ANALISIS PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP PDRB DAERAH OTONOMI BARU (DOB) TERTINGGAL
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh:
Silviana Arie Yuningsih
NIM: 11150840000065
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Silviana Arie Yuningsih
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 6 Juni 1997
Alamat : Jl. H. Kuling No. 123 Petukangan Utara,
Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan
Telepon : 089667367394
Email : [email protected]
II. LATAR BELAKANG KELUARGA
Ayah : Jamsuri
Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 14 Juni 1968
Ibu : Rohana
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 03 November 1975
Anak ke : 1 dari 2 bersaudara
III. PENDIDIKAN
1. TK Risanti II
2. SDN 03 Meruya Selatan
3. SMPN 206 Jakarta Barat
4. SMKN 43 Jakarta Selatan
5. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
IV. PRESTASI DAN PENGHARGAAN
1. Piagam Penghargaan Peraih Nilai UN Tertinggi Mata Pelajaran
Kompetensi (2015)
2. Penerima Beasiswa Prestasi LP3I (2015)
3. Piagam Penghargaan Kompetensi Keahlian Akuntansi (2015)
4. Penerima Beasiswa PPA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2017)
V. PENGALAMAN BEKERJA
1. Prakerin Divisi Sentra Operasi, PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk.
(2014)
2. Prakerin Department Pelayanan Markas Polri, Markas Besar Kepolisian
Negara RI (2014)
3. Magang Customer Service, HIJUP.com (2016)
4. Magang Divisi Human Capital, PT. SUCOFINDO (2018)
5. Magang Divisi FA, Ritase.com (2019)
6. Admin Online Shop, PT. Halosis (2019)
VI. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Anggota OSIS SMKN 43 Jakarta Selatan (2013)
2. Anggota Panitia Acara Pentas Seni SMKN 43 Jakarta Selatan (2015)
3. Anggota HMJ Ekonomi Pembangunan Departemen Kemahasiswaan
(2016)
4. Anggota HMJ Ekonomi Pembangunan Departemen Internal (2017)
vii
ABSTRACT
The diversity of economic growth between regions in Indonesia is one of
the factors that bring up the conception of developed and underdeveloped regions.
In essence the government has two policies in an effort to encourage economic
growth, one of them is fiscal policy. In fiscal policy, government expenditure is a
form of stimulus by government to the economy. The theory is directly
proportional to one of the strategic issues in the development efforts of
underdeveloped regions, namely the weak quality of expenditure in
underdeveloped regions. Then this study aims to analyze the effect of allocation of
regional government expenditure represented by Indirect Expenditures and Direct
Expenditures on Economic Growth represented by GRDP in 10 Underdeveloped
New Autonomous Regions (DOB) in 2014 to 2017. This study uses panel data
analysis with the approach of Random Effect Model (REM). The results shows
that partially Indirect Expenditures and Direct Expenditures have positive and
significant effect on GRDP in 10 Underdeveloped New Autonomous Regions
(DOB) in 2014 to 2017. Simultaneously Indirect Expenditures and Direct
Expenditures have an effect on GRDP in 10 Underdeveloped New Autonomous
Regions (DOB) in 2014 to 2017.
Keywords: Economic Growth, Indirect Expenditures, Direct Expenditures, and
Random Effect Model (REM).
viii
ABSTRAK
Keragaman pertumbuhan ekonomi antardaerah di Indonesia adalah salah
satu faktor yang memunculkan konsepsi daerah maju dan daerah tertinggal. Pada
hakikatnya pemerintah memiliki dua kebijakan dalam upaya mendorong
pertumbuhan ekonomi, salah satunya yaitu kebijakan fiskal. Dalam kebijakan
fiskal, belanja pemerintah merupakan bentuk rangsangan yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap perekonomian. Teori tersebut berbanding lurus dengan salah
satu isu strategis dalam upaya pembangunan daerah tertinggal, yaitu lemahnya
kualitas belanja daerah tertinggal. Maka penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh alokasi belanja pemerintah daerah yang diwakili oleh
Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung terhadap Pertumbuhan Ekonomi
yang diwakili oleh PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal Tahun
2014-2017. Penelitian ini menggunakan analisis data panel dengan pendekatan
Random Effect Model (REM). Hasil menunjukkan bahwa Belanja Tidak Langsung
dan Belanja Langsung berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap PDRB
di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal Tahun 2014-2017. Secara
simultan, Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung berpengaruh secara
signifikan terhadap PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal Tahun
2014-2017.
Kata Kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Belanja Tidak Langsung, Belanja
Langsung, dan Random Effect Model (REM).
ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang karena
izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh
Belanja Pemerintah Daerah Terhadap PDRB Daerah Otonomi Baru (DOB)
Tertinggal” dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berserta keluarga dan para
sahabatnya.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi
ini dapat terselesaikan tentu atas bimbingan, bantuan dan semangat dari orang-
orang yang ada di sekeliling penulis. Tanpa orang-orang di sekeliling yang
mendukung, penulis mungkin tidak dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat
waktu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua, Umi ku Rohana dan Ayahanda Jamsuri yang selalu
memberikan doa yang tiada henti dan restu serta dukungan moril maupun
materi kepada penulis, sehingga semangat penulis tetap terjaga dalam
menyelesaikan tugas skripsi ini. Terima kasih atas segalanya, semoga saya
dapat terus membahagiakan kalian dan semoga Allah SWT. selalu
menjaga kalian.
2. Adikku tersayang, Muhammad Rifki Maulana yang merupakan salah satu
semangatku, terima kasih sudah selalu membantu, berbagi canda dan tawa
di kala penulis sedang merasa lelah.
x
3. Bapak Prof. Dr. Amilin, SE.,Ak.,M.Si.,CA.,QIA.,BKP.,CRMP selaku
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta seluruh jajarannya.
4. Bapak Dr. Hartana Iswandi Putra. M.Si dan Bapak Deni Pandu Nugraha
SE. M.Sc selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Prodi Ekonomi
Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Arief Fitrijanto M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, terima
kasih atas seluruh kesediaan waktu, tenaga, pikiran dan ilmu yang
bermanfaat yang telah diberikan hingga penulisan skripsi ini selesai.
6. Bapak Zaenal Mutaqqin, MPP selaku dosen pembimbing akademik
penulis sejak awal perkuliahan.
7. Seluruh Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis beserta jajarannya yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama
masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini.
8. Keluarga Besar HMJ Ekonomi Pembangunan UIN Jakarta periode
2016/2017.
9. Teman terbaik sejak menjadi MaBa (Ayu, Ana, Ute, Eja, Desti, dan Tia)
yang sudah mengisi hari-hari di kampus dan memberikan cerita manis.
Semoga kebersamaan kita selalu. Sukses untuk kita
10. Keluarga besar Ekonomi Pembangunan angkatan 2015 yang sudah
menjadi teman baik dalam berjuang bersama. See u on top guys
11. Team Kuy (Amei, Inka, Dela, Sarah, Firly, Defi, Widya, Panca, dan
Rahmat) yang sudah menjadi penghibur dan selalu kuy untuk sekedar
berbagi cerita bersama sejak di masa SMK.
12. Kayan yang selama ini sudah memberikan dukungan, doa, dan selalu ada
saat penulis membutuhkan. Terima kasih banyak untuk supportnya.
13. FDAS (Fany, Dhieta, dan Dinda) yang telah menjadi sahabat baik sejak
duduk di sekolah dasar.
14. BAZVAR, sahabat sejak masa SMP yaitu Ayu, Ayas, Fany, Rahma, dan
Rara yang telah menjadi tempat berbagi keluh kesah serta hal-hal lucu
yang selalu membuat tertawa.
xi
15. Nabila dan Shesyll, adikku sekaligus teman main masa kecil hingga saat
ini. Sukses untuk kalian dan tetap seperti ini ya!
16. Teman-teman semasa penulis bekerja, khususnya Ka Septi, Ka Hilda,
Mervi, Felda, Ka Yulvi, Ajis, dan Ka Melly. Terima kasih untuk kerja
sama dan pengalamannya.
17. Serta untuk orang-orang yang turut membantu penulis dalam penulisan
skripsi ini dan tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh sebab
itu, penulis menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk
pencapaian yang lebih baik.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jakarta, September 2019
Silviana Arie Yuningsih
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI...................................... i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH........................... iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP............................................................................. v
ABSTRACT.......................................................................................................... vii
ABSTRAK.......................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ix
DAFTAR ISI........................................................................................................ xii
DAFTAR TABEL................................................................................................ xv
DAFTAR GRAFIK.......................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xviii
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Batasan Masalah........................................................................................ 11
C. Rumusan Masalah..................................................................................... 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................................. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 13
A. Landasan Teori.......................................................................................... 13
1. Pertumbuhan Ekonomi........................................................................ 13
2. Pengeluaran/Belanja Pemerintah........................................................ 21
3. Daerah Otonomi Baru (DOB)............................................................. 31
4. Daerah Tertinggal................................................................................ 41
B. Penelitian Terdahulu.................................................................................. 44
C. Hubungan Antar Variabel......................................................................... 57
xiii
D. Kerangka Pemikiran.................................................................................. 58
E. Hipotesis Penelitian................................................................................... 59
BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 59
A. Ruang Lingkup Penelitian......................................................................... 59
B. Metode Penentuan Sampel........................................................................ 59
C. Metode Pengumpulan Data....................................................................... 60
D. Metode Analisis Data................................................................................ 61
E. Operasional Variabel Penelitian................................................................ 70
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN...................................................... 71
A. Gambaran Umum Kondisi Daerah............................................................ 71
1. Karakteristik Daerah Tertentu............................................................. 72
2. Karakteristik Daerah........................................................................... 74
3. Aksesibilitas........................................................................................ 75
4. Sarana dan Prasarana........................................................................... 77
5. Sumber Daya Manusia........................................................................ 78
6. Kemampuan Keuangan Daerah........................................................... 79
B. Struktur Belanja Pemerintah..................................................................... 80
C. Pertumbuhan Ekonomi.............................................................................. 81
D. Temuan Hasil Penelitian........................................................................... 82
1. Estimasi Model Data Panel................................................................. 82
a. Uji Chow....................................................................................... 83
b. Uji Hausman.................................................................................. 84
c. Uji Lagrange Multiplier................................................................ 86
d. Random Effect Model.................................................................... 86
2. Pengujian Hipotesis............................................................................. 87
a. Uji Signifikan Simultan (Uji F-statistik)....................................... 87
b. Uji Koefisien Determinasi (R2)..................................................... 88
c. Uji Signifikan Parsial (Uji t-statistik) dan Pembahasan Analisis.. 89
d. Individual Effect............................................................................ 93
xiv
BAB V PENUTUP............................................................................................... 96
A. Kesimpulan................................................................................................ 96
B. Saran.......................................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 98
LAMPIRAN....................................................................................................... 103
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Daftar Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal .................................. 3
Tabel 1.2 Perbandingan Rata-rata Pendapatan Per Kapita 10 DOB
Tertinggal dengan Nasional Tahun 2013-2017 ..................................... 4
Tabel 1.3 Perbandingan Persentase Penduduk Miskin 10 DOB
Tertinggal dengan Nasional Tahun 2015-2017 ..................................... 5
Tabel 1.4 Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia 10 DOB
Tertinggal dengan Nasional Tahun 2013-2017 ..................................... 6
Tabel 1.5 Pertumbuhan Ekonomi 10 DOB Tertinggal
Tahun 2014-2017 .................................................................................. 9
Tabel 1.6 Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah DOB
Pembentukan 2009-2013 ..................................................................... 10
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ............................................................................ 49
Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan sebagai Variabel ................. 60
Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel ............................................................. 70
Tabel 4.1 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal ............................................ 71
Tabel 4.2 Persentase Daerah Rawan Bencana dan Konflik
di 10 DOB Tertinggal Tahun 2014 ...................................................... 74
Tabel 4.3 Rata-Rata Jarak Kantor Desa ke Kabupaten dan Pelayanan
Pendidikan di 10 DOB Tertinggal Tahun 2014 ................................... 75
Tabel 4.4 Jumlah Desa dengan Akses Menuju Tempat Pelayanan
Kesehatan > 5 Km di 10 DOB Tertinggal Tahun 2014 ....................... 76
xvi
Tabel 4.5 Persentase Jenis Permukaan jalan di 10 DOB Tertinggal
Tahun 2014 .......................................................................................... 77
Tabel 4.6 PDRB ADHK dan PDRB Per Kapita ADHB pada
10 DOB Tertinggal Tahun 2016-2017................................................. 78
Tabel 4.7 Hasil Estimasi Common Effect Model / PLS ....................................... 83
Tabel 4.8 Hasil Estimasi Fixed Effect Model ...................................................... 83
Tabel 4.9 Uji Chow (Reduntant Fixed Effects Tests) ......................................... 84
Tabel 4.10 Hasil Estimasi Random Effect Model................................................. 85
Tabel 4.11 Uji Hausman (Correlated Random Effects - Hausman Test) ............ 85
Tabel 4.12 Uji Lagrange Multiplier .................................................................... 86
Tabel 4.13 Hasil Regresi Random Effect Model ................................................. 87
Tabel 4.14 Uji F-statistik ..................................................................................... 88
Tabel 4.15 Uji Koefisien Determinasi ................................................................. 88
Tabel 4.16 Uji t-statistik ...................................................................................... 90
Tabel 4.17 Cross-section Effects.......................................................................... 93
xvii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1 Pendapatan dan Belanja Daerah (Nasional) ......................................... 8
Grafik 4.1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Tahun 2013-2018 ................. 77
Grafik 4.2 Rasio Derajat Desentralisasi, Tahun 2014-2017 ................................ 78
Grafik 4.3 Realisasi Belanja Menurut Kabupaten Tahun 2017 ........................... 80
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kurva Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah menurut Wagner...... 25
Gambar 2.2 Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah................................ 27
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis............................................................ 57
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 ........................................................................................................ 103
A. Data Penelitian ....................................................................................... 103
B. Setelah di LOG ...................................................................................... 105
Lampiran 2 Hasil Estimasi Model Data Panel .................................................. 107
A. Common Effect Model .......................................................................... 107
B. Fixed Effect Model ................................................................................ 108
C. Uji Chow ............................................................................................... 109
D. Uji Hausman .......................................................................................... 110
E. Uji Lagrange Multiplier ......................................................................... 111
F. Random Effect Model ........................................................................... 112
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan daerah pada hakikatnya adalah mewujudkan
masyarakat yang mempunyai tingkat kesejahteraan sosial yang tinggi, serta bagian
integral dari pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan. Namun dalam
perjalanannya, berbagai kendala masih sering dijumpai. Kemajuan pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan di setiap daerah menjadi perhatian pemerintah
karena pada dasarnya pertumbuhan ekonomi nasional merupakan akumulasi
pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi antardaerah di Indonesia
sangat beragam. Keragaman tersebut menjadi salah satu faktor yang
memunculkan konsepsi daerah maju dan daerah tertinggal.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang kemudian diperbarui dengan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004,
telah terjadi pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri demi
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah.
Kedua undang undang tersebut adalah sebagai payung hukum pelaksanaan dan
tonggak awal diselenggarakannya otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah
membawa suatu harapan untuk dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi yang
selanjutnya akan tercapai peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selama tujuh belas tahun pelaksanaan otonomi daerah, ternyata masih
banyak daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Hal itu tertuang
dalam Peraturan Presiden (perpres) No. 131 Tahun 2015 tentang Penetapan
Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019 yang menyatakan bahwa daerah tertinggal
adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang
dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional.
2
Dalam RPJMN 2015-2019 dan Perpres tersebut terdapat 122 daftar daerah
yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal, dimana persebaran daerah tertinggal
terkonsentrasi di kawasan Indonesia bagian timur, yakni 103 kabupaten atau 84,42
persen dari 122 jumlah daerah tertinggal terdapat di Kawasan Timur Indonesia.
Provinsi dengan jumlah kabupaten tertinggal terbanyak adalah Papua dengan 26
dari 29 kabupaten atau 89,66 persen wilayah di Provinsi Papua adalah daerah
tertinggal dan Nusa Tenggara Timur dengan 18 dari 22 kabupaten atau 81,82
persen wilayahnya berstatus daerah tertinggal.
Salah satu hal yang menandai adanya otonomi daerah di Indonesia adalah
semakin banyaknya daerah baru hasil dari pemekaran di berbagai daerah. Dalam
hal seperti adanya pemekaran daerah, menurut Perpres No. 131 Tahun 2015,
Presiden dapat menetapkan daerah tertinggal baru. Pemekaran wilayah
berkembang secara intensif sebagai salah satu upaya dalam pemerataan
pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Total daerah
otonomi di Indonesia sampai dengan tahun 2014 berjumlah 542 daerah otonomi.
Istilah pemekaran daerah sebenarnya dipakai sebagai upaya memperhalus bahasa
(eupheisme) yang menyatakan proses “perpisahan” atau “pemecahan” satu
wilayah untuk membentuk satu unit administrasi lokal baru (Makaganza, 2008).
Dari 122 daerah tertinggal yang telah ditetapkan sebagai daerah tertinggal,
sebanyak 113 kabupaten adalah daerah yang berkarakteristik tertinggal,
sedangkan sisanya ditambah dengan 9 Daerah Otonomi Baru (DOB)
(pembentukan tahun 2012/2013) yang masuk dalam daftar daerah tertinggal baru.
Sedangkan daftar Daerah Otonomi Baru (DOB) tertinggal yang menjadi fokus
penelitian adalah daerah pembentukan tahun 2009/2012/2013 dimana selama
periode tersebut terdapat pembentukan 16 Daerah Otonomi Baru (DOB) dan 62,5
persen atau 10 kabupaten diantaranya adalah termasuk daerah tertinggal baru. 10
kabupaten tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
3
Tabel 1.1
Daftar Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal
No. Daerah Otonomi
Baru
Daerah Induk Dasar UU
Provinsi Kab
1 Kab. Maybrat Papua Barat Sorong No. 13 Tahun
2009
2 Kab. Pesisir Barat Lampung Lampung
Barat
No. 22 Tahun
2012
3 Kab. Malaka NTT Belu No. 3 Tahun 2013
4 Kab. Mahakam Ulu Kalimantan
Timur
Kutai Barat No. 2 Tahun 2013
5 Kab. Banggai Laut Sulawesi Tengah Banggai Kep. No. 5 Tahun 2013
6 Kab. Mamuju
Tengah
Sulawesi Barat Mamuju No. 4 Tahun 2013
7 Kab. Pulau Taliabu Maluku Utara Kepulauan
Sula
No. 6 Tahun 2013
8 Kab. Morowali
Utara
Sulawesi Tengah Morowali No. 12 Tahun
2013
9 Kab. Musi Rawas
Utara
Sumatera Selatan Musi Rawas No. 16 Tahun
2013
10 Kab. Konawe
Kepulauan
Sulawesi
Tenggara
Konawe No. 13 Tahun
2013
Sumber: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
RI, 2015
4
Salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur
kemajuan pembangunan ekonomi suatu daerah adalah pendapatan regional per
kapita. Berdasarkan tabel 1.2, semua daerah otonomi baru tertinggal mengalami
peningkatan pendapatan regional per kapita sepanjang 2013-2017. Kabupaten
Mahakam Ulu, Morowali Utara dan Musi Rawas Utara adalah daerah yang
memiliki tingkat pendapatan regional per kapita rata-rata tertinggi dibandingkan
daerah lainnya sepanjang 2013-2017. Ketimpangan antara daerah tertinggal dan
nasional juga dapat dilihat dari indikator ini, yaitu masih cukup besarnya gap yang
terjadi. Dimana daerah otonomi baru tertinggal selalu memiliki rata-rata
pendapatan regional per kapita lebih rendah dari rata-rata pendapatan per kapita
secara nasional. Pada tahun 2017 misalnya, rata-rata pendapatan regional per
kapita daerah otonomi baru tertinggal berada di bawah nasional, atau hanya
sekitar 69 persennya saja.
Tabel 1.2
Perbandingan Rata-rata Pendapatan Per Kapita 10 DOB Tertinggal dengan
Nasional Tahun 2013-2017
PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku (Ribu Rupiah)
No. Kabupaten 2013 2014 2015 2016 2017
1 Maybrat 10686 11801 13006 14185 15535
2 Pesisir Barat 17665 19684 21561 23807 25995
3 Malaka 9191 10086 10929 11874 12843
4 Mahakam Ulu 61277 68682 76266 82097 88820
5 Banggai Laut 20199 22274 24267 26105 27949
6 Mamuju Tengah 15632 17351 18961 19991 21141
7 Pulau Taliabu 15565 17562 19122 20775 22402
8 Morowali Utara 56216 57557 66329 69449 74522
9 Musi Rawas Utara 28282 32043 32534 32772 34155
10 Konawe Kepulauan 24836 27335 29726 32236 34704
Rata-rata 25954,9 28437,5 31270,1 33329,1 35806,6
Indonesia 38365,9 41915,9 45119,6 47957,2 51887,3
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018 (diolah)
5
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang tidak mudah diatasi
dalam masyarakat. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Pengentasan
kemiskinan saat ini memasuki periode krusial karena menghadapi sasaran dimana
penduduk miskin banyak yang berada di daerah tertinggal, di wilayah terpencil
yang sulit terjangkau, wilayah perbatasan, wilayah pedalaman, atau pulau-pulau
terluar. Kemiskinan menjadi salah satu sasaran pokok pembangunan daerah
tertinggal dalam RPJMN 2015-2019. Masih banyaknya kantong kemiskinan di
daerah tertinggal tercermin pada angka kemiskinan di daerah tertinggal yang
mencapai 16,64 persen jauh di atas angka nasional sebesar 10,96 persen (BPS,
2014). Hal serupa juga terjadi pada 10 daerah otonomi baru tertinggal yang angka
kemiskinannya jauh di atas angka nasional, yaitu mencapai 16,39 persen pada
tahun 2015, 16,24 persen pada tahun 2016, dan 16,19 persen pada tahun 2017.
Tabel 1.3
Perbandingan Persentase Penduduk Miskin 10 DOB Tertinggal dengan
Nasional Tahun 2015-2017
Penduduk Miskin (%)
No. Kabupaten 2015 2016 2017
1 Maybrat 35,31 34,65 34,87
2 Pesisir Barat 15,81 15,91 15,61
3 Malaka 17,28 16,66 16,52
4 Mahakam Hulu 10,50 10,65 11,29
5 Banggai Laut 17,68 16,60 16,17
6 Mamuju Tengah 6,86 6,83 6,95
7 Pulau Taliabu 7,04 7,29 7,17
8 Morowali Utara 16,91 16,07 15,73
9 Musi Rawas Utara 19,73 20,00 19,49
10 Konawe Kepulauan 16,73 17,72 18,10
Rata-rata 16,39 16,24 16,19
Indonesia 11,13 10,70 10,12
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018 (diolah)
6
Kemudian, kinerja pembangunan daerah tertinggal erat kaitannya dengan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai subjek pembangunan. Kualitas
SDM diukur melalui pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Jika
dilihat pada tabel 1.4, rata-rata IPM daerah otonomi baru tertinggal mengalami
peningkatan sepanjang 2013-2017. Namun, apabila dibandingkan dengan
nasional, rata-rata IPM daerah otonomi baru tertinggal masih relatif lebih rendah
dari IPM nasional yang mencapai 70,81 pada tahun 2017. Bahkan 3 dari 10
kabupaten, yakni Kabupaten Malaka, Pulau Taliabu, dan Maybrat masuk ke dalam
daftar kabupaten/kota dengan IPM berstatus “rendah”, dikarenakan memiliki IPM
< 60 (BPS, 2019). Hal ini berbanding terbalik dengan tujuan ekonomi yang ingin
dicapai dari adanya pemekaran daerah, yaitu terwujudnya peningkatan indeks
pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tabel 1.4
Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia 10 DOB Tertinggal dengan
Nasional Tahun 2013-2017
Indeks Pembangunan Manusia
Daerah Otonomi Baru Tahun
2013 2014 2015 2016 2017
Maybrat 54,93 55,36 55,78 56,35 57,23
Pesisir Barat 58,95 59,76 60,55 61,50 62,20
Malaka 56,14 56,94 57,51 58,29 58,90
Mahakam Hulu 63,81 64,32 64,89 65,51 66,09
Banggai Laut 61,86 62,12 62,90 63,49 64,08
Mamuju Tengah 61,05 61,48 62,22 62,89 63,64
Pulau Taliabu 56,86 57,31 58,26 58,66 59,03
Morowali Utara 65,01 65,81 66,00 66,57 67,35
Musi Rawas Utara 60,56 61,34 62,32 63,05 63,18
Konawe Kepulauan 61,15 61,31 61,72 62,56 63,44
Rata-rata 60,03 60,58 61,22 61,89 62,51
Indonesia 68,31 68,90 69,55 70,18 70,81
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018
7
Penetapan suatu kabupaten mengalami ketertinggalan dapat diukur dengan
menggunakan standar yang telah ditetapkan sebelumnya mengacu pada Peraturan
Menteri DPDTT No. 3 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penentuan Indikator
Daerah Tertinggal Secara Nasional, yaitu menggunakan 6 (enam) kriteria dan 27
(dua puluh tujuh) indikator yang meliputi kriteria perekonomian masyarakat,
sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah,
aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Salah satu penyebab munculnya daerah
tertinggal adalah adanya kesenjangan pembangunan yang terjadi antara daerah
tertinggal dan non tertinggal, dan untuk mengurangi kesenjangan tersebut
diperlukan upaya pembangunan daerah tertinggal yang terencana dan sistematis
agar pemerataan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi antardaerah di
Indonesia cepat tercapai.
Pemerintah memiliki dua kebijakan dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter
merupakan kebijakan yang berkaitan dengan jumlah uang beredar di masyarakat.
Sedangkan kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang
pengeluaran dan pendapatannya dengan tujuan untuk menciptakan tingkat
kesempatan kerja yang tinggi tanpa inflasi (Sukirno, 2013). Dalam kebijakan
fiskal, pemerintah mengalokasikan penerimaan daerah dalam bentuk pajak
maupun bukan ke dalam belanja daerah. Keynes berpendapat bahwa ada dua
pendekatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan kebijakan
fiskal, yaitu: income approach (melalui pajak) dan expenditure approach (melalui
pengeluaran). Menurutnya, perekonomian akan tumbuh dengan baik jika
pemerintah menurunkan pajak atau menaikkan pengeluarannya (Mankiw, 2007).
Teori Keynes ini sejalan dengan salah satu isu strategis dalam upaya
pembangunan daerah tertinggal yaitu lemahnya kualitas belanja daerah tertinggal
(KDPDTT, 2015). Dalam hal ini peran pemerintah sangatlah penting dan
diperlukan dalam mendorong kemajuan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
8
Pengeluaran pemerintah atau belanja daerah merupakan bentuk
rangsangan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perekonomian daerah
(Putra, 2010). Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran
pemerintah, atau lebih umumnya adalah ukuran dari sektor publik, adalah
pengeluaran pemerintah dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang (Sodik, 2007). Berdasarkan Grafik 1.1 di bawah dapat diketahui adanya
pertumbuhan pendapatan daerah seiring dengan pertumbuhan belanja daerah
secara nasional dari tahun ke tahun. Dari TA 2008 hingga TA 2013, pendapatan
daerah dan belanja daerah mengalami pertumbuhan. Pendapatan tumbuh sebesar
75,3%. Pada TA 2008 nilai pendapatan sebesar Rp 365,1 Trilliun menjadi Rp
640,2 Triliiun pada TA 2013. Belanja mengalami kenaikan yang signifikan yaitu
sebesar 98,2%. Pada TA 2008 nilai belanja sebesar Rp 355,7 Triliun naik menjadi
Rp 704,9 Triliun pada TA 2013.
Grafik 1.1
Sumber: Kementerian Keuangan, 2013
9
Untuk memberikan gambaran mengenai kondisi pertumbuhan ekonomi
daerah otonomi baru tertinggal dapat dilihat tabel 1.5, diketahui bahwa daerah
otonomi baru tertinggal memiliki rata-rata laju pertumbuhan ekonomi relatif
rendah yakni sebesar 5,63 - 5,92 persen per tahun. Bahkan pada tahun 2014-2016
pertumbuhan ekonomi menurun, namun meningkat kembali pada tahun 2017.
Tabel 1.5
Pertumbuhan Ekonomi 10 DOB Tertinggal Tahun 2014-2017
DOB Tertinggal 2014 2015 2016 2017
Kab. Maybrat 6,33 5,51 6,40 6,56
Kab. Pesisir Barat 5,10 4,94 5,31 5,34
Kab. Malaka 5,08 4,90 5,02 5,11
Kab. Mahakam Hulu 4,94 3,32 3,41 4,23
Kab. Banggai Laut 7,83 7,98 7,86 6,58
Kab. Mamuju Tengah 5,93 6,73 4,94 5,70
Kab. Pulau Taliabu 5,89 5,62 5,69 5,65
Kab. Morowali Utara 0,46 7,21 6,40 7,48
Kab. Musi Rawas Utara 9,92 3,34 3,48 4,08
Kab. Konawe
Kepulauan
7,69 7,79 7,82 7,10
Rata-rata 5,92 5,73 5,63 5,78
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018 (diolah)
Pertumbuhan PDRB, sebagai tolak ukur pertumbuhan suatu ekonomi regional
juga tidak bisa lepas dari peran pengeluaran pemerintah di sektor layanan publik.
Pengeluaran belanja langsung merupakan pengeluaran pemerintah untuk
pelaksanaan proyek-proyek terdiri dari sektor-sektor pembangunan dengan tujuan
untuk melakukan investasi. Pengeluaran belanja tidak langsung pemerintah
meliputi seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
adalah pemerintah daerah otonomi baru tertinggal, dalam rangka penyelenggaraan
kegiatan administrasi pemerintahan.
10
Perkembangan pengeluaran pemerintah yang diukur dari besarnya belanja
langsung dan belanja tidak langsung antara DOB tertinggal dan DOB tidak
tertinggal pembentukan tahun 2009-2013 dapat di lihat pada tabel 1.6.
Berdasarkan tabel 1.6, ditunjukkan bahwa perkembangan belanja langsung DOB
Tertinggal dari tahun 2014 sampai 2017 mengalami peningkatan rata-rata sebesar
40,28 persen dari. Sedangkan perkembangan belanja tidak langsung mengalami
peningkatan rata-rata sebesar 31,96 persen. Selain itu juga bisa dilihat bahwa
untuk DOB tidak tertinggal memiliki realisasi pengeluaran pemerintah atas
belanja langsung dan belanja tidak langsung jauh lebih besar dari DOB tertinggal
selama tahun 2014-2017.
Tabel 1.6
Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah DOB Pembentukan 2009-2013
DOB Tertinggal
Tahun Belanja Langsung
(Juta Rp)
%
Kenaikan
Belanja Tidak Langsung
(Juta Rp)
%
Kenaikan
2014 191.798 - 144.847 -
2015 395.855 106,39 215.452 48,74
2016 435.220 9,94 290.221 34,70
2017 454.851 4,51 326.331 12,44
DOB Tidak Tertinggal
Tahun Belanja Langsung
(Juta Rp)
%
Kenaikan
Belanja Tidak Langsung
(Juta Rp)
%
Kenaikan
2014 48.952.983 - 62.519.869 -
2015 56.584.192 15,59 71.298.781 14,04
2016 61.053.256 7,90 79.365.656 11,31
2017 64.701.302 5,98 83.760.796 5,54
Sumber: Kemenkeu, 2014-2017 (diolah)
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah
Daerah Terhadap PDRB Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal”.
11
B. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis akan membatasi permasalahan yakni
mengenai:
1. Variabel Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung sebagai variabel
bebas (X). Kedua variabel tersebut merupakan variabel yang
mempengaruhi variabel PDRB sebagai variabel terikat (Y).
2. Penelitian ini hanya meneliti di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB)
Tertinggal dan penelitian hanya dilakukan periode 2014-2017.
3. Penelitian ini hanya mengkaji tentang bagaimana hubungan alokasi
belanja pemerintah daerah menurut kelompok (belanja tidak langsung dan
belanja langsung) dapat berpengaruh terhadap PDRB. Serta mengkaji
tentang bagaimana gambaran umum kondisi karakteristik dan
perkembangan kinerja perekonomian daerah yang menjadi fokus
penelitian.
C. Rumusan Masalah
Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) beserta akibatnya memang
amat perlu dicermati. Seharusnya, dengan adanya Daerah Otonomi Baru (DOB)
pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat
setelah daerah tersebut dimekarkan. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal
mengandung arti keberpihakan terhadap pembangunan daerah tertinggal di bidang
perencanaan, pendanaan dan pembiayaan serta penyelenggaraan pembangunan
daerah tertinggal.
Keynes berpendapat bahwa dengan kebijakan fiskal pemerintah bisa
mempengaruhi jalannya perekonomian. Belanja dikelompokkan menjadi belanja
langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung merupakan pengeluaran
yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan fisik dan
non fisik. Sementara belanja tidak langsung merupakan pengeluaran yang berguna
sebagai penunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintah serta upaya
peningkatan efisiensi dan produktifitas yang pada gilirannya akan tercapainya
12
sasaran dan tujuan setiap tahap pembangunan. Dengan demikian, peningkatan
belanja pemerintah akan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan hal tersebut, diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh belanja tidak langsung terhadap PDRB di 10 Daerah
Otonomi Baru Tertinggal 2014-2017?
2. Bagaimana pengaruh belanja langsung terhadap PDRB di 10 Daerah
Otonomi Baru Tertinggal 2014-2017?
3. Bagaimana pengaruh belanja tidak langsung dan belanja langsung
terhadap PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru Tertinggal 2014-2017?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan yang akan dicapai dari
penelitian ini adalah :
a. Menganalisis pengaruh belanja tidak langsung terhadap PDRB di 10
Daerah Otonomi Baru Tertinggal 2014-2017.
b. Menganalisis pengaruh belanja langsung terhadap PDRB di 10 Daerah
Otonomi Baru Tertinggal 2014-2017.
c. Menganalisis pengaruh belanja tidak langsung dan belanja langsung secara
simultan terhadap PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru Tertinggal 2014-
2017.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
a. Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
berbagai pihak terutama pemerintah Daerah Otonomi Baru (DOB)
tertinggal, dalam mengambil kebijakan yang dapat memberikan kemajuan
pembangunan dalam rangka percepatan dan pengentasan daerahnya.
b. Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam
bidang keuangan daerah serta meningkatkan kemampuan analisis tentang
kinerja keuangan daerah selama periode yang ditentukan.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pertumbuhan Ekonomi
a. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Berhasil tidaknya program-program pembangunan di negara-
negara berkembang sering dinilai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat
pertumbuhan output dan pendapatan nasional. Cara pandang yang
digunakan dalam hal ini adalah pendekatan konvensional yang memiliki
fokus utama pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Sukirno (2013)
pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi
dalam masyarakat bertambah. Kuznets mengemukakan pendapat yang
hampir serupa, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai kenaikan
jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan
semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya.
Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan
penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya (Jhingan,
2000).
Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas
perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat
pada suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya aktivitas
perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi
untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan
menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang
dimiliki oleh masyarakat (Asbiantari et al., 2016), dengan adanya
pertumbuhan ekonomi maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai
14
pemilik faktor produksi juga akan meningkat. Jadi, pertumbuhan
ekonomi suatu daerah yang terus menunjukkan peningkatan
menggambarkan bahwa perekonomian daerah tersebut berkembang
dengan baik (Sukirno, 2008).
b. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Pertumbuhan ekonomi dalam sistem pemerintahan daerah biasanya
diindikasikan dengan meningkatnya produksi barang dan jasa yang
diukur melalui PDRB. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai
kenaikan PDB/PNB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar
atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah
perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999).
Adisasmita (2014), juga berpendapat bahwa salah satu indikator
yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk melihat pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah adalah kenaikan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB). Alasan yang mendasari pemilihan PDRB sebagai suatu
indikator mengukur pertumbuhan ekonomi adalah :
1) PDRB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh
aktivitas produksi di dalam perekenomian daerah. Hal ini berarti
peningkatan PDRB mencerminkan pula peningkatan balas jasa kepada
faktor produksi yang digunakan dalam aktivitas produksi tersebut.
2) PDRB dihitung atas dasar konsep arus barang, artinya perhitungan
PDRB hanya mencakup nilai produk yang dihasilkan pada suatu
periode tertentu. Aliran konsep ini memungkinkan kita untuk
membandingkan jumlah output yang dihasilkan pada tahun ini dengan
tahun sebelumnya.
3) Batas wilayah perhitungan PDRB adalah daerah (perekonomian
domestik). Hal ini memungkinkan untuk mengukur sejauh mana
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah mampu
mendorong aktivitas perekonomian domestik.
15
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut BPS
didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang
dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam satu wilayah, atau merupakan
jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh
unit usaha dalam satu wilayah. Menurut BPS, cara penyajian Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) disusun dalam dua bentuk yaitu :
1) PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang
dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun
(harga yang mengalami perubahan sesuai dengan ekonomi yang
terjadi).
2) PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan
jasa yang dihitung dan menggunakan harga pada tahun tertentu
sebagai dasar.
Cara perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat
diperoleh melalui tiga pendekatan :
1) Pendekatan produksi. PDRB merupakan jumlah Nilai Tambah Bruto
(NTB) atau nilai barang akhir yang dihasilkan oleh unit produksi
disuatu wilayah dalan suatu periode tertentu, biasanya satu tahun.
Sedangkan NTB adalah nilai produksi bruto dari barang dan jasa
tersebut dikurangi seluruh biaya antara yang digunakan dalam proses
produksi. Metode ini yang digunakan dalam perhitungan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia dan negara-negara berkembang. Adapun
perhitungan PDRB dengan metode produksi :
Y = P1Q1 + P2Q2 + .... + PnQn
Keterangan:
Y : Pendapatan Nasional
P : harga
Q : kuantitas
2) Pendekatan pendapatan. PDRB adalah jumlah seluruh balas jasa yang
diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses
16
produksi disuatu wilayah dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu
tahun. Berdasarkan pengertian tersebut, maka NTB adalah jumlah dari
gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan dimana pajak
penghasilan dan pajak langsung belum dipotong. Dalam pengertian
PDRB ini termasuk pola komponen penyusutan dan pajak tidak
langsung netto.
Rumus pendekatan pendapatan :
Y = Yw + Yr + Yi + Yp
Keterangan:
Y : Pendapatan Nasional
w : upah
r : sewa
i : bunga neto
p : keuntungan
3) Pendekatan pengeluaran. Pengeluaran adalah cara penentuan
pendapatan regional dengan cara menjumlahkan seluruh nilai
penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi didalam
negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total penyediaan atau
produksi barang dan jasa itu digunakan untuk: konsumsi rumah
tangga, konsumsi swasta yang tidak mencari untung, konsumsi
pemerintah, pembentukan modal tetap bruto (investasi) perubhan stok
dan ekspor neto(total ekspor dikurangi dengan total impor).
Rumus pendekatan pengeluaran:
Y = C + I + G (X - M)
Keterangan:
Y : Pendapatan Nasional
C : konsumsi
I : investasi
G : pengeluaran pemerintah
X : ekspor
M : impor
17
Manfaat yang dapat diperoleh dari Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) antara lain :
1) PDRB harga berlaku menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi
untuk penghasilan dari satu provinsi. Nilai PDRB yang besar
menunjukk an kemampuan sumber daya ekonomi yang besar.
2) PDRB harga berlaku menunjukkan pendapatan yang memungkinkan
dapat dinikmati oleh penduduk suatu region.
3) PDRB harga konstan digunakan untuk menunjukkan laju
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun
ke tahun.
4) Distribusi PDRB harga berlaku menurut sektor menunjukkan besarnya
struktur perekonomian dan peranan sektor ekonomi dalam suatu
wilayah. Sektor-sektor ekonomi yang mempunyai peranan besar
menunjukkan basis perekonomian suatu wilayah.
5) PDRB harga berlaku menurut penggunaan menunjukkan bagaimana
produk barang dan jasa digunakan untuk tujuan konsumsi, investasi,
dan diperdagangkan dengan pihak luar.
c. Teori Pertumbuhan Ekonomi
1) Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik
Adapun ekonomi klasik menurut Arsyad (2010), pertumbuhan
ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni dua faktor utama
yakni pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. Unsur
pokok dari sistem produksi suatu negara ada tiga:
a. Sumber daya alam yang tersedia merupakan wadah paling
mendasar dari kegiatan produksi suatu masyarakat dimana jumlah
sumber daya alam yang tersedia mempunyai batas maksimum bagi
pertumbuhan suatu perekonomian.
18
b. Sumber daya insani (jumlah penduduk) merupakan peran pasif
dalam proses pertumbuhan output, maksudnya jumlah penduduk
akan menyesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja.
c. Stok modal merupakan unsur produksi yang sangat menentukan
tingkat pertumbuhan output.
Laju pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh
produktivitas sektor-sektor dalam menggunakan faktor-faktor
produksinya. Produktivitas dapat ditingkatkan melalui berbagai
sarana pendidikan, pelatihan dan manajemen yang lebih baik.
2) Teori Pertumbuhan Neo Klasik
Menurut Arsyad (2010), teori pertumbuhan neoklasik
dikembangkan oleh Solow dan Swan. Model Solow-Swan
menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, dan
besarnya output yang saling berinteraksi. Perbedaan utama dengan
model Harrod-Domar adalah dimasukkannya unsur kemajuan
teknologi dalam modelnya. Selain itu, Solow, dan Swan menggunakan
model fungsi produksi yang memungkinkan adanya substitusi antara
kapital (K) dan tenaga kerja (L).
Adapun model pertumbuhan ekonomi Neo Klasik Solow (Solow
Neo Classical Growth Model) maka fungsi produksi agregat standar
adalah sama seperti yang digunakan dalam persamaan dibawah ini:
Y = ∫ (K, L)
Dalam kerangka ekonomi regional, menderivasikan rumus di atas
menjadi sebagai berikut:
Yi = aiKi + (1-ai)ni
Keterangan:
Yi : besarnya output
ai : bagian yang dihasilkan dari faktor modal
Ki : tingkat pertumbuhan modal
(1-ai) : bagian yang dihasilkan di luar faktor modal
ni : tingkat pertumbuhan tenaga kerja
19
Teori Neoklasik sebagai penerus dari teori klasik menganjurkan
agar kondisi selalu diarahkan untuk menuju pasar sempurna. Dalam
keadaan pasar sempurna, perekonomian bisa tumbuh maksimal. Hal
khusus yang perlu dicatat adalah bahwa model neoklasik
mengasumsikan I=S. Hal ini berarti kebiasaan masyarakat yang suka
memegang uang tunai dalam jumlah besar dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi.
Analisis lanjutan dari paham neoklasik menunjukkan bahwa
untuk terciptanya suatu pertumbuhan yang mantap (steady growth),
diperlukan suatu tingkat saving yang tinggi dan seluruh keuntungan
pengusaha diinvestasikan kembali.
3) Teori David Ricardo
Menurut Arsyad (2010), proses pertumbuhan ekonomi masih
memacu antara laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan
output. Jumlah faktor produksi tanah (sumber daya alam) tidak bisa
bertambah sehingga akhirnya faktor pembatas dalam proses
pertumbuhan suatua masyarakat. Perekonomian yang diciri-cirikan
Ricardo sebagai berikut:
a. Tanah terbatas
b. Tenaga kerja meningkat atau menurun sesuao tingkat upah diatas
atau dibawah tingkat uapah minimal.
c. Akumulasi modal terjadi apabila tingkat keuntungan yang
diperoleh pemilik modal berada diatas tingkat keuntungan minimal
yang diperlukan untuk menarik meraka melakukan investasi.
d. Sektor pertanian dominan
Dari faktor produksi tanah dan tenaga kerja, ada satu kekuatan
dinamis yang selalu menarik perekonomian kearah tingkat upah
minimum, yaitu bekerjanya the law of diminishing return. Pada
20
akumulasi modal juga berlaku hukum tersebut. Dimana the law of
dimishing return yang akan menang.
Keterbatasan faktor produksi tanah akan membatas
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Suatu negara hanya bisa tumbuh
sampai batas yang dimungkinkan oleh sumber-sumber alamnya.
Apabila sumber daya alam ini telah diekspolitasi secara penuh maka
perekonomian berhenti tumbuh, masyarakat akan mencapai
stationernya.
d. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Sukirno (2013), adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi antara lain sebagai berikut :
1) Tanah dan kekayaan alam lainnya
Kekayaan alam suatu negara meliputi luas dan kesuburan tanah,
keadaan iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hasil hutan dan hasil laut,
jumlah dan jenis kekayaaan barang tambang yang ada. Kekayaan alam
akan mempermudah usaha untuk mengembangkan perekonomian
suatu negara, terutama pada masa-masa permulaan. Pertumbuhan
ekonomi di setiap negara yang baru bermula terdapat banyak
hambatan untuk mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi diluar
sektor utama (pertanian dan pertambangan). Peranan penanaman
barang pertanian untuk ekspor dan pertambangan minyak menjadi
penggerak permulaan bagi pertumbuhan ekonomi di beberapa negara
Asia adalah bukti nyata besarnya peranan kekayaan alam pada tingkat
permulaan pertumbuhan ekonomi.
2) Jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja
Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi
pendorong maupun penghambat pertumbuhan ekonomi. Semakin
banyak penduduk akan meningkatkan tenaga kerja. Disamping itu
sebagai akibat dari pendidikan, latihan dan pengalaman kerja
penduduk akan semakin bertambah, maka produktivitas akan
21
meningkat. Namun luasnya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
suatu negara bergantung pada banyaknya pengusaha dalam ekonomi.
Sehingga dapat disimpulkan semakin tingginya jumlah dan mutu
penduduk dan tenaga kerja akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
3) Barang-barang modal dan tingkat teknologi
Barang-barang modal dan teknologi penting dalam
mempertinggi keefisienan pertumbuhan ekonomi. Kemajuan teknologi
menimbulkan beberapa efek positif dalam pertumbuhan ekonomi dan
oleh karena itu pertumbuhan ekonomi semakin pesat. Dengana adanya
kemajuan teknologi akan mempertinggi keefisienan kegiatan
produksi, menimbulkan barang-barang baru dan meningkatkan mutu
barang yang diproduksi tanpa meningkatkan harganya.
4) Sistem sosial dan sikap masyarakat
Dalam negara berkembang, sistem sosial dan sikap masyarakat
menjadi pengahalang pertumbuhan ekonomi. Adat istiadat menjadi
penghambat masyarakat untuk menggunakan cara memproduksi yang
modern dan produktivitas tinggi. Sikap masyarakat juga menentukan
sampai mana pertumbuhan ekonomi dapat dicapai. Sikap masyarakat
yang memberi dorongan terhadap pertumbuhan antara lain sikap
berhemat untuk berinvestasi, sikap menghargai kerja keras, dan
kegiatan lain untuk mengembangkan usaha.
2. Pengeluaran/Belanja Pemerintah
a. Pengertian Pengeluaran/Belanja Pemerintah
Menurut Ilyas (1989), pengeluaran pemerintah menyangkut
seluruh pengeluaran untuk membiayai kegiatan-kegiatannya, pengeluaran
tersebut bertujuan agar tercapai kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan. Menurut Susanti et al., (2017), pengeluaran pemerintah
adalah seluruh pembelian atau pembayaran barang dan jasa untuk
kepentingan nasional, seperti pembelian persenjataan dan alat-alat kantor
pemerintah, pembangunan jalan dan bendungan, gaji pegawai negeri,
22
angkatan bersenjata, dan lainnya. Dari beberapa pendapat diatas
disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah adalah pengeluaran yang
dikeluarkan pemerintah untuk membiayai konsumsi pemerintah,
kegiatan-kegiatan dan pengeluaran lainnya guna tercapai kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan.
Aktivitas utama pemerintah dalam pengelolaan fiskal adalah
pengelolaan pendapatan yang berupa penerimaan negara dari pajak
maupun non pajak dan belanja yang berarti pengeluaran pemerintah.
Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli
barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang
harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan
tersebut (Mangkoesoebroto, 2008). Dasar teori pengeluaran pemerintah
adalah dari identitas keseimbangan pendapatan nasional, yaitu : Y = C +
I + G + (X-M) yang merupakan sumber legitimasi pandangan kaum
Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam
perekonomian. Pengeluaran pemerintah (G) merupakan salah satu unsur
permintaan agregat. Sedang Y melambangkan pendapatan nasional,
sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Keynes berpendapat bahwa
peningkatan atau penurunan pengeluaran pemerintah akan
mempengaruhi pendapatan nasional.
b. Kebijakan Fiskal dalam Perspektif Al-Qur’an
Prinsip islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja
bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas
distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material
dan spiritual pada tingkat yang sama. Kebijakan fiskal dianggap sebagai
alat untuk mengatur dan mengawasi perilaku manusia yang dipengaruhi
melalui insentif yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan
pemerintah. Kebijakan fiskal dalam suatu negara tentu diharapkan sesuai
dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai karena tujuan pokok agama Islam
adalah mencapai kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan.
23
Menurut Gusfahmi (2017), pengeluaran negara memiliki prinsip
yang harus ditaati oleh Ulil Amri, yakni sebagai berikut: Tujuan
penggunaan pengeluaran kekayaan negara telah ditetapkan langsung oleh
Allah Swt.; Apabila ada kewajiban tambahan, maka harus digunakan
untuk tujuan semula kenapa ia dipungut; Adanya pemisahan antara
pengeluaran yang wajib diadakan disaat ada atau tidaknya harta dan
pengeluaran yang wajib diadakan hanya di saat adanya harta; Dan
pengeluaran harus hemat.
Pengeluaran haruslah ditujukan untuk hal-hal yang jelas
bermanfaat dan hemat, tidak boros dan Islam mengutuk pemborosan.
Penimbunan juga dikutuk karena dengan penimbunan itu, kekayaan tidak
dapat beredar dan manfaat pengunaannya tidak dapat dinikmati si
pemakai dan masyarakat.
Allah Swt. berfirman:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” - Q. S. Al-
Furqan [25] : 67.
Kemudian ada dua macam kebijakan pengeluaran yaitu pada masa
awal pemerintahan islam dengan konsep anggaran berimbang, berapa
penghasilan yang diterima dan itulah yang menentukan jumlah yang
tersedia untuk dibelanjakan, dan kebijakan pengeluaran di masa periode
modern pemerintahan islam dengan konsep anggaran defisit.
c. Teori Pengeluaran Pemerintah
Bailey (1995), membagi teori mengenai perkembangan
pengeluaran pemerintah menjadi dua, yaitu teori makro dan teori mikro.
24
Model makro dapat menjelaskan perhitungan jangka panjang
pertumbuhan pengeluaran pemerintah, sedangkan model mikro
menjelaskan perubahan secara partikular komponen-komponen
pengeluaran pemerintah.
Teori makro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah
dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu (Mangkoesoebroto, 2008):
1) Model Pembangunan Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang
menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap
pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan ekonomi,
persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab
pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana. Pada tahap
menengah investasi pemerintah tetap diperlukan untuk menghindari
terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan oleh investasi swasta
yang sudah semakin besar pula. Pada tingkat ekonomi yang lebih
lanjut, aktivitas pemerintah beralih pada bentuk pengeluaran-
pengeluaran untuk aktivitas-aktivitas sosial (Mangkoesoebroto, 2008).
2) Hukum Wagner
Teori Hukum Wagner menyatakan bahwa dalam suatu
perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif
pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Menurut Wagner
mengapa peranan pemerintah semakin besar, disebabkan karena
pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat,
hukum, pendidikan, rekreasi kebudayaan dan sebagainya
(Mangkoesubroto, 2008).
Hukum Wagner dapat diformulasikan sebagai berikut :
25
Gpc/Ypc
Kurva 2
0 Waktu
Keterangan :
GpC = Pengeluaran pemerintah perkapita
YpC = Pendapatan perkapita, yaitu GDP/jumlah penduduk
t = Indeks waktu (tahun)
Menurut Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran
pemerintah selalu meningkat yaitu tuntutan peningkatan perlindungan
keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyrakat,
urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi serta
perkembangan demokrasi dan ketidakefisienan birokrasi yang
mengiringi perkembangan pemerintah (Dumairy, 1996).
Hukum Wagner yang menjelaskan tentang perkembangan
pengeluaran pemerintah ditunjukkan dalam gambar berikut ini,
dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk
eksponensial dengan kurva berbentuk cembung dan bergerak naik dari
kiri bawah menuju kanan atas, sebagaimana yang ditunjukkan Kurva
1, dan bukan seperti ditunjukkan oleh Kurva 2 yang memiliki bentuk
linear.
Gambar 2.1
Kurva Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah menurut Wagner
Kurva 1
Sumber: Guritno Mangkoesoebroto (2008)
26
3) Teori Peacock dan Wiseman
Peacock dan Wiseman mengemukakan pendapat lain dalam
menerangkan perilaku perkembangan pengeluaran pemerintah.
Pemerintah lebih cenderung menaikkan pajak untuk membiayai
anggarannya. Di sisi lain masyarakat memiliki keengganan untuk
membayar pajak, terlebih lagi jika pajak terus dinaikkan.
Mempertimbangkan teori pemungutan suara dimana masyarakat
memiliki batas toleransi pembayaran pajak. Perkembangan ekonomi
menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat. Oleh
karena itu, dalam keadaan normal meningkatnya GDP akan
menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga
dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Akibat
adanya keadaan tertentu yang mengharuskan pemerintah untuk
memperbesar pengeluarannya, maka pemerintah memanfaatkan pajak
sebagai alternatif untuk peningkatan penerimaan negara. Jika tarif
pajak dinaikkan maka pengeluaran investasi dan konsumsi masyarakat
menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan
(displacement effect) yaitu adanya suatu gangguan sosial
menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah
(Mangkoesubroto, 2008).
Pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh beberapa teori yaitu
model pembangunan, hukum Wagner, teori Peacock dan Wiseman.
Model pembangunan menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah
sebagai investasi pemerintah dapat meningkatkan pembangunan
ekonomi baik dalam tahap awal, menengah maupun akhir. Hukum
Wagner berisi teori bahwa pendapatan per kapita yang semakin
meningkat secara relatif pengeluaran pemerintah meningkat. Selain
itu, Teori Peacock dan Wiseman juga mengungkapkan bahwa dalam
keadaan normal, meningkatnya GDP akan menyebabkan penerimaan
pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran
pemerintah yang semakin besar. Dari beberapa teori tersebut dapat
27
A G B Pengeluaran swasta
0 t t+1 Tahun
disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah merupakan salah satu
komponen yang dapat mempengaruhi GDP serta pertumbuhan
ekonomi suatu negara.
Berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan
pengeluaran pemerintah versi Peacock dan Wiseman tidaklah
berbentuk suatu garis, melainkan seperti tangga.
Gambar 2.2
Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah/GDP C D F Pengeluaran pemerintah
Sumber: Guritno Mangkoesoebroto (2008)
d. Jenis Pengeluaran/Belanja Pemerintah
Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, belanja daerah
meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang
mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun
anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.
Kemudian belanja daerah dirinci menurut urusan pemerintahan daerah,
organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek
kerja.
1) Belanja Menurut Urusan Pemerintahan terdiri dari belanja urusan
wajib dan belanja urusan pilihan.
a. Belanja menurut urusan wajib mencakup:
28
1. Pendidikan
2. Kesehatan
3. Pekerjaan Umum
4. Perumahan Rakyat
5. Penataan Ruang
6. Perencanaan Pembangunan
7. Perhubungan
8. Lingkungan Hidup
9. Pertanahan
10. Kependudukan dan Catatan Sipil
11. Pemberdayaan Perempuan
12. Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
13. Sosial
14. Tenaga Kerja
15. Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
16. Penanaman Modal
17. Kebudayaan
18. Pemuda dan Olah Raga
19. Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
20. Pemerintahan Umum
21. Kepegawaian
22. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
23. Statistik
24. Arsip, dan
25. Komunikasi dan Informatika
b. Belanja menurut urusan pilihan mencakup:
1. Pertanian
2. Kehutanan
3. Energi dan Sumber Daya Mineral
4. Pariwisata
5. Kelautan dan Perikanan
29
6. Perdagangan
7. Perindustrian, dan
8. Transmigrasi
2) Belanja Menurut Fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan
dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari:
a. Pelayanan Umum
b. Ketertiban dan Ketentraman
c. Ekonomi
d. Lingkungan Hidup
e. Perumahan dan Fasilitas Umum
f. Kesehatan
g. Pariwisata dan Budaya
h. Pendidikan, dan
i. Perlindungan Sosial
3) Belanja Menurut Organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi
pada masing-masing pemerintah daerah.
4) Belanja Menurut Program dan Kegiatan disesuaikan dengan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
5) Belanja Menurut Kelompok Belanja terdiri dari belanja tidak
langsung dan belanja langsung.
a. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan
tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan, mencakup:
1. Belanja Pegawai. Belanja kompensasi, dalam bentuk gaji
dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan
kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
30
2. Bunga. Belanja untuk menganggarkan pembayaran b unga
utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal
outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka
pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
3. Subsidi. Belanja untuk menganggarkan bantuan biaya
produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu agar harga
jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh
masyarakat banyak.
4. Hibah. Belanja untuk menganggarkan pemberian hibah
dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah
atau pemerintah daerah lainnya, dan kelompok
masyarakat/perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan
peruntukannya.
5. Bantuan Sosial. Belanja untuk menganggarkan pemberian
bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada
masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
6. Belanja Bagi Hasil. Belanja untuk menganggarkan dana bagi
hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada
kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada
pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu
kepada pemerintah daerah lainnya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
7. Bantuan Keuangan. Belanja untuk menganggarkan bantuan
keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi
kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada
pemerintah daerah lainnya atau dari pemerintah
kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah
daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau
peningkatan kemampuan keuangan.
31
8. Belanja Tidak Terduga. Belanja untuk kegiatan yang
sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti
penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak
diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas
kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang
telah ditutup.
b. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan,
mencakup:
1. Belanja Pegawai. Belanja untuk pengeluaran
honorarium/upah dalam melakasanakan program dan
kegiatan pemerintahan daerah.
2. Belanja Barang dan Jasa. Belanja untuk pengeluaran
pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang
dari 12 (duabelas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam
melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah.
3. Belanja Modal. Belanja untuk pengeluaran yang dilakukan
dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan asset
tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12
(duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan
mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan
aset tetap lainnya.
3. Daerah Otonomi Baru (DOB)
a. Pengertian Daerah Otonom
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2004, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
32
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk menjadi daerah otonom, terdapat beberapa unsur yang harus
dipenuhi. Salah satunya, yaitu :
1) Unsur Kewilayahan
Sebagai kesatuan masyarakat hukum, batas suatu wilayah
sangat menentukan untuk kepastian hukum bagi pemerintah dan
masyarakat dalam melakukan interaksi hukum, misalnya dalam
penetapan kewajiban tertentu sebagai warga masyarakat serta
pemenuhan hak-hak masyarakat terhadap fungsi pelayanan umum
pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan secara luas kepada
masyarakat setempat. Di sisi lain, batas wilayah ini sangat penting
apabila ada sengketa hukum yang menyangkut wilayah perbatasan
antardaerah. Suatu daerah perlu memiliki batas-batas yang jelas
untuk membedakan daerah yang bersangkutan dengan daerah-
daerah lain di sekitarnya.
2) Unsur Pemerintahan
Eksistensi pemerintah di daerah, didasarkan atas legitimasi
undang-undang yang memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah, untuk menjalankan urusan pemerintahan yang berwenang
mengatur berdasarkan kreativitasnya sendiri. Elemen pemerintahan
daerah meliputi daerah dan lembaga DPRD sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
3) Unsur Masyarakat
Masyarakat sebagai elemen pemerintahan daerah
merupakan kesatuan masyarakat hukum, baik gemeinschaft
maupun gesselschaft jelas mempunyai tradisi, kebiasaan, dan adat
istiadat yang turut mewarnai sistem pemerintahan daerah, mulai
dari bentuk cara berpikir, bertindak, dan kebiasaan tertentu dalam
kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk partisipatif budaya
masyarakat antara lain gotong-royong, permusyawaratan, cara
33
menyatakan pendapat dan pikiran menunjang pembangunan daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pelayanan
pemerintahan.
b. Pembentukan Daerah
Daerah otonomi baru adalah suatu daerah yang memenuhi syarat-
syarat sebagai suatu daerah otonom yang meliputi: mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri, kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-
budaya, sosial-politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya
otonomi daerah. Pembentukan DOB pada hakekatnya bertujuan untuk
lebih meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan publik serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah baru (Kemitraan bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan, 2012)
Berdasarkan PP 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, pembentukan daerah dapat
berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang
bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau
lebih. Dalam hal ini pembentukan daerah dapat berupa pembentukan
daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.
1) Penggabungan daerah adalah penyatuan daerah yang dihapus ke
dalam daerah lain yang bersandingan.
2) Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota
menjadi dua daerah atau lebih.
Pada PP 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah juga disebutkan bahwa
pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi
syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
34
1) Persyaratan Administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar
masyarakat setempat untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah
dengan melakukan kajian daerah terhadap rencana pembentukan
daerah.
2) Persyaratan secara Teknis didasarkan pada faktor:
a. Kemampuan Ekonomi. Cerminan hasil kegiatan ekonomi
dalam bentuk (1) PDRB per kapita; (2) Pertumbuhan ekonomi;
dan (3) Kontribusi PDRB terhadap PDRB total.
b. Potensi Daerah. Perkiraan penerimaan dari rencana
pemanfaatan ketersediaan sumber daya buatan, sumber daya
aparatur, serta sumber daya masyarakat yang akan digunakan
untuk meningkatkan pelayanan publik yang dapat diukur
dengan: (1) Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per
10.000 penduduk; (2) Rasio kelompok pertokoan per 10.000
penduduk; (3) Rasio pasar per 10.000 penduduk; (4) Rasio
sekolah SD per penduduk usia SD;
(5) Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP; (6) Rasio
sekolah SLTA per penduduk usia SLTA; (7) Rasio fasilitas
kesehatan per 10.000 penduduk; (8) Rasio tenaga medis per
10.000 penduduk; (9) Persentase rumah tangga yang
mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau perahu motor
atau kapal motor; (10) Persentase pelanggan listrik terhadap
jumlah rumah tangga; (11) Rasio panjang jalan terhadap jumlah
kendaraan bermotor; (12) Persentase pekerja yang
berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun
ke atas; (13) Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-
1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas; dan (14) Rasio
pegawai negeri sipil terhadap penduduk.
c. Sosial Budaya. Cerminan aspek sosial budaya yang diukur
dengan (1) Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk; (2)
35
Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk; dan (3)
Jumlah balai pertemuan.
d. Sosial Politik. Cerminan aspek sosial politik yang diukur
dengan (1) Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif
penduduk yang mempunyai hak pilih; dan (2) Jumlah
organisasi kemasyarakatan.
e. Kependudukan. Cerminan aspek penduduk yang diukur dengan
(1) Jumlah Penduduk; dan (2) Kepadatan Penduduk.
f. Luas Daerah. Cerminan sumber daya lahan/daratan cakupan
wilayah yang dapat diukur dengan (1) Luas wilayah
keseluruhan; dan (2) Luas wilayah efektif yang dapat
dimanfaatkan.
g. Pertahanan. Cerminan ketahanan wilayah yang dapat diukur
dengan karakter wilayah dari aspek (1) Rasio jumlah personil
aparat pertahanan terhadap luas wilayah; dan (2) Karakteristik
wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan.
h. Keamanan. Cerminan aspek keamanan dan ketertiban daerah
yang dapat diukur dengan Rasio jumlah personil aparat
keamanan terhadap jumlah penduduk.
i. Kemampuan Keuangan. Cerminan terhadap keuangan yang
dapat diukur dengan (1) Jumlah PAD; (2) Rasio PDS terhadap
Jumlah Penduduk dan (3) Rasio PDS terhadap PDRB.
j. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat. Cerminan terhadap tingkat
pendidikan, kesehatan dan pendapatan masyarakat yang dapat
diukur dengan indeks pembangunan manusia.
k. Rentang Kendali Penyelenggaraan Pemerintahan. Cerminan
terhadap kedekatan jarak ke lokasi calon ibukota yang dapat
diukur dengan (1) Rata-rata jarak kabupaten/kota atau
kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau
ibukota kabupaten); dan (2) Rata-rata waktu perjalanan dari
36
kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota
provinsi atau ibukota kabupaten).
3) Persyaratan Fisik Kewilayahan dalam pembentukan daerah
meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan
prasarana pemerintahan.
Penyebab Munculnya Daerah Otonomi Baru :
1) Keinginan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik
dalam wilayah kewenangan yang terbatas/terukur. Pendekatan
pelayanan melalui pemerintahan daerah yang baru diasumsikan
akan lebih dapat memberikan pelayanan yang lebih baik
dibandingkan dengan pelayanan melalui pemerintahan daerah
induk dengan cakupan wilayah pelayanan yang lebih luas. Melalui
proses perencanaan pembangunan daerah pada skala yang lebih
terbatas, maka pelayanan publik sesuai kebutuhan lokal akan lebih
tersedia.
2) Mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat melalui
perbaikan kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan
potensi lokal. Dengan dikembangkannya daerah baru yang otonom,
maka akan memberikan peluang untuk menggali berbagai potensi
ekonomi daerah baru yang selama ini tidak tergali.
3) Penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di sektor pemerintah dan
bagi-bagi kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan.
Kenyataan politik seperti ini juga mendapat dukungan yang besar
dari masyarakat sipil dan dunia usaha, karena berbagai peluang
ekonomi baru baik secara formal maupun informal menjadi lebih
tersedia sebagai dampak ikutan pemekaran wilayah
37
Disisi lain, menurut Sjafrizal (2012), ada beberapa faktor yang
dapat memicu terjadinya pemekaran wilayah, antara lain:
1) Perbedaan agama. Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat
menunjukkan bahwa perbedaan agama merupakan salah satu unsur
yang dapat menyebabkan timbulnyakeinginan masyarakat untuk
memisahkan diri dari suatu negara/ daerah yang telah ada untuk
menjadi negara/ daerah baru.
2) Perbedaan etnis dan budaya. Sama halnya dengan perbedaan
agama, perbedaan etnis dan budaya juga merupakan unsur penting
lainnya yang dapat memicu terjadinya keinginan untuk melakukan
pemekaran wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat
merasa kurang nyaman bila hidup dalam suatu masyarakat dengan
etnis, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda. Bila kesatuan
budaya ini terganggu karena kehadiran warga masyarakat lain
dengan budaya yang berbeda, maka seringkali terjadi ketegangan
bahkan konflik sosial dalam masyarakat tersebut.
3) Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah. Aspek
berikutnya yang cenderung menjadi pemicu terjadinya pemekaran
wilayah adalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah.
Termasuk juga ke dalam aspek ini adalah ketimpangan dalam
ketersediaan sumber daya alam bernilai tinggi, seperti minyak
bumi, gas alam, dan batu bara yang selanjutnya akan mendorong
terjadinya ketimpangan kemakmuran antar daerah. Ketimpangan
ini selanjutnya mendorong terjadinya kecemburuan sosial dan
merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat sehinnga akhirnya
muncul keinginan untuk melakukan pemekaran wilayah.
4) Luas daerah. Luas daerah dapat pula memicu timbulnya keinginan
untuk melakukan pemekaran wilayah. Alasannya adalah karena
wilayah yang besar akan cenderung menyebabkan pelayanan
38
public tidak dapat dilakukan secara efektif dan merata ke seluruh
pelosok daerah. Sementara tugas pemerintah daerah adalah
memberikan pelayanan publik kepada seluruh masyarakat di
daerahnya. Dalam rangka memperbaiki pelayanan kepada
masyarakat, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah
dengan melakukan pemekaran daerah. Pemekaran wilayah
diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah
Terlepas dari penyebabnya, pemekaran daerah yang terjadi ternyata
telah membawa sejumlah implikasi positif maupun negatif. Ada
beberapa implikasi dari adanya pemekaran daerah, antara lain (Pratikno,
2008) :
1) Implikasi Sosial Politik
Dari sisi politis, pemekaran wilayah dapat menumbuhkan
perasaan homogen daerah pemekaran baru yang justru akan
memperkuat perasaan egosentrisme. Hal ini jika tidak dikelola
dengan baik akan menimbulkan konflik horizontal maupun vertikal.
Selain itu munculnya banyak Kabupaten/Kota justru menimbulkan
ketidakefisiensian manajemen pemerintahan daerah. Sulitnya
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi juga menjadi
implikasi sosial politis pemekaran daerah.
2) Implikasi Sosial Ekonomi
Pemekaran Daerah telah menyebabkan beban keuangan yang
harus ditanggung Pemerintah Pusat semakin meningkat. Apabila
fenomena tersebut benar maka semangat pemekaran daerah telah
mengikari semangat otonomi daerah karena yang terjadi justru
adanya ketergantungan daerah hasil pemekaran terhadap pemerintah
pusat.
3) Implikasi Sosial Kultural
Melalui pemekaran daerah, masyarakat daerah ternyata telah
membawa dampak pada pengakuan sosial, politik dan kultural
39
terhadap masyarakat. Di satu sisi implikasi ini akan menimbulkan
kohesivitas di tataran masyarakat namun dilihat dari sisi eksternal
dapat dipandang sebagai egosentrisme kedaerahan.
4) Implikasi pada Pelayanan Publik
Dari dimensi pelayanan publik seperti di bidang pendidikan
kesehatan, infrastruktur, dan pelayanan administrasi kependudukan,
pemekaran daerah akan memperpendek jarak geografis antara
penduduk dengan sentra pelayanan yaitu Ibukota Kabupaten/Kota.
5) Implikasi bagi Pembangunan Ekonomi
Adanya pemekaran daerah akan memberi kesempatan kepada
daerah miskin untuk memperoleh lebih banyak subsidi dari
pemerintah pusat (DAU dan DAK) dan hal ini akan mendorong
peningkatan pendapatan per kapita di daerah tersebut.
6) Implikasi pada Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional
Pemekaran Daerah sebenarnya dapat dipandang sebagai pemicu
bagi terpecahnya negara Kesatuan, bahkan juga bisa dipandang
sebagai ancaman untuk membentuk negara federal di Indonesia.
c. Tata Cara Pembentukan Daerah
Pembentukan daerah provinsi dilaksanakan dengan tahapan
sebagai berikut:
1) Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk
Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau
nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan
wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
2) Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian
besar masyarakat setempat.
3) Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak
aspirasi dalam bentuk keputusan bupati/walikota berdasarkan hasil
kajian daerah.
40
4) Keputusan masing-masing bupati/walikota disampaikan kepada
gubernur.
5) Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi
sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan
hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut
selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi.
6) Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, gubernur
menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden
melalui Menteri.
Pembentukan daerah kabupaten/kota dilaksanakan dengan tahapan
sebagai berikut:
1) Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk
Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau
nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan
wilayah kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
2) DPRD kabupaten/kota dapat memutuskan untuk menyetujui atau
menolak aspirasi dalam bentuk Keputusan DPRD berdasarkan
aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang diwakili oleh BPD
untuk desa atau nama Iain dan Forum Komunikasi Kelurahan untuk
kelurahan atau nama lain.
3) Bupati/walikota memutuskan untuk menyetujui atau menolak
aspirasi dalam bentuk keputusan bupati/ walikota berdasarkan hasil
kajian daerah.
4) Bupati/walikota mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada
gubernur untuk mendapatkan persetujuan.
5) Gubernur memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan
pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi terhadap kajian
daerah.
41
6) Gubernur menyampaikan usulan pembentukan calon kabupaten/kota
kepada DPRD provinsi.
7) DPRD provinsi memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan
pembentukan kabupaten/kota, dan
8) Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan
kabupaten/kota, gubernur mengusulkan pembentukan
kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri.
4. Daerah Tertinggal
Daerah tertinggal sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78/2014
dan Peraturan Presiden Nomor 131/2015 adalah daerah kabupaten yang
wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan
daerah lain dalam skala nasional. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah
tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain:
a. Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit
dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan
/pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau
karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh
jaringan baik transportasi maupun media komunikasi.
b. Sumberdaya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki
potensi sumberdaya alam, daerah yang memiliki sumberdaya alam
yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang
dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal
akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan.
c. Sumberdaya Manusia. Pada umumnya, masyarakat di daerah
tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan
keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang
belum berkembang.
d. Sarana dan Prasarana. Keterbatasan sarana dan prasarana
komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan,
dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah
42
tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas
ekonomi dan sosial.
e. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial. Seringnya suatu daerah
mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan
terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi.
f. Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat
disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang
memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan
pendekatan dan prioritas pembangunan, serta tidak dilibatkannya
kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan
pembangunan.
Penetapan suatu kabupaten mengalami ketertinggalan dapat diukur
dengan menggunakan standar yang telah ditetapkan sebelumnya mengacu
pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi No. 3 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penentuan
Indikator Daerah Tertinggal Secara Nasional, yaitu berdasarka kriteria:
a. Perekonomian masyarakat, terdiri dari indikator:
1) Persentase penduduk miskin
2) Pengeluaran konsumsi per kapita
b. Sumber daya manusia, terdiri dari indikator:
1) Angka harapan hidup
2) Rata-rata lama sekolah
3) Angka melek huruf
c. Sarana dan prasarana, terdiri dari indikator:
1) Persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas
aspal/beton
2) Persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas
diperkeras
3) Persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas tanah
43
4) Persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas
lainnya
5) Persentase rumah tangga pengguna telepon
6) Persentase rumah tangga pengguna listrik
7) Persentase rumah tangga pengguna air bersih
8) Persentase desa yang mempunyai pasar tanpa bangunan
permanen / semi permanen
9) Jumlah Sarana dan Prasarana Kesehatan Per 1000 Penduduk
10) Jumlah Dokter Per 1000 Penduduk
11) Jumlah SD dan SMP per 1000 penduduk
d. Kemampuan keuangan daerah
e. Aksesibilitas, terdiri dari indikator:
1) Rata-rata jarak dari kantor desa ke kantor kabupaten yang
membawahi
2) Persentase desa dengan jarak pelayanan kesehatan ≥ 5 km
3) Rata-rata jarak dari desa ke pusat pelayanan pendidikan dasar
f. Karakteristik daerah, terdiri dari indikator:
1) Persentase Desa Gempa Bumi
2) Persentase Desa Tanah Longsor
3) Persentase Desa Banjir
4) Persentase Desa Bencana Lainnya
5) Persentase Desa di Kawasan Hutan Lindung
6) Persentase Desa Berlahan Kritis
7) Persentase Desa Konflik satu tahun terakhir
Selain berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud di atas dapat
dipertimbangkan karakteristik Daerah Tertentu, yang meliputi:
1) Jumlah desa tertinggal
2) Daerah rawan pangan
3) Daerah perbatasan
4) Daerah rawan bencana
44
5) Daerah pasca konflik
6) Daerah pulau kecil dan terluar
Pembangunan daerah tertinggal menurut Peraturan Pemerintah Nomor
78 Tahun 2014 merupakan upaya terencana untuk mengubah suatu daerah
yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi
dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang
kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan
masyarakat Indonesia lainnya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya
meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan
(bahkan menyangkut hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah
maju).
Jumlah daerah tertinggal sejak tahun 2005 hingga saat ini mengalami
beberapa perkembangan, yaitu : (i) Periode tahun 2005-2009, terdapat 199
daerah tertinggal. Selama periode ini dari 199 daerah tertinggal terdapat 50
daerah yang telah terentaskan, namun demikian pada periode tersebut
terdapat 34 Daerah Otonomi Baru (DOB) atau daerah pemekaran yang
termasuk dalam kategori tertinggal, sehingga pada Periode 2010-2014
terdapat 183 daerah tertinggal, (ii) Pada Periode 2010-2014 terdapat 70
kabupaten yang berhasil dientaskan dari ketertinggalan berdasarkan
Keputusan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal No. 141 tentang
Penetapan Kabupaten Daerah Tertinggal Yang Terentaskan Tahun 2014,
namun demikian terdapat 9 kabupaten DOB yang termasuk kategori daerah
tertinggal (KDPDTT, 2015).
B. Penelitian Terdahulu
Adapun teori yang mengkaitkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi
dan pengeluaran pemerintah adalah Teori Keynes, yakni pengeluran pemerintah
merupakan bagian dari bentuk pendapatan nasional dimana formulasi pendapatan
nasional yaitu Y = C + I + G + (X-M). Keynes berpendapat bahwa peningkatan
atau penurunan pengeluaran pemerintah akan mempengaruhi pendapatan nasional.
45
Untuk mendukung penelitian ini digunakan beberapa penelitian sebelumnya
sebagai bahan perbandingan, diantaranya adalah:
1. (Haryanto, 2013) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi. Pada penelitian ini, variabel independen yang digunakan memiliki
kesamaan dengan variabel independen yang akan penulis teliti. Namun,
terdapat perbedaan objek penelitian yaitu Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah karena pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah pada tahun 2011 masih
dikatakan rendah, sama dengan keadaan pengeluaran pemerintah Jawa
Tengah yang masih tergolong rendah.
2. (Sari et al., 2017) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk
menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah dan tenaga kerja terhadap
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lampung Tengah. Pada penelitian ini,
variabel independen yang digunakan memiliki kesamaan dengan variabel
independen yang akan penulis teliti. Namun, terdapat perbedaan objek
penelitian yaitu Kabupaten Lampung Tengah karena merupakan daerah
dengan pengeluaran pemerintah dan tenaga kerja terbesar di Provinsi
Lampung pada tahun 2014.
3. (Putra & Adigorim, 2011) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh belanja langsung dan belanja tidak langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi di kabupaten Badung tahun 2001 – 2010. Pada
penelitian ini, variabel independen yang digunakan memiliki kesamaan
dengan variabel independen yang akan penulis teliti. Namun, terdapat
perbedaan objek penelitian yaitu Kabupaten Badung karena merupakan
daerah yang memiliki PDRB dan APBD terbesar di Provinsi Bali, yang
perekonomiannya lebih didukung oleh sektor pariwisata.
46
4. (Samsuri, 2016) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaruh belanja pemerintah terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) provinsi se-Sumatera. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan
memiliki kesamaan dengan variabel yang akan penulis teliti. Namun,
variabel independen yang digunakan sedikit berbeda karena pengeluaran
pemerintah dalam hal ini adalah belanja modal dan belanja operasi karena
belanja modal memiliki multiplier effect dalam menggerakan roda
perekonomian daerah dan belanja operasi merupakan rasio belanja untuk
sektor konsumsi.
5. (Anggraeni, 2017) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh pengeluaran pemerintah di beberapa sektor (pendidikan, kesehatan
dan pertanian) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka
panjang maupun jangka pendek. Pada penelitian ini, variabel yang
digunakan memiliki kesamaan dengan variabel yang akan penulis teliti.
Namun, variabel independen yang digunakan sedikit berbeda karena
pengeluaran pemerintah dalam hal ini adalah pengeluaran pemerintah di
beberapa sektor (pendidikan, kesehatan dan pertanian) karena peneliti
mengacu kepada salah satu sumber pertumbuhan ekonomi, yaitu SDM
dimana 3 bidang penting yang harus ada adalah bidang pendidikan, bidang
kesehatan dan bidang ekonomi.
6. (Saidah, 2011) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten tertinggal dan belanja fungsi apa yang memberikan pengaruh
terbesar terhadap pertumbuhan tersebut. Pada penelitian ini, variabel yang
digunakan memiliki kesamaan dengan variabel yang akan penulis teliti.
Namun, variabel independen yang digunakan sedikit berbeda karena
pengeluaran pemerintah dalam hal ini adalah belanja per fungsi karena
mengacu kepada studi empiris yang dilakukan oleh peneliti. Dan terdapat
kesamaan objek penelitian yaitu daerah tertinggal.
47
7. (Dudzevičiūtė et al., 2018) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memberikan estimasi kuat tentang hubungan antara pengeluaran pemerintah
dan pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa (EU) selama periode 1995-2015.
Dari penelitian ini mendapatkan hasil bahwa hubungan kausal berjalan dari
GE ke pertumbuhan ekonomi ada di Swedia dan Slovakia. Ini mendukung
pendekatan Keynesian dan menegaskan dampak GE terhadap pertumbuhan
ekonomi. Sedangkan efek searah yang berjalan dari GDP ke GE telah
terdeteksi di Perancis, Belgia, Jerman, Portugal, dan Siprus. Hasil ini telah
mendukung pendekatan Wagnerian, yang menyatakan bahwa seiring
pertumbuhan ekonomi, ukuran relatif GE juga ikut meningkat.
8. (Çakerri et al., 2014) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan
jawaban yang tepat untuk pertanyaan: Dapatkah belanja pemerintah
memiliki potensi untuk berdampak dan merangsang pertumbuhan ekonomi?
Bagaimana perubahan ukuran instrumen kebijakan fiskal telah
mempengaruhi indikator pertumbuhan ekonomi di Albania?. Dari penelitian
ini mendapatkan hasil bahwa perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi pada
negara-negara yang berbeda terjadi karena beberapa faktor, salah satu faktor
yang paling penting yaitu peran dan ukuran belanja publik. Serta
pengeluaran yang paling efisien adalah pengeluaran yang digunakan untuk
sektor-sektor produktif.
9. (Kyissima et al., 2017) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti
hubungan jangka panjang dan jangka pendek antara pengeluaran pemerintah
dan pertumbuhan ekonomi di Tanzania selama periode 1996-2014. Dari
penelitian ini mendapatkan hasil bahwa pemerintah Tanzania harus
meningkatkan alokasi sumber daya dalam pengeluaran pembangunan
(infrastruktur) dan belanja layanan sosial dan menyalurkan pengeluaran
tersebut untuk memungkinkan partisipasi sektor swasta dan pembangunan
infrastruktur untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
48
10. (Suwanti, 2013) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menaganalisis
pengaruh pengeluaran pemerintah dan faktor lain yang dapat mempengaruhi
PDRB sektor pertanian. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan
memiliki kesamaan dengan variabel yang akan penulis teliti. Namun,
variabel independen yang digunakan sedikit berbeda karena pengeluaran
pemerintah dalam hal ini adalah pengeluaran pemerintah sektor pertanian
karena objek penelitian yaitu Jawa tengah merupakan daerah dengan
kontribusi sektor pertanian paling tinggi terhadap PDRB di pulau Jawa.
Akan tetapi, laju pertumbuhan sektor pertanian dalam keadaan stagnasi atau
bahkan dikatakan mundur pada periode penelitian dilakukan. Oleh karena
itu, variabel dependen yang digunakan adalah PDRB sektor pertanian.
11. (Bastias, 2010) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaruh pengeluaran pemerintah atas pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan memiliki
kesamaan dengan variabel yang akan penulis teliti. Namun, variabel
independen yang digunakan sedikit berbeda karena pengeluaran pemerintah
dalam hal ini adalah pengeluaran pemerintah di beberapa sektor
(pendidikan, kesehatan dan infrastruktur) karena peneliti menyatakan bahwa
pada dasarnya ketiga sektor tersebut merupakan investasi ekonomi yang
selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
49
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Penulis
dan Tahun Judul Penelitian
Variabel dan Alat
Analisis Hasil Penelitian Perbedaan
1. Tommy
Prio
Haryanto
(2013)
Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi
Kab/Kota Di
Provinsi Jawa
Tengah Tahun
2007-2011
Variabel :
Pertumbuhan
Ekonomi, Belanja
Langsung, dan
Belanja Tidak
Langsung
Alat Analisis :
fixed effect model
(FEM)
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah
untuk belanja tidak langsung
dan belanja langsung
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi di
Jawa Tengah, baik secara
parsial atau bersama-sama.
Metode: fixed
effect model
(FEM)
Periode: 2007-
2011
Objek: 35
kabupaten/kota di
Jawa Tengah
2. Devi
Novita
Sari, Toto
Gunarto,
Muhamma
d Husaini
(2017)
Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah Dan
Tenaga Kerja
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi Di
Kab Lampung
Tengah
Variabel :
Pertumbuhan
Ekonomi, Belanja
Langsung,
Belanja Tidak
Langsung,
Tenaga Kerja
Alat Analisis :
Model Regresi
Berganda
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah pada
belanja langsung berpengaruh
positif namun tidak signifikan
terhadap pertumbuhan
ekonomi, pada belanja tidak
langsung berpengaruh positif
dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Dan
tenaga kerja berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Variabel
independen:
Tenaga Kerja
Metode: Model
Regresi Berganda
Periode: 2001-
2014
Objek: Kabupaten
Lampung Tengah
50
No Penulis
dan Tahun Judul Penelitian
Variabel dan Alat
Analisis Hasil Penelitian Perbedaan
3. I Gede
Dwi
Purnama
Putra, I
Made
Adigorim
(2011)
Pengaruh
Belanja
Langsung Dan
Belanja Tidak
Langsung
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi
Variabel : PDRB,
Belanja
Langsung, dan
Belanja Tidak
Langsung
Alat Analisis :
Model Regresi
Berganda
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa baik
belanja langsung atau belanja
tidak langsung memiliki
pengaruh yang positif
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi/PDRB
Kabupaten Badung.
Metode: Model
Regresi Berganda
Periode: 2001-
2010
Objek: Kabupaten
Badung
4. Singgih
Samsuri
(2016)
Analisis
Pengaruh
Belanja
Pemerintah
Terhadap PDRB
Provinsi Se-
Sumatera
Variabel : PDRB,
Belanja Modal,
Belanja Operasi
Alat Analisis :
Random Effect
Model (REM)
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa seluruh
variabel bebas yaitu belanja
modal dan belanja operasi
mempunyai pengaruh positif
dan signifikan terhadap
PDRB di 10 provinsi se-
Sumatera.
Var. independen:
Belanja Modal,
Belanja Operasi
Periode: 2009-
2013
Objek: 10 prov. di
Sumatera
5. Merlin
Anggraeni
(2017)
Analisis
Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah
Pendidikan,
Kesehatan, Dan
Pertanian
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi
Variabel :
Pertumbuhan
Ekonomi,
Pengeluaran
Pemerintah
(Pendidikan,
Kesehatan, dan
Pertanian)
Alat Analisis :
Error Correction
Model (ECM)
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa seluruh
variabel independen
Pengeluaran Pemerintah di
Beberapa Sektor (Pendidikan,
Kesehatan dan Pertanian)
berpengaruh signifikan
terhadap PDB Indonesia, baik
secara parsial atau secara
simultan.
Var. independen:
Pengeluaran
Pemerintah
Sektor
Pendidikan,
Kesehatan, dan
Pertanian
Metode: ECM
Periode: 1970-
2015
Objek: Indonesia
51
No Penulis
dan Tahun Judul Penelitian
Variabel dan Alat
Analisis Hasil Penelitian Perbedaan
6. Nur
Saidah
(2011)
Analisis
Pengaruh
Belanja
Pemerintah
Daerah
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi
Kabupaten
Tertinggal
Variabel :
Pertumbuhan
Ekonomi, Belanja
Per Fungsi
(Ekonomi,
Pendidikan,
Kesehatan,
Pelayanan
Umum, dan
Lainnya), Jumlah
Angkatan Kerja
Alat Analisis :
Random Effect
Model (REM)
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa masing-
masing variabel belanja
fungsi pelayanan umum,
kesehatan, pendidikan dan
lainnya berpengaruh
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Variabel bebas yang lain
yaitu angkatan kerja dan
belanja fungsi ekonomi tidak
berpengaruh signifikan
pertumbuhan ekonomi 22
kabupaten tertinggal.
Var. independen:
Belanja Per
Fungsi, Jumlah
Angkatan Kerja
Periode: 2007-
2009
Objek: 22
Kabupaten
Tertinggal di
Pulau Sumatra
7. Gitana
Dudzeviči
ūtė, Agnė
Šimelytė,
Aušra
Liučvaitie
nė (2018)
Government
expenditure and
Economic
growth in the
European Union
Countries
Variabel : GDP
Per Kapita,
Pengeluaran
Pemerintah
Alat Analisis :
Correlation
Analysis, Granger
Causality Test,
Regression
Reliance
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
hubungan kausal berjalan dari
pengeluaran pemerintah ke
pertumbuhan ekonomi ada di
Swedia dan Slovakia. Ini
mendukung pendekatan
Keynesian, dimana
peningkatan pengeluaran
pemerintah cenderung
mengarah pada permintaan
agregat yang tinggi.
Variabel
dependen: GDP
Per Kapita
Metode: Granger
Causality Test
Periode: 1995-
2015
Objek: Negara
Uni Eropa
52
No Penulis
dan Tahun Judul Penelitian
Variabel dan Alat
Analisis Hasil Penelitian Perbedaan
8. Lorena
Çakerri,
Migena
Petanaj,
Oltiana
Muharrem
i (2014)
The effect of
government
expenditures on
economic
growth. The
case of Albania
Variabel :
Pertumbuhan
Ekonomi,
Pengeluaran
Pemerintah
Alat Analisis :
literatur empiris
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah
secara positif mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi,
karena negara Albania dan
negara berkembang lainnya
adalah negara transisi di
mana sektor publik sangat
penting dalam kemajuan
reformasi ekonomi,
pengembangan sektor swasta,
dll.
Metode: literatur
empiris
Periode: 2000-
2013
Objek: Negara
Albania
9. Kelvin
Henry
Kyissima,
Yapatake
Kossele
Thales
Pacific,
Abeid
Ahmed
Ramadhan
(2017)
Government
expenditure and
economic
growth in
Tanzania: a time
series analysis
Variabel :
Pertumbuhan
Ekonomi,
Pengeluaran
Pemerintah
Alat Analisis :
Error Correcting
Model (ECM),
Granger
Causality Test
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa dalam
jangka panjang pengeluaran
pemerintah ditemukan
signifikan secara statistik dan
memiliki hubungan positif
dengan pertumbuhan
ekonomi. Perkiraan jangka
pendek menunjukkan tidak
ada hubungan yang signifikan
antara pengeluaran
pemerintah dan pertumbuhan
ekonomi.
Metode:Error
Correcting Model
(ECM), Granger
Causality Test
Periode: 1996-
2014
Objek: Negara
Tanzania
53
No Penulis
dan Tahun Judul Penelitian
Variabel dan Alat
Analisis Hasil Penelitian Perbedaan
10. Edy Yusuf
Agung
Guanto
Suwanti
(2013)
Analisis
Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah
Sektor Pertanian
Terhadap PDRB
Sektor
Pertanian 35
Kabupaten/Kota
Di Provinsi
Jawa Tengah
Tahun 2007-
2010
Variabel : PDRB
Sektor Pertanian,
Pengeluaran
Pemerintah
Pertanian dan
Tenaga Kerja
Alat Analisis :
Fixed Effect
Model (FEM)
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah
secara positif tidak signifikan
mempengaruhi PDRB Sektor
Pertanian, sementara tenaga
kerja berpengaruh positif dan
signifikan. Dan secara
simultan semua variabel
independen mempengaruhi
variabel dependen.
Var. independen:
Pengeluaran
Pemerintah
Pertanian dan
Tenaga Kerja
Metode: Fixed
Effect Model
(FEM)
Periode: 2007-
2010
Objek: 35
Kab/Kota di Prov.
Jawa Tengah
11. Desi Dwi
Bastias
(2017)
Analisis
Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah Atas
Pendidikan,
Kesehatan Dan
Infrastruktur
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi
Indonesia
Periode 1969-
2009
Variabel :
Pertumbuhan
Ekonomi,
Pengeluaran
Pemerintah
(Pendidikan,
Kesehatan,
Perumahan dan
Transportasi)
Alat Analisis :
Error Correcting
Model (ECM)
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa dalam
jangka pendek hanya variabel
pengeluaran pemerintah atas
transportasi yang
berpengaruh positif secara
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan dalam jangka
panjang variabel pengeluaran
pemerintah atas perumahan
dan transportasi
mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi secara signifikan
dan bertanda positif.
Var. independen:
Pengeluaran
Pemerintah
Sektor
Pendidikan,
Kesehatan,
Perumahan dan
Transportasi
Metode: Error
Correcting Model
(ECM)
Periode: 1969-
2009
Objek: Indonesia
Sumber: Jurnal dan Penelitian Terdahulu
54
C. Hubungan Antar Variabel
Pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) adalah bagian dari
kebijakan fiskal yakni suatu tindakan pemerintah untuk mengatur jalannya
perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran
pemerintah tiap tahunnya yang tercermin dalam dokumen APBN untuk nasional
dan APBD untuk daerah/regional. Tujuan dari kebijakan fiskal ini adalah dalam
rangka menstabilkan harga, tingkat output maupun kesempatan kerja dan memacu
pertumbuhan ekonomi (Sukirno, 2013).
Selain itu, pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen dalam
permintaan agregat (aggregate demand / AD). Secara teori ekonomi makro
Keynesian dinyatakan bahwa peningkatan pengeluaran/belanja pemerintah
cenderung mengarah pada permintaan agregat (aggregate demand / AD) yang
tinggi dan perkembangan ekonomi yang cepat (Dudzevičiūtė et al., 2018).
Peranan pengeluaran pemerintah di negara sedang berkembang sangat signifikan
dalam kemajuan reformasi ekonomi, pengembangan sektor swasta, dan lain-lain
(Çakerri et al., 2014).
a. Hubungan Antara Belanja Tidak Langsung dengan PDRB
Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak digunakan secara
langsung oleh adanya program atau kegiatan. Anggaran belanja tidak langsung
memegang peran penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem
pemerintah serta upaya peningkatan efisiensi dan produktifitas yang pada
gilirannya akan tercapainya sasaran dan tujuan setiap tahap pembangunan. Dalam
hal ini belanja tidak langsung dapat memberikan dampak melalui pelayanan
publik oleh pegawai pemerintah kepada masyarakat, seperti pelayanan perizinan
investasi dan pelayanan perpanjangan surat-surat.
Belanja tidak langsung meliputi belanja pegawai, belanja bunga, belanja
subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan
keuangan dan belanja tak terduga. Belanja pegawai yang dimaksud dalam rincian
belanja tidak langsung ini adalah belanja yang digunakan untuk memberi gaji dan
tunjangan bagi pegawai negeri sipil, penghasilan dan tunjangan bagi anggota
55
DPRD yang ditetapkan sesuai undang-undang dan tambahan penghasilan lainnya
dengan persetujuan DPRD.
Menurut Putra & Adigorim (2011) dalam penelitian yang berjudul
“Pengaruh Belanja Langsung Dan Belanja Tidak Langsung Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi”, Haryanto (2011) “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2007-2011”, dan Sari et al. (2017) “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Dan
Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten Lampung Tengah”
hubungan antara belanja tidak langsung dan pertumbuhan ekonomi adalah positif
sehingga akan terwujud pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh proses
distribusi pengeluaran pemerintah untuk belanja tidak langsung kepada
masyarakat.
b. Hubungan Antara Belanja Langsung dengan PDRB
Belanja langsung adalah belanja yang digunakan secara langsung oleh
adanya program dan kegiatan yang direncanakan. Belanja langsung ini merupakan
pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk
pembangunan fisik dan non fisik di berbagai bidang seperti sarana dan prasarana.
Pembentukan modal di bidang sarana dan prasarana ini umumnya menjadi Social
Overhead Capital (SOC) yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. SOC
ini sangat penting karena pihak swasta tidak akan mau menyediakan berbagai
fasilitas publik, namun tanpa adanya fasilitas publik ini maka pihak swasta tidak
berminat untuk menanamkan modalnya.
Dengan adanya berbagai fasilitas publik ini akan memudahkan masyarakat
dalam menjalankan aktivitas ekonomi atau sosial, dan selanjutnya dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi serta peningkatan pendapatan. Belanja
langsung meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal.
Untuk belanja pegawai yang dimaksud dalam rincian belanja langsung yaitu
belanja yang dikeluarkan dalam bentuk upah yang digunakan untuk melaksanakan
program dan kegiatan pemerintah daerah.
56
Menurut Putra dan Adigorim (2011) dalam penelitian yang berjudul
“Pengaruh Belanja Langsung Dan Belanja Tidak Langsung Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi”, Haryanto (2011) dalam penelitian yang berjudul
“Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2011” menyatakan bahwa
belanja langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi/PDRB. Setiap terjadi peningkatan belanja langsung maka penerimaan
PDRB mengalami peningkatan.
57
D. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.3
Kerangka Pemikiran Teoritis
Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap
PDRB Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal
Perekonomian dapat dipengaruhi
oleh kebijakan fiskal melalui :
1. Pajak
2. Pengeluaran Pemerintah
Analisis Data Panel
Random Effect Model
Uji Hipotesis :
1. Uji t
2. Uji F
3. Uji Adj R2
Kesimpulan dan Saran
Variabel Independen
:
Belanja Tidak
Langsung (X1)
Belanja Langsung
(X2)
Variabel Dependen :
PDRB (Y)
58
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan acuan yang telah dijelaskan pada bagian kerangka berpikir
dan studi empiris yang pernah dilakukan dengan penelitian di bidang ini, maka
peneliti mengambil beberapa hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban
sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah
penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2012).
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Belanja langsung diduga memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial
terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal.
2. Belanja tidak langsung diduga memiliki pengaruh yang signifikan secara
parsial terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal.
3. Belanja langsung dan belanja tidak langsung secara simultan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru
tertinggal.
59
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tahun 2014 - 2017 dengan menggunakan metode data panel. Data yang
digunakan penelitian ini adalah data tahunan. Sedangkan jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh
atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada. Penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis seberapa besar alokasi belanja pemerintah
daerah terhadap PDRB. Variabel penelitian merupakan konsep yang dapat
diukur dengan berbagai macam nilai untuk memberikan gambaran yang nyata
mengenai fenomena yang diteliti. Dimana variabel dependen atau terikat yang
digunakan adalah PDRB, sedangkan variabel independen atau bebas meliputi
Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung.
B. Metode Penentuan Sampel
Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Purposive Sampling, yaitu pengambilan data sampel berdasarkan penilaian
atau kriteria yang memenuhi persyaratan untuk dijadikan sampel dalam
penelitian. Penelitian ini kemudian memilih 10 kabupaten untuk menjadi
sampel dalam penelitian ini. Fokus objek yang dipilih dalam penelitian ini
meliputi Kabupaten Maybrat, Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Malaka,
Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Banggai Laut, Kabupaten Mamuju
Tengah, Kabupaten Pulau Taliabu, Kabupaten Morowali Utara, Kabupaten
Musi Rawas Utara, dan Kabupaten Konawe Kepulauan.
60
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan hal yang harus dilakukan dalam
penyusunan penelitian untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan
penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Keuangan.
Data dari BPS berasal dari data Potensi Desa dan Publikasi PDRB
Kabupaten/Kota. Data pengeluaran pemerintah daerah diperoleh dari laporan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah daerah yang
diterbitkan Kementrian Keuangan. Beserta studi kepustakaan guna melengkapi
informasi agar lebih baik dan komprehensif. Adapun berikut penjelasan
mengenai metode pengumpulan data pada penelitian ini:
1. Data sekunder adalah data yang diproleh tidak melalui tangan pertama,
tetapi melalui tangan kedua, ketiga, dan seterusnya. Atau dengan kata lain,
sumber data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung.
2. Studi kepustakaan dapat dilakukan dengan cara mencari informasi melalui
berbagai literatur, jurnal dan lain-lain yang dipublikasikan yang
berhubungan dengan objek penelitian ini.
Tabel 3.1
Jenis dan Sumber Data yang Digunakan sebagai Variabel
No. Variabel Penelitian Sumber Data Satuan
1 PDRB BPS (PDRB ADHK 10 DOB
tertinggal), tahun 2014 – 2017
juta
rupiah
2 Belanja Langsung Kemenkeu (Realisasi APBD),
tahun 2014 – 2017
juta
rupiah
3 Belanja Tidak
Langsung
Kemenkeu (Realisasi APBD),
tahun 2014 – 2017
juta
rupiah
61
D. Metode Analisis Data
1. Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang
sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu
observasi dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun
narasi dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam menafsirkan
hasil observasi. Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan
untuk menggambarkan secara umum kondisi karakteristik daerah atau
wilayah (seperti karakteristik, aksesibilitas, sarana dan prasarana, sumber
daya manusia, serta kemampuan keuangan daerah). Serta untuk
menggambarkan struktur belanja pemerintah dan pertumbuhan ekonomi,
sehingga dapat dilihat proporsi atau prioritas belanja pemerintah dan
pertumbuhan ekonomi yang terjadi.
2. Analisis Data Panel
Sesuai dengan tinjauan literatur, hal yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah pengaruh belanja pemerintah (belanja tidak langsung
dan belanja langsung) terhadap PDRB 10 Daerah Otonomi Baru (DOB)
tertinggal. Pendekatan yang dilakukan untuk mengestimasi model ini
adalah pendekatan ekonometrika dengan metode analisis data panel
(pooled data). Menurut Baltagi (2005), keunggulan penggunaan analisis
data panel antara lain sebagai berikut:
a. Analisis data panel memiliki kontrol terhadap heterogenitas data
individual dalam suatu periode waktu.
b. Analisis data panel menyajikan data yang lebih informatif, lebih
bervariasi, memiliki kolinearitas antar variabel yang kecil, memiliki
derajat kebebasan yang lebih besar, dan lebih efisien.
c. Analisis data panel lebih tepat dalam mempelajari dinamika
penyesuaian (dynamics of change).
62
d. Analisis data panel dapat lebih baik mengidentifikasi dan mengukur
pengaruh-pengaruh yang secara sederhana tidak dapat terdeteksi
dalam data cross section atau time series saja.
e. Model analisis data panel dapat digunakan untuk membuat dan
menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan analisis
data cross section murni atau time series murni.
f. Analisis data panel pada level mikro dapat meminimisasi atau
menghilangkan bias yang terjadi akibat agregasi data ke level makro.
g. Analisis data panel pada level makro memiliki time series yang lebih
panjang tidak seperti masalah jenis distribusi yang tidak standar dari
unit root tests dalam analisis data time series.
Walaupun demikian, analisis data panel juga memiliki keterbatasan
dalam penggunaannya, khususnya apabila data panel dikumpulkan atau
diperoleh dengan metode survei. Menurut Baltagi (2005), keterbatasan
penggunaan analisis data panel antara lain sebagai berikut:
a. Analisis data panel menimbulkan masalah dalam rancangan dan
pengumpulan data penelitian yang mencakup coverage, nonresponse,
kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu
wawancara akibat penggunaan data yang relatif besar dengan
melibatkan komponen cross section dan time series.
b. Analisis data panel dapat menimbulkan distorsi dalam kesalahan
pengamatan.
c. Analisis data panel dapat menimbulkan masalah selektivitas seperti
self selectivity, nonresponse, dan attrition (jumlah responden yang
terus berkurang pada survei lanjutan).
d. Analisis data panel dapat menimbulkan dimensi series jangka pendek.
e. Analisis data panel dapat menimbulkan masalah ketergantungan cross
section yang dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak
tepat (missleading inference).
63
Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis data
panel. Data panel adalah gabungan antara data runtut waktu (time series)
dengan data silang daerah (cross section). Data time series yang digunakan
dalam penelitian ini adalah periode tahun 2014-2017, sedangkan data cross
section meliputi 10 Kabupaten yang termasuk dalam Daerah Otonomi Baru
(DOB) tertinggal. Dalam perhitungan analisis data ini dilakukan dengan
menggunakan bantuan program Eviews8. Dalam penelitian ini terdapat dua
variabel independen yaitu belanja tidak langsung (X1), belanja langsung (X2)
dan variabel dependen dalam penelitian ini adalah PDRB (Y). Model yang
disusun dalam penelitian adalah sebagai berikut:
Yit = β0 + β1 BTLit + β2 BLit + εit
dimana :
β0 = intercept
β 1,2 = koefisien masing-masing variabel bebas
ε = error term/ derajat kesalahan model
Y = PDRB ADHK (dalam juta rupiah)
BTL = belanja tidak langsung (dalam juta rupiah)
BL = belanja langsung (dalam juta rupiah)
i = data cross section, yaitu 10 DOB tertinggal
t = tahun penelitian, yaitu dari tahun 2014 – 2017
Analisis data panel dapat diestimasi mengunakan metode Ordinary
Least Square (OLS) jika memenuhi syarat BLUE (Best Linear Unbiased
Estimator) atau dengan menggunakan metode Generalized Least Square
(GLS) jika syarat BLUE tidak dipenuhi. Menurut Winarno (2007), untuk
mengestimasi parameter model dengan data panel, terdapat beberapa
teknik antara lain:
64
1. Pooled Least Square (PLS)
Pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel
adalah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa yang
diterapkan dalam data berbentuk pool, sering disebut pula dengan
Pooled Least Square. Kelemahan metode Ordinary Least Square ini
adalah ketidaksesuaian model dengan keadaan yang sesungguhnya.
Kondisi ini tiap objek saling berbeda, bahkan satu objek pada suatu
waktu akan sangat berbeda pada kondisi objek tersebut pada waktu
yang lain (Winarno, 2007).
2. Fixed Effect Model (FEM)
Menurut Winarno (2007), metode efek tetap ini dapat
menunjukkan perbedaan antar objek meskipun dengan koefisien
regresor yang sama. Model ini dikenal dengan model regresi Fixed
Effect (efek tetap). Efek tetap ini dimaksudkan adalah bahwa satu
objek, memiliki konstan yang tetap besarnya untuk berbagai periode
waktu. Demikian juga dengan koefisien regresinya, tetap besarnya
dari waktu ke waktu (time invariant).
Keuntungan metode efek tetap ini adalah dapat membedakan efek
individual dan efek waktu serta tidak perlu mengasumsikan bahwa
komponen error tidak berkorelasi dengan variabel bebas yang
mungkin sulit dipenuhi. Dan kelemahan metode efek tetap ini adalah
ketidaksesuaian model dengan keadaan yang sesungguhnya. Kondisi
tiap objek saling berbeda, bahkan satu objek pada suatu waktu akan
sangat berbeda dengan kondisi objek tersebut pada waktu yang lain.
3. Random Effect Model (REM)
Keputusan untuk memasukkan variabel boneka dalam model efek
tetap (fixed effect) tak dapat dipungkiri akan dapat menimbulkan
konsekuensi (trade off). Penambahan variabel boneka ini akan dapat
mengurangi banyaknya derajat kebebasan (degree of freedom) yang
pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang
diestimasi. Model panel yang di dalamnya melibatkan korelasi antar
65
error term karena berubahnya waktu karena berbedanya observasi
dapat diatasi dengan pendekatan model komponen error (error
component model) atau disebut juga model efek acak (Random effect).
Metode ini digunakan untuk mengatasi kelemahan metode efek tetap
yang menggunakan variabel semu, sehingga model mengalami
ketidakpastian. Tanpa menggunakan variabel semu, metode efek
random menggunakan residual, yang diduga memiliki hubungan antar
waktu dan antar objek. Syarat untuk menganalisis efek random yaitu
objek data saling harus lebih besar daripada banyaknya koefisien
(Winarno, 2007).
Ada 3 tahap dalam memilih metode dalam data panel. Pertama kita
harus membandingkan PLS dengan FEM terlebih dahulu. Kemudian
dilakukan uji F-test. Jika hasil menunjukkan model PLS yang diterima,
maka model PLS lah yang akan dianalisa. Tetapi jika model FEM yang
diterima, maka tahap kedua dijalankan, yakni melakukan perbandingan
lagi dengan model REM. Setelah itu dilakukan pengujian dengan
Hausman test untuk menentukan metode mana yang akan dipakai, apakah
FEM atau REM (Winarno, 2007) dan yang terakhir adalah LM test.
1. Uji Chow
Uji ini dilakukan untuk mengetahui model Pooled Least Square
(PLS) atau Fixed Effect Model (FEM) yang akan digunakan dalam
estimasi. Hipotesis dari uji chow yaitu:
- Prob (p-value) > α, maka menerima H0 dan menolak H1 sehingga
pooled least square yang valid digunakan.
- Prob (p-value) < α, maka menolak H0 dan menerima H1 sehingga
fixed effect model yang valid digunakan.
66
Signifikan level (α) atau disebut juga alpha batas kesalahan
maksimal yang dijadikan patokan dalam perhitungan statistik.
Berdasarkan konvensi, alpha yang biasa digunakan adalah sebesar 1%
(0,01), 5% (0,05) dan 10% (0,10).
2. Uji Hausman
Ada beberapa pertimbangan teknis empiris yang dapat digunakan
sebagai panduan untuk memilih Fixed Effect Model atau Random
Effect Model. Hipotesis dari uji hausman yaitu:
- Prob (p-value) > α, maka menerima H0 dan menolak H1 sehingga
random effect model yang valid digunakan.
- Prob (p-value) < α, maka menolak H0 dan menerima H1 sehingga
fixed effect model yang valid digunakan.
Keputusan penggunaan FEM dan REM dapat pula ditentukan
dengan menggunakan spesifikasi yang dikembangkan dengan
Hausman. Spesifikasi ini akan memberikan penilaian dengan
menggunakan Chisqaure statistik sehingga keputusan pemilihan
model akan dapat ditentukan secara statistik. Pengujian ini dilakukan
dengan hipotesa sebagai berikut (Winarno, 2007):
H0 : Random Effect Model
H1 : Fixed Effect Model
Setelah dilakukan pengujian ini, hasil dari Hausman test
dibandingkan dengan Chi-square statistik dengan df = k, di mana k
adalah jumlah koefisien variabel yang diestimasi. Jika hasil dari
Hausman test signifikan, maka H0 ditolak, yang FEM digunakan.
3. Uji Lagrange Multiplier (LM)
Uji ini menentukan apakah pooled least squared atau random
effect model yang dipilih untuk dilakukan estimasi. Hipotesis dari uji
LM ini adalah:
- Nilai Breusch-pagan > α, maka menerima H0 dan menolak H1
sehingga pooled least square yang valid digunakan.
67
- Nilai Breusch-pagan < α, maka menolak H0 dan menerima H1
sehingga random effect model yang valid digunakan.
Uji hipotesis model berfungsi untuk mengetahui apakah model
yang digunakan dalam penelitian sudah cukup baik ataupun belum dalam
menjelaskan keragaman yang terdapat pada suatu permasalahan.
Terdapat beberapa kriteria yang digunakan yaitu uji koefisien determinan
(R-squared), uji F-statistik dan uji t-statistik (Juanda, 2009).
1. Koefisien Determinasi R2 (R Squared)
Koefisien determinasi bertujuan untuk mengukur seberapa baik
garis regresi cocok dengan datanya atau mengukur presentase total
variasi Y yang dijelaskan oleh garis regresinya. Nilai koefisien
determinasi mempunyai interval sebagai berikut :
0 ≤ R2 ≤ 1
Semakin angkanya mendekati 1 maka semakin baik garis regresi
karena mampu menjelaskan data aktualnya. Semakin mendekati nol
maka kita mempunyai garis regresi yang kurang baik.
Koefisisen determinasi tidak pernah menurun terhadap jumlah
variabel independen. Artinya koefisien determinasi akan semakin
besar jika menambah variabel independen di dalam model. Oleh
karena nilai R2 yang selalu naik jika menambah variabel independen
walaupun variabel tersebut belum tentu mempunyai pembenaran dari
teori ekonomi maupun logika ekonomi, sebagai alternatifnya adalah
dengan menggunakan R2 yang disesuaikan (Adjusted R square).
(Widardjono, 2013)
68
2. Uji Simultan (Uji F)
Uji ini digunakan untuk mengevaluasi pengaruh semua variabel
independen terhadap variabel dependen. Pengujian ini dilakukan
dengan membandingkan nilai Fhitung dengan Ftabel. Dalam hasil regresi
yang dilakukan dengan pengolahan software sudah di hitung nilai F
hitung. Langkah selanjutnya adalah mencari nilai F tabel. F tabel
ditetapkan berdasarkan besarnya dan df (degree of freedom) dimana
besarnya ditentukan oleh numerator (k-1) dan df untuk denominator
(n-k) n merupakan jumlah observasi dan k merupakan jumlah variabel
bebas.
Kriteria pengambilan keputusan :
a. Jika nilai F-hitung > nilai F-tabel maka H0 ditolak atau menerima
H1, artinya secara besama-sama, paling tidak satu dari variabel
bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.
b. Jika nilai F-hitung ≤ nilai F-tabel maka H0 diterima atau menolak
H1, artinya secara besama-sama, paling tidak satu dari variabel
bebas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.
Selain itu di dalam menentukan menerima atau menolak hipotesis
nol dapat dilakukan dengan melihat besarnya probabilitas yang
menunjukkan besarnya , Dari perhitungan seperti Eviews dapat
dilihat nilai probabilitasnya. Jika nilai probabilitas > 5% maka
menerima hipotesis nol yang berarti secara bersama-sama variabel
independen tidak berpengaruh terrhadap variabel independen.
Sebaliknya jika nilai probabilitas < 5% maka menolak hipotesis nol
yang berarti secara bersama-sama variabel independen berpengaruh
terhadap variabel independen (Widarjono, 2013).
69
3. Uji Parsial (Uji t)
Uji t merupakan suatu prosedur yang mana hasil sampel dapat
digunakan untuk verifikasi kebenaran atau kesalahan hipotesis nol
(H0). Keputusan untuk menolak atau menerima H0 dibuat berdasarkan
nilai uji statistik yang diperoleh dari data. Uji hipotesis dua sisi
digunakan jika peniliti tidak mempunyai landasan teori atau dugaan
yang kuat. Dalam uji dua sisi hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen dalam persamaan regresi bisa positif
maupun negatif. Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan
membandingkan antara nilai t hitung dengan nilai t tabel.
Kriteria pengambilan keputusan :
a. Jika nilai t-hitung > nilai t-tabel maka H0 ditolak atau menerima Ha,
artinya secara individu variabel independen berpengaruh terhadap
variabel dependen.
b. Jika nilai t-hitung ≤ nilai t-tabel maka H0 diterima atau menolak Ha,
artinya secara individu variabel independen tidak berpengaruh
terhadap variabel dependen
Selain itu di dalam menentukan menerima atau menolak
hipotesis nol dapat dilakukan dengan melihat besarnya probabilitas
yang menunjukkan besarnya , Dari perhitungan seperti Eviews dapat
dilihat nilai probabilitasnya. Jika nilai probabilitas > 5% maka
menerima hipotesis nol yang berarti variabel bebas tidak berpengaruh
nyata terhadap variabel terikat. Sebaliknya jika nilai probabilitas < 5%
maka menolak hipotesis nol yang berarti variabel bebas berpengaruh
nyata terhadap variabel terikat (Widarjono, 2013).
70
E. Operasional Variabel Penelitian
Tabel 3.2
Definisi Operasional Variabel
No Variabel Indikator Definisi Variabel
1 Dependen (Y) PDRB Suatu ukuran kuantitatif yang
menggambarkan perkembangan
suatu perekonomian daerah dari
suatu tahun ke tahun berikutnya
dapat diproksikan dengan
PDRB, PDRB suatu daerah di
satu waktu berarti
menggambarkan kondisi
pertumbuhan ekonomi suatu
daerah di satu waktu (biasanya
satu tahun).
2 Independen (X1) Belanja Tidak
Langsung
Belanja yang dianggarkan terkait
secara langsung dengan
pelaksanaan program dan
kegiatan.
3 Independen (X2) Belanja Langsung Belanja yang dianggarkan tidak
terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan
kegiatan.
71
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kondisi Daerah
Daftar Daerah Otonomi Baru (DOB) tertinggal yang menjadi fokus
penelitian adalah daerah pembentukan tahun 2009/2012/2013 dan dapat dilihat
pada tabel di bawah.
Tabel 4.1
Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal
No. Nama Daerah
Otonom
Daerah
Induk
Ibukota Provinsi UU Pembentukan Tanggal
1 Kab. Maybrat Sorong Kumurkek Papua
Barat
No. 13 Tahun 2009 16 Jan 2009
2 Kab. Pesisir
Barat
Lampung
Barat
Krui Lampung No. 22 Tahun 2012 17 Nov 2012
3 Kab. Malaka Belu Betun NTT No. 3 Tahun 2013 11 Jan 2013
4 Kab. Mahakam
Ulu
Kutai
Barat
Long
Bagun
Kalimantan
Timur
No. 2 Tahun 2013 11 Jan 2013
5 Kab. Banggai
Laut
Banggai
Kepulauan
Banggai Sulawesi
Tengah
No. 5 Tahun 2013 11 Jan 2013
6 Kab. Mamuju
Tengah
Mamuju Tobadak Sulawesi
Barat
No. 4 Tahun 2013 11 Jan 2013
7 Kab. Pulau
Taliabu
Kepulauan
Sula
Bobong Maluku
Utara
No. 6 Tahun 2013 11 Jan 2013
8 Kab. Morowali
Utara
Morowali Kolonodale Sulawesi
Tengah
No. 12 Tahun 2013 15 Mei 2013
9 Kab. Musi
Rawas Utara
Musi
Rawas
Muara
Rupit
Sumatera
Selatan
No. 16 Tahun 2013 10 Juli 2013
10 Kab. Konawe
Kepulauan
Konawe Langara Sulawesi
Tenggara
No. 13 Tahun 2013 15 Mei 2013
Sumber: Kementerian Dalam Negeri RI, 2014
72
Total daerah otonom di Indonesia sampai dengan tahun 2014 adalah 542,
terdiri atas: 34 provinsi, 415 kabupaten, 1 kabupaten administratif, 93 kota, dan 5
kota administratif. Sedangkan jumlah daerah tertinggal pada periode 2015-2019
terdapat 122 daerah tertinggal. Jumlah tersebut merupakan hasil dari
terentaskannya 70 kabupaten dari 183 kabupaten tertinggal pada periode RPJMN
2010–2014. Berdasarkan Peraturan Menteri DPDTT No. 3 Tahun 2016 tentang
Petunjuk Teknis Penentuan Indikator Daerah Tertinggal Secara Nasional, suatu
daerah ditetapkan sebagai daerah tertinggal berdasarkan kriteria: karakteristik
daerah tertentu, karakteristik daerah, aksesibilitas, sarana dan prasarana, sumber
daya manusia, kemampuan keuangan daerah, dan perekonomian masyarakat.
1. Karakteristik Daerah Tertentu
Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau
karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan / pegunungan,
kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor
geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik
transportasi maupun media komunikasi. Untuk daerah yang sulit diakses
dikarenakan daerah pedalaman dan kawasan hutan lindung adalah
Kabupaten Mahakam Hulu. Untuk daerah yang sulit diakses dikarenakan
kondisi perbukitan atau pegunungan antara lain Kabupaten Malaka, Musi
Rawas Utara, Mamuju Tengah, Maybrat, dan Morowali Utara. Untuk
daerah yang sulit diakses dikarenakan daerah kepulauan antara lain
Kabupaten Banggai Laut, Pulau Taliabu, dan Konawe Kepulauan. Untuk
daerah yang sulit diakses dikarenakan wilayah pesisir adalah Kabupaten
Pesisir Barat. Berikut beberapa aspek kajian daerah tertentu:
1. Daerah rawan pangan, merupakan daerah dengan kondisi penduduk
yang mengalami kekurangan pangan. 10 DOB tertinggal yang
menjadi fokus penelitian adalah daerah yang mempunyai kondisi
rawan pangan.
2. Daerah perbatasan, terdapat tiga aspek pokok yang mendasari
karakteristik daerah perbatasan, yaitu sosial ekonomi, pertahanan–
73
keamanan dan politis. Kabupaten yang termasuk dalam daerah
perbatasan adalah Malaka dan Mahakam Hulu
3. Daerah rawan bencana, kondisi daerah yang rawan bencana tentunya
dapat menyebabkan pembangunan terhambat dan atau merusak
pembangunan yang sudah terlaksana. 10 DOB tertinggal yang
menjadi fokus penelitian adalah daerah yang mempunyai kondisi
rawan bencana. Berikut bencana yang sering terjadi di beberapa
kabupaten, Pesisir Barat: banjir, tanah longsor, gempa bumi dan
tsunami, Mamuju Tengah: gempa bumi, tsunami, banjir dan abrasi,
Morowali Utara: banjir, longsor dan gempa, Musi Rawas Utara:
banjir, Maybrat: longsor, gempa dan kebakaran.
4. Daerah pasca konflik, penanganan konflik sosial memerlukan upaya
berkelanjutan untuk membangun persepsi dan cara pandang baru dari
kelompok masyarakat yang berkonflik dan dalam pencegahan konflik
sosial perlu dibutuhkan sistem deteksi dini (early warning system).
Berikut kabupaten dengan desa konflik terbesar adalah Musi Rawas
Utara, sebesar 10,11% dari 89 desa yang ada.
5. Pulau kecil terluar, pengelolaan pulau kecil terluar sudah seharusnya
dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan
potensi sumber daya yang ada di wilayah tersebut. Kabupaten yang
termasuk pulau kecil dan terluar adalah Pesisir Barat.
6. Desa tertinggal adalah desa yang memiliki potensi sumber daya
sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum, atau kurang mengelolanya
dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, kualitas
hidup manusia serta mengalami kemiskinan dalam berbagai
bentuknya. Berikut jumlah desa tertinggal di 10 kabupaten, Musi
Rawas Utara: 13 dari 82 desa, Malaka: 79 dari 127 desa, Morowali
Utara: 45 dari 122 desa, Pesisir Barat: 53 dari 116 desa, Mahakam
Hulu: 34 dari 50 desa, Banggai Laut: 31 dari 63 desa, Konawe
Kepulauan: 68 dari 72 desa, Mamuju Tengah: 21 dari 54 desa, Pulau
Taliabu: 60 dari 71 desa, Maybrat: 253 dari 259 desa.
74
2. Karakteristik Daerah
Pada Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa DOB tertinggal berada di atas
rata-rata nasional untuk persentase desa rawan tanah longsor, rawan banjir,
rawan bencana lainnya, di kawasan lindung dan yang berlahan kritis
dengan persentase masing-masing adalah 8,00 persen, 27,09 persen, 12,38
persen, 18,68 persen dan 42,34 persen. Sedangkan untuk persentase desa
rawan gempa bumi dapat diketahui bahwa DOB tertinggal berada di
bawah rata-rata desa secara nasional dengan selisih yang cukup sedikit
karena hanya ada 3 kabupaten yang mengalami bencana gempa bumi,
yaitu Morowali Utara, Pulau Taliabu dan Maybrat. Begitu pula dengan
persentase desa rawan konflik dapat diketahui bahwa DOB tertinggal
berada di bawah rata-rata desa secara nasional dengan selisih yang sangat
sedikit karena terdapat 1 kabupaten yang tidak mengalami konflik, yaitu
Pesisir Barat.
Tabel 4.2.
% Daerah Rawan Bencana dan Konflik di 10 DOB Tertinggal Tahun 2014
Kabupaten Jml
Desa
% Desa
Rawan
Gempa
Bumi
% Desa
Rawan
Tanah
Longsor
%Desa
Rawan
Banjir
% Desa
Rawan
Bencana
Lainnya
% Desa
di
Kawasan
Lindung
% Desa
Berlahan
Kritis
%Desa
Dengan
Konflik
Musi Rawas Utara 89 0.00% 10.11% 39.33% 2.25% 6.74% 26.97% 10.11%
Pesisir Barat 118 0.00% 12.71% 20.34% 2.54% 8.47% 22.88% 0.00%
Malaka 127 0.00% 22.05% 19.69% 40.94% 11.02% 60.63% 3.15%
Mahakam Hulu 50 0.00% 0.00% 46.00% 16.00% 0.00% 16.00% 4.00%
Banggai Laut 66 0.00% 6.06% 18.18% 16.67% 0.00% 84.85% 1.52%
Morowali Utara 125 0.80% 7.20% 42.40% 11.20% 11.20% 59.20% 2.40%
Konawe Kepulauan 95 0.00% 1.05% 13.68% 2.11% 71.58% 9.47% 1.05%
Mamuju Tengah 56 0.00% 8.93% 32.14% 5.36% 12.50% 41.07% 3.57%
Pulau Taliabu 71 8.45% 11.27% 36.62% 26.76% 43.66% 50.70% 4.23%
Maybrat 157 0.64% 0.64% 2.55% 0.00% 21.66% 51.59% 1.91%
Rata-rata DOB Tertinggal 0.99% 8.00% 27.09% 12.38% 18.68% 42.34% 3.19%
Rata-rata Nasional 3.15% 6.34% 17.23% 10.23% 3.09% 4.54% 3.49%
Sumber: BPS, Podes 2014 (diolah)
75
3. Aksesibilitas
Pada tabel 4.3. menunjukkan bahwa kabupaten yang memiliki
jarak tempuh terjauh dari kantor desa ke kabupaten dan dari kantor desa ke
pelayanan pendidikan dasar adalah Mahakam Hulu. Hal tsb dikarenakan
akses jalan darat di kabupaten ini masih sulit, masyarakat harus melalui
jalur sungai. Kondisi ini menyebabkan harga kebutuhan pokok di
Mahakam Hulu menjadi sangat mahal, kemudian harga jual produk dari
Mahakam Hulu justru lebih murah karena harus dihitung biaya yang
dikeluarkan serta risiko yang akan ditanggung ketika melalui jalur sungai.
Kemudian dapat dilihat bahwa rata-rata jarak dari kantor desa ke
pelayanan pendidikan menengah lebih jauh dibandingkan dengan jarak
dari kantor desa ke pelayanan pendidikan dasar.
Tabel 4.3
Rata-Rata Jarak Kantor Desa ke Kabupaten dan Pelayanan Pendidikan di
10 DOB Tertinggal Tahun 2014
Kabupaten Jumlah
Desa
Rata-rata Jarak
Tempuh Kantor
Desa ke
Kabupaten (Km)
Rata-rata Jarak Kantor Desa ke
Pelayanan
Pendidikan (Km)
Sekolah
Dasar
(SD)
Sekolah Menengah
Pertama (SMP)
Musi Rawas Utara 89 40,42 0,5 5,21
Pesisir Barat 118 37,93 1,25 3,5
Malaka 127 22,23 1,13 3,93
Mahakam Hulu 50 178,78 6,82 4,65
Banggai Laut 66 43,47 1,25 4,21
Morowali Utara 125 65,97 1,2 6,28
Konawe Kepulauan 95 27,74 0,69 2,78
Mamuju Tengah 56 31,07 1,75 4,78
Pulau Taliabu 71 74,06 0,37 3,88
Maybrat 157 26,58 6,35 15,3
Sumber: BPS, Podes 2014 (diolah)
76
Pada tabel 4.4. menyajikan gambaran mengenai jumlah desa
dengan akses pelayanan kesehatan > 5 Km untuk beberapa sub indikator,
yaitu rumah sakit, rumah sakit bersalin, tempat praktek dokter, tempat
praktek bidan, poliklinik dan apotek. Untuk semua sub indikator dapat
dilihat bahwa jumlah desa di DOB tertinggal dengan akses pelayanan
kesehatan > 5 Km adalah mencapai 50 persen lebih (dari total desa di
kabupaten masing-masing). Rata-rata tersebut jauh lebih besar dari rata-
rata desa secara nasional yang hanya mencapai 12,33 persen.
Tabel 4.4
Jumlah Desa dengan Akses Menuju Tempat Pelayanan Kesehatan > 5 Km di
10 DOB Tertinggal Tahun 2014
Kabupaten Jumlah
Desa
Jumlah Desa Dengan Akses Pelayanan Kesehatan >5Km
Rumah
Sakit
Rumah
Sakit
Bersalin
Tempat
Praktek
Dokter
Tempat
Praktek
Bidan
Poliklinik Apotek
Musi Rawas Utara 89 82 89 72 48 88 88
Pesisir Barat 118 115 118 82 5 90 94
Malaka 127 117 120 117 125 111 107
Mahakam Hulu 50 50 50 46 45 48 50
Banggai Laut 66 59 66 49 48 58 54
Morowali Utara 125 119 125 91 101 124 115
Konawe Kepulauan 95 95 95 82 81 95 95
Mamuju Tengah 56 56 56 43 47 56 52
Pulau Taliabu 71 71 71 71 69 71 71
Maybrat 157 157 157 157 156 149 146
Sumber: BPS, Podes 2014 (diolah)
77
4. Sarana dan Prasarana
Pada tabel 4.5. dapat dilihat bahwa kondisi jalan sebagai jalur
transportasi di DOB tertinggal masih cukup memprihatinkan. Walaupun
sebagian besar desa sudah dapat dilalui oleh kendaraan roda empat
(mobil), akan tetapi, hanya sekitar 34,37 persen yang sudah diaspal, lebih
banyak jalan yang kondisinya terbatas. Kondisi jalan yang diaspal masih
banyak yang berada di bawah rata-rata desa secara nasional (61,57 persen).
Kabupaten Konawe Kepulauan, Pulau Taliabu dan Mahakam Hulu
merupakan daerah yang mempunyai persentase desa dengan jalan aspal
yang paling rendah.
Tabel 4.5
Persentase Jenis Permukaan jalan di 10 DOB Tertinggal Tahun 2014
Kabupaten Jumlah
Desa
% Desa
Dengan
Dominasi
Jalan
Aspal/Beton
% Desa
Dengan
Dominasi
Jalan
Diperkeras
% Desa
Dengan
Dominasi
Jalan Tanah
% Desa
Dengan
Dominasi
Jalan Lainnya
Musi Rawas Utara 89 66.29% 29.21% 3.37% 1.12%
Pesisir Barat 118 60.17% 26.27% 13.56% 0.00%
Malaka 127 27.56% 66.14% 6.30% 0.00%
Mahakam Hulu 50 10.00% 32.00% 24.00% 20.00%
Banggai Laut 66 53.03% 9.09% 21.21% 1.52%
Morowali Utara 125 43.20% 44.80% 4.00% 2.40%
Konawe Kepulauan 95 2.11% 29.47% 63.16% 5.26%
Mamuju Tengah 56 19.64% 75.00% 5.36% 0.00%
Pulau Taliabu 71 5.63% 7.04% 69.01% 2.82%
Maybrat 157 56.05% 34.39% 5.10% 2.55%
Rata-rata DOB Tertinggal
34.37% 35.34% 21.51% 3.57%
Rata-rata Nasional 61.57% 20.29% 12.86% 1.79%
Sumber: BPS, Podes 2014 (diolah)
78
5. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia adalah salah satu kriteria yang perlu
diperhatikan, karena sumber daya manusia merupakan motor penggerak
sekaligus sebagai objek pembangunan itu sendiri. Kualitas sumber daya
manusia DOB tertinggal mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Akan tetapi, dengan peningkatan tersebut masih relatif kecil dibandingkan
angka nasional. Sehingga dapat disimpulkan percepatan pembangunan
sumber daya manusia masih kurang progresif.
Perkembangan kualitas sumber daya manusia tahun 2013-2017
dapat dilihat dari Grafik 4.1. Seluruh kabupaten mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Akan tetapi, peningkatan kualitas DOB tertinggal (2013
sebesar 60,03 dan pada 2017 menjadi sebesar 63,24) masih berada di
bawah IPM nasional (2013 sebesar 68,31 dan pada 2017 menjadi sebesar
71,39).
Grafik 4.1
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Tahun 2013-2018
Sumber: BPS, 2018 (diolah)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2013 2014 2015 2016 2017 2018
IPM
Musi Rawas Utara Pesisir Barat Malaka
Mahakam Hulu Banggai Laut Morowali Utara
Konawe Kepulauan Mamuju Tengah Pulau Taliabu
Maybrat Indonesia Linear (Indonesia)
79
6. Kemampuan Keuangan Daerah
Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah
dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis
rasio derajat desentralisasi. Derajat desentralisasi menunjukkan derajat
kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah. Semakin tinggi
kontribusi PAD, maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam
penyelenggaraan desentralisasi. Menurut Davoodi dan Zou, (1998),
desentralisasi fiskal adalah bagian dari reformasi peningkatan efisiensi di
sektor publik dan peningkatan kompetisi antara pemerintah daerah dalam
pemenuhan kebutuhan publik yang dalam menstimulasi pertumbuhan
ekonomi. Namun, dapat dilihat pada Grafik 4.2 bahwa dari tahun 2014-
2017 persentase PAD terhadap TPD di DOB tertinggal adalah kurang dari
10,00 sehingga masuk tingkat desentralisasi fiskal “sangat kurang”.
Grafik 4.2
Rasio Derajat Desentralisasi, Tahun 2014-2017
Sumber: Kemenkeu, 2014-2017 (diolah)
0
2
4
6
8
10
12
2014 2015 2016 2017
Der
ajat
Des
entr
alis
asi
Musi Rawas Utara Pesisir Barat Malaka
Mahakam Hulu Banggai Laut Morowali Utara
Konawe Kepulauan Mamuju Tengah Pulau Taliabu
Maybrat sangat kurang Linear (sangat kurang)
80
B. Struktur Belanja Pemerintah
Realisasi APBD yang merupakan representasi pengeluaran pemerintah
daerah, akan memberikan dampak terhadap kinerja perekonomian di daerah yang
tercermin dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Realisasi belanja
terbesar didominasi belanja langsung, yaitu 8 dari 10 kabupaten (kecuali
Morowali Utara dan Malaka) memiliki realisasi belanja langsung terbesar
dibandingkan belanja tidak langsung.
Perkembangan belanja tidak langsung dari tahun 2014-2017 bervariasi
antardaerah, sebagian besar mengalami kenaikan (yang mengalami penurunan :
Musi Rawas Utara (2016) dan Mahakam Hulu (2017)). Keragaman tersebut
sangat dipengaruhi oleh belanja pegawai dan belanja bantuan keuangan. Pada
gambar 4.3 memperlihatkan bahwa tahun 2017 Kabupaten Morowali Utara
mempunyai belanja tidak langsung terbesar dibandingkan dengan kabupaten
lainnya yaitu sebesar 476.012 juta rupiah atau 13,6 persen lebih tinggi dari rata-
rata belanja tidak langsung seluruh kabupaten yang ada yaitu 41,8 persen. Belanja
tidak langsung terkecil adalah Kabupaten Konawe Kepulauan yang hanya 187.172
juta rupiah. Terdapat lima kabupaten yang memiliki realisasi lebih besar
dibandingkan rata-rata (41,8 persen). Lima kabupaten tersebut adalah Pesisir
Barat, Banggai Laut, Maybrat, Morowali Utara dan Malaka.
Perkembangan belanja langsung dari tahun 2014-2017 sangat bervariasi
antardaerah, sebagian besar mengalami penurunan pada tahun-tahun tertentu
(yang selalu mengalami kenaikan : Pesisir Barat, Banggai Laut, Morowali Utara
dan Malaka). Keragaman tersebut sangat dipengaruhi oleh belanja barang dan jasa
dan belanja bantuan modal. Pada Grafik 4.3 memperlihatkan bahwa tahun 2017
Kabupaten Mahakam Hulu mempunyai belanja tidak langsung terbesar
dibandingkan dengan kabupaten lainnya yaitu sebesar 864.447 juta rupiah atau
13,5 persen lebih tinggi dari rata-rata belanja langsung seluruh kabupaten yang
ada yaitu 58,2 persen. Belanja langsung terkecil adalah Kabupaten Banggai Laut
yang hanya 311.122 juta rupiah. Terdapat lima kabupaten yang memiliki realisasi
lebih besar dibandingkan rata-rata (41,8 persen). Lima kabupaten tersebut adalah
81
MusiRawasUtara
PesisirBarat
Malaka
Mahakam
Hulu
Banggai Laut
Morowali
Utara
Konawe
Kepulauan
Mamuju
Tengah
PulauTaliab
u
Maybrat
belanja tidak langsung 32,9 44,8 55,4 28,3 46,7 50,8 33,4 38,4 39,4 48,2
belanja langsung 67,1 55,2 44,6 71,7 53,3 49,2 66,6 61,6 60,6 51,8
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
50,0
60,0
70,0
80,0
Rea
lisas
i An
ggar
an
Kabupaten
belanja tidak langsung belanja langsung
Pulau Taliabu, Mamuju Tengah, Konawe Kepulauan, Musi Rawas Utara dan
Mahakam Hulu.
Grafik 4.3
Realisasi Belanja Menurut Kabupaten Tahun 2017
Sumber: Kemenkeu, 2017 (diolah)
C. Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian daerah umumnya dapat dilihat dari besarnya pertumbuhan
ekonomi yang mana selalu dilihat dari PDRB dari sisi ekonominya. Pada tabel 4.6
dapat dilihat bahwa 10 daerah otonomi baru tertinggal mengalami peningkatan
PDRB dan PDRB Per Kapita pada Tahun 2016-2017. Kabupaten Morowali Utara
mempunyai PDRB tertinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya yaitu sebesar
6.243 miliar (2016) dan 6.709 miliar (2017). Sumbangan terbesar pertama yaitu
dari sektor pertanian dan perkebunan, seperti tanaman pangan, palawija, kakao,
cengkeh, dan masih banyak lagi. Dan sumbangan terbesar kedua yaitu dari sektor
pertambangan.
82
Sedangkan Kabupaten Maybrat mempunyai PDRB terendah dibandingkan
dengan kabupaten lainnya, hal ini dikarenakan 97,7 desanya adalah desa
tertinggal. Tidak hanya PDRB, Kabupaten Morowali Utara juga mempunyai
PDRB per kapita tertinggi kedua dibandingkan dengan kabupaten lainnya yaitu
sebesar 69449 ribu (2016) dan 74522 ribu (2017). PDRB per kapita tertinggi
pertama adalah Kabupaten Mahakam Hulu.
Tabel 4.6
PDRB ADHK dan PDRB Per Kapita ADHB pada 10 DOB Tertinggal Tahun
2016-2017
Kabupaten
PDRB ADHK (Miliar Rp) PDRB Per Kapita ADHB
(Ribu Rupiah)
2016 2017 2016 2017 Musi Rawas Utara 4.926 5.127 32772 34155
Pesisir Barat 2.655 2.797 23807 25995 Malaka 1.605 1.687 11874 12843 Mahakam Hulu 1.524 1.589 82097 88820 Banggai Laut 1.460 1.556 26105 27949 Morowali Utara 6.243 6.709 69449 74522 Konawe Kepulauan 853 914 32236 34704 Mamuju Tengah 1.902 2.011 19991 21141 Pulau Taliabu 768 811 20775 22402 Maybrat 393 418 14185 15535 Nasional 47957 51887
Sumber: BPS, 2016-2017 (diolah)
D. Temuan Hasil Penelitian
1. Estimasi Model Data Panel
Ada tiga tahap dalam memilih model dalam data panel. Pertama,
membandingkan antara PLS (Common Effect Model) dengan FEM (Fixed
Effect Model). Jika hasil menunjukkan PLS yang diterima, maka model PLS
yang akan dianalisa. Dan jika FEM yang diterima, maka tahap kedua
dijalankan yaitu melakukan perbandingan antara REM (Random Effect
Model) dan FEM. Jika REM yang diterima, maka tahap ketiga yang
dilakukan yaitu membandingkan antara PLS atau REM.
83
Tabel 4.7
Hasil Estimasi Common Effect Model / PLS
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 10.62152 2.884427 3.682368 0.0007
LOGBTL? 0.299826 0.246664 1.215525 0.2319
LOGBL? -0.000724 0.256142 -0.002827 0.9978
R-squared 0.056527
Adj. R-squared 0.005528
F-statistic 1.108399
Prob(F-statistic) 0.340798
Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8
Tabel 4.8
Hasil Estimasi Fixed Effect Model
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 12.62779 0.166022 76.06079 0.0000
LOGBTL? 0.103735 0.019557 5.304187 0.0000
LOGBL? 0.030477 0.016497 1.847383 0.0753
R-squared 0.998614
Adj. R-squared 0.998069
F-statistic 1833.746
Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8
a. Uji Chow
Uji Chow dilakukan untuk dapat mengetahui model regresi data
panel yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka dilakukan uji F-
Restricted dengan cara melihat nilai probabilitas pada F-statistik. Pada uji
chow dapat terpilih estimasi metode yang terbaik antara common effect
atau fixed effect. Setelah keluar hasilnya akan dilihat apakah lebih kecil
atau lebih besar dari tingkat signifikansi α = 5%.
84
Untuk mengetahui hasilnya maka dibuat terlebih dahulu hipotesisnya,
hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H0 : Pooled Least Square Model
H1: Fixed Effect Model
Di bawah ini merupakan tampilan hasil uji Chow dengan
menggunakan Redundant Fixed Effects - Likelihood Ratio adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.9 Uji Chow (Reduntant Fixed Effects Tests)
Effect Test Statistic d.f Prob.
Cross-section F 2114.379356 (9,28) 0.0000
Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8
Jika dilihat dari hasil uji chow, nilai probabilitasnya adalah sebesar
0,00000 yang artinya lebih kecil dari nilai tingkat signifikansi α = 5%
(0,0000 < 0,05). Maka dapat disimpulkan melalui uji chow bahwa H0
ditolak, jadi model panel yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah
Fixed Effect Model.
b. Uji Hausman
Setelah melakukan uji Chow dan didapatkan hasil bahwa model
yang tepat untuk penelitian ini adalah Fixed Effect Model, maka hal
selanjutnya yang harus dilakukan adalah uji Hausman untuk mengetahui
mana di antara Fixed Effect Model dan Random Effect Model yang lebih
tepat. Untuk mengetahui hasilnya maka dibuat terlebih dahulu
hipotesisnya, hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H0 : Random Effect Model
H1: Fixed Effect Model
85
Berikut adalah hasil estimasi model REM:
Tabel 4.10
Hasil Estimasi Random Effect Model
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 12.62615 0.334718 37.72178 0.0000
LOGBTL? 0.103970 0.019549 5.318440 0.0000
LOGBL? 0.030380 0.016493 1.841982 0.0735
R-squared 0.739038
Adj. R-squared 0.724932
F-statistic 52.39160
Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8
Di bawah ini merupakan tampilan hasil uji Hausman dengan
menggunakan tes Correlated Random Effects - Hausman test adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.11 Uji Hausman (Correlated Random Effects - Hausman Test)
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section Random 0.287367 2 0.8662
Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8
Jika dilihat dari hasil uji Hausman, nilai probabilitasnya adalah
sebesar 0.8662 yang artinya lebih besar dari nilai tingkat signifikansi α =
5% (0.8662> 0,05). Maka dapat disimpulkan melalui uji Hausman bahwa
H0 diterima, maka model panel yang dapat digunakan dalam penelitian ini
adalah Random Effect Model.
86
c. Uji Lagrange Multiplier
Metode ini dilakukan untuk menentukan apakah model yang
digunakan bersifat Random Effect Model atau Pooled Least Square. Dapat
dilihat dari nilai probabilitas cross – section Breusch-pagan. Untuk
mengetahui hasilnya maka dibuat terlebih dahulu hipotesisnya,
hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H0 : Pooled Least Square
H1: Random Effect Model
Hasil uji Lagrange Multiplier yang didapat setelah dilakukan
pengolahan data adalah sebagai berikut:
Tabel 4.12 Uji Lagrange Multiplier
Cross – section Time Both
Breusch – Pagan 58.38643 2.036400 60.42283
(0.0000) (0.1536) (0.0000)
Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8
Jika dilihat dari hasil uji Lagrange Multiplier, nilai probabilitasnya
adalah sebesar 0.0000 yang artinya lebih kecil dari nilai tingkat
signifikansi α = 5% (0.0000< 0,05). Maka dapat disimpulkan melalui uji
Lagrange Multiplier bahwa H0 ditolak, maka model panel yang dapat
digunakan dalam penelitian ini adalah Random Effect Model.
d. Random Effect Model
Dari hasil estimasi data yang telah dilakukan, dapat diketahui
bahwa hasil olah data yang diperoleh menunjukkan bahwa model data
panel yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini adalah Random
Effect Model.
87
Dapat dijelaskan melalui persamaan sebagai berikut :
PDRB = 12.62615 + 0.103970 BTL + 0.030380 BL + e
Keterangan :
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
BTL : Belanja Tidak Langsung
BL : Belanja Langsung
Tabel 4.13 Hasil Regresi Random Effect Model
Variable Coefficient Prob.
C 12.62615 0.0000
LOGBTL? 0.103970 0.0000**
LOGBL? 0.030380 0.0735*
Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8
Berdasarkan hasil regresi data panel pada tabel 4.13, dapat dilihat
pada kolom coefficient bahwa semua variabel independen memiliki arah
hubungan yang positif terhadap variabel dependen yaitu PDRB.
2. Pengujian Hipotesis
a. Uji Signifikan Simultan (Uji F-statistik)
Uji F-statistik digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi
pengaruh seluruh variabel independen secara simultan terhadap variabel
dependen. Penentuan pengaruh signifikan dapat dilihat dengan cara
membandingkan nilai probabilitas F-statistik dengan tingkat signifikansi α
= 5% (0,05).
88
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
H0 : Tidak ada pengaruh belanja tidak langsung dan belanja langsung
secara simultan terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal
tahun 2014-2017.
H1 : Ada pengaruh belanja tidak langsung dan belanja langsung secara
simultan terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal tahun 2014-
2017.
Berdasarkan hasil regresi data panel, diperoleh hasil uji F-stat
sebagai berikut :
Tabel 4.14 Uji F-statistik
F-stat 52.39160
Prob(F-stat) 0.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8
Nilai probabilitas (F-statistik) pada tabel 4.14 sebesar 0.000000,
dimana nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dari tingkat signifikansi α =
5% (0.000000 < 0,05), maka H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya variabel
– variabel belanja tidak langsung dan belanja langsung berpengaruh secara
bersama-sama atau simultan terhadap PDRB, khususnya di 10 kabupaten
yang termasuk dalam DOB tertinggal.
b. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Tabel 4.15 Uji Koefisien Determinasi
R-Squared 0.739038
Adjusted R-Squared 0.724932
Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8
89
Koefisien determinansi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan model dalam penelitian ini menjelaskan variasi variabel
dependennya. Berdasarkan hasil pengolahan data yang ditampilkan pada
tabel 4.15 didapatkan hasil bahwa nilai koefisien determinansi adalah
sebesar 0.739. Hal ini berarti bahwa 73,9% dari variasi PDRB 10 daerah
otonomi baru tertinggal pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2017
mampu dijelaskan oleh variabel belanja pemerintah, sedangkan 26,1
persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model penelitian ini.
c. Uji Signifikan Parsial (Uji t-statistik) dan Pembahasan Analisis
Uji t dilakukan untuk menguji apakah variabel independen (belanja
tidak langsung dan belanja langsung) berpengaruh secara parsial terhadap
variabel dependennya (PDRB). Uji t-statistik dilakukan dengan cara
membandingkan nilai probabilitas t-statistik terhadap tingkat signifikan α
= 5% melihat apakah hipotesisnya diterima atau ditolak. Adapun hipotesis
dalam penilitian ini adalah sebagai berikut:
H0 : Tidak ada pengaruh belanja tidak langsung secara parsial
terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal tahun 2014-
2017.
H1 : Ada pengaruh belanja tidak langsung secara parsial terhadap
PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal tahun 2014-2017.
H0 : Tidak ada pengaruh belanja langsung secara parsial terhadap
PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal tahun 2014-2017.
H1 : Ada pengaruh belanja langsung secara parsial terhadap PDRB
di 10 daerah otonomi baru tertinggal tahun 2014-2017.
90
Tabel 4.16 Uji t-statistik
Variable Coefficient Prob.
C 12.62615 0.0000
LOGBTL 0.103970 0.0000**
LOGBL 0.030380 0.0735*
Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8
*Signifikan pada α = 10% atau 0,1
**Signifikan pada α = 5% atau 0,05
Berdasarkan hipotesis di atas, maka pembuktian dari penelitian ini
didapatkan hasilnya sebagai berikut :
Nilai probabilitas t-statistik pada variabel belanja tidak langsung
adalah 0,0000 < 0,05 (α = 5%) yang artinya H1 diterima dan H0
ditolak, sehingga ada pengaruh antara belanja tidak langsung
terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal.
Nilai probabilitas t-statistik pada variabel belanja langsung adalah
0.0735 < 0,1 (α = 10%) yang artinya H1 diterima dan H0 ditolak,
sehingga ada pengaruh antara belanja langsung terhadap PDRB di
10 daerah otonomi baru tertinggal.
91
1) Pengaruh Belanja Tidak Langsung terhadap PDRB
Secara teori ekonomi makro Keynesian pada dasarnya peningkatan belanja
pemerintah membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Namun,
besarnya nilai pengaruh belanja tidak langsung terhadap PDRB dalam
penelitian ini mengisyaratkan bahwa dengan peningkatan jumlah pengeluaran
pemerintah untuk belanja tidak langsung dapat mengakibatkan peningkatan
PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal. Belanja tidak langsung
memang tidak berdampak langsung terhadap masyarakat, namun dapat
memberikan dampak melalui pelayanan publik oleh pegawai pemerintah
kepada masyarakat yang diharapkan dapat memperlancar proses kegiatan
ekonomi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada akhirnya dapat
terwujud. Pelayanan publik ini, seperti pelayanan perizinan investasi,
pelayanan perpanjangan surat-surat dan lainnya.
Berdasarkan hasil estimasi pada regresi dengan menggunakan metode data
panel, dengan alat analisis Random Effect yang ditujukan tabel 4.16
menunjukkan variabel belanja tidak langsung memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap PDRB pada tingkat signifikansi α = 5%. Sehingga hal ini
menunjukkan bahwa hipotesis pertama dalam penelitian ini diterima karena
secara statistik terbukti. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa apabila belanja
tidak langsung meningkat sebesar 1 persen akan meningkatkan PDRB sebesar
0,103 persen.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra dan
Adigorim (2011) yang menyatakan bahwa belanja tidak langsung memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi/PDRB yang di
lakukan di Kabupaten Badung. Selain itu, Haryanto (2011) juga memiliki hasil
yang sama. Pengeluaran pemerintah untuk belanja tidak langsung mempunyai
pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Jawa Tengah karena belanja tidak langsung memiliki dampak tidak langsung
melalui pelayanan publik yang dilakukan pegawai pemerintah. Kemudian dari
hasil penelitian Sari et al. (2017) menambahkan bahwa belanja tidak langsung
berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi karena
92
dalam APBD Kabupaten Lampung Tengah belanja tidak langsung memiliki
porsi yang lebih besar dibanding dengan belanja langsung.
2) Pengaruh Belanja Langsung terhadap PDRB
Belanja langsung memiliki dampak langsung bagi pertumbuhan ekonomi
daerah karena sifatnya yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat. Sebagai
contoh adalah pembangunan jalan raya kabupaten, pembangunan jembatan,
dan lain-lain. Jumlah pengeluaran pemerintah untuk belanja langsung yang
tinggi maka porsi untuk pembangunan infrastruktur juga akan semakin besar.
Adanya pelayanan publik yang semakin baik dan tersedianya infrastruktur
yang memadai diharapkan dapat memperlancar proses kegiatan ekonomi
sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Realisasi belanja terbesar
dalam penelitian ini didominasi oleh belanja langsung. Namun, kecilnya nilai
pengaruh belanja langsung terhadap PDRB dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa bahwa belanja langsung di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal
belum dapat secara maksimal mendukung pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Berdasarkan hasil estimasi pada regresi dengan menggunakan metode data
panel, dengan alat analisis Random Effect yang ditujukan tabel 4.16
menunjukkan variabel belanja langsung memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap PDRB pada tingkat signifikansi α = 10%. Sehingga hal ini
menunjukkan bahwa hipotesis pertama dalam penelitian ini diterima karena
secara statistik terbukti. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa apabila belanja
langsung meningkat sebesar 1 persen akan meningkatkan PDRB sebesar 0,030
persen. Hubungan positif ini sesuai dengan Teori Rostow dan Musgrave yang
menyatakan pada tahap pembangunan diperlukan investasi pemerintah yang
digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Investasi
pemerintah yang dimaksud yaitu pengeluaran pemerintah yang dilihat dari
belanja langsung.
93
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Haryanto (2011) yang
menyatakan bahwa belanja langsung berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Dalam penelitian ini
belanja langsung sama dengan pengeluaran pembangunan karena kegunaannya
sama-sama untuk memperbaiki infrastruktur atau fasilitas publik. Selain itu,
Putra dan Adigorim (2011) juga memiliki pendapat yang sama. Peningkatan
pertumbuhan ekonomi menandakan bahwa pemerintah masing-masing daerah
peduli akan perbaikan infrastruktur. Dan penelitian Sari et al. (2017) memiliki
hasil belanja langsung berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi, artinya secara statistik belanja langsung di Kabupaten
Lampung Tengah memiliki pengaruh pada pertumbuhan ekonomi namum
memiliki pengaruh yang kecil.
d. Individual Effect
Tabel 4.17 Cross-section Effects
Coefficient Ind. Effect
C 12.62615
Random Effects (Cross)
_MUSIRAWASUTARA--C 1.115350 13.74150
_PESISIRBARAT--C 0.464328 13.090478
_MAHAKAMULU--C -0.117940 12.50821
_BANGGAILAUT--C -0.102789 12.523361
_MOROWALIUTARA--C 1.272308 13.898458
_KONAWEKEPULAUAN--C -0.563651 12.062499
_MALAKA—C -0.054886 12.571264
_PULAUTALIABU--C -0.685557 11.940593
_MAMUJUTENGAH--C 0.167028 12.793178
_MAYBRAT—C -1.494192 11.131958
Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8
94
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa:
Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja
langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten Musi
Rawas Utara akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB
sebesar 13.74%.
Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja
langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten
Pesisir Barat akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB
sebesar 13.09%.
Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja
langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten
Mahakam Ulu akan mendapatkan pengaruh individu terhadap
PDRB sebesar 12.50%.
Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja
langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten
Banggai Laut akan mendapatkan pengaruh individu terhadap
PDRB sebesar 12.52%.
Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja
langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten
Morowali Utara akan mendapatkan pengaruh individu terhadap
PDRB sebesar 13.89%.
Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja
langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten
Konawe Kepulauan akan mendapatkan pengaruh individu terhadap
PDRB sebesar 12.06%.
Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja
langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten
Malaka akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB
sebesar 12.57%.
95
Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja
langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten Pulau
Taliabu akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB
sebesar 11.94%.
Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja
langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten
Mamuju Tengah akan mendapatkan pengaruh individu terhadap
PDRB sebesar 12.79%.
Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja
langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten
Maybrat akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB
sebesar 11.13%.
96
BAB V
PENUTUP
a. Kesimpulan
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara belanja
pemerintah daerah terhadap PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB)
tertinggal tahun 2014-2017. Berdasarkan hasil analisis yang telah dibahas,
untuk pengujian terhadap PDRB, belanja tidak langsung dan belanja
langsung dengan menggunakan model regresi data panel yaitu Random
Effect Model (REM) maka penulis memperoleh kesimpulan adalah sebagai
berikut:
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja tidak langsung memiliki
pengaruh yang signifikan dan positif terhadap PDRB dengan tingkat
kepercayaan 95% di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) tertinggal.
Hubungan ini memiliki arti apabila belanja tidak langsung meningkat
maka PDRB juga akan mengalami peningkatan.
2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja langsung memiliki
pengaruh yang signifikan dan positif terhadap PDRB dengan tingkat
kepercayaan 90% di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) tertinggal.
Hubungan ini memiliki arti apabila belanja langsung meningkat maka
PDRB juga akan mengalami peningkatan.
3. Seluruh variabel independen dalam penelitian ini, yaitu belanja tidak
langsung dan belanja langsung berpengaruh signifikan secara bersama-
sama atau simultan terhadap PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru
(DOB) tertinggal. Jika terjadi perubahan pada variabel belanja tidak
langsung dan belanja langsung secara bersama-sama maka akan turut
serta merubah PDRB pada objek penelitian terkait.
97
b. Saran
1. Bagi Pemerintah
a. Perlu meningkatkan perannya sebagai institusi pemerintah yang
secara tidak langsung melalui perencanaan dan kewenangannya
dalam penganggaran belanja langsung dimana diharapkan mampu
mempengaruhi PDRB daerah nya secara maksimal.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Menambah variabel-variabel independen lain yang mungkin
mempengaruhi PDRB agar mendapatkan hasil penelitian yang
lebih signifikan secara menyeluruh dan koefisien determinasi yang
lebih mewakili penelitian.
b. Menggunakan alat analisis lainnya seperti uji kausalitas sehingga
dapat mengetahui hubungan sebab akibat di antara variabel
independen pada penelitian yang sedang dilakukan.
98
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2014. Pertumbuhan Wilayah dan Wilayah Pertumbuhan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Anggraeni, Merlin. 2017. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah
Pendidikan, Kesehatan, Dan Pertanian Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.
Jurnal Pendidikan dan Ekonomi, Vol 6 No. 5. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi
Daerah. Yogyakarta: BPPE.
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Upp Stim Ykpn.
Asbiantari, Dara Resmi et al. 2016. Pengaruh Ekspor Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, Vol 5
No. 2. Institut Pertanian Bogor.
Ashsubli, Muhammad. 2016. Dinamika Gerakan Pembentukan Daerah Otonom
Baru Kabupaten Mandau-Riau. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol 6 No. 1.
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkalis.
Badan Pusat Statistik. 2014. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota.
Jakarta: BPS Pusat.
Badan Pusat Statistik. 2014. Potensi Desa. Jakarta: BPS Pusat.
Badan Pusat Statistik. 2018. Persentase Penduduk Miskin Kabupaten/Kota, 2015-
2018. Jakarta: BPS Pusat.
Badan Pusat Statistik. 2018. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di
Indonesia 2013-2017. Jakarta: BPS Pusat.
Badan Pusat Statistik. 2019. Indeks Pembangunan Manusia 2018. Jakarta: BPS
Pusat.
Bailey, White. 1995. Decentralization, Governance and Public Services The
Impact of Institutional Arrangements. IRIS Center, University of
Maryland, College Park.
99
Baltagi, B H. 2005. Econometrics Analysis of Data Panel. Chichester: John Wiley
& Sons Ltd.
Bappeda Kab Mamuju Tengah. 2018. Buku Profil Daerah Kabupaten Mamuju
Tengah 2017. Tobadak: Bappeda Kab Mamuju Tengah.
Bastias, Desi Dwi. 2010. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Atas
Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia Periode 1969-2009. Skripsi. Universitas Diponegoro.
Çakerri, Lorena dkk. 2014. The effect of government expenditures on economic
growth. The case of Albania. European Journal of Social Sciences, Vol 2
No. 1. University of Vlora.
Darise, Nurlan. 2009. Pengelolaan Keuangan Pada Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dan BLU. Jakarta: Indeks.
Davoodi, Hamid dan Heng-fu Zou. 1998. Fiscal Decentralization and Economic
Growth: A cross-Country Study. Journal of Urban Economics.
Deliarnov. 2007. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Direktorat Jenderal Cipta Karya. Dokumen RPI2KM (10 Kabupaten).
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. 2014. Pembentukan Daerah-Daerah
Otonomi di Indonesia Sampai Dengan Tahun 2014. Kementerian Dalam
Negeri RI.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Realisasi APBD 2014-2017.
Kementerian Keuangan.
Dudzevičiūtė, Gitana et al. 2018. Government expenditure and Economic growth
in the European Union Countries. International Journal of Social
Economics, Vol 45 No. 2. Emerald Insight.
Gusfahmi. 2017. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Haryanto, Tommy Prio. 2013. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun
2007-2011. Economics Development Analysis Journal, Vol 2 No. 3.
Universitas Negeri Semarang.
100
Ilyas, Marzuki. 1989. Ilmu Keuangan Negara. Jakarta: PPLPTK.
Jhingan, M L. 2000. Ekonomi Perencanaan dan Pembangunan. Jakarta: PT Raja
Gravindo Persada.
Juanda, B. 2009. Ekonometrika : permodelan dan pendugaan. Bogor: IPB Press.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI. 2015.
Buku Data dan Informasi Penyiapan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Jakarta: KDPDTT.
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. 2012. Parameter Daerah
Persiapan “Penjelasan Teknis Pembentukan DOB dalam Desain Besar
Penataan Daerah.. Jakarta: Partnership for Governance Reform.
Kyissima, Kelvin Henry. Government expenditure and economic growth in
Tanzania: a time series analysis. International Journal of Development
and Economic Sustainability, Vol 5 No. 1. European Centre for Research
Training and Development UK.
Makaganza, H.R. 2008. Tantangan Pemekaran Daerah. Yogyakarta : FusPad.
Mangkoesoebroto, Guritno. 2008. Ekonomi Publik. Jakarta: BPFE.
Mankiw, Gregory N. 2007. Makroekonomi. Jakarta: Erlangga.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006. Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri DPDTT Nomor 15 Tahun 2015. Tentang Rencana Strategis
KDPDTT Tahun 2015-2019.
Peraturan Menteri DPDTT Nomor 3 Tahun 2016. Tentang Petunjuk Teknis
Penentuan Indikator Daerah Tertinggal.
Peraturan Menteri DPDTT Nomor 3 Tahun 2016. Tentang Petunjuk Teknis
Penentuan Indikator Daerah Tertinggal Secara Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014. Tentang Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal.
101
Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015. Tentang Penetapan Daerah
Tertinggal Tahun 2015-2019.
Pratikno. 2008. Usulan Perubahan Kebijakan Penataan Daerah : Pemekaran dan
Penggabungan Daerah. Paper USAID.
Putra, I Gede Dwi Purnama Dan I Made Adigorim. 2011. Pengaruh Belanja
Langsung Dan Belanja Tidak Langsung Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.
E-Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 1 No. 2. Universitas Udayana.
Putra, Norista Gathama. 2010. Pengaruh Belanja Modal dan Belanja Operasi
Terhadap Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah.
Semarang: Universitas Diponegoro Semarang.
Saidah, Nur. 2011. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal.. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor.
Samsuri, Singgih. 2016. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Se-Sumatera. Skripsi.
Universitas Lampung.
Sari, Devi Novita et al. 2017. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Dan Tenaga
Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kab Lampung Tengah. Jurnal
Ekonomi Pembangunan, Vol 6 No. 2. Universitas Lampung.
Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sodik, Jamzani. 2007. Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi
Regional: Studi Kasus Data Panel di Indonesia. Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Vol 12 No. 1. UPN Veteran Yogyakarta.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan (pendekatan kualitatif, kuantitatif
dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Sukirno, Sadono. 2008. Mikro Ekonomi : Teori Pengantar. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Sukirno, Sadono. 2013. Makroekonomi : Teori Pengantar. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
102
Susanti, Hewi et al. 2017. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan
Pengeluaran Pemerintah Aceh Terhadap Pendapatan Asli Daerah
Provinsi Aceh Setelah Tsunami. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik
Indonesia, Vol 4 No. 1. Universitas Syiah Kuala.
Suwanti, Edy Yusuf Agung Gunanto. 2013. Analisis Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah Untuk Sektor Pertanian Terhadap PDRB Sektor Pertanian 35
Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2010. Jurnal Ekonomi
Diponegoro, Vol 2 No. 4. Universitas Diponegoro.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah.
Widardjono, Agus. 2013. Ekonometrika : Pengantar dan aplikasinya. Jakarta:
Ekonosia.
Winarno, W W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
103
LAMPIRAN
Lampiran 1:
a. Data Penelitian
Kabupaten Tahun PDRB
(Juta Rupiah)
Belanja Tidak
Langsung
(Juta Rupiah)
Belanja Langsung
(Juta Rupiah)
Musi Rawas Utara 2014 4.606.000 108.166 453.301
Musi Rawas Utara 2015 4.760.000 213.451 457.273
Musi Rawas Utara 2016 4.926.000 157.609 562.693
Musi Rawas Utara 2017 5.127.000 250.611 511.761
Pesisir Barat 2014 2.402.000 151.242 128.818
Pesisir Barat 2015 2.521.000 247.157 303.829
Pesisir Barat 2016 2.655.000 304.505 428.246
Pesisir Barat 2017 2.797.000 363.917 447.821
Mahakam Ulu 2014 1.427.000 228.589 257.193
Mahakam Ulu 2015 1.474.000 239.364 913.157
Mahakam Ulu 2016 1.524.000 436.502 540.366
Mahakam Ulu 2017 1.589.000 341.723 864.447
Banggai Laut 2014 1.253.000 105.725 81.259
Banggai Laut 2015 1.353.000 153.867 276.875
Banggai Laut 2016 1.460.000 221.455 301.694
Banggai Laut 2017 1.556.000 272.506 311.122
Morowali Utara 2014 5.473.000 220.619 255.947
Morowali Utara 2015 5.867.000 345.611 345.039
Morowali Utara 2016 6.243.000 444.186 402.375
Morowali Utara 2017 6.709.000 476.012 461.066
Konawe Kepulauan 2014 734.000 18.678 91.516
Konawe Kepulauan 2015 791.000 99.882 297.884
Konawe Kepulauan 2016 853.000 134.447 390.225
Konawe Kepulauan 2017 914.000 187.172 373.377
Malaka 2014 1.457.000 228.092 82.561
Malaka 2015 1.529.000 311.898 190.495
Malaka 2016 1.605.000 363.405 342.579
Malaka 2017 1.687.000 457.732 368.699
Pulau Taliabu 2014 688.000 59.129 60.772
Pulau Taliabu 2015 727.000 88.548 321.952
104
Kabupaten Tahun PDRB
(Juta Rupiah)
Belanja Tidak
Langsung
(Juta Rupiah)
Belanja Langsung
(Juta Rupiah)
Pulau Taliabu 2016 768.000 128.230 441.510
Pulau Taliabu 2017 811.000 227.202 349.503
Mamuju Tengah 2014 1.698.000 114.380 109.479
Mamuju Tengah 2015 1.813.000 179.572 319.906
Mamuju Tengah 2016 1.902.000 220.663 457.930
Mamuju Tengah 2017 2.011.000 230.501 370.368
Maybrat 2014 350.000 213.846 397.135
Maybrat 2015 369.000 275.171 532.145
Maybrat 2016 393.000 491.205 484.583
Maybrat 2017 418.000 455.933 490.350
105
b. Setelah di LOG
Kabupaten Tahun LOGPDRB LOGBTL LOGBL
Musi Rawas Utara 2014 15,34287036 11,59142296 13,02431085
Musi Rawas Utara 2015 15,37575823 12,27116399 13,03303616
Musi Rawas Utara 2016 15,41003786 11,96787232 13,2404891
Musi Rawas Utara 2017 15,45003125 12,43165874 13,14561206
Pesisir Barat 2014 14,69181228 11,92663427 11,76615448
Pesisir Barat 2015 14,74016621 12,41778065 12,62421991
Pesisir Barat 2016 14,79195521 12,62644116 12,96745235
Pesisir Barat 2017 14,84405797 12,80468117 13,01214951
Mahakam Ulu 2014 14,1710849 12,33968286 12,4575826
Mahakam Ulu 2015 14,20349035 12,3857424 13,72466343
Mahakam Ulu 2016 14,23684902 12,98654743 13,20000127
Mahakam Ulu 2017 14,27861545 12,74175453 13,66984505
Banggai Laut 2014 14,04105123 11,56859587 11,30540274
Banggai Laut 2015 14,11783491 11,94384685 12,5313206
Banggai Laut 2016 14,19394699 12,3079742 12,61717012
Banggai Laut 2017 14,25762898 12,51541498 12,64794007
Morowali Utara 2014 15,51533747 12,30419306 12,45272549
Morowali Utara 2015 15,58485399 12,75306773 12,75141383
Morowali Utara 2016 15,64697139 13,00399872 12,90514098
Morowali Utara 2017 15,71896047 13,07319765 13,04129629
Konawe Kepulauan 2014 13,50626431 9,835119675 11,42427397
Konawe Kepulauan 2015 13,58105325 11,51174763 12,60445873
Konawe Kepulauan 2016 13,65651483 11,80892822 12,87447931
Konawe Kepulauan 2017 13,72558585 12,1397828 12,83034268
Malaka 2014 14,19189009 12,33750283 11,32129525
Malaka 2015 14,24012448 12,65043266 12,15737985
Malaka 2016 14,28863431 12,80327257 12,74425848
Malaka 2017 14,33846236 13,03403991 12,81773549
Pulau Taliabu 2014 13,44154412 10,98748303 11,01489136
Pulau Taliabu 2015 13,49668176 11,39129441 12,68215748
Pulau Taliabu 2016 13,55154501 11,76157876 12,99795539
Pulau Taliabu 2017 13,60602333 12,33359578 12,76426657
Mamuju Tengah 2014 14,34496165 11,64728383 11,60348509
Mamuju Tengah 2015 14,41049349 12,09833303 12,67578292
Mamuju Tengah 2016 14,45841652 12,30439371 13,03447076
Mamuju Tengah 2017 14,51414267 12,34801156 12,82225299
Maybrat 2014 12,76568843 12,2730131 12,89203054
Maybrat 2015 12,81855192 12,52514745 13,18467035
106
Kabupaten Tahun LOGPDRB LOGBTL LOGBL
Maybrat 2016 12,88156489 13,10461636 13,09104458
Maybrat 2017 12,94323671 13,03010173 13,10287471
107
Lampiran 2: Hasil Estimasi Model Data Panel
a. Common Effect Model
Dependent Variable: LOGPDRB?
Method: Panel Least Squares
Date: 09/27/19 Time: 03:02
Sample: 2014 2017
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 10.62152 2.884427 3.682368 0.0007
LOGBTL 0.299826 0.246664 1.215525 0.2319
LOGBL -0.000724 0.256142 -0.002827 0.9978
R-squared 0.056527 Mean dependent var 14.28437
Adjusted R-squared 0.005528 S.D. dependent var 0.810081
S.E. of regression 0.807839 Akaike info criterion 2.483131
Sum squared resi 24.14635 Schwarz criterion 2.609797
Log likelihood -46.66262 Hannan-Quinn criter. 2.528929
F-statistic 1.108399 Durbin-Watson sitat 0.018314
Prob(F-statistic) 0.340798
108
b. Fixed Effect Model
Dependent Variable: LOGPDRB?
Method: Panel Least Squares
Date: 09/27/19 Time: 03:08
Sample: 2014 2017
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 12.62779 0.166022 76.06079 0.0000
LOGBTL? 0.103735 0.019557 5.304187 0.0000
LOGBL? 0.030477 0.016497 1.847383 0.0753
Fixed Effects (Cross) _MUSIRAWASUTARA—C 1.115683
_PESISIRBARAT—C 0.464556
_MAHAKAMULU—C -0.117956
_BANGGAILAUT—C -0.102827
_MOROWALIUTARA—C 1.272899
_KONAWEKEPULAUAN—C -0.564056
_MALAKA—C -0.054759
_PULAUTALIABU—C -0.685932
_MAMUJUTENGAH—C 0.167069
_MAYBRAT—C -1.494677
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.998614 Mean dependent var 14.28437
Adjusted R-squared 0.998069 S.D. dependent var 0.810081
S.E. of regression 0.035595 Akaike info criterion -3.589876
Sum squared resi 0.035477 Schwarz criterion -3.083212
Log likelihood 83.79752 Hannan-Quinn criter. -3.406682
F-statistic 1833.746 Durbin-Watson sitat 1.827940
Prob(F-statistic) 0.000000
109
c. Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 2114.379356 (9,28) 0.0000
Cross-section Chi-square 260.920280 9 0.0000
Cross-section fixed effects test equation:
Dependent Variable: LOGPDRB
Method: Panel Least Squares
Date: 09/20/19 Time: 06:52
Sample: 2014 2017
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 10.62152 2.884427 3.682368 0.0007
LOGBTL? 0.299826 0.246664 1.215525 0.2319
LOGBL? -0.000724 0.256142 -0.002827 0.9978
Root MSE 0.776955 R-squared 0.056527
Mean dependent var 14.28437 Adjusted R-squared 0.005528
S.D. dependent var 0.810081 S.E. of regression 0.807839
Akaike info criterion 2.483131 Sum squared resi 24.14635
Schwarz criterion 2.609797 Log likelihood -46.66262
Hannan-Quinn criter. 2.528929 F-statistic 1.108399
Durbin-Watson stat 0.018314 Prob(F-statistic) 0.340798
110
d. Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 0.287367 2 0.8662
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LOGBTL? 0.103735 0.103970 0.000000 0.6780
LOGBL? 0.030477 0.030380 0.000000 0.8015
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: LOGPDRB
Method: Panel Least Squares
Date: 09/20/19 Time: 06:53
Sample: 2014 2017
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 12.62779 0.166022 76.06079 0.0000
LOGBTL 0.103735 0.019557 5.304187 0.0000
LOGBL 0.030477 0.016497 1.847383 0.0753 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Root MSE 0.029781 R-squared 0.998614
Mean dependent var 14.28437 Adjusted R-squared 0.998069
S.D. dependent var 0.810081 S.E. of regression 0.035595
Akaike info criterion -3.589876 Sum squared resid 0.035477
Schwarz criterion -3.083212 Log likelihood 83.79752
Hannan-Quinn criter. -3.406682 F-statistic 1833.746
Durbin-Watson sitat 1.827940 Prob(F-statistic) 0.000000
111
e. Uji Lagrange Multiplier
Lagrange Multiplier Tests for Random Effects
Null hypotheses: No effects
Alternative hypotheses: Two-sided (Breusch-Pagan) and one-sided
(all others) alternatives Test Hypothesis
Cross-section Time Both
Breusch-Pagan 58.38643 2.036400 60.42283
(0.0000) (0.1536) (0.0000)
Honda 7.641101 -1.427025 4.394016
(0.0000) (0.9232) (0.0000)
King-Wu 7.641101 -1.427025 2.584711
(0.0000) (0.9232) (0.0049)
Standardized Honda 8.611859 -1.169561 2.602305
(0.0000) (0.8789) (0.0046)
Standardized King-Wu 8.611859 -1.169561 0.797227
(0.0000) (0.8789) (0.2127)
Gourieroux, et al.* -- -- 58.38643
(0.0000)
112
f. Random Effect Model
Dependent Variable: LOGPDRB?
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 09/27/19 Time: 03:33
Sample: 2014 2017
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 12.62615 0.334718 37.72178 0.0000
LOGBTL? 0.103970 0.019549 5.318440 0.0000
LOGBL? 0.030380 0.016493 1.841982 0.0735 Random Effects (Cross)
_MUSIRAWASUTARA—C 1.115350 _PESISIRBARAT—C 0.464328 _MAHAKAMULU—C -0.117940 _BANGGAILAUT—C -0.102789
_MOROWALIUTARA—C 1.272308 _KONAWEKEPULAUAN—C -0.563651
_MALAKA—C -0.054886 _PULAUTALIABU—C -0.685557
_MAMUJUTENGAH—C 0.167028 Effects Specification
S.D. Rho Cross-section random 0.919140 0.9985
Idiosyncratic random 0.035595 0.0015 Weighted Statistics R-squared 0.739038 Mean dependent var 0.276542
Adjusted R-squared 0.724932 S.D. dependent var 0.066280
S.E. of regression 0.034762 Sum squared resid 0.044710
F-statistic 52.39160 Durbin-Watson stat 1.452637
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.036059 Mean dependent var 14.28437
Sum squared resid 24.67018 Durbin-Watson stat 0.002633