Aspek Imunologis Tata Laksana Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP)
pada Anak
Rulifa Syahroel
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, RS. Permata Hati Batam
KOLOM
- Edisi Februari 2011 (Vol.10 No.7)
ABSTRAK
Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) yang merupakan kelainan perdarahan
bersifat didapat dan sering ditemukan pada anak biasanya bersifat benign, self
limited dan mempunyai prognosis baik. Secara klinis sulit untuk membedakan antara
bentuk ITP akut ataupun kronis. Metode paling objektif dalam pembagian ITP adalah
berdasarkan pada lama perjalanan penyakit. Pada anak, ITP akut lebih sering ditemukan
dua kali lebih besar dibandingkan ITP kronis, yang banyak terdapat pada orang dewasa.
Oleh karena pengobatan ITP lebih ditujukan untuk mencegah penghancuran trombosit,
maka perlu dipahami tentang mekanisme penghancuran sebagai rancangan pengobatan
yang rasional. Karena rendahnya angka kematian pada ITP akut, maka pemberian
pengobatan masih menjadi perdebatan. Sedangkan pada ITP kronis, pemberian
pengobatan hanya dimaksudkan untuk mengurangi risiko perdarahan serius. Sekitar 10-
20% pasien ITP kronis anak dapat menjadi refrakter dengan angka kematian yang
mencapai 5,1%. Tidak semua pasien ITP anak memerlukan perawatan rumah sakit.
Transfusi komponen trombosit hanya diindikasikan untuk kasus-kasus perdarahan yang
mengancam kehidupan.
Keywords : ITP akut, ITP kronis, mekanisme penghancuran, modalitas pengobatan
Pendahuluan
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) merupakan kelainan perdarahan yang
bersifat didapat yang paling sering ditemukan pada anak. Kelainan ini disebut juga
sebagai autoimmune thrombocytopenic purpura, Werlhof's disease atau purpura
hemoragika. Pada anak, ITP bersifat benign, self limited dengan prognosis baik.
Manifestasi klinis ITP seringkali mengkhawatirkan dengan perdarahan kulit dan mukosa
yang luas. Diperkirakan insidensi tahunan kelainan ini berkisar antara 40-80/1.000.000
anak, sedikit lebih tinggi dibandingkan insidensi leukemia akut dan lebih sering
mengenai orang kulit putih.
Pada dasarnya kelainan pada ITP ditandai dengan penghancuran trombosit secara
berlebihan yang disebabkan oleh adanya autoantibodi antitrombosit, dengan akibat
terjadinya fagositosis trombosit olehreticuloendothelial system (RES). Ada dua
bentuk onset ITP, yaitu bentuk akut dan kronis, dimana keduanya sulit dibedakan secara
klinis.
Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang semua aspek ITP pada anak, dengan harapan
kita dapat lebih mengenal dan memahami tata laksananya secara tepat dan rasional.
Definisi
Secara umum ITP merupakan sekumpulan gejala yang ditandai dengan (1)
trombositopenia (jumlah trombosit <100.00/mm3) yang dapat bersifat akut ataupun
kronis, (2) adanya antibodi antitrombosit yang menyebabkan penghancuran dan
memendeknya umur trombosit, (3) peningkatan jumlah megakariosit dalam sumsum
tulang, (4) manifestasi klinis berupa purpura yang dapat meluas tergantung dari derajat
trombositopenia tanpa ada penyebab trombositopenia lain yang diketahui.
Metode yang paling objektif dalam pembagian ITP adalah lebih berdasarkan pada lama
perjalanan penyakit dari pada sifat gambaran klinisnya. Bentuk akut ditandai dengan
jumlah trombosit yang kembali normal (>150.000/mm3) dalam 6 bulan setelah onset,
episode tunggal dengan kekambuhan yang lama (largely biphasic). Bentuk kronis
ditandai dengan jumlah trombosit yang tetap rendah setelah 6 bulanonset dengan episode
terus menerus dan kekambuhan yang sering (multiphasic). Pada anal-anak lebih sering
ditemukan bentuk akut (2 kali lipat), sedangkan bentuk kronis banyak terdapat pada
orang dewasa.
Gambaran Klinis
1. ITP Akut
Bentuk ITP ini bersifat self limited, paling sering terjadi pada anak dan kebanyakan
didahului oleh infeksi virus 2-3 minggu sebelumnya yang sebagian besar berupa infeksi
saluran nafas atas non spesifik dan hanya 20% yang merupakan infeksi spesifik seperti
rubela, rubeola ataupun varisela. Angka kesembuhan sempurna penyakit ini mencapai
90% dimana dengan perawatan yang baik, 65-70% pasien akan sembuh dalam waktu 4-6
minggu.
Puncak insidensi terjadi pada usia 2-7 tahun dengan kelainan yang munculnya mendadak
seperti ptekie, ekimosis dan perdarahan membran mukosa (epistaksis, perdarahan gusi,
bahkan sampai menjadigross hematuria ataupun perdarahan saluran cerna). Perdarahan
intrakranial jarang terjadi, hanya sekitar 2-4% dengan angka kematian yang mencapai
<1%. Mungkin terdapat limfadenopati dan splenomegali yang menandakan ada infeksi
virus sebelumnya.
Pemeriksaan laboratorium memperlihatkan adanya trombositopenia berat
(<30.000/mm3) dimana terlihat trombosit muda yang berukuran besar dalam jumlah
sedikit pada darah tepi. Anemia dapat terjadi (sekunder karena kehilangan darah) serta
peningkatan relatif jumlah limfosit dan monosit (mencerminkan infeksi virus yang baru
terjadi).
Pemeriksaan fungsi sumsum tulang (BMP) masih diperdebatkan untuk dilakukan, tetapi
hampir kebanyakan ahli penyakit anak menganjurkan (penting untuk menyingkirkan
leukemia akut). Pemeriksaan BMP wajib dilakukan pada pasien-pasien dengan
gambaran klinis yang meragukan, seperti trombositopenia yang berkepanjangan (>6
bulan), anemia yang tidak sesuai dengan beratnya perdarahan, adanya
hepatosplenomegali dan limfadenopati, kekakuan/nyeri sendi ataupun kelainan yang
tidak memberikan respon terhadap pengobatan.
Penanganan pasien ITP akut bersifat individualistik, dimana sebagian besar pasien harus
dilindungi dari trauma kepala terutama selama fase trombositopenia berat. Tergantung
dari usia, derajat aktivitas dan pengertian orang tua untuk pengawasan ketat, beberapa
pasien (anak kecil dan anak hiperaktif) bahkan harus dirawat di rumah sakit dengan
tempat tidur lembut. Untuk anak yang lebih besar, cukup dengan pengawasan longgar
dan nasehat.
2. ITP Kronis
Bentuk ITP ini sering ditemukan pada anak besar dan orang dewasa, lebih banyak
mengenai perempuan dengan insidensi tahunan berkisar 1/250.000 anak termasuk 10-
20% dari anak dengan ITP akut. Onset perdarahan biasanya insidious dan tersembunyi
dengan adanya perdarahan kulit dan mukosa yang lebih ringan. Biasanya tidak ada
penyakit yang mendahului. Perdarahan intrakranial lebih jarang terjadi dibandingkan
pada bentuk ITP akut. Menoragia merupakan keluhan yang paling sering ditemukan
pada anak perempuan yang telah mengalami menstruasi.
Ada faktor-faktor risiko yang dikaitkan dengan progresivitas menjadi ITP kronis yaitu
riwayat purpura lebih dari 2-4 minggu sebelum diagnosis ditegakkan, jenis kelamin
perempuan, usia >10 tahun dan jumlah trombosit yang tidak begitu rendah (30.000-
80.000/mm3). Seringkali ada riwayat keluarga berupa penyakit SLE,
tiroiditis Hashimoto, reumatoid artritis ataupun penyakit autoimun lainnya. Pemeriksaan
serologis lengkap sangat diperlukan untuk menyingkirkan kelainan diatas.
Tidak sama dengan orang dewasa, 60-75% pasien anak dengan ITP kronis dapat
mengalami remisi spontan sampai waktu 3½ tahun. Sebagaimana halnya ITP akut,
penanganan ITP kronis juga bersifat individualistik, tergantung dari jumlah trombosit
dan derajat perdarahannya.
Patogenesis
Sejak semua pengobatan ITP lebih ditujukan untuk mencegah penghancuran trombosit,
maka sangat perlu dipahami tentang mekanisme penghancuran tersebut sebagai
rancangan perencanaan pengobatan yang rasional. Melalui pemeriksaan mikroskop
elektron, trombosit yang telah dilabel denganCr-51 dapat memiliki masa hidup antara 7-
10 hari.
Karena adanya peningkatan jumlah autoantibodi (IgG) berupa sekelompok glikoprotein
(GP II/IIIA, GP V, GP IB/IX) yang terikat pada permukaan trombosit, maka akan terjadi
pemendekan masa hidup trombosit menjadi 2-9 hari serta penghancurannya secara
berlebihan oleh RES. Ada beberapa mekanisme terjadinya trombositopenia pada ITP,
yaitu:
1. Fagositosis oleh makrofag
Telah diketahui bahwasa pada ITP, trombosit yang telah diselubungi oleh antibodi akan
dihancurkan oleh RES. Bagian Fc dari antibodi yang ada pada permukaan trombosit
akan berikatan dengan reseptorFc pada makrofag, sehingga akan memicu terjadinya
fagositosis.
Ada tiga faktor yang menentukan beratnya proses penghancuran, yaitu jumlah antibodi
yang menyelubungi trombosit, aktivitas reseptor Fc makrofag dan lingkungan mikro
yang memfasilitasi interaksi tersebut, dalam hal ini limpa merupakan tempat yang
optimal (optimum milieu).
2. Lisis trombosit
Komplemen ataupun antibodi monoklonal (IgM) secara invitro dapat berperan dalam
terjadinya lisis trombosit. Horstman, dkk memperlihatkan bahwa adanya antibodi
bersama komplemen yang terdapat dalam serum pasien ITP dapat menyebabkan
terjadinya fragmentasi dan lisis trombosit serta menghasilkan procoagulant platelet
microparticel (PMP).
Wentworth, dkk menyatakan bahwa semua antibodi menghasilkan hidrogen peroksida
(H2O2) yang menyebabkan terjadinya kerusakan dan fragmentasi sel tanpa bantuan
komplemen. Nardi, dkk juga memperlihatkan bahwa pada pasien ITP akan dihasilkan
H2O2 yang memicu kerusakan serta fragmentasi trombosit, pelepasan PMP dan
menyebabkan trombositopenia.
3. Sindrom tumpang tindih ITP/TTP (overlapping syndrome ITP/TTP)
Telah didokumentasikan bahwa pada beberapa pasien ITP dapat mengalami TTP
(thrombotic thrombocytopenic purpura) atau pasien TTP relaps menjadi ITP. Sindrom
ini belum begitu dikenal tetapi seringkali ditemukan pada pasien dengan HIV. Ketika
bermanifestasi sebagai ITP, kelainan ini memberikan respon yang baik terhadap steroid
sebagaimana ITP biasa, tetapi saat bermanifestasi sebagai TTP, steroid menjadi tidak
efektif, sehingga diperlukan transfusi tukar ataupun infus plasma.
Tidaklah jelas apakah sindrom ini merupakan suatu kelainan tersendiri ataupun suatu
bentuk transformasi dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Ada satu kemungkinan bahwa
antibodi disini akan bereaksi silang dengan trombosit atau sel endotel, dimana trauma
endotel ini terjadi saat adanya konsentrasi antibodi yang tinggi. Dengan hipotesis ini,
konsentrasi antibodi dapat menentukan perjalanan penyakit ITP/TTP dan interkonversi
diantaranya.
Pengobatan
Sebagian besar pengobatan ITP yang ada saat ini ditujukan pada penghambatan atau
gangguan reseptor Fc pada makrofag (steroid, gamaglobulin atau antibodi anti-Rh),
penekanan produksi antibodi oleh sel B (kemoterapi) dan menghilangkan lingkungan
optimum (splenektomi). Pada ITP akut anak, masih menjadi perdebatan serius untuk
memberikan pengobatan, hal ini dikaitkan dengan rendahnya angka kematian (<1%)
yang sebagian besar hanya disebabkan oleh perdarahan intrakranial dan saluran cerna
hebat. Banyak ahli mengatakan bahwa risiko perdarahan intrakranial merupakan alasan
utama untuk pemberian pengobatan.
Pada beberapa studi retrospektif terlihat bahwa sebagian besar kejadian perdarahan
intrakranial timbul jika jumlah trombosit <20.000/mm3 dan ini terjadi dalam minggu-
minggu pertama onset. Ketika periode trombositopenia ini membaik, maka risiko
perdarahan akan berkurang. Trauma kepala masih dianggap sebagai faktor pencetus.
Pada beberapa studi retrospektif terlihat bahwa sebagian besar kejadian perdarahan
intrakranial timbul jika jumlah trombosit <20.000/mm3 dan ini terjadi dalam minggu-
minggu pertama onset. Ketika periode trombositopenia ini membaik, maka akan
berkurang risiko perdarahannya. Trauma kepala masih dianggap sebagai faktor pencetus.
Tujuan pengobatan pada pasien ITP kronis adalah untuk mengurangi risiko perdarahan
serius dibandingkan untuk mencapai jumlah trombosit normal. Pengobatan ini juga
bersifat individualistik, tergantung dari jumlah trombosit, beratnya perdarahan,
usia/aktivitas anak, serta lamanya trombositopenia. Tidak semua pasien ITP harus
dirawat di rumah sakit, tetapi untuk kasus-kasus dengan perdarahan hebat yang
mengancam kehidupan, adanya trombositopenia berat <20.000/mm3, pasien dengan
tingkat kepatuhan rendah/anak hiperaktif serta jauhnya jangkauan tempat pengobatan
merupakan indikasi perawatan.
ITP Akut
Kortikosteroid
Kortikosteroid telah lama dipakai selama beberapa dekade dalam pengobatan ITP akut
maupun kronis. Resolusi manifestasi klinis seringkali didahului oleh kenaikan jumlah
trombosit. Perbaikan ini sebagian disebabkan oleh peningkatan stabilitas vaskuler dan
hilangnya kelainan endotel. Cara kerja lain dari steroid adalah dengan menurunkan
produksi antibodi antitrombosit serta clearance trombosit yang telah teropsonisasi.
Buchanan dan Holtkamp dalam penelitiannya dengan menggunakan prednison 2
mg/kgBB/hari dan plasebo, tidak menemukan perbedaan bermakna diantara keduanya.
Sebaliknya Sartorius melihat adanya peningkatan bermakna terhadap jumlah trombosit
pada anak yang mendapatkan steroid dibandingkan dengan tanpa pengobatan. Juga
dikatakan bahwa dengan pemberian prednisolon oral jangka pendek 4 mg/kgBB/hari
selama 4 hari tanpa tappering off dapat memberikan hasil yang memuaskan. Pemberian
metilprednisolon IV 30 mg/kgBB/hari selama 3 hari juga efektif dalam meningkatkan
jumlah trombosit sampai tingkat yang aman.
Pemberian steroid yang lama tidak bermanfaat karena dapat menekan produksi trombosit
dan menimbulkan trombositopenia lagi. Oleh karena itu para peneliti berkesimpulan
bahwa kortikosteroid adalah aman, murah dan efektif dalam mengobati ITP pada anak.
Imunoglobulin G Intravena (IGIV)
Pada pasien yang memberikan respon lambat terhadap steroid adalah lebih baik jika
diberikan IGIV, yang ditandai dengan kenaikan jumlah trombosit >30.000/mm3 setelah
10 hari pengobatan. Blanchette, dkk dalam penelitiannya telah membandingkan
pemberian IGIV 1g/kgBB/hari selama 2 hari atau 0,8 g/kgBB/hari dengan anti-Rh (D)
25 ug/kgBB/hari selama 2 hari atau prednison 4 mg/kgBB/hari selama 7 hari
dengan tappering off. Mereka mendapatkan kenaikan jumlah trombosit yang bermakna
pada pemberian IGIV dan anti-Rh dibandingkan pemberian cara lainnya.
Telah diyakini bahwa IGIV bekerja dengan cara menghambat reseptor Fc pada sel RES
dan mencegah penghancuran trombosit. Tetapi bagaimanapun juga, dosis optimum dan
lama pengobatan dengan IGIV masih menjadi masalah yang kontroversial.
Anti-Rh (D)
Mekanisme kerja obat ini hampir sama dengan IVIG. Samla, dkk memberikan hipotesis
bahwa anti-Rh menghambat reseptor Fc pada sel RES. Pemberian anti-Rh IV ataupun
IM merupakan alternatif yang lebih murah dibandingkan IGIV pada pasien dengan Rh
(+) yang tidak dilakukan splenektomi. Juga dikatakan bahwa anti-Rh lebih efektif
diberikan pada pasien ITP akut dibandingkan ITP kronis.
Blanchette, dkk dalam penelitiannya memperlihatkan kenaikan jumlah trombosit yang
lebih lambat pada pasien yang diberikan anti-Rh dibandingkan pemberian IGIV dan
disertai dengan penurunan bermakna kadar hemoglobin. Scardovan, dkk dalam
pengamatannya pada 261 pasien ITP anak dan dewasa, 72% (189 pasien) memberikan
respon terhadap pemberian pengobatan anti-Rh dan ini tercapai dalam 21 hari, dimana
respon yang lebih baik terlihat pada pasien anak.
ITP Kronis
Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan terapi awal konvensional terhadap pasien ITP kronis dan
diberikan selama 4 minggu terus menerus dosis rendah (prednison 1-2 mg/kgBB/hari)
serta dilanjutkan dengan tapering off setiap 5-7 hari, dapat memberikan hasil yang
efektif.Tampak hanya sepertiga pasien yang memperlihatkan respon jangka panjang
yang memuaskan, sedangkan dua pertiganya mengalami relaps selama pengobatan
ataupun dalam masa tappering off.
Deksametason oral dosis tinggi, 40 mg/m2/hari dibagi 6 dosis selama 4 hari berturut-
turut dan diulang setiap 28 hari ternyata dapat meningkatkan jumlah trombosit
>100.000/mm3. Keadaan ini dapat bertahan selama 6 bulan setelah pengobatan
dihentikan.
IGIV dan Anti-Rh (D)
Beberapa peneliti merekomendasikan pemakaian IGIV untuk menghindari splenektomi
dan ini diberikan sebanyak 0,4-1 g/kgBB/hari setiap 2-3 minggu untuk mempertahankan
jumlah trombosit pada tingkat yang aman dan terus meningkat sampai 75% dalam 6
minggu. Kerugian obat ini adalah biayanya yang mahal.
Pemakaian anti-Rh pada pasien Rh (+) ternyata dapat meningkatkan jumlah trombosit
sampai 79-90% dengan rekomendasi dosis 20-60 ug/kgBB/hari dalam infus tunggal
selama 15-30 menit. Keuntungan pemakaian anti-Rh adalah biaya yang lebih murah dan
waktu pemberian yang lebih pendek.
Dari beberapa penelitian, hasil pengobatan anti-Rh tidaklah menjanjikan pada pasien ITP
kronis, karena hanya 50% pasien yang memberikan respon >3 minggu setelah
pengobatan Pada pasien anak, respon terhadap pemberian anti-Rh biasanya lebih baik
dibandingkan dewasa.
Splenektomi
Indikasi untuk splenektomi pada pasien ITP kronis masih diperdebatkan. Keberhasilan
splenektomi sendiri tergantung dari tempat penghancuran trombosit. Pada beberapa
pasien dengan perdarahan yang tidak terkontrol atau tidak memberikan respon terhadap
steroid maupun IGIV, dapat dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan splenektomi.
Respon pengobatan terhadap tindakan ini biasanya baik pada anak-anak dan berkisar
antara 65-88% pasien.
American Society of Hematology (ASH) merekomendasikan tindakan splenektomi
minimal 12 bulan setelah diagnosis ITP kronis ditegakkan, tetapi hal ini masih
diperdebatkan. Jika ditemukan keadaan seperti anak usia >5 tahun dengan ITP kronis >1
tahun, jumlah trombosit <30.000/mm3 dengan manifestasi perdarahan serta tidak
memberikan respon terhadap obat-obatan imunosupresif dapat dipertimbangkan tindakan
splenektomi.
Overwhelming postsplenectomy infection (OPSI) merupakan penyulit yang paling
ditakutkan dari tindakan splenektomi. Kejadian penyulit ini berkisar sekitar 20%,
sedangkan terjadinya perdarahan hebat mencapai <1% dengan angka kematian antara 1-
1,5%
Najean, dkk menyatakan bahwa tindakan splenektomi berhasil dilakukan pada 96%
pasien yang mengalami proses penghancuran trombosit di lien. Sebaliknya keberhasilan
ini akan berkurang pada pasien dengan proses penghancuran di hati ataupun sirkulasi.
Terkadang beberapa pasien mengalami relaps setelah tindakan pembedahan atau
selama follow up, tetapi sebanyak 60-70% pasien tetap mengalami remisi setelah
splenektomi. Bagaimanapun juga penyebab terjadinya relaps pasca splenektomi sebagian
besar masih merupakan tanda tanya.
Penanganan Pasien Refrakter
Sekitar 10-20% pasien ITP kronis anak terus mengalami trombositopenia persisten
walaupun telah dilakukan splenektomi. Bentuk ITP yang refrakter bukanlah bentuk yang
jinak dengan angka kematian keseluruhan yang mencapai 5,1%. Telah dicoba beberapa
pengobatan terhadap pasien-pasien ini, tetapi belum ada kesepakatan tetap tentang dosis,
jadwal dan lamanya pengobatan.
Vinca alkaloid
Vinkristin dan vinblastin dikatakan cukup efektif untuk menginduksi terjadinya remisi
lengkap pada pasien ITP kronis anak. Vinkristin (0,02 mg/kgBB, maksimal 2 mg) dan
vinblastin (0,1 mg/kgBB, maksimal 10 mg) yang diberikan sekali seminggu diulang
setiap 4 minggu, ternyata memberikan hasil yang bagus setelah 2-3 kali interval
pengobatan. Juga telah dicoba pemberian obat-obatan ini disertai dengan transfusi
komponen trombosit, tetapi tidak memberikan manfaat tambahan.
Siklofosfamid
Dengan dosis harian 1-2 mg/kgBB/hari atau dosis intermiten 300-600 mg/m2 setiap 3
minggu, akan terlihat respon pengobatan pada minggu ketiga sampai kesepuluh. Karena
pemakaian yang cukup lama, haruslah dipertimbangkan tentang efek samping yang
timbul, seperti depresi sumsum tulang, sistitis hemoragika ataupun kemungkinan
terjadinya keganasan sekunder.
Azotioprin
Karena memberikan hasil yang baik pada penanganan kelainan-kelainan autoimun, obat
ini juga telah pula dipakai dalam pengobatan ITP kronis dengan dosis 100
mg/kgBB/hari. Respon pengobatannya lebih rendah dibandingkan dengan siklofosfamid.
Danazol
Androgen semi sintetis ini telah dipakai untuk meningkatkan jumlah trombosit pada
kasus ITP refrakter. Hampir setengah pasien yang diobati dengan danazol memberikan
respon berupa peningkatan jumlah trombosit sampai tingkat aman, walaupun tidak
mencapai jumlah normal. Dosis yang dipakai adalah 300-400 mg/m2/hari dengan
pencapaian respon setelah 2-3 bulan. Mekanisme kerja yang pasti dari obat ini tidak
jelas, tetapi diperkirakan dengan cara menurunkan jumlah resptor Fc pada makrofag
sehingga menurunkan penghancuran trombosit. Efek samping obat inipun harus diawasi
secara ketat (efek adrenergik dan kerusakan hepar). Penggunaan bersama antara danazol
dan vinblastin dapat memberikan remisi pada 60% kasus.
Perdarahan yang Mengancam Kehidupan
Pemberian transfusi komponen trombosit pada pasien ITP hanya diindikasikan untuk
penanganan keadaan yang mengancam kehidupan (perdarahan intrakranial dan saluran
cerna hebat). Meskipun pemberian komponen trombosit tidak dapat meningkatkan
jumlah trombosit untuk jangka waktu lama, tetapi ini cukup bermanfaat untuk
peningkatan sementara dan efektif untuk mengontrol perdarahan. Tindakan ini juga
akan semakin bermakna jika disertai dengan salah satu macam pengobatan diatas.
Pengobatan tambahan seperti pemberian anti fibrinolitik (epsilon amino caproic acid)
dan faktor VIIa rekombinan juga telah berhasil dipakai, walaupun masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Kesimpulan
Pemikiran tentang ITP adalah jika ditemukan manifestasi perdarahan kulit/mukosa
disertai trombositopenia tanpa adanya bukti kelainan hematologis lain. Semua anak
dengan ITP akan memberikan manifestasi perdarahan kulit (ptekie dan purpura).
Pemeriksaan BMP lebih diindikasikan pada pasien ITP kronis ataupun pasien dengan
gambaran atipik dibandingkan pasien ITP akut.
Tidak semua pasien ITP memerlukan perawatan rumah sakit. Ada banyak modalitas
pengobatan ITP dan ini berbeda di tiap-tiap tempat. Transfusi komponen trombosit
hanya diindikasikan untuk kasus-kasus perdarahan yang mengancam kehidupan.