Laporan kasus RA-2
HEPATIK ENSEFALOPATI
PEMBIMBING : dr. Imelda Ray, M.Ked(PD), Sp.PD
OLEH : Rezka Darmawan Hatta
Seetha Govindaraju
Vina Yuwanda
Putri Fortuna Marbun
Jaya Dev
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dibacakan pada tanggal : 22 September 2015
Nilai :
COW Pembimbing Pimpinan Sidang
(dr. Yulika Ikhmawati) (dr. Imelda Ray,M.Ked(PD),Sp.PD)
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kHEadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasusyang
berjudul HEPATIK ENSEFALOPATI tepat pada waktunya. Adapun laporan
kasus ini diajukan untuk melengkapi tugas pada Kepaniteraan Klinik Departemen
Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Meskipun kami banyak menemui hambatan dan kesulitan yang tidak sedikit,
namun semua dapat teratasi berkat bantuan, bimbingan maupun dukungan moril
yang diberikan oleh semua pihak.Di sini penulis mengucapkan terima kasih
kepada dr. Imelda Ray, M.Ked(PD), Sp.PD dan dr. Yulika Ikhmawati, selaku
pembimbing penulisan yang telah meluangkan waktu dan memberikan arahan
dalam penyelesaian laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih
banyak terdapat kekurangan di dalam penulisannya, baik di dalam penyusunan
kalimat maupun di dalam teorinya, mengingat keterbatasan dari sumber referensi
yang diperoleh penulis serta keterbatasan penulis selaku manusia biasa yang
selalu ada kesalahan. Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran.
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, 22 September 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Sirosis Hati..................................................................................................................2
1.2.1 Definisi...............................................................................................................2
1.2.2 Epidemiologi......................................................................................................2
1.2.3 Etiologi...............................................................................................................2
1.2.4 Patofisiologi........................................................................................................3
1.2.5 Manifestasi Klinis...............................................................................................4
1.2.6 Diagnosis............................................................................................................5
1.2.7 Terapi..................................................................................................................6
1.2.8 Komplikasi..........................................................................................................8
1.3 Hepatik Ensefalopati..................................................................................................11
1.3.1 Definisi.............................................................................................................11
1.3.2 Epidemiologi....................................................................................................12
1.3.3 Etiologi.............................................................................................................12
1.3.4 Patofisiologi......................................................................................................12
1.3.5 Manifestasi Klinis.............................................................................................16
1.3.6 Diagnosis dan Diagnosa Banding.....................................................................18
1.3.7 Terapi................................................................................................................19
1.3.8 Kriteria Merujuk...............................................................................................22
1.3.9 Pencegahan dan Edukasi..................................................................................23
1.3.10 Prognosis........................................................................................................23
BAB 2 STATUS ORANG SAKIT................................................................................24
BAB 3 FOLLOW UP HARIAN DI RUANGAN.........................................................35
BAB 4 DISKUSI............................................................................................................ 40
BAB 5 KESIMPULAN................................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 43
iii
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Latar Belakang
Hepatik ensefalopati (HE) didefinisikan sebagai suatu gangguan pada fungsi sistem
saraf pusat yang disebabkan insufisiensi hepar baik pada penyakit hepar akut maupun
kronik berat1. Hepatik ensefalopati (HE) merupakan salah satu komplikasi utama pada
sirosis hepatis dimana merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang bersifat reversible
yang ditandai dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup
perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya
kelainan pada otak yang mendasarinya2.
Prevalensi hepatik ensefalopati overt pada sirosis adalah 10-14%, dengan 16%-
21% pasien dengan sirosis hati dekompensata dan 10%-15% dengan TIPS (Transjugular
Intraheptic Portosystemic Shunt)3. Hepatik ensefalopati minimal (subklinis) terjadi pada
20%-80% pasien sirosis hepar. Resiko untuk terjadinya hepatik ensefalopati yang
pertama adalah 5%-25% dalam 5 tahun setelah sirosis hepar didiagnosis, tergantung pada
adanya faktor resiko seperti komplikasi lain sirosis dan kemungkinan adanya diabetes
dan hepatitis C1. Pasien dengan sebelumnya pernah mengalami hepatik ensefalopati
overt mempunyai resiko total hingga 40% mengalami HE overt kembali dalam 1 tahun,
dan pasien yang telah mengalami rekurensi HE mempunyai resiko 40% untuk terjadi HE
kembali dalam 6 bulan3.
Di Indonesia, prevalensi HE minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena
sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis
hepatis.Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi HE
minimal sebesar 63,2% pada tahun 20094. Data dari RSUD Dr. Kariadi Semarang
menunjukkan dari 50 pasien dengan sirosis hati didapatkan 72% pasein dengan
komplikasi HE subklinik dan 10% dengan HE overt (jelas). Angka kesintasan 1 tahun
dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati3.
1
1.2 Sirosis Hati
1.2.1 Definisi
Sirosis hati adalah tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai
oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Sesuai dengan
definisinya, maka morfologi yang ditemukan adalah fibrosis difus, nodul regenatif,
perubahan arsitektur lobular dan pembentukan darah hari aferen dan eferen5.
Sirosis hati dapat dibagi menjadi sirosis hati kompensata dan sirosis hati
dekompensata. Sirosis hati kompensata adalah sirosis yang masih dapat dikompensasi
pada pasien yang asimptomatis dengan atau tanpa varises gastroesofagus. Sirosis hati
dekompensata ditemukan pada pasien yang memiliki komplikasi simptomatis seperti
jaundice, asites, perdarahan pada varises dan hepatik ensefalopatium6.
1.2.2 Epidemiologi
Insidensi yang terjadi di dunia masih belum dapat dipastikan. Prevalensi sirosis di
Amerika sekitar 360 kasus per tahun pada 100.000 orang populasi. Sirosis merupakan
penyebab kematian terbesar ke-11 di Amerika. Akan tetapi terjadi penurunan sebanyak
25% sejak 1980, mungkin disebabkan penurunan konsumsi alcohol, vaksinasi hepatitis B
dan transplantasi hepar. Sirosis menyebabkan lebih dari 30.000 kematian per tahun di
Amerika7. Sirosis hati lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita dengan
perbandingan 2,1:1 dengan usia rata-rata 44 tahun6.
1.2.3 Etiologi
Dua penyebab sirosis hati yang paling sering adalah virus hepatitis dan konsumsi
alkohol yang berlebihan. Adapun penyebab lainnya adalah sebagai berikut8:
Infeksi
o Hepatitis B
o Hepatitis C
Toksin
o Alcohol
Kolestasis
o Sirosis bilier primer
2
o Sirosis bilier sekunder
o Kolangitis sklerosis primer
Autoimun
o Autoimun hepatitis
Vaskular
o Sirosis kardiak
o Budd-Chiari Syndrome
o Sindroma obstruksi sinusoid
Metabolik
o Hemokromatosis
o Wilson disease
o Defisiensi alpha 1 antitrypsin
o Non alcoholik steatohepatfitis
o Cryptogenik
1.2.4 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis virus
menjadi sirosis hepatis belum jelas. Terdapat 3 patogenesis yang mungkin terjadi yaitu
mekanis, imunologis dan kombinasi keduanya, namun yang utama adalah terjadinya
peningkatan aktivitas fibroblas dan pembentukan jaringan ikat9.
1. Mekanis
Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka
retikulum lobulus hepar yang mengalami kolaps akan berlaku
sebagai kerangka untuk terjadinya daerah parut yang luas. Dalam
kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan
hidup berkembang menjadi nodul regenerasi9.
2. Teori Imunologis
Sirosis hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika melalui proses
hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Mekanisme imunologis mempunyai peranan
penting dalam hepatitis kronis.Ada dua bentuk hepatitis kronis :
3
- Hepatitis kronik tipe B
- Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB
Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk menyingkirkan
virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang mengandung virus ini merupakan
rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus sampai terjadi
kerusakan sel hati. Faktor genetik dan lingkungan yang menyebabkan kerusakan sel hati
dapat menyebabkan sirosis melalui respon patobiologi yang saling berhubungan, yaitu
reaksi sistem imun, peningkatan sintesis matriks dan abnormalitas perkembangan sel hati
yang tersisa9,10.
Perlukaan terhadap sel hati dapat menyebabkan kematian sel, yang kemudian
diikuti terjadinya jaringan parut (fibrosis) atau pembentukan nodul regenerasi. Hal
tersebut selanjutnya akan menyebabkan gangguan fungsi hati, nekrosis sel hati dan
hipertensi porta9.
Hipertensi porta mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi
ginjal pun menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma renin sehingga aldosteron
juga meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama
natrium. Dengan peningkatan aldosteron maka terjadi terjadi retensi natrium yang pada
akhirnya menyebabkan retensi cairan10.
1.2.5 Manifestasi Klinis
Stadium awal sirosis hepatis yaitu stadium kompensata, sering tanpa gejala
sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin
atau karena kelainan penyakit lain sehingga kebetulan memeriksakan faal hepar.
Keluhan subjektif baru timbul bila sudah ada kerusakan sel-sel hati, umumnya berupa11:
Penurunan nafsu makan dan berat badan
Mual
Perasaaan perut kembung
Perasaan mudah lelah dan lemah, kelemahan otot terjadi akibat
kekurangan protein dan adanya cairan dalam otot.
Kegagalan parenkim hati ditandai dengan protein yang rendah, gangguan
mekanisme pembekuan darah, gangguan keseimbangan hormonal
4
(eritemapalmaris, spider nevi, ginekomastia, atrofi testis, dan gangguan
siklus haid)
Ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, terjadi pada proses
aktif dan sewaktu-waktu dapat jatuh ke koma hepatikum jika tidak
dirawat intensif.
Hipertensi portal (tekanan sistem portal > 10 mmHg), ditandai
splenomegali, ascites, dan kolateral. Dan umumnya, penderita akan
dirawat inap karena adanya penyulit seperti perdarahan saluran cerna atas
akibat pecahnya varises esophagus, asites yang hebat, serta ikterus yang
dalam.
Tabel 2.2 Gejala Kegagalan Fungsi Hepar & Hipertensi Portal12
Kegagalan Fungsi Hepar Hipertensi Portal
- Ikterus
- Spider naevi
- Ginekomastia
- Hipoalbumin dan malnutrisi
kalori protein
- Bulu ketiak rontok
- Ascites
- Eritema Palmaris
- “white nail”
- Varises esophagus/cardia
- Splenomegali
- Pelebaran vena kolateral
- Ascites
- Haemoroid
- Caput medusa
1.2.6 Diagnosis
Tabel 2.3 Diagnosis Sirosis Hepatis11,12,13
Pemeriksaan Hasil yang mungkin didapat
1. Anamnesis Lesu, BB turun, anoreksia-dispepsia,
nyeri perut, sebah, ikterus (BAK coklat
dan mata kuning), perdarahan gusi,
perut membuncit, libido menurun,
konsumsi alkohol, riwayat kesehatan
5
yang lalu (sakit kuning, dll), riwayat
muntah darah dan feses kHEitaman.
2. Pemeriksaan Fisik - Keadaan umum & nutrisi
- Tanda gagal fungsi hati
- Tanda hipertensi portal
3. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Tepi
Kimia Darah
Serologi
Anemia, leukopenia, trombositopenia,
PPT
Bilirubin, transaminase (hasil
bervariasi), alkaline fosfatase, albumin-
globulin, elektroforesis protein serum,
elektrolit (K, Na, dll) bila ada ascites
- HBsAg dan anti HCV
- α FP
4. Endoskopi saluran cerna atas Varises, gastropati
5. USG/CT scan Ukuran hati, kondisi v. Porta,
splenomegali, ascites,dll
6. Laparoskopi Gambaran makroskopik visualisasi
langsung hepar
7. Biopsi hati (standar baku) Dilakukan bila koagulasi
memungkinkan dan diagnosis masih
belum pasti
1.2.7 Terapi
Pengobatan untuk sirosis hepatis bersifat simptomatis dan supportif, yaitu8,12,13:
1. Istirahat yang cukup.
2. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang, misalnya: cukup kalori, protein
1gr/kgBB/hari dan vitamin.
3. Pengobatan berdasarkan etiologi, misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C
dapat dicoba dengan interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi
6
terapi untuk pasien dengan hepatitis C kronis yang belum pernah
mendapatkan pengobatan IFN (intraferon), seperti:
- kombinasi IFN (intraferon) dengan ribavirin.
IFN (intraferon) dan RIB (Ribavirin) terdiri dari IFN(intraferon) 3 juta unit 3 x
seminggu dan RIB (ribavirin) 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan(1000mg
untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan untukjangka waktu 24-48 minggu.
- terapi induksi IFN (intraferon).
Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang lebih tinggi
dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x
seminggu selama 48 minggudengan atau tanpa kombinasiRIB
- terapi dosis IFN tiap hari
Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5
juta unit tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.
Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti:
Asites
Asites dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas6,13:
1. Istirahat.
2. Diet rendah garam: untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah
garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita harus
dirawat.
3. Diuretik, pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah
garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg
setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretik adalah
hipokalem dan hal ini dapat mencetuskan hepatik encefalopati, maka pilihan utama
diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan
dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresisnya belum
tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid.
4. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa yang intensif) lakukan terapi parasentesis.
7
Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime),
secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya
tinggi maka untuk profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari)selama 2-3
minggu13.
Hepatorenal Sindrome
Dicegah dengan menghindari pemberian diuretik yang berlebihan, pengenalan
secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan dan
infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa: retriksi cairan,garam,
potasium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang nefrotoxic. Pilihan terbaik
adalah transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal8,13.
Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan resusitasi sampai keadaan pasien
stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan7,11:
Pasien diistirahatkan daan dipuasakan.
Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi.
Pemasangan nasogastric tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannya, yaitu :
untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi
darah.
Pemberian obat-obatan berupa antasida, ARH2, antifibrinolitik, vitamin K,
vasopressin.
Octriotide dan Somatostatin
1.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada sirosis hepatis, yaitu:
1. Edema dan ascites
Karena efek gaya berat ketika berdiri atau duduk, maka kelebihan garam dan air
berakumulasi dalam jaringan dibawah kulit pergelangan kaki dan kaki. Akumulasi cairan
ini disebut edema atau pitting edema (pitting edema merujuk pada fakta bahwa menekan
8
sebuah ujung jari dengan kuat pada suatu pergelangan atau kaki yang
mengalami edema akan menyebabkan suatu lekukan pada kulit yang berlangsung untuk
beberapa waktu setelah pelepasan dari tekanan). Ketika sirosis memburuk dan lebih
banyak garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin berakumulasi dalam rongga
perut antara dinding perut dan organ-organ perut. Akumulasi
cairanini disebut ascites yang menyebabkan pembengkakkan perut, ketidaknyamanan
perut, dan berat badan yang meningkat6,13.
2. Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
SBP adalah suatu cairan yang mengumpul didalam perut yang tidak mampu untuk
melawan infeksi secara normal. SBP adalah suatu komplikasi yang mengancam nyawa.
Pada beberapa pasien penderita SBP tidak memiliki gejala-gejala, seperti demam,
kedinginan, sakit perut dan kelembutan perut, diare, dan memburuknya ascites7.
3. Perdarahan dari varises-varises di esofagus (esophageal varices)
Esophageal varises merupakan suatu keadaan dimana aliran darah meningkat,
peningkatan tekanan vena pada kerongkongan yang lebih bawah, dan mengembangnya
lambung bagian atas. Perdarahan dari varises-varises biasanya adalah parah/berat
dan apabila tanpa perawatan segera dapat menjadi fatal. Gejala-gejala dari perdarahan
varises-varises adalah muntah darah (muntahan dapat berupa darah merah bercampur
dengan gumpalan-gumpalan atau “coffee grounds”, yang belakangan disebabkan oleh
efek dari asam pada darah), mengeluarkan tinja/feces yang hitam, disebabkan oleh
perubahan-perubahan dalam darah ketika melewati usus (melena), dan kepeningan
orthostatic (orthostatic dizziness) atau pingsan,disebabkan oleh suatu kemerosotan dalam
tekanan darah terutama ketika berdiri dari suatu posisi berbaring)13.
4. Hepatik ensefalopati
Hepatik ensefalopati adalah suatu keadaan dimana unsur-unsur racun berakumulasi
secara cukup dalam darah sehingga fungsi dari otak menjadi terganggu. Tidur pada siang
hari daripada pada malam hari (berbanding terbalik dengan pola tidur yang normal)
merupakan gejala yang paling dini dari hepatik ensefalopati. Gejala-gejala lainnya
9
adalah cepat marah, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau melakukan perhitungan,
kehilangan memori, kebingungan atau tingkat kesadaran yang tertekan (dapat
mengakibatkan keparahan pada penyakit ini bahkan dapat menimbulkan kematian)10,11.
5. Sindrom hepatorenal
Sindrom hepatorenal adalah suatu komplikasi yang serius dimana fungsi dari
ginjal-ginjal berkurang. Fungsi yang berkurang disebabkan oleh perubahan-perubahan
cara darah mengalir melalui ginjal. Sindrom hepatorenal didefinisikan sebagai kegagalan
yang progresif dari ginjal-ginjal untuk membersihkan unsur-unsur dari darah dan
menghasilkan jumlah-jumlah urine yang memadai. Ada dua tipe dari sindrom
hepatorenal, yaitu yang terjadi secara berangsur-angsur melalui waktu berbulan-bulan
dan yang terjadi secara cepat melalui waktu dari satu atau dua minggu13.
6. Hepatopulmonary syndrome
Pasien dapat mengalami kesulitan bernapas karena hormon-hormon tertentu yang
dilepas pada sirosis telah berlanjut dan menyebabkan paru-paru berfungsi secara
abnormal. Darah yang mengalir melalui paru-paru dilangsir sekitar alveoli dan tidak
dapat mengambil cukup oksigen dari udara didalam alveoli. Akibatnya pasien
mengalami sesak napas, terutama dengan pengerahan tenaga7,13.
7. Hypersplenism
Hypersplenism adalah istilah yang berhubungan dengan suatu jumlah sel darah
merah yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih yang rendah (leukopenia), dan/atau
suatu jumlah platelet yang rendah (thrombositopenia). Anemia dapat menyebabkan
kelemahan, leukopenia dapat menjurus pada infeksi-infeksi, dan thrombositopenia dapat
mengganggu pembekuan darah dan berakibat pada perdarahan yang berkepanjangan
(lama)10,13.
8. Kanker Hati (hepatocellular carcinoma)
Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja dapat meningkatkan risiko kanker
hati utama/primer (hepatocellular carcinoma). Utama (primer) merujuk pada fakta bahwa
10
tumor berasal dari hati. Suatu kanker hati sekunder adalah satu yang berasal dari mana
saja didalam tubuh dan menyebar (metastasis) ke hati13.
1.3 Hepatik ensefalopati
1.3.1 Definisi
Hepatik ensefalopati adalah sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada
penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan
hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan
kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya4.
Klasifikasi
Hepatik ensefalopati dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan kelainan hati yang mendasarinya,
yaitu4:
- Tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan,
- Tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan
intrinsik jaringan hati, dan
- Tipe C berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal.
Klasifikasi berdasarkan gejalanya dibagi menjadi dua, yaitu4:
a. HE minimal
HE minimal digunakan apabila ditemukan adanya defisit kognitif seperti perubahan
kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau
elektrofisiologi.
b. HE overt
HE Overt terbagi menjadi HE overt episodik (terjadi dalam waktu singkat dengan
tingkat keparahan yang berfluktuasi) dan HE persisten (terjadi secara progresif dengan
gejala neurologis yang kian memberat).
1.3.1
1.3.2 Epidemiologi
11
Di Indonesia, prevalensi HEM (grade 0) tidak diketahui dengan pasti, namun
diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis hati. Data pada tahun 1999
menunjukkan prevalensi hepatik ensefalopati stadium 2-4 sebesar 14,9%. Angka
kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani
transplantasi hati4.
1.3.3 Etiologi
Sekitar 28% penderita SH dapat mengalami komplikasi hepatik ensefalopati.Hal ini
dapat disebabkan hiperammonia yang biasanya terjadi pada gagal hepar akut dan kronik.
Pada pasien dengan penyakit hepar kronis, faktor resiko seperti perdarahan
gastrointestinal, infeks, penggunaan sedatif, hipokalemi, alkalosis, peningkatan konsumsi
protein dan konstipasi dapat memicu terjadi hepatik ensefalopati14.
1.3.4 Patofisiologi
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya HE pada pasien gangguan hati
akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein
yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan varises esofagus dan konstipasi), gangguan
elektrolit dan asam basa (hiponatremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan
obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih atau
infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol. Faktor tersering yang
mencetuskan HE pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan
gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus4.
Terjadinya HE didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah
yang melewati sawar darah otak.Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang
diyakini berperan penting dalam terjadinya HE karena kadarnya meningkat pada pasien
sirosis hati. Beberapa studi lain juga mengemukakan faktor pencetus lain penyebab HE
seperti pada gambar 1 berikut1.
12
Gambar 1. Patofisiologi hepatik ensefalopati
Amonia
Amonia dilepaskan dari beberapa jaringan tubuh, dan paling banyak dapat
ditemukan di dalam vena portal.Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus
dengan aktivitas enzim urease, terutama bakteri gram negatif anaerob,
Enterobacteriaceae, Proteus dan Clostridium. Enzim urease bakteri akan memecah urea
menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus
besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus)
menjadi glutamate dan amonia. Pada individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot
dan ginjal1,8.
Secara fisiologis, amonia akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati.
Otot dan ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot
rangka memegang peranan utama dalam metabolisme amonia melalui pemecahan
amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase. Ginjal berperan dalam produksi dan
eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa tubuh.Ginjal
memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin menjadi
glutamat, bikarbonat dan amonia.Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui
urin dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali ke dalam
tubuh yang dipengaruhioleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan
13
mengeluarkan ion amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis,
penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion
amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia1,15.
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifikasi.
Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati periportal yang
memetabolisme ammonia menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan sel hati yang
terletak dekat vena sentral dimana urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin.
Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan
menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik
yang membawa darah yang mengandung ammonia masuk ke aliran sistemik tanpa
melalui hati. Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas amonia.
Meningkatnya permebialitas sawar darah otak untuk ammonia pada pasien sirosis
menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan
metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin1.
Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada HE terjadi akibat edema serebri,
dimana glutamin merupakan molekul osmotik sehingga menyebabkan pembengkakan
astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada
astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi
mitokondria dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi
mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk
mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan repson
inflamasi sehingga mengganggu aktivitas pensignalan intraselular1,4,15.
Hipotesis lainnya
Hipotesis GABA/Benzodiazepin
Selain ammonia, banyak molekul lainnya yang telah diperkirakan berperan dalam
patogenesis HE. Neurosteroid seperti allopregnanolon, dapat memodulasi reseptor
GABA-A di otak, sehingga meningkatkan efek GABA-A yang menghambat reseptor
sehingga dapat menurunkan kesadaran melalui GABA-ergic tone yang meningkat.
Neurosteroid ini diproduksi di otak dan meningkat pada pasien HE3,15.
14
Benzodiazepin dapat memodulasi reseptor GABA-A dan juga dapat memicu
pembengkakan astrosit.Benzodiazepin endogen dapat berasal dari bakteri dan
mengaktifkan reseptor GABA-A.Peningkatan benzodiazepine endogen (endozepin) telah
ditemukan pada beberapa pasien sirosis hepatis, tetapi mekanisme benzodiazepine
endogeni menyebabkan HE masih belum jelas3.
Indol dan oxindol merupakan produk hasil metabolism triptopan bacterial dengan
sedating properties yang baru-baru ini diperkirakan berperan dalam patogenesis HE.
Toksin lainnya yang juga berperan pada patogenesis HE yaitu merkaptan, asam lemak
rantai pendek,neurotransmitter palsu ( seperti octopamin), mangan dan GABA1,3.
Hiponatremia
Kadar serum natrium yang rendah cukup sering pada pasien dengan sirosis dan
hipertensi portal dikarenakan aktivasi hormone diuretic (vasopressin) yang terjadi untuk
meningkatkan volume arterial yang berhubungan dengan dilatasi arteri splanchnic.
Hyponatremia yang kronis menyebabkan deplesi dari osmolit-osmolit organic
intraseluler, yang mana salah satunya myoinositol yang berperan dalam regulasi cairan
intraseluler. Osmolit terdapat di dalam atrosit untuk menyediakan suatu pertahanan
seluler untuk mencegah pembengkakan intraseluler dan dapat secara cepat diakumulasi
atau dideplesi sesuai dengan sensor osmotic. Satu teori menyatakan bahwa hyponatremia
kronik menyebabkan osmolit astrosit dideplesi, sel ini tidak mampu mengkompensasi
dengan baik selama periode hiperamonia maupun inflamasi, yang menyebabkan
pembengkakan astrosit, edema serebral grade rendah, stress oksidatif maupun nitrosatif,
dan disfungsi astrosit1,3,15.
Inflamasi
Peradangan dapat berhubungan dengan infeksi, perdarahan gastrointestinal,
obesitas, atau disequilibrium flora yang terdapat di fecal pada pasien sirosi dengan
peningkatan translokasi dan pertumbuhan bakteri. Neutrofil yang overaktif dengan
aktifitas degranulasi yang berlebihan dan produksi sitokin-sitokin inflamasi yang
meningkat juga berperan dalam patogenisis HE1.
15
1.3.5 Manifestasi Klinis
Gejalanya merupakan akibat dari menurunnya fungsi otak, yang utama adalah
gangguan kesadaran.Pada stadium awal, perubahan hampir tidak terlihat yaitu terjadi
pada logis kepribadian dan tingkah laku, suasana hati penderita bisa berubah dan terjadi
gangguan dalam menyatakan pendapatnya. Sejalan dengan perkembangan penyakit
penderita menjadi mengantuk dan bingung, malas bergerak dan bercakap-cakap sering
terjadi disorientasi. Pada akhirnya penderita akan kehilangan kesadarannya dan jatuh ke
dalam keadaan koma2.
Secara garis besar gejala klinis hepatik ensefalopati terbagi menjadi3,16:
1. Hepatik ensefalopati sub klinis (minimal)
HE subklinis disebut juga “latent hepatic encephalopathy”. Dari penelitian
disimpulkan bahwa 45%-85% penderita sirosis hati sudah mengidap hepatik ensefalopati
sub klinis. Pada HE subklinis belum ditemukan atau terlihat gejala dan tanda penyakit.
HE Subklinis dapat di deteksi dengan test uji hubungan angka (number connection test).
Number connection test (NCT) terdiri dari :
- Uji psikomotorik untuk deteksi dini hepatik ensefalopati sub klinis.
- Syarat pasien tidak buta huruf.
- Sederhana, praktis,aman, murah.
- Bermanfaat pula untuk monitoring dan evaluasi hasil terapi.
- Pasien diminta menyambung angka secara urut no.1-25 secepat mungkin.
- Ada korelasi antara lamanya waktu yang di perlukan untuk menyelesaikan NCT ( uji
hubung angka) dengan kondisi enesefalopati hepatik pasien ( makin lama ∞ makin
buruk)
- Pada kondisi baik uji ini harus dapat di selesaikan ± 30 detik
Skala NCT (menurut kriteria West Haven):
Skala NCT Lamanya penyelesaian NCT
0 15-30 detik
1 31-50 detik
2 51-80 detik
3 81-120 detik
16
4 >120 detik atau tidak dapat diselesaikan
2. Hepatik ensefalopati klinis, ada 4 stadium yaitu17,18:
a. Stadium 1 (prodromal : awal)
Terdapat gangguan stasus mental, sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku,
termasuk penampilan yang tidak terawat baik, pandangan mata kosong, bicara tidak
jelas, tertawa sembarangan, pelupa, dan tidak mampu memusatkan pikiran, penderita
mungkin cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang ajar,
afektif hilang, eufori, cemas, depresi, apati. Terdapat perubahan ritme tidur, dimana
pasien sulit tidur di malam hari, dan dapat tidur di siang hari. Tanda-tandanya:
- Asteriksis : gangguan motorik yang di tandai dengan penyimpangan intermiten dari
postur.
- Kesulitan bicara
- Kesulitan menulis
- EEG (elektroensefalografi) (+)
b. Stadium 2 (Impending koma atau koma ringan)
Gangguan mental semakin berat, letargi atau apatis, flapping tremor (tangan
bergetar), pengendalian sfingter kurang, kebingungan, disorientasi waktu, dispraksia, dan
asteriksis.
c. Stadium 3 (Stupor)
Terjadi kebingungan yang nyata dengan perubahan tingkah laku yang mencolok,
penderita dapat tidur sepanjang waktu, bangun hanya dengan rangsangan (somnolen),
asteriksis, fetor hepatik, lengan kaku, hiperreflek, klonus, disorientasi
menyeluruh, grasp dan sucking reflek.
d. Stadium 4 (koma)
Pasien koma tidak sadarkan diri, penderita masuk ke dalam tingkat kesadaran koma
sehingga muncul refleks hiperaktif dan tanda babinsky yang menunjukkan adanya
kerusakan otak lebih lanjut. Napas penderita akan mengeluarkan bau apek yang manis
(fetor hepatikum). Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk dan
intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat kesadarannya, dan tonus otot
hilang.
17
Kriteria West Haven membagi HE berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1). Stadium HE
dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam HE covert serta
derajat 2-4 masuk dalam HE overt, seperti pada tabel 11,4.
Tabel 1. Stadium hepatik ensefalopati sesuai kriteria West Haven
1.3.6 Diagnosa dan Diagnosa Banding
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang18,19:
1. Tentukan stadium dari HE, yang merupakan kombinasi dari penilaian perubahan
derajat kesadaran, perubahan perilaku dan gangguan neuromuskular
2. Pemeriksaan kadar amoniak darah. Ini penting diperiksa pada pasien dengan gagal
hati akut. Kadar > 200μg/dL mengindikasikan risiko tinggi terjadinya herniasi
serebral. Peningkatan kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml darah) dapat
menjadi parameter keparahan pasien dengan HE. Pemeriksaan kadar amonia darah
belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia mengingat pemeriksaan ini belum
dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia.
3. Pemeriksaan/tes neuropsikologi. Pasien sirosis hati sering memperlihatkan gangguan
kognitif tanpa disertai defisit neurologis yang jelas. Skor hepatik ensefalopati
psikometri (PHES) seperti Number Connection test A dan B, line drawing, digital
symbols dan points following dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan
tersebut, terutama fokus pada waktu untuk bereaksi dan ketepatan, konstruksi visual,
konsentrasi, atensi dan memori.
18
4. Pemeriksaan neurofisiologi (EEG). Pada EEG akan terlihat perlambatan yang
progresif berupa aktivitas lambat simetris yang bermula di lead frontal dan
menyebar ke posterior sesuai dengan makin dalamnya penurunan kesadaran.
Perubahan ini khas namun tidak spesifik, dapat membantu dalam mengidentifikasi
kelainan difus namun tidak cukup dalam mendiagnosis gagal hati
5. MRI Pemeriksaan imaging otak. CT scan atau kepala hanya membantu dalam
menyingkirkan lesi struktural. Namun pada HE stadium lanjut, pemeriksaan ini
penting untuk mengetahui adanya edema serebri.
Diagnosa Banding
1. Koma akibat intoksikasi obat-obatan dan alkohol
2. Trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, pendarahan subdural
dan pendarahan epidural
3. Tumor otak
4. Koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremia , koma hiperglikemi,
koma hipoglikemi.
5. Epilepsi.
1.3.7 Terapi
Tatalaksana HE diberikan sesuai dengan derajat HE yang terjadi. Dasar
penatalaksanaan HE adalah: identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi HE,
pengaturan keseimbangan nitrogen, pencegahan perburukan kondisi pasien, dan
penilaian rekurensi hepatik ensefalopati21.
Tatalaksana Faktor Presipitasi
Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya HE, seperti dehidrasi,
infeksi, obat-obatan sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan
penatalaksanaan terhadap faktor-faktor tersebut berperan penting dalam perbaikan HE.
Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu dipantau untuk mencegah terjadinya
dehidrasi22,25. Pemberian antibiotik spektrum luas diindikasikan pada keadaan infeksi,
sebagai faktor presipitasi tersering, baik pada saluran cerna maupun organ lain.
19
Konsumsi alkohol dan obat-obatan sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya
manifestasi HE. Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan vena
porta perlu dilakukan dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna,
terutama pecahnya varises esofagus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu
pencetus HE pada pasien sirosis sehingga membutuhkan penanganan yang adekuat21,22.
Tatalaksana Farmakologis
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam
tatalaksana HE. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan
penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi
potensial lainnya21.
Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan HE21. Sifatnya yang
laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH
kolon dan juga mengurangi uptake glutamin. Selain itu, laktulosa diubah menjadi
monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga
pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease.
Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada amonia
sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+).
Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen22,23,24.
Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam
mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotic. Akan tetapi, laktulosa
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya HE dan secara
signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien dengan HE minimal23.
Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3
hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi
rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode
HE, karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan
hyponatremia22.
20
Antibiotik25
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan
bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor
presipitasi HE22. Selain itu, antibiotik juga memiliki efek anti-inflamasi dan
downregulation aktivitas glutaminase.Antibiotik yang menjadi pilihan saat ini adalah
rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.Dosis yang diberikan adalah 2 x
550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan. Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik
yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole,
paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih
sedikit dibandingkan antibiotik lainnya23,24.
L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja sebagai
substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamine.LOLA
meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di
dalam darah21. Selain itu, LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan HE.
LOLA yang merupakan substrat perantara pada siklus urea, menurunkan kadar
amonia dengan merangsang ureagenesis. L-ornithine dan L-aspartate dapat
ditransaminase dengan α-ketoglutarate menjadi glutamat, melalui ornithine
aminotrasnferase (OAT) dan aspartate aminotransferase (AAT), berurutan.Molekul
glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk menstimulasi glutamine syn- tehtase,
sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan amonia.Meskipun demikian, glutamin
dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated glutaminase (PAG), dan menghasilkan
amonia kembali22.
Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien
sirosis dengan HE menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi,
penurunan amonia pada pasien HE yang mendapatkan LOLA diperkirakan hanya
sementara26.
21
Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup yang
bermanfaat untuk nutrisi pejamu.Amonia dan substansi neurotoksik telah lama
dipikirkan berperan penting dalam timbulnya HE.Amonia juga dihasilkan oleh flora
dalam usus sehingga manipulasi flora usus menjadi salah satu strategi terapi HE.
Mekanisme kerja probiotik dalam terapi HE dipercaya terkait dengan menekan substansi
untuk bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk akhir fermentasi yang berguna
untuk bakteri baik26,27. Liu, et al., melakukan studi terhadap feses pasien HE minimal dan
menemukan pemberian suplementasi sinbiotik (serat dan probiotik) berhubungan dengan
menurunnya jumlah bak- teri patogenik Escherichia coli, Fusobacterium, dan
Staphylococcus dengan peningkatan pada Lactobacillus penghasil nonurease.Penelitian
metaanalisis dari 9 laporan penelitian menun- jukkan prebiotik, probiotik dan sinbiotik
mem- punyai manfaat pada pasien HE.Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut masih
dibu- tuhkan dalam penggunaan probiotik pada tata- laksana dan prevesi sekunder HE
overt28.
1.3.8 Kriteria Merujuk
Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia, Sirosis Hepatis merupakan tingkat
kemampuan 2 yaitu lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit
tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Ensefalopati termasuk kedalam kasus kegawatdaruratan yang mana seorang lulusan
dokter harus mampu membuat diagnose klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien, dan kemudian membuat rujukan untuk penangan pasien
selanjutnya serta mampu menindaklanjut sesudah kembali dari rujukan.
1.3.9 Edukasi dan Pencegahan
Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk mencegah ensefalopati padapasien yang
memiliki pirau portakaval atau yang sembuh dari ensefalopati.Tindakan ini mencakup
diet dengan protein dalam jumlah sedang, tidak memberikan obat diuretik yang
22
menurunkan kalium.dan makanan yang diberikan berbentuk jus buah manis atau glukosa
IV2,14. Tindakan ini biasanya berhasil dilakukan bila diberikan pada awal perjalanan
prakoma dan bila kerusakan hati tidak begitu berlanjut.Upaya suportif dengan
memberikan kalori yang cukup serta mengatasi komplikasi yang mungkin ditemui
seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cerna, dan keseimbangan elektrolit14.
1.3.10Prognosis
Angka kematian akibat gagal hati akut masih tinggi, beberapa penulis melaporkan
sekitar 50-80%,sekitar 20-40% pada gagal hati sub akut, sedangkan pada gagal hati
kronik dengan eksaserbasi akut (sirosis hati dengan komplikasi) 0-20% asalkan faktor
pencetus dikelola dengan baik, tetapi kalau keadaan penyakit sudah terminal angka
kematian hampir 100%.
Prognosis sangat tergantung dari18,19,20:
a. umur penderita, makin muda prognosis makin baik
b. factor penyebab, halotan memberikan prognosis yang jelek, virus hepatitis A lebih
baik dari hepatitis B, sebaliknya hepatitis B lebih baik dari NANB
c. keadaan epidemic, kalau terjadi epidemic sering prognosisnya lebih jelek
d. derajat koma
e. jenis kelamin, wanita lebih jelek dari pria
f. kemampuan hati untuk melakukan regenerasi.
Kematian umumnya disebabkan oleh perdarahan, kegagalan system sirkulasi dan
pernapasan. Gagal ginjal, infeksi, hipoglikemi dan pancreatitis.Perbaikan atau
kesembuhan sempurna dapat terjadi bila dilakukan pengelolaan yang cepat dan tepat.
Prognosis penderita HE tergantung dari : penyakit hati yang mendasarinya, faktor-faktor
pencetus, usia, , jenis kelamin, keadaan gizi, derajat kerusakan parenkim hati,
kemampuan regenerasi hati20.
23
BAB II
STATUS ORANG SAKIT
ANAMNESIS PRIBADI
Nama : Ramces purba
Umur : 61 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku : Batak
Agama : Kristen Protestan
Alamat :Jl Flamboyan Raya 6 Tanjung sari
ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan utama : Demam
Deskripsi : Hal ini telah dialami os 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demamnya naik turun dan tidak turun dengan obat penurun panas. Suhu tertinggi
mencapai 390C. Tidak dijumpai riwayat berpergian ke daerah endemis. Riwayat gusi
berdarah (-), bintik-bintik merah pada tangan dan lengan (-). Tidak dijumpai sesak nafas
dan batuk (+) sejak 2 hari, batuk disertai dahak berwarna putih kental. Keringat malam
tidak dijumpai. Os mengeluh cepat merasa lelah dan lemas. Os mengeluh adanya mual
(+), muntah (-), dan kedua kakinya bengkak. Os mengatakan bahwa sebelumnya ia
pernah didiagnosa sirosis hepatis.
Os mengeluh ada kesulitan tidur pada malam hari setelah masuk RS. Os juga cepat
teralih konsentrasi sewaktu berbicara.
BAK seperti warna teh pekat, nyeri saat berkemih (-), berpasir (-), dan tidak lampas(-).
BAB normal. Riwayat merokok(+) 2-3 bungkus perhari dan mengkonsumsi alkohol
(tuak) sebanyak setengah botol aqua besar perhari. Riwayat DM dan hipertensi
disangkal.
24
Os sebelumnya pernah dirawat di RS luar pada bulan Januari dengan adanya penurunan
kesadaran, perut membesar dan bengkak pada kedua tungkai bawahnya. Os ketika itu
didiagnosa dengan sirosis hati. Pada bulan Maret, os kembali dirawat di RSHAM dengan
keluhan yang sama.
RPT : -
RPO : -
ANAMNESIS UMUM ORGAN
Jantung Sesak Napas : - Edema : -
Angina
Pectoris: - Palpitasi : -
Lain-lain : -
Saluran
PernapasanBatuk-batuk : +
Asma,
bronchitis: -
Dahak : + Lain-lain : -
Saluran
PencernaanNafsu Makan : menurun Penurunan BB :-
Keluhan
Menelan: -
Keluhan
Defekasi:-
Keluhan Perut : - Lain-lain : -
Saluran
Urogenital
Sakit Buang
Air Kecil: -
Buang air kecil
tersendat: -
Mengandung
Batu: - Keadaan Urin
:warna teh
pekat
Haid : - Lain-lain : -
Sendi dan Sakit pinggang : - Keterbatasan : -
25
Tulang Gerak
Keluhan
Persendian: - Lain-lain : -
Endokrin Haus/Polidipsi : - Gugup : -
Poliuri : -Perubahan
Suara: -
Polifagi : - Lain-lain : -
Saraf Pusat Sakit Kepala : - Hoyong : -
Lain-lain : -
Darah dan
Pembuluh darahPucat : + Perdarahan : -
Petechiae : - Purpura : -
Lain-lain : -
Sirkulasi PeriferClaudicatio
Intermitten: - Lain-lain : -
ANAMNESIS FAMILI : Tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan yang sama
PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK
STATUS PRESENS :
Keadaan Umum Keadaan Penyakit
Sensorium Compos Mentis Pancaran wajah biasa
Tekanan darah 120/70 mmHg Sikap Paksa Tidak dijumpai
Nadi82x/i, reguler, t/v :
cukupReflek fisiologis +
26
Pernapasan 24x/i Reflek patologis -
Temperatur 37 oC (axila)
Skala Nyeri -
Anemia (+) Ikterus (+) Dispnu (-)
Sianosis (-) Edema (+) Purpura (-)
Turgor Kulit : Baik Petechi (-)
TB : 172 cm
BB : 78 kg
Keadaan Gizi :
BW = BB x 100 % = BMI = BB = 78 =26,3
TB-100 TB2 (1,72)2
BW = 78 x 100% = 108,3
72 Obesitas I
KEPALA : Tidak dijumpai deformitas
Mata : konjunctiva palp. inf. pucat (+/+), ikterus (+/+), pupil ukuran 3 mm isokor, ki=ka,
reflex cahaya direk (+/+)/indirek(+/+), kesan = anemia, ikterik
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : Lidah : atrofi papil
Gigi geligi : normal
Tonsil/faring : dalam batas normal
LEHER :
Struma tidak membesar, pembesaran kelenjar limfa (-), nyeri tekan (-)
Posisi trakea : medial, TVJ : R-2 cm H2O
Kaku kuduk (-), lain-lain: (-)
THORAX DEPAN
27
Inspeksi
Bentuk : Simetris fusiformis
Pergerakan : Simetris, tidak ada ketinggalan bernapas
Dijumpai spider nevi (+)
Palpasi
Nyeri tekan : nyeri tekan (-)
Fremitus suara : stem fremitus kanan tidak sama dengan kiri, kesan sf kanan
mengeras
Iktus : tidak terlihat, teraba di ICS V 1 cm medial LMCS
Perkusi
Paru : Sonor memendek di lapangan paru kanan
Batas paru-hati R/A :R: ICS V LMCD/ A: ICS VI LMCD
Peranjakan : 1 cm
Jantung
Batas Atas Jantung : ICS III sinistra
Batas Kiri Jantung : ICS V 1 cm medial LMCS
Batas Kanan Jantung : ICS V parasternalis dextra
Auskultasi
Paru
Suara Pernapasan : bronkial di lapangan paru kanan
Suara tambahan : ronkhi basah di lapangan paru kanan atas
Jantung
M1 > M2,T1 > T2, A2 >A1, P2 > P1 desah sistolis (-), desah diastolis (-)
HR : 82x/i, reguler, intensitas Cukup
THORAX BELAKANG
28
Inspeksi : Simetris fusiformis, spider nevi (+)
Palpasi : stem fremitus kanan tidak sama dengan kiri, kesan sf kanan mengeras
Perkusi : Sonor memendek pada lapangan paru kanan
Auskultasi : Suara pernapasan : bronkial di paru kanan
Suara tambahan : ronkhi basah di paru kanan atas
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : Simetris
Gerakan lambung/usus : tidak terlihat
Vena kolateral : (-)
Caput medusae : (-)
Palpasi
Dinding Abdomen : soepel abdomen (+) nyeri (-)
HATI
Pembesaran : -
Permukaan : -
Pinggir : -
Nyeri tekan : -
LIMFA
Pembesaran : -
GINJAL
Ballotement : -
UTERUS/OVARIUM : -
TUMOR : (-)
29
Perkusi
Pekak hati : (+)
Pekak beralih : (-)
Auskultasi
Peristaltik usus : normoperistaltik
PINGGANG
Nyeri ketuk sudut kostovertebra (-) kiri/kanan
INGUINAL : tdp
GENITALIA LUAR : tdp
PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT)
Perineum : biasa
Spincter Ani : ketat
Lumen : kosong
Mukosa : licin
Sarung Tangan : feses
ANGGOTA GERAK ATAS ANGGOTA GERAK BAWAH
Deformitas Sendi - Edema + +
Lokasi - Arteri Femoralis + +
Jari Tabuh - Arteri Tibialis Posterior + +
Tremor Ujung Jari - Arteri Dorsalis Pedis + +
Telapak Tangan Sembab - Refleks KPR + +
Sianosis - Refleks APR + +
Eritema Palmaris + Refleks Fisiologis + +
Lain-Lain - Refleks Patologis - -
Lain-lain - -
30
PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN
Darah Kemih Tinja
Hb : 9 g/dL
Eritrosit : 2,54x106/mm3
Leukosit : 6,33x 103/mm3
Trombosit: 45 x 103/mm3
Ht : 23,60 %
Hitung jenis :
Eosinofil : 16,4%
Basofil : 0,3 %
Neutrofil : 44,30%
Limfosit : 1,28%
Monosit : 1,19%
Warna : teh pekat
Protein : +1
Reduksi : -
Bilirubin : -
Urobilinogen: -
Sedimen
Eritrosit : 0-1/lpb
Leukosit : 1-3 /lbp
Silinder : -
Epitel :- /lbp
Warna : coklat
Konsistensi : lembek
Eritrosit : 0-1 LPB
Leukosit : 0-1 LPB
Amoeba/Kista : -
Telur Cacing
Ascaris : -
Ankylostoma : -
T. trichiura : -
Kremi : -
RESUME(Diisi dengan hal positif)
ANAMNESIS
Keluhan Utama : febris (+)
Hal ini dialami sejak 3 hari smrs, bersifat naik
turun ,suhu tertinggi 390C. Dispnea (-) dan batuk
dengan sputum (+) sejak 2 hari. Nausea (+), emesis
(-), kedua kakinya edema. Os pernah didiagnosa
sirosis hepatis. Insomnia pada malam hari (+) sejak
masuk RS.
Urin warna teh pekat dan feses normal
Riwayat Merokok (+) (perokok berat) dan konsumsi
alkohol (+) (tuak).
STATUS PRESENS
Keadaan Umum : baik
Keadaan Penyakit : berat
Keadaan Gizi : obesitas I
PEMERIKSAAN FISIK Konjunctiva palpebral anemis (+/+), sclera ikterik
31
(+/+)
Thorax depan:
Inspeksi : spider nevi (+)
Perkusi : Sonor memendek di lapangan paru kanan
Auskultasi :
Suara pernapasan : bronkial di lapangan paru kanan
Suara tambahan: ronkhi basah di paru kanan atas
Thoraks belakang
Inspeksi : spider nevi (+)
Perkusi : Sonor memendek di lapangan paru kanan
Auskultasi :
Suara pernapasan : bronkial di paru kanan
Suara tambahan: ronkhi basah di paru kanan atas
Anggota gerak atas: eritema palmaris (+)
Edema pada kedua tungkai bawah (+)
LABORATORIUM RUTIN Darah rutin
Hb : 9 g/dL
Eritrosit : 2,54 x 106/mm3
Leukosit: 6,33 x 103/mm3
Trombosit: 45 x 103/mm3
Ht : 23,60 %
Hitung jenis :
Eosinofil : 16,4%
Basofil : 0,3 %
Neutrofil : 44,3%
Limfosit : 1,28%
Monosit : 1,19%
Urinalisa
Warna : teh pekat
Protein : -
32
Reduksi : -
Bilirubin : -
Urobilinogen: -
Sedimen
Eritrosit : 0-1/lpb
Leukosit : 1-3/lbp
Silinder : -/lbp
Epitel :- /lbp
Feses Rutin
Warna : coklat
Konsistensi : lembek
Eritrosit : 0-1 LPB
Leukosit : 0-1 LPB
Amoeba/Kista : -
DIAGNOSA BANDING
Hepatik encefalopati grade 1
dd Metabolic Encephalopathy
+ Sirosis hepatis
+ efusi pleura dextra ec pneumonia
dd TB paru
+ anemia ec penyakit kronis
dd def besi
Hepatik ensefalopati grade 1+ Sirosis hepatis + efusi
pleura dextra ec pneumonia
PENATALAKSANAAN Aktivitas : tirah baring
Diet : diet hati II
Tindakan suportif :
IVFD Dextrose 5% 10 gtt/i mikro
33
balance cairan -250cc
Medikamentosa :
- Aminoleban 1 fls perhari
- Inj ceftriaxone 1 gr/8 jam
- Paracetamol 3x500mg
- Laxadine syr
Rencana Penjajakan Diagnostik / Tindakan Lanjutan
1. Number Connecting Test 6. EEG
2. Faal hepar (bilirubin total, bilirubin I dan
II, SGOT, SGPT, albumin, globulin, γGT)
7. Darah lengkap (eritrosit, MCV,
MCH,MCHC, retikulosit, trombosit)
3. HBsAg, Anti HCV 8.. Foto thorax
4 USG abdomen 9. BTA ds 3x, Kultur sputum
5. Gastroskopi 10. Analisa, kultur, sitologi cairan efusi
pleura
34
BAB 3
FOLLOW UP PASIEN HARIAN DI RUANGAN
Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
Tanggal 4-
8
September
2015
Demam
(+),
BAK
warna
teh pekat
(+)
Sens: CM
TD: 100/60
Nadi : 80x/i
HR: 20x/i
Temp: 36,80C
Pemeriksaan fisik:
Mata: konjunctiva
palp anemis(+/+),
ikterik(+/+)
Leher: TVJ R-2
cmH2O, pemb.
KGB(-), trakea
medial
Thoraks: spider
nevi (+)
SP: vesikuler
melemah di
lapangan paru
kanan
ST: ronki (+) di
paru kanan atas
Abdomen:
Simetris, soepel,
H/L/R tidak
teraba, BU(+)N
Foto thoraks PA:
Sirosis hepatis +
efusi pleura
dextra ec
pneumonia + AKI
std injury dd
hepatorenal
syndrome
tirah baring
diet hati III
Balance
cairan -
250cc
IVFD
Dextrose
5% 10 gtt/I
mikro
Inj
Cefotaxime
1 gr/8 jm
Faal hepar
USG
abdomen
Darah
lengkap
Gastrosko
pi
PT/INR
EEG
Foto
thorax
35
Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
kesan efusi pleura
kanan
Lab (4/9)
Hb: 9,2 g/dL
RBC:
2,65x106/mm3
WBC:
15,01x103/mm3
Ht: 25,6%
PLT: 93x103/mm3
MCV:96,6 fL
MCH: 34,7 pg
MCHC: 35,9 g%
RDW: 12,9%
MPV: 9,10 fL
PCT: 0,08%
PDW: 9,1 fL
Neu:75,4%
Lim: 8%
Mono: 14,7%
Eo: 1,8 %
Baso: 0,1%
Waktu protrombin
27,5 s (N:14)
INR: 1,98
APTT: 45,5 s
(N:31,5)
Waktu trombin
36
Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
20,2 s (N:17,5)
Fibrinogen 248
mg/dL
Albumin: 2 g/dL
Ureum: 43,5
mg/dL
Kreatinin: 3,06
mg/dL
Na: 129 mEq/dL
K: 3,5 mEq/dL
Cl: 100mEq/dL
Lab (7/9)
Hb: 9 g/dL
RBC:
2,54x106/mm3
WBC:
6,33x103/mm3
Ht: 23,6%
PLT: 95x103/mm3
MCV:92,9 fL
MCH: 35,4 pg
MCHC: 38,1 g%
RDW: 12,2%
MPV: 9,30 fL
PCT: 0,09%
PDW: 10,2 fL
LED: 45 mm/jam
37
Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
Neu:44,3%
Lim: 20,2%
Mono: 18,8%
Eo: 16,4 %
Baso: 0,3%
Na: 124mEq/L
K: 3 mEq/L
Cl: 90 mEq/L
HBsAg (-)
Anti HCV (-)
Waktu protrombin
25,4 s (N:14)
INR: 1,83
APTT: 46,5 s
(N:32,6)
Waktu thrombin
22,3 s (N:17,8)
Fibrinogen 248
mg/dL
d-dimer : 4987
ng/mL
Ferritin: 364,9
ng/mL
Besi: 57 mg/dL
TIBC: 123 g/dL
Bilirubin total:
1,66 mg/dL
Bilirubin
38
Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
direk:1,17 mg/dL
Fosfatase Alkali:
91U/L
AST/SGOT: 39
U/L
ALT/SGPT: 23
U/L
Protein total: 6,8
g/dL
Albumin: 2 g/dL
Globulin: 5,1 g/dL
Kolesterol Total:
71 mg/dL
Trigliserida: 77
mg/dL
Kolesterol HDL:
13 mg/dL
Kolesterol LDL:
16 mg/dL
Ureum: 71,9
mg/dL
Kreatinin: 3,36
mg/dL
Asam Urat : 7,5
mg/dL
USG ginjal: kedua
ginjal normal
USG hepar: sirosis
39
Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
hepatis
Gastroskopi: HHO
sliding + pan
gastropati (berat)+
duodenitis
Tanggal 9-
13
September
2015
demam
(-), BAK
warna
pekat
(+), sulit
tidur (+)
sens: CM
TD: 100/60
Nadi: 64x/i
RR: 20x/i
Temp : 36,2o
Pemeriksaan fisik:
Mata: konjunctiva
palpebra anemis
(+/+), sclera
ikterik (+/+)
Leher: TVJ R-2
cmH2O
Thorax: SP=
bronkial di paru
kanan
ST= ronki basah di
paru kanan atas
Abdomen: simetris
(+), soepel(+),
H/L/R ttb,
peristaltik (+)N
Ekstremitas :
oedem (+/+),
HE grade I+
Sirosis hepatis st
DC + efusi pleura
dextra ec
pneumonia + AKI
std injury dd acute
on CKD
tirah baring
diet hati III
IVFD
dextrose 5%
10 gtt/I
mikro
Aminolebon
1 fl/ hari
Inj
ceftriaxone
1 gr/8 jam
PCT 3 x
500 mg
Laxadine
syr 3x CI
Gastrosko
pi
PT/INR
EEG
40
Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
eritem palmaris(+)
Lab (11/9)
Hb: 8,9 g/dL
RBC:
2,56x106/mm3
WBC:
4,8x103/mm3
Ht: 24,4%
PLT: 128x103/mm3
MCV:95,3 fL
MCH: 35,4 pg
MCHC: 34,8 g%
RDW: 13,1%
MPV: 8,90 fL
PCT: 0,11%
PDW: 9,3 fL
LED: 50 mm/jam
Neu:38,2%
Lim: 30,8%
Mono: 22,7%
Eo: 8,1 %
Baso: 0,2%
Na: 132mEq/L
K: 3,1 mEq/L
Cl: 101 mEq/L
Waktu protrombin
21,6 s (N:14)
41
Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
INR: 1,55
APTT: 44,9 s
(N:31,9)
Waktu thrombin
24 s (N:17,6)
Fibrinogen 223
mg/dL
d-dimer : 1681
ng/mL
Albumin: 2 g/dL
Ureum: 98,5
mg/dL
Kreatinin: 2,58
mg/dL
Hasil BTA 1:
Hasil BTA: (-)
Jamur: (+)
Tanggal
14-18
Agustus
2015
Demam
(-), BAK
pekat(+),
sulit
tidur (+),
batuk(+)
dahak(-)
Tanggal
15, batuk
mulai
berkuran
sens: CM
TD: 100/60
Nadi: 64x/i
RR: 20x/i
Temp : 36,3o
Pemeriksaan fisik:
Mata: konjunctiva
palpebra anemis
(+/+), sclera
ikterik (+/+)
Leher: TVJ R-2
HE grade I+
Sirosis hepatis st
DC + efusi pleura
dextra ec
pneumonia + AKI
std injury dd acute
on CKD
tirah baring
diet hati III
IVFD
dextrose 5%
10 gtt/I
mikro
Aminolebon
1 fl/ hari
Inj
meropenem
42
Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
g
Tanggal
16, tidak
ada
batuk.
Tanggal
18, sulit
tidur
berkuran
g
cmH2O
Thorax: SP=
bronkial di paru
kanan
ST= ronki basah di
paru kanan atas
Abdomen: simetris
(+), soepel(+),
H/L/R ttb,
peristaltik (+)N
Ekstremitas :
oedem (-/-), eritem
palmaris(+)
Hasil kultur
sputum: BTA I (-),
BTA II (-).
Bakteri:
Escherichia coli
ESBL(+)
Sensitive:
meropenem,
gentamycin
Lab (17/9)
Hb: 8,4 g/dL
RBC:
2,39x106/mm3
WBC:
1 gr/8 jam
PCT 3 x
500 mg
Laxadine
syr 3xCI
43
Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
5,54x103/mm3
Ht: 23,2%
PLT: 122x103/mm3
MCV:97,1 fL
MCH: 35,1 pg
MCHC: 36,2 g%
RDW: 13,5%
MPV: 9,30 fL
PCT: 0,11%
PDW: 9,5 fL
Neu:42%
Lim: 26%
Mono: 17,9%
Eo: 13,7 %
Baso: 0,4%
Na: 134mEq/L
K: 3,4 mEq/L
Cl: 110 mEq/L
Waktu protrombin
17,3 s (N:14)
INR: 1,27
APTT: 40 s (N:32)
Waktu thrombin
24,5 s (N:17,5)
Ureum: 49,6
mg/dL
Kreatinin: 1,89
mg/dL
44
BAB 4
DISKUSI
NO TEORI KASUS
1. Etiologi
Sekitar 28% penderita SH dapat
mengalami komplikasi hepatik
ensefalopati.
Pasien menderita SH dan mengalami
komplikasi hepatik ensefalopati grade I.
2. Manifestasi klinis
Kriteria West Haven
Grade 1 – gangguan tidur,
45
euphoria/anxiety, gangguan pemusatan
konsentrasi, asteriksis yang tidak jelas
Grade 2 – lethargy/apathy, disorientasi
minimal terhadap waktu dan/atau
tempat, perubahan perilaku,flapping
tremor jelas, penurunan daya ingat
Grade 3 – somnolen sd semistupor, tapi
masih dapat respon dengan stimulasi
verbal, kebingungan, disorientasi mayor,
amnesia, gangguan emosi
Grade 4 – koma
Pada pasien didapati
Kriteria West Haven
- Gangguan tidur, Gangguan
pemusatan konsentrasi, asteriksi
yang tidak jelas
= Grade 1
2. Terapi
Tindakan Umum
Pemantaun kesadaran
Keseimbangan cairan , elektrolit
serta asam dan basa
Pembatasan konsumsi air
Diet rendah protein
Tindakan Khusus
Mengurangi produksi dan
absorpsi ammonia
- Lactulose, Lactose
- Antibiotik
- LOLA
- Probiotik
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/I mikro
- Balance cairan -250 cc
- Tirah Baring
- Diet Hati II
- IVFD Dekstrose 5% 10 gtt/i
- Aminoleban 1fls perhari
- Inj ceftriaxone 1 gr/8 jam
- Laxadine syr
46
BAB 5
KESIMPULAN
Pasien laki-laki, usia 61 tahun, menderita Hepatic encephalopathy stg 1 +Sirosis
hepatis + efusi pleura dextra ec pneumonia.
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Frederick RT. Current concepts in teh pathophysiology and management of
hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2011;7(4):222-33.
2. Djannah, D. 2003. Hubungan Antara Derajat Sirosis Hati dengan Derajat
Abnormalitas Elektroensefalografi. Semarang. Fakultas Kedokteran UNDIP.
3. Vilstrup, H. et. al. 2014. Hepatic Encephalopathy in Chronic Liver Disease :
2014 Practice Guideline by AASLD and EASL. Teh American Association
for Study of Liver Disease.
48
4. Hasan,I. Araminta, A.P. 2014. Hepatik ensefalopati : Apa, Mengapa, dan
Bagaimana. Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Vol. 27(3).
5. Teh diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy. Dtsch
Arztebl int. 2012;109(10):180-7.
6. Taylor CR. 2011. Cirrhosis. [serial on line].
http://emedicine.medscape.com/article/366426-overviewm. [10 September
2015]
7. Elsevier. 2012. Cirrhosis. Accessed
www.clinicalkey.com/topics/gastroenterology/cirrhosis.html
8. Friedman, LS., Keeffe, EB., 2012. Handbook of liver disease. Philadephia:
Elsevier, Inc.
9. http://emedicine.medscape.com/article/185856-overview(cirrhosis)
10. http://www.msdmanuals.com/professional/hepatic-and-biliary
disorders/fibrosis-and-cirrhosis/cirrhosis
11. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Ed.5. Jakarta: Interna Publishing.
12. Mansjoer, A., dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.
13. Fauci, A.S. et all. 2008. Cirrhosis and its complications in Harrison’s
Principles of Internal Medicine 17th Edition. Mc-Graw Hill: USA
14. Epocrates. 2015. Hepatic Encephalopathy. Accessed https://online.
Epocrates.com/u/2924294.Hepatic+encephalopathy
15. Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F, et al. Hepatics
encephalopathy: An approach to its multiple pathophysiological Lornithine-L-
aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy. Journal of teh College
of Physicians and Surgenous--Pakistan:JCPSP.2008;18(11):684-7.
16. Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi
7. Jakarta : EGC Zhan T, Stremmel W.
17. http://emedicine.medscape.com/gastroenterology#liver
49
18. http://he123.liverfoundation.org/diagnosis/what-triggers-or-can-cause-he-to-
get-worse/
19. http://www.healthline.com/health/hepatic-encephalopathy-2#Overview
20. https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000302.htm
21. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy tehrapy: An over-
view. World J Gastrointest Pharmacol Tehr. 2010;(2):54-63.
22. Wright G, Chatree A, Jalan R. Management of Hepatic Encephalopathy. Int J
Hepatol. 2011;2011.
23. Bongaerts G, Severijnen R, Timmerman H. Effect of antibiotics, prebiotics
and probiotics in teh treatment for hepatic encephalopathy. Med Hypotehsses
2005;64:64-8.
24. Liu Q, Duan ZP, Ha DK, et al. Synbiotic modulation of gut flora: Effect on
minimal heatic encephalopathy in patients with cirrhosis. Hepatology
2004;39:1441-9.
25. Sulaiman, Akbar, Lesmana dan Noer. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati.
Jakarta: Jayabadi
26. Sharma V, Garg S,S A. Probiotics and Liver Disease. Perm J. 2013;17(4):62-7
27. Shukla S, Shukla A, MHEboob S, Guha S. Meta-analysis: teh effects of gut
flora modulation using prebiotics, probiotics and synbiotics on minimal
hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Tehr. 2011;33(6):662-71.
28. Solga, SF. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med Hypotehsses
2003;61:307-13.
50