A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya
(laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara
satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat
dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan bathin dengan tujuan
menciptakan suatu keluarga/rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan
abadi.1
Hal ini bukanlah suatu keharusan, agar orang berpendapat kepada
persetubuhan belaka, walaupun hal persetubuhan adalah faktor yang juga penting
sebagai penunjang atau pendorong dalam rangka merealisir keinginan hidup
bersama, baik untuk mendapatkan keturunan, maupun sekedar memenuhi
kebutuhan biologis atau keinginan hawa nafsu belaka. Seseorang yang hidup
bersama, kekuatan untuk bersetubuh bukanlah merupakan suatu syarat yang
tidak boleh tidak harus ada, karena hal ini tidaklah selalu terdapat pada semua
golongan orang, seperti misalnya orang yang sudah lanjut usia.2 Hal ini seperti
yang dikemukakan oleh Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH:
“bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang sudah sangat lanjut usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan dinamakan “In ex tremis”, yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hamper meninggal dunia.”3
Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis
dan kehendak kemanusiaan semata tetapi lebih dari itu, yaitu suatu ikatan atau
hubungan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita.
“Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera dan bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses pshykologis yang berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan.”4
Pernyataan tersebut di atas, terkesan bebas dan demokratis serta penuh
1 Djoko Prakoso dan I Ketut Muartika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di IndonesiaI, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 1.
2 Ibid.3 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia,(Jakarta: Penerbit Sumur
Bandung, 1984), hlm. 7.4 Majalah Nasehat Perkawinan No. 109 ke X Jni 1981, Penerbit Badan Penasehat
Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4), hlm. 14.
1
penghargaan terhadap HAM untuk melangsungkan suatu perkawinan yang
dilandasi atas hubungan seksual. Kini menjadi suatu kajian tersendiri bagi
hubungan seksual yang dilakukan secara menyimpang atau tidak umum
dilakukan oleh kebanyakan orang (yaitu hubungan kelamin laki-laki dengan
kelamin perempuan), melainkan hubungan seksual yang dilakukan laki-laki
dengan laki-laki, yang lazim disebut hubungan secara sodomi, pelakunya
yang umum dikenal homoseksual. Begitu juga hubungan seksual yang
menyimpang karena dilakukan oleh perempuan dengan perempuan, melalui
oralseks, pelakunya lazim disebut lesbian.
Perkawinan sesama jenis (gay dan lesbian) merupakan bentuk menyalahi
ketentuan hukum positif dan hukum Islam dalam suatu hidup bersama antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat dalam
peraturan perundang-undangan maupun agama. Sebagaimana tujuan
perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan
keturunan dan menegakkan ajaran agama, dalam kesatuan kelurga yang bersifat
parental. Sementara itu agama, menekankan esensi perkawinan untuk
mencegahmaksiat atau terjadinya perzinahan maupun pelacuran. Namun, tujuan
tersebut mulai tidak berlaku bagi kaum gay dan lesbian dalam menuntut hak
asasi manusia atau HAM atas kesetaraan gender, yakni dengan menuntut agar
keinginan berpasangan untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.
Salah satu syarat sah dari suatu perkawinan menurut ketentuan
hukum positif sebagaimana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang
menyebutkan bahwa adanya ikatan lahir batin antara laki-laki dan
perempuan. Sementara itu, hukum Islam lebih lanjut menekankan bahwa
perkawinan menjadi sah apabila terdapat tujuan untuk menegakkan ajaran
agama dalam kesatuan kelurga yang bersifat parental. Namun, masalah
yang kemudian muncul adalah kebebasan hak asasi manusia (HAM) dalam
menuntut kebebasan memilih dan menentukan perkawinannya. Salah satu
kebebasan yang dikehendaki tersebut yakni perkawinan sejenis yang
dilakukan oleh kaum gay dan lesbian. Perkawinan sejenis dipandang
destruktif dan menyalahi kodrati fitrah manusia yang seharusnya dapat
melakukan ikatan bersama lawan sejenis dan mendapat
keturunan, namun berbeda dengan perkawinan sejenis yang lebih menginginkan
hubungan menyimpang tersebut atas dasar cinta dan kasih saying guna
2
membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.5
B. ISSUE HUKUM
Belakangan ini pernikahan sesama jenis kembali menjadi pembicaraan
yang hangat baik di media cetak maupun elektronik. Pro kontra terhadap
pernikahan sesama jenis memang sejak lama dibicarakan khalayak ramai. Namun
tepatnya beberapa pekan kemarin media massa kembali memblow-up berita
terkait pernikahan sesama jenis. Pasalnya pada hari Jum’at, 26 Mei 2015 yang
lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan untuk diberlakukan aturan
secara nasional (sebanyak 50 Negara Bagian) pernikahan sesama jenis, dimana
sebelumnya hanya 37 Negara Bagian pernikahan sesama jenis ini secara sah
diberlakukan.
Masyarakat Indonesia sendiri dihebohkan dengan beredarnya foto-foto
perkawinan sejenis di laman Facebook. Foto-foto yang diunggah itu
memperlihatkan pesta pernikahan sejenis yang kabarnya dilangsungkan di
kawasan wisata di Sayan, Ubud, Gianyar, di hotel bintang lima berinisial FS.
Namun belum bisa dipastikan apakah foto-foto yang beredar di dunia maya itu
benar-benar pesta pernikahan atau bukan. Foto-foto di Facebook itu
memperlihatkan adegan prosesi seperti sebuah pernikahan antara pria bule dan
pria Indonesia. Salah satu gambar berlatar belakang seorang pemangku
(rohaniwan Hindu). Ada pula foto salah satu pria meminta restu kepada pasangan
orang tua.6
Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali menyikapi serius foto heboh
pernikahan sejenis di Facebook tersebut. Ketua MUDP Jero Gede Suwena Putus
Upadhesa mengatakan pihaknya sudah membentuk tim khusus untuk menyelidiki
kasus yang menghebohkan itu. Suwena menegaskan, pernikahan sejenis dilarang
dalam agama Hindu dan, bila benar-benar terjadi, dianggap sebagai cuntaka atau
peristiwa yang menimbulkan kekotoran spiritual. "Harus dilakukan upacara adat
untuk pembersihan."
5 Nur Chasanah, Studi Komparatif Hukum Positif Dan Hukum Islam Di Indonesia Mengenai Perkawinan Sejenis, Jurnal Cendekia Vol. 12 No 3 Sept 2014, hlm. 67-68.
6 Rofqi Hasan, Heboh Pernikahan Sejenis di Bali, Majelis Adat: Ini Cuntaka! http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/16/058701212/heboh-pernikahan-sejenis-di-bali-majelis-adat-ini-cuntaka diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015
3
Bila ternyata itu bukan upacara pernikahan, keberadaan rohaniwan dan simbol-
simbol Hindu dapat dianggap sebagai suatu penodaan atas simbol agama.
“Penelitian akan sampai ke masalah itu dengan meminta keterangan desa adat
dan aparat setempat dan tentunya pihak hotel atau tempat yang menjadi lokasi,”
ujarnya. Hal ini dilakukan karena perkawinan sejenis yang diduga dilakukan di Bali
itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah
Indonesia.
C. PEMBAHASAN
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.
Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-
laki dengan seorang wanita.7 Oleh sebab itulah, beberapa ahli memandang dan
memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi yang bernama
perkawinan. Asser, Scholten, Pitlo, Petit, Melis, dan Wiarda, memberikan definisi
bahwa perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang
wanita yang diakui oleh negara untuk bersama/bersekutu yang kekal. Esensi dari
yang dikemukakan para pakar tersebut adalah bahwa perkawinan sebagai
lembaga hukum, baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa
yang terdapat di dalamnya. 8
Sementara menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa
perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang
dikukuhkan secara formal dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan
religius. Pendapat lain disampaikan Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum
Perdata yang mengatakan, bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara
seorang lelaki dan seoarang perempuan untuk waktu yang lama.9
Begitupun dengan Kaelany H.D. yang mengatakan bahwa perkawinan
adalah akad antara calon suami isteri untuk memenuhi hajat sejenisnya menurut
7 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),hlm. 61.
8 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya: Airlangga Press University, 2008), hlm. 18.
9 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2000), hlm. 23.
4
yang diatur oleh syariah. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan
bergaul sebagai suami isteri.10
Pengertian perkawinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang
membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata
dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi.11
Adapun faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan ikatan
tersebut (perkawinan), yakni
1. Adanya saling suka dan menanggapi;
2. Untuk melindungi kehormatan seseorang;
3. Waktu dan uang;
4. Adanya keterlibatan emosional;
5. Adanya rasa aman.
Perlu diketahui bahwa kelima faktor tersebut memiliki esensi yang
berbeda ditiap-tiap daerah sesuai dengan adat istiadat di masing-masing
daerah, yang intinya perkawinan itu sendiri adalah dilaksanakan untuk
menjaga kemurnian sistem kekerabatan.12
Lebih lanjut, masalah yang kemudian muncul adalah menyoal
perubahan seiring dengan zaman ke arah modernitas sebagai bagaian dari
terori stimulus value role, yang mana menyebutkan bahwa perkawinan
terjadi karena situasi yang bebas memilih akibat rangsangan (stimulus)
ketertarikan fisik, perbandingan nilai (value) kesamaan atau sebaliknya dan
peran (role) yang melengkapi. Kebebasan yang dimaksud dalam hal ini
sudah dipisahkan dengan pakem atau adat istiadat dan juga agama. Salah
satu kebebasan perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan sesama jenis
atau sering disebut dengan pernikahan gay atau homoseksual. Pernikahan
sesama jenis adalah pernikahan yang ditinjau secara normatif ataupun
sosial diakuai hanya berjenis kelamin sama (laki-laki dengan laki-laki 10 Kaelany H.D., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, (Bandung: Bumi Aksara), hlm.
107.11 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1988).12 Nur Chasanah, Op.Cit., hlm 69.
5
maupun perempuan dengan perempuan). Tentu dalam hal tersebut sudah
menyeleweng dari syarat mutlak membentuk keluarga dengan perkawinan.
Timbulnya penyelewengan tersebut atau adanya perkawinan sesama sejenis
adalah akibat pengaruh konflik masyarakat yang dipengaruhi oleh gerakan-
gerakan sosial dari individu dan kelompok sosial berbasis pada identitas,
golongan, etnis, maupun tribal (kaum gay dan kaum lesbian). Konfik
tersebut menuntut kaum gay dan kaum lesbian atas dasar persamaan hak
asasi manusia dan juga kodrati.
Sementara itu, berkaitan dengan permasalahan diatas perkawinan sesama
jenis di Indonesia mengindikasikan bahwa belum ada keinginan masyarakat
(individu gay atau lesbian) untuk melakukan keinginan berpasangan untuk
membentuk keluarga melalui perkawinan. Hal ini disebabkan masyarakat
Indonesia paham akan pakem dan juga menjunjung hukum dan adat (norma).
Namun, tidak menutup kemungkinan belum adanya keinginan masyarakat
Indonesia untuk melakukan perkawinan sejenis juga mereka (gay
dan lesbian) masih melakukan hubungan seksual dan batin layaknya
sebuah keluarga. Berikut ialah beberapa pandangan mengenai perkawinan
sejenis menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.
1. Ditinjau dari Hukum Positif di Indonesia
Di Indonesia sendiri, telah ada hukum perkawinan yang secara otentik
diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Secara normatif sebagaimana
ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa perkawinan pada asasnya dilakukan oleh hubungan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yakni dengan tujuan
memperoleh keturunan dan membina rumah tangga yang diharapkan. Hal ini
berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan13
(“UU Perkawinan”), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
13 Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU. No. 1 Tahun 1974, Lembaran Negara No. 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.,Pasal 1.
6
Pasal 1
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha esa.”
Pengertian perkawinan seperti yang tercantum dalam UU Perkawinan
Pasal 1, bila diperinci sebagai berikut:14
- Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri;
- Ikatan lahir bathin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia yang kekal dan sejahtera;
- Ikatan lahir bathin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam UU Perkawinan juga ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas
mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Prinsip-
prinsip tersebut diantaranya:15
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil;
b. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu; disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. Undang-Undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari
seorang;
14 Djoko Prakoso dan I Ketut Muartika, Op.Cit., hlm. 3.15 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 7-9.
7
d. Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus
telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan,
agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa
berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
UU ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita,
ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita;
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera, maka UU ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian;
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.
Selain itu, di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan16 dikatakan juga
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Ini berarti selain negara hanya mengenal
perkawinan antara wanita dan pria, negara juga mengembalikan lagi hal tersebut
kepada agama masing-masing.
Mengenai perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan
antara pria dan wanita juga dapat kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-
Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan17
Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
16 Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, Op.Cit., Pasal 2 ayat (1).17 Republik Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, UU. No. 23 Tahun
2006, Lembaran Negara No. 124 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674., Pasal 34 ayat (1).
8
Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Sebagaimana dijelaskan pada perkawinan sesama jenis di atas,
mengindikasikan bahwa hal tersebut menyalahi kodrat yang telah ditentukan
hukum dan juga adat (pakem). Perkawinan sesama jenis secara normatif
berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dapat
dilakukan, karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sudah disebutkan bahwa perkawinan adalah jalinan batin dan
biologis antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
2. Ditinjau dari Hukum Islam
Hukum Islam senantiasa memperhatikan kemaslahatan manusia dalam
menghadapi masalah dalam kehidupannya, salah satunya terkait dengan
substansi jiwanya yang berasal dari kehendak hawa nafsu manusia yang ingin
melampiaskan seks di luar ketentuan hukum Islam. Namun, dari sisi agama
Islam, perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Penyimpangan
biologis yang melanggar fitrah manusia seperti perkawinan sejenis dalam hukum
Islam menentang secara keras, karena telah menyalahi aturan yang telah ada
dalam Al-Quran dan Al-Hadist sebagai dasar hukum Islam yang telah ada.18
Lebih lanjut menekankan bahwa Islam memberikan bentuk nash dalam
perbuatan yang tercela yang pernah terjadi pada kaum Nabi Nuh dan Nabi Luth
yang terbukti telah membawa malapetaka yang luar biasa baik berujud kutukan
wabah penyakit dan lainnya (QS. Al-Ankabut (29): 28-35.
Al-Qur’an melarang segala hubungan seks selain hubungan seks di dalam
ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Sebagian besar
penikmat homoseksualitas mengklaim bahwa mereka terlahir dengan
kecenderungan seks sesama jenis itu. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak
mempunyai pilihan, “sudah dari sananya”. Meskipun asumsi ini masih
18 Terdapat 7 (tujuh) surat yang menyatakan lingkupan homoseksual atau gay, yakni QS. Al-A;raf (7):80-102, QS. Hud (11):77-82, QS. Al-Anbiya’ (21):74, QS. Al-Syu’ara’ (26): 160-173, QS. An-Naml (27):54-58, dan QS. Al-Ankabut (29): 26-35, dikutip dari Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975), hlm. 165.
9
bisadiperdebatkan di dunia medis, bahkan kalaupun asumsi ini memang benar, al-
Qur’an dengan tegas menolak menjadikannya sebagai pembenaran bagi pecinta
sesama jenis.19
Dari arti surah di atas dapat penulis tarik bahwasanya dari sisi agama
Islam, perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Hal ini dapat dilihat
dalam Surah Al-A’raaf (7): 80-84, jadi perkawinan sejenis adalah haram
hukumnya. Di samping itu Perkawinan sesama jenis di Indonesia, dari kacamatra
agama dan adat, belum mendapat perespektif layak untuk dilakukan, bahkan
dapat disebut dari kacamata agama sebagai suatu perbuatan dosa dan dari
kacamata adat merupakan perbuatan dosa dan aib. Diluar Indonesia, di negara-
negara yang telah lama menjungjung tinggi HAM, persamaan jender, ada yang
sudah berani mengakui perkawinan sesama jenis.
Di Negara Eropa dan Amerika sudah melegalkan perkawinan sesama
jenis di tingkat Nasional, seperti Argentina, Belgia, Kanada, Islandia, Belanda,
Norwegia, Portugal, Spanyol, Afrika Selatan, Swedia, Alagoas Brasil, Mexico
City dan Amerika Serikat. Alasan Negara-Negara tersebut melegalkan
perkawinan sejenis karena bentuk toleransi guna menekan diskriminasi
berdasarkan orientasi seksual. Argumen lain dalam mendukung pernikahan
sesama jenis adalah pernyataan bahwa keuangan, psikologis dan fisik
kesejahteraan diperkuat oleh perkawinan sesama jenis, yakni diperolah
dengan cara mengadopsi anak guna memberikan manfaat dan
dibesarkan oleh kedua orangtua gay maupun lesbi, selain itu
perkawinan tersebut juga mendapat dukungan hukum secara absolute dan
lembaga-lembaga masyarakat bersangkutan.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara ekplisit memang tidak
mengatur masalah yang berkaitan dengan pernikahan sesama jenis. Besar
kemungkinan, karena formulasi nikah versi KHI ini sudah tidak lagi
memperhatikan subjek yang melakukan akad. Artinya membangun rumah tangga
yang sakinah mawaddah wa rahmah, seperti yang tertulis dalam regulasi tersebut,
sedikitpun tidak menyiratkan adanya peluang bagi legalisasi pernikahan gay dan
19Abu Ameenah Bilal Philips, Islam dan Homoseksual, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003),hlm. 44.
10
lesbian. Karena dalam pasal lain disebutkan bahwa asas perkawinan adalah
monogami.
Pernikahan yang di anggap wajar dalam masyarakat adalah pernikahan
heteroseksual atau nikah dengan lawan jenis. Maka tidaklah salah ketika
pernikahan homoseksual atau nikah dengan sesama jenis banyak mendapat
kontroversi di masyarakat karena di anggap aneh, menyimpang dari hukum
syara’, dan yang lebih ironis lagi di bilang sakit jiwa.
Selain itu juga, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempertegas
dengan beberapa Pasal yang tidak jauh berbeda dengan hukum normatif,
yakni syarat perkawinan yang sah adalah ikatan batin dan biologis antara laki-
laki dan perempuan sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf d,
Pasal 29 ayat (3) serta Pasal 30 KHI.
Pasal 1 huruf a KHI:
Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Pasal 1 huruf d KHI:
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
Pasal 29 ayat (3) KHI:
Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Pasal 30 KHI:
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita dengan jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Artinya, pasal-pasal KHI tersebut dengan tegas menyatakan
melarang perkawinan sesama jenis apabila tidak ada ketentuan baku syarat
sahnya sesuai dengan peraturan Undang-Undang dan juga agama. Lebih
11
lanjut, dalil fikih ulama secara umum mekankan hukum haram bagi
perkawinan sejenis, yakni;
1) Pelaku (gay) harus dibunuh secara muthlak,
2) Pelakunya (gay) harus di hadd sebagaimana hadd zina, yakni dengan
hukuman muhsan maupun dirajam, dan
3) Pelakunya harus disanksi sesuai perlakuannya.20
Selain itu, mengenai perkawinan sejenis ini, beberapa tokoh juga
memberikan pendapatnya. Di dalam artikel hukumonline yang berjudul Menilik
Kontroversi Perkawinan Sejenis, sebagaimana kami sarikan, Ketua Komisi Fatwa
MUI KH Ma'ruf Amin dengan tegas menyatakan bahwa pernikahan sejenis adalah
haram. Lebih lanjut Ma'ruf Amin mengatakan, “Masak laki-laki sama laki-laki atau
perempuan sama perempuan. Itu kan kaumnya Nabi Luth. Perbuatan ini jelas
lebih buruk daripada zina.” Penolakan serupa juga dikatakan oleh pengajar hukum
Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Farida Prihatini. Dia mengatakan
bahwa perkawinan sejenis itu tidak boleh karena dalam Al Quran jelas perkawinan
itu antara laki-laki dan perempuan.21
3. Ditinjau dari Hukum Hak Asasi Manusia
Di sisi yang lain berdasarkan perspektif hak asasi manusia atau
HAM, yang menyebutkan bahwa tidak ada seorangpun yang menghendaki
dilahirkan di dunia dengan keadaan yang menyimpang dan juga tidak
dibenarkan adanya suatu kaidah hukum apapun membedakan orang yang satu
dengan yang lain. Artinya, hubungan seksual yang menyimpang seperti
perkawinan sejenis tidak dapat dianggap perbuatan dosa dan aib, karena
telah mendapat pengakuan dan pengaturannya.
Pengakuan hukum perkawinan sesama jenis kadang-kadang disebut
sebagai kesetaraan perkawinan atau pernikahan setara, terutama oleh para
pendukungnya. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya
perkawinan sesama jenis sebagaimana dimaksud, diantaranya sebagai berikut ini.
1) diskriminatif, maksudnya kaum gay dan lesbian belum memiliki ruang
20 Mohammad Thalib, As-Sayid Sabiq Cet. Ke-13., Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1997), hlm. 132.
21 Hukum Perkawinan Sesama Jenis di Indonesia, Hukum Online, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50c9f71e463aa/hukum-perkawinan-sesama-jenis-di-indonesia , diakses pada Jumat, 9 Oktober 2015.
12
atau wilayah yang menurutnya belum dapat diterimanya di
masyarakat yang pluralis dan multikultural seperti di Indonesia,
sehingga kaum gay dan lesbian membentuk sebuah kelompok ataupun
organisasi yang menuntut adanya legalisasi hak asasi manusia seperti
halnya perkawinan sejenis tersebut. Adapun jenis dari diskrimanisi
dalam hal ini disebut sebagai diskriminasi gender22
2) stereotype, maksudnya kaum gay dan lesbian mendapat prasangka
yang subjektif dan tidak tepat seperti penampilan, tingkah laku (feminim),
dan hubungan dengan lingkungan hedonis. Tentu dalam hal ini,
stereotype masyarakat memandang gay dan lesbian memiliki
konsep orientasi seksual dengan peran gender yang memiliki risiko
di kalangan masyarakat kebanyakan, sehingga gay dan lesbian
merasa terpinggirkan dan diwaspadai.23 dan
3) psyco-social, maksudnya kaum gay dan lesbian membentuk identitas
dirinya mulai sejak usia dini melalui hubungan dan interaksi yang
kompleks atau secara biologis, psikologis dan faktor-faktor sosial
lainnya.24
Mengenai perkawinan disinggung dalam Pasal 16 Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM). Menurut Pasal ini, pria dan wanita yang sudah dewasa,
tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk
menikah dan untuk membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak yang sama
atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian. Syarat
perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja. Perkawinan hanya dapat
dilakukan bila keduanya setuju tanpa syarat.
Menurut DUHAM, keluarga merupakan sebuah kesatuan alamiah dan
fundamental dari masyarakat. Oleh sebab itu, hak ini harus mendapat
perlindungan dari masyarakat dan negara. DUHAM menegaskan bahwa
pelaksanaan hak tersebut harus dilakukan tanpa pengecualian apapun, termasuk
22 Komisi Persamaan Kesempatan (EOC), 2010, Memahami Undang-Undang Diskriminasi Ras, Taikoo Shing, Hong Kong, diunduh pada Kamis, 8 Oktober 2015, melalui eoc.org.hk
23 LGBT Stereotype, algbtical.org, diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015.24 Endang Sumiari, Gender dan Feminisme, (Yogyakarta: Penerbit Jala Sutra, 2004),
hlm. 33.
13
berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat yang berlainan, kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran
ataupun kedudukan lain. Demikian juga, pembedaan tidak boleh didasarkan atas
dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau
daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang
berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan
kedaulatan yang lain.
Demikian juga dengan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik) dan ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya). Dalam Pasal 23 ICCPR, disebutkan bahwa keluarga
merupakan kesatuan masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak
mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara. Setiap laki-laki dan wanita
yang sudah dalam usia perkawinan berhak untuk melakukan perkawinan dan hak
untuk membentuk keluarga harus diakui. Syarat mendasar bagi perkawinan
adalah adanya persetujuan yang bebas dari para pihak yang menikah (jo. Pasal
10 ICESCR).
Pandangan negara yang telah maju mempraktekan HAM hubungan
seksual yang menyimpang tidaklah dianggap perbuatan dosa dan aib, karena itu
penyimpangan perilaku seksual telah mendapat pengakuan dan pengaturannya,
seperti yang dilakukan di negeri Belanda. Artinya keluarga dapat dibentuk
melalui perkawinan oleh mereka yang sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki,
perempuan dengan perempuan). Bagaimanakah hal itu di Indonesia untuk
waktu yang akan datang? Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dilihat dalam
ketentuan UUD 1945 Bab XA Pasal 28B (1) yang menyatakan25
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah”,
artinya kaidah dasar normatif tidak melarang berperilaku menyimpang (gay dan
lesbian) maupun menuntut agar keinginan berpasangan untuk membentuk
keluarga melalui perkawinan yang sah.
Hal tersebut ditekankan kembali pada Pasal 28I (5)26 yang menyatakan
25 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD 1945, Pasal 28 B ayat (1).
14
bahwa
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan”.
Melalui kedua kaidah dasar yang disebutkan itu, kita tentu tidak mungkin
mengabaikan keinginan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ditakdirkan Tuhan
YME yang berperilaku menyimpang (para gay dan lesbian) untuk menuntut
keinginan mereka untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.
Ketentuan-ketentuan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 yang
berkorelasi dengan pengaturan hubungan seksual yang menyimpang untuk
waktu-waktu yang akan datang haruslah diupayakan menerima bagi kalangan
agama dan masyarakat adat, baru kemudian negara memberikan legalitasnya dan
bentuk hukum. Apabila hubungan seksual menyimpang (sesama jenis)
terbukti dan teruji mengakibatkan potensial menimbulkan penyakit (HIV/AIDS) dan
menular, tentu saja soal HAM bagi pelakunya tidak patut mendapatkan
pelayanan hukum keabsahan bagi hubungan mereka dalam peraturan
perkawinan.
Pelaksanaan HAM dalam hal itu cukup mengupayakan, bagaimana
penyakit yang diderita itu bisa diobati atau setidaknya diringankan deritanya dan
tidak menular. Hal ini disadari bahwa bila membentuk pengukuhan hukum atas
hubungan mereka, berarti menumbuh suburkan suatu poenyakit yang konon
tidak ada obatnya akan berakhir kepada kesulitan negara untuk mengatasinya.
Bila tidak berakibat demikian, ulasan tentang prilaku seks yang menyimpang
(homoseksual dan lesbian) patut menjadi kajian tersendiri dalam korelasinya
dengan HAM, mengingat siapapun di dunia ini tidak ingin diciptakan sebagai
mahkluk yang berprilaku menyimpang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkawinan sejenis yang akan
datang haruslah diupayakan menerima bagi kalangan agama dan masyarakat
adat, baru kemudian negara memberikan legalitasnya dalam bentuk hukum.
26 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Op. Cit., Pasal 28 I ayat (5).
15
Namun, HAM menjadi tidak berlaku apabila hubungan sejenis tersebut secara
potensial menimbulkan penyakit seks menular, yakni tidak berlakunya pelayanan
hukum keabsahan bagi hubungan mereja dalam peraturan perkawinan.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
perkawinan sesama jenis tidak dapat dilakukan karena menurut hukum,
perkawinan adalah antara seorang pria dan seorang wanita. Pada sisi lain, hukum
agama Islam secara tegas melarang perkawinan sesama jenis.
Perkawinan sesama jenis (gay dan lesbian) secara kodrati telah melawan
fitrah hidup maniusia yang dilahirkan untuk menjalin ikatan batin dan biologis
antar lawan jenisnya, yakni antara laki-laki dan perempuan. Tinjauan hukum
positif di Indonesia menekankan bahwa dalam Undang-Undang Perkawinan
menyebutkan bahwa perkawinan dibangun atas dasar hukum perkawinan yang
menetapkan suatu perkawinan merupakan ikatan lahir batin seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga dan
meneruskan keturunan serta bertujuan menegakkan ajaran agama dan
menjalankan adat istiadat.
Selain itu, perspektif HAM juga memberikan jaminan bahwa perkawinan
sejenis dapat membentuk keluarga melalui lembaga perkawinan sepanjang
hubungan mereka tidak berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat seperti
menularkan penyakit seks menular.
Sedangkan tinjauan hukum Islam secara jelas dan keras mengaskan
perkawinan sejenis digolongkan dalam hukum haram, hal ini dikarenakan sudah
tidak sesuai lagi dengan dalil syar’i, hal ini dikarenakan bertentangan dengan
nash-nash dalam Al-Quran dan Al-Hadist sebagai dasar hukum Islam. Oleh
karenanya, perlu diupayakan dengan menekan hubungan gay dan lesbian guna
menghindari adanya ketercelaan bahkan disertai ancaman-ancaman.Salah satu
upaya yang dapat dilakukan, yakni melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir
keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum
gay dan lesbian.
16
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abu Ameenah Bilal Philips, Islam dan Homoseksual, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003).
Endang Sumiari, Gender dan Feminisme, (Yogyakarta: Penerbit Jala Sutra,
2004).
Djoko Prakoso dan I Ketut Muartika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di IndonesiaI,
(Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987).
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975).
Kaelany H.D., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, (Bandung: Bumi Aksara).
Mohammad Thalib, As-Sayid Sabiq Cet. Ke-13., Fikih Sunnah, (Bandung: Al-
Ma’arif, 1997)
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga,
(Surabaya: Airlangga Press University, 2008).
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia ,(Jakarta: Penerbit
Sumur Bandung, 1984).
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika,
2002).
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2000).
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005).
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, UUD 1945.
Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU. No. 1 Tahun 1974,
Lembaran Negara No. 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019.
Republik Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, UU. No. 23
Tahun 2006, Lembaran Negara No. 124 Tahun 2006, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4674.
Kompilasi Hukum Islam
17
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Jurnal
Nur Chasanah, Studi Komparatif Hukum Positif Dan Hukum Islam Di Indonesia
Mengenai Perkawinan Sejenis, Jurnal Cendekia Vol. 12 No 3 Sept 2014.
Kamus
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1988).
Majalah
Majalah Nasehat Perkawinan No. 109 ke X Jni 1981, Penerbit Badan Penasehat
Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4).
Artikel dalam Internet
Hukum Perkawinan Sesama Jenis di Indonesia, Hukum Online,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50c9f71e463aa/hukum-perkawinan-
sesama-jenis-di-indonesia , diakses pada Jumat, 9 Oktober 2015.
Rofqi Hasan, Heboh Pernikahan Sejenis di Bali, Majelis Adat: Ini Cuntaka! http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/16/058701212/heboh-pernikahan-sejenis-di-bali-majelis-adat-ini-cuntaka diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015
Komisi Persamaan Kesempatan (EOC), 2010, Memahami Undang-Undang Diskriminasi Ras, Taikoo Shing, Hong Kong, diunduh pada Kamis, 8 Oktober 2015, melalui eoc.org.hk
LGBT Stereotype, algbtical.org, diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015.
18