http://doi.org/10.22435/blb.V15i1.443.
23
Analisis Spasial Tikus Positif Leptospira Patogenik dan Jenis Habitatnya
di Provinsi Papua Barat
Spatial Analysis of Positive Pathogenic Leptospira Rats and their Habitat Types
in West Papua Province
Arief Nugroho*, Ika Martiningsih, Nur Hidayati, Muhidin, Ristiyanto
Balai Besar Penelitian Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit
Jalan Hasanudin No.123. Salatiga 50721, Jawa Tengah, Indonesia *E_mail: [email protected]
Received date: 14-09-2018, Revised date: 05-04-2019, Accepted date: 28-05-2019
ABSTRAK
Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira patogenik dan menjadi masalah
kesehatan di masyarakat. Provinsi Papua Barat hingga kini belum pernah dilaporkan adanya kejadian kasus
leptospirosis. Penelitian ini bertujuan menguji apakah ada pola pengelompokkan dari tikus positif Leptospira serta melihat jenis habitat dari tikus yang positif Leptospira. Penelitian ini merupakan penelitian observasional
deskriptif dengan menggunakan pendekatan potong lintang. Lokasi penelitian di Kabupaten Manokwari,
Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Raja Ampat di Provinsi Papua Barat. Penangkapan tikus dilakukan di lokasi
meliputi: ekosistem hutan jauh pemukiman, hutan dekat pemukiman, nonhutan jauh pemukiman, nonhutan dekat
pemukiman, pantai jauh pemukiman, dan pantai dekat pemukiman. Leptospira pada tikus dideteksi dengan
pemeriksaan Polimerase Chain Reaction (PCR) dan Microscopic Aglutination Test (MAT). Hasil penelitian
menunjukkan jumlah tikus tertangkap sebanyak 278 ekor. Jumlah tikus yang positif Leptospira di tiga kabupaten
secara PCR sebanyak 34 ekor (12,2%) dan MAT sebanyak 13 ekor (4,7%). Jenis habitat positif Leptospira
adalah pemukiman, pekarangan, dan hutan sekunder. Hasil SaTScan diperoleh 6 klaster tikus positif Leptospira.
Secara statistik tidak menunjukkan hasil signifikan yang berarti penyebaran Leptospira tidak dalam klaster
tersebut. Adanya tikus positif Leptospira perlu diwaspadai adanya penularan leptospirosis di lokasi penelitian.
Kata kunci: leptospirosis, Leptospira, habitat, analisis spasial
ABSTRACT
Leptospirosis is a disease caused by pathogenic Leptospira and is still a health problem in the community. Until now, West Papua Province has not reported any cases of leptospirosis. This study aims to examine whether there
is a grouping pattern of Leptospira harboring rats and identify the habitat types of positive rat Leptospira. This
research was descriptive observational research using a cross-sectional approach. Research locations are in
Manokwari, Fakfak, and Raja Ampat districts in West Papua Province. The catching of rats was carried out in
locations of forest ecosystem settlements, near forest settlements, non-forested far from settlements, non-forests
near settlements, coastal remote settlements, and beaches near settlements. Leptospira in rats was detected by
examination of Polymerase Chain Reaction (PCR) and Microscopic Agglutination Test (MAT). The results
showed 278 rats were caught. The number of Leptospira positive rats in three districts by PCR was 34 (12.2%)
and MAT were 13 (4.7%). Leptospira positive habitat types were settlements, yards, and secondary forests. The
SaTScan results were obtained by six positive Leptospira rat clusters. There were no significant results which
showed that no spread of Leptospira in the clusters. The presence of Leptospira in rats should be a warning for leptospirosis transmission risk at the study site.
Keywords: leptospirosis, Leptospira, habitat, spatial analysis
PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah penyakit yang
muncul di seluruh dunia yang dapat
menjangkiti kurang lebih satu juta orang setiap
tahun terutama di daerah dengan infrastruktur
sanitasi yang buruk.1,2 Leptospirosis
disebabkan oleh genus Leptospira yang
bersifat patogenik.3 Bakteri ini dapat bertahan
selama berhari-hari sampai berminggu-minggu
pada air atau tanah yang lembab, kondisi
hangat dan sedikit alkali.4 Manusia dapat
terinfeksi Leptospira karena kontak dengan air,
BALABA Vol. 15 No. 1, Juni 2019: 23-32
24
atau tanah, tumbuhan atau lingkungan yang
terkontaminasi oleh urin atau cairan tubuh lain
dari hewan, tumbuhan atau lingkungan yang
telah terinfeksi Leptospira.5,6 Bakteri ini
menginfeksi manusia lewat kulit yang luka
atau melalui membran mukosa.7,8
Leptospira yang ada di lingkungan
penyebarannya berhubungan dengan aspek
epidemiologi dan wilayah geografis. Analisis
spasial dapat digunakan untuk menentukan
penyebaran dan pengelompokan serta untuk
memprediksi kejadian leptospirosis di suatu
wilayah sehingga dapat mengidentifikasi
daerah yang berisiko sebagai sumber
penyakit.9 Analisis spasial menggunakan
Sistem Informasi Geografis (SIG) menjadi
salah satu metode penting dalam surveilan
penyakit. Kemampuan SIG dalam
mengompilasi data menjadi beberapa lapisan
yang biasa disebut “overlay” dapat
memberikan manfaat dalam surveilan
penyakit.10Analisis spasial dengan pendekatan
SIG telah banyak diterapkan dalam berbagai
penelitian untuk mengendalikan leptospirosis
seperti Sunaryo yang telah melakukan
penelitian tentang analisis spasial leptospirosis
pada lingkungan.11 Penelitian Sulistyawati dan
Sumanta di Yogyakarta menggunakan
SaTScan dalam aplikasi SIG untuk
menentukan klaster yang positif Leptospira
baik pada manusia, tikus, air maupun tanah.
Hasil penelitian menyebutkan daerah yang
terbentuk klaster positif secara signifikan dapat
sebagai sumber infeksi.9,10
Leptospirosis dapat menyerang manusia
maupun hewan yang tersebar luas di dunia
terutama pada negara tropis maupun
subtropis.12 Penelitian Cosson et al.
menyebutkan bahwa di kawasan Asia
Tenggara yaitu di Thailand, Laos, dan
Kamboja telah terjadi penyebaran Leptospira
melalui hewan pengerat sehingga potensial
terjadinya penularan leptospirosis.13 Indonesia
merupakan salah satu negara yang sering
ditemukan kasus leptospirosis. Kasus
leptospirosis berdasarkan catatan dari
Kementerian Kesehatan RI tahun 2017 pernah
dilaporkan antara lain di Provinsi Jawa
Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten.
Adapun sampai tahun 2017 di Provinsi Papua
Barat belum pernah dilaporkan ada kasus
leptospirosis.14 Penelitian ini merupakan
bagian dari Riset Khusus Vektor dan Reservoir
Penyakit yang dilakukan pada tahun 2017.
Salah satu provinsi yang menjadi tempat
pengumpulan data Rikhus Vektora 2017
adalah Papua Barat. Lokasi pengambilan data
di Kabupaten Manokwari, Fakfak, dan Raja
Ampat. Masing-masing kabupaten diambil
enam titik yaitu ekosistem hutan dekat
pemukiman, hutan jauh pemukiman, nonhutan
dekat pemukiman, nonhutan jauh pemukiman,
pantai dekat pemukiman, dan pantai jauh
pemukiman.15
Penelitian ini bertujuan menguji apakah
ada pola pengelompokan dari tikus yang
positif Leptospira di lokasi penelitian serta
melihat jenis habitat dari tikus yang positif
Leptospira tersebut. Hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai data dasar untuk
kewaspadaan dini adanya leptospirosis di
Provinsi Papua Barat.
METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian
observasional deskriptif dengan menggunakan
pendekatan potong lintang. Penelitian
dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2017.
Lokasi penelitian berada di tiga kabupaten di
Provinsi Papua Barat, yaitu Manokwari,
Fakfak, dan Raja Ampat (Gambar 1).
Penangkapan tikus dilakukan di 6 tipe
ekosistem yang berbeda yaitu ekosistem Hutan
Jauh Pemukiman (HJP), Hutan Dekat
Pemukiman (HDP), Nonhutan Jauh
Pemukiman (NHJP), Nonhutan Dekat
Pemukiman (NHDP), Pantai Jauh Pemukiman
(PJP), dan Pantai Dekat Pemukiman (PDP).
Penangkapan tikus di tiap ekosistem
menggunakan perangkap “live trap” sebanyak
100 buah. Umpan yang digunakan adalah
kelapa bakar. Pemasangan perangkap dimulai
pukul 14.00 sampai pukul 17.00. Pengambilan
tikus pada perangkap yang positif dilakukan
mulai pukul 06.00 keesokan harinya hingga
pukul 09.00. Tikus yang telah tertangkap
Analisis Spasial........(Nugroho, dkk)
25
dimasukkan dalam kantong blacu dan dibawa
ke laboratorium lapangan untuk diidentifikasi
dan diambil ginjal serta darahnya. Pemasangan
perangkap di tiap ekosistem dilakukan selama
2 malam.
Pengambilan darah tikus dilakukan
dengan cara tikus dianestesi terlebih dahulu
menggunakan ketamin dan xylasin sebelum
diambil darahnya. Pengambilan darah tikus
dilakukan secara intracardial dengan spuit 3
ml dan jarum suntik 22G. Darah yang sudah
terambil dimasukkan dalam vacutainer dan di-
sentrifuge pada kecepatan 3000 rpm selama 5
menit. Serum yang terbentuk diambil dengan
menggunakan pipet pasteur dan dimasukkan
dalam cryotube steril. Serum disimpan pada
suhu 4-8°C di lemari es.
Pengambilan sampel ginjal dilakukan
dengan cara tikus dianestesi terlebih dahulu
menggunakan ketamin dan xylasin.
Selanjutnya tubuh tikus diletakkan dengan
posisi telentang kemudian dilakukan
pembedahan mulai bagian perut menggunakan
gunting bengkok. Kemudian spesimen ginjal
kiri dan kanan diambil secara aseptis, setelah
itu dimasukkan dalam vial kaca berisi etanol
70% dan disimpan dalam suhu ruang.
Pemeriksaan agen penyakit leptospirosis
dari tikus yang tertangkap dianalisis
menggunakan metode Polimerase Chain
Reaction (PCR) yang memeriksa keberadaan
Leptospira patogen pada ginjal tikus dan
Microscopic Aglutination Test (MAT) yang
memeriksa keberadaan Leptospira pada serum
darah tikus. Pemeriksaan dilakukan di
laboratorium B2P2VRP Salatiga. Ginjal tikus
dilakukan isolasi DNA terlebih dahulu,
kemudian ginjal dibilas dengan aquades steril,
dipotong kurang lebih 25 mg di bagian tubulus
renalis, dan dimasukkan ke dalam vial 1,5 ml
steril. Isolasi DNA dari ginjal menggunakan
kit Invitrogen dan cara kerja disesuaikan
dengan manual prosedur dan kit. Produk DNA
dielusi sebanyak 50 µl.
Deteksi Leptospira patogenik
dilakukan dengan amplifikasi segmen gen 16s
rRNA menggunakan pasangan primer rrs1 &
rrs2 dengan urutan sbb: F(rrs1):
5’CATGCAAGTCAAGCGGAGTA3’ dan
R(rrs2) 5’AGTTGAGCCCGCAGTTTT3’.16
Primer ini mengamplifikasi produk sebesar
523 bp. Amplifikasi DNA dari jaringan ginjal
dilakukan dengan menggunakan QiaAmp
DNA Mini Kit dari Qiagen. Total reaksi adalah
25 μl, mengandung 5 μl DNA, 12.5 μl Hot
Start Master Mix, 2 μl (20 pmol) primer, dan
3.5 μl rnase free water. Amplifikasi dijalankan
dengan termocycler SimpliAmp Thermal
Cycler, Applied Biosystem dengan suhu
denaturasi awal 95°C selama 15 menit, 35
kali denaturasi pada suhu 94°C selama 1
menit, annealing 48°C selama 1 menit,
ekstensi 72°C selama 1 menit, ekstensi
akhir selama 72°C selama 5 menit dan
inkubasi akhir pada 4°C. Produk amplifikasi
dielektroforesis dalam gel agarose 2%.
Uji Microscopic Agglutination Test
(MAT) dilakukan pada sampel serum tikus.
Panel antigen yang digunakan dalam MAT
adalah kultur Leptospira patogen berjumlah 15
serovar: L. interrogans serovar bangkinang,
ichterohaemorrhagiae, canicola, salinem,
hardjo, mini, hebdomadis, pomona, djasiman,
robinsoni, bataviae, sarmin, manhao,
tarrasovii, dan L. kirschnerii serovar
grippotyphosa, dengan kepadatan minimal
2x108 CFU. Uji MAT menggunakan
microplate U bottom 96 sumuran berisi 50 μl
PBS. Sumuran kolom nomor 2 ditambahkan 45
μl PBS dan 5 μl sampel serum sehingga
diperoleh pengenceran 1:20. Pada kolom ke-3,
ke-4 sampai dengan kolom ke-12 dilakukan
pengenceran serial dengan mengambil 50 μl
dari campuran sebelumnya sehingga diperoleh
pengenceran 1:20-1:40960.17 Semua sumuran
kemudian ditambahkan 50 μl kultur Leptospira
yang digunakan sebagai panel antigen.
Mikroplate kemudian diagitasi menggunakan
micro shaker dan diinkubasi 2-4 jam pada
30ºC. Pembacaan hasil dilakukan dengan
meneteskan campuran serum dan antigen ke
kaca slide selanjutnya diamati dengan
mikroskop medan gelap (Axio Lab A.1)
dengan perbesaran 20x. Hasil dikatakan positif
apabila terjadi aglutinasi. Titter sampel
ditentukan dari pengenceran yang
BALABA Vol. 15 No. 1, Juni 2019: 23-32
26
menunjukkan terjadinya aglutinasi 50% jika
dibandingkan kontrol. Penentuan koordinat
menggunakan alat Global Positioning System
(GPS) yang dilakukan di lokasi yang dipasang
perangkap tikus. Penentuan jenis habitat
dilakukan dengan melihat habitat yang
dominan di lokasi penelitian saat pemasangan
perangkap tikus berdasarkan definisi
operasional pada buku pedoman pengumpulan
data reservoir tikus di lapangan Rikhus
Vektora 2015.18 Penentuan pola klaster dari
tikus yang positif Leptospira dianalisis secara
spasial menggunakan software SaTScan versi
v9.6 dengan metode disesuaikan dengan modul
yang tertera pada software tersebut. Klaster
disebut signifikan jika hasil secara statistik
menunjukkan nilai p value < 0,05. Analisis
deskriptif untuk memperoleh gambaran
distribusi dari tikus positif Leptospira dan jenis
habitat di Provinsi Papua Barat.
HASIL
Jumlah tikus tertangkap di lokasi
penelitian sebanyak 106 ekor di Kabupaten
Fakfak, 80 ekor di Kabupaten Manokwari, dan
92 ekor di Kabupaten Raja Ampat. Hasil
pemeriksaan laboratorium uji Leptospira
didapat bahwa tikus positif Leptospira secara
PCR paling banyak di Kabupaten Fakfak
kemudian diikuti Kabupaten Manokwari dan
Kabupaten Raja Ampat. Sedangkan hasil
pemeriksaan laboratorium tikus positif
Leptospira secara MAT paling banyak di
Kabupaten Fakfak kemudian diikuti
Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Raja
Ampat (Tabel 1).
Hasil pemeriksaan laboratorium didapat
tikus yang positif Leptospira dengan serovar
sebagai berikut: Kabupaten Fakfak ditemukan
Leptospira serovar canicola, manhao, sarmin,
ichterohaemorrhagiae, robinsoni, hebdomadis,
dan djasiman; Kabupaten Manokwari
ditemukan Leptospira serovar canicola,
bataviae, grippotyphosa, canicola,
ichterohaemorrhagiae, dan hebdomadis; dan
Kabupaten Raja Ampat ditemukan Leptospira
serovar ichterohaemorrhagiae dan djasiman.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Analisis Spasial........(Nugroho, dkk)
27
Tabel 1. Jumlah Tikus Tertangkap dan Hasil Pemeriksaan Laboratorium Per Kabupaten
Kabupaten
Jumlah Positif Uji PCR (n/N)* Jumlah
HDP HJP NHDP NHJP PDP PJP
Fakfak 1/26 0 19/61 0/1 0/16 0/2 20/106 (18,9%)
Manokwari 1/25 0 2/31 0 5/24 0 8/80 (10,0%)
Raja Ampat 4/24 0/1 2/16 0/7 0/38 0/6 6/92 (6,5%)
Jumlah 6/75 (8,0%) 0/1 (0%) 23/108 (21,3%) 0/8 (0%) 5/78 (6,4%)
0/8
(0%) 34/278 (12,2%)
Jumlah Positif Uji MAT (n/N)
Fakfak 0/26 0 8/61 0/1 0/16 0/2 8/106 (7,5%)
Manokwari 2/25 0 1/31 0 1/24 0 4/80 (5,0%)
Raja
Ampat 1/24 0/1 0/16 0/7 0/38 0/6 1/92 (1,1%)
Jumlah 3/75 (4,0%) 0/1 (0%) 9/108 (8,3%) 0/8 (0%) 1/78 (1,3%) 0/8 (0%) 13/278 (4,7%)
Keterangan:
*Jumlah positif/jumlah diperiksa; HDP = Hutan Dekat Pemukiman; HJP = Hutan Jauh Pemukiman;
NHDP = Non-hutan Dekat Pemukiman; NHJP= Non-hutan Jauh Pemukiman; PDP = Pantai Dekat
Pemukiman; PJP = Pantai Jauh Pemukiman
Hasil SaTScan di Kabupaten Manokwari
menunjukkan terdapat 2 klaster tikus positif
Leptospira. Klaster I dengan 2 titik terletak di
posisi -0,919194 LU; 133,898194 BT dan
-0,92075 LU; 132,895 BT dengan radius 0,082
km, sedangkan klaster II dengan 2 titik terletak
di posisi -0,890028 LU; 134,094722 BT dan
-0,890167 LU; 134,094 BT dengan radius 0,39
km (Gambar 2). Kedua klaster di Kabupaten
Manokwari tidak signifikan dengan nilai p =
0,802 (p > 0,05). Hasil SaTScan di Kabupaten
Raja Ampat terdapat 1 klaster tikus positif
Leptospira. Klaster tersebut terdapat 2 titik
terletak di posisi -0,410472 LU; 130,819667
BT dan -0,41 LU; 130,82 BT dengan radius
0,064 km (Gambar 3). Klaster di Kabupaten
Raja Ampat tidak signifikan dengan nilai p =
0,58 (p > 0,05). Hasil SaTScan di Kabupaten
Fakfak terdapat 3 klaster tikus positif
Leptospira. Klaster I dengan 3 titik terletak di
posisi -2,924667 LU; 132,295194 BT
kemudian -2,926833 LU; 132,293444 BT dan
-2,924667 LU; 132,295167 BT dengan radius
0,31 km; klaster II dengan 2 titik terletak di
posisi -2,922861 LU; 132,2945 BT
dan -2,922722 LU; 132,294694 BT dengan
radius 0,030 km, sedangkan klaster III dengan
3 titik terletak di posisi -2,923639 LU;
132,295056 BT; kemudian -2,923444 LU;
132,294972 BT dan -2,923417 LU; 132,29525
BT dengan radius 0,026 km (Gambar 4).
Ketiga klaster di Kabupaten Fakfak tidak
signifikan dengan nilai p = 0,180 (p > 0,05).
Berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium, ekosistem yang paling tinggi
positif Leptospira adalah ekosistem NHDP
diikuti HDP dan PDP (Tabel 1). Jenis habitat
positif untuk tikus yang terkonfirmasi
Leptospira di Kabupaten Fakfak adalah
pemukiman, pekarangan, dan hutan sekunder,
sedangkan habitat positif untuk tikus yang
terkonfirmasi Leptospira di Kabupaten
Manokwari dan Kabupaten Raja Ampat adalah
pemukiman. Spesies tikus positif Leptospira
yang ditemukan di Kabupaten Fakfak adalah
Rattus tanezumi (83,3%), R. norvegicus
(12,5%), dan Rattus cf norvegicus (4,2%).
Spesies tikus positif Leptospira yang
ditemukan di Kabupaten Manokwari adalah R.
tanezumi (36,4%), R. norvegicus (54,5%), dan
Melomys cf leucogaster (9,1%). Sedangkan
spesies tikus positif Leptospira yang
ditemukan di Kabupaten Raja Ampat adalah R.
tanezumi (42,8%), R. norvegicus (28,6%), dan
Rattus sp. (28,6%).
BALABA Vol. 15 No. 1, Juni 2019: 23-32
28
Gambar 2. Peta Sebaran Perangkap dan Peta Klaster Kabupaten Manokwari
Gambar 3. Peta Sebaran Perangkap dan Peta Klaster Kabupaten Raja Ampat
Gambar 4. Peta Sebaran Perangkap dan Peta Klaster Kabupaten Fakfak
Analisis Spasial........(Nugroho, dkk)
29
PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan laboratorium di ketiga
kabupaten lokasi penelitian ditemukan tikus
positif Leptospira didominasi di ekosistem
yang dekat dengan pemukiman. Keberadaan
bakteri Leptospira di lingkungan disebabkan
oleh kontaminasi urin tikus yang telah
terinfeksi dengan Leptospira. Tikus yang
terinfeksi oleh bakteri Leptospira yang berada
di dekat pemukiman berpotensi menjadi
sumber transmisi dan infeksi leptospirosis pada
manusia.19 Hal ini terjadi jika kondisi
lingkungan mendukung seperti adanya tempat
pembuangan sampah sembarangan, lingkungan
kumuh, dan pembuangan limbah terbuka.20,21
Selain itu, kurangnya kesadaran PHBS pada
manusia dapat memungkinkan penularan
Leptospira dari tikus ke manusia. Penelitian
Aulia menyebutkan bahwa adanya saluran
pembuangan limbah, tempat pembuangan
sampah, tikus di sekitar rumah, kondisi PHBS
rumah tangga, dan kondisi selokan mempunyai
pengaruh terhadap kejadian leptospirosis pada
manusia.22
Hasil analisis SaTScan untuk melihat
klaster tikus positif Leptospira di tiga
kabupaten di Provinsi Papua Barat. Hasil
SaTScan diperoleh 6 klaster tikus positif
Leptospira di tiga kabupaten. Keenam klaster
tersebut hasilnya tidak signifikan secara
statistik yang mengindikasikan klaster yang
terbentuk tidak kuat yang berarti lokasi klaster
yang terbentuk tidak potensial sebagai sumber
infeksi leptospirosis sehingga penyebaran
Leptospira tidak berada dalam klaster tersebut.
Hasil ini berbeda dari penelitian Sumanta et al.
di mana terdapat 4 klaster dari hasil SaTScan
yang signifikan secara statistik di Kabupaten
Bantul. Adanya kondisi lingkungan yang
buruk disertai keberadaan tikus dalam suatu
klaster berpotensi dalam penyebaran
leptospirosis.9 Hasil SaTScan menunjukkan
bahwa jarak klaster tikus positif Leptospira di
Kabupaten Manokwari berkisar antara 0,082
km-0,39 km; Kabupaten Raja Ampat berada
pada radius 0,064 km; dan Kabupaten Fakfak
berkisar antara 0,030 km-0,31 km. Walaupun
secara statistik hasil tidak signifikan, tetap
perlu diwaspadai karena tikus mempunyai
daya jelajah hingga 1 km bahkan lebih apabila
terjadi kelangkaan pakan dan perpindahan.23
Bakteri Leptospira menyebar bergantung pada
daerah jelajah tikus dan aktivitas di habitatnya.
Adanya keberadaan tikus yang dekat dengan
manusia menjadikan risiko penularan
leptospirosis semakin besar. Hasil penelitian
Ramadhani secara spasial menunjukkan kasus
leptospirosis ditemukan pada jarak radius <100
meter dengan tikus yang terinfeksi
Leptospira.24 Daya jelajah tikus ditentukan
oleh ketersediaan pakan dan adanya tempat
untuk bersembunyi/ bersarang, adanya
persaingan dari tikus antar spesies maupun lain
spesies serta adanya penghalang terhadap
mobilitas tikus.25
Habitat tikus yang terkonfirmasi positif
Leptospira di tiga kabupaten paling banyak
ditemukan di wilayah pemukiman, sedangkan
spesies tikus yang positif Leptospira yang
ditemukan sama di tiga kabupaten adalah tikus
rumah (Rattus tanezumi) dan tikus got (Rattus
Norvegicus). Wilayah pemukiman biasanya
sering dijumpai kedua jenis tikus tersebut yang
berada di lingkungan rumah. Tikus rumah
cenderung bersifat domestik (aktivitas dalam
rumah) sedangkan tikus got cenderung bersifat
peridomestik (beraktivitas di luar rumah) dan
terestrial.26 Keberadaan tikus di sekitar rumah
ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu,
ketersediaan pakan dan tempat berlindung/
bersarang. Menurut penelitian Pertiwi et al.
bahwa rumah yang di dalam maupun
sekitarnya terdapat tikus berisiko terkena
leptospirosis sebesar 8,1 kali dibandingkan
rumah yang didalam maupun sekitarnya tidak
dijumpai tikus.27
Habitat lain tikus yang terkonfirmasi
positif Leptospira adalah pekarangan dan
hutan sekunder yang berada di Kabupaten
Fakfak. Distribusi tikus positif Leptospira di
tiap lokasi berbeda-beda. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi tikus yang
mengandung Leptospira bervariasi pada lokasi
yang berbeda. Penelitian Himsworth et al.
menunjukkan bahwa prevalensi dan persebaran
dari R. norvegicus yang positif Leptospira
BALABA Vol. 15 No. 1, Juni 2019: 23-32
30
interrogans sangat bervariasi dan bahkan
berada pada lokasi geografis yang jaraknya
berdekatan. Pola klaster pada penelitian
Himsworth et al. terbentuk di pusat kota yang
sesuai dengan sifat ekologi dari R. norvegicus
yang dekat dengan manusia.25 Penelitian
Sholichah menyebutkan tikus yang positif
Leptospira membentuk pola klaster secara
acak dengan kasus berada dalam jelajah tikus
positif Leptospira dan berada dalam area
persawahan.23
KESIMPULAN
Hasil analisis spasial keenam klaster di
tiga Kabupaten secara statistik tidak kuat
sebagai sumber infeksi leptospirosis. Meskipun
demikian, ditemukan positif bakteri Leptospira
pada tikus yang berada di daerah dekat
pemukiman di Kabupaten Manokwari,
Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Raja Ampat
perlu mendapatkan kewaspadaan akan
penularan leptospirosis ke manusia.
SARAN
Pemerintah Kabupaten Manokwari,
Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Raja Ampat
perlu mewaspadai leptospirosis guna
mencegah munculnya penyakit tersebut di
masyarakat walaupun belum ada laporan
kasus. Masyarakat perlu mendapat informasi
tentang leptospirosis dari tenaga medis supaya
terhindar dari penyakit tersebut. Masyarakat
juga perlu melakukan kegiatan pengendalian
tikus sebagai reservoir leptospirosis.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini didanai dari DIPA
B2P2VRP. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada tim pakar, tim validator, tim teknis
reservoir, tim teknis GIS, tim pengumpul data
reservoir Riset Khusus Vektora tahun 2017
Provinsi Papua Barat. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada tim
laboratorium mikrobiologi B2P2VRP Salatiga.
DAFTAR PUSTAKA
1. Costa F, Hagan JE, Calcagno J, Kane M,
Torgerson P, Martinez-silveira MS, et al.
Global morbidity and mortality of
leptospirosis : a systematic review. PLoS
Neglected Tropical Diseases. 2015;9(9):
e0003898. doi:10.1371/journal.pntd.0003898.
2. Hagan JE, Moraga P, Costa F, Capian N,
Ribeiro GS, Wunder EA, et al. Spatiotemporal
determinants of urban leptospirosis
transmission : four-year prospective cohort
study of slum residents in Brazil. PLoS
Neglected Tropical Diseases. 2016;10(1):e0004275.
doi:10.1371/journal.pntd.0004275.
3. Lehmann JS, Matthias MA, Vinetz JM, Fouts
DE. Leptospiral pathogenomics. Pathogens.
2014;3(2):280–308.
doi:10.3390/pathogens3020280.
4. Amin LZ. Leptospirosis. Cermin Dunia
Kedokteran. 2016;43(8):576–80.
5. Wójcik-fatla A, Zając V, Wasiński B, Sroka J,
Cisak E, Sawczyn A, et al. Occurrence of
Leptospira DNA in water and soil samples
collected in Eastern Poland. Annals of
Agricultural and Environmental Medicine.
2014;21(4):730–2.
doi:10.5604/12321966.1129924.
6. Ridzuan JM, Aziah BD, Zahiruddin WM.
Work environment-related risk factors for
leptospirosis among plantation workers in
tropical countries: evidence from Malaysia. The International Journal Occupational and
Environmental Medicine. 2016;7(3):156–63.
doi:10.15171/ijoem.2016.699.
7. Allan KJ, Biggs HM, Halliday JEB, Kazwala
RR, Maro VP, Cleaveland S, et al.
Epidemiology of leptospirosis in Africa : a
systematic review of a neglected zoonosis and
a paradigm for “one health ” in Africa. PLoS
Neglected Tropical Diseases.
2015;9(9):e0003899. doi:10.1371/journal.pntd.0009.
8. Escandón-vargas K, Bustamante-rengifo JA,
Astudillo-Hernandez M. Detection of
pathogenic Leptospira in ornamental water
fountains from urban sites in Cali, Colombia.
International Journal of Environmental Health
Research. 2019;29(1):107–15. Available
from:
https://doi.org/10.1080/09603123.2018.15195
26.
9. Sumanta H, Wibawa T, Hadisusanto S,
Nuryati A, Kusnanto H. Spatial analysis of
Leptospira in rats, water and soil in Bantul
Analisis Spasial........(Nugroho, dkk)
31
District Yogyakarta Indonesia. Open Journal
Epidemiology. 2015;5(1):22–31. doi:
10.4236/ojepi.2015.51004.
10. Sulistyawati, Nirmalawati T, Mardenta RN.
Spatial analysis of leptospirosis disease in
Bantul Regency Yogyakarta. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 2016;12(1):111–9. doi:
10.15294/kemas.v12i1.4615.
11. Sunaryo, Ningsih DP. Distribusi spasial leptospirosis di Kabupaten Gresik, Jawa
Timur. Buletin Penelitian Kesehatan.
2014;42(3):161–70.
12. Mwachui MA, Crump L, Hartskeerl R,
Zinsstag J, Hattendorf J. Environmental and
behavioural determinants of leptospirosis
transmission : a systematic review. PLoS
Neglected Tropical Diseases. 2015;9(9):
e0003843. doi: 10.1371/journal.pntd.0003843.
13. Cosson J-F, Picardeau M, Mielcarek M,
Tatard C, Chaval Y, Suputtamongkol Y, et al.
Epidemiology of Leptospira transmitted by
rodents in Southeast Asia. PLoS Neglected
Tropical Diseases. 2014;8(6):e2902. doi:
10.1371/journal.pntd.0002902.
14. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI. Data dan informasi profil
kesehatan Indonesia 2017. Jakarta;2018. 154
p.
15. Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir
Penyakit. Laporan akhir riset khusus vektor
dan reservoir penyakit Provinsi Papua Barat
tahun 2017. Salatiga: Balai Besar Litbang
Vektor dan Reservoir Penyakit;2017.
16. Ahmed N, Devi SM, Valverde ML,
Vijayachari P, Machang RS, Ellis WA, et al.
Multilocus sequence typing method for
identification and genotypic classification of
pathogenic Leptospira species. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials.
2006;5(28):1–10. doi:10.1186/1476-0711-5-
28.
17. WHO India. Leptospirosis laboratory manual.
India: WHO; 2007. 27-45 p. Available from:
http://apps.searo.who.int/PDS_DOCS/B2147.
pdf.
18. Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir
Penyakit. Pedoman pengumpulan data
reservoir (tikus) di lapangan. Salatiga: Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit;
2015.
19. Muñoz-zanzi C, Mason MR, Encina C,
Astroza A, Romero A. Leptospira
contamination in household and
environmental water in rural communities in
Southern Chile. International Journal of
Environmental Research and Public Health.
2014;11(7):6666–80. doi:
10.3390/ijerph110706666.
20. Felzemburgh RDM, Ribeiro GS, Costa F, Reis
RB, Melendez AXTO, Fraga D, et al. Prospective study of leptospirosis
transmission in an urban slum community :
role of poor environment in repeated
exposures to the Leptospira Agent. PLoS
Neglected Tropical Disease. 2014;8(5):e2927.
doi: 10.1371/journal.pntd.0002927.
21. Nugroho A. Analisis faktor lingkungan dalam
kejadian leptospirosis di Kabupaten
Tulungagung. BALABA. 2015;11(2):73–80.
22. Auliya R. Hubungan antara strata PHBS
tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah
dengan kejadian leptospirosis. Unnes Journal
Public Health. 2014;3(3):1–10. doi:
10.15294/ujph.v3i3.3543.
23. Sholichah Z, Rahmawati. Sebaran infeksi
Leptospira patogenik pada tikus dan cecurut
di daerah pasca banjir Kabupaten Pati dan
endemis Boyolali. BALABA.
2017;13(2):173–82. doi:
10.22435/blb.v13i2.279.
24. Ramadhani T, Widyastuti D, Priyanto D.
Determinasi serovar bakteri Leptospira pada
reservoir di Kabupaten Banyumas. Jurnal
Ekologi Kesehatan. 2015;14(1):8–16.
25. Himsworth CG, Bidulka J, Parsons KL, Feng
AYT, Tang P, Jardine CM, et al. Ecology of
Leptospira interrogans in Norway rats (Rattus
norvegicus) in an inner-city neighborhood of
Vancouver, Canada. PLoS Neglected Tropical Diseases. 2013;7(6): e2270. doi:
10.1371/journal.pntd.0002270.
26. Ristiyanto, Wibawa T, Budiharta S,
Supargiono. Prevalensi tikus terinfeksi
Leptospira interogans di Kota Semarang, Jawa
Tengah. Vektora. 2015;7(2):85–92.
27. Pertiwi SMB, Setiani O, Nurjazuli. Faktor
lingkungan yang berkaitan dengan kejadian
leptospirosis di Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2014;13(2):51–7. doi: 10.14710/jkli.13.2.51 -
57.