i
ANALISIS FUNGSI, TEKSTUAL, DAN MUSIKAL TANGIS SIMATE SUATU
GENRE NYANYIAN RATAPAN DALAM KONTEKS KEMATIAN PADA
KEBUDAYAAN MASYARAKAT PAKPAK-DAIRI DI DESA SIOMPIN
ACEH SINGKIL
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H MARLIANA MANIK NIM: 060707022
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
ii
ANALISIS FUNGSI, TEKSTUAL, DAN MUSIKAL TANGIS SIMATE SUATU
GENRE NYANYIAN RATAPAN DALAM KONTEKS KEMATIAN PADA
KEBUDAYAAN MASYARAKAT PAKPAK-DAIRI DI DESA SIOMPIN
ACEH SINGKIL
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H MARLIANA MANIK NIM : 070707016 Pembimbing I, Pembimbing II, Drs. Setia Dermawn Purba, M.Si. Drs. Bebas Sembiring, M.Si. NIP 196512211991031001 NIP 195703131991031001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012
iii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah
satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP
Panitia Ujian: Tanda Tangan
1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
3.Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., Ph.D.
4.
5.
iv
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196512211991031001
v
ABSTRAKSI Skripsi ini berjudul “Analisis Tekstual dan Musikal Tangis Simate Pada
Masyarakat Pakpak”. Tangis si mate merupakan salah satu musik vokal (nyanyian) yang ada pada masyarakat Pakpak Nyanyian ini. disajikan oleh kaum wanita ketika ada salah satu anggota keluarga yang meningga dunia. Disajikan pada saat si mati tersebut masih berada di hadapan orang yang menangisi sebelum dikebumikan Dalam tulisan ini akan dibahas tentang bagaimana struktur tekstual dan musikal dari nyanyian tersebut serta makna teks yang terkandung dari nyanyian tersebut . Nyanyian ini sudah tidak ditemukan lagi pada masyarakat Pakpak, oleh karena itu penulis membuat rekonstruksi kembali dari nyanyian tersebut. Untuk memperoleh data atau informasi tentang nyanyian ini, maka penulis melakukan wawancara langsung dengan orang yang mengetahui tentang nyanyian tersebut.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur dan hormat penulis panjatkan kepada TuhanYesus Kristus,
yang senantiasa menyertai penulis hingga saat ini bahkan selama penyelesaian tulisan
ini. Semoga Tuhan juga memberikan rahmat-Nya kepada semua makhluk di seluruh
dunia ini, terutama kepada keluarga besar Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara di Medan.
Skripsi ini berjudul “Analisis Fungsi, Tekstual, dan Musikal Tangis Simate
Suatu Genre Nyanyian Ratapan dalam Konteks Kematian pada Masyarakat
Pakpak-Dairi di Desa Siompin, Aceh Singkil.” Skripsi ini merupakan suatu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn.) di Departemen (Program Studi)
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tulisan
ini. Oleh karena itu, terlebih dahulu penulis minta maaf kepada para pembaca dan dapat
memakluminya.
Dalam proses penyelesaian tulisan ini, banyak pihak yang telah membantu dan
mendukung penulis baik dalam bentuk doa, semangat serta materi agar proses
penyelesaian serta hal-hal yang dibutuhkan dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian tulisan ini.
1. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
ayahanda J. Manik dan almarhumah ibunda tercinta R. Boang Menalu atas cinta,
kasih sayang, motivasi dan doa-doa yang tiada henti kepada penulis serta
kebutuhan-kebutuhan yang telah dipenuhi selama proses penyelesaian tulisan
ini. Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayah dan ibu sebagai hadiah yang
vii
membuat mereka bangga. Ibu, walaupun ibu sudah tiada, tetapi penulis tidak
akan pernah lupa akan kasih sayangmu mulai dari kecil hingga penulis bisa
menyelesaikan tulisan ini. Ayah, terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis
ucapkan atas segala doa, semangat dan kebutuhan-kebutuhan yang engkau
penuhi kepada penulis. Biarlah Tuhan yang memberkati ayah selalu. Aku sayang
ayah dan ibu.
2. Kepada kakak dan abang tercinta Mersinatap Manik beserta suami, Pdt. E.
Manik, S.Th. beserta istr; Merita Manik S.PAK, dan Mariati Rusmianna Manik,
S.E. Terimakasih atas semangat, dukungan, arahan, motivasi, serta doa-doanya
kepada penulis. Mereka adalah orang-orang yang juga selalu memberikan
semangat dan doa kepada penulis. Ketika penulis mengalami saat-saat sulit,
kalian selalu ada dan memberikan semangat untuk penulis. Terimakasih abang
dan kakak, biarlah kiranya Tuhan selalu memberkati kalian. Aku sayang kalian.
3. Kepada Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., selaku dosen pembimbing I
yang telah sabar dalam membimbing penulis, memberikan arahan, ilmu, serta
saran-saran kepada penulis hingga tulisan ini bisa selesai. Biarlah Tuhan yang
memberkati bapak selalu.
4. Kepada Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D., selaku ketua
departemen etnomusikologi sekaligus dosen pembinmbing II yang telah banyak
membimbing dan memberikan arahan selama proses penyelesaian tulisan ini.
Kiranya Tuhan yang memberkati bapak selalu.
5. Kepada bapak/ibu dosen Departemen Etnomusikologi yang telah memberikan
ilmu kepada penulis selama di bangku perkuliahan. Terimakasih bapak dan ibu,
kiranya Tuhan yang memberkati bapak dan ibu selalu.
viii
6. Kepada staf/pegawai departemen etnomusikologi yang telah membantu proses
administrasi penulis hingga bisa selesai dengan baik.
7. Kepada teman-teman setambuk 2008 yang penulis kasihi dan sayangi
(Yudhistira Siahaan, S.Sn.; Brian Harefa, S.Sn.; Augusman Tafanao, S.Sn.;
Andro Hutabarat, S.Sn.; Pardon Simbolon, S.Sn.; Marini Sinaga, S.Sn.; Sandro
Batubara, S.Sn.; Sudarsono Malau, Medina Hutasoit, Daniel Sianturi, Daniel
Zai, Mario King, dan Nielson Sihombing. Terimakasih buat setiap kebaikan,
perhatian, semangat dan pertolongan yang diberikan kepada penulis. Bahkan
ketika penulis mengalami musibah, kalian ada untuk memberikan semangat dan
pertolongan untuk penulis. Terimakasih juga buat setiap hal yang boleh kita lalui
di sepanjang masa perkuliahan. Kiranya persahabatan kita tetap terjalin baik dan
kita akan menjadi orang-orang yang sukses.
8. Kepada adik-adik rohani penulis (Rinova S dan Nova Op.s) yang memberikan
semangat, motivasi dan doa-doa kepada penulis. Terimakasih buat senyum dan
keceriaan kalian yang membuat penulis menjadi semangat. Aku sayang kalian.
9. Kepada kakak rohani penulis (Inta Hasugian, S.Sn.) yang telah memberikan
semangat, motivasi, doa serta saran-saran kepada penulis. Kepada Rina
Simanjuntak, S.Sn. dan Chrismes Manik yang juga telah banyak membantu
penulis. Terimakasih buat pinjaman laptopnya pada saat penulis
membutuhkannya. Begitu juga kepada seluruh alumni, senior dan junior, dan
pihak-pihak yang telah membantu yang tidak penulis sebutkan satu-persatu.
Biaralah Tuhan yang memberkati kalian selalu.
ix
Akhir kata, kiranya tulisan ini bermanfaat bagi setiap pembaca. Njuah-njuah
banta karina.
Medan, Maret 2013
Penulis,
Marliana Manik
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dalam rangka menjalani kehidupannya di dunia ini,
menghasilkan dan berdasarkan kepada kebudayaan. Budaya ini menjadi identitas
seseorang dan sekelompok orang yang menggunakan dan memilikinya.
Kebudayaan tersebut muncul untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam rangka
menjaga kesinambungan generasi yang diturunkan. Kebudayaan ini memainkan
peran penting terhadap perilaku manusia dan benda-benda hasil kreativitas
mereka. Kebudayaan juga mengatur siklus atau daur hidup manusia sejak dari
janin, lahir, anak-anak, pubertas, dewasa, tua, sampai meninggal dunia. Demikian
juga yang terjadi di dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi,1 yang wilayah
kebudayaannya mencakup Provinsi Sumatera Utara dan Aceh.
Salah satu ekspresi kebudayaan adalah kesenian. Dalam kebudayaan
masyarakat Pakpak-Dairi dikenal berbagai jenis seni, seperti seni rupa, musik
(genderang), tari (tatak), dan seterusnya. Mereka memiliki musik vokal yang
disebut ende, yang terdiri dari beberapa jenis, seperti ende mendedah (menidurkan
1Istilah Pakpak dan Dairi biasanya dalam konteks kajian kebudayaan di Sumatera Utara
adalah menyatu dan saling berkait. Ini merujuk kepada dua komunitas yang membentu satu kesatuan etnik, yaitu Pakpak dan Dairi. Bagi mereka Pakpak adalah sebuah komunitas dengan ciri khas dan garis keturunan tersendiri, demikian pula Dairi juga adalah sebuah komunitas dengan ciri khas dan garis keturunan yang tersendiri pula, namun secara budaya kedua komunitas ini sadar akan ber bagai kesamaan. Oleh karenma itu pembahasan mengenai identitas Pakpak selalu dikaitakn dengan dairi atau sebaliknya. Bahkan dengan melihat keberadaan kebudayaan mereka bisa juga dikatakan ada sejumlah besar persamaan antara Pakpak dan Dairi yang mencakup bahasa, teknologi, organisasi, adat, filsafat hidup, dan lain-lainnya Dalam kajian ilmu-ilmu budaya istilah ini ditulis dengan menyertakan tanda hubung (-) , yaitu Pakpak-Dairi yang maknanya adalah sebagai satu kesatuan etnik atau komunitas.
2
anak), ende markemenjen (nyanyian sambil menyadap kemenyan), nangen
(nyanyian yang bertemakan dongeng), tangis simate, dan lain-lainnya.
Tangis simate adalah nyanyian ratapan yang disajikan ketika adanya
kematian di dalam kebudayaan Pakpak-Dairi. Nyanyian ini adalah berupa ekspresi
kesedihan kerabat dan segenap orang yang ditinggalkan orang yang telah
meninggal dunia tersebut. Teks yang disajikan merupakan ungkapan perasaan dari
si penyaji, yang strukturnya menggunakan unsur-unsur pantun tradisional Pakpak-
Dairi, yang dio dalamnya ada bait yang umumnya tersdiri dari empat baris, juga
ada sampiran, isi, rima (persajakan), serta yang tidak kalahpentingnya unsur
musikal dalam penyajiannya.
Oleh karena itu, kata-kata yang diucapkan tidak boleh sembarangan
atau tidak seperti bahasa sehari-hari tetapi ada aturan tersendiri dalam
penyampaian kata-kata tersebut. Misalnya, jika yang meninggal adalah seorang
ibu, maka pada waktu anaknya menangisinya, maka ia tidak boleh langsung
menggunakan kata ibu, tetapi diganti dengan kata inang ni beruna. Jika yang
meninggal adalah seorang anak perempuan (bahasa Pakpak: berru) maka ketika
ibunya menangisinya kata berru diganti dengan tendi ni inangna. Dengan
demikian, ada aturan-aturan tertentu dalam penyampaian kata-kata. Sedangkan
untuk irama, ada suatu dinamika (tinggi rendah) dalam menyanyikannya pada
setiap kata-kata tertentu.
Mengingat pentingnya tangis simate ini, maka dahulu seorang gadis
disarankan untuk belajar menyajikan nyanyian ini kepada orang yang pandai
menyajikannya. Biasanya kepada kaum ibu-ibu yang sudah lanjut usia. Tujuannya
3
adalah untuk melestarikan kebudayaan dan sebagai sarana ekspresi nilai-nilai
yang dipegang teguh oleh oramg Pakpak-Dairi.
Dalam tradisi Pakpak-Dairi, setiap orang khususnya keluarga dekat yang
melayat wajib menangisi orang yang meninggal tersebut dengan gaya tangis
simate sebagai tanda bahwa mereka juga turut berduka atas sepeninggal si mati
tersebut. Jika orang yang melayat tersebut tidak menyajikan tangis simate ini,
maka mereka dianggap tidak ikut bersedih atau merasakan dukacita atas
sepeninggal si mati tersebut. Hal ini merupakan suatu tradisi pada masyarakat
Pakpak ketika melayat.
Tangis simate ini juga bisa dikatakan sebagai sarana komunikasi untuk
memberitahukan atau sebagai tanda bahwa ada orang yang meninggal dunia
terhadap orang-orang di sekitarnya. Dengan mendengar tangis tersebut, maka
secara otomatis orang-orang di sekitarnya akan mengetahui bahwa ada orang yang
meninggal di sekitarnya.
Dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi tangis simate ini tidak
pernah disajikan oleh kaum pria. Hal ini memang tidak pernah berlaku pada
masyarakat itu sendiri. Untuk menyajikan tangis simate ini memang merupakan
tugas dari kaum wanita. Menurut penjelasan para informan tidak pernah
ditemukan kaum pria yang menyajikan tangis simate tersebut, karena merupakan
hal yang dianggap tabu bagi masyarakat Pakpak jika ada kaum pria yang
menyajikan tangis simate ini. Laki-laki yang menangis dengan gaya tangis simate
tersebut akan dianggap sebagai laki-laki yang lemah.
Pada awalnya penulis berpikir bahwa teks atau lirik yang diungkapkan
penyaji pada waktu menangisi orang yang meninggal tersebut hanya berkisar
4
tentang orang yang meninggal tersebut saja, misalnya kelebihan-kelebihannya,
sifat-sifatnya, serta pengalaman selama bersama orang yang meninggal tersebut.
Namun setelah dikaji lebih mendalam, dalam kenyataannya setelah meneliti lebih
lanjut ternyata teks yang diungkapkan penyaji tidak hanya itu saja, melainkan
bercerita tentang pengalaman atau penderitaan yang dialami orang yang menangis
tersebut. Pada waktu menangisi orang yang meninggal tersebut, maka penyaji
mengungkapkan segala keluh kesah di dalam kehidupannya. Dalam hal ini ada
istilah: “Pande mang ngo ko keppe memukai sindanggelku.” Artinya: “Kamu
membuka atau mengingatkan kembali tentang penderitaanku.” Jadi, melalui
tangis tersebut si penyaji teringat kembali tentang pengalaman hidupnya, terutama
penderitaan-penderitaan yang dialami serta diungkapkan melalui tangis tersebut.
Semua keluh kesah akan diungkapkan melalui tangis tersebut terutama
penderitaan yang dialami dalam kehidupannya. Bahkan anggota keluarga yang
sudah terlebih dahulu meninggal dunia dalam waktu yang sudah begitu lama
diceritakan atau dikenang kembali sehingga tangis tersebut dapat berlangsung
lama. Dengan demikian, tangis simate tersebut bisa dikatakan sebagai media
untuk mengungkapan perasaan atau isi hati si penyaji tentang penderitaan yang
dialami dalam hidupnya.
Dalam penyajiannya, tangis simate ini bisa berlangsung selama dua hari
dua malam tanpa berhenti, dengan penyaji yang bisa silih berganti. Si penyaji
terus-menerus menangis di hadapan orang yang meninggal tersebut. Tidak begitu
peduli lagi dengan aktivitas lain, seperti makan, tidur dan aktivitas lainnya. Si
penyaji merasa puas ketika mengungkapkan perasaannya melalui tangis tersebut.
Rasa lapar, ngantuk, lelah tidak dirasakannya lagi ketika sedang menangis padahal
5
dia sudah menangis dalam waktu yang cukup lama. Si penyaji terlarut dengan
duka yang mendalam dan terus mengungkapkan perasaan yang ada dalam hatinya.
Teks yang diungkapkan mengalir secara spontan. Dengan menyajikan tangis
simate tersebut, maka si penyaji merasa puas karena sudah mengungkapkan
perasaan yang ada dalam hatinya.2
Dengan melihat fakta sosial dan budaya seperti diurai di atas, maka dalam
tulisan ini penulis akan membahas tentang keberadaan tangis simate dari tiga
sudut pandang utama yaitu: (a) fungsi, (b) tekstual, dan (c) musikal, yang
merupakan salah satu musik vokal yang terdapat pada masyarakat Pakpak-Dairi di
Desa Siompin, Aceh Singkil, yang disajikan dalam konteks kematian. Tangis
simate adalah nyanyian ratapan kaum wanita ketika salah seorang keluarga
meninggal dunia. Disajikan pada saat si mati tersebut masih berada di hadapan
orang yang menangis sebelum dikebumikan. Teks nya berisi hal-hal perilaku yang
paling berkesan dari si mati semasa hidupnya, kebaikan dan kelebihan-
kelebihannya, serta kemungkinan kesukaran hidup yang akan dihadapi keluarga,
sepeninggal orang yang meninggal tersebut. Melalui tangis ini pula, orang-orang
yang melayat dapat lebih mengetahui dan mengenal sifat-sifat dari orang yang
meninggal tersebut. Melalui tangis ini para pelayat akan dibawa ke dalam suasana
duka yang mendalam melalui teknik atau gaya menangis sehingga dengan
demikian pelayat akan bersatu ke dalam suatu perasaan duka yang mendalam.
Tangis simate adalah nyanyian logogenik yang mengutamakan teks daripada
2Wawancara dengan Ibu Baniah br Boang Menalu, Januari 2012 di desa Siompin, Aceh
Singkil. Dengan melihat uraian dari ibu teersebut menggambarkan kepada kita bahwa menyajikan tangis simate adalah sebuah aktivitas total dari penyajinya yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan. Ini juga memberikan gambaran tentang begitu pentingnya keberadaan tangis simate di dalam kebudayaan Pakpak-Dairi.
6
melodi. Disajikan secara strofik, yaitu teksnya berubah-ubah tetapi melodinya
sama atau hampir sama (Naiborhu, 2004:150).
Sesuai dengan perjalanan waktu dalam konteks kebudayaan Pakpak, maka
institusi adat tangis simate ini, mengalami perubahan-perubahan. Di antara
penyebab perubahan itu adalah zaman, juga agama yang datang ke dalam
kehidupan masyarakat Pakpak-Dairi. Jika melihat keberadaannya saat ini,
nyanyian ini mengalami penurunan pembelajarannya kepada generasi muda.
Menurut hasil wawancara, hal ini disebabkan karena faktor agama. Menurut
masyarakat Pakpak itu sendiri, tangis tersebut bertentangan dengan agama.
Adanya ungkapan kesedihan yang berlebihan terhadap orang yang meninggal
tersebut, terkesan seperti tidak menerima kenyataan. Sedangkan menurut konsep
agama, setiap manusia pasti akan kembali kepada Sang Pencipta. Walaupun
secara agama “dilarang,” namun secara kultural tetap dilaksanakan dan menjadi
suatu kebiasaan atau tradisi yang turun-temurun dilaksanakan.
Di dalam tulisan Lothar Screiner dikatakan bagaimana hubungan adat dan
agama. Segala sesuatu yang mempunyai kebiasaan, baik golongan maupun
perorangan, itu mempunyai suatu adat. Juga kecenderungan-kecenderungan yang
merupakan kebiasaan yang tidak disadari, bahkan naluri-naluri, orang sebutkan
sebagai adat. Oleh karena itu, adat merangkum semua lapangan kehidupan,
agama, dan peradilan, hubungan-hubungan keluarga, kehidupan, dan kematian.
Walaupun secara agama “dilarang,” namun secara kultural tetap dilaksanakan.
Adat dan agama janganlah dianggap sebagai dua hal yang berdiri satu di samping
yang lain dan saling terikat. Selain itu, jangan pula orang menganggap bahwa
agama berada di atas adat. Tetapi adat itu harus dipahami sebagai keberagaman
7
totaliter dari manusia yang diliputi oleh tradisi mitisnya. Sifat khas keberagaman
ini terdapat dalam dijaminnya keselamatan melalui kesetiaan yang kokoh kepada
apa yang orang anut. Adat bukanlah agama itu sendiri, melainkan pelaksanaannya
secara menyeluruh, yang diperlukan untuk memberlakukan peristiwa keselamatan
dari zaman purbakala.
Selain faktor agama, faktor lain yang menyebabkan memudarnya nyanyian
ini adalah masyarakat Pakpak yang menganggap hal tersebut merupakan tradisi
yang tidak perlu lagi dilestariakan, seiring dengan perkembangan zaman yang
sudah semakin maju, maka nyanyian ini, tidak mendapat perhatian lagi.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka penulis tertarik untuk
meneliti lebih lanjut dalam bentuk karya ilmiah dengan pendekatan
etnomusikologis. Etnomusikologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji musik dalam
kebudayaan. Etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, dengan
terang-terangan dinyatakan oleh para ilmuwannya berada dalam dua kelompok
disiplin besar, yaitu ilmu humaniora dan ilmu sosial sekali gus. Etnomusikologi
memberikan kontribusi keunikannya dalam hubungannya bersama aspek-aspek
ilmu pengetahuan sosial dan aspek-aspek ilmu humaniora, dalam caranya untuk
melengkapi satu dengan lainnya, mengisi penuh kedua pengetahuan itu.
Keduanya akan dianggap sebagai hasil akhir darinya sendiri; keduanya
dipertemukan menjadi pengetahuan yang lebih luas di dalam etnomusikologi
(Merriam, 1964).
Berdasarkan sejarah perkembangan etnomusikologi di dalam dunia ilmu
pengetahuan, terjadi gabungan dua disiplin yaitu musikologi dan etnologi.
Musikologi selalu digunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang
8
mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri. Di lain sisi, etnologi (atau kini
menjadi antropologi) memandang musik sebagai bahagian dari fungsi
kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia
yang lebih luas. Secara tegas tentang apa itu etnomusikologi dinyatakan oleh
Merriam sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4). Berdasarkan kutipan yang penulis kutip langsung pada paragraf di atas,
maka menurut Merriam, para pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya
sendiri kepada pembahagian bidang kajian ilmu. Oleh karena itu, selalu dilakukan
percampuran dua bagian keilmuan, yaitu musikologi dan etnologi. Kemudian
tentu saja akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar
dalam rangka mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan
9
penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin
tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur
yang dihasilkannya. Seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara
musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk
memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi kebudayaan manusia,
dan sebagai bahagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini. Pada saat
yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh pakar antropologi
Amerika, yang cenderung untuk mengandaikan kembali suatu aura reaksi
terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai
dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini,
penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur
komponen suara musik sebagai suatu bahagian dari permainan musik dalam
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan
manusia yang lebih luas. Dengan demikian meneliti tangis simate sebagai musik
vokal yang berkaitan dengan sistem religi tradisional dan kosmologi di dalam
kebudayaan pakpak-Dairi sangatlah relevan dengan disiplin etnomusikologi.
Sesuai dengan uraian Merriam, maka mengkaji tangis simate haruslah dalam
dimensi musikologis (struktural) dan etnologi (fungsional).
Dengan demikian kajian ini akan melihat bagaimana fungsi, struktur teks,
dan musikal yang disajikan dalam tangis simate sehingga nyanyian tersebut
dapat mempengaruhi atau membawa orang lain larut dalam suasana duka yang
mendalam. Maka penulis meneliti lebih lanjut dan membuat ke dalam bentuk
karya ilmiah dengan judul “Analisis Fungsi, Tekstual, dan Musikal Tangis
Simate Suatu Genre Nyanyian Ratapan dalam Konteks Kematian pada
10
Masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin, Aceh Singkil.” Kiranya tulisan ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan tentang kebudayaan
yang terdapat pada masyarakat Pakpak-Dairi.
1.2 Pokok Permasalahan
Sesuai dengan judul skripsi ini dan juga fokus perhatian kepada masalah
yang akan diteliti, maka penulis menentukan tiga pokok masalah (atau pertanyaan
masalah), yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana fungsi tangis simate dalam kebudayaan masyarakat
Pakpak-Dairi di Desa Siompil Aceh Singkil?
2. Bagaimana struktur dan makna tekstual yang terkandung dalam tangis
simate dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin
Aceh Singkil?
3. Bagaimana struktur musikal yang terkandung di dalam tangis simate
dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin Aceh
Singkil?
Pokok masalah pertama, yaitu mengenai fungsi akan didukung oleh
analisis terhadap fungsi tangis simate sebagai musik vokal dalam kebudayaan
masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin Aceh Singkil. Pokok permasalahan ini
juga akan diurai melalui dua perangkat penting dalam etnomusikologi yaitu
penggunaan dan fungsi musik (dalam hal ini tangis simate). Pokok masalah kedua
yaitu tentang struktur dan makna tekstual akan diurai dengan bagaiman bentuk
struktur tangis simate yang mencakup bait, baris, persajakan (rima), diksi
(pemilihan kata), gaya bahasa, dan hal-hal sejenis. Pokok masalah kedua ini juga
11
akan dijabarkan dengan sejauh apa makna-makna yang terdapat dalam lirik tangis
simate dengan pendekatan kajian kebudayaan. Kemudian untuk pokok masalah
ketiga yaitu bagaimana struktur musikal tangis simate dalam kebudayaan
masyarakat Pakpak-dairi di Desa Siompin Aceh Singkil akan diurai dengan unsur
utamanya yaitu melodi yang mencakup tangga nada, wilayah nada, nada dasar,
formula melodi, nada-nada yang digunakan, distribusi interval, pola-pola kadensa,
dan kontur. Dengan fokus pada tiga pokok masalah dan unsur-unsur yang akan
dikaji, maka diharapkan dalam penelitian ini akan ditemukan hal-hal baru dalam
konteks penelitian etnomusikologis.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapaun tujuan yang ingin penulis capai dalam rangka penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana fungsi tangis simate
dalam kebudayaan masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin Aceh
Singkil.
2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur dan makna
tekstual yang terdapat pada nyanyian tangis simate dalam kebudayaan
masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin Aceh Singkil.
3. Untuk mengetahui dan memahami struktur musikal yang terkandung di
dalam nyanyian tangis simate tersebut pada masyarakat Pakpak-Dairi
di Desa Siompin, Aceh Singkil.
Secara umum tujuan akhir dalam penelitian ini adalah dengan mengetahui
dan memahami fungsi, struktur dan makna tekstual, dan struktur musikal tangis
12
simate dalam kebudayaan pakpak-Dairi di Desa Siompin Aceh Singkil adalah
memahami manusia Pakpak-Dairi yang memiliki budaya tangis simate
sedemikian rupa. Secara etnomusikologi, tujuan akhir menganalisis musik adalah
memahami manusia yang menghasilkan musik sedemikian rupa itu (lebih jauh
lihat Merriam 1964).
1.4 Manfaat Penelitian
Sebagai usaha untuk memperluas informasi mengenai kebudayaan Pakpak,
peneliatian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut:
a. Sarana untuk memperluas pengetahuan tentang tangis simate terhadap
kesenian Pakpak-Dairi.
b. Bermanfaat bagi pembaca khususnya yang bergelut di bidang disiplin
ilmu etnomusikologi.
c. Sebagai bahan pendokumentasian terhadap kesenian tradisional
Pakpak-Dairi.
d. Sebagai data etnografi yang akan memperkaya khasanah keilmuan
tentang budaya Pakpak-Dairi.
1.5 Konsep
Tangis simate adalah salah satu nyanyian atau musik vokal yang terdapat
pada masyarakat Pakpak yang disajikan dalam konteks kematian. Tangis artinya
tangisan, dan si mate artinya orang yang meninggal. Jadi, tangis simate adalah
tangisan yang disajikan untuk orang ysng meninggal.
13
Nyanyian merupakan bagian dari musik, secara umum musik terbagi atas
tiga bagian yaitu: (1) musik vokal, (2) musik instrumental, dan (3) gabungan
antara instrumental dan vokal. Yang dimaksud dengan musik vokal adalah bunyi
yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut, bibir, lidah, dan
kerongkongan yang memiliki irama, nada, ritem, dinamik, melodi dan mempunyai
pola-pola serta aturan untuk bunyi tersebut. Musik vokal dapat juga disebut
nyanyian. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Poerwadarminta
(1985:680), bahwa nyanyian adalah sesuatu yang berhubungan dengan
suara/bunyi yang berirama yang merupakan alat/media untuk menyampaikan
maksud seseorang atau tanpa iringan musik.. Berdasarkan uraian di atas maka
tangis simate dapat disebut juga sebagai musik vokal atau nyanyian, karena
menghasilkan bunyi yang memiliki irama, nada, dinamik, dan pola-pola melodi.
Analisis dapat diartikan menguraikan atau memilah-milah suatu hal atau
ide ke dalam setiap bagian-bagian sehingga dapat diketahui bagaimana sifat,
perbandingan, fungsi, maupun hubungan dari bagian-bagian tersebut. Analisis
yang penulis maksud disini adalah menguraikan struktur musikal, struktur teks
serta makna yang terkandung dalam teks tersebut.
Fungsi dapat diartikan adalah manfaat atau kegunaan dari suatu hal. Sosial
merupakan sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat. Jadi, fungsi soaial
adalah manfaat atau kegunaan seuatu hal dalam masyarakat. Dalam hal ini,
penulis akan melihat apa fungsi atau kegunaan tangis simate dalam masyarakat
Pakpak-Dairi.
Sebagai landasan penelitian ini, tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan
dengan teks atau tulisan dari suatu nyanyian. Istilah teks dalam musik vokal
14
berarti syair. Teks atau syair dari nyanyian tersebut akan memghasilkan suatu
makna. Makna tersebut adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari
suatu kata atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu makna
konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang
terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak
mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna sebenarnya (Keraf,
1991:25). Istilah musikal menunjukkan kata sifat yang artinya bersifat musik,
memiliki unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada, modus, dinamika,
interval, frasa, serta pola ritem.
1.5 Kerangka Teori
Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam
membahas permasalahan (Nasution, 1982:126). Dalam tulisan ini yang menjadi
pokok permasalahannya adalah mengetahui unsur-unsur tekstual serta musikal
yang terkandung dalam tangisi mate tersebut.
Sesuai dengan tiga pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu: fungsi,
tekstual, dan musikal, maka dipergunakan juga tiga teori utama. Untuk mengkaji
penggunaan dan fungsi tangsi simate sebagai nyanyian ratapan kematian
digunakan teori fungsionalisme (atau disebut uses and function) yang ditawarkan
oleh Alan P. Merriam (1964). Untuk mengkaji struktur dan makna tekstual
digunakan teori semiotika. Selanjutnya untuk mengkaji struktur musikal yang
berupa melodi tangis simate digunakan teori weighted scale.
15
1.5.1 Teori Fungsionalisme
Untuk membahas fungsi tangis simate dalam kebudayaan etnik Pakpak-
Dairi di Desa Siompin Aceh Singkil, penulis menggunakan teori fungsionalisme.
Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial,
yang menekankan kepada saling ketergantungan antara institusi-institusi dan
kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Kajian atau analisis terhadap
fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi. Institusi-
institusi seperti negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai
contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan
keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung aktivitas
politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana,
masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk
mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang
berhubungan kekerabatannya.
Dalam disiplin ilmu etnomusikologi, Merriam (1964:7-18) menyatakan
bahwa dalam studi etnomusikologi, maka para ahlinya tidak bisa terlepas dari
konteks kebudayaan secara keseluruhan. Untuk memahami penggunaan dan
fungsi musik, khususnya dalam tangis simate, penulis berpedoman pada pendapat
Allan P meriam (1964:209-226) yang menyatakan tentang penggunan musik yang
meliputi perihal pemakaian musik dan konteks pemakaiannya atau bagaiman
musik itu digunakan. Berkenaan dalam hal penggunaan yang dikemukakan oleh
Allan P Merriam (1964:217-218) menyatakan perihal penggunaan musik sebagai
berikut: (1) penggunaan musik dengan kebudayaan material, (2) penggunaan
musik dengan kelembagaan sosial, (3) penggunan musik dengan manusia dan
16
alam, (4) penggunan musik dengan nilai-nilai estetika, dan (4) penggunaan musik
dengan bahasa.
Untuk menemukan jawaban perihal fungsi musik, Merriam yang
menyebutkan bahwa terdapat sepuluh fungsi musik dalam ilmu etnomusikologi
yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengungkapan estetika, (3)
fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi
jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan
lembaga sosial, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi
pengintegrasian masyarakat.
Lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini
dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan
pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para ahli
etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika
kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan
(the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa
dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau
dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain
(1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara
penggunaan dan fungsi sebagai berikut.
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the
17
situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves (1964:210).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian
penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam
sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi
bahagian dari stuasi tersebut. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi
yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian
yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis
sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—
[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin dan berumah tangga,
dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang
menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme
tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa,
mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan”
menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan
“fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama
tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayani oleh adanya
musik itu.
1.5.2 Teori Semiotika
Untuk mengkaji struktur dan makna tekstual tangis simate, penulis
menggunakan teori semiotika. Selanjutnya teori ini digunakan dalam usaha untuk
memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem
simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika
18
adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders
Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai
sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound
image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa
mempunyai lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi
terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat
(interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus
memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari
lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses
penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon,
indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti
foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu
seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak
menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara
Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.
Semiotika atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta
tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula
dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik
dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai
“kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.”
Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu
John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan
berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru
19
muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika
munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika
Serikat, Charles Sanders Peirce.
Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan
perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai
“sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu
sumbangannya yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai
tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan
referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b)
indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c)
simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan
kata-kata atau signal trafik). Ketiga aspek tanda ini penulis pergunakan untuk
mengkaji teks tangis simate.
1.5.3 Teori Weighted Scale
Untuk mengkaji aspek musikal tangis simate yang disajikan secara melodis,
penulis berpedoman kepada teori yang dikemukakan oleh Malm yang dikenal
dengan teori weighted scale. Pada prinsipnya teori weighted scale adalah teori
yang lazim dipergunakan di dalam disiplin etnomusikologi untuk menganalisisi
melodi baik itu berupa musik vokal atau instrumental. Ada delapan parameter atau
kriteria yang perlu diperhatikan dalam menganalisis melodi, yaitu: (1) tangga
nada (scale), (2) nada dasar (pitch center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah
nada (frequency of note), (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa (cadence
20
patterns), (7) formula melodi (melody formula), dan (8) kontur (contour) (Malm
dalam terjemahan Takari 1993:13).
Dalam, rangka penelitian ini, sebelum menganalisis melodi tangsi simate
yang disajikan oleh narasumber penulis, maka terlebih dahulu data audio
ditranskripsi ke dalam notasi balok dengan pendekatan etnomusikologis. Setelah
dapat ditransmisikan ke dalam bentuk notasi yang bentuknya visual, barulah
notasi tersebut dianalisis. Dalam kerja ini juga penulis melakukan penafsiran-
penafsiran.
1.7 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, karena
pendekatan ini lebih berupa kata-kata secara detail dan bukan berupa angka-
angka. Sejalan dengan itu, Bogdan dan Taylor (dalam Maleong 1988:3),
mengungkapkan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
atau perilaku masyarakat yang dapat diamati.
Menurut Faisal (1992:17-35) terdapat lima format penelitian ilmu-ilmu
sosial. Kelima-limanya adalah: (1) penelitian deskriptif, (2) penelitian eksplanasi,
(3) studi kasus, (4) survei, dan (5) eksperimen. Seperti telah disebutkan dia tas
bahwa penelitian ini menggunakan format penelitian deskriptif. Yang dimaksud
penelitian dekriptif (descriptive research) yang biasa juga disebut dengan
penelitian taksonomik, dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai
sesuatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah
21
variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Jenis pendekatan
ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antarvariabel yang ada. Tidak
dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel
anteseden yang menyebabkan sesuatu gejala atau kenyataan sosial. Oleh karena
itu, pada penelitian yang menggunakan format penelitian deskriptif, tidak
menggunakan dan melakukan pengujian hipotesis, seperti yang dilakukan pada
penelitian dengan format eksplanasi. Berarti tidak dimaksudkan untuk
membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori. Dalam pengolahan dan
analisis data , lazimnya menggunakan statistik yang bersifat deskriptif.
Selanjutnya yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian
ini, adalah mengutip pendapat Denzin, et al. (2009:6) yang menjelaskan bahwa
peneliti kualitatif menekankan sifat realitas yang terbangun secara sosial,
hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dan tekanan situasi yang
membentuk penelitian. Para peneliti semacam ini mementingkan sifat penelitian
yang sarat nilai. Mereka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya.
Penelitian kualitatif merupakan bidang antar-disiplin, lintas-disiplin, dan
kadang-kadang kontradisiplin. Penelitian kualitatif menyentuh humaniora, ilmu-
ilmu sosial, dan ilmu-ilmu fisik. Penelitian ini teguh dengan sudut pandang
naturalistik sekaligus kukuh dengan pemahaman interpretif mengenai pengalaman
manusia (Nelson, dkk., dalam Denzin dan Lincoln, 2009:5).
Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah
mencakup: (a) studi kepustakaan, (b) observasi, (c) wawancara, dan (d) kerja
laboratorium. Keempat teknik ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
22
1.7.1 Studi Kepustakaan
Sebelum melakukan kerja lapangan, penulis terlebih dahulu melakukan
studi kepustakaan. Penulis mencari informasi dan referensi untuk mendapat
pengetahuan dasar tentang objek yang diteliti. Dalam hal ini, penulis
menggunakan referensi berupa buku dan sebagian besar dari beberapa skripsi
yang relevan dengan objek yang diteliti. Selain itu juga buku-buku yang berkait
dengan kebudayaan Pakpak-Dairi, tentang siklus hidup manusia terutama ritus
peralihan antara dunia nyata dan alam kematian, tentang sistem religi yang
berkaitan dengan kematian, dan lain-lain.
Selain itu juga dalam studi kepustakaan ini penulis melakukan survei
terhadap tulisan-tulisan di jejaring sosial internet, terutama yang berkaitan dengan
topik penelitian ini. Di dalamnya terdapat data yang diunggah melalui blok dan
juga laman web. Data-data ini membantu memahami latar belakang kajian
terhadap tangis simate sebagai prilaku sosial, budaya, dan musikal.
1.7.2 Observasi
Teknik pengumpulan data dengan observasi adalah metode yang
digunakan dengan menggunakan pengamatan dan pengundraan untuk
menghimpun data penelitian. Menurut Bungin (2007:115), metode observasi
merupakan kerja pancaindera mata serta dibantu dengan pancaindera lainnya.
Dalam meneliti nyanyian ini, penulis meneliti langsung ke lapangan.
Adapun lokasi penelitian ini adalah di desa Siompin, kecamatan Suro, Kabupaten
23
Aceh Singkil. Penulis tinggal selama beberapa hari disana untuk melakukan
penelitian.
1.7.3 Wawancara
Salah satu teknik pemgumpulan data yang dilakukan penulis adalah
dengan teknik wawancara. Adapun teknik wawancara yang penulis lakukan
adakah wawancara berfokus (focus interview) yaitu membuat pertanyaan yang
berpusat terhadap pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara
bebas (free interview) yaitu pertanyaan yang tidak hanya berfokus pada pokok
permasalahan saja tetapi pertanyaan berkembamg ke pokok permasalahan lainnya
yang bertujuan untuk memperoleh data lainnya namun tidak menyimpang dari
pokok permasalahan (Koentjaraningrat, 1985:139). Dengan melakukan teknik
wawancara tersebut, maka penulis mendapatkan banyak informasi tentang objek
yang diteliti. Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara terhadap beberapa
informan yaitu: Ibu Baniah br Boang Menalu, Ibu Saidup br Berutu dan Ibu Tida
br Manik. Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Pakpak-Dairi dan
selanjutnya diterjemahkan oleh penulis sendiri.
1.7.4 Kerja Laboratorium
Keseluruhan data yang diperoleh penulis dari berbagai sumber yaitu hasil
pengamatan di lapangan, hasil wawancara selanjutnya akan ditelaah dan diolah
dalam kerja laboratorium. Penulis juga akan menstranskripsikan musik tersebut.
Transkripsi dilakukan dengan menggunakan notasi balok dengan bantuan
perangkat lunak program sibellius. Hasilnya dapat dilihat dalam Bab IV skripsi
24
ini. Langkah berikutnya adalah menganalisis aspek melodinya. Untuk melengkapi
analisis melodis ini, penulis juga melakukan analisis struktur teks dari nyanyian
tersebut.
Setelah melakukan kerja laboratorium, maka penulis membuatnya ke
dalam sebuah tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan teknik-teknik
penulisan karya ilmiah yang berlaku di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara di Medan. Sesuai dengan pendekatan di
bidang etnomusikologi, maka dalam menganalisis tangis simate dengan tiga fokus
pokok masalah yaitu: fungsi, tekstual, dan musikal, maka perlu dilihat dalam
konteks multidisiplin ilmu. Misalnya dalam menganalisis fungsi tangis simate
perlu dilihat guna dan fungsinya dalam masyarakat yang menggunakan disiplin
etnomusikologi dan yang terkait yaitu antropologi atau sosiologi. Demikian pula
untuk mengkaji bidang tekstual tangis simate diperlukan melihatnya dalam
multidisiplin seperti melihatnya dari aspek sastra, linguistik, dan semiotika namun
dengan tekanan utama pada etnomusikologi. Demikian pula dalam mengkaji
musikal perlu dilihat melalui musikologi dan prosodi. Dengan demikian, tulisan
ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan pengetahuan di
bidang etnomusikologi.
25
BAB II
ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PAKPAK-DAIRI
DI DESA SIOMPIN ACEH SINGKIL
2.1 Wilayah Budaya Etnik Pakpak-Dairi
Pada Bab II ini, saya akan membahas tentang etnografi umum
masyarakat Pakpak-Dairi secara umum, serta menggambarkan tentang lokasi
penelitian yang saya teliti. Di sini akan saya jelaskan beberapa hal, seperti
bahasa, mata pencaharian, sistem kekerabatan, serta kesenian yang terdapat di
daerah lokasi yang saya teliti.
Etnik Pakpak adalah salah satu suku pribumi di Provinsi Sumatera Utara
dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang terbagi menjadi beberapa
bagian, yaitu:
1. Kabupaten Dairi ibu kotanya Sidikalang yang terdiri dari 15 Kecamatan
dan 148 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Keppas dan Pegagan.
2. Kabupaten Aceh Singkil ibu kotanya Singkil yang terdiri dari 15
Kecamatan dan 148 Desa. Kelurahannya meliputi seluruh daerah Suak
Singkil Boang.
3. Kabupaten Pakpak Bharat ibukotanya Salak yang terdiri dari 8
Kecamatan dan 59 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Simsim dan
sebagian daerah Keppas.
4. Kotamadya Subulussalam ibu kotanya Subulussalam yang terdiri dari 5
Kecamatan dan Desa/Kelurahan yang merupakan pemekaran dari
Kabupaten Aceh Singkil dan masih termasuk Suak Singkil Boang.
26
5. Kabupaten Tapanuli Tengah ibukotanya Pandan yang terdiri dari 6
Kecamatan dari daerah (wilayah) Kabupaten Tapanuli Tengah adalah hak
ulayat Tanah Pakpak (Suak Kelasen) yang terdiri dari Kecamatan Barus,
Barus Utara, Sosar Godang, Andam Dewi, Manduamas dan Sirandorung
dan 56 Desa/kelurahan.
6. Kabupaten Humbang Hasundutan ibu kotanya Dolok Sanggul yang
terdiri dari 3 Kecamatan, yaitu : Kec. Pakkat, Kec. Parlilitan dan Kec.
Tara Bintang dan masih termasuk ke dalam Suak Kelasen.
Luas wilayah tanah Pakpak keseluruhan adalah 8.331,12 km2 yang terdiri dari
52 Kecamatan dan 471 Desa/Kelurahan.
Tabel 2.1
Luas Wilayah Budaya Etnik Pakpak-Dairi
di Sumatera Utara dan Aceh
No. Kabupaten/Kecamatan Luas
1 Kabupaten Dairi 1.927,8 Km2
2. Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Madya Subulussalam 375,8 Km2
3. Kabupaten Pakpak Bharat 1.221,3 Km2
4. Kabupaten Barus 84,83 Km2
5. Kecamatan Sosor Gadong 143,18 Km2
6. Kecamatan Andam Dewi 122,42 Km2
7. Kecamatan Manduamas 99,55 Km2
8. Kecamatan Sirandorung 87,82 Km2
9. Kecamatan Pakkat 459,140Km2
27
10. Kecamatan Parlilitan 598,70 Km2
11. Kecamatan Tara Bintang 277,30 Km2
Jumlah 8.331,12 Km2
Sumber: Pemerintah Kabupaten Dairi (2012)
Selanjutnya tanah hak ulayat Pakpak berbatasan sebagai berikut.
(a) Sebelah Utara berbatasan dengan Aceh Tenggara dan Aceh Selatan,
(b) Sebelah Timur berbatasan dengan Tanah Karo,
(c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Utara, dan
(d) Sebelah Barat berbatasan dengan Tapanuli Tengah
2.2 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi Aceh Singkil
Lokasi penelitian yang penulis ambil terletak di Desa Siompin,
Kecamatan Suro, Kabupaten Aceh Singkil yang merupakan salah satu
daerah/wilayah bermukimnya suku Pakpak yang disebut dengan Suak Pakpak
Boang. Kabupaten Aceh Singkil adalah sebuah kabupaten yang berada di ujung
Barat Daya Provinsi Aceh yang merupakan pemekaran dari Kabupaen Aceh
Selatan dan sebagian wilayahnya berada di kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser Kabupaten ini ini juga terdiri dari dua wilayah, yakni daratan dan
kepulauan. Kepulauan yang menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil adalah
Kepulauan Banyak.
Kabupaten Aceh Singkil terletak di Pesisir Pantai Barat Sumatera dengan
luaswilayah 2.187 Km2 terletak di 2 02’27’30”Lintang Utara /9704’-97 45” 00”
Bujur Timur yang berbatasan langsung dengan Kota Subulussalam di sebelah
Utara, Samudera Indonesia di sebelah Selatan provinsi Sumatera Utara di
28
sebelah Timur dan Kecamatan Trumon Kabupaten Aceh Selatan di sebelah
Barat.
Kabupaten Aceh Singkil terbagi dalam 10 Kecamatan, yaitu sebagai
berikut:
(1) Kecamatan Danau Paris,
(2) Kecamatan Gunung Meriah,
(3) Kecamatan Kota Baharu,
(4) Kecamatan Pulau Banyak,
(5) Kecamatan Simpang Kanan,
(6) Kecamatan Singkil,
(7) Kecamatan Singkil Utara,
(8) Kecamatan Singkohor,
(9) Kecamatan Suro Baru, dan
(10) Kecamatan Kota Baharu.
2.3 Masyarakat Pakpak di Desa Siompin
Berdasarkan data kependudukan yang diperoleh dari Kantor Kelurahan
Desa Siompin, Aceh Singkil, tahun 2012 maka jumlah keseluruahn penduduk
desa adalah 1.599 jiwa, yang terdiri dari 817 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan
782 jiwa berjenis kelamin perempuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa laki-laki
lebih banyak 35 orang dibandingkan perempuan. Dari total 1.599 jiwa penduduk
Desa Siompin ini, terdapat sebanyak 343 keluarga. Umumnya sistem
pengelolaan keluarga adalah berbasis pada keluarga inti, yang terdiri dari ayah,
ibu, dan anak-anaknya. Namun ada juga yang menerapkan sistem keluarga batih
29
atau extended family, yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak, dan kerabat
dekatnya seperti nenek, kakek, paman, kemenakan, dan lainnya.
Berikut ini adalah data penduduk Desa Siompin berdasarkan jenis
kelamin dan jumlah keluarga/
Tabel 2.2
Distribusi Jumlah Penduduk desa Simpin Berdasarkan
Jenis Kelamin dan Jumlah Keluarga
Jumlah Laki-laki 817 jiwa
Jumlah perempuan 782 jiwa
Jumlah total 1599 jiwa
Jumlah Kepala keluarga 343 jiwa
Sumber: Kantor Kepala Desa Siompin Tahun 2012
Data kependudukan lainnya masyarakat di Desa Simpin Aceh Singkil
adalah berdasarkan usianya. Umunya sebahagian besar penduduk Desa Siompin
ini adalah dominan berusia satu sampai 18 tahun. Dengan demikian sebagian
besarnya adalah berusia muda. Dalam konteks tangis simate kalau tidak
diajarkan kepada mereka tentu akan semakin terdegradasilah budaya ini dalam
masyarakat Pakpak yang ada di Desa Siompin.
30
Tabel 2.3
Distribusi Penduduk Desa Siompin Berdasarkan Usia
Usia
(tahun)
Laki-laki
(orang)
Perempuan
(orang)
Usia
(tahun)
Laki-laki
(orang)
Perempuan
(orang)
< 1 12 13 39 14 15
1 13 8 40 15 16
2 12 9 41 13 14
3 15 10 42 12 14
4 11 9 43 11 12
5 13 9 44 15 16
6 12 8 45 12 12
7 23 18 46 14 13
8 21 17 47 13 14
9 19 12 48 12 13
10 11 8 49 11 10
11 10 9 50 11 13
12 16 11 51 12 12
13 13 9 52 4 4
14 17 10 53 6 7
15 19 11 54 10 10
16 17 12 55 12 12
17 19 10 56 13 15
18 13 13 57 10 11
19 12 10 58 4 6
20 10 12 59 3 5
21 10 12 60 3 6
22 12 14 61 6 8
23 12 13 62 7 3
24 13 12 63 8 3
25 14 15 64 6 6
26 12 14 65 5 3
27 12 13 66 4 2
31
28 11 12 67 2 6
29 12 14 68 3 5
30 11 13 69 5 3
31 12 13 70 3 4
32 11 14 71 2 3
33 12 14 72 2 4
34 13 14 73 2 2
35 11 13 74 2 5
36 12 13 75 2 4
37 14 15 >75 2 4
38 12 13 Total 817 782
Sumber: Kantor Kepala Desa Siompin Tahun 2012
Kemudian data kependudukan lainnya adalah tingkat pendidikan
penduduk di Desa Siompin. Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa
masyarakat Desa Siompin telah sadar akan pentingnya pendidikan dalam rangka
menjawab tantangan sosial, yaitu mencari pekerjaan berdasarkan ilmu formal
yang diperoleh. Ini dapat dibuktikan bahwa sebahagian besar usia sekolah adalah
bersekolah, yaitu usia 7 sampai 18 tahun sebanyak 21 orang. Kemudian tamatan
Sekolah Dasar sebanyak 125 orang, tamatan Sekolah Menengah Pertama dan
sederajat 111 orang, tamat SMA dan sederajat 75 orang. Bahkan tamatan
Perguruan Tinggi (baik dari D1, D2, D3, dan S1) mencapai total 30 orang. Jadi
angka ini cukup menggembirakan dalam konteks pendidikan masyarakat Desa
Siompin. Tingkat pendidikan tersebut tentu perlu juga diimbangi dengan rasa
memiliki dan menghayati kebudayaan tradisinya, termasuk melestarikan tangis
simate secara bersama-sama.
32
Tabel 2.4
Data Pendidikan Penduduk Desa Siompin
Tingkatan Pendidikan Laki-laki
(orang)
Perempuan
(orang)
Usia 3-5 tahun yang belum masuk TK 2 2
Usia 3-6 tahun yang sedang TK/Play Group 30 34
Usia 7-18 tahun yang tidak pernah sekolah 10 10
Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 120 121
Usia 18-56 tahun yang tidak pernah sekolah 2 3
Usia 18-56 tahun yang pernah SD tetapi tidak
tamat
15 20
Tamat SD/sederajat 125 125
Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP 11 12
Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTP 12 15
Tamat SMP/sederajat 110 111
Tamat SMA/sederajat 75 75
Tamat D-1/sederajat 2 3
Tamat D-2/sederajat 5 5
Tamat D-3/sederajat 2 1
Tamat S-1/sederajat 20 21
Total 551 558
Sumber: Kantor Kepala Desa Siompin Tahun 2012
33
2.3 Sistem Religi dan Kepercayaan
Pada mulanya masyarakat Pakpak di desa Siompin masih menganut
animisme dan dinamisme. Mereka percaya akan adanya kekuatan yang berasal
dari luar dirinya sendiri. Mereka percaya kepada roh-roh nenek moyang maupun
kepada benda-benda alam yang dianggap mempunyai kekuatan gaib.
2.3.1Kepercayaan Kepada Dewa-dewa
Dahulu kala suku Pakpak mempercayai kekuatan alam gaib dan percaya
bahwa alam sumber kehidupan. Masyarakat Pakpak percaya terhadap Debata
Guru/Batara Guru yang dikatakan dalam bahasa Pakpak Sitimempa/Simenembe
nasa si lotyang artinya yang “menciptakan yang ada di dunia ini.” Debata Guru/
Batara Guru menjadikan wakilnya untuk menjaga dan melindungi. Selain itu
masyarakat Pakpak awal, mempercayai makhluk-makhluk gaib sebagai berikut
ini.
1. Beraspati Tanoh
Diberi simbol dengan gambar Cecak yang berfungsi melindungi segala
tumbuh-tumbuhan. Jadi, jika seorang orang tua menebang pohon bambu,
kayu atau tumbuhan lainnya, maka ia harus permisi kepada Beraspati
Tanoh.
2. Tunggung Ni Kuta
Tunggung ni kuta ini diyakini mempunyai peranan untuk menjaga dan
melindungi kampung atau desa serta manusia sebagai penghuninya.
Karena itu, maka tunggung nikuta memberikan kepada manusia beberapa
benda yaitu sebagai berikut:
34
a. Lapihen, yaitu terbuat dari kulit kayu yang di dalamnya terdapat
tulisan-tulisan yang berbentuk mantra maupun ramuan obat-obatan
serta ramalan-ramalan. Tentang ramalan-ramalan tersebut, orang
yang membaca harus jujur dan beretika baik serta tujuan untuk
kepentingan umum.
b. Naring, yaitu wadah berisi ramuan untuk pelindung
kampung.Apabila suatu kampung mendapat ancaman, maka
naringakan memberikan pertanda suara gemuruh atau siulan agar
masyarakat dapat mengantisipasi gangguan tersebut.
c. Pengulu Balang, yaitu sejenis patung yang terbuat dari batu. Pengulu
balang dapat memberikan bunyi (suara gemuruh) sebagai tanda
gangguan, bala, musuh, dan penyakit yang mengancam sebuah desa.
d. Sibiangsa, yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang
ditanam di dalam tanah yang bertugas untuk mengusir penjahat yang
datang.
e. Sembahen Ni Ladang, yaitu roh halus dan penguasa alam sekitarnya
yang diyakini dapat mengganggu kehidupan manusia sekaligus dapat
melindungi manusia apabila diberikan sesajian.
f. Tali Solang, yaitu tali yang disimpul di ujungnya mempunyai kepala
ular yang digunakan untuk menjerat musuh.
g. Tongket Balekat, yaitu terbuat dari kayu dan hati ular yang berukuran
lebih kurang (1) meter yang diukir dengan ukiran Pakpak dan
dipergunakan untuk menerangi jalan yang gelap.
h. Kahal-kahal, yaitu menyerupai telapak kaki manusia untuk melawan
musuh.
35
i. Mbarla, yaitu roh yang berfungsi untuk menjaga ikan di laut, sungai
dan danau.
j. Sineang Naga Lae, yaitu roh yang menguasai laut, danau, dan air.
2.3.2 Kepercayaan kepada Roh
Etnik Pakpak-Dairi, sebelum datangnya Kristen dan Islam, percaya
kepada roh-roh, yang diklasifikasikan dan diistilahkan sebagai berikut ini.
a. Sumangan, yaitu tendi (roh) orang yang sudah meninggal mempunyai
kekuatan yang menentukan wujud dan hidup seseorang yang dikenang.
b. Hiang, yaitu kekuatan gaib yang dibagikan kepada saudara secara turun-
temurun.
c. Begu Mate Mi Lae atau disebut juga dengan begu sinambela, yaitu roh
orang yang meninggal diakibatkan karena hanyut di dalam air atau
sungai.
d. Begu Laus, yaitu sejenis roh yang menyakiti orang yang datang dari
tempat lain secara lintas dan dapat membuat orang menjadi sakit secara
tiba-tiba. Biasanya begu laus adalah roh orang yang meninggal dunia
secara mendadak.
Selain kepercayan-kepercayaan di atas, masyarakat Pakpak juga
mempunyai beberapa kegiatan ritual yang berhubungan dengan kehidupan
mereka yaitu sebagai berikut.
1. Meraleng Tendi
Meraleng tendi adalah ritual yang dilakukan ketika seseorang terkejut
karena mendengar suara keras dan keadaan dimana seseorang sedang
36
terancamsuatu bahaya. Dengan keadaan seperti ini, maka tendi(rohnya)
akan pergi meninggalkan raganya. Untuk menjemput tendi (roh) yang
pergi tersebut, maka diadakanlah upacarameraleng tendi. Biasanya
diadakan dengan membawa sesajen seperti : ayam merah atau ayam putih
yang diberikan kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal.
Sesajen tersebut dibawa ke tempat pemakaman nenek moyang tersebut
atau sesuai dengan petunjuk datu atau dukun.
2. Tolak Bala atau Pelaus Persilihi Urat-urat Ambat
Apabila seseorang merasa nasibnya sangat malang/sial dan mendapat
mimpi-mimpi buruk, maka ia akan berusaha untuk menghindarkannya.
Usaha untuk hal itu disebut dengan tolak bala atau pelaus persilihi urat-
urat ambat. Upacara ini dilakukan dengan cara mengambil ramuan atau
bahan berupa akar kayu yang melintang di jalan atau arahnya memotong
jalan. Akar ini dipahat atau dibentuk berbentuk patung manusia yang
diberi tudung kain dan disemburi dengan sirih. Kemudian disediakan
makanan berupa ikan yang bentuknya lurus atau dalam bahasa Pakpak
disebut Nurung ncayur(sejenis ikan jurung) serta dilengkapi dengan nasi
kuning. Selanjutnya, akar yang sudah dibentuk seperti patung tadi
diletakkan di atas niru (tampi) kemudian diletakkan di persimpangan
jalan. Hal ini bermakna“ Inilah sebagai pengganti badan semoga jauhlah
bahaya dan datanglah keselamatan”.
Kepercayaan-kepercayaan di atas sudah jarang dilaksanakan atau
ditemukan pada masyarakat Pakpak yang ada di Aceh Singkil sejak masuknya
agama. Masyarakat Pakpak di sana sebagian besar sudah memeluk agama yang
37
tetap, yaitu agama yang sudah diakui oleh Pemerintah. Sebagian besar
masyarakat Pakpak yang ada di sana beragama Islam, Kristen Protestan, dan
sebagian kecil beragama Kristen Khatolik.
2.4 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Pakpak sejak dahulu kala sudah ada suatu ikatan yang
mengatur tata krama dan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari yang
dilaksanakan dan ditaati oleh masyarakat itu sendiri. Sistem tersebut selalu ada
dalam upacara-upacara adat termasuk juga dalam upacara kematian.
2.4.1 Sulang Silima
Sulang silima adalah lima kelompok kekerabatan yang terdiri dari kula-
kula, dengan sebelteksituaan/anak yang paling tua, dengan sebelteksiditengah
atau anak tengah dan dengan sebeltek siampun-ampun/anak yang paling kecil,
serta anak berru. Sulang silima dalam masyarakat Pakpak adalah kelompok
besar dalam kekerabatan masyarakat Pakpak. Sulang silima ini berkaitan dengan
pembagian sulang/jambar dari daging-daging tertentu dari seekor hewan seperti
kerbau, lembu atau babi yang disembelih dalam konteks upacara adat
masyarakat Pakpak. Pembagian daging atau jambar ini disesuaikan dengan
hubungan kekerabatannya dengan pihak kesukuten atau yang melaksanakan
upacara. Dalam masyarakat Pakpak, kelima kelompok tersebut masing-masing
mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain
dalam acara adat.
a. Kula-kula, merupakan salah satu unsur yang paling pentingdalam
sistem kekerabatan pada masyarakat Pakpak.Kula-kula adalah
38
kelompok/ pihak pemberi istri dalam sistem kekerabatan masyarakat
Pakpak dan merupakan kelompok yang sangat dihormati dan dianggap
sebagai pemberi berkat oleh masyarakat. Dengan demikian, kula-kula
juga disebut dengan istilah Debata Ni Idah (Tuhan yang dilihat). Oleh
karena itu, pihak kula-kula ini haruslah dihormati. Sikap
menentangkula-kula sangat tidak dianjurkan dalam kebudayaan
masyarakat Pakpak. Dalam acara-acara adat, kelompok kula-kula
diwajibkan untuk hadir, termasuk juga dalam adat kematian dan
mendapat peran yang penting termasuk juga dalam upacara kematian.
b. Dengan sebeltek/senina adalah mereka yang mempunyai hubungan
tali persaudaraan yang mempunyai marga yang sama. Mereka adalah
orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat.Selain itu,
dalam sebuah upacara adat ada kelompok yang dianggap dekat dengan
dengan sebeltek, yaitu senina Dalam sebuah acara adat, senina dan
seluruh keluarganya akan ikut serta dan mendukung acara tersebut.
Secara umum, hubungan senina ini dapat disebabkan karena adanya
hubungan pertalian darah, sesubklen/semarga, memiliki ibu yang
bersaudara, memiliki istri yang bersaudara, dan memiliki suami yang
bersaudara.
c. Anak berru artinya anak perempuan yang disebut dengan kelompok
pengambil anak dara Dalam sebuah acara adat, anak berru lah yang
bertanggung jawab atas acara adat tersebut. Tugas anak berru adalah
sebagai pekerja, penanggung jawab dan pembawa acara pada sebuah
acara adat.
39
Sedangkan situaan adalah anak yang paling tua, siditengah adalah
anak tengah dan siampun-ampun adalah anak yang paling kecil.
Mereka adalah pihak yang mempunyai ikatan persaudaraan yang
terdapat dalam sebuah ikatan keluarga.
Kelima kelompok di atas mempunyai pembagian sulang yang berbeda,
yaitu sebagai berikut.
1. Kula-kula (pihak pemberi istri dari keluarga yang berpesta) akan
mendapat sulang per-punca niadep.
2. Situaan (orang tertua yang menjadi tuan rumah sebuah pesta akan
mendapatsulang per-isang-isang)
3. Siditengah (keluarga besar dari keturunan anak tengah) akan mendapat
sulang per-tulantengah
4. Siampun-ampun (keturunan paling bungsu dalam satu keluarga) akan
mendapat sulang per-ekur-ekur.
5. Anak berru (pihak yang mengambil anak gadis dari keluarga yang
berpesta) akan mendapat sulang perbetekken atau takal peggu. Biasanya
penerimaan perjambaren anak berru disertai dengan takal peggu yang
artinya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar terhadap
berjalannya pesta. Anak berru lah yang bertugas menyiapkan makanan
serta menghidangkan selama pesta berlangsung.Untuk lebih jelasnya
mengenai pembagian jambar ini, dapat kita lihat pada gambar di bawah
ini.
40
Gambar 2.1
Pembagian Jambar (daging untuk Kepentingaan Adat) pada
Budaya Masyarakat Pakpak-Dairi
41
42
Apabila di antara keluarga tersebut akan mengadakan pesta, maka ketiga
kelompok abang beradik (situaan, siditengah dan siampun-ampun) akan
menerima pembagian (perjambaren) yakni : isang-isang (dagu), tulan tengah
(tulang bagian tengah) dan ekur-ekur (ekor).
Penerimaan jambar ini boleh bertukar-tukar sesama keluarga tersebut,
dengan rincian sebagai berikut. Misalnya: Situaan nomor satu (1); Siditengah
nomor (2); dan Siampun-ampun nomor tiga (3). Apabila siditengah yang
berpesta, maka urutan menjadi 2.3.1 sedangkan apabila siampun-ampun
(bungsu) yang menjadi sukut (yang berpesta) maka penerimaan perjambaren
berubah menjadi 3.1.2. Kula-kula dan anak berru tetap menerima puncaniadep
atau tulan tengah dan betekken atau takal peggu.
2.5 Mata Pencaharian
Pada umumnya, mata pencaharian penduduk di desa Siompin adalah
bertani. Melihat kondisi tanah yang subur serta sangat mendukung untuk
bercocok tanam, maka tidak heran jika mayoritas penduduk disana bermata
pencaharian sebagai petani. Adapun jenis tanaman yang yang ditanam adalah
padi, baik di sawah atau di darat, sayur-sayuran, karet dan yang paling
mendominasi adalah tanaman kelapa sawit. Sebagian besar lahan pertanian
ditanami dengan tanaman kelapa sawit dan merupakan sumber
penghasilan/pendapatan terbesar bagi penduduk di sana. Selain bertani, mata
pencaharian lainnya adalah berdagang, buruh pabrik dan ada juga sebagai
pegawai negri dan pegawai swasta.
43
2.6 Bahasa
Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di desa Siompin
adalah bahasa Pakpak karena mayoritas penduduk di sana adalah suku Pakpak
sehingga dalam kehidupan sehari-hari penduduk disana menggunakan bahasa
Pakpak begitu juga dalam acara adat.
Terdapat juga sebagian kecil suku lain seperti suku Jawa, Karo, Nias, dan
Toba yang datang ke desa tersebut, tetapi setelah tinggal beberapa lama di sana,
maka mereka mengerti dan fasih menggunakan bahasa Pakpak. Selain bahasa
Pakpak, bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa
Indonesia yang digunakan di tempat-tempat umum, seperti sekolah, Puskesmas
dan kantor kelurahan.
Ada beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan dalam kehidupan
masyarakat pakpak, yaitu sebagqai berikut.
(1) Rana telangke yaitu kata-kata perantara atau kata-kata tertentu untuk
menghubungkan maksud si pembicara terhadap objek si pembicara,
(2) Rana tangis yaitu gaya bahasa yang dituturkan dengan cara menangis atau
bahasa yang digunakan untuk menangisi sesuatu dengan teknik bernyanyi—
narrative esongs atau lamenta dalam istilah etnomusikologi—yang disebut
tangis milangi (bahasa tutur tangis);
(3) Rana mertendung yaitu gaya bahasa yang digunakan di hutan,
(4) Rana nggane yaitu bahasa terlarang, tidak boleh dikatakan di tengah-tengah
kampung karena dianggap tidak sopan, dan
(5 ) Rebun (rana tabas atau mangmang) yaitu bahasa pertapa datu atau bahasa
mantera oleh guru (Naiborhu, 2006)
44
2.7 Kesenian
2.7.1 Seni Musik
Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya berdasarkan bentuk
penyajian dan cara memainkannya. Berdasarkan bentuk penyajiannya, alat-alat
musik tersebut dibagi atas dua kelompok, yaitu Gotchi dan Oning-oningen.
Sedangkan berdasarkan cara memainkannya, instrumen musik tersebut terbagi
menjadi beerapa kelompok, yaitu : sipaluun, sisempulen dan sipiltiken.
a. Instrumen Musik Berdasarkan Bentuk Penyajian
Gotchi ialah instrumen musik yang disajikan dalam bentuk seperangkat
(ansambel) yang terdiri dari: Genderangsisibah, genderang silima, gendang
sidua-dua, gerantung, mbotul, gung, dan kalondang.
Genderang sisibah adalah seperangkat gendang satu sisi yang terdiri dari
sembilan buah gendang yang berbentuk konis. Dalam adat, instrumen ini disebut
si raja gumeruhguh yaitu sesuai dengan suara yang dihasilkannya dan situasi
yang diiringinya karena ramai dan besarnya acara itu. Masing-masing nama dari
kesembilan gendang dari ukuran terbesar hingga ukuran terkecil adalah sebagai
berikut:
a. Gendang I, Si Raja Gumeruhguh(suara bergemuruh) dengan pola ritmis
menginang-inangi atau mengindungi(induk).
b. Gendang II, Si Raja Dumerendeng atau Si Raja Menjujuri dengan pola
ritem menjujuri atau mendonggil-donggili (mengagungkan, mentakbiri,
menghantarkan).
45
c. Gendang III s/d VII, Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis benna
kayu sebagai pembawa ritmis melodis (menenangkan atau
menentramkan).
d. Gendang VII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis menehtehi
(menyeimbangkan).
e. Gendang IX, Si Raja Mengapuh dengan pola ritmis menganak-anaki atau
tabil sondat (menghalang-halangi).
Dalam bentuk seperangkat, kesembilan gendang ini dimainkan bersama-
sama dengan gung sada rabaan (seperangkat gung yang terdiri dari empat buah,
yaitu panggora (penyeru), poi (yang menyahut), tapudep (pemberi semangat)
dan pong-pong (yang menetapkan). Instrumen lain yang dipakai adalah sarune
(double reed oboe) dan cilat-cilat (simbal concussion). Dalam penyajiannya,
ansambel ini hanya dipakai pada jenis upacara sukacita (kerja mbaik) saja pada
tingkatan upacara terbesar atau tertinggi saja.
Selanjutnya adalah ensambel genderang si lima yaitu seperangkatan
gendang satu sisi berbentuk konis yang terdiri dari lima buah gendang. Kelima
gendang ini berasal dari genderang sisibah dengan hanya menggunakan gendang
pada bilangan ganjil saja diurut dari gendang terbesar, yaitu gendang I, III, V,
VII dan IX. Adapun nama-nama gendang berdasarkan urutan dari gendang
terbesar hungga gendang terkecil adalah sebagai berikut.
a. Gendang I, Si Raja Gumeruhguh dengan pola ritmis menginang-inangi
(induk yang bergemuruh).
b. Gendang III, Si Raja Dumerendeng dengan pola ritmis menjujuri atau
mendonggil-donggili (menghantarkan atau meneruskan).
46
c. Gendang V, Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis mendua-duai
(menentramkan).
d. Gendang VII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis mendua-duai
(meramaikan).
e. Gendang IX, Si Raja Mengampuh dengan pola ritmis menganaki
(menyahuti, mengikuti).
Instrumen lainnya yang terdapat dalam ensambel ini adalah gung sada rabaan,
sarune dan cilat-cilat sebagaimana yang terdapat dalam genderang sisibah.
Ansambel ini digunakan pada upacara dukacita (kerja njahat) saja,
seperti upacara kematian, mengokal tulan (menggali tulang-belulang) pada
tingkatan upacara terbesar dan tertinggi secara adat.
Selanjutnya terdapat ensambel gendang sidua-dua. Ansambel gendang
ini terdiri dari sepasang gendang dua sisi berbentuk barrel (double head two
barrel drums). Kedua gendang ini terdiri dari gendang gendang inangna
(gendang induk, gendang ibu) yaitu gendang terbesar dan gendang anakna
(gendang anak, jantan) yaitu gendang terkecil. Instrumen lain yang terdapat
dalam ansambel ini adalah empat buah gong (gung sada rabaan) dan sepasang
cilat-cilat(simbal).
Ansambel gendang ini digunakan untuk upacara ritual, seperti mengusir
roh pengganggu di hutan sebelum diolah menjadi lahan pertanian (mendegger
uruk) dan hiburan saja seperti upacara penobatan raja atau untuk mengiringi
tarian pencak.
Ada pula alat musik gerantung ialah nama yang diberikan kepada
instrumen musik sejenis gong ceper (gong tanpa pencu yang termasuk ke dalam
flat gongs idiophones yang terdiri dari 4 atau 5 buah gerantung. Instrumen ini
47
biasa dimainkan bersama-sama dengan gung sada rabaan dan biasa dipakai
pada acara peresmian bale (balai desa), bages jojong (rumah adat) dan pada
peresmian perkawinan raja atau keturunannya. Instrumen ini juga digunakan
sebagai landasan berpijak bagi kedua mempelai pada saat akan memasuki rumah
adat. Menurut pandangan masyarakat Pakpak, instrumen ini merupakan simbol
kekayaan dan kemakmuran yang hanya dimilki oleh orang tertentu saja
Kemudian alat-alat musik mbotul adalah seperangkat alat musik gong
(idiophones) berpencu yang terdiri dari 5, 7 atau 9 buah gong. Disusun berbaris
di atas sebuah rak seperti kenong pada tradisi gamelan Jawa. Dalam
penggunaannya, instrumen ini berperan sebagai pembawa melodi dan secara
ansambel dimainkan bersama-sama dengan gung sada rabaan.
Ada pula alat musik gung (gong idiophones) terdiri dari empat buah yang
tidak dapat berdiri secara sendiri-sendiri yang artinya dalam penggunaannya
harus sekaligus empat buah. Oleh karena itu, gong ini disebut sada rabaan
(empat buah gong yang dimainkan secara bersamaan). Keempat instrumen ini
diberi nama sebagai berikut.
a. Gung I (panggora), gung terbesar yang berperan sebagai penyeru atau
yang memberikan seruan.
b. Gung II (poi), gung terbesar kedua yang berperan sebagai penyahut atau
yang memberi sahutan.
c. Gung III (tapudep), gung terbesar ketiga yang berperan sebagai
menimpali, menengahi atau memberikan jawaban (aksentuasi ritmis)
antara gong pertama dan gong kedua sekaligus pengontrol atas gung
panggora dan poi.
48
d. Gung III (pongpong), gung terkecil yang berperan sebagai pemegang
tempo (memongpongi) atau pengatur kecepatan lagu sekaligus sebagai
penjaga kestabilan dari lagu yang dimainkan.
Kalondang(xylophones) ialah alat musik yang terbuat dari bilahan kayu
berjumlah sembilan buah. Dimainkan secara bersama-sama dengan pong-pong
(gong kecil), cilat-cilat (simbal) dan lobat(bamboos recorder). Alat musik ini
biasanya digunakan sebagai pengiring tarian (tatak) hiburan dengan
membawakan lagu-lagu tertentu yang sifatnya gembira, seperti: ende-ende muat
kopi (nyanyian memetik kopi), ende-ende kitobis ( nyanyian mengambil rebung
bambu) yang menggambarkan kegembiraan pada saat memetik kopi dan
mengambil rebung bambu.
2.7.2 Musik Vokal
Masyarakat Pakpak memberi nama ende-ende (baca: nde-nde) terhadap
semua jenis musik vokalnya. Ada beerapa jenis musik vokal yang terdapat pada
masyarakat pakpak yang dibedakan berdasarkan fungsi dan penggunaannya
masing-masing yaitu sebagai berikut.
(i) Tangis milangi atau disebut juga tangis-tangis adalah kategori nyanyian
ratapan (lamenta) yang disajikan dengan gaya menangis. Disebut tangis
milangi karena hal-hal mengharukan yang terdapat di dalam hati
penyajinya akan dituturkan-tuturkan (Pakpak: ibilang-bilangken, milangi)
dengan gaya menangis (Pakpak : tangis).
Ada beberapa jenis tangis milangi yang terdapat pada masyarakat
Pakpak, yaitu sebagai berikut.
49
a. Tangis si jahe adalah jenis nyanyian yang disajikan oleh gadis (female
song) menjelang pernikahannya. Teksnya berisi tentang ungkapan
kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya. Gadis
tersebut tentunya akan meninggalkan keluarganya untuk bergabung
dengan keluarga suaminya. Selain itu, teks teks nyanyian ini juga berisi
tentang semua hal menyedihkan yang mungkin akan dialaminya di
lingkungan keluarga suaminya. Walaupun dinyanyikan dengan gaya
menangis, namun maksud utama dari tangis ini ialah agar orang yang
ditangisi merasa terharu dan selanjutnya akan memberikan petuah-petuah
atau nasehat dan berupa materi kepada si gadis yang akan menikah
tersebut. Nasehat yang diberikan umumnya adalah tentang petunjuk
hidup berumah tangga dan semua hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan bersuami-istri. Nyanyian ini disajikan dengan menggunakan
melodi yang berulang-ulang (repetitif) dengan teks yang berubah-ubah.
b. Tangis anak melumang, tangis ini disajikan oleh pria maupun wanita dari
semua tingkat usia. Isi teksnya adalah ungkapan kesedihan ketika
terkenang kepada orang tua yang sudah meninggal dunia. Perpisahan
akibat kematian dan penderitaan yang dialami si anak atas sepeninggal
orangtua tersebut adalah isi dari teks nyanyian ini. Biasanya nyanyian ini
disajikan pada saat-saat tertentu, seperti ketika berada di hutan, di ladang,
di sawah atau tempat-tempat sepi lainnya. Nyanyian ini juga lebih
mengutamakan teks daripada melodi. Teksnya berubah-ubah dengan
pengulangan-pengulangan melodi yang sama.
c. Tangis simate adalah nyanyian ratapan (lament) kaum wanita ketika
salah seorang anggota keluarga meninggal dunia. Disajikan pada saat si
50
mati tersebut masih berada di hadapan orang yang menangis sebelum
dikebumikan. Teksnya berisi tentang hal-hal atau perilaku yang paling
berkesan dari si mati semasa hidupnya, kebaikan dan kelebihan-
kelebihannya serta kemungkinan kesukaran hidup yang akan dihadapi
keluarga atas sepeninggal orang yang meninggal tersebut. Melalui tangis
ini pula orang-orang yang melayat dapat lebih mengetahui dan mengenal
sifat-sifat dari orang yang meninggal tersebut dan yang lebbih utama lagi
adalah bahwa melalui nyanyian ini para pelayat akan di bawa ke dalam
suasana duka yang mendalam melalui gaya tangis simate tersebut
sehingga dengan demikian pelayat akan tergerak bersatu ke dalam suatu
perasaan sepenanggung sependeritaan. Nyanyian ini adalah nyanyian
strofik yang mengutamakan teks daripada melodi. Teks yang disajikan
berubah-ubah dengan pengulangan-pengulangan melodi yang sama.
(ii) Ende-ende mendedah adalah sejenis nyanyian lullaby atau nyanyian
menidurkan anak yang dinyanyikan oleh si pendedah (pengasuh) baik
kaum pria maupaun wanita untuk menidurkan atau mengajak si anak
bermain. Jenisnya terdiri dari orih-orih, oah-oa, dan cido-cido. Ketiga
jenis nyanyian ini menggunakan teks yang selalu berubah-ubah dengan
melodi yang diulang-ulang (repetitif).
(iii) Orih-orih ialah nyanyian untuk menidurkan anak yang dinyanyikan
oleh si pendedah (pengasuh) orangtua atau kakak baik pria maupun
wanita. Si anak digendong sambil i orih-orihken (sambil menina
bobokkan si anak dalam gendongan) dengan nyanyian yang liriknya
berisi tentang nasehat, harapan, cita-cita maupun sebagai curahan kasih
sayang terhadap si anak tersebut.
51
(iv) Oah-oah sering juga disebut kodeng-kodeng, yaitu jenis nyanyian
yang teksturnya sama dengan orih-orih. Yang membedakannya ialah
cara dalam menina bobokkan si anak. Jika orih-orih disajikan sambil
menggendong si anak, maka oah-oah disajikan sambil mengayun si
anak pada ayunan yang digantungkan pada sebatang kayu di rumah
maupun di pantar (gubuk, dangau) yang terdapat di ladang atau di
sawah.
(v) Cido-cido adalah nyanyian untuk mengajak si anak bermain.
Tujuannya ialah untuk menghibur dengan membuat gerakan-gerakan
yang lucu sehingga si anak menjadi tertawa dan merasa senang.
Gerakan-gerakan tersebut biasanya ditampilkan pada akhir frasa lagu.
Si anak digoyang-goyang, diangkat tinggi-tinggi, dicolek atau
disenyumi yang menimbulkan rasa senang, geli atau lucu sehingga si
anak menjadi tertawa. Teks lagu yang disajikan umumnya berisi tentang
nasehat, petuah-petuah maupun harapan-harapan agar kelak si anak
menjadi orang yang berguna dan berbakti pada keluarga.
(vi) Nangan ialah nyanyian yang disajikan pada waktu mersukut-sukuten
(mendongeng). Setiap ucapan dari tokoh-tokoh yang terdapat pada
cerita tersebut disampaikan dengan gaya bernyanyi. Ucapan tokoh-
tokoh yang terdapat dalam cerita yang dinyanyikan itulah yang disebut
nangen, sedangkan rangkaian ceritanya disebut sukut-sukuten. Apabila
seluruh rangkaian cerita dan ucapan para tokoh cerita disampaikan
dengan gaya bertutur, maka kegiatan ini disebut dengan sukut-sukuten
(bercerita), sedangkan cerita yang menyertakan dalam penyampaiannya
disebut sukut-sukuten pake nangen. Namun, pada umumnya sukut-
52
sukuten yang menarik haruslah berisi nangen. Kegiatan mersukut-
sukuten biasanya dilakukan oleh para tua-tua yang sudah lanjut usia
pada malam hari terutama ketika ada orang yang meninggal dunia.
Secara mitos diyakini bahwa si mati yang tidak dijaga akan hilang
dimakan anjing. Agar orang-orang yang menjaga si mati itu tidak
tertidur, maka diadakanlah kegiatan mersukut-sukuten yang dimulai
menjelang tengah malam hingga pagi keesokan harinya.
Secara tekstur, cerita sukut-sukuten umumnya berisi tentang
pedoman-pedoman hidup dan teladan yang harus dipanuti berdasarkan
perilaku yang diperankan olehh tokoh yang terdapat dalam cerita.
Tokoh yang baik menjadi panutan sedangkan tokoh yang jahat
dihindari. Pencerita (persukut-sukuten) haruslah seorang yang cukup
ahli menciptakan karakter tokoh-tokoh melalui warna suara nangen
yang berbeda-beda satu sama lainnya sehingga menarik untuk
dinikmati.
Adapun sukut-sukuten yang cukup dikenal oleh masyarakat
Pakpak adalah Sitagandera, Nan Tampuk Mas, Manuk-manuk Si Raja
Bayon, Si buah mburle dan lain sebagainya.
(vii) Ende-ende Mardembas adalah bentuk nyanyian permainan di kalangan
anak-anak usia sekolah yang dipertunjukkan pada malam hari di
halaman rumah pada saat terang bulan purnama. Mereka menari
membentuk lingkaran, membuat lompatan-lompatan kecil secara
bersama-sama sambil bergandengan tangan dan melantunkan lagu-lagu
secara chorus (koor) maupun solo chorus (nyanyian solo yang disambut
oleh koor).
53
Pada malam hari kelompok perempuan dewasa sedang
menumbuk padi, maka biasanya pada saat itulah anak-anak melakukan
kegiatan mardembas. Isi teksnya adalah menggambarkan keindahan
alam serta kesuburan tanah Dairi yang dinyanyiakn dengan
pengulangan melodi (repetitif) dimana teksnya berubah-ubah sesuai
pesan yang disampaikanya.
(viii) Ende-ende Memuro Rohi, nyanyian ini termasuk ke dalam jenis work
song, yaitu nyanyian yang disajikan pada saat bekerja. Biasanya
dinyanyikan ketika berada di ladang atau di sawah untuk mengusir
burung-burung agar tidak memakan padi yang ada di ladang atau di
sawah tersebut. Kegiatan muro (menjaga padi) ini biasanya
menggunakan alat yang disebut dengan ketter dan gumpar3 yang
dilambai-lambaikan ke tengah ladang padi sambil menyanyikan
ende-ende memuro rohi.
Jenis-jenis kesenian di atas, baik seni musik maupun musik vokal sudah
jarang dtemukan. Seni musik tradisional tersebut sudah digantikan dengan alat
musik keyboard dalam upacara-upacara adat, baik upacara perkawinan maupun
upacara kematian. Begitu juga dengan musik vokal yang sudah sangat jarang
ditemukan, namum masih ada beberapa musik vokal yang masih ditemukan
seperti tangis simate dan tangis anak melumang.
3Ketter dan gumpar adalah alat yang terbuat dari bambu dan pada bambu tersebut digantungkan kain bekas yang dilambaikan ke tengah sawah untuk mengusir burung. Fungsi utama alat ini tentu saja menghalau burung, namun tetap dapat dikaji melalui disiplin etnomusikologi, yaitu studi musik dalam kebudayaan. Alat ini dapat digolongkan kepada fungsinya sebagai alat pendukung budaya pertanian.
54
BAB III
DESKRIPSI UPACARA KEMATIAN PADA
KEBUDAYAAN MASYARAKAT PAKPAK-DAIRI
Dalam Bab III ini, penulis akan mendeskripsikan tentang upacara kematian
yang terdapat pada masyarakat Pakpak-Dairi di desa Siompin, mulai dari peralatan
upacara, pelaku nupacara, lokasi upacara serta jalannya upacara. Namun sebelum
membahas ke pokok permasalahan, maka terlebih dahulu akan dideskripsikan tentang
jenis-jenis kematian pada kebudayaan masyarakat Pakpak yaitu sebagai berikut.
1. Mate ncayur tua, artinya orang yang meninggal dalam kondisi lanjut usia
dimana anak-anaknya sudah berumah tangga dan sudah memiliki cucu laki-
laki dan cucu perempuan.
2. Mate ntua, artinya orang yang meninggal dunia dengan kondisi dimana
anaknya masih berusia remaja atau belum berumah tangga.
3. Mate mpusa atau mate tompet, yaitu orang yang sudah berumah tangga
meninggal dunia tanpa memiliki keturunan.
4. Mate mbalu menatap, yaitu orang yang meninggal dunia dimana kondisinya
belum menikah terapi sudah bertunangan
5. Mate cender atau bunga-bunga cimpako, yaitu orang yang meninggal dunia
pada usia muda (lajang/gadis).
6. Mate bura-bura koning, yaitu orang yang meninggal dunia pada usia anak-
anak
55
3.1 Mate Ncayur Tua
Karena jenis kematian yang penulis teliti adalah mate ncayur tua, maka
terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang mate ncayur tua tersebut. Mate
ncayur tua adalah orang yang meninggal dalam kondisi lanjut usia dimana anak-
anaknya sudah berumah tangga dan sudah memiliki cucu laki-laki dan cucu
perempuan. Pada waktu sakit, biasanya disinilah kesempatan anak-anaknya untuk
menunjukkan kasih sayangnya kepada orang tua tersebut. Mereka menyuapi orangtua
tersebut dan setelah makan, biasanya orangtua tersebut memberikan nasihat, ajaran
dan berkat kepada anak-anaknya tersebut. Kadangkala, dalam kesempatan ini orangtua
tersebut menyerahkan harta dan kekayaan yang dimilikinya.
Dalam keadaan sakit tersebut, maka hal ini harus diberitahukan kepada pihak-
pihak keluarga dekat terkhusus kepada pihak kula-kula, berru dan dengan sebeltek.
Pihak keluarga yang sudah mengetahui kabar tersebut segera datang membawa
makanan yang disebut dengan nakan pengambat yang bermakna agar terhambatlah
semua penyakit sekaligus mereka mendoakan agar orang tua tersebut lekas sembuh.
Jika pihak kula-kula yang datang, maka mereka menjaga orangtua tersebut secara
berganti-ganti. Jika yang datang pihak berru, maka nakan penghambat tersebut
bermakna untuk meminta doa kepada guru/dukun agar orangtua tersebut diberi umur
panjang. Tetapi jika pihak dengan sebeltek yang datang, maka nakan penghambat
tersebut mereka bawa bermakna agar semua nasihat-nasihat yang diberikan orangtua
tersebut dapat mereka laksanakan dengan baik.
Jika orangtua tersebut sudah meninggal dunia, maka semua anak-anaknya,
menantunya dan cucunya menangisi orangtua tersebut. Tangisan ini jugalah yang
memanggil tetangga dan orang-orang di sekitarnya.
56
3.2 Deskripsi Upacara Kematian pada Masyarakat Pakpak-Daisi
Pada masyarakat Pakpak, bila seorang orang tua baik laki-laki maupun
perempuan meninggal dunia dimana semua anaknya laki-laki maupun perempuan
yang menjadi cucu orang yang meninggal tersebut sudah berumah tangga, maka dapat
dikatakan ncayur tua. Orang yang demikianlah yang lazim untuk dipestakan sesuai
dengan keadaan ekonomi dari keluarga yang ditinggalkan. Tingkatan upacara mate
ncayur tua dapat dikategotikan ke dalam 3 jenis, yaitu:
1. Males bulung simbernaik, yaitu jenis upacara yang paling tinggi tingkatannya
karena wajib memotong kerbau dan lembu. Besar kecilnya upacara ini diukur
dari jenis dan jumlah ternak yang dipotong sebagai lauk. Pada zaman dahulu,
jenis upacara ini dilakukan selama tujuh hari tujuh malam dan diiringi
genderang si lima. Tingkatan ini tentunya membutuhkan banyak biaya
sehingga hanya dilakukan orang-orang tertentu seperti keturunan raja.
2. Males bulung sampula, yaitu jenis upacara yang tingkatannya paling kecil.
Biasanya hewan yang dipotong cukup ayam saja dan tidak diiringi
genderang.Peserta upacara ini hanya keluarga dekat saja.
3. Males bulung buluh, yaitu jenis upacara tertinggi kedua atau menengah.
Biasanya hewan yang dipotong sebagai lauk adalah hewan berkaki empat yang
lebih kecil seperti kambing dan babi dan upacara ini tidak diiringi genderang.
Pemilihan tingkatan upacara kematian tersebut disesuaikan berdasarkan
keadaan ekonomi keluarga dari tuan rumah karena ke tiga tingkatan tersebut memiliki
perbedaan biaya yang berbeda pula. Pemilihan tingkatan upacara tersebut ditentukan
melalui musyawarah antara keluarga terdekat dan atas persetujuan dari sulang silima.
57
Adapun jenistingkatan upacara yang dipakai dalam tulisan yang saya teliti adalah jenis
upacara males bulung buluh.
Menurut teori Koentjaraningrat mengenai upacara,ada beberapa hal yang harus
diperhatikan di dalam sebuah upacara, yaitu: (1) peralatan dan benda upacara, (2)
lokasi upacara, (3) pelaku upacara, (4) jalannya upacara, dan (5) pemimpin upacara.
Kelima aspek ini dalam kaitannya dengan upacara kematian di dalam kebudayaan
masyarakat Pakpak-dairi di Desa Siompin Aceh adalah sebagai berikut.
3.1.1 Peralatan dan Benda Upacara
Adapun benda peralatan upacara yang digunakan dalam upacara tersebut
adalah sebagai berikut.
(a) Keyboard, alat musik ini disewa dan digunakan sebagai musik pengiring pada
saat acara tumatak (menari) dan juga sebagai musik pengiring pada saat
berlangsungnya acara ibadah yang biasanya dilaksanakan dalam agama
Kristen. Tidak diketahui secara pasti kapan alat music ini masuk ke daerah
yang penulis teliti dan dipakai sebagai ganti daripada genderang si lima,
namun alat musik ini dipakai karena keadaan ekonomi dari pihak yang
berpesta kurang memadai untuk menyewa genderang si lima tersebut karena
membutuhkan biaya yang cukup besar.
(b) Belagen mbentar (tikar putih). Ada beberapa fungsi dari belagen (tikar)
tersebut yaitu:
58
1. Digunakan sebagai perangkat adat lengkap4dalam upacara tersebut yang
dibawa oleh pihak kula-kula. Dalam hal ini, biasanya belagen ini
dilengkapi dengan kembal (sumpit) dan seekor ayam.
2. Digunakan sebagai tempat tidur perpisahan terakhir terhadap orang yang
meninggal tersebut.
3. Digantungkan di atas langit-langit rumah duka tersebut dan sejajar di atas
kepala orang yang meninggal tersebut.Dalam hal ini, biasanya dilengkapi
juga dengan kembal (sumpit) yang berisi sedikit beras.Semua peraltan ini
biasanya dibawa oleh pihak puang.
Gambar 3.1
Kembal (Sumpit)
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
4Disebut adat lengkap jika terdiri dari ayam, belagen mbentar (tikar putih), kembal (sumpit) dan sedikit beras. Lengkap dalam istilah ini berarti memenuhi empat unsur peralatan dan benda upacara dalam konteks etnosains masyarakat Pakpak-Dairi.
59
Adapun fungsi dari kembal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Digunakan sebagai perangkat adat lengkap dalam upacara tersebut yang
dilengkapi dengan belagen (tikar) dan seekor ayam yang biasanya dibawa
oleh pihak kula-kula.
2. Digantungkan di atas langit-langit rumah sejajar di atas kepala orang yang
meninggal tersebut.Dalam hal ini, dibawa oleh pihak puang.
(c) Beras, yang mempunyai fungsi sebagai berikut.
1. Beras ini dimasukkan ke dalam kembal (sumpit) kemudian digantungkan
di atas langit-langit rumah sejajar di atas orang yang meninggal tersebut.
2. Kedua, beras ini nantinya akan dihambur-hamburkan kepada keluarga
dekat dari pihak yang melaksanakan upacara dengan makna agar semua
keluarga yang ditinggalkan diberi kesehatan dan umur panjang.
(d) Tali kajang, yaitu tali yang digunakan untuk menggantungkan belagen dan
kembal tersebut.
(e) Oles, ada beberapa fungsi dari oles tersebut, yaitu :
1. Digunakan sebagai perangkat adat lengkap dalam upacara tersebut yang
dibawa oleh pihak berru dan biasanya dilengkapi dengan sejumlah uang.
2. Digunakan sebagai tudung di atas kepala yang bermakna suami yang
sudah resmi menjadi duda atau saong yang bermakna istri yang sudah
resmi menjadi janda atau duda. Dalam hal ini, oles ini dibawa oleh pihak
puang.
3. Ditutupkan ke tubuh orang yang meninggal tersebut yang bermakna agar
roh nya selalu memberkati keluarga yang ditinggalkan atau yang disebut
dengan oles penaput. Dalam hal ini, oles ini dibawa oleh pihak berru.
60
Gambar 3.2
Tali Kajang
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
61
Gambar 3.3
Oles
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
(f) Ayam, ini digunakan sebagai perangkat adat lengkap dalam upacara tersebut
yang biasanya dilengkapi dengan belagen dan kembal yang dibawa oleh pihak
kula-kula.
(g) Uang, digunakan sebagai perangkat adat lengkap yang dilengkapi dengan oles
dan biasanya dibawa oleh pihak berru.
(h) Pinggan (piring kaca) berukuran kecil, pinggan ini digunakan sebagai tempat
atau wadah beras yang akan dihamburkan tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat
kita lihat pada gambar di bawah ini.
62
Gambar 3.4
Pinggan
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
Selain itu, terdapat juga beberapa jenis makanan yang biasa digunakan dalam
pelaksanaan upacara. Beberapa jenis makanan tersebut adalah sebagai berikut.
(i) Nakan persirangen (makanan perpisahan), ini dibawa oleh pihak puang
dengan lauk ayam dan dilengkapi dengan nasi yang mempunyai makna sebagai
makanan perpisahan terakhir terhadap orang yang meninggal tersebut.
(j) Nakan pendungo-ndungoi ini dilengkapi dengan lauk ayam dan dilengkapi
dengan nasi yang dimakan pada saat tengah malam agar para pelayat dan
63
seluruh keluarga tidak tertidur. Biasanya disediakan oleh pihak sukut (tuan
rumah).
(k) Nakan mengari-ari tendi ini dimakan setelah acara pemakaman 1-4 hari
kemudian yang disebut dengan upacara mengari-ari tendi. Biasanya dibawa
oleh pihakpuang.
3.1.2 Pelaku Upacara
Dari pengamatan di lapangan, maka pelaku upacara kematian tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Kesukuten (tuan rumah), mereka adalah orang yang menjadi tuan rumah dalam
upacara kematian tersebut.Kesukuten tersebut terdiri dari anaknya laki-laki dan
perempuan, menantu laki-laki dan perempuan, cucu atau cicit laki-laki dan
perempuan.
2. Kelompok puang, mereka adalah pihak kelompok pemberi istri
3. Kelompok berru/senina, mereka adalah orang yang bertugas di dapur untuk
mempersiapkan makanan selama upacara berlangsung. Sedangkan senina
adalah mereka yang membantu tuan rumah dalam bentuk materiserta ikut
mendukung upacara tersebut.
4. Dengan kuta (kawan satu kampung), mereka adalah pihak yang membantu
kesukuten (tuan rumah) khususnya dalam hal jasa selama upacara berlangsung
serta ikut serta mengesahkan upacara tersebut.
5. Supan-supan (sahabat), mereka adalah sahabat dari pihak yang berpesta yang
tidak ada ikatan keluarga dengan pihak yang berpesta tersebut dan tidak
termasuk ke dalam kelompok puang, kula-kula, berru dan senina. Meraka juga
ikut membantu memberikan jasa selama upacara berlangsung.
64
6. Perkebbas (pekerja pesta), mereka adalah pihak yang ikut serta bekerja di
dapur untuk membantu pihak berru menyiapkan dan menyediakan makanan
dalam upacara tersebut. Biasanya terdiri dari kaum ibu dan bapak.
7. Anak perana dan simerbaju, mereka adalah kelompok muda-mudi yang juga
ikut untuk mempersiapkan dan menyediakan makanan selama acara pesta serta
membantu menyediakan peralatan-peralatan yang berhubungan dengan hal
tersebut seperti mengumpulkan kayu bakar serta menyediakan bahan-bahan
masakan. Semua kelompok di atas akan mempunyai kesempatan untuk
tumatak (menari) sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam acara adat
tersebut.
8. Raja si roh (pemerintah setempat), mereka adalah pemerintah setempat yang
ada di kampung tersebut.
3.1.3 Lokasi Upacara
Adapun lokasi upacara kematian yang penulis teliti adalah bertempat di Desa
Siompin, Kabupaten Aceh Singkil, di rumah Bapak Jujur Tumangger.Di dalam rumah
tersebut, posisi jenazah diletakkan di bagian tengah ruangan rumah duka tersebut agar
para pelayat yang datang dapat mengelilingi jenazah. Jenazah diletakkan tepatnya di
sebelah kiri pintu masuk rumah.
3.1.4 Pemimpin Upacara
Pelaksanaan upacara tersebut dipimpin oleh seorang perkata-kata yang berasal
dari pihak berru yang tentunya mengerti tentang upacara kematian agar nantinya tidak
terjadi kesalahan. Tugasnya adalah menyusundan memimpin acara selama upacara
berlangsung.
65
3.1.5 Jalannya Upacara
Upacara atau pesta adat dilaksanakan tentunya setelah melakukan musyawarah
antara tuan rumah dengan pihak-pihak keluarga terdekat yang bertujuan untuk
membicarakan tentang pesta adat yang akan dilaksanakan. Pihak-pihak yang harus
hadir dalam musyawarah tersebut adalah kelompok puang, khususnya puang benna
dan puang pengamaki agar tahapan persiapan dan pelaksanaan upacara tidak
terkendala. Musyawarah dilaksanakan di tempat lain atau tidak di rumah duka tersebut
supaya tidak ada yang mengganggu selama proses musyawarah berlangsung. Dan
apabila ada masalah-masalah yang timbul selama proses musyawarah berlangsung,
tidak mengganggu pihak sukut (tuan rumah) yang berduka.
Setelah semua pihak keluarga hadir, maka dilakukan musyawarah yang
direncanakan oleh wakil sukut (saudara almarhum). Dalam musyawarah tersebut
dibicarakan rencana pelaksanaan pesta tersebut, seperti: lamanya pesta, jumlah dan
jenis hewan yang akan dipotong serta alat musik yang digunakan. Dalam musyawarah
tersebut juga dibicarakan mengenai siapa saja puang dan berru dari keluarga yang
terkena kemalangan, terutama kalimbubu yang meninggal. Puang dalam hal ini
mencakup puang benna ni ari dan puang kalimbubu.
Setelah selesai musyawarah, kelompok puang berangkat menuju rumah duka
dengan membawa satu ekor ayam, tikar, dan selampis (sumpit) yang berisi beras.
Beras dan ayam tersebut nantinya dimasak dan akan dimakan bersama-sama. Makanan
ini disebut dengan nakan persirangen (makanan perpisahan). Sedangkan tikar
dianggap sebagai tempat tidur perpisahan terakhir sebagai alas dari jenazah tersebut.
Ketika memberikan peralatan tersebut kepada sukut (tuan rumah), pihak puang berkata
“En mo kubaing kami belagen ntiar asa mernipi ntiar mo karina beberre nami dekket
66
kempu-kempu nami itadingken kene dekket merkininjuah, beak gabe dekket sangap
mencari. Yang artinya “Inilah kami berikan tikar putih supaya bermimpi indahlah
semua cucu-cucu kami yang ditinggalkan, sehat selalu dan berlimpah rezeki.”
Selain itu, di bagian atas kepala orang yang meninggal tersebut juga dipasang
tali yang disebut kajang kemudian belagen (tikar) dan kembal (sumpit) berisi sedikit
beras pilihan yang ditujukan kepada arwah yang meninggal tersebut yang disebut
dengan pehabang. Dalam hal ini, dibawa oleh pihak puang juga, yaitu puang benna ni
ari dan sambil berkata “en mo kubaing kami langit-langit kain mbentar dekket
belagen, asa ntiar mo karina dekket ntarar pencarien perezekien perolihen mi kempu-
kempu name sini tadingken ndene en dekket sehat-sehat mo kami karina.” Yang
artinya “ inilah kami buat langit-langit supaya cerahlah pencaharian, tambah rezeki
kepada semua cucu yang ditinggalkan. Supaya sehat-sehatlah kami semua. Untuk
lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 3.5
Belagen, Kembal, dan Tali Kajang
.
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
67
Setelah puang memberikan kewajibannya, hadir pula kelompok berru dengan
membawa oles dan ditutupkan ke tubuh orang yang meninggal tersebut. Oles ini
disebut penaput yang bermakna agar roh dari orang yang meninggal tersebut selalu
memberkati keturunan yang ditinggalkan.
Selain berru hadir pula senina (saudara satu marga atau dengan sebeltek) yang
berkewajiban memberi bantuan kepada pihak sukut (tuan rumah) dalam mendukung
upacara berupa uang dan beras. Uang dan beras ini akan digunakan untuk keperluan
pesta adat tersebut.
Pelaksanaan upacara selanjutnya pada malam harinya adalah acara tumatak
(menari) sambil mengelilingi orang yang meninggal tersebut dan diiringi musik.
Biasanya, ensambel musik yang mengiringi upacara kematian pada masyarakat
Pakpak adalah ensambel genderang si lima. Namun, dalam hal ini, sukut atau
pelaksana upacara tidak memakai genderang si lima, tetapi digantikan dengan alat
musik keyboard. Hal ini disebabkan karena keadaan ekonomi keluarga yang tidak
mencukupi untuk menyewa alat musik tersebut karena membutuhkan biaya yang
cukup besar. Sebelum acara menari dimulai, pihak sukut tmenyampaikan beberapa hal
kepada puang, berru, dengan sebeltek dan semua keluarga yang hadir. Adapun isi dari
pesan yang disampaikan adalah “acara tumatak enda kita ulaken imo penggancih
tangis dekket mengido pasu-pasu asa njuah-njuah kita karina”. Yang artinya “ acara
menari ini dilaksanakan sebagai ganti tangis dan supaya kita yang ditinggalkan
diberkati dan sehat selalu.” Pihak puang juga menyampaikan pesan kepada seluruh
kerabat yang hadir dalam upacara tersebut. Adapun isi dari pesan yang disampaikan
adalah “ mendahi kita karina si lot isen,tah lot deng ngo utang dekket ido partua ta
enda, asa ibagahken mo mendahi kami sinderrang makdeng kita taruhken partua nta
68
enda mi bekkas persigejjapen idi.” Yang artinya “kepada kita semua yang hadir di
sini, jika masih ada hutang atau piutang dari orang tua kami ini agar diberitahukan
kepada kami dan diselesaikan sebelum dimakamkan”. Setelah selesai menyampaikan
beberapa hal tersebut, maka acara menari pun dimulai. Adapun susunan atau urutan
acara tumatak tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kelompok sukut (tuan rumah),
2. Kelompok kula-kula,
3. Kelompok berru,
4. Dengan kuta (kawan satu kampung),
5. Supan-supan (sahabat),
6. Perkebbas (pekerja pesta),
7. Raja sir oh (pemerintah setempat), dan
8. Kempu (cucu).
Acara tumatak (menari) dimulai dari kelompok sukut (tuan rumah). Setelah
mereka menari, dilanjutkan oleh kelompok kula-kula dan begitu seterusnya. Biasanya
kelompok penari tersebut menari sambil menangis, menyentuh bahkan mencium pipi
orang yang meninggal tersebut.Gerakan menari dimulai dari sebelah kanan jenazah
tersebut dan berputar mengelilingi jenazah tersebut. Setiap penari juga diwajibkan
untuk memakai selendang. Khusus untuk cucu laki-laki paling tua, biasanya memakai
tongkat.
Posisi tangan ketika sedang menari pun berbeda. Posisi telapak tangan sukut
dan berru menghadap ke atas, maknanya adalah minta berkat dari para puang
sedangkan posisi telapak tangan puang telungkup yang maknanya memberi berkat.
Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar di bawah ini.
69
Gambar 3.6
Pihak Puang dan Berru Sedang Menari Adat
Dalam Upacara Kematian
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
Kira-kira jam 24.00 WIB (tengah malam) seluruh anggota keluarga dan para
pelayat (penonggor) makan bersama-sama memakan makanan yang disebut nakan
pendungo-dungo yang bertujuan agar mereka jangan sampai tertidur dan dilakukan
setiap malam sebelum penguburan.
Keesokan harinya, tepatnya pada pagi hari sebelum acara pemakaman, maka
pihak keluarga membuat acara yang disebut dengan acara keluarga. Acara ini hanya
boleh dihadiri pihak keluarga dekat saja. Acara ini berupa penyampaian pesan-pesan,
meminta berkat terhadap roh orang yang meninggal tersebut serta ucapan selamat
70
jalan dari pihak keluarga.. Dalam acara ini pihak keluarga juga biasanya bernyanyi
bersama sebagai kesempatan terakhir untuk mengenang tentang orang yang meninggal
tersebut.
Setelah acara keluarga selesai, maka batang ditutup dan pada saat inilah semua
pihak keluarga diberi kesempatan terakhir untuk melihat jenazah tersebut. Semua
pihak keluarga menangis karena merupakan kesempatan terakhir untuk melihat
jenazah tersebut. Setelah batang ditutup maka jenazah diangkat ke luar rumah,
tepatnya di teras halaman rumah.
Setelah itu, acara selanjutnya adalah acara menari kembali. Susunan acaranya
mengacu pada susunan acara pada saat menari pada malam hari sebelumnya. Jadi bisa
dikatakan, pada waktu acara menari pada malam hari itu adalah sebagai gladi resik,
bedanya setiap kelompok utusan menyampaikan kata-kata baik berupa pesan serta
meminta berkat kepada roh orang yang meninggal tersebut. Adapun isi dari pesan
tersebut adalah “selamat jalan mo mendahiken kono, asa memasu-masu mo tendimu
mendahi kami si tading en. Tambah rezeki dekket njuah-njuah kami karina
sinitadingkenmu.” Artinya “selamat jalan, biarlah roh mu memberkati kami yang kau
tinggalkan. Tambah rezeki dan sehat-sehat kami selalu.”
71
Gambar 3.7
Kata-kata Ucapan Meminta berkat dari Roh Yang Meninggal
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
Setelah acara menari selesai, maka acara selanjutnya diserahkan kepada pihak
gereja untuk membuat acara ibadah singkat sebelum jenazah dimakamkan. Isi dari
acara tersebut adalah bernyanyi, berdoa serta pembacaan riwayat hidup dari orang
yang meninggal tersebut. Acara berlangsung sekitar setengah sampai satu jam saja.
Adapun yang memimpin acara adalah pengurus gereja seperti pendeta atau guru
jemaat. Dengan catatan, apabila orang yang meninggal tersebut sintua atau pengurus
gereja, maka acara ini biasanya berlangsung di gereja. Tetapi apabila orang yang
meninggal tersebut jemaat biasa, maka acara ini dilakukan di rumah duka saja.
Setelah acara tersebut selesai, maka jenazah diangkat oleh pihak berru dan
dibawa ke lokasi pemakaman. Karena lokasi pemakaman cukup jauh, maka jenazah
72
dibawa dengan kendaraan mobil dari keluarga tersebut.Peserta yang ikut ke lokasi
pemakaman adalah pihak keluarga dekat, kerabat, sahabat dan orang-orang di sekitar
kampong tersebut.Biasanya ada orang-orang tertentu yang membuat lokasi
pemakaman khusus untuk anggota keluarganya dan lokasinya tidak sama dengan
lokasi pemakaman umum. Namun dalam hal ini, pihak keluarga yang bersangkutan
tidak mempunya lokasi pemakaman sendiri sehingga jenazah dimakamkan di lokasi
pemakaman umum yang terdapat di desa tersebut. Setelah sampai di lokasi
pemakaman, maka acara selanjutnya adalah acara ibadah singkat.Isi dari acara tersebut
adalah bernyanyi dan berdoa yang dipimpin oleh pihak gereja.
Pemakaman orang yang sudah lanjut usia biasanya dilakukan pada pagi hari
yang disebut perkeke mataniari. Waktunya sekitar jam 10.00-12.00 siang hari.
Maknanya agar keturunan yang ditinggalkan memperoleh peningkatan rejeki,
kesehatan dan keselamatan seperti layaknya matahari terbit. Namun demikian,
pemakaman jenazah tersebut dilakukan pada sore hari karena masih ada anggota
keluarga yang belum datang dari tempat yang jauh sehingga pemakaman ditunda
hingga sore hari.
Setelah acara pemakaman selesai, maka seluruh pelaksana upacara tersebut
makan di rumah pihak sukut (tuan rumah), setelah itu dilaksanakan penyelesaian
hutang-hutang adat dimana semua puang yang membawa ayam, beras dan tikar akan
menerima sarung dilengkapi uang dari pihak berru. Berru yang membawa kain sarung
(mandar) akan mendapat ayam, beras dan tikar dari pihak puang. Dengan kata lain,
perlengkapan adat yang dibawa oleh pihak puang ditukarkan dengan perlengkapan
adat yang dibawa oleh pihak berru.
Setelah selesai pelaksanaan hitang-piutang adat tersebut, maka pihak sukut
(tuan rumah) menghitung berapa biaya keseluruhan dari acara tersebut serta bantuan
73
yang mereka peroleh. Jika pihak sukut mengalami kerugian, maka mereka dapat
meminta bantuan kepada anak berru dan dengan sebeltek untuk menutupi kerugian
tersebut.
Dalam pelaksanaan pembayaran adat kematian, masih ada jenis hutang yang
harus dibayar pihak sukut kepada pihak puang yang disebut dengan lemba. Lemba
adalah hutang adat kepada paman (puhun) atau keturunannya setelah seseorang
meninggal dunia. Lemba menunjukkan bahwa adanya ikatan darah antara pihak sukut
dengan puang melalui perkawinan. Seseorang yang tidak membayar lemba maka
diyakini bisa terkena hukuman gaib yang disebut dengan idendeni lemba. Kelompok
kerabat yang menerima lemba antara laki-laki dan perempuan berbeda. Bila laki-laki
yang meninggal, maka yang berhak menerima lemba adalah saudara laki-laki ibu atau
anak laki-laki ibu. Bila perempuan yang meninggal yang berhak menerima lemba
adalah si ayah atau saudara laki-lakinya atau anak dari saudara laki-lakinya.
Jenis lemba yang harus dibayarkan oleh keluarga yang meninggal dapat berupa
emas, tanah, kebun, sawah atau sejumlah uang. Jenisnya ditentukan setelah melakukan
musyawarah antara kerabat dari kedua belah pihak. Keadaan keluarga yang mampu
secara ekonomi, maka biasanya hutang adat ini disertai dengan pemberian emas.
Ada beberapa jenis lemba dalam konsep masyarakat Pakpak yang dibedakan
berdasarkan pemberian dari pihak keluarga yang meninggal yaitu :
1. Siempat berngin, bila pemberian disertai dengan emas atau sawah.
2. Sidua berngin, bila pemberian hanya oles (sarung) dan sejumlah uang.
Kewajiban yang menerima juga sesuai dengan jenis lemba yang diterima. Bila
jenisnya sidua berngin, maka kewajiban puang yang menerima hanya
seperangkat adat dengan lauk ayam. Bila jenisnya siempat berngin, maka pihak
74
puang wajib menyerahkan seperangkat adat dengan hewan berkaki empat
seperti kambing atau babi.
Berdasarkan hubungan harmonis atau tidak harmonisnya hubungan kerabat yang
meninggal dengan pihak kerabat puang yang menerima lemba, maka lemba juga
dibedakan ke dalam 2 jenis yaitu:
1. Lemba nggelluh maksudnya bila hubungan harmonis antara kedua belah pihak
kerabat dan ada kemungkinan besar akan saling kawin antara kedua kerabat.
2. Lemba mate maksudnya bila hubungan yang terjadi selama ini tidak harmonis
dan kecil kemungkinan untuk saling kawin antara kedua belah pihak.
Pemberian lemba dilakukan pada saat kelompok puang datang ke rumah
keluarga orang yang meninggal tersebut dengan membawa makanan pada hari yang
telah disepakati (1 sampai 4 hari setelah pemakaman). Kegiatan ini disebut dengan
upacara mengari-ari tendi. Maksud pemberian makanan ini adalah karena pada saat
kematian pihak keluarga menjadi sedih dan takut (terari tendi) disebabkan karena
kematian dari salah satu anggota keluarga tersebut maka pihak puang perlu
melindunginya dengan memberi makan untuk memulihkan seperti kondisi semula.
Biasanya makanan ini dilengkapi dengan lauk hewan berkaki empat (babi) dan hewan
berkaki dua (ayam) serta dilengkapi juga dengan sambal cina matah (sambal mentah)
yang bermakna menjera-jerai artinya supaya tidak ada lagi anggota keluarga yang
meninggal.
Pada saat pemberian lemba, maka hutang lemba tersebut diletakkan di atas
kembal (sumpit) yang berisi beras yang diletakkan di atas pinggan (piring kaca kecil)
dilengkapi dengan uang, sarung atau sesuai dengan yang disepakati. Lemba tersebut
diberikan kepada salah satu yang mewakili dari pihak puang dan menjungjung di atas
kepalanya sambil berkata “ en mo tuhu enggo kujalo lemba, asa merkiteken en asa
75
njuah-njuah kita karina, panjang umur dekket kade si kita cita-citaken imo menjadi”.
Yang artinya “inilah lemba yang sudah kuterima, biarlah melalui lemba ini sehat-
sehatlah kita semua, panjang umur, dan apa yang kita cita-citakan dapat
tercapai”sambil menghamburkan beras yang dijunjung tersebut. Prinsip adat dalam
pembayaran adat lemba disebut dengan istilah ulang telpus bulung yang artinya pihak
penerima tidak boleh rugi secara ekonomi. Pada saat mengari-ari tendi, maka pihak
sukut (tuan rumah) biasanya akan memberi beberapa jenis barang peninggalan orang
yang meninggal tersebut, anatara lain:
a. Manoh-manoh, adalah barang peninggalan orang yang meninggal tersebut
seperti sawah, kebun, perhiasan dan hewan ternak seperti babi atau kambing.
b. Bau-bau, adalah berupa pakaian bekas dari orang yang meninggal tersebut.
c. Penabar-nabari, adalah ucapan terimakasih kepada pihak kula-kula yang
sudah dianggap ikut mengobati, diberikan berupa pinggan (pinggan pasu)
namun dapat juga diganti dengan uang.
d. Ribak-ribak sarkea adalah beerupa makanan orang yang meninggal tersebut.
e. Upah mertatah adalah upah pengasuh orang yang meninggal tersebut ketika
masih kecil.
Semua jenis tersebut berhak diminta/dipilih oleh pihak puang kepada keluarga
sukut (tuan rumah) dan mereka wajib memberikannya jika permintaan tersedia. Hal
ini sebagai kenang-kenangan dari orang yang meninggal tersebut dan untuk
mempererat hubungan kekeluargaan. Demikianlah deskripsi upacara kematian pada
masyarakat Pakpak yang saya teliti di desa siompin yang penulis peroleh dari hasil
penelitian langsung di lapangan.
76
BAB IV
ANALISIS FUNGSI, TEKSTUAL
DAN MUSIKAL TANGIS SIMATE
4.1 Penyajian Tangis Simate
Dalam Bab IV ini, penulis akan menganalisis fungsi, tekstual dan musikal
serta makna yang terkandung dari teks tangis simate tersebut. Tangis simate
disajikan pada saat si mati masih berada di rumah. Pada umumnya, tangisan ini
hanya disajikan oleh keluarga dekat saja. Tidak ada peraturan waktu tertentu dalam
menyajikan tangis ini. Tangis ini bebas disajikan pada saat kapan saja selagi
jenazah masih berada di rumah kecuali pada saat acara-acara tertentu seperti acara
dari pihak gereja yang biasanya dilaksanakan bagi yang beragama Kristen. Ketika
acara ini berlangsung, maka pihak keluarga dekat dan para pelayat tidak boleh lagi
menyajikan tangis simate supaya tidak terganggu selama acara
berlangsung.Tangisan ini tidak diiringi alat musik. Tangis ini biasanya disajikan
ketika melihat keluarga dekat yang datang melayat sehingga si penyaji tergerak
hatinya untuk menangis. Kemudian, tangis ini disajikan secara spontan dimana
pada saat suasana dalam keadaan sunyi, maka si penyaji teringat dan mengenang
tentang si mati tersebut sehingga dia mengungkapkannya lewat tangisan.
Kemudian, tangis ini sering juga disajikan ketika ada anggota keluarga yang
lain datang menangis sehingga keluarga yang ada di rumah jenazah juga terpancing
untuk menangis. Pada umumnya, tangisan ini hanya disajikan oleh kaum wanita
dewasa saja.Sejauh pengamatan penulis, tidak ada kaum laki-laki yang menyajikan
77
tangisan ini walaupun dia merasakan kesedihan yang mendalam. Biasanya, mereka
mengungkapkan ekspresi kesedihannya lewat air mata saja.
Gambar 4.1
Ekspresi Wajah Sedih oleh Penyaji Tangis Simate
Dokumentasi: Marliana Manik (2012)
4.2 Penggunaan Tangis Simate
Penggunaan tangis simate digunakan dalam konteks kematian. Tangis
simate ini bukanlah suatu bagian dari adat, tetapi tradisi yang dilakukan secara
turun-temurun dan hanya digunakan dalam konteks kematian saja. Tangisan ini
sejenis bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan berbagai hal tentang si
mati seperti kesan, kepribadian, kebaikan atau hal-hal lainnya berupa kenangan-
78
kenangan yang berkesan pada waktu si mati masih hidup sehingga orang yang
mendengar tangisan ini dapat mengetahui berbagai hal tentang si mati tersebut.
4.3 Analisis Fungsi Tangis Simate
Dari sepuluh fungsi musik yang dikemukakan oleh Allan P. Merriam dalam
teori use and function, maka penulis menemukan 2 fungsi dari nyanyian tersebut,
yaitu seperti diuraikan berikut ini.
4.3.1 Fungsi Pengungkapan Emosional
Tangis simate ini disajikan oleh kaum wanita dihadapan orang yang
meninggal. Dalam tangis tersebut, penyaji menceritakan bagaimana sifat, kebaikan
serta hal-hal yang paling berkesan dari simati tersebut dalam bentuk nyanyian. Rasa
duka dari si penyaji tersebut disampaikan melalui tangis tersebut. Biasanya si
penyaji terlarut dalam tangis tersebut dan mengenang segala penderitaan yang
dialami dalam hidupnya sehingga dia tidak hanya menceritakan tentang si mati
tersebut, tetapi menceritakan bagaimana keluh kesah yang dihadapi dalam hidupnya
Dia mengungkapkan segala penderitaan yang dialami dalam hidupnya, bahkan
anggota keluarga yang sudah lama meninggal dunia dikenang kembali dalam tangis
tersebut sehingga tangis simate ini dapat berlangsung selama 2 hari 2 malam.
Tangis tersebut bisa dikatakan sebagai sarana dan kesempatan untuk
menyampaikan isi hati si penyaji sehingga ada istilah “ pande mang ko keppe
memukai sindanggel ku” yang artinya “ kau telah mengingatkanku akan
penderitaan dalam hidupku”. Kata “kau” disini ditujukan kepada si mati tersebut. Si
penyaji menangis terus-menerus dengan spontan dan tidak merasa lelah, tetapi dia
merasa puas karena sudah mengungkapkan isi hatinya.
79
4.3.2 Fungsi Komunikasi
Jika seseorang meninggal dunia, maka hal pertama yang terdengar adalah
suara tangisan dari pihak keluarga tersebut. Ketika suara tangisan tersebut
terdengar, maka orang-orang di sekitarnya mengetahui bahwa ada orang yang
meninggal dunia. Tangis tersebut mempunyai arti untuk memanggil atau
memberitahukan orang-orang di sekitarnya bahwa mereka mengalami kemalangan
sehingga orang-orang akan datang untuk melayat serta memberikan penghiburan.
Melalui gaya bernyanyi dan teks dari tangis tersebut, maka orang-orang mengetahui
bahwa ada orang yang meninggal dunia.
4.4 Analisis Semiotik terhadap Teks Tangis Simate
4.4.1 Teks Tangis Simate oleh Saidup br Manik
Sebelum menganalisis makna dan struktur dari teks nyanyian tersebut, maka
penulis menuliskan teks dari nyanyian tesebut. Berikut ini adalah teks yang
disajikan oleh ibu Saidup br Manik yang saya terjemahkan sendiri ke dalam bahasa
Indonesia.
Nggo teddoh berrumu megge soramu sudah rindu putrimu dengar suaramu Le nang ni berruna oh ibu Nggo teddoh berre-berremu mengenget-ngenget ko sudah rindu putrimu mengingatmu Mula lot deng ko tading le nang ni berre-berrena kalau saja kau masih hidup Bakune pe ndersana berre-berremu bagaimanapun penderitaan putrimu oda terajar berrumu tidak terasa oleh putrimu Perotor na ngo ke karina bak inang ni berruna kalian pergi berturut-turut ibu dekket ko le nang ni berre-berrena dan bibi ku Oda ne lot pendengan-dengani berrumu tidak ada lagi yang menemaniku le nang berre-berrena oh bibi ku Mula lot deng bapa kalau masih ada paman ni berre na isapen di rumah ini oda tertengensa oda mangan dia tidak tega melihat kami tidak makan Dekket oda meroles inang ni bre-brena dan tidak berpakaian En nggo ke karina merlausen sekarang kalian sudah pergi semua inang ni berruna dekket ko ibu Inang ni bre-brena dan bibiku Mike ne poda kesurutenmu inang ni bre-brena kemana lagi aku mengadu bibiku Eda kin ngo nemuken isapen dulu kakak iparku yang ada disini Kesuruten edamu inang ni edana tempatku berbagi
80
Ko nola pe nggo mersakit tah piga sekarang kau juga sedang sakit bulan en beberapa bulan ini Mula dekah aren isapen inang ni edana kalau selama ini kakak ipar dekket turang dua-duana ke isapen dan abangku di rumah ini Merlalun-lalun edamu roh mendahi ko bermanja-manja aku datang pada kalian nggo kessa melehe eda oda mela edamu balau aku lapar aku tidak malu Mido mangan minta makan En pe njuah giam ndor iakap ko dan sekarang cepatlah kau sembuh Inang ni edana asa lot giam balik kakak iparku biar ada Kesuruten edamu kaduan tempatku berbagi Inang ni edana oh kakak iparku Mula bagendari teddoh edamu dan saat ini aku rindu Taba ko inang ni edana padamu kakak iparku Baing mujung i kinincor karena penderitaanku Edamu be deba nai yang tidak seperti orang lain Oda ko giam terdahi edamu aku tidak bisa menjengukmu Mi Medan adoi inang ni edana ke Medan kakak iparku Njuah ncerdik ko giam karina Sehat-sehat lah kalian semua Asa kene giam kaduan Biar kalianlah nanti Mengkesukutken berrumu Membimbing aku Demikianlah isi teks yang disampaikan oleh ibu Saidup Berutu.
4.4.2 Isi Teks
Dalam teks ini menceritakan bagaimana penyaji mengungkapkan
tangisannya ketika ibunya meninggal dunia. Dia menceritakan banyak hal dalam
tangisan ini, tidak hanya berkisar tentang ibunya sendiri. Dalam tangisan ini, dia
juga menceritakan dan mengenang kembali akan bibinya yang sudah meninggal
dunia. Dia rindu akan ibunya dan bibinya yang sudah lama meninggalkannya.
Semasa hidupnya, mereka adalah tempat untuk bermanja, berbagi dan melewati
suka dan duka, tetapi ketika mereka sudah meninggal dunia, maka dia merasa
kesepian dan tidak ada lagi tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Dalam tangisan
ini juga menceritakan kakak iparnya yang sudah lama menderita sakit dan berobat
di tempat yang jauh. Dia rindu akan sosok kakak iparnya yang selalu baik padanya.
Selain itu, dia juga menceritakan bagaimana penderitan dalam menjalani
kehidupannya. Hidup dengan serba kekurangan. Bagaimanapun kerasnya dia
mencari nafkah, namun tidak pernah mendapatkan penghasilan yang besar, tetapi
81
hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Si penyaji mengungkapkannya dengan
spontan dan menangis dengan penuh kesedihan dan air mata.
4.4.3 Makna Teks
Dalam teks tangis simate tersebut si penyaji menggunakan bahasa sehari-
sehari, namun pada bagian-bagian tertentu penyaji harus menggunakan pemilihan-
pemilihan kata yang tepat sesuai dengan tradisi yang berlaku. Istilah lain atau
berupa ungkapan-ungkapan yang menyerupai pantun.Ada beberapa makna yang
bisa saya lihat dari teks tersebut yaitu sebagai ungkapan rasa haru dan rasa rindu
karena ibunya yang meninggal dunia. Teksnya dapat kita lihat di bawah ini.
Nggo teddoh berrumu megge soramu inang ni berruna Sudah rindu putrimu mendengar suaramu Nggo teddoh berre-berremu mengenget-ngenget ko Sudah rindu putrimu mengingatmu bibiku Mula lot deng ko tading le nang ni berre-berrena Kalau saja kau masih hidup Bakune pe ndersana berre-berremuBagaimanapun Penderitaan putrimu oda terajar berrumu Tidak terasa oleh putrimu
Dalam teks tersebut, dia mengungkapkan kesedihan dan rasa haru karena ibunya
dan bibinya yang sudah meninggal dunia..
Makna selanjutnya adalah berupa pesan/doa kepada orang-orang yang dia
sebutkan dalam tangis tersebut. Teksnya dapat kita lihat di bawah ini.
En pe njuah giam ndor iakap ko Dan sekarang cepatlah kau sembuh Inang ni edana asa lot giam balik Kakak iparku biar ada Kesuruten edamu kaduan Tempatku berbagi Inang ni edana Oh kakak iparku Njuah ncerdik mo ko giam karina Sehat-sehatlah kalian semua Rading ni berruna dekket bapa ni berruna Putriku dan ayahmu
Dalam teks tersebut, dia mengingat kakak iparnya yang sudah lama
terbaring sakit di tempat yang jauh. Dia berpesan/berdoa supaya kakak iparnya
tersebut cepat sembuh agar dia bisa berbagi lagi kepada kakak iparnya tersebut. Dia
juga berpesan supaya anak dari kakak iparnya tersebut sehat selalu, begitu juga
82
dengan saudara laki-lakinya (suami dari kakak iparnya) tersebut. Teksnya dapat
kita lihat di bawah ini.
Edakin ngo nemuken isapen kesurutenku Dulu kau tempatku berbagi Ko nola pe nggo mersakit tah piga bulanen Kau pun terbaring sakit beberapa bulan ini En pe njuah mo ndor iakap ko Dan sekarang cepatlah kau sembuh Inang ni edana, asa lot giam balik Kakak iparku, biar ada Bekas kesuruten edamu kaduan Tempatku mengadu lagi nanti
4.4.4 Pemilihan Teks
Dalam teks tersebut, ada beberapa istilah yang digunakan oleh penyaji
dalam menyampaikan kata-kata dalam tangisannya. Dengan kata lain, istilah
tersebut ditujukan kepada orang yang ditangisinya, seperti contoh di bawah ini.
(a) Inang ni berruna : sebutan untuk ibu
(b) Inang ni bre-brena : sebutan untuk bibi
(c) Rading ni berruna : sebutan untuk anak dari saudara laki-laki
(d) Inang ni edana : sebutan untuk istri dari saudara laki-laki
(e) Bapa ni bre-brena : sebutan untuk paman
Istilah tersebut merupakan suatu hal yang harus diketahui penyaji dalam
menyampaikan tangisannya karena jika tidak tepat dalam menyebutkannya, maka
orang-orang yang mendengar akan mengejek bahkan menertawakannya. Hal-hal
tersebut sangatlah penting dalam menyajikan tangisan ini Dengan demikian, si
penyaji tidak boleh sembarangan dalam menyampaikan kata-kata dalam
tangisannya.
Dalam teks tersebut juga terdapat istilah eufoniks yaitu menambah atau
mengurangi suku kata dalam teks nyanyian untuk menambah efek musical atau
keindahan dalam lagu tersebut, seperti :
Isapen, kata ini seharusnya isapoen, tetapi dalam teks tersebut dikurangi menjadi
isapen
83
Aren, kata ini seharusnya ari en, tetapi dalam teks tersebut dikurangi menjadi aren.
4.4.5 Struktur Teks
Secara umum, teks yang terdapat dalam tangis si mate tidak mempunyai
peraturan yang baku. Artinya, teks yang disampaikan secara spontan dan
berdasarkan isi dari hati si penyaji. Tidak ada pembuka, bagian tengah dan bagian
akhir, atau teks yang sudah baku tetapi disampaikan sesuai dengan isi hati si
penyaji. Hanya saja harus menggunakan kata-kata yang sopan dan istilah yang
benar sesuai dengan tradisi yang berlaku seperti yang sudah dijelaskan di atas.Teks
dari nyanyian tersebut juga tidak terikat rima atau sajak. Struktur teks dari tangis
simate tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, dia menangisi ibunya yang sudah meninggal dunia. Teksnya dapat
dilihat di bawah ini.
Nggo teddoh berrumu megge soramu Sudah rindu putrimu mendengar suaramu Inang ni berruna Oh ibu Kedua, dia menangisi bibinya yang sudah meninggal dunia. Teksnya dapat dilihat
di bawah ini.
Nggo teddoh bre-bremu mengenget-ngenget ko Sudah rindu aku mengingatm Inang ni bre-brena Oh bibiku
Ketiga, dia menangisi kakak iparnya yang sudah lama terbaring sakit dan berdoa
supaya kakak iparnya tersebut lekas sembuh. Teksnya dapat dilihat di bawah ini.
En pe njuah mo ndor iakap ko Dan sekarang cepatlah kau sembuh Inang ni edana, asa lot giam balik Kakak iparku, biar ada Bekas kesuruten edamu kaduan Tempatku mengadu lagi nanti Ke empat, dia berdoa supaya anak dari kakak iparnya tersebut dan juga saudara
laki-laki (suami dari kakak iparnya) tersebut sehat selalu. Teksnya dapat dilihat di
bawah ini.
84
Njuah ncerdik mo ko giam karina Sehat-sehatlah kalian semua Rading ni berruna dekket bapa ni berruna Putriku dan ayahmu
Sebagian besar, dia lebih banyak menceritakan keluh kesah yang dialami dalam
kehidupannya. Dengan demikian, ada beberapa objek yang ditangisi si penyaji,
yaitu ibu, bibi dan kakak iparnya yang disampaikan secara acak atau tidak
beraturan.
4.5 Analisis Musikal Tangis Simate
Dalam menganalisis nyanyian tersebut, penulis berpedoman terhadap teori
yang dikemukakan oleh William P. Malm yang dikenal dengann teori weighted
scale. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu :
tangga nada (scale), nada dasar (pitch center), wilayah nada (range), jumlah nada
(frequency of note), jumlah interval, pola kadensa, formula melodi (melody
formula), dan kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993 : 3).
Simbol dalam Notasi
1. = Merupakan garis paranada yang memiliki lima buah garis
paranada dan empat buah spasi dengan tanda kunci G.
2. =Merupakan simbol yang menyatakan freemeter.
3. = Merupakan empat buah not 1/8 yang digabung
menjadi satu ketuk.
85
4. = Merupakan dua buah not 1/8 yang digabung menjadi
satu ketuk.
5. = Merupakan tanda istirahat (rest) yang bernilai
6. = Merupakan tanda istirahat (rest) ¼ ketuk yang bernilai
satu ketuk
7. = Merupakan tanda istirahat (rest) 1/16 ketuk yang
bernilai
¼ ketuk
Selengkapnya notasi tangis simate yang disajikan oleh Ibu Saidup Berutu, dengan
teknik dan simbol-simbol seperti diurai di atas, adalah sebagai berikut.
86
87
4.5.1 Tangga Nada (Scale)
Dalam mendeskripsikan tangga nada, penulis mengurutkan nada-nada yang
terdapat dalam melodi nyanyian tersebut dimulai dari nada terendah sampai nada
tertinggi.
4.5.2 Nada Dasar (Pitch Center)
Dalam menentukan nada dasar nyanyian tersebut, penulis berpedoman pada
hasil rekaman audio yang penulis peroleh dari hasil penelitian di lapangan.Maka
nada dasar yang dihasilkan adalah Es.
4.5.3 Wilayah Nada
Wilayah nada yang diurutkan dari nada terendah sampai tertinggi adalah
sebagai berikut.
4.5.4 Jumlah Nada
Jumlah nada adalah banyaknya nada yang dipakai dalam suatu music atau
nyanyian.Banyaknya jumlah nada yang terdapat dalam nyanyian tersebut dapat
dilihat dari garis paranada di bawah ini.
88
4.5.5 Jumlah Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri
dari interval naik maupun turun. Sedangkan jumlah intercal adalah banyaknya
interval yang dipakai dalam suatu musik atau nyanyian.Berikut ini adalah interval
dari nyanyian tersebut.
Interval
Posisi Jumlah
1P
- 113
3M
2
2M
2
4M
2
5M
2
5M
2
89
4.5.6 Pola Kadensa (Cadence Patterns)
Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi sebagai penutup pada
akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bias menutup sempurna melodi
tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut.
4.5.7 Formula Melodi (Melody Formula)
Formula melodi yang akan dibahas dalam tulisan ini meliputi bentuk, frasa
dan motif. Bentuk adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu
pola melodi.Frasa adalah bagian-bagian kecil dari melodi.Dan motif adalah ide
melodi sebagai dasar pembentukan melodi.
William P. Malm mengemukakan bahwa ada beberapa istilah dalam
menganalisis bentuk, yaitu :
90
1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang
2. Ireratif, yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang
kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulanag di dalam
keseluruhan nyanyian.
3. Strofic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks
nyanyian yang baru atau berbeda.
4. Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi
pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-
penyimpangan melodi.
5. Progresive yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan
menggunakan materi melodi yang selalu baru.
Melihat kepada hal yang dikemukakan Oleh Malm mengenai bentuk nyanyian,
maka penuulis mengambil kesimpulan bahwa melodi dari nyanyian tersebut
adalah repetitive yang artinya menggunakan melodi yang berulang-ulang dengan
teks yang berbeda.
4.5.7.1 Analisis Bentuk, Frasa dan Motif pada Tangis Simate
Secara garis besar, bentuk, frasa dan motif yang terdapat dalam Tangis
Simate adalah sebagai berikut.
1. Bentuk yang terdapat dalam nyanyian tangis simate adalah terdiri dari 5
bentuk yaiitu bentuk A, B, C, C’ dan D
2.Terdapat 7 frasa pada nyanyian ini.
3.Motif pada nyanyian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
91
4.3.8 Kontur (Contour)
Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm (dalam Irawan 1997: 85)
membedakan beberapa jenis kontur, yaitu:
1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada
yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi.
2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada
yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah.
3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke
nada yang lebih tinggi atau sebaliknya.
4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada
ke nada yang lain baik naik maupun turun.
5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang
lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih
rendah ke nada yang lebih tinggi.
92
6. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada
yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun
minor.
7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai
batas-batasan.
8. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada
yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi.
9. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada
yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah.
10. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke
nada yang lebih tinggi atau sebaliknya.
11. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada
ke nada yang lain baik naik maupun turun.
12. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang
lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih
rendah ke nada yang lebih tinggi.
13. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada
yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun
minor.
14. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai
batas-batasan.
93
Garis kontur yang terdapat pada melodi tangis simate adalah ascending,
descending dan static.Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar di
bawah ini.
Garis kontur ascending
Garis kontur descending
Garis kontur static
Analisis Ritem
1. Tempo : 120 MM
2. Durasi not : (1/8)
3. Meter : Free meter
Pola melodi yang diulang.
94
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap tangis simate ini, ada
beberapa kesimpulan yang bisa penulis peroleh, yaitu sebagai berikut.
1. Tangis si mate adalah suatu nyanyian ratapan yang disajikan oleh kaum
wanita ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Disajikan di
hadapan jenazah ketika masih berada di rumah dan tidak diiringi alat
musik.
2. Jika melihat teksnya, penulis menemukan hal baru yang belum pernah
penulis ketahui sebelumnya yaitu bahwa teks atau objek yang ditangisi
tidak hanya berkisar tentang orang yang meninggal tersebut saja, tetapi
tangisan tersebut adalah tempat atau kesempatan untuk mencurahkan isi
hati si penyaji. Hal-hal yang disampaikan bercerita tentang kelebihan, sifat
serta kebiasaan-kebiasaan dari si mati tersebut, dia juga menceritakan
bagaimana keluh kesah atau penderitaan yang dialami dalam hidup nya dan
sering pula menceritakan atau ,mengenang kembali keluarga dekat yang
sudah lama meninggal dunia. Melalui tangisan tersebut, si penyaji
mencurahkan isi hatinya.
3. Jika melihat teksnya, penulis menyimpulkan bahwa tidak ada peraturan
atau teks yang baku dalam tangis tersebut. Artinya, si penyaji bebas
mengungkapkan sesuai dengan isi hatinya. Namun, ada pemilihan kata
95
yang digunakan seperti : inang ni berruna yang ditujukan untuk ibu, inang
ni berre-berrena yang ditujukan kepada bibi dan lain sebagainya.
4. Jika melhat struktur melodinya, menyimpulkan bahwa melodi yang
digunakan adalah cenderung berulang-ulang, hanya teksnya saja yang
berubah. Sama halnya dengan struktur teks, bahwa tidak ada peraturan
yang baku terhadap melodi yang digunakan.
Tangis simate ini bukanlah suatu adat dalam masyarakat Pakpak, namun tradisi
yang dilakukan secara turun-temurun. Jika dalam suatu kematian tidak ada penyajian
tangisan ini, maka akan terasa sunyi dan suasana duka tidak terasa. Tetapi ketika
nyanyian ini disajikan, maka orang-orang yang melayat akan larut dalam suasana duka
yang mendalam lewat gaya bernyanyi dan teks yang disampaikan. Ada kesedihan yang
mendalam ketika mendengar tangisan ini. Penulis juga merasakan hal tersebut ketika
mendengar tangisan ini.
Jika melihat keberadaannya, tangisan ini sudah jarang disajikan karena
beberapa faktor yaitu:
1. Faktor agama, hal ini disebabkan karena adanya kesedihan yang dianggap
berlebihan sedangkan menurut agama yang kita yakini bahwa setiap orang
harus pergi kembali kepada Sang Pencipta.
2. Pada saat sekarang ini sudah jarang ditemukan orang yang bisa menyajikan
tangisan ini diakibatkan karena kurangnya minat dan perhatian terhadap
nyanyian ini, baik generasi tua maupun generasi muda. Tidak jarang ditemukan
bahwa dalam suatu kematian tidak menyajikan tangisan ini. Biasanya jika tidak
ada anggota keluarga yang bisa untuk menyajikan tangisan ini, maka orang lain
yang bukan keluarga dekat yang bisa menyajikan tangisan ini disuruh untuk
menangis. Tetapi jika tidak ada yang bisa, maka tidak harus dilakukan.
96
3. Perkembangan zaman yang semakin maju yang membuat orang semakin tidak
peduli dengan tradisinya sendiri. Orang-orang lebih tertarik terhadap teknologi
yang semakin maju
5.2 Saran
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, dengan rendah hati penulis bersedia untuk diberikan saran atau kritik yang
membangun agar tulisan ini lebih baik lagi.
Penulis juga memberikan saran kepada masyarakat Pakpak agar kiranya tetap
memelihara dan memberikan perhatian terhadap kebudayaan yang ada baik seni
musik, seni vokal dan seni tari. Penulis melihat bahwa kebudayaan Pakpak sudah
semakin hilang seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, sebagai
masyarakat Pakpak mari kita sama-sama menunjukkan dan memberikan perhatian
terhadap kebudayaan yang kita miliki sebagai identitas bangsa..
97
98
DAFTAR INFORMAN 1. Nama : Rianto P. Pasaribu, M. Th
Usia : 34 tahun Pekerjaan : Pendeta praktek ( Vikar ) Alamat : GKPI Rokan Baru Ressort Maruli, Jalan Lintas Gunung Tua – Kota
Pinang Kelurahan Rokan Baru Padangsidempuan
2. Nama : Omp. Tomy Br. Simamora Usia : 78 Tahun Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Jalan Kyai Haji Agus Salim Lubukpakam
3. Nama : St. Tigor Pandapotan Simorangkir Usia : 48 tahun Pekerjaan : Pegawai negeri sipil/ BPH Jemaat di GKPI Jalan Medan – Lubukpakam Alamat : Jalan STM No. 105 Lubukpakam
4. Nama : Risman br Siahaan Usia : 47 Tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Jalan Medan No. 34 Lubukpakam
5. Nama : St. Bysher Banjarnahor Usia : 48 Tahun Pekerjaan : Kadis LLK UKM Kab. Deliserdang/ BPH Jemaat di GKPI Ressort
Khusus Jalan Medan – Lubukpakam Alamat : Jalan Antara Gg. Impres Lubukpakam
6. Nama : Antonius Sihotang Usia : 23 Tahun Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : JalanPantai Labu No.14 Lubukpakam
7. Nama : Slamet Riyadi Tampubolon Usia : 22 Tahun Pekerjaan : Mahasiswa Alamat : JalanGalang No.211 Lubukpakam
8. Nama : Frengky Pahala Munthe Usia : 29 Tahun Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Jalan Galang No.119 Lubukpakam
99
9. Nama : Manaek Pandapotan Malau Usia : 30 Tahun Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Alamat : Jalan Medan No. 18 Lubukpakam
10. Nama : Michael harminsyah Ritonga Usia : 26 Tahun Pekerjaan : Bank BRI Lubukpakam Alamat : Jalan Kyai Haji Agus Salim Medan
11. Nama : Yuni Yanti Br. Sihotang Usia : 25 Tahun Pekerjaan : Guru Honorer Alamat : Jalan Rakyat No. 81 Lubukpakam
12. Nama : Cecilia Augustina Br. Lumban Tobing Usia : 27 Tahun Pekerjaan : Guru Honorer Alamat : Jalan Durian I No. 10 Lubukpakam
13. Nama : Irvan Efriandi Sitorus Usia : 26 tahun Pekerjaan : Karyawan swasta Alamat : Jalan
100
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. 1985. Paper, Skripsi, Tesis, Disertasi, Makalah. Tarsito: Bandung. Bogdan, R. and Taylor, S. J. 1975. Introduction to Qualitative Resarch Methode. Newyork:
John Willey and Sons. Koentjaraningrat. 1985. Metode – metode penelitian masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Anthropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Merriam, Alan P 1964The Anthropology of Music. Chicago: Northwestern Univercity Press. Molleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nettl, Bruno. 1964. Theory And Methode In Ethnomusicology. Newyork: The Free Press Of
Glencoe. Sach, Curt and Von Horn Bostel
1914 “ Classification Of Musical Instrument ” terj. Anthony Bainen and Klause P. Wachman. Berlin Dalam Majalah Zeitscrift Fur Ethnologic, Jahg.
Tyas Andijaning, Hartaris 2007 Musik Modern Seni Musik 2 SMA kelas XI. Jakarta, Erlangga