliki kecenderungan untuk melindungi industri-
industri domestik dengan memberlakukan berbagai macam hambatan non tariff
(Salvatore 1997). Berdasarkan hasil perundingan GATT pada putaran Uruguay,
terdapat beberapa kesepakatan mengenai jenis- jenis hambatan non tarif, antara
lain:
1. Kuota Impor
Kuota impor digunakan untuk melindungi sektor industri tertentu. Pada
negara maju, hambatan ini umumnya digunakan untuk melindungi sektor
pertanian, sementara pada negara berkembang digunakan untuk melindungi
sektor manufaktur.
2. Subsidi Ekspor
Subsidi ekspor diberikan oleh negara kepada perusahaan- persuahaan
untuk meningkatkan ekspor. Bentuk subsidi berupa pinjaman ekspor
sebenarnya telah disepakati untuk dilarang dalam perdagangan
internasional. Peningkatan pemberian subsidi yang berlebihan dapat
8
menimbulkan daya saing yang berlebihan pula sehingga dapat menjadi
ancaman bagi kelangsungan perdagangan internasional. Antisipasi untuk
bentuk kecurangan ini yakni dengan menetapkan pajak atau tariff pada
produk yang diduga memperoleh subsidi ekspor dari pemerintahnya. Sari
2014).
3. Pembatasan Ekspor Secara Sukarela
Tindakan pembatasan ekspor secara sukarela merupakan implikasi dari
adanya pemaksaan untuk pengurangan ekspor yang dilakukan bersamaan
dengan hambatan perdagangan yang lebih keras oleh suatu negara
pengimpor. Tujuannya yakni untuk melindungi sektor tertentu yang
menurun karena adanya produk impor. Selain pembatasan produk impor,
langkah lain yang dapat ditempuh untuk menghindari ancaman produk
impor yakni dengan memaksa negara pengekspor untuk membayar
kompensasi sebagai akibat dari dampak yangditimbulkan pada industri
domestik negara tujuan ekspor (World Trade Organization 2013).
4. Hambatan Birokrasi
Pemerintah suatu negara memberlakukan kontrol ketat terhadap standar
kesehatan, keamanan, dan prosedur kepabeanan. Tindakan ini dinilai efisien
untuk membatasi impor. Akan tetapi, pada praktiknya pemerintah ingin
membatasi impor tanpa mengumumkannya secara formal sehingga
seringkali menimbulkan hambatan dalam perdagangan internasional.
5. Kartel Internasional
Kartel merupakan bentuk sebuah organisasi produsen tertentu yang
anggotanya terdiri dari beberapa negara. Tujuan pembentukan kartel yakni
untuk membatasi output serta mengendalikan kegiatan ekspor sehingga
dapat digunakan untuk memaksimalkan keuntungan bagi negara- negara
tertentu. Praktik kartel menjadi merugikan bagi negara onsumen karena
harus membeli produk yang terbayas dengan harga relatif mahal.
6. Tindakan Anti- Dumping
Tindakan anti-dumping merupakan langkah yang dilakukan pemerintah
sebagai respon terhadap adanya pengaduan serta keluhan produsen
domestik karena perusahaan asing tertentu menjual komoditasnya dengan
harga dibawah biaya produksi atau lebih murah dibandingkan harga pasar
negara asalnya.
Dumping secara umum diartikan sebagai diskriminasi harga secara
internasional. Keadaan tersebut terjadi ketika harga komoditas yang dijual
di negara importir lebih rendah dibandingkan harga komoditas di pasar
domestik negara eksportir. Dalam jangka panjang, dumping dapat
menyebabkan kerugian pada negara tujuan ekspor, sebab tidak selamanya
negara pengekspor akan memberikan harga murah pada negara tujuan
ekspor. Setelah negara tujuan ekspor bergantung pada komoditas negara
pengekspor, maka negara pengekspor akan menaikkan harga komoditasnya.
7. Sanitasi dan Fitosanitasi
Salah satu hasil kesepakatan negara- negara WTO dalam Kongres WTO
putaran Doha tahun 2001 yaitu peraturan pemerintah suatu negara dalam
menjaga kemanan makanan, kesehatan hewan dan tumbuhan (sanitary and
phytosanitary). Tujuannya adalah untuk melindungi hak- hak konsumen
akan produk yang dikonsumsi dan juga untuk melindungi produk- produk
9
yang dihasilkan oleh produsen domestik. Implikasi dari ukuran standar
kualitas yang lebih tinggi akan mampu mendorong negara lain untuk
meningkatkan kualitas produknya sehingga memiliki daya saing yang lebih
tinggi di negara tujuan ekspornya.
8. Standar Lingkungan
Isu standar lingkungan yang semakin gencar dibahas dan telah
diberlakukan oleh negara- negara maju berdampak pada perdagangan
negara- negara berkembang. Standar lingkungan yang diberlakukan oleh
negara maju dikhatarikan menjadi hambatan perdagangan terutama dalam
segi kinerja ekspor bagi negara- negara berkembang. Bagi negara maju,
standar lingkungan seringkali digunakan untuk tujuan tidak langsung yaitu
untuk melindungi industri- industri dalam negerinya (Verbruggen et al.
1995).
Non tariff measures (NTMs) sendiri didefinisikan sebagai kebijakan-
kebijakan selain tariff yang secara potensial memiliki pengaruh ekonomi
perdagangan komoditas internasional dengan mengubah kuantitas perdagangan
atau harga atau keduanya (UNCTAD 2013). Secara garis besar, klasifikasi NTMs
terbagi menjadi import measures dan export measures (gambar 2). Pada import
measures terbagi menjadi dua bagian yakni technical measures dan non technical
measures, sementara untuk export measures hanya memiliki satu klasifikasi yaitu
export related measures.
Sumber : UNCTAD 2013
Gambar 2 Klasifikasi baru NTM
10
Pada perkembangannya, kebijakan non tariff pada perdagangan internasional
telah mengalami kemajuan sehingga dilakukan perubahan dalam metodologi,
klasifikasi, penghitungan, dan pengumpulan data NTMs. Pada tahun 2006,
UNCTAD membentuk Multi Agency Team Support dalam rangka menyusun dan
memperbaharui klasifikasi NTMs. Modifikasi dalam penyusunan NTMs dilakukan
dengan dengan penambahan beberapa cabang klasifikasi yang merefleksikan
kondisi perdagangan internasional saat ini.
Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
merupakan bagian dari technical measures. Kedua kebijakan ini dimaksudkan
sebagai tindakan perlindungan terhadap manusia, hewan, dan tumbuhan, serta
mencakup berbagai regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian.
Penggunaan SPS secara spesifik banyak diberlakukan pada sektor pertanian
dan produk yang berasal dari hewan. Cadot (2012) menjelaskan SPS sebagai
kebijakan yang diaplikasikan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari
zat- zat lain, kontaminasi, racun, atau organisme penyebab penyakit dalam
makanan; untuk melindungi kehidupan manusia dari penyakit bawaan baik hewan
maupun tumbuhan; untuk mencegah atau membatasi kerusakan negara dari
masuknya hama; dan untuk melindungi biodiversitas.
Penggunaan TBT diterapkan secara lebih luas pada berbagai sektor dan
berkaitan pada regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian. Definisi TBT
menurut UNCTAD (2013) yaitu tindakan yang mengacu pada regulasi teknis, dan
prosedur penilaian kesesuaian dengan peraturan teknis dan standar, termasuk
langkah- langkah yang tercakup dalam perjanjian SPS. Regulasi teknis merupakan
dokumen yang menetapkan mengenai karakteristik produk atau yang terkait dengan
proses produksi serta ketentuan administratif. Hal ini juga mencakup symbol,
pengemasan, atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses, maupun
cara produksi. Sedangkan prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang
digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menentukan bahwa
persayaratan telah relevan atau memenujhi standar dalam peraturan teknis.
Pendekatan Inventory
Pendekatan inventory adalah inventarisasi kebijakan- kebijakan non tarif
oleh setiap negara, dilakukan dengan menghitung frequency index dan coverage
ratio pada periode waktu yang yang disesuaikan dengan ketersediaan data.
Keduanya merupakan indikator agregat yang paling sederhana dalam mengukur
pemberlakuan NTMs pada suatu negara. Frequency index merupakan share total
tariff pada satu a
tau lebih NTMs yang diberlakukan, sementara coverage ratio merupakan
persentase dari perdagangan suatu produk yang dikenakan NTMs pada negara
pengimpor. Coverage ratio memberikan ukuran pentingnya NTMs impor secara
keseluruhan.
Model Gravity
Alat analisis yang digunakan untuk menganalisa perdagangan bilateral
antarnegara adalah model data panel dengan pendekatan gravity. Model ini
11
merupakan adaptasi dari model gravitasi yang dikemukakan oleh Sir Isaac Newton,
dan kemudian berkembang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai disiplin
ilmu. Pada disiplin ilmu ekomomi, model ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh
Jan Timbergen pada 1962 dan digunakan sebagai alat analisis perdagangan
internasional antarnegara.
Pada konteks perdagangan, model gravity menyatakan bahwa intensitas
perdagangan antarnegara akan berhubungan secara positif dengan pendapatan
nasional masing- masing negara, dan berhubungan terbalik dengan jarak antar
keduanya (Yuniarti 2007).
Dahar (2014) menjelaskan persamaan gravitasi dapat dianggap sebagai
semacam representasi singkat penawaran dan permintaan. Jika i adalah negara asal,
maka Mi mewakili jumlah total yang bersedia dipasok ke semua pelanggan,
sementara Mj mewakili “wedge” yang memberlakukan biaya perdagangan dan
menghasilkan arus keseimbangan perdagangan yang lebih rendah. Secara
matematis, seperti yang dikemukakan oleh Anderson (2011), gravity model
dinyatakan dengan persamaan berikut:
𝐹𝑖𝑗 = 𝑅𝑗𝑀𝑖𝑀𝑗
𝐷𝑖𝜃𝑗
Anderson juga menjelaskan bahwa dari perkalian persamaan gravitasi dapat
diperoleh logaritma natural sehingga didapatkan hubungan linier antara arus
perdagangan dan ukuran ekonomi dan jarak:
Ln Fij = α ln Mij + β ln Mj – θ ln Dij + ρ ln Rj + ϵij Disertakannya error term ϵij menjelaskan bahwa persamaan dapat diestimasi
oleh regresi kuadrat terkecil biasa (ordinary least square) sehingga diharapkan
dapat diperoleh estimasi dengan α= β = ρ = 1.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Studi yang dilakukan oleh Rastikaranty (2008) mengenai pengaruh
kebijakan tarif dan non tariff Uni Eropa terhadap ekspor tuna Indonesia
menggunakan model regresi berganda dengan dummy intersep. Hasil penelitian
menunjukkan hasil bahwa kebijakan hambatan tarif berpengaruh nyata dan bersifat
inelastis, sementaa kebijakan hambatan non tarif tidak berpengaruh nyata terhadap
model. Tidak adanya pengaruh signifikan ini didukung oleh fakta bahwa Indonesia
diijinkan untuk teris melakukan ekspor ke Uni Eropa namun harus diimbangi
dengan penyetaraan standar.
Penelitian yang dilakukan oleh Fasarella et al mengenai dampak sanitary
dan standar teknis pada ekspor daging unggas Brazil pada 2011. Model yang
digunakan adalah gravity menggunakan beberapa variabel yakni GDP perkapita
negara pengimpor, bilateral tarif, serta lima dummy NTM meliputi dummy untuk
tindakan terkait proses, dummy untuk tindakan terkait dengan pelabelan, dummy
untuk tindakan terkait dengan pengawasan dan karantina, serta dummy tindakan
terkait penilaian kesesuaian. Hasil penelitian menujukkan bahwa pemberlakuan
NTM terkait dengan penilaian kesesuaian menunjukkan pengaruh yang signifikan
dan negatif, NTM terkait tindakan pelabelan dan pengemasan menunjukkan hasil
12
positif dan signifikan, sementara NTM terkait tindakan pengawasan dan karantina
menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan.
Pada tahun 2014, Dahar melakukan penelitian mengenai analisis dampak
kebijakan non-tarif terhadap kinerja ekspor hortikultura Indonesia di negara
ASEAN +3. Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berpengaruh terhadap
kinerja ekspor antara lain GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara
pengimpor, serta jarak ekonomi. Kebijakan non tariff berupa SPS dan TBT yang
diukur dengan pendekatan variabel coverage ratio dan frequency index menujukkan
pegaruh signifikan dengan koefisien negatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Devadason (2009) mengenai NTM di ASEAN
yang dipertanyakan sebagai hambatan perdagangan intra regional. Model yang
digunakan digunakan adalah gravity dengan variabel export coverage ratio (ECR)
yang diadaptasi dari pendekatan inventory untuk menangkap coverage ratio dari
subjek perdagangan yang terkena NTM pada hubungan perdagangan intra-regional
ASEAN. Komoditi yang diteliti mencakup 97 produk dalam HS dua digit, sehingga
dimasukkan variabel dummy untuk sektor pertanian dan industri sebagai pembeda
efek perdagangan antara kedua pasar tersebut. Hasil penelitian ternyata
menunjukkan bahwa ECR memiliki dampak yang positif baik pada produk
pertanian maupun industri. Akan tetapi, bagi beberapa negara seperti Cambodia,
Laos, Myanmar, dan Vietnam, NTM dapat menjadi hambatan apabila permasalahan
internal dalam industri domestic tidak bisa diatasi dengan baik oleh pemerintah
setempat.
Fontagne et al (2005) mengestimasi dampak SPS dan TBT pada perdagangan
internasional menggunakan model gravity. Negara yang diteliti meliputi negara
maju (developing country/ DC), negara berkembang (least developed country/
LDC), dan negara- negara OECD (Organization of Economic Co-operation and
Development). Hasil penelitian menunjukkan bahwa SPS dan TBT memiliki
dampak negatif dan signifikan pada negara- negara maju, dampak positif dan
signifikan pada negara- negara berkembang meskipun dengan elastisitas yang kecil,
sedangkan untuk negara- negara OECD tidak memiliki dampak signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bratt (2014) mengestimasi mengenai dampak
bilateral non-tariff measures pada 85 negara menggunakan gravity model yang
mencakup variabel keunggulan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
secara keseluruhan NTM memiliki dampak negatif. Bagi negara eksportir
berpendapatan rendah, NTM yang diberlakukan oleh negara pengimpor
berendapatan tinggi cenderung memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan
dengan NTM oleh negara berkembang yang diberlakukan pada eksportir negara
maju.
Kerangka Pemikiran
Kerjasama antarnegara pelaku perdagangan internasional dilakukan dalam
rangka memperluas akses pasar dan memajukan kesejahteraan antarnegara anggota
WTO. Salah satu kebijakan perdagangan internasional yang banyak diberlakukan
oleh negara- negara WTO adalah Non- Tariff Measures (NTMs). Kebijakan ini
diberlakukan sebagai bentuk proteksi terhadap produsen domestic dalam rangka
menghadapi persaingan impor. Implementasi dari NTMs yang paling banyak
13
digunakan yaitu sanitary and phytosanitary (SPS) dan technical barriers to trade
(TBT).
Salah satu komoditi potensial ekspor Indonesia yang tidak terlepas dari
pemberlakuan NTMs adalah Ikan tuna. Jumlah produksi yang memberikan
sumbangan besar pada subsektor perikanan serta pertumbuhan nilai ekspor ke
beberapa negara tujuan utama yang positif merupakan sebuah peluang besar jika
dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Penggunaan SPS dan TBT yang banyak
diberlakukan pada komoditi ikan tuna oleh negara- negara tujuan utama
dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap manusia, hewan, dan
tumbuhan dari berbagai penyakit, serta sebagai bentuk regulasi teknis dan prosedur
penilaian kesesuaian.
Pendekatan inventory digunakan untuk menganalisis pemberlakuan SPS dan
TBT oleh negara pengimpor pada komoditi ikan tuna Indonesia, sedangkan untuk
menganalisis bagaimana dampak dari pemberlakuan kedua kebijakan tersebut
menggunakan model gravity. Hasil dari penelitian ini adalah implikasi kebijakan
terkait ekspor ikan tuna yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemerintah.
Hipotesis
Hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini adalah:
1. GDP per kapita suatu negara berhubungan positif dengan arus ekspor.
Pada hubungan bilateral, peningkatan GDP perkapita suatu negara
Kebijakan Perdagangan
Implikasi Kebijakan
Hambatan Tarif
Implementasi Non
Tarif (SPS dan
TBT) pada ekspor
ikan tuna
Hambatan Non Tarif
Model Panel Gravity Pendekatan Inventory
(Frequency Index dan
Coverage Ratio)
Dampak NTM pada ekspor ikan tuna
Instrumen Kebijakan Perdagangan Internasional
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
14
akan meningkatkan permintaan ekspor dan berhubungan positif
dengan GDP perkapita partner dagangnya.
2. Populasi negara importir berhubungan positif dengan arus ekspor
negara eksportir. Besarnya populasi akan meningkatkan GDP suatu
negara dan mendorong permintaan impornya.
3. Jarak ekonomi berpengaruh negatif terhadap hubungan perdagangan
antar negara. Semakin besar jarak ekonomi, maka akan semakin kecil
arus perdagangan bilateral.
4. Nilai tukar riil berpegaruh positif dengan arus ekspor antarnegara
dagang.
5. Penerapan NTMs (SPS dan TBT) oleh negara pengimpor berdampak
terhadap arus ekspor.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder time-
series tahun 2011-2013 dengan cross section negara tujuan utama meliputi China,
Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Vietnam, dan Singapura. Data
berasal dari berbagai sumber dengan rincian pada tabel 4.
Tabel 3 Jenis dan sumber data
Jenis Data Sumber Satuan
Non Tariff Measures (NTMs) I- TIP WTO
Populasi World Bank jiwa
GDP perkapita World Bank Juta USD
Ekspor dan Impor Ikan Tuna WITS Juta USD
Jarak geografis CEPII Km
Nilai tukar World Bank, OECD Rp/ USD
IHK World Bank
Metode Analisis
Terdapat dua metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yakni
analisis deskriptif dengan pendekatan inventory dan analisis data panel dengan
model gravity.
Pendekatan Inventory
Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum mengenai
kinerja perdagangan ikan tuna dan kebijakan NTMs yang diberlakukan negara-
15
negara tujuan ekspor. Analisis pemberlakuan kebijakan NTMs dilakukan dengan
pendekatan inventory yang menggunakan frequency index dan coverage ratio
sebagai indikatornya.
Fugazza (2013) menjelaskan frequency index hanya digunakan untuk
mengukur ada atau tidaknya suatu NTMs, dan merangkum persentase produk
dimana satu atau lebih kebijakan NTMs diterapkan. Frequency index menunjukkan
persentase dari transaksi impor yang tercakup dalam sejumlah NTMs untuk negara
ekspor sedangkan coverage ratio merupakan persentase dari subjek perdagangan
yang dikenakan NTMs pada negara pengimpor dan memberikan ukuran pentingnya
NTMs impor secara keseluruhan. Kedua indikator tersebut dirumuskan sebagai
berikut:
𝐹𝑖𝑗𝑡 = [ (𝐷𝑘𝑡 𝑀𝑘𝑇)
𝑀𝑘𝑇] × 100
𝐶𝑖𝑗𝑡 = [ (𝐷𝑘𝑡 𝑉𝑘𝑇)
𝑉𝑘𝑇] × 100
Dimana:
Fijt = Frequency index negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada
tahun t (%)
Dkt = variabel dummy yang menunjukkan ada atau tidaknya satu atau
lebih NTM pada produk k pada tahun t
MkT = jumlah produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor
Cijt = Coverage ratio negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada
tahun t (%)
VkT = nilai produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor
j = negara pengimpor
i = negara pengekspor
k = produk yang diimpor
t = tahun diberlakukannya NTMs
T = total tahun dari jumlah yang diimpor ke negara tujuan
Nilai frequency index dan coverage ratio berada pada rentang 0-100. Nilai
frequency index yang semakin kecil menunjukkan semakin sedikit penggunaan
NTMs oleh suatu negara, begitupun sebaliknya. Nilai coverage ratio yang semakin
kecil menunjukkan semakin sedikitnya cakupan produk yang terkena kebijakan
NTMs, sementara coverage ratio yang semakin besar menujukkan semakin luasnya
cakupan produk yang terkena kebijakan NTMs.
Model Gravity Model gravity merupakan alat analisis untuk pendekatan ex-post yang
digunakan dalam mengukur dampak NTMs dalam ekspor suatu produk. Variabel
independen yang digunakan dalam rancangan model yakni nilai ekspor ikan tuna
Indonesia pada negara tujuan utama. Variabel bebasnya mencakup GDP perkapita
negara pengimpor, populasi negara pengimpor, jarak ekonomi bilateral antara
negara pengekspor dan pengimpor, pemberlakuan NTMs (TBT, dan SBS), dan nilai
tukar riil. Periode waktu data yang digunakan dari 2009- 2013.
16
Model yang digunakan dalam penelitian untuk melihat dampak NTMs
merujuk pada model gravity mengacu pada model penelitian Fontagne et al (2005).
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan coverage ratio sebagai variabel
bebasnya. Model tersebut dirumuskan sebagai berikut:
ln 𝐸𝑋𝑖𝑗𝑡 = 𝛼 + 𝛽1𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝐶𝑗𝑡 + 𝛽2𝑙𝑛𝑃𝑂𝑃𝑗𝑡 + 𝛽3𝑙𝑛𝐸𝐷𝐼𝑆𝑇𝑖𝑗𝑡 + 𝛽4𝑙𝑛𝑅𝐸𝑅𝑖𝑗𝑡
+ 𝛽5𝐶𝑅 𝑇𝐵𝑇𝑖𝑗𝑡 + 𝛽6𝐶𝑅 𝑆𝑃𝑆𝑖𝑗𝑡 + 𝜇𝑖𝑗𝑡
Dimana:
EXijt = nilai ekspor ikan tuna Indonesia ke negara j pada tahun t
(juta US $)
POPijt = populasi negara pengimpor j pada tahun t (jiwa)
GDPCjt = GDP perkapita negara pengimpor j pada tahun t (juta USD)
EDISTijt = jarak ekonomi antara negara eksportir j dan Indonesia (km)
RERijt = nilai tukar riil Indonesia terhadap negara pengimpor j pada
tahun t
CR TBTijt = coverage ratio TBT negara pengimpor j terhadap tuna
Indonesia pada tahun t (%)
CR SPSijt = coverage ratio SPS negara pengimpor j terhadap tuna
Indonesia pada tahun t (%)
Definisi Operasional
Definisi operasioanl variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Ekspor (EX) adalah total nilai ekspor komoditi tuna Indonesia ke negara
tujuan utama.
2. GDP perkapita (GDPC) merupakan jumlah pendapatan rata- rata dari
penduduk suatu negara pada periode tertentu.
3. Populasi (POP) yaitu total jumlah penduduk di negara tujuan ekspor dalam
satu tahun.
4. Jarak ekonomi (EDIST) merupakan variabel yang mewakili biaya
transportasi, diperoleh dari:
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑒𝑘𝑜𝑛𝑜𝑚𝑖 = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑔𝑒𝑜𝑔𝑟𝑎𝑓𝑖𝑠 𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑛𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎 × 𝐺𝐷𝑃𝐷𝐽
𝐺𝐷𝑃𝑗
5. Real Exchange Rate (RER) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor
terhadap negara pengimpor yang diperoleh dari:
𝑅𝐸𝑅 = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑢𝑘𝑎𝑟 𝑛𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙 × 𝐼𝐻𝐾 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑖𝑚𝑝𝑜𝑟
𝐼𝐻𝐾 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑠𝑘𝑝𝑜𝑟
6. Coverage Ratio TBT (CR TBT) adalah pemberlakuan NTM berupa TBT
yang dihitung dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan
persen.
17
7. Coverage Ratio TBT (CR TBT) adalah pemberlakuan NTM berupa TBT
yang dihitung dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan
persen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Industri Ikan Tuna Indonesia
Perikanan merupakan salah satu dari empat subsektor dalam sektor pertanian.
Subsektor ini memiliki juga memiliki peran penting jika dilihat dengan
kontribusinya terhadap PDB. Grafik 1 memperlihatkan subsektor perikanan
memiliki kontribusi terbesar kedua setelah kelompok tanaman bahan makanan.
Berdasarkan data KKP, pada triwulan III tahun 2013, subsektor ini memberikan
kontribusi yang cukup signifikan yaitu sebesar 5.1% dibandingkan dengan share
subsektor lainnya.
Sumber : BPS 2014
Gambar 4 PDB sektor pertanian atas dasar harga berlaku 2008-2013
Salah satu bagian dari subsektor perikanan yang memiliki peran penting
adalah ikan tuna. Tabel 5 memperlihatkan hasil produksi subsektor perikanan
selama 2008-2013. Komoditi ikan tuna memiliki kenaikan rata- rata terbesar
sepanjang enam tahun terakhir yakni tuna besar (Thunnus spp.) sebesar 6.95%,
diikuti dengan cakalang (skipjack tuna) sebesar 5.68%. Jumlah produksi ikan tuna
dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan hingga tahun 2012, kemudian
mengalami penurunan pada tahun 2013.
-
20,000.00
40,000.00
60,000.00
80,000.00
100,000.00
120,000.00
140,000.00
160,000.00
180,000.00
2009 2010 2011 2012 2013 2014
PD
B H
arga
Ko
nst
an 2
00
0 (
Mil
yar
Rp
)
Tahun
Tanaman Bahan Makanan
Tanaman Perkebunan
Peternakan dan hasil-
hasilnya
Kehutanan
Perikanan
18
Tabel 4 Produksi perikanan tangkap di laut menurut komoditas utama 2008-2013
Jenis Ikan
Tahun Kenaikan Rata-
rata (%)
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2008-
2013
2012-
2013
Produksi
Total 4 701 933 4 812 236 5 039 446 5 345 729 5 435 633 5 503 620 3.22 1.25
Ikan 4 221 635 4 327 259 4 540 145 4 713 439 4 821 574 4 657 710 2.03 -3.40
Tuna 194 173 203 269 213 796 241 364 275 778 269 530 6.95 -2.27
Cakalang 296 769 338 034 329 949 372 211 429 024 381 070 5.68 -11.18
Tongkol 421 905 404 283 367 320 415 331 432 138 419 490 0.17 -2.93
Ikan
Lainnya 3 308 788 3 381 673 3 629 080 3 684 533 3 684 634 3 587 620 1.68 -2.63
Binatang
Berkulit
Keras 304 872 302 601 302 544 343 644 337 439 350 920 3.00 4.00
Udang 236 922 236 870 227 326 260 618 263 032 262 020 2.23 -0.38
Binatang
berkulit
keras
lainnya 67 950 65 731 75 218 83 026 74 407 88 900 2.23 19.48
Lainnya 175 426 182 375 196 757 288 646 88 900 494 990 6.13 78.94
Sumber: Dirjen Kelautan dan Perikanan 2014
Usaha penangkapan ikan tuna dimulai pada 1970, setelah PT. Perikanan
Samudera Besar (PSB) berdiri. Basis perikanan terkonsentrasi di Benoa Bali, dan
terus dikembangkan hingga Sabang Aceh. Pada 1980, armada perikanan beroperasi
hampir di seluruh perairan Indonesia, dan terus berkembang seiring dengan
dukungan perusahaan- perusahaan nasional, penanaman modal asing (PMA), dan
pertumbuhan sarana penunjang lainnya. Kapal yang digunakan sebagai
mediapenangkapan berukuran > 100 Gross Tonage (GT) yang dilengkapi dengan
unit refrigrasi hingga -50o C dengan lama operasi lebih dari 30 hari/ trip. Khusus
untuk produk tuna segar, dikembangkan kapal- kapal berukuran <60 GT dengan
lama waktu operasi sekitar dua minggu karena dinilai lebih efisien dan ekonomis
untuk menjaga mutu produk tersebut.
Basis perikanan untuk industri tuna longlinier skala besar menyebar di daerah
Jakarta dan Cilacap, sementara di kawasan timur Indonesia dikembangkan industri
pole and linier, pursuiner, dan hand linier yang melibatkan nelayan dalam jumlah
besar serta kemitraan dengan pengusaha industri tuna (Hanudi 2005). Pengusaha
yang bergerak dalam industri perikanan tuna tergabung dalam organisasi-
organisasi seperti Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Asosiasi Tuna Longline
Indonesia (ATLI), Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (GAPPINDO), dan
Komisi Tuna Indonesia (KTI).
Kinerja Perdagangan Komoditi Ikan Tuna Indonesia
Indonesia memiliki potensi perairan dengan kepemilikan berbagai jenis ikan
termasuk tuna. Selain itu, nilai ekonomis tuna yang lebih tinggi dibandingkan
produk lainnya menciptakan peluang besar bagi pengembangan kinerja ekspor tuna
Indonesia. Jenis tuna yang diperdagangkan dan memiliki potensi dalam pangsa
19
internasional terdiri dari bentuk ikan tuna segar (fresh/chilled), beku (frozen) dan
ikan tuna olahan.
Ekspor Ikan Tuna Segar (HS 0302.3)
Ekspor ikan tuna segar yang digunakan dalam penelitian ini tercakup pada
Lampiran 1. Berdasarkan tabel 5, kinerja ekspor ikan tuna segar mengalami tren
menurun dilihat dari nilai ekspornya yang terus mengalami pertumbuhan negative
sepanjang 2010- 2013, sementara untuk volume ekspor mengalami kenaikan pada
tahun 2013 hingga mencapai angka 10.6%.
Tabel 5 Perkembangan ekspor ikan tuna segar Indonesia tahun 2009-2013 ke
negara tujuan utama
Tahun Nilai ekspor
(000 USD)
Tingkat
Pertumbuhan (%)
Volume
Ekspor (Kg)
Tingkat
Pertumbuhan (%)
2009 91 986.06 0 24 562 072 0
2010 103 059.9 12.03865 16 577 891 -32.5061
2011 85 829.35 -16.719 13 933 143 -15.9535
2012 70 758.28 -17.5593 10 865 197 -22.0191
2013 69 941.25 -1.15468 12 017 471 10.60518
Sumber: UNCOMTRADE 2015 (diolah)
Ekspor Ikan Tuna Beku (HS 0303.4)
Kinerja ekspor ikan tuna beku Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan yang
cukup baik. Tabel 6 memperlihatkan tingkat pertumbuhan ekspor ikan tuna beku
baik nilai maupun volume tahun 2009-2013 Tingkat pertumbuhan nilai ekspor pada
tahun 2010 mencapai 93.91%, hal ini juga berkaitan dengan pertumbuhan volume
ekspor pada tahun tersebut yang mencapai 74.29%. Akan tetapi, pada tahun 2013,
baik nilai maupun volume ekspor mengalami penurunan pada tingkat
pertumbuhannya.
Tabel 6 Perkembangan ekspor ikan tuna beku Indonesia tahun 2009-2013 ke
negara tujuan utama
Tahun Nilai ekspor
(000 USD)
Tingkat
Pertumbuhan (%)
Volume Ekspor
(Kg)
Tingkat
Pertumbuhan (%)
2009 54 401.36 0 42 115 439 0
2010 61 166.48 12.43557 35 152 128 -16.5339
2011 93 580.04 52.99237 45 466 840 29.34307
2012 181 469 93.91847 79 246 367 74.29486
2013 149 540 -17.5947 77 127 855 -2.67332
Sumber: UNCOMTRADE 2015 (diolah)
Ekspor Ikan Tuna Olahan (HS 1604.14)
Cakupan HS 6 digit untuk ekspor ikan tuna hanya HS 1600414. Berdasarkan
tabel 7, nilai ekspor ikan tuna olahan Indonesia selama tahun 2010-2012 mengalami
pertumbuhan positif yang meningkat setiap tahunnya, namun sama seperti kedua
komoditas tuna lainnya, pertumbuhan mengalami penurunan baik pada nilai ekspor
maupun volume sebesar minus 16.04% dan minus 10.11%.
20
Tabel 7 Perkembangan ekspor ikan tuna olahan Indonesia tahun 2009-2013 ke
negara tujuan utama
Tahun Nilai ekspor
(000 USD)
Tingkat
Pertumbuhan (%)
Volume Ekspor
(Kg)
Tingkat
Pertumbuhan (%)
2009 103 125.6 0 27 576 084 0
2010 106 813.4 3.576109 28 142 181 2.052855
2011 122 472.2 14.65991 25 706 945 -8.65333
2012 147 672.9 20.57666 26 540 699 3.243303
2013 123 985.5 -16.0405 23 855 641 -10.1168
Sumber: UNCOMTRADE 2015 (diolah)
Ekspor Ikan Tuna ke Negara Tujuan Utama
Neraca perdagangan komoditas ikan tuna Indonesia ke negara tujuan utama
menunjukkan perkembangan kinerja perdagangan yang cukup baik dalam beberapa
tahun terakhir. Hal ini membuktikan ikan tuna sebagai salah satu komoditi potensial
untuk mendorong neraca perdagangan nasional. Indonesia sebagai eksportir ikan
tuna terbesar kedua setelah Thailand, ditambah dengan potensi perairan yang luas
merupakan peluang besar sehingga kinerja ekspornya perlu terus dikembangkan.
Ilustrasi gambar 5 memperlihatkan tujuan ekspor utama ikan tuna Indonesia
pada tahun 2013 didominasi oleh Jepang dengan total nilai 151 223.6 juta USD,
diikuti oleh Thailand sebesar 102 744,769 USD, dan Amerika Serikat sebesar
73406.125 juta USD. Selama lima tahun terakhir, Jepang juga menjadi negara
tujuan utama yang mendominasi ekspor ikan tuna Indonesia. Hal ini disebabkan
karena konsumsi ikan yang tinggi di negara tersebut sehingga memiliki permintaan
impor ikan tuna yang besar.
Sumber: UNCOMTRADE 2015
Gambar 5 Nilai ekspor ikan tuna Indonesia ke negara tujuan utama tahun 2013 (000
USD)
Kinerja ekspor komoditi tuna ditunjukkan oleh neraca perdagangan ikan tuna
sepanjang 2009-2013 ke negara- negara tujuan utama (Lampiran 2). Hampir
keseluruhan neraca mengalami surplus kecuali pada tahun 2010 dan 2011 untuk
2911.653
151223.607
102744.769
73406.125
1389.451463.445 4832.31
China
Jepang
Thailand
Amerika Serikat
Korea Selatan
Singapura
Vietnam
21
negara China, dan pada tahun 2013 untuk tujuan Korea Selatan. Defisit neraca
perdagangan untuk negara tujuan Korea Selatan juga merupakan satu- satunya
defisit pada tahun 2013, sementara negara lain yakni China, Jepang, Thailand,
Amerika Serikat, Vietnam, dan Singapura mengalami surplus.
Defisit nilai ekspor ikan tuna untuk negara tujuan Korea Selatan pada tahun
2013 disebabkan karena adanya defisit pada komoditi ikan tuna beku sebesar 5.64
USD dan ikan tuna olahan sebesar 226.08 USD (Lampiran 3). Khusus untuk ikan
tuna olahan ke negara Korea Selatan terus mengalami defisit semenjak 2010 dan
angka ini terus meningkat, sehingga hal ini juga mempengaruhi pertumbuhan
ekspor tuna olahan yang mengalami penurunan. Pada tahun 2013, surplus terbesar
ikan tuna olahan yakni ke negara Jepang sebesar 43 674.69 USD. Jepang juga
merupakan negara tujuan yang menyumbang surplus terbesar untuk komoditi ikan
segar sebesar 66 390.6 USD. Sementara untuk komoditi ikan tuna beku yaitu ke
negara tujuan Thailand dengan nilai 68 933.8 USD.
Pemberlakuan Non Tariff Measures (NTM) pada Komoditi Ikan Tuna
Indonesia
Selama beberapa tahun terakhir, non tariff measures telah menjadi isu penting
dalam lingkup perdagangan internasional. Adanya kecenderungan perhatian
masyarakat mengenai kemanan sebuah produk dan serta proses yang erat kaitannya
dengan keberlanjutan lingkungan menjadi salah satu faktor diberlakukannya
kebijakan perdagangan internasional berupa NTMs dalam upaya peningkatan
kesejahteraan nasional.
Terdapat dua kebijakan NTMs yang paling banyak diberlakukan terutama
dalam subsektor perikanan, yakni Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical
Barrier to Trade (TBT). Tabel 8 memperlihatkan jumlah kebijakan SPS dan TBT
yang diberlakukan oleh negara tujuan utama ekspor tuna Indonesia selama tahun
2002-2013.
Tabel 8 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi ikan tuna
di negara tujuan utama tahun 2002- 2013
Negara Tujuan SPS TBT Total
China 51 3 54
Jepang 40 7 47
Amerika 15 66 81
Thailand 44 6 50
Korea Selatan 11 13 24
Vietnam 2 0 2
Singapura 0 0 0
Total 163 95 258 Sumber: WTO 2015
Pada tabel 8 dapat diketahui bahwa hampir semua negara tujuan ekspor
komoditi ikan tuna memberlakukan kebijakan SPS dan TBT kecuali Singapura.
Mayoritas negara tersebut memberlakukan kebijakan SPS dalam jumlah yang lebih
22
besar dibandingkan TBT. Hanya negara Amerika Serikat yang dominan
memberlakukan kebijakan TBT pada impor komoditi tuna.
Amerika Serikat juga merupakan negara tujuan utama yang paling banyak
memberlakukan NTMs, dengan total 81 kebijakan meliputi 15 kebijakan SPS dan
66 kebijakan TBT. Kebijakan TBT yang paling banyak diberlakukan oleh Amerika
Serikat yaitu standar pangan yang mencakup standar proses produksi sebanyak 28
kebijakan, serta pelabelan sebanyak 26 kebijakan. Negara dengan pemberlakuan
NTM terbanyak kedua adalah China dengan total 54 kebijakan. Pemberlakuan SPS
sebagian besar fokus pada kesehatan manusia dan standar nasional keamanan
pangan, sementara ketiga jumlah TBT semuanya diberlakukan untuk kebijakan
pelabelan. Thailand memberlakukan 44 kebijakan SPS dan 6 kebijakan TBT.
Sebanyak 38 dari 40 kebijakan SPS yang diterapkan berkaitan dengan standar
keamanan pangan nasional sekaligus kesehatan manusia. Jepang memberlakukan
47 kebijakan dengan SPS sejumlah 40 kebijakan. Hampir keseluruhan kebijakan
SPS yang diberlakukan mencakup aturan mengenai standar nasional keamanan
pangan, kesehatan manusia, dan maximum residue limits (MRLs).
Komposisi pemberlakuan SPS dan TBT pada negara tujuan utama ekspor
tuna Indonesia terdiri dari berbagai macam kebijakan. Kebijakan SPS yang paling
banyak diberlakukan yakni mengenai standar nasional keamanan pangan dan
kesehatan manusia, sementara untuk TBT umumnya mencakup kebijakan pelabelan.
Frequency index dan Coverage ratio
Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur besaran suatu NTM yang
diberlakukan oleh sebuah negara adalah dengan pendekatan inventory. Pendekatan
ini merupakan sebuah pengukuran sederhana dengan menggunakan dua indikator
yaitu frequency index dan coverage ratio. Frequency index digunakan untuk
menghitung ada atau tidaknya pemberlakuan NTM serta persentase dari produk
yang menggunakan satu atau lebih NTM. Sedangkan coverage ratio digunakan
untuk mengukur persentase dari subjek perdagangan yang terkena NTM pada
negara pengimpor (UNCTAD 2013).
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 6 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama
tahun 2009- 2013
0
20
40
60
80
100
China Jepang Thailand Amerika
Serikat
Korea
Selatan
Singapura Vietnam
0
69.14 71.82
97.75
0
100
0
100 100
0
98.58
0 00
100
0 00
82.46
100 99.96
0 0
Fre
quen
cy I
nd
ex S
PS
(%
)
Negara
2009
2010
2011
2012
2013
23
Ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama yang terkena SPS selama
2009- 2013 berdasarkan frequency index menunjukkan angka yang cukup tinggi,
yakni berkisar 69% hingga 100%. Gambar 6 menampilkan Jepang, Thailand, dan
Amerika Serikat yang konsisten memberlakukan kebijakan SPS pada komoditi tuna
selama lima tahun berturut- turut. Penggunaan SPS di Jepang pada tahun 2010
sebesar 69.14% dan terus meningkat hingga mencapai 82.46% pada tahun 2013.
Persentase pemberlakuan SPS untuk Thailand cenderung fluktuatif.
Penggunaannya mencapai 100% pada tahun 2010, kemudian turun ke angka
76.43%, dan pada 2013 kembali memberlakukan SPS hingga 100%. Pada negara
Amerika Serikat, penggunaan SPS mencapai 100% pada tahun 2010, dan berturut-
turut pada 2012 dan 2013. Sementara untuk Korea Selatan, nilainya berfluktuasi
tajam. Hal in diperlihatkan dari penggunaan yang tinggi pada 2009, 2011, dan 2013
sebesar 97.75%, 98.13%, dan 99.96% sangat kontras dengan tahun 2010 dan 2012
dimana tidak diberlakukan SPS sama sekali.
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 7 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama
tahun 2009- 2013
Gambar 7 memperlihatkan penggunaan TBT pada negara tujuan ekspor ikan
tuna Indonesia. Frequency index ekspor yang terkena TBT umumnya lebih rendah
dibandingkan dengan frequency index SPS. Thailand dan Amerika Serikat
merupakan dua negara tujuan yang konsisten memberlakukan TBT mulai tahun
2010 hingga 2013. Selama kurun waktu lima tahun, China hanya memberlakukan
TBT pada komoditi tuna selama dua tahun, yaitu sebesar 99.18 pada 2010 dan
menurun pada 2011 sebesar 98.58.
Penggunaan TBT tertinggi yakni pada negara Thailand tahun 2012 yang
mencapai 100%. Amerika Serikat, meskipun tidak memberlakuukan TBT sebanyak
SPS, namun frequency index menunjukkan angka yang terus meningkat dari
22.67% pada 2010 dan mencapai 31.45% pada 2013. Sementara itu, negara tujuan
lainnya seperti Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam tidak memberlakukan
kebijakan TBT pada komoditi tuna Indonesia.
0
20
40
60
80
100
China Jepang Thailand Amerika
Serikat
Korea
Selatan
Singapura Vietnam
0 0 0 0 0 0 0
99.12
0
23.1
0 0 00 0 0 00 0
100
31.14
0 0 00 0
12.58
31.45
0 0 0
Fre
quen
cy I
nd
ex T
BT
(%
)
Negara
2009
2010
2011
2012
2013
24
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 8 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama
tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
Komposisi penggunaan NTM berupa SPS pada tahun 2013 dengan melihat
nilai frequency index ditampilkan pada gambar 8. Berdasarkan gambar 8, terdapat
keseragaman nilai frequency index sebesar 100% untuk negara Jepang, Thailand,
Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Pada negara Thailand dan Amerika Serikat,
kebijakan SPS dikenakan pada ketiga jenis komoditi tuna, yakni tuna segar, tuna
beku, dan tuna olahan dengan nilai masing- masing frequency index mencapai
100%. Persentase ini juga berkaitan dengan angka frequency index total SPS untuk
komoditi ikan tuna pada tahun 2013 yang juga mencapai 100%. Frequency index
untuk negara Jepang dan Korea Selatan juga memiliki kesamaan karakteristik.
Keduanya memiliki frequency index sebesar 100% pada jenis tuna segar dan tuna
beku. Akan tetapi, meskipun memiliki keseragaman nilai frequency index pada dua
jenis komoditi, kedua negara ini memiliki nilai total frequency index SPS yang
berbeda.
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 9 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama
tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
0
20
40
60
80
100
China Jepang Thailand Amerika
Serikat
Korea
Selatan
Singapura Vietnam
0
100 100 100
0 00
100
0 00 0 0 0 0
Fre
quen
cy I
nd
ex S
PS
(%
)
Negara
Tuna Segar
Tuna Beku
Tuna Olahan
0
20
40
60
80
100
China Jepang Thailand Amerika
Serikat
Korea
Selatan
Singapura Vietnam
0 0 0
100
0 0 00 0 0 0 0 00 0
100
0 0 0 0
Fre
quen
cy I
nd
ex T
BT
(%
)
Negara
Tuna Segar
Tuna Beku
Tuna Olahan
25
Pada gambar 9, ditampilkan pula komposisi penggunaan NTM yakni TBT
pada tahun 2013. Berkaitan dengan gambar 7, dimana pada tahun 2013 hanya
Thailand dan Amerika Serikat yang memberlakukan kebijakan TBT, maka hanya
dua negara tersebut yang nilainya tertera pada gambar 7. Jepang hanya
menggunakan TBT untuk jenis tuna olahan, sedangkan Amerika memberlakukan
kebijakan TBT pada jenis tuna segar dan tuna beku.
Indikator lain yang digunakan dalam pedekatan inventory adalah coverage
ratio. Nilai coverage ratio yang semakin besar memperlihatkan besarnya cakupan
produk impor yang terkena dampak NTM di negara yang bersangkutan. Berbeda
dengan nilai frequency index SPS yang cenderung tinggi, coverage ratio ekspor
ikan tuna Indonesia ke negara tujuan utama memiliki nilai yang beragam.
Berdasarkan gambar 10, terdapat tiga negara yang konsisten
memberlakukan SPS selama 2009-2013, yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan
Thailand. Nilai coverage ratio Amerika Serikat tertinggi pada 2010 mencapai
65.24%. Akan tetapi nilai ini menurun menjadi 64.00% pada 2013. Pada 2012,
Thailand memiliki nilai sebesar 46.77% dan mengalami peningkatan pada 2013
sebesar 5.51% menjadi 52.28%. Korea Selatan hanya memberlakukan SPS pada
tahun 2009, 2011, dan 2013. Sedangkan China hanya memberlakukan kebijakan
SPS pada 2011 dengan nilai yang terhitung rendah yakni 2.19%.
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 10 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama
tahun 2009- 2013
Persentase cakupan komoditi tuna Indonesia yang terkena dampak TBT
sepanjang 2009-2013 disajikan pada gambar 11. Amerika Serikat memiliki
coverage ratio TBT sebesar 20.23% pada 2009, dan nilai ini terus mengalami
peningkatan hingga mencapai 28.86% pada 2013. Pada tahun 2012, Thailand
memiliki nilai coverage ratio yang sangat tinggi mencapai 44,81%. Hal ini
disebabkan karena nilai ekspor tuna ke Thailand pada tahun tersebut yang cukup
tinggi dibandingkan dengan tahun sebelum atau setelahnya. Sedangkan untuk
negara Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam tidak memberlakukan NTMs TBT
dalam kurun lima tahun tersebut.
0
10
20
30
40
50
60
70
China Jepang Thailand Amerika
Serikat
Korea
Selatan
Singapura Vietnam
26.92
0
23.94
58.39
65.24
0 02.19 0 00 0 00
52.28
44.21
64
13.07
0 0Co
ver
age
Rat
io S
PS
(%
)
Negara
2009
2010
2011
2012
2013
26
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 11 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama
tahun 2009- 2013
Adanya keragaman pada nilai coverage ratio SPS secara spesifik ditunjukkan
oleh gambar 12. Tuna beku merupakan jenis produk yang memiliki keragaman nilai
pada negara Jepang, Thailand, Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Penggunaan
SPS dengan cakupan terbanyak yakni negara Amerika Serikat dengan coverage
ratio mencapai 100% untuk jenis tuna segar dan tuna olahan, dan 42.45% untuk
tuna beku. Thailand juga memiliki coverage ratio mencapai 100% untuk jenis tuna
segar dan olahan, sementara nilai untuk tuna beku sebesar 34.72%. Jepang dan
Korea Selatan sama- sama tidak memberlakukan SPS pada jenis tuna olahan dan
memiliki cakupan hingga 100% untuk jenis tuna segar. Akan tetapi, keduanya
memiliki perbedaan coverage ratio pada jenis tuna beku dimana Jepang memiliki
persentase 43.25%, lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan yang hanya sebesar
11.13%. Perbedaan nilai ini juga didasarkan pada adanya perbedaan nilai impor
untuk jenis tuna beku pada kedua negara tersebut.
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 12 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama
tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
0
10
20
30
40
50
China Jepang Thailand Amerika
Serikat
Korea
Selatan
Singapura Vietnam
0 0 0 0 0 00 0 0 02.19
0
23.7
0 0 00
44.81
0 0 00 0
14.5
28.86
0 0 0Co
ver
age
Rat
io T
BT
(%
)
Negara
2009
2010
2011
2012
2013
0
20
40
60
80
100
China Jepang Thailand Amerika
Serikat
Korea
Selatan
Singapura Vietnam
0
100 100 100 100
0 00
43.25
12.13
0 00 0
100 100
0 0 0
Co
ver
age
Rat
io S
PS
(%
)
Negara
Tuna Segar
Tuna Beku
Tuna Olahan
27
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 13 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama
tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
Berdasarkan gambar- gambar yang telah disajikan dapat diketahui bahwa
selama kurun waktu 2009-2013, setiap negara tujuan ekspor memberlakukan NTMs
kecuali negara Singapura dan Belanda. Kebijakan SPS diberlakukan oleh hampir
semua negara tujuan tersebut, sementara kebijakan TBT hanya diberlakukan oleh
Thailand dan Amerika Serikat pada jenis produk tertentu. Selain itu, Amerika
Serikat juga merupakan negara dengan pemberlakuan NTMs tertinggi baik dalam
nilai frequency index maupun coverage ratio.
Tuna segar merupakan jenis yang paling banyak terkena NTMs, dengan
frequency index mencapai 100% pada semua negara tujuan yang memberlakukan
kebijakan SPS dan TBT. Sedangkan kelompok yang paling sedikit terkena NTMs
adalah jenis tuna olahan. Persentase frequency index memperlihatkan tingginya
frekuensi pemberlakuan NTMs di negara tujuan ekspor utama tuna Indonesia.
Berkaitan dengan itu, maka Indonesia dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas
dan daya saing komoditi tuna. Upaya ini perlu dilakukan dalam rangka memenuhi
kebijakan- kebijakan tersebut sehingga dapat bersaing dengan negara lain terutama
eksportir tuna dan memaksimalkan potensi ekspor ikan tuna Indonesia.
Dampak NTMs Pada Ekspor Komoditi Tuna Indonesia ke Negara Tujuan
Utama
Pada bagian ini dibahas mengenai dampak NTMs (SPS dan TBT) terhadap
kinerja ekspor komoditi ikan tuna Indonesia. Analisis dampak diawali dengan
pembahasan mengenai pengujian model gravity untuk menghasilkan model yang
layak dan estimasi yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator),
kemudian menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor tuna Indonesiia.
Tahap yang terakhir yakni menganalisis dampak SPS dan TBT sesuai dengan model
yang telah diperoleh.
0
20
40
60
80
100
China Jepang Thailand Amerika
Serikat
Korea
Selatan
Singapura Vietnam
0 0 0
100
0 0 00 0 0
42.45
0 0 00 0
100
0 0 0 0
Co
ver
age
Rat
io T
BT
(%
)
Negara
Tuna Segar
Tuna Beku
Tuna Olahan
28
Pengujian Model
Tahap awal metode data panel adalah mengestimasi model untuk
mendapatkan model yang dapat menjelaskan faktor- faktor yang memengaruhi
ekspor ikan tuna Indonesia. Estimasi dilakukan melalui tiga pendekatan model,
yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect
Model (REM). Penentuan model terbaik dilakukan melalui uji Chow dan uji
Hausman yang ditunjukkan oleh tabel 10.
Tabel 9 Hasil Uji Chow dan Hausman
Uji Model Terbaik Nilai Probabilitas Hasil Hipotesis
Uji Chow 0.0000 Tolak H0, maka FEM
Uji Hausman 0.0000 Tolak H0, maka FEM
Berdasarkan tabel 10, hasil uji Chow menunjukkan nilai probabilitas 0,0000
kurang dari taraf nyata 5% sehingga cukup bukti untuk melakukan penolakan H0.
Model FEM lebih baik digunakan daripada model PLS. Hasil estimasi uji Hausman
juga memiliki probabilitas 0,0000 yang kurang dari taraf nyata 5% sehingga cukup
bukti untuk menolak H0. Model FEM lebih baik digunakan dibandingkan model
REM. Adapun hasil estimasi dari pendekatan model FEM dapat dilihat pada tabel
11.
Tabel 10 Hasil estimasi model dampak SPS dan TBT
Variabel Koefisien Prob.
C 468.5537 0.0000
GDP perkapita 2.363025 0.0007*
Populasi -25.9055 0.0000*
Jarak Ekonomi -0.9882 0.0089*
Nilai Tukar riil 0.049087 0.8623
CR SPS 0.011215 0.0048*
CR TBT 0.015269 0.0136*
R-squared 0.989646
Prob(F-statistic) 0.000000
Keterangan: *)signifikan pada taraf nyata 5%
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 11, didapatkan nilai R-squared sebesar
98.9%. Nilai ini menunjukkan bahwa 98.9% perubahan nilai ekspor tuna Indonesia
dapat dijelaskan oleh variabel GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara
pengimpor, jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara pengimpor, coverage
ratio SPS, dan coverage ratio TBT, sedangkan sisanya sebesar 1.1% dijelaskan
oleh faktor lain diluar model.
Uji- F statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel eksogen secara
bersama- sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada taraf nyata 5%.
Hasil estimasi pada tabel 11 menunjukkan nilai probabilitas F-statistic sebesar
0.0000 kurang dari taraf nyata 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
setidaknya satu variabel eksogen yang berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor
tuna Indonesia.
29
Uji-t statistic digunakan untuk mengetahui apakan koefisien masing- masing
variabel eksogen memberikan pengaruh nyata terhadap variabel endogennya. Hasil
estimasi pada tabel 11 menunjukkan bawa variabel eksogen yakni GDP perkapita
negara pengimpor, populasi negara pengimpor, jarak ekonomi antara Indonesia
dengan negara pengimpor, coverage ratio SPS, dan coverage ratio TBT memiliki
nilai probabilitas kurang taraf nyata dari 5%. Hal ini berarti bahwa variabel eksogen
tersebut secara individu berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor tuna
Indonesia.
Uji normalitas (Lampiran 5) dilakukan untuk mendeteksi apakah error term
berdistribusi normal atau tidak, dilihat dari nilai probabilitas Jarque Bera yang lebih
besar dari taraf nyata 5%. Berdasarkan hasil estimasi nilai probabilitas Jarque Bera
sebesar 0.24 sehingga dapat disimpulkan bahwa error telah terdistribusi secara
normal dalam model.
Uji multikolinearitas (Lampiran 6) pada model menunjukkan bahwa nilai
korelasi parsial antar peubah eksogen lebih kecil dari 0.8 (Spearmen’s Rho
Correlation), atau nilai peubah eksogen tidak melebihi nilai R-squared, sehingga
dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas.
Statistik Durbin Watson pada lampiran 8 menunjukkan nilai 2.38. Nilai
tersebut terletak diantara 1.54 dan 2.46 yaitu pada daerah tidak ada autokorelasi
sehingga dapat disimpulkan model tidak mengandung gejala autokorelasi.
Pada lampiran 8, Sum Square Residual Weighted Statistics sebesar 2.83 lebih
kecil dibandingkan dengan Sum Square Residual Unweighted Statistics sebesar
3.52. Dengan demikian, model terindikasi masalah heteroskedastisitas sehingga
diberikan perlakuan cross section weighting dan coefficient of covariance white
cross section untuk mengatasinya.
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Komoditi Tuna Indonesia
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 11, diketahui bahwa terdapat beberapa
faktor yang berpengaruh nyata terhadap ekspor komoditi tuna Indonesia. Faktor-
faktor tersebut yakni GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor,
jarak ekonomi, dan NTMs berupa SPS dan TBT yang diukur dengan variabel
coverage ratio. Hasil model menunjukkan bahwa kebijakan SPS dan TBT yang
diberlakukan pada komoditi tuna berpengaruh positif pada ekspor tuna Indonesia.
Sedangkan variabel nilai tukar riil tidak berpengaruh nyata pada ekspor komoditi
tuna Indonesia.
GDP perkapita merepresentasikan ukuran daya beli masyarakat di suatu
negara terhadap barang dan jasa. Hasil estimasi menunjukkan variabel GDP
perkapita negara pengimpor berpengaruh signifikan terhadap taraf nyata 5% dengen
koefisien sebesar 2,363. Hal ini berarti bahwa peningkatan GDP perkapita negara
pengimpor sebesar 1% akan meningkatkan ekspor komoditi tuna Indonesia sebesar
2.363%, ceteris paribus. Berdasarkan teori ekonomi, maka GDP perkapita negara
pengimpor memiliki hubungan positif dengan perdagangan bilateral. Peningkatan
GDP perkapita negara pengimpor menyebabkan peningkatan peningkatan kapasitas
absorsi sehingga terjadi peningkatan impor. Hasil pada model sesuai dengan
hipotesis dan teori ekonomi tersebut.
Populasi negara pengimpor pada model berpengaruh signifikan pada taraf
nyata 5% dengan nilai koefisien yang negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa
penurunan 1% pada populasi negara pengimpor akan meningkatkan ekspor sebesar
30
25.9%, ceteris paribus. Kondisi ini berlawanan dengan hipotesis dan teori ekonomi
yang menjelaskan bahwa populasi negara pengimpor berpengaruh positif terhadap
ekspor komoditi tuna Indonesia. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sejalan
dengan Tilova (2013) yang memperoleh nilai populasi negara pengimpor signifikan
dengan koefisien yang negatif.
Ketidaksesuaian ini diduga karena komoditi ikan tuna lebih banyak
digunakan untuk bahan baku industri pengolahan dibandingkan dengan konsumsi
masyarakat secara langsung. Negara pengimpor yang sebagian besar merupakan
eksportir tuna olahan dengan pangsa besar seperti China, Vietnam, dan Thailand
mengolah tuna Indonesia untuk kemudian diekspor kembali ke negara lain. Selain
itu, adanya komoditi substitusi seperti ikan salmon juga diduga menjadi penyebab
koefisien negatif ini. Khusus bagi negara tujuan Jepang, terdapat pula dugaan
penurunan tingkat konsumsi sebagai akibat perubahan komposisi penduduk yang
lebih didominasi oleh usia dewasa dan lanjut usia. Hal ini memberikan pengaruh
besar bagi variabel populasi dalam penelitian karena posisi Jepang sebagai tujuan
ekspor tuna Indonesia yang paling besar selama kurun 2009-2013.
Jarak ekonomi mengindikasikan biaya ekspor (biaya transportasi) yang harus
dikeluarkan pada saat terjadi perdagangan. Hasil estimasi yang diperoleh
menunjukkan bahwa variabel jarak ekonomi berpengaruh signifikan pada taraf
nyata 5% dengan koefisien negatif sebesar 0.988. Nilai tersebut berarti bahwa
semakin jauh jarak Indonesia dengan negara tujuan ekspor sebesar 1%, maka akan
terjadi penurunan nilai ekspor komoditi tuna Indonesia sebesar 0.988%, ceteris
paribus. Nilai koefisien dengan tanda yang negatif tersebut sesuai dengan hipotesis
dan juga teori gravity dimana jarak mempengaruhi interaksi antara dua objek.
Semakin jauh jarak Indonesia dengan negara tujuan, maka semakin besar biaya
trasnportasi untuk perdagangan komoditi tuna Indonesia. Peningkatan pada biaya
transportasi kemudian akan menyebabkan penurunan nilai ekspor komoditi tuna
Indonesia ke negara tujuan utama.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap mata uang
negara pengimpor yang diteliti tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor komoditi
tuna Indonesia. Hasil ini sejalan dengan Dahar (2014) yang memperoleh nilai tukar
riil tidak signifikan dan berakibat tidak adanya pengaruh terhadap ekspor. Nilai
yang diperoleh pada model menunjukkan koefisien positif, namun memiliki
probabilitas yang lebih besar dari taraf nyata 5% sehingga tidak berpengaruh nyata
terhadap ekspor tuna Indonesia. Hal ini disebabkan karena negara tujuan utama
yang diteliti sebagian besar merupakan golongan negara high income. Pendapatan
yang tinggi menyebabkan daya beli masyarakat tidak terlalu terpengaruh oleh
fluktuasi nilai tukar.
Estimasi pada model menunjukkan hasil sesuai hipotesis awal penelitian yang
menyatakan bahwa kebijakan non tariff berpengaruh terhadap ekspor komoditi tuna
Indonesia. Dampak kebijakan NTMs pada model menggunakan pendekatan
coverage ratio SPS dan TBT. Variabel coverage ratio baik SPS maupun TBT pada
model menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5%. Keduanya menunjukkan
koefisien positif dengan nilai masing- masing sebesar 0.011 dan 0.015. Hal ini
berarti ketika terjadi peningkatan pada coverage ratio SPS dan TBT sebesar 1%,
maka akan menyebabkan peningkatan nilai ekspor tuna Indonesia sebesar 0.011%
dan 0.015%.
31
Analisis Dampak NTMs Pada Ekspor Komoditi Tuna Indonesia ke Negara
Tujuan Utama
Pemberlakuan NTMs pada suatu negara dilandasi oleh berbagai alasan baik
dari segi ekonomi, lingkungan, maupun kesehatan. Hal ini semata dilakukan
sebagai bentuk proteksi sehingga dapat menjamin taraf hidup masyarakat dan
berdampak pada peningkatan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan sebuah negara.
SPS dan TBT merupakan kebijakan impor yang paling banyak diberlakukan pada
berbagai sektor oleh negara- negara anggota WTO, tidak terkecuali Indonesia.
Pemberlakuan NTMs khususnya SPS dan TBT dilakukan sebagai tindakan
proteksi perdagangan pada suatu negara. SPS merupakan kebijakan yang
diaplikasikan untuk melindungi kehidupan manusia, hewan, atau tumbuhan, serta
kesehatan dan lingkungan. Sedangkan TBT diterapkan untuk menangani regulasi
teknis dan prosedur penilaian kesesuaian (UNCTAD 2013). Peraturan WTO
membolehkan pemberlakuan SPS dan TBT pada suatu negara jika didasari dengan
alasan penting berkaitan dengan perlindungan, kesehatan, dan keamanan baik untuk
manusia, hewan, tanaman, serta lingkungan hidup. Selain itu, kebijakan juga
diterapkan untuk peningkatan kualitas, pengemasan, pelabelan, dan standar suatu
produk.
Variabel coverage ratio SPS maupun TBT pada model menujukkan
pengaruh nyata pada taraf 5% dengan nilai masing- masing sebesar 0.011 dan 0.015.
Hal ini berarti bahwa kebijakan SPS dan TBT mempengaruhi nilai ekspor komoditi
tuna Indonesia meskipun memiliki nilai elastisitas yang kecil.
Koefisien positif pada dua variabel tersebut memperlihatkan bahwa ternyata
kebijakan SPS dan TBT tidak selalu memiliki dampak negatif pada perdagangan.
Hasil koefisien coverage ratio SPS yang positif sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Crivelli (2012). Dampak positif ini dapat dijelaskan oleh fakta
bahwa penerapan kebijakan SPS menyediakan informasi mengenai keamanan
produk pada konsumen. Jika kebijakan SPS lebih banyak berpengaruh pada
kepercayaan konsumen mengenai kualitas produk impor dibandingkan dengan
penambahan pada biaya perdagangan, maka akan meningkatkan pangsa pasar
produsen. Pangsa pasar yang meningkat ini kemudian akan berdampak pada
peningkatan volume perdagangan bagi para eksportir yang berhasil mengatasi biaya
tetap ketika memasuki pasar.
Koefisien positif pada TBT juga sejalan dengan penelitian Shah (2014).
Adanya regulasi teknis telah mendorong pertukaran barang dengan meningkatkan
kompatibilitas dan kegunaan produk. Selain itu, kebijakan TBT membantu
meningkatkan kesejahteraan konsumen melalui implementasi standar kemanan dan
keamanan pangan.
Studi yang dilakukan oleh Chen et al (2008) memberikan hasil bahwa
standar kualitas dan pelabelan memiliki dampak positif pada volume dan cakupan
ekspor, sementara prosedur sertifikasi memberikan dampak yang berlawanan.
Adanya dampak positif disebabkan karena peningkatan standar kualitas telah
mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan willingness to pay konsumen. Selain
itu, adanya standar juga memastikan kompabilitas sebuah produk dan mengurangi
kegagalan koordinasi antar produsen. Di lain sisi, adanya keperluan pengecekan
serta prosedur sertifikasi justru berpengaruh pada peningkatan biaya yang harus
ditanggung oleh produsen.
32
Pentingnya peran NTMs diketahui melalui dampak nyatanya terhadap
perdagangan internasional. Hasil model yang menunjukkan dampak positif pada
kedua kebijakan tersebut membuktikan bahwa Indonesia telah mampu untuk
memenuhi standar dan aturan yang diberlakukan oleh negara tujuan utama pada
impor tuna Indonesia. Hal ini diduga berkaitan dengan peranan asosiasi- asosiasi
perikanan tuna sebagai salah satu wadah dalam pengembangan industri tuna
Indonesia. Adanya organisasi-organisasi seperti ASTUIN, ATLI, dan AP2HI ini
telah berhasil menyediakan fasilitas (seperti armada dan unit-unit pasca
penangkapan ikan) dan modal yang mampu mendukung kemudahan akses bagi para
eksportir tuna, sehingga mampu untuk menekan biaya perdagangan yang
meningkat akibat pemenuhan standar sesuai ketentuan yang diberlakukan oleh
negara- negara pengimpor tuna Indonesia. Selain itu, peran aktif Indonesia dalam
berbagai asosiasi tuna internasional turut mempengaruhi kuatnya posisi tawar dan
pangsa pasar tuna pada perdagangan internasional sehingga mampu bersaing dan
unggul sebagai salah satu eksportir tuna terbesar di dunia.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah disajikan pada bagian sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Kinerja perdagangan ikan tuna Indonesia selama tahun 2009-2013
menunjukkan kondisi yang cukup baik, dilihat dari neraca perdagangan
Indonesia yang positif meskipun terjadi penurunan pada tahun 2013. Tuna
beku merupakan kelompok komoditi tuna yang paling banyak diekspor.
Arus ekspor komoditi terbesar adalah ke Jepang.
2. Non-tariff measures berupa sanitary and phitosanitary (SPS) dan technical
barrier to trade (TBT) yang dikenakan oleh negara tujuan utama
diberlakukan pada seluruh kelompok komoditi tuna. Berdasarkan nilai
coverage ratio dan frequency index, tuna segar menjadi kelompok komoditi
yang paling banyak terkena NTMs. Kebijakan NTMs yang lebih banyak
diberlakukan adalah SPS, dan Amerika Serikat merupakan negara tujuan
utama yang paling banyak memberlakukan NTMs (SPS dan TBT).
3. GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor, dan jarak
ekonomi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi ekspor tuna
Indonesia. Nilai tukar riil tidak memberikan pengaruh signifikan. SPS dan
TBT yang diukur dengan pendekatan coverage ratio memiliki pengaruh
nyata yang positif terhadap ekspor tuna Indonesia ke negara- negara tujuan
utama dengan koefisien masing- masing sebesar 0.011 dan 0.015.
Saran
Adanya pengaruh positif kebijakan SPS dan TBT pada komoditi tuna
membuktikan bahwa Indonesia sebagai pengekspor telah mampu memenuhi
33
persayaratan dan standar yang diberlakukan oleh negara partner dagang. Akan
tetapi, pemerintah perlu memberikan dukungan secara penuh kepada pelaku usaha
komoditi tuna untuk memaksimalkan potensi ekspor yang menurun pada tahuun
2013. Dukungan ini bisa diberikan melalui fasilitasi serta sosialisasi efektif untuk
meningkatkan mutu dan volume produksi tuna Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Apsari, Winanti. 2011. Analisis Permintaan Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia di
Pasar Internasional. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Bora B, Kuwahara A, Laird S. 2002. Quantification of Non-Tariff Measures: Policy
Issues In International Trade and Commodities. Geneva: UNCTAD.
Bratt, Michael. 2014. Estimating The Bilateral Impact of Non Tariff Measures
(NTMs). [Working Paper 2014]. Geneva: Universite de Geneve.
Cahya, Indry Nilam. 2010. Analisis Daya Saing Ikan Tuna Indonesia di Pasar
Internasional. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Cadot O, Malouche M, Saez S. 2012. Streamlining Non Tariff Measures: A Toolkit
for Policy Makers. Washington, D.C: The World Bank.
Carrere, Celine. 2009. Notes on Detecting The Effects of Non Tariff Measures.
Geneva: CERDI.
[CEPII] Centre d’Etudes Prospectives et d’Informations Internationales. Data jarak
geografis [internet]. [diunduh 2015 Maret 15]. Tersedia pada:
http://www.cepii.fr/distance/dist_cepii.zip
Criveli P, Groschl J. 2012. The Impact of Sanitary and Phytosanitary Measures on
Market Entry and Trade Flows. [Working Paper 2012]. Geneva: Universite de
Geneve.
Dahar, Darmiati. 2014. Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif Terhadap Kinerja
Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara- negara ASEAN +3. [Tesis]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Devadason, Evelyn S. 2011. Non Tariff Measures in ASEAN: Barriers to Intra-
Regional Trade?. Kuala Lumpur: University of Malaya.
Disdier A-C, Lionel F, Mondher M. 2007. The Impact of Regulations on
Agricultural Trade: Evidence From SPS and TBT Agreements. [Working Paper].
American Agricultural Economics Association. Doi: 10.1111/j.1467-
8276.2007.01127.x
Fassarella LM., Souza M.J.P., Burnquist H.L. 2011. Impact of Sanitary and
Technical Measures on Brazilian Exports of Poultry Meat. Pennsylvania:
Agricultural and Applied Economics Association.
Fontagne L., Mimouni M., Pasteels J-M. 2005. Estimating The Impact of
Environmental SPS and TBT on International Trade. Geneva: International
Trade Center (UNCTAD-WTO).
Fridhowati, Nila. 2013. Danpak Non Tariff Measures (NTM) ASEAN Terhadap
Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia. [Tesis]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Fugazza, Marco. 2013. The Economical Behind Non Tariff Measures: Theoritical
Insights and Empirical Evidence. Geneva: UNCTAD.
34
Gourdon, Julien. 2014. CEPII NTM- MAP: A Tool for Assesting The Economic
Impact of Non Tariff Measures. [Working Paper]. Paris: CEPII.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan Dalam
Angka 2013. [Buletin]. [diunduh 2015 Februari 22]. Tersedia pada:
http://www.statistik.kkp.go.id
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Statistik Ekspor Hasil
Perikanan Menurut Negara Tujuan 2012. [Buletin]. [diunduh 2015 Februari 22].
Tersedia pada: http://www.statistik.kkp.go.id
Natalia D., Nurozy. 2012. Kinerja Daya Saing Produk Perikanan Indonesia di Pasar
Global. Jakarta: Kementerian Perdagangan.
Rastikarany, Hikmah. 2008. Analisis Pengaruh Kebijakan Tarif dan Non Tarif Uni
Eropa Terhadap Ekspor Tuna Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Ed ke-5. Munandar H,
penerjemah; Sumiharti Y, editor. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari
International Economics, Ed ke-5.
Sari, Kartika Rahma. 2014. Daya Saing, Hambatan Non Tarif, dan Faktor- faktor
yang Memengaruhi Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor.
[Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Shah A, S.M. Ali. 2014. The Impact of Technical Barrier to Trade on Pakistan
Industry. Pakistan Science Journal Vol. 66. Pakistan.
Tilova, Reni. 2012. Analisis Faktor- Faktor yang Memengaruhi Permintaan Batu
Bara Indonesia di Empat Negara Tujuan Ekspor Terbesar. [Skripsi]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
[UNCTAD] United Nations Conference on Trade and Development. 2015. Data
populasi penduduk 2002- 2012 [internet]. [diunduh 2015 Januari 25]. Tersedia
pada: http://www.unctadstat.unctad.org
[WITS] World Integrated Trade Solution. 2015. Data Ekspor- Impor Ikan Tuna
Indonesia ke negara tujuan utama 2002- 2013 [internet]. [terhubung berkala].
Tersedia pada: http://www.wits.worldbank.org
[WTO] World Trade Organization. 2015. Data NTM komoditi tuna pada negara
tujuan utama [internet]. [terhubung berkala]. Tersedia pada: http://www.i-
tip.wto.org
[WORLDBANK]. 2015. Data IHK 2002- 2013 [internet]. [diunduh 2015 Januari
25]. Tersedia pada: http://www.data.worldbank.org
[WORLDBANK]. 2015. Data GDP Perkapita 2002- 2013 [internet]. [diunduh 2015
Januari 25]. Tersedia pada: http://www.data.worldbank.org
[WORLDBANK]. 2015. Data Nilai Tukar Nominal 2002- 2013 [internet]. [diunduh
2015 Januari 25]. Tersedia pada: http://www.data.worldbank.org
Yuniarti, Dini. 2007. Analisis Determinan Perdagangan Bilateral Indonesia
Pendekatan Gravity Model. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12. Yogyakarta:
Universitas Ahmad Dahlan.
35
LAMPIRAN
0302 Fish, fresh or chilled, excluding fish fillets and other fish meat
030231 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito
(Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes
Albacore or longfinned tunas (Thunnus alalunga)
030232 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito
(Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes
Yellowfin tunas (Thunnus albacares)
030233 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito
(Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes
Skipjack or stripe- bellied bonito
030239 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito
(Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes
Other
030240 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito
(Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes
Herrings (Clupea harengus, Clupea pallasii), excluding livers and
roes
030250 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito
(Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes Cod
(Gadus morhua, Gadus ogac, Gadus microcephalus), excluding
livers and roes
0303 Fish, frozen, excluding fish fillets and other fish meat
030341 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito
(Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes
Albacore or longfinned tunas (Thunnus alalunga)
030242 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito
(Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes
Yellowfin tunas (Thunnus albacares)
030243 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito
(Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes
Skipjack or stripe- bellied bonito
030349 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito
(Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes
Other
1604 Prepared or preserved fish; caviar and caviar substitues
prepared from fish eggs
160414 Fish, whole pr in pieces, but not minced Tunas, skipjack, and
bonito (Sarda spp)
Lampiran 1 Cakupan Kode HS Ikan Tuna
Lampiran 2 Cakupan Kode HS Ikan Tuna
36
Lampiran 3 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan utama
tahun 2009- 2013 (000 USD)
Negara Tujuan Tahun Ekspor Impor Neraca
Perdagangan
China 2009 2 411.01 1 388.99 1 022.01
2010 1 220.60 3 597.75 -2 377.16
2011 1 523.21 8 805.47 -7 282.26
2012 5 684.32 607.23 5 077.10
2013 2 911.65 0.00 2 911.65
Jepang 2009 130 813.28 6 762.34 124 050.94
2010 159 927.99 7 956.15 151 971.84
2011 174 059.81 17 701.44 156 358.37
2012 171 203.43 10 713.49 160 489.95
2013 151 223.61 5 125.99 146 097.62
Thailand 2009 24 783.09 3 563.49 21 219.60
2010 16 293.55 7 847.32 8 446.24
2011 36 618.83 6 194.48 30 424.35
2012 111 471.01 2 529.82 108 941.20
2013 102 744.77 1 149.06 101 595.71
Amerika Serikat 2009 71 382.85 748.86 70 633.99
2010 75 763.17 122.02 75 641.15
2011 71 519.46 740.91 70 778.55
2012 91 619.96 0.00 91 619.96
2013 73 406.13 106.40 73 299.73
Korea Selatan 2009 1 503.72 45.97 1 457.76
2010 2 103.69 158.71 1 944.98
2011 3 076.24 131.36 2 944.88
2012 5 181.82 154.05 5 027.78
2013 1 389.45 1 506.83 -1 17.38
Vietnam 2009 9 830.67 35.86 9 794.81
2010 8 940.72 85.68 8 855.04
2011 7 688.55 58.40 7 630.15
2012 7 704.51 91.52 7 612.99
2013 4 832.31 0.00 4 832.31
Singapura 2009 4 459.90 227.74 4 232.16
2010 4 409.24 63.18 4 346.07
2011 1 825.08 12.94 1 812.14
2012 1 534.37 0.01 1 534.36
2013 1 463.45 0.00 1 463.45 Sumber : UNCOMTRADE 2015 (diolah)
37
Lampiran 4 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan utama
berdasarkan kelompok komoditi tahun 2010- 2013 (000 USD)
Negara
Tujuan
Kelompok
Komoditi
Tahun
2009 2010 2011 2012 2013
China Segar 822.66 149.32 416.16 192.80 26.85
Beku 152.30 -2 474.57 -7 571.26 5 370.14 2 718.70
Olahan 47.05 -51.91 -127.15 -485.85 166.10
Jepang Segar 74 080.88 93 207.11 73 746.83 61 602.90 66 390.58
Beku 4 702.77 14 288.02 26 796.88 39 455.25 36 032.36
Olahan 4 5267.29 44 476.72 55 814.66 59 431.80 43 674.69
Thailand Segar 1 814.13 116.56 649.65 722.40 106.47
Beku 1 3417.48 -32.21 13 321.76 76 341.89 68 933.83
Olahan 5 987.99 8 361.89 16 452.94 31 876.90 32 555.42
Amerika Segar 7 984.85 5 778.36 6 249.27 5 037.28 2 653.45
Serikat Beku 16 104.15 17 660.02 18 740.34 37 249.05 30 342.20
Olahan 46 545 52 202.77 45 788.94 49 333.63 40 304.07
Korea Segar 757.07 347.75 174.58 371.39 114.35
Selatan Beku 695.121 1 627.48 2 736.85 4 788.86 -5.64
Olahan 5.56 -30.25 33.44 -132.47 -226.09
Vietnam Segar 4 712.36 1 135.87 2 179.38 1 543.81 95.26
Beku 4 929.42 7 352.57 5 426.67 5 822.56 4 737.05
Olahan 153.03 366.60 24.09 246.61 0
Singapura Segar 1 641.36 735.10 307.46 279.47 433.52
Beku 2 325.49 3 369.48 1 329.52 995.90 746.96
Olahan 265.30 241.48 175.15 258.98 282.95
Sumber: UNCOMTRADE 2015 (diolah)
Lampiran 5 Cross sections effect
CROSSID Effect
1 China 70.42180
2 Jepang 7.789999
3 Thailand -8.833161
4 Amerika Serikat 31.74261
5 Singapura -83.75004
6 Vietnam -1.488277
7 Korea Selatan -15.88294
38
Lampiran 6 Hasil uji normalitas
Lampiran 7 Hasil uji multikolinearitas
LN_GDPC LN_POP LN_EDIST LN_RER CR_SPS CR_TBT
LN_GDPC 1.000000 -0.189064 0.385210 -0.762787 0.520259 0.197933
LN_POP -0.189064 1.000000 0.727630 -0.044842 0.254420 0.165489
LN_EDIST 0.385210 0.727630 1.000000 -0.391253 0.589119 0.258836
LN_RER -0.762787 -0.044842 -0.391253 1.000000 -0.234286 -0.343277
CR_SPS 0.520259 0.254420 0.589119 -0.234286 1.000000 0.492881
CR_TBT 0.197933 0.165489 0.258836 -0.343277 0.492881 1.000000
Lampiran 8 Hasil uji heteroskedastisitas
Weighted Statistics
R-squared 0.989646 Mean dependent var 15.17451
Adjusted R-squared 0.983999 S.D. dependent var 10.30654
S.E. of regression 0.359009 Sum squared resid 2.835527
F-statistic 175.2399 Durbin-Watson stat 2.387804
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.966855 Mean dependent var 9.449890
Sum squared resid 3.522088 Durbin-Watson stat 2.470422
0
2
4
6
8
10
12
-0.6 -0.4 -0.2 -0.0 0.2 0.4 0.6
Series: Standardized Residuals
Sample 2009 2013
Observations 35
Mean -1.38e-15
Median 0.018326
Maximum 0.680095Minimum -0.636502
Std. Dev. 0.312517
Skewness -0.178171
Kurtosis 3.206735
Jarque-Bera 0.247506
Probability 0.883598
39
Lampiran 8 Penetapan Model Terbaik
Dependent Variable: LN_EX_VALUE
Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 04/09/15 Time: 15:54
Sample: 2009 2013
Periods included: 5
Cross-sections included: 7
Total panel (balanced) observations: 35
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 468.5537 51.80104 9.045256 0.0000
LN_GDPC 2.363025 0.595618 3.967351 0.0007
LN_POP -25.90553 3.073017 -8.429999 0.0000
LN_EDIST -0.988198 0.344470 -2.868747 0.0089
LN_RER 0.049087 0.279623 0.175549 0.8623
CR_SPS 0.011215 0.003573 3.139128 0.0048
CR_TBT 0.015269 0.005692 2.682679 0.0136
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.989646 Mean dependent var 15.17451
Adjusted R-squared 0.983999 S.D. dependent var 10.30654
S.E. of regression 0.359009 Sum squared resid 2.835527
F-statistic 175.2399 Durbin-Watson stat 2.387804
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.966855 Mean dependent var 9.449890
Sum squared resid 3.522088 Durbin-Watson stat 2.470422
40
A. Sanitary and Phytosanitary Measures
A1. Prohibitions/ restrictions of imports for SPS reasons
A11. Temporary geographic prohibitions for SPS reasons
A12. Geographical restrictions on eligibility
A13. Systems approach
A14. Special authorization requirement for SPS reasons
A15. Registration requirements for importers
A19. Prohibitions/ restrictions of imports for SPS reasons, not
elsewhere specified (n.e.s)
A2. Tolerance limits for residues and restricted use of substances
A21. Tolerance limits for residues of or contamination by certain (non-
microbiological) substances
A22. Restricted use of certain substances in foods and feeds and their
contact materials
A3. Labelling, marking, and packaging requirements
A31. Labelling requirements
A32. Marking requirements
A33. Packaging requirements
A4. Hygienic requirements
A41. Microbiological criteria of the final product
A42. Hygienic practices during production
A49. Hygienic requirements, n.e.s
A5. Treatment for elimination of plant and animal pests and disease-causing
organisms in the final product (e.g. post-harvest treatment)
A51. Cold/ heat treatment
A52. Irradiation
A53. Fumigation
A59. Treatment for elimination of pant and animal pests and disease-
causing organisms in the final product, n.e.s
A6. Other requirements on production or post-production process
A61. Plant-growth processes
A62. Animal-raising or catching processes
A63. Food and feed processing
A64. Storage and transport conditions
A69. Other requirements on production or post-production processes,
n.e.s
A8. Conformity assessment related to SPS
A81. Product registration requirement
A82. Testing requirement
A83. Certification requirement
A84. Inspection requirement
A85. Tracecability requirement
A851. Origin of materials and parts
A852. Processing history
A853. Distribution and location of products after delivery
A859. Traceability requirements, n.e.s
Lampiran 9 Klasifikasi SPS dan TBT
41
A86. Quarantine requirement
A89. Conformity assessment related to PS, n.e.s
B. Technical Barriers to Trade
B1. Prohibitons/ restrictions of imports for objectives set out I the TBT
agreement
B11. Prohibition for TBT reasons
B14. Authorization requirement for TBT reasons
B15. Registration requirement for TBT reasons
B19. Prohibitions/ restrictions of imports for objectives set out in the
TBT agreement, n.e.s
B2. Tolerance limits for residues and restricted use of substances
B21. Tolerance limits for residues of or contamination by certain
substances
B22. Restricted use of certain substances
B3. Labeling, marking, and packaging requirements
B31. Labelling requirements
B32. Marking requirements
B33. Packaging requirements
B4. Production or post-production requirements
B41. TBT regulations on production processes
B42. TBT regulations on transport and storage
B49. Production or post-production requirements, n.e.s
B6. Product identity requirement
B7. Product- quality or performance requirements
B8. Conformity assessment related to TBT
B81. Product registration requirement
B82. Testing requirement
B83. Certification requirement
B84. Inspection requirement
B85. Traceability information requirement
B851. Origin of materials and parts
B852. Processing history
B859. Traceability requirements, n.e.s
B89. Conformity assessment related to TBT, n.e.s
B9. TBT measures, n.e.s
42
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Oktavina Widya Kristriana, lahir di
Magelang pada tanggal 1 Oktober 1992. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara, dari pasangan Tri Imam H. dan Kristintien M. Penulis mengawali
pendidikan di TK YPI pada tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan sekolah
dasar selama enam tahun di SDN Jatinegara Kaum 01 Pagi Jakarta Timur. Pada
tahun 2005 hingga 2008, penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah
pertama di SMPN 92 Jakarta. Selanjutnya, penulis menempuh pendidikan sekolah
menengah atas di SMAN 12 Jakarta selama 2008 hingga 2011. Pada tahun 2011,
penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur undangan SNMPTN.
Selain mengikuti kegiatan akademik, penulis juga mengikuti berbagai
kegiatan non-akademik. Selama menempuh pendidikan di SMA penulis aktif
menjadi pengurus OSIS SMAN 12 sebagai anggota bidang Sastra, Seni, dan
Budaya selama periode 2008-2009 dan Bendahara Umum selama periode 2009-
2010. Selain itu, penulis juga menjadi pengurus ROHIS SMAN 12 selama dua
periode yaitu 2009-2010 sebagai Ketua Divisi Putri bidang Hubungan Masyarakat
dan Informasi Islam dan 2010-2011 sebagai anggota divisi INTEL. Setelah
menempuh pendidikan di bangku perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan jasa
sketsa dan karikatur. Selain itu, penulis juga memiliki beberapa prestasi selama
bangku kuliah. Penulis menjadi juara favorit lomba cerpen dan karyanya
dimasukkan ke dalam buku kompilasi cerpen SJFF 2012 oleh penerbit Matahari.
Pada tahun 2013- 2014, penulis mengikuti PKM-M dan berhasil lolos menjadi salah
satu peserta PIMNAS 27 pada tahun 2014.