BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu tolak ukur kemajuan suatu Bangsa seringkali dilihat dari harapan hidup
penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai Negara bekembang dengan
perkembangannya yang cukup baik, makin tinggi harapan hidupnya di proyeksikan
dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2000 yang akan datang.
Saat ini, disluruh dunia jumlah orang lanjut usia diperkirakan ada 500 juta dengan usia
rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 miliar. Dari data
USA, bahkan Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga Lansia
terbesar diseluruh dunia, diantara tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414% (Kinsella dan
Taeuber, 1993)
Hal ini merupakan gambaran pada seluruh Negara-negara di dunia, berkat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemajuan dalam kondisi sosio, ekonominya
masing-masing.
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik,
psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara
khusus pada lansia. Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah
kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan
bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia,
meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain.
Timbulnya perhatian pada orang-orang usia lanjut dikarenakan adanya sifat-sifat atau
faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kehidupan pada usia lanjut. Sementara itu,
perubahan yang dihadapi lansia pada amumnya adalah pada bidang klinik, kesehatan
jiwa dan problema bidang sosio ekonomi. Oleh karma itu lansia adalah kelompok
dengan resiko tinggi terhadap problema fisik dan mental (Setiawan 1973)
1
Usia lansia bukan hanya dihadapkan pada permasalahan kesehatan jasmaniah saja, tapi
juga permasalahan gangguan mental dalam menghadapi usia senja. Lansia sebagai tahap
akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan kondisi hidup yang tidak
sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang menyebabkan seorang mengalami gangguan
mental seperti depresi (Laksamana 1983)
Untuk itu masalah psikologis lansia hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia
dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Disini penulis mengambil masalah
psikososial pada lansia.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep
lansia di lihat dari aspek psikologis (psikososial) pada lansia.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan penulisan khusus dari makalah ini adalah
Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada lansia dari aspek psikologis.
Untuk mengetahui masalah psikologis yang sering muncul pada lansia
Untuk mengetahui diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi pada aspek
psikososial lansia
Untuk meningkatkan asuhan keperawatan pada lansia khususnya aspek
psikologis (psikososial) lansia
1.3 Manfaat Penulisan
Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca khususnya
bagi tenaga kesehatan dan keluarga klien di harapkan mampu memotivasi untuk
meningkatkan asuhan keperawatan pada lansia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perubahan Lansia Terkait dengan Sistem Psikososial
Lansia adalah singkatan dari lanjut usia. Dalam pergaulan sehari-hari nampaknya tidak
terdapat kesepakatan mengenai batasan umur untuk lansia. Ada orang berpendapat
lansia identik dengan orang pikun, orang tua yang telah memerlukan serba bantuan
untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari, seperti berjalan, mandi, makan, dsb. Ada
orang menganggap lansia adalah orang yang purna tugas atau pension. Sementara itu
bila dilihat dari umur seseorang nampaknya: ada orang berumur 65 tahun sudah tidak
kuat berjalan tegak, perlu banyak bantuan, orang lain lagi 75 tahun masih ingin saja
naik sepeda.
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik,
psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu
cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan
jiwa secara khusus pada lansia
Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas
pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi,
yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis,
psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 1992:6)
Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran jiwa yang mempelajari masalah kesehatan
jiwa pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif
serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia.
Ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu :
1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia
2. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif
3
3. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :
a ). Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain).
b). Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai
sebab, diantaranya setelah menajalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan
lama, setelah kematian pasangan hidup dan lain-lain.
4. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga
membawa lansia kearah kerusakan / kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif
terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis
dan sebagainya.
Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor psikososial yang paling berat,
misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat, terpaksa
berurusan dengan penegak hukum, atau trauma psikis.
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia.
Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat
menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi
para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai
berikut:
a. Penurunan Kondisi Fisik
b. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
c. Perubahan Aspek Psikososial
d. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Fenomena yang biasanya jadi sorotan dan akan diamati, adalah :
A. Postpower syndrome, yaitu gejala kejiwaan akibat seseorang kehilangan kekuasaan,
kewenangan, dan segala yang menjadi tautannya, yang muncul menjadi rasa tidak
menentu, grogy, kecewa, takut, kemudian kerap kali menggejala dalam perilaku
seperti gampang marah, gampang tersinggung, membicarakan kebesarannya dimasa
lalu tanpa kendali, bahkan mungkin main perintah tidak pada tempatnya.
B. Pandangan kebelakang maksudnya kecenderungan para lansia melihat dan menilai
masa lalunya adalah masa / zaman / kondisi paling baik, lebih baik dari sekarang.
C. Wawasan terhadap generasi sesudahnya. Pandangan banyak orang lansia cenderung
menilai masa lalunya lebih baik, maka juga melihat orang sekarang itu “kurang”
4
baik, kurang teguh, kurang hebat dibanding orang zaman lansia hidup muda dahulu.
Latar belakang tentara akan melihat orang zaman sekarang kurang patriotic, lansia
guru cenderung menilai guru sekarang kurang apalah.
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman,
pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia
menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang
berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan
aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa
perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan lima tipe kepribadian lansia sebagai
berikut:
1. Tipe kepribadian konstruktif (construction personality), biasanya tipe ini tidak
banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2. Tipe kepribadian mandiri (independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan
mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan
kegiatan yang, dapat inernberikan otonomi pada dirinya.
3. Tipe kepribadian tergantung (dependent personality), pada tipe ini biasanya sangat
dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka
pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka
pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit
dari kedukaannya.
4. Tipe kepribadian bermusuhan (hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki
lansia tetap merasa tidak puns dengan kchiclupannya, banyak keingimin ywig
kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi
ekonominya meniadi morat-marit.
5. Tipe kepribadian kritik diri (self hate personality), pada lansia tipe ini umumnya
terlihat sengsarv, karena perilakunya sendiri sulit dibantu ormig lain atau cenderung
membuat susah dirinya.
5
2.2 Masalah Yang Sering Muncul
1. Depresi
a. Definisi
Depresi adalah suatu jenis keadaan perasaan atau emosi dengan komponen psikologis
seperti rasa sedih, susah, merasa tidak berguna, gagal, putus asa dan penyesalan atau
berbentuk penarikan diri, kegelisahan atau agitasi (Afda Wahywlingsih dan Sukamto).
b. Penyebab depresi pada lansia:
Penyakit fisik
Penuaan
Kurangnya perhatian dari pihak keluarga
Gangguan pada otak (penyakit cerebrovaskular)
Faktor psikologis, berupa penyimpangan perilaku oleh karena cukup banyak lansia
yang mengalami peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau cukup berat.
Serotonin dan norepinephrine
Zat-zat kimia didalam otak (neurotransmitter) tidak seimbang. Neurotransmitter
sendiri adalah zat kimia yang membantu komunikasi antar sel-sel otak.
c. Factor pencetus depresi pada lansia
Faktor biologic, misalnya faktor genetik, perubahan struktural otak, faktor risiko
vaskular, kelemahan fisik.
Faktor psikologik yaitu tipe kepribadian, relasi interpersonal, peristiwa kehidupan
seperti berduka, kehilangan orang dicintai, kesulitan ekonomi dan perubahan situasi,
stres kronis dan penggunaan obat-obatan tertentu.
d. Gejala depresi pada lansia
Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan yang ada,
proyek, hobi, atau rekreasi tidak rnemberikan kesenangan.
Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti:
6
a. Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat sedang
cenderung untuk makan secara berlebihan, namun berbeda jika. kondisinya telah
parah seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan.
b. Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala)
c. Merasa putus asa dan tidak berarti. Keyakinan bahwa seseorang mempunyai
hidup yang tidak berguna, tidak efektif. orang itu tidak mempunyai rasa percaya
diri. Pemikiran seperti, “saya menyia-nyiakan hidup saya” atau “saya tidak bisa
rncncapai banyak kemajuan”, seringkali terjadi.
d. Berat badan berubah drastic
e. Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor
penentu, sebagian orang mengalami depresi sulit tidur. Tetapi dilain pihak
banyak orang mengalami depresi justru terlalu banyak tidur.
f. Sulit berkonsentrasi. Kapasitas menurun untuk bisa berpikir dengan jernih dan
untuk mernecahkan masalah secara efektif. Orang yang mengalami depresi
merasa kesulitan untuk memfokuskan perhatiannya pada sebuah masalah untuk
jangka waktu tertentu. Keluhan umum yang sering terjadi adalah, “saya tidak
bisa berkonsentrasi”.
g. Keluarnya keringat yang berlebihan
h. Sesak napas
i. Kejang usus atau kolik
j. Muntah
k. Diare
l. Berdebar-debar
m. Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami depresi
mungkin akan mencoba melakukan lebih dari kemampuannya dalam setiap
usaha untuk mengkomunikasikan idenya. Dilain pihak, seseorang lainnya yang
mengalami depresi mungkin akan gampang letih dan lemah.
n. Kurang energi. Orang yang mengalami depresi cenderung untuk mengatakan
atau merasa, “saya selalu merasah lelah” atau “saya capai”.
Secara biologik dipacu dengan perubahan neurotransmitter, penyakit sistemik dan
penyakit degeneratif.
Secara psikologik gejalanya:
7
a. Kehilangan harga diri/ martabat
b. Kehilangan secara fisik prang dan benda yang disayangi
c. Perilaku merusak diri tidak langsung. contohnya: penyalahgunaan alkohol/
narkoba, nikotin, dan obat-obat lainnya, makan berlebihan, terutama kalau
seseorang mempunyai masalah kesehatan seperti misalnya menjadi gemuk,
diabetes, hypoglycemia, atau diabetes, bisa juga diidentifikasi sebagai salah satu
jenis perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung.
d. Mempunyai pemikiran ingin bunuh diri
Gejala social ditandai oleh kesulitan ekonomi seperti tak punya tempat tinggal.
2. Demensia
Demensia adalah gangguan progresif kronik yang dicirikan dengan kerusakan berat pada
proses kognitif dan disfungsi kepribadian serta perilaku (Isaac, 2004).
a. Definisi
Demensia ialah kemunduran fungi mental umum, terutama intelegensi, disebabkan oleh
kerusakan jaringan otak yang tidak dapat kembali lagi (irreversible) (Maramis, 1995).
b. Jenis demensia:
1. Demensia jenis Alzheimer
Patofisiologi:
Otopsi menunjukkan adanya plak amiloid (plak senil atau neuritik) di jaringan otak
atau adanya kekusutan neurofibriler (akumulasi simpul filamen saran pada neuron.
Adanya plak dan kekusutan tersebut berkaitan dengan sel saraf, hilangnya
sambungan antar neuron dan akhimya atrofi serebral.
Genetika:
Adanya gen abnormal saja tidak cukup untuk memprediksi demensia jenis
alzheimer.
8
a) Penyakit alzheimer familial memiliki awitan sangat dini (usia 30-40 th) dan
bertanggung jawab atas 20% dari semua kasus demensia jenis ini. Penyakit ini
berkaitan denga gengen abnormal dikromosom 1, 14 dan 21
b) Adanya apolipoprotein E 4 (apo, E 4) dikromosom 19 terjadi 2 kali lebih banyak
pada penderita demensia jenis alzheimer dibanding populasi umum.
Modal toksin:
Sebagian peneliti meyakini bahwa akumulasi alumunium pada otak akibat pajanan
alat-alat dan produk alumunium dapat menyebabkan demensia jenis alzheimer.
Bukti untuk teori ini masih sedikit.
Abnormalitas neurotransmiter atau reseptor :
Kehilangan asetil kolin (neurotransmiter kolinergik mayor) berkaitan dengan gejala-
gejala gangguan kognitif (demensia). (peningkatan kadar asetin kolin merupakan
dasar untuk terapi obat yang disetujui FDA untuk demensia).
Tahap Perilaku AfekPerubahan Kognitif
Ringan
Sulit menyelesaikan tugas
Penurunan aktivitas yang
mengarah pada tujuan
Kurang memperhatikan
penampilan pribadi dan
aktivitas sehari-hari
Menarik diri dari aktivitas
social yang biasa
Sering mencari benda-benda
Cemas
Depresi
Frustasi
Curiga
Ketakutan
Kehilangan ingatan tentang
peristiwa yang baru saja
terjadi (lupa akan janji
temu dan percakapan)
Disorientasi waktu
Berkurangnya kemampuan
konsentrasi
Sulit mengambil keputusan
Kemampuan penilaian
buruk
9
karena lupa meletakannya;
dapat menuduh orang lain
telah mencurinya
Sedang Perilakunya tidak pantas
secara sosial
Kurang perawatan diri
(misal mandi, toileting,
berpakaian, berdandan)
Berkeluyuran atau mondar-
mandir
Senang menimbun barang-
barang
Hiperoralitas
Mengalami
gangguan siklus tidur-
bangun
Mood labil Datar
Apatis
Agitasi
Katas tropi
Paranoia
Kehilangan ingatan tentang
hal-hal yang baru atau lama
(amnesia)
Konfabulasi
Disprientasi waktu, tempat
dan orang
Sedikit agnosia, apraksia
dan afasia
Berat Penurunan kemampuan
ambulasi dan aktivitas
motorik lainnya
Penurunan kemampuan
menelan
Sama sekali tidak bisa
mengurus diri (misalnya
Datar, apatis
Reaksi
Katastropik
occasional dapat
berlanjut
Semua perubahan kognitif
berlanjut sejalan dengan
meningkatnya amnesia,
agnosia, aprasia dan afasia
10
membutuhkan perawatan
yang konstan)
Tidak mengenali
lagi keberadaan pemberi
asuhan
2. Demensia vaskular (multi-infark) ditandai dengan gejala-gejala demensia pada tahun
pertama terjadinya gejala neurologik fokal. Klien diketahui mengalami faktor resiko
penyakit vaskuler (misalnya hipertensi, fibrilasi atrium, diabetes).
3. Jenis demensia yang lain berkaitan dengan kondisi medis umum, seperti penyakit
parkinson, penyakit pick, koreahuntingtown dan penyakit Creutzfeldt-jakob.
Demensia yang disebabkan kondisi-kondisi tersebut dicatat sesuai penyakitnya yang
spesifik.
c. Gejala demensia:
Afasia: kehilangan kemampuan berbahasa; kemampuan berbicara memburuk dan
klien sulit “menemukan” kata-kata.
Apraksia: rusaknya kemampuan melakukan aktivitas motorik sekalipun fungsi
sensoriknya tidak mengalami kerusakan.
Agnosia: kegagalan mengenali atau mengidentifikasi objek atau benda urnurn
walaupun fungsi sensoriknya tidak mengalami kerusakan.
Konfabulasi: mengisi celah-celah ingatannya dengan fantasi yang diyakini oleh
individu yang terkena.
Sundown sindrom: memburuknya disorientasi di malam hari.
Reaksi katastrofik: respon takut atau panik dengan potensi kuat inenyakiti diri
sendiri atau orang lain.
Perseveration phenomenon: perilaku berulang, meliputi mengulangi kata-kata orang
lain.
Hiperoralitas: kebutuhan untuk mencicipi dan mengunyah benda-benda yang cukup
kecil untuk dimasukkan ke mulut.
11
Kehilangan memori: awalnya hanya kehilangan memori tentang hal-hal yang baru
terjadi, dan akhirnya gangguan ingatan masa lalu.
Disorientasi waktu, tempat dan orang.
Berkurangnya kemampuan berkonsentrasi atau mempelajari materi baru.
Sulit mengambil keputusan
Penilaian buruk: individu ini mungkin tidak mempunyai kewaspadaan lingkungan
tentang keamanan dan keselamatan.
d. Epidemiologi demensia:
Dimensia jenis a1zheimer menyebabkan 50%-75% kasus demensia yang didiagnosis.
Demensia jenis ini merupakan penyebab, kematian tertinggi keempat pada individu
berusia lebih dari 65 tahun. Insidensinya sebagai berikut:
65-75 tahun 5%-8%
75-85 tahun 15%-20%
85 tahun atau lebih 25%-55%
e. Etiologi demensia:
Faktor-faktor yang berkaitan dengan demensia adalah:
Kondisi akut yang tidak diobati atau tidak dapat disembuhkan. Bila kondisi akut
yang menyebabkan delirium tidak atau tidak dapat diobati, terdapat kemungkinan
bahwa kondisi ini akan menjadi kronik dan karenanya dapat dianggap sebagai
demensia.
Penyakit vaskuler, seperti hipertensi, arteriosklerosis, dan aterosklerosis dapat
menyebabkan stroke.
Penyakit parkinson: demensia menyerang 40% dari pasien-pasien ini.
Gangguan genetika: koreahuntington atau penyakit pick.
Penyakit prior (protein yang terdapat dalam proses infeksi penyakit Creutzfeldt-
jakob).
lnfeksi Human Imunodefisiensi Virus (HIV) dapat menyerang Sistem saraf pusat
(SSP), menyebabkan ensefalopati HIV atau kompleks demensia AIDS.
12
Gangguan struktur jaringan otak, seperti tekanan normal, hidrocephalus dan cidera
akibat trauma kepala.
13
2.3 Penanganan Secara Umum
1. Diagnosis
Diagnosis medis gangguan kognitif ditetapkan dengan melakukan skrining yang cermat
untuk mengesampingkan penyebab lain gejala-gejala tersebut. Skrining-skrining
tersebut meliputi:
a. Pemeriksaan status kesehatan jiwa dan pemeriksaan neuropsikologik.
b. Pemeriksaan darah komprehensif, meliputi HDL, (Hitung Darah Lengkap), kimia
darah, vitamin B12, dan kadar folat, tiroid dan tes fungsi hati serta ginjal.
c. Studi pencitraan otak, meliputi Computed Tomography (CT), Positron Emission
Tomography (PET) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
d. Gangguan depresi pada klien lansia dapat dimanifestasikan dengan gejala-gejala
yang serupa dengan gejala gangguan kognitif’. Oleh karena itu, gangguan depresi
harus dikesampingkan.
2. Depresi
Depresi yang merupakan masalah mental paling banyak ditemui pada lansia
membutuhkan penatalaksanaan holistik dan seimbang pada aspek fisik, mental dan
sosial. Di samping itu, depresi pada lansia harus diwaspadai dan dideteksi sedini
mungkin karena dapat mempengaruhi perjalanan penyakit fisik dan kualitas hidup pasien.
Deteksi dini perlu dilakukan untuk mewaspadai depresi, terutama pada lansia dengan
penyakit degeneratif, lansia yang menjalani perawatan lama di rumah sakit, lansia dengan
keluhan somatik kronis, lansia dengan imobilisasi berkepanjangan serta lansia dengan
isolasi sosial.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam terapi depresi pada lansia
Perubahan faal oleh proses menua
Status medik atau komorbiditas penyakit fisik
Status lingkungan sosial
Interaksi antar obat
14
Efektivitas dan efek camping obat
Dukungan social
Penatalaksanaan depresi pada lansia:
a. Terapi biologik:
Pemberian obat antidepresan
Terdapat beberapa pilihan obat anti depresi yaitu jenis Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRIs): Prozac (fluoxetine); Zoloft (setraine), Cipram
(citalopram) dan Paxil (paroxetine). Jenis NASSA: Remeron (mirtazapine). Jenis
Tricylic antidepresan: Tofranil (imipramine) dan Norpramin (desipramine).
Reversible Inhibitor Mono Amine Oxidase (RIMA) Inhibitors: Aurorix. Stablon.
(Tianeptine).
Terapi kejang listrik (ECT), shock theraphy
Penggunaan Electroconvulsive Therapy (ECT) dengan cara shock therapy untuk
pasien yang tidak memberi respon positif terhadap, obat antidepresan dan
psikoterapi. ECT bekerja untuk menyeimbangkan unsur kimia pada otak, dirasa.
cukup aman dan efektif serta dapat diulang 3 kali seminggu sampai pasien
menunjukan perbaikan. Efek samping ECT adalah kehilangan kesadaran
sementara.pada pasien namun cukup efektif untuk mengurangi resiko bunuh diri
pada pasien tertentu.
Terapi sulih hormone
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)
b. Terapi psikososial (psikoterapi) bertujuan mengatasi masalah psikoedukatif, yaitu
mengatasi kepribadian maladaptif, distorsi pola berpikir, mekanisme koping yang
tidak efektif, hambatan relasi interpersonal. Terapi ini juga dilakukan untuk
mengatasi masalah sosiokultural, seperti keterbatasan dukungan dari keluarga,
kendala terkait faktor kultural, perubahan peran sosial.
15
Psikoterapi yang dapat ditempuh dengan sesi pembicaraan dengan psikiater dan
psikolog dapat membantu pasien melihat bahwa perasaan yang dialaminya juga
dapat terjadi pada orang lain namun karena menderita depresi ia mengalami kondisi
yang berlebihan atas perasaannya sendiri.
Seluruh instrunien yang terdapat pada diri perawat merupakan alat praktek yang
memiliki efek terapi apabila digunakan secara tepat.
Mata dengan pandangan yang penuh perhatian, mimik muka dan ekspresi wajah
simpati, sikap yang tepat merupakan alat perawat untuk membantu klien untuk
mengembalikan rasa percaya diri serta perasaan diperhatikan dan dihargai sebagai
manusia yang bermartabat. Penerimaan yang tulus dari perawat tanpa ada sentimen
apapun berdasarkan latar belakang merupakan kepuasan tersendiri yang akan
diterima oleh klien jika mendapatkan pelayanan dari perawat.
Dengan telinga perawat bisa mendengarkan segala keluh kesah pada klien yang
mengalami depresi. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa depresi timbul akibat
adanya dorongan negatif dari super-ego yang diresepsi dan lambat laun akan
tertimbun dialam bawah sadar. Sehingga depresi adalah sebentuk penderitaan
emosional. Kekecewaan ataupun ketidakpuasan secara emosional yang direpresi
tidak secara otomatis akan hilang, melainkan sewaktu-waktu akan muncul (return of
the repressed).
Tugas perawat adalah mernbantu klien memahami realitas apa yang sesungguhnya
dialami, sehingga klien bisa keluar dari kondisi yang membuatnya depresi. Bercerita,
berkeluh kesah, mendesah, mengadu, curhat, ataupun menangis bahkan berontak
adalah merupakan cara alamiah untuk mengernbalikan keseimbangan dan kestabilan
emosional klien serta akan melepaskan energi-energi negatif yang menggantung dan
menyesakkan jiwanya. Jika klien meminta saran dan tanggapan, maka berikanlah
saran dan tanggapan dengan selogis dan serealistis mungkin, jawaban tidak harus
kepastian, tapi usahakan klien diajak berpikir untuk, menemukan solusi yang paling
tepat. Klien perlu dirangsang untuk berpikir secara positif dan realisitis dalam
menghadapi situasi sulit.
16
c. Perubahan gaya hidup
Aktivitas fisik terutama olah-raga. Pasien dibiasakan berjalan kaki setup pagi atau
sore sehingga energi dapat ditingkatkan serta mengurangi stress karena kadar
norepinefrin meningkat. Selain itu, pasien juga dapat diperkenalkan pada kebiasaan
meditasi serta yoga untuk menenangkan pikirannya.
d. Diet sehat untuk mengurangi asupan gizi yang menambah kadar stress juga perlu
dilakukan. Memperhatikan jenis makanan yang akan disajikan kepada lanjut usia
yang mengalami depresi. Depresi berhubungan dengan tingkat kesadaran yang
rendah. Kesadaran mengacu pada proses psikologis yang meliputi hal-hal seperti
misalnya kemampuan untuk memusatkan perhatian seseorang dan kemampuan
untuk bekerja secara efektif. Makanan berat secara otomatis akan memicu tindakan
bagian syaraf parasimpatik yakni cabang dari sistem syaraf otonom yang
menurunkan kesadaran.
3. Demensia
Pengobatan diarahkan pada tujuan jangka panjang yaitu mempertahankan kualitas hidup
penderita gangguan degeneratif dan progresif ini.
Pendekatan tim multidisipliner meliputi upaya kolaboratif dari profesional
keperawatan, kedokteran, nutrisi, psikiatri, psikologi, pekerjaam sosial, farmasi, dan
rehabilitasi (misalnya ahli terapi okupasi, fisik, dan aktivitas).
Fokus keluarga. Statistik menunjukan bahwa 7 dari 10 orang dengan dernensia jenis
alzheimer tinggal di rumah dan 75% diantara mereka diurus oleh keluarga dan
teman-teman. Jadi, fokus keluarga pada pengobatan dan penatalaksanaan merupakan
hal yang sangat penting.
Penatalaksanaan berfokus komunitas
1. Kunjungan rumah dilakukan oleh perawat komunitas.
2. Adult day care service memberikan layanan aktivitas terapetik, layanan
rehabilitas, rekreasi, dan respite service bagi pemberi asuhan keluarga.
3. Fasilitas perawatan residensial (perawatan pribadi) memberikan bantuan bagi
klien.
17
4. Skilled nursing facilities. 50% dari klien rumah perawatan adalah penderita
demensia jenis alzheimer.
5. Alzheimer asosiation menyediakan kelompok pendukung, penyuluhan
masyarakat dan keluarga, pengumpulan dana dan aktivitas melobi untuk
penelitian dan tindakan legislatif.
Intervensi farmakologik
Tujuan intervensi farmakologik adalah memperlambat laju penurunan kondisi klien
dengan obat yang meningkatkan kadar asetilkolin dan membantu mempertahankan
fungsi neuronal serta menatalaksanakan perilaku dan gejala yang menimbulkan
stress.
Terapi eksperimen.
Gangguan amnestik.
Pengobatannya sama dengan delirium bila gangguan amnestik tersebut merupakan
masalah yang akut dan sama dengan demensia bila gangguannya bersifat kronis.
18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Fokus Pengkajian
1. Riwayat
Kaji ulang riwayat klien dan pemeriksaan fisik untuk adanya tanda dan gejala
karakteristik yang berkaitan dengan gangguan tertentu yang didiagnosis.
2. Kaji adanya demensia. Dengan alat-alat yang sudah distandardisasi, meliputi
Mini Mental Status Exam (MMSE)
Short portable mental status quetionnaire
3. Singkirkan kemungkinan adanya depresi dengan scrining yang tepat, seperti geriatric
depresion scale.
4. Ajukan pertanyaan-pertanyaan pengkajian keperawatan kepada klien dan keluarga
5. Wawancarai klien, pemberi asuhan atau keluarga. Lakukan observasi langsung terhadap :
Perilaku. Bagaimana kemampuan klien mengurus diri sendiri dan melakukan
aktivitas hidup sehari-hari? Apakah klien menunjukkan perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial? Apakah klien sering mengluyur dan mondar¬mandir?
Apakah ia menunjukkan sundown sindrom atau perseveration phenomena?
Afek. Apakah kilen menunjukkan ansietas? Labilitas emosi? Depresi atau apatis?
lritabilitas? Curiga? Tidak berdaya? Frustasi?
Respon kognitif. Bagaimana tingakat orientasi klien? Apakah klien mengalami
kehilangan ingatan tentang hal¬hal yang baru saja atau yang sudah lama terjadi?
Sulit mengatasi masalah, mengorganisasikan atau mengabstrakan? Kurang mampu
membuat penilaian? Terbukti mengalami afasia, agnosia, atau, apraksia?
6. Luangkan waktu bersama pemberi asuhan atau keluarga
19
Identifikasi pemberian asuhan primer dan tentukan berapa lama ia sudah menjadi
pemberi asuhan dikeluarga tersebut. (demensia jenis alzheimer tahap akhir dapat
sangat menyulitkan karena sumber daya keluarga mungkin sudah habis).
ldentifikasi sistem pendukung yang ada bagi pemberi asuhan dan anggota keluarga
yang lain.
Identifikasi pengetahuan dasar tentang perawatan klien dan sumber daya komunitas
(catat hal-hal yang perlu diajarkan).
Identifikasi sistem pendukung spiritual bagi keluarga.
Identilikasi kekhawatiran tertentu tentang klien dan kekhawatiran pemberi asuhan
tentang dirinya sendiri.
B. Diagnosa Keperawatan
1. DEPRESI
Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan konsep diri, depresi, ansietas berat.
Gangguan pola tidur b.d ansietas
Resiko membahayakan diri b.d perasaan tidak berharga dan putus asa.
2. DEMENSIA
Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi
neuron ireversible .
Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis daan kognitif.
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi
dan atau integrasi sensori ( defisit neurologist)
Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting berhubungan dengan
ketergantungan fisiologis dan atau psikologis.
Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan
pengaruh penyimpangan jangka panjang dari proses penyakit
20
C. Intervensi
1. DEPRESI
Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan konsep diri, depresi, ansietas berat.
Intervensi
1) Bicara secara langsung dengan klien; hargai individu dan ruang pribadinya jika
tepat
2) Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan
3) Susun sasaran aktivitas progresif dengan klien
4) Bantu klien memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini
Gangguan pola tidur b.d ansietas
Intervensi
1) Identifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola yang biasanya
2) Anjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum tidur
3) Kurangi asupan kafein pada sore dan malam hari
4) Anjurkan klien untuk menciptakan lingkungan yang tenang untuk memfasilitasi
agar pasien dapat tidur.
Resiko membahayakan diri b.d perasaan tidak berharga dan putus asa.
Intervensi
1) Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
2) Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
3) Mendiskusikan koping positif yang pernah dimiliki klien dalam menyelesaikan
masalah
2. DIMENSIA
21
Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi
neuron ireversible
Intervensi
1) Kaji derajat gangguan derajat kognitif, orientasi orang, tempat dan waktu
2) Anjurkan untuk mempertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang
Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis dan kognitif
Intervensi
1) Anjurkan klien untuk pertahankan tindakan kewaspadaan
2) Hadir dekat pasien selama prosedur atau pengobatan yang dilakukan
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi
dan atau integrasi sensori ( defisit neurologis )
Intervensi
1) Kaji derajat sensori/ gangguan persepsi pada klien
2) Bantu klien mempertahankan hubungan orientasi realita dan lingkungan
Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting berhubungan dengan
ketergantungan fisiologis dan atau psikologis
Intervensi
1) Identifikasi kesulitan dalam berpakaian/ perawatan diri
2) Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan bantuan sesuai
kebutuhan
Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan
pengaruh penyimpngan jangka panjang dari proses penyakit
Intervensi
1) Berikan dukungan emosional
22
2) Rujuk klien ke kelompok pendukung
23
D. Evaluasi
DEPRESI
1) Klien mampu berpartisipasi dalam menentukan perawatan diri klien
2) Klien mampu melakukan kegiatan positif dalam menyelesaikan masalah
3) Klien mampu mengungkapkan penyebab gangguan tidur
4) Klien mampu menetapkan cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tidur
5) Klien mampu mengungkapkan ide bunuh diri
6) Klien mampu mendukung koping positif yang masih di miliki oleh klien
7) Keluarga dan klien dapat mengenali cara – cara untuk mencegah bunuh diri
8) Keluarga mampu mendemonstrasikan cara menyelesaikan masalah yang
konstruktif.
DIMENSIA
1) Klien mampu membantu masalah-masalah klien terkait dengan penyakitnya
(demensia)
2) Klien mampu mengulang pengertian demensia dan cara merawat lansia demensia
3) Klien mampu mendukung koping positif yang masih di miliki oleh klien
24
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Usia lanjut bukan hanya diprhadapakn pada permasalahan jasmaniah / fisik saja
tetapi juga permasalahan gangguan mental / psikologis. Memahami psikologis lanjut
usia; lansia tak semudah kita mengerti akan psikologis anak-anak, walapun banyak
yang berpendapat bahwa ketika seseorang sudah memasuki usia lanjut maka,
kejiwaan nya akan berubah kembali seperti anak-anak. Pada lansia berkurang
kemampuan menyembunyikan apa yang dirasa, namun sekaligus ingin
memberitahukan kepada setiap orang apa yang sesungguhnya dirasa. Lansia itu labil,
dapat dengan mudah dan cepat sekali dari senang ke sedih, suka ke tidak suka atau
sebaliknya. Tanpa ada kesadaran telah berubah dan sedikit keinginan sadar; sengaja
untuk merubah. Semua tampak diluar kendali dirinya dalam artian lebih banyak
dikendalikan oleh situasi. Situasi yang juga sering tak terpahami adalah situasi yang
terstimulasi oleh “teman” imajiner nya atau barangkali “tokoh-tokoh” yang
tersimpan dalam alam bawah sadarnya, hingga bisa manafikkan segala yang nyata
dihadapannya.
4.2 Saran
Peran perawat sangat diperlukan untuk mempertahankan derajat kesehatan pada
lansia dalam taraf setinggi-tingginya, sehingga terhindar dari penyakit atau
gangguan kesehatan seperti gangguan psikologis lansia. Dengan demikian, lansia
masih dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Oleh karena itu perkembangan
ilmu dan praktik dalam pembelajaran sangat penting untuk memenuhi kualitas
sumber daya yang dibutuhkan
25
DAFTAR PUSTAKA
Patricia, dkk. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta : EGC
Watson. R. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta : EGC
Nugroho, dkk. 2000. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta : EGC
www.scibd.com/askep-klien-dengan-depresi.html
www.scibd.com/askep-klien-dengan-demensia.html
http://deasbatamisland.blogspot.com/2007/11/askep-lansia-dengan-gangguan.html
26
Recommended