1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penerimaan terhadap suatu teks media atau karya cipta sangat tergantung pada
penerimaan audiens, dimana saat ini audiens tidak hanya bersifat pasif menerima,
namun lebih bersifat aktif. Hal ini dikarenakan pergeseran peran audiens yang telah
menciptakan hubungan timbal balik diantara audiens dan teks media, bukan hanya
hubungan searah dari media pada audiens. Hubungan keduanya menjadi menarik,
dimana media dan audiens pada akhirnya akan saling membutuhkan, saling memberi,
saling mengambil keuntungan satu sama lain, serta memainkan perannya masing-
masing yang dinamis. Sejalan dengan yang dikemukakan Graeme Burton, bahwa
audiens adalah mereka yang mengkonsumsi produk-produk media.1 Dalam konteks
ini, audiens memiliki andil dalam menentukan media yang dipilih untuk memenuhi
kebutuhan akan informasi dan hiburan.
Hubungan timbal balik ini terjadi pada situs YouTube dengan audiensnya yang
berupa viewer,2 dimana sejak kehadiran YouTube pada tahun 2005 menawarkan cara
lain dalam dunia blogging. Jika sebelumnya bentuk blog hanya berupa tulisan, dalam
YouTube, dikenal adanya Video Blogging atau Video Log yang berbentuk video.
Video Log sendiri merupakan suatu video dengan bermacam content, baik mengenai
opini, cerita keseharian, tutorial atau apa pun yang kemudian disisipkan pada suatu
situs YouTube.3 Audiens biasapun dapat memberikan kontribusinya dalam dunia
YouTube. Bahkan, tidak sedikit YouTubers4content-content video luar biasa dalam
YouTube berasal dari kalangan biasa, karena penggunaan YouTube yang sangat
1Burton, Graeme. 2012. Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. 2Istilah ini digunakan untuk menyebut orang yang telah menonton video di sebuah YouTub
channel. 3http://www.tekinfom.com/2016/05/apa-itu-vlog-perkembangan-dari-blog-kah.html (Diakses,
19 Mei 2016). 4Istilah dalam YouTube untuk menyebut orang-orang yang memiliki akun atau YouTube
channel.
2
sederhana dimana YouTubers dapat mengunggah, mempublikasikan, dan video
streaming, tanpa memerlukan high level of technical knowledge.
Sambutan audiens terhadap YouTube dinilai sangat fantastis. Pada November
tahun 2007, YouTube menjadi The Most Popular Entertainment Website di Britain,
mengalahkan BBC website. Kemudian pada awal tahun 2008, YouTube termasuk Top
Ten Most Visited Websites secara global. April tahun 2008, lembaga riset pasar
internet ComScore, melansir bahwa 37% dari seluruh video di internet yang telah
ditonton di United States, berasal dari YouTube, mengalahkan Fox Interactive Media
yang hanya 4,2%.5 Maka ketika berbicara vlog6 juga akan berbicara viewer, karena
vlog dan viewer merupakan dua hal yang saling terikat dan tidak bisa dipisahkan.
Viewer dalam YouTube channel itu sendiri merupkan kaum muda, karena kaum muda
adalah generasi yang dekat dengan media baru (internet), serta kemunculan media
baru juga berdampingan dengan lahirnya generasi muda saat ini dengan rentang usia
17-24 tahun.7
Ketika berbicara mengenai kaum muda, kental dengan perspektif bahwa jiwa
kaum muda adalah jiwa yang bebas. Hal ini dipermudah pula dengan penggunaan
internet yang bebas, tidak mengenal batas ruang dan waktu, serta tidak membutuhkan
biaya mahal. Sehingga, tidak heran jika generasi saat ini disebut generasi media baru
karena telah dirancang sesuai dengan budaya kaum muda. Internet yang notabene
adalah media baru, telah menjadi bagian dari hidup para kaum muda.8 Seperti halnya
di Indonesia, budaya kaum muda dalam menggunakan media baru sudah mulai
menjamur dikalangan masyarakat saat ini yang dianggap aktif dan expert (ahli) dalam
menggunakan media baru tersebut. Sebelum media baru berpengaruh terhadap aspek-
5Burgess, Jean dan Green, Joshua. 2009. YouTube: Digital Media and Society Series.
Cambridge: Polity Press. 6Seterusnya secara konsisten akan menggunakan kata Vlog. 7Fadhal, Soraya. 2012. Identifikasi Identitas Kaum Muda di Tengah Media Digital (Studi
Aktivitas Kaum Muda Indonesia di Youtube). Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol. 1,
No. 3 Jakarta. 8Chien Chou, Linda Codron, dan John C. Belland. 2005. A review of the Research on Internet
Addiction: Springer Science + Bussiness Media, Inc. Hal 1.
3
aspek kehidupan audiens, hubungan yang tercipta hanyalah searah melalui FTF
(Communication And Interaction), dimana ketika itu audiens lebih dapat dikontrol
dibandingkan melalui SNS (Social Network Site). Krämer & Winter mengatakan,
“Afundamental difference between face-to-face communication and the SNS situation
arises, because the audience of conformity behavior is largely undetermined”.9 Hal
ini menyebabkan audiens dalam dunia maya bersifat heterogen, serta audiens saat ini
merupakan generasi media baru, yaitu audiens media baru yang terdiri dari kaum
muda.
Audiens media baru tergambarkan diantara Raditya Dika dengan penikmat
karya yang dihasilkannya, dalam konteks ini adalah karya Raditya Dika berupa vlog
dengan nama RVLOG (Raditya Video Log) di YouTube channel Raditya Dika.
Raditya Dika membuat vlog dengan content cerita kegiatan sehari-hari, tidak hanya
tentang project kerja atau karya yang sedang dikerjakan, namun kegiatan lainnya
yang selama ini belum ter-expose oleh media. Audiens tidak hanya menerima begitu
saja content yang disajikan dalam RVLOG,10 namun audiens dapat berkomentar dan
memberi saran di laman komentar yang sudah tersedia di RVLOG tersebut.
Vlog bermula dari media baru yang merupakan bagian konvergensi media,
menyebabkan perubahan budaya media dan adanya budaya populer. Konvergensi
media lahir ketika media baru mulai diperkenalkan, dimana konvergensi media itu
sendiri merupakan hasil dari irisan tiga unsur new media yaitu jaringan komunikasi,
teknologi informasi dan konten media.11Konvergensi media bukan saja memperkaya
sajian informasi, tetapi juga memberi pilihan kepada audiens untuk memilih media
sesuai dengan kebutuhan dan selera mereka. Bisa dikatakan konvergensi media juga
mengubah hubungan diantara audiens, teknologi, industri, pasar, dan gaya hidup.
9Ganster, Tina. 2014. “Like” what you see? (A Qualitative Exploration of Peer Influence
Exerted Through the Display of Likes on Facebook Pages). Social Psychology: Media and
Communication, University of Duisburg-Essen. Germany. 10Seterusnya secara konsisten akan menggunakan kata RVLOG. 11Jenkins, Henry. 2007. Convergence Culture: Where Old Media and New Media Collide.
NYU Press: New York.
4
Sebelum munculnya RVLOG, Raditya Dika sudah mengasilkan berbagai
karya. Bermula hanya semata-mata melakukan hobi dan curhat tentang kejadian yang
dialami sehari-hari yang ditulis melalui blog pribadi. Curhat sehari-hari itu lantas
menjadi hiburan menyenangkan bagi para blog walker yang ribuan kali menginjakkan
jejak di laman blog pribadinya.12
Kemudian Raditya Dika memberanikan diri untuk
membukukan catatan harian di blog pribadinya, setelah memenangkan Indonesian
Blog Award dan juga pernah meraih pengharagaan dari Indosat yang bertajuk The
Online Inspiring.13 Kambing Jantan, itulah karya novel pertama yang mengangkat
nama Raditya Dika, ditampilkan dalam format diary (buku harian).
Raditya Dika yang bermula sebagai penulis: Kambing Jantan (2005), Cinta
Brontosaurus (2006), Radikus Makankakus: Bukan Binatang Biasa (2007), Babi
Ngesot (2008), Marmut Merah Jambu (2010), Manusia Setengah Salmon (2011) dan
yang terbaru adalah Koala Kumal (2015) dan menjadi komika14 sekaligus menjadi
juri Stand Up Comedy Indonesia. Tidak berhenti disitu saja, Raditya Dika terus
mengembangakan talenta dalam dirinya dengan aktif dalam bidang perfilman, dimana
Raditya Dika sebagai aktor sekaligus sutradara film-film yang berangkat dari novel
karangannya sendiri. Dalam media baru pun Raditya Dika sangat aktif, seperti di
YouTube channel. Hal ini terlihat dari berbagai karya yang dihasilkannya, seperti web
series Malam Minggu Miko dan terbaru RVLOG di YouTube channel Raditya Dika.15
Adanya konvergensi media yang melahirkan media baru, layaknya RVLOG di
YouTube channel Raditya Dika, menjadikan audiens yang dalam penelitian ini adalah
penikmat RVLOG semakin bertambah banyak. Artinya, karya-karya Raditya Dika
cukup mendapat respon positif dari audiens dan bertambah banyak pula penghargaan
yang dihasilkan Raditya Dika. Dimana baru-baru ini Raditya Dika mendapatkan
12www.radityadika.com “Official website” (Diakses 19 Februari 2016). 13Ibid. 14Sebutan untuk orang yang Stand Up Comedy. 15Berdasarkan yang terarsip dalam Atho Novian, “Biografi Asal Usul Raditya Dika”
http://athodotnovian.blogspot.com/2013/03/biografi-asal-usul-raditya-dika.html (Diakses tanggal 19
Februari 2016).
5
penghargaan lagi, kali ini diberikan oleh Jawa Pos Group Awards 2016, Infotaiment
Awards 2016 dan Box Office Indonesia Movie Awards 2016.16
Jelas terlihat Raditya Dika telah sukses dan berhasil menjangkau audiens tidak
hanya di media cetak dan konvensional, namun juga di media baru melalui karya
yang dihasilkannya. Semakin diperkuat dengan audiens yang melihat dan mengikuti
RVLOG melalui YouTube channel Raditya Dika, dimana dengan adanya RVLOG
jumlah subscribe17 YouTube channel Raditya Dika bertambah signifikan.18 Selain itu
juga terbukti dengan semakin banyaknya audiens yang follow19 Instagram Raditya
Dika.20 Melalui Instagram Raditya Dika selalu update RVLOG terbarunya.
Raditya Dika yang sebelumnya sudah sukses dan terkenal dengan berbagai
karya yang dihasilkannya, kemudian membuat RVLOG dengan berbagai content
cerita tentang kegiatannya sehari-hari, sehingga brand image Raditya Dika dibenak
audiens menjadi dipertanyakan. Pada manusia, brand yang melekat pada dirinya
disebut personal branding. Personal branding bertujuan untuk membangun asosiasi
dan harapan audiens terhadap diri seseorang, yang berkenaan dengan kemampuan
untuk mempengaruhi keputusan dan tingkah laku seseorang.21 Kembali pada konteks
penelitian, dimana penelitian ini akan menganalisis bagaimana penetapan keputusan
audiens terhadap personal branding Raditya Dika dengan menikmati karya Raditya
Dika dalam ranah media baru, yakni RVLOG di YouTube Channel Raditya Dika.
Awalnya penelitian mengenai brand image lebih didominasi terhadap studi
iklan produk dan marketing suatu perusahaan, padahal studi mengenai personal
branding juga penting dilakukan untuk mengkaji bagaimana seseorang memandang
dan mempersepsikan orang lain. Persepsi yang direfleksikan akan berbeda-beda,
16Http://liputan6.com/ (Diakses 10 Maret 2016). 17Dalam YouTube istilah ini digunakan untuk menyebut orang yang berlangganan video-video
dalam sebuah YouTube channel yang dikehendaki. 18Raditya Dika “Official YouTube Channel” dari 1.582.271 menjadi 2.091.605 subscribe
dari Januari hingga November 2016 (Diakses 18 Januari dan 8 November). 19Istilah untuk orang-orang yang mengikuti akun instagram. 20Raditya_Dika “Raditya Dika’s Official Account (Instagram)” dari 2.2M menjadi 4,9M
follower dari Januari hingga November 2016. (Diakses 18 Januari dan 8 November). 21Montoya & Tim Vandehey. 2008. The Brand Called You. McGraw-Hill Professional.
6
tergantung bagaimana seseorang meyakininya berdasarkan apa yang dilihat, diamati
dan didengar. Penelitian terdahulu mengenai personal branding dilakukan oleh
Kumala Maharani Totoatmojo, dimana penelitian ini ingin melihat dan mengetahui
pengaruh citra Inul Daratista terhadap citra merek Inul Vizta, serta ingin mengetahui
persepsi pelanggan mengenai citra merek Inul Vizta.22
Audiens dalam penelitian ini merujuk pada konsep audiens aktif dalam kajian
budaya, yang mana audiens sebagai pencipta makna. Menurut Barker audiens aktif
mengacu pada kemampuan audiens atau pemirsa untuk menjadi pencipta makna
secara aktif bukan hanya menjadi penerima pasif dari makna yang disampaikan
teks.23 Teori resepsi audiens (audience reception theory) dipilih karena relevansinya
dalam penelitian ini. Resepsi audiens dalam tradisi kajian budaya berada digaris batas
antara ilmu sosial dan ilmu humaniora terutama menyangkut budaya populer.
McQuail menyatakan studi dalam tradisi ini menekankan media sebagai alat untuk
merefleksikan secara khusus konteks sosio-kultural dan proses pemberian makna
terhadap produk budaya berdasarkan pengalaman manusia. Penelitian resepsi akan
menunjukkan bahwa pesan dapat dibaca (decode) secara berbeda oleh berbagai
kelompok karena perbedaan sosial dan kultural.24
Studi resepsi menitikberatkan pada peran audiens dalam decoding teks media.
Keadaan ini juga memungkinkan bagi audiens saat ini yang tidak terbatas pada satu
media saja, tetapi juga bebas menggunakan media lainnya. McQuail menyatakan
audiens dapat merujuk pembaca (readers), pendengar (listeners), atau penonton
(viewers) terkait tipe dan konten media yang digunakannya.25 Tipe media pun
bermacam-macam seperti film, musik, buku, majalah, televisi, radio dan bahkan
22Totoatmojo, Kumala Maharani. 2015. Public Figure and Their Business the Image Effect of
Inul Daratista toward Brand Image of Inul Vizta. Jurnal Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. 23Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Kanisius. 24McQuail, Dennis. 1997. Audience Analysis. USA: Sage Publications. 25Hall, Stuart. 2005. Encoding/Decoding (dalam Culture, Media, Language: Working Papers
in Cultural Studies 1972-1979. Dorothy Hobson, Andrew Lowe dan Paul Willis [ed]). London:
Routledge (diterbitkan pertama kali tahun 1980).
7
media baru seperti video di YouTube channel. Dalam studi kajian budaya, analisis
resepsi diaplikasikan dalam berbagai media, seperti situasi komedi yang memuat
stereotip gender dan peran keluarga (Margaret. J. Mc Cleland, 2007); audiens dan
konten program siaran radio (Eyasu Negash Alemie, 2008); pengaruh foodstuff dalam
film terhadap praktik sosial (Ece Simen Civelek, 2012); serta musik yang bermuatan
kritik sosial seperti lagu-lagu Efek Rumah Kaca (Rifki Amelia Fadlina, 2012).
Penelitian ini memilih RVLOG pada bulan Maret-April 2016 karena: (1)
RVLOG merupakan karya terbaru Raditya Dika dengan memanfaatkan media baru,
yakni melalui YouTube channel Raditya Dika yang baru dimulai 16 Feberuari 2016;
(2) Vlog merupakan hal yang masih baru dan booming di Indonesia, terutama sejak
adanya RVLOG;26 (3) Sejak adanya RVLOG, audiens yang subscribe di YouTube
channel Raditya Dika bertambah signifikan;27 (4) Content RVLOG di bulan Maret-
April 2016 lebih bervariasi dan menarik, sehingga viewers RVLOG bulan Maret-
April 2016 lebih banyak dari viewer content RVLOG sebelumnya.28
Penelitian ini secara khusus akan menganalisis tentang penerimaan audiens,
yang saat ini peran audiens sudah mengalami pergeseran. Audiens saat ini merupakan
audiens media baru yang terdiri dari kaum muda yang lebih aktif dalam bermedia,
karena kemunculan dari media baru juga berdampingan dengan lahirnya generasi
muda saat ini. Maka penikmat RVLOG juga merupakan audiens media baru, karena
content dalam RVLOG sangat dekat dengan kehidupan dan sosial-budaya kaum
muda saat ini. Serta juga personal branding seseorang yang dipertanyakan kembali,
terutama ketika jauh sebelumnya seseorang tersebut sudah dikenal oleh banyak orang.
Ketika orang-orang pada umumnya terkenal setelah membuat vlog di YouTube
26http://www.tekinfom.com/2016/05/apa-itu-vlog-perkembangan-dari-blog-kah.html
(Diakses, 19 Mei 2016). 27Raditya Dika “Official YouTube Channel” dari 1.582.271 menjadi 2.091.605 subscribe dari
Januari hingga November 2016 (Diakses 18 Januari dan 8 November). 28Ibid (sebanyak 438.293 viewer dengan content shooting film Koala Kumal, 441.762 viewer
dengan content kumpul YouTubers, dan 415.884 viewer dengan content Menjadi Pemateri).
8
channel, lain halnya dengan Raditya Dika yang sudah terkenal melalui karya-karya
dihasilkannya sebelum membuat RVLOG di YouTube channel-nya.
Penelitian resepsi terdahulu hanya melihat obyek media dalam studi-studi
resepsi yang didominasi pada tayangan di media massa terutama serial TV atau film,
seperti pada penelitian Evan Cooper (2003) mengenai resepsi audiens terhadap serial
TV Will and Grace29 dan Laura M. Carpenter (2009) mengenai pengaruh film-film
populer terhadap praktik hidup audiens.30 Namun saat ini terdapat juga penelitian
terdahulu mengenai vlog di YouTube channel, yang dilakukan Darin Rania Balqis.
Dimana penelitian ini ingin mengetahui bagaimana anak muda, dalam hal ini Bayu
dan Tasha mempresentasikan diri mereka melalui vlog-nya.31 Sehingga penelitian ini
akan melengkapi penelitian-penelitian terdahulu dengan berdiri di atas argumen,
bahwa suatu karya seni atau pun karyaa cipta tidak akan bermakna tanpa penerimaan
dari audiens (penikmat) karya itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini: Bagaimana resepsi audiens terhadap
personal branding Raditya Dika dalam RVLOG (Raditya Video Log) di YouTube
channel Raditya Dika?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan: Untuk
menganalisis bagaimana resepsi audiens terhadap personal branding Raditya Dika
dalam RVLOG (Raditya Video Log) di YouTube channel Raditya Dika.
29Cooper, Evan. 2003. Decoding Will and Grace: Mass Audience Reception of Popular
Network. Sociological Perspectives. Vol. 46, No.4. pp. 513-533. 30Carpenter, Laura.M. 2009. Virginity Loss in Reel/Real Life: Using Popular Movies to
Navigate Sexual Initiation. Sociological Forum, Vol. 24, No.4. 31Balqis, Darin Rania. 2015. VIDEO BLOG SEBAGAI MEDIUM PRESENTASI DIRI ANAK
MUDA (Sebuah Studi Deskriptif terhadap Kanal YouTube “BayuSkak” dan “NatashaFarani”). Jurnal
Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
9
1.4 Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini akan memberikan manfaat dan kontribusi sebagai
berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian memberikan peluang dan kebaruan terhadap teori resepsi
audiens, karena objek penelitian mengkaji pengamatan audiens terhadap suatu teks
media baru, serta mengkaji suatu personal branding. Penelitian ini juga menambah
penelitian dalam bidang komunikasi, terkhusus mengenai kajian audiens dan personal
branding. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu menjadi tambahan referensi
dan acuan bagi para peneliti selanjutnya yang tertarik dengan studi audiens, baik
dalam ranah media konvensional atau pun media baru sebagai karya komunikasi.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap publik,
terkhusus pelajar dan mahasiswa dalam mempelajari mengenai penerimaan audiens
dan personal branding. Dengan mengetahui lebih banyak mengenai varian penelitian
seputar audiens, mahasiswa akan dengan mudah mengembangkan lagi penelitian lain
seputar studi media, audiens dan personal branding.
1.5 Kerangka Pemikiran
1.5.1 Konvergensi Media
Konvergensi media menurut pemikiran Briggs dan Bourke dalam bukunya
“Media Convergence: Issues in Cultural and Media Studies,” bahwa:
“Konvergensi merupakan perkembangan teknologi digital yang terjadi, yaitu integrasi teks,
angka, gambar dan suara yang merupakan digitalisasi” (dalam Dwyer, 2010: 144 ).32
Namun pada kenyataannya tidak hanya sebatas itu saja, konvergensi media
adalah suatu perkembangan teknologi yang mengubah bagaimana content (isi) media
diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi melalui media baru. Dan konvergensi
32Dwyer, Tim. 2010. Media Convergence: Issues in Cultural and Media Studies. New York.
USA
10
media bukanlah hanya persoalan internetisasi dan digitalisasi saja, melainkan ada
implikasi pada newsroom, serta bagaimana konsumen mengkonsumsi sekaligus
memproduksi content medianya sendiri. Konvergensi media juga memberikan
kesempatan baru yang bersifat radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan
pemrosesan seluruh bentuk informasi baik yang bersifat visual, audio, data dan
sebagainya.33
Konvergensi pada akhirnya menyebabkan transformasi tidak hanya pada
organisasi media maupun pada kalangan kreatif atau profesional media yang bekerja
di organisasi media, melainkan juga menyebabkan transformasi pada audiens, bahkan
pemerintah atau negara sebagai otoritas regulator, dan juga industri. Perubahan
teknologi media telah membawa paradigma baru yang terjadi karena digitalisasi
media dan jaringan media massa yang semakin meluas dan konvergens.34
Kehadiran konvergensi media yang melahirkan media baru (new media)
berdampak pada perkembangan teknologi, dimana semakin beragam fasilitas dan
fiturnya yang menawarkan kemudahan bagi audiens (khalayak) dalam mengakses
berbagi hal, terkhusus dalam bidang komunikasi dan media. Kecanggihan fitur-fitur
tersebutlah dianggap berkontribusi terhadap terjadinya pergeseran dan perubahan
budaya media. Perubahan budaya media yang dimaksud adalah adanya pergeseran
peran dan sikap audiens terhadap media yang semula pasif, lama kelamaan bergeser
menjadi aktif karena adanya dorongan dan pengaruh dari teknologi itu sendiri yang
menfasilitasi terjadinya perubahan budaya media. Hal ini kemudian diperkuat oleh
pernyataan seorang ahli di bidang media dan komunikasi Nick Couldry dalam
berbagai tulisannya yang dipublikasikan.
Salah satu tulisan Couldry yang membahas mengenai perubahan paradigma
audiens adalah artikel “The Extended Audience: Scanning Horizon,” mengeksplorasi
tentang perubahan sikap audiens yang disebabkan oleh teknologi, lokasi spasial dan
33Preston, Paschal. 2001. Reshaping Communications: Technology, Information and Social
Change. Sage, Thousand Oaks: California. 34Soekartono. 2012. Konvergensi Media dan Massa Depan Bangsa. Jurnal Ilmu Komunikasi.
Vol.4. No.2.
11
sosial, serta pengalaman dan tantangan dalam penelitian mengenai khalayak. Menurut
Couldry cara audiens merespon dan terlibat dengan media dipengaruhi oleh
perubahan atas hal-hal tersebut.35 Couldry juga menyatakan bahwa secara historis
audiens bersifat lebih pasif, hal tersebut didasari pada asumsi bahwa audiens hanya
mengonsumsi tanpa terlibat denga media. Namun, seiring perkembangan teknologi
dalam ranah media baru yang semakin pesat, telah memungkinkan audiens untuk
berpartisipasi secara aktif melalui fitur-fitur yang tersedia, sehingga memudahkan
mereka untuk mengekspresikan dirinya melalui media.
Implikasi lainnya dari konvergensi saat ini adalah runtuhnya batas-batas ruang
dan waktu ini kemudian yang sejalan dengan pendapat McLuhan yang sangat
terkenal, yaitu Global Village. Konsep Global Village ini menjelaskan bahwa tidak
ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu
tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, melalui interne.36
Dimana pembicaraan akan suatu topik dapat menjadi konsumsi dan masukan bagi
masyarakat luas dan semua orang berhak untuk ikut dalam pembicaraan umum, dan
juga berhak untuk mengkonsumsinya, tanpa terkecuali. Perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi inilah yang menjadikan adanya konvergensi media, yang
memudahkan audiens dalam kehidupan sehari-hari.
Pemilihan media juga merupakan salah satu dari implikasi konvergensi media
terkhusus pada audiens, dimana audiens dapat melakukan pilihan terhadap media
mana yang menurutnya penting. Schram menjelaskan bahwa:
“Orang-orang akan memilih media yang menurut harapannya akan memberikan imbalan.
Schram berpendapat ada dua macam imbalan, yakni imbalan langsung dan imbalan
tertunda.”37
35Gillespie, Marie, (ed). 2004. The Extended Audience: Scanning The Horizon. Ppen
university press: Maidenhead. 36McLuhan, Marshall. 1997. Digital McLuhan: A Guide to the Information Millennium.
London:Routledge. 37Rivers, William L. Jensen, Jay W & Peterson Theodore. 2015. Mass Media and Modern
Society. Jakarta: Prenadamedia Group.
12
Artinya audiens akan menentukan media mana yang menurut mereka dapat
memenuhi kebutuhannya akan informasi atau bahkan membuat content media sendiri.
Sehingga audiens merasakan imbalan yang memang sepantasnya didapatkan dari
pilihan media yang dialakukan.
1.5.2 Media Baru (New Media)
Keberadaan internet memunculkan istilah media baru (New Media) yang
merupakan bentuk dari teknologi komunikasi bermedia, dimana keberadaannya
muncul bersama dengan perkembangan teknologi digital. Perbedaan media baru ini
dengan media konvensional, bahwa media baru melebihi dari media konvensional
dalam hal kecepatan, kualitas dan kinerja. Bennet mengkategorikan media baru
menjadi internet, telepon genggam, teknologi streaming, wireless networks dan
kapasitas berbagi informasi melalui World Wide Web (WWW).38 Sehingga apa yang
disebut dengan media baru, lahir ketika konvergensi media mulai diperkenalkan.39
Menurut Bordewijk dan Kaam (1986) ada dua ciri khas utama dari pola
komunikasi dalam media baru, yaitu: (1) ketersediaan serta akses terhadap informasi,
dan (2) penggunaan informasi dalam konteks kontrol waktu dan pilihan.40 Hal ini
sejalan dengan pemikiran Lievrouw dan Livingstone yang membedakan karakteristik
media baru dengan media lama kedalam empat aspek, yaitu:
1. Recombinant. Media baru merupakan hasil kombinasi secara continue antara teknologi yang
sudah ada dengan inovasi baru, dalam sebuah jaringan teknis dan institusional yang saling
terhubung satu sama lain. Tidak seperti media massa yang pada akhir abad ke-20 telah
terdiferensiasi dengan stabil ke dalam beberapa saluran atau bentuk (karena kelangkaan
spektrum serta pendirian standar teknis dan formal), bentuk dan macam media baru terus
bercabang, berekombinan, serta berkembang.
2. Networked. Komunikasi dalam media massa bersifat hierarkhis, satu arah (one-way), dan
tersentralisasi (one to many), sementara media baru komunikasi bersifat terdesentralisasi dan
dua arah (two-way). Pengguna media baru saling terhubung dan dapat menjadi pengirim
maupun penerima pesan, atau keduanya sekaligus.
38Bennet, W. Lance. 2003. Contesting Media Power. Lanham: Rowman & Littlefield. 39Tapsell, Ross. 2014. Freedom Platform convergence in Indonesia: Challenges and
opportunities for media. Convergence: The Internasional Journal of Research into New Media
Technologies. Australian National University Australia. Vol. 6. No.2. 40Mc Quail, Denis. 2010. Mass Communication Theory 5th ed. London: Sage Publication.
Hal. 148.
13
3. Ubiquitous. Media baru mempengaruhi setiap orang dalam masyarakat dimana media tersebut
digunakan, meskipun tidak setiap orang dalam masyarakat itu menggunakannya. Sementara
teknologi media massa biasanya digunakan bersama, teknologi media baru didesain sebagai
alat atau aksesori personal yang menyediakan akses keberbagai konten yang bersifat
perseorangan atau layanan komunikasi, dimana pun pengguna, layanan, ataupun sumber daya
berada.
4. Interactive. Media baru mengakomodasi penggunanya dalam aspek selektivitas dan
jangkauan, di mana pengguna media baru dapat memilih sumber informasi mereka dan
berinteraksi dengan pengguna lainnya. Memang pengguna media massa juga dapat menerima
dan mempertahankan informasi secara selektif, namun media baru juga memberi
penggunanya sarana untuk membentuk, mencari, serta berbagi konten secara selektif, dan
untuk berinteraksi dengan individu dan grup lainnya, dalam skala lebih besar secara lebih
praktis dibanding dengan media massa tradisional.41
a. Media Sosial
Media sosial merupakan media yang muncul ketika adanya konvergensi
media yang melahirkan media baru, dimana media sosial berupa media online dengan
para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan
content (isi) melalui internet. Sejalan dengan Andreas Kaplan dan Michael Haenlein
mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet
yang dibangun atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, serta memungkinkan
penciptaan dan pertukaran user-generated content".42
Kaplan dan Haenlein menciptakan skema klasifikasi untuk berbagai jenis
media sosial dalam artikel Horizons Bisnis mereka diterbitkan pada 2010. Menurut
Kaplan dan Haenlein ada enam jenis media sosial:
1. Proyek Kolaborasi, website mengizinkan user-nya untuk dapat mengubah, menambah, atau
pun me-remove konten-konten yang ada di website ini. Contohnya: wikipedia.
2. Blog dan microblog, user lebih bebas dalam mengekspresikan sesuatu, seperti curhat atau pun
mengkritik kebijakan pemerintah. Contohnya: Twitter, Blogspot dan Tumblr.
3. Content, para user dari pengguna website ini saling meng-share content-content media, baik
seperti video, ebook, gambar dan lain-lain. Contohnya: YouTube.
4. Situs jejaring sosial, aplikasi yang mengizinkan user untuk dapat terhubung dengan cara
membuat informasi pribadi, sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi
itu bisa seperti foto-foto. Contohnya: Facebook, Path dan Instagram.
41Lievrouw, Leah dan Livingstone, Sonia. 2006. Handbook of New Media: Social Shaping
and Social Consequences of ICTs. London: Sage Publications Ltd. Hal. 4-7. 42Rogers, Everett M. 1986. Communication Technology: The New Media in Society. New
York: The Free Press.
14
5. Virtual game world, dunia virtual yang mereplikasikan lingkungan 3D, dimana user bisa
muncul dalam bentuk avatar-avatar yang diinginkan serta berinteraksi dengan orang lain
selayaknya di dunia nyata. Contohnya: game online.
6. Virtual social world, dunia virtual yang di mana penggunanya merasa hidup di dunia virtual,
sama seperti virtual game world, berinteraksi dengan yang lain. Namun, Virtual Social World
lebih bebas dan lebih kearah kehidupan. Contohnya: second life.43
Blog, jejaring sosial, wiki dan YouTube merupakan bentuk media sosial yang
paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Hal ini dipicu dengan
menggunakan media sosial, menjadikan kita sebagai diri sendiri. Selain kecepatan
informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, menjadi diri sendiri dalam media
sosial adalah alasan mengapa media sosial berkembang pesat. Tidak terkecuali,
keinginan untuk aktualisasi diri dan kebutuhan menciptakan personal branding.
Media sosial memudahkan orang untuk membuat dan yang terpenting
menyebarluaskan content mereka sendiri, seperti: post di Blog, twitter, atau video di
YouTube channel dapat direproduksi dan dilihat oleh jutaan orang secara gratis.
Pemasang iklan melalui media sosial pun tidak harus membayar banyak uang kepada
penerbit atau distributor untuk memasang iklannya. Sekarang pemasang iklan dapat
membuat konten sendiri yang menarik dan dilihat banyak orang melalui media
sosial.44
b. YouTube
“YouTube allows billions of people to discover, watch and share originally-created videos.
YouTube provides a forum for people to connect, inform, and inspire others across the globe
and acts as a distribution platform for original content creators and advertisers large and
small.”45
Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Burgess & Green, bahwa YouTube
merupakan platform di dunia maya untuk mendistribusikan content-content video
secara global, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat (audiens) di belahan dunia
manapun.46
43Ibid hal 6-7. 44Ibid hal 8. 45Https://www.youtube.com/yt/about/ (Diakses 10 Juni 2016). 46Burgess, Jean dan Green, Joshua. 2009. YouTube: Digital Media and Society Series.
Cambridge: Polity Press.
15
YouTube diprakarsai oleh 3 orang mantan karyawan PayPal (website online
komersial), Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim pada Februari 2005, dan
diluncurkan ke publik pertama kali pada Juni 2005. Sejak awal diluncurkan, YouTube
langsung mendapat sambutan baik di masyarakat. Hal ini menurut Gannes, karena
terdapat 4 fitur yang dimiliki YouTube belum pernah ditemukan sebelumnya pada
website lain, yakni: video recommendations via related videos list, an email link to
enable video sharing, comments (and other social networking functionality), and an
embeddable video player.47
c. YouTube dan Audiens Media Baru
Kehadiran YouTube memberi pengaruh luar biasa kepada audiens, khususnya
bagi kaum muda. Ketika berbicara mengenai kaum muda, kental dengan perspektif
bahwa jiwa kaum muda adalah jiwa yang bebas. Hal ini dipermudah pula dengan
pengaksesan situs YouTube yang bebas, tidak mengenal batas ruang dan waktu, serta
tidak membutuhkan biaya mahal. Sehingga, tidak heran jika generasi saat ini disebut
generasi media baru (audiens populer) karena telah dirancang sesuai dengan budaya
kaum muda. YouTube yang notabene adalah media baru, telah menjadi bagian dari
hidup para kaum muda.48
YouTube menawarkan cara lain dalam dunia blogging. Jika sebelumnya
bentuk blog hanya berupa tulisan, dalam situs YouTube dikenal adanya Video
Blogging atau Video Log yang berbentuk video. Content video di YouTube sebagai
sebuah platform video raksasa, tentu saja video di dalamnya tidak hanya diisi oleh
vlogs. Berbagai macam jenis konten video tersaji di YouTube. Namun sebuah riset
yang dilakukan Jean Burgess dan Joshua Green, Content video di YouTube tergolong
ke dalam dua jenis jika dilihat dari pembuat videonya, yakni video dari pengguna
amatir (user-created content) dan video dari institusi media tradisional (misalnya
program televisi yang ditayangkan di YouTube, dll). Riset mereka juga menemukan
47Ibid hal 2. 48Chien Chou, Linda Codron, dan John C. Belland. 2005. A review of the Research on
Internet Addiction: Springer Science + Bussiness Media, Inc. Hal 1.
16
kesimpulan, bahwa user-created content lebih banyak diminati (diukur dari kategori
most favorite, most viewed, most discussed, dan most responded). Dari 2177 user-
created video, 40% adalah vlogs, 15% user-created music videos (termasuk fanvids
dan video musik anime), 13% live material (pertunjukan musik, sporting footage, dan
slice of life footage), 10% konten informasi (newscasts, video game reviews and
interviews), serta 8% scripted materials (sketsa komedi, animasi, dan machinima).49
Berlandaskan dari riset yang dilakukan oleh Burgess dan Green, audiens
biasapun dapat memberikan kontribusinya dalam dunia YouTube. Bahkan, tidak
sedikit YouTubers content-content video luar biasa dalam YouTube yang berasal dari
kalangan biasa, karena penggunaan YouTube yang sangat sederhana dengan hanya
mengunggah, mempublikasikan, dan video streaming tanpa memerlukan high level of
technical knowledge. Terbukti bahwa dalam memahami YouTube, tidak hanya dapat
dilihat dari posisinya sebagai Social Networking Sites (SNS) yang populer, tetapi juga
dapat dilihat dengan semakin banyaknya YouTubers yang memproduksi content
medianya sendiri, yang kemudian dapat menjadi ladang mencari uang bagi
YouTubers yang memang mampu memanfaatkan situs YouTube dengan baik.
d. Vlog (Video Blogging atau Video Log) sebagai Media Populer
Media baru muncul ketika terjadinya konvergensi media, dimana menjadikan
adanya perubahan budaya media sekaligus budaya populer. Awalnya hanya berupa
media konvensional dengan audiens (khalayak) yang pasif, yang hanya menerima apa
yang disajikan oleh media. Namun dengan adanya media baru ini, audiens menjadi
lebih aktif dan selektif dalam memilih media mana yang dapat memenuhi
kebutuhannya akan informasi dan hiburan. Salah satunya adalah vlog (video Blogging
atau Video Log) yang saat ini menjadi sangat populer, terkhusus dikalangan kaum
muda.
49Burgess, Jean dan Green, Joshua. 2009. YouTube: Digital Media and Society Series.
Cambridge: Polity Press.
17
Vlog sendiri merupakan suatu video yang diisi bermacam content (isi) baik
mengenai opini, cerita keseharian, atau apa pun yang lalu disisipkan pada suatu
situs.50 Vlog juga merujuk pada content video yang berisi berbagai hal. Umumnya
dalam video tersebut diangkat satu tema khusus dan kemudian dibagikan via layanan
berbagai video, seperti YouTube atau media sosial lainnya.51 Dapat dikatakan vlog
merupakan bentuk dari media baru, dimana vlog berupa video dokumentasi yang
berada dalam suatu situs yang berisikan tentang kehidupan, opini atau pun pikiran.
Vlog dimulai dari sesorang bernama Adam Kontras yang memposting sebuah
video bersama dengan entri blognya pada tahun 2000. Dan di tahun yang sama pada
bulan November, Adrian Miles memposting video yang mengubah teks pada gambar
diam dan menggunakan kata vlog yang merujuk pada video blog yang dia posting.
Kemudian di tahun 2004, Steve Garfield meluncurkan video blog-nya sendiri dan
menyatakan bahwa tahun itu adalah tahunnya video blog. Sejak saat itu mulailah
dikenal yang namanya vlog.52
Popularitas vlog meningkat sejak tahun 2005, dimana Yahoo juga sempat
memiliki channel sendiri bertajuk vlog dan mengalami peningkatan anggota secara
drastis. Dan di tahun itu juga, situs video sharing YouTube muncul.53 Dalam sekejap,
YouTube menjadi wadah paling pas bagi para vlogger.54Fenomena vlog menunjukkan
bahwa audiens saat ini berada ditahap perkembangan audiens kontemporer, dimana
mereka tidak dapat terlepas dari media dalam menjalankan kehidupannya. Adanya
sikap aktif audiens terhadap media menunjukkan audiens tidak lagi bergantung
kepada media, tetapi sebaliknya disisi lain media juga membutuhkan partisipasi dari
audiens untuk memenuhi kepentingan media. Hal ini semakin diperkuat dengan apa
50http://www.tekinfom.com/2016/05/apa-itu-vlog-perkembangan-dari-blog-kah.html
(Diakses, 19 Mei 2016). 51http://www.money.id/digital/jadi-fenomena-apa-itu-sebenarnya-vlog-160429x.html (Diakses
19 Mei 2016). 52http://www.money.id/digital/jadi-fenomena-apa-itu-sebenarnya-vlog-160429x.html (Diakses
19 Mei 2016). 53Ibid. 54Sebutan bagi pembuat Video Log, biasa disingkat vlogger.
18
yang dikemukakan ole Abercrombie dan Longhurst mengidentifikasi tiga tahap dalam
perkembangan khalayak, yaitu khalayak yang sederhana, khalayak massa, dan
khalayak kontemporer yang tersebar (terdifusi) namun tetap terhubung secara
permanen dengan media elektronik tertentu dalam setiap aktivitas sehari-harinya.55
Dapat dikatakan pergeseran dari peran audiens (khalayak) telah menciptakan
hubungan timbal balik antara audiens dan media, dan bukan lagi hanya hubungan
searah dari media kepada audiens saja. Hubungan keduanya sangatlah menarik,
media dan audiens pada akhirnya akan selalu saling membutuhkan, saling memberi,
saling mengambil keuntungan satu sama lain, dan juga memainkan perannya masing-
masing yang dinamis.
1.5.3 Audiens Media Baru
Ketika berbicara budaya media baru, maka tidak bisa terlepas dari audiens
yang berada dalam ranah budaya media baru itu sendiri. Audiens yang dimaksud
adalah mereka yang tergolong youth culture (kaum muda), karena kaum muda inilah
yang sering kali diterpa dan menjadi sasaran dari budaya-budaya media baru yang
sedang berkembang saat ini. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh UNESCO,
bahwa:
“Youth is the best understood as a period of transition from the dependence childhood to
adulthhood’s independence and awareness of our interdependence as members of
community.” 56
Youth merupakan istilah yang telah banyak digunakan dalam dunia penelitian
untuk menyatakan mereka yang termasuk dalam kategori “kaum muda.” Meskipun
UNESCO menganggap bahwa “youth” merupakan kategori yang berubah-ubah dan
55Gillespie, Marie, (ed). 2004. The Extended Audience: Scanning The Horizon. Ppen
university press: Maidenhead. 56UNESCO. 2013. Empowering Youth Through National Youth Policy. Paris: UNESCO.
(Dalam Afra Suci Ramadhan A. Kebijakan Anak Muda di Indonesia: Mengaktifkan Peran Anak
Muda).
19
tidak seperti kategori fixed-age. PBB menetapkan, bahwa mereka yang berusia 15
sampai 26 tahun tergolong dalam kategori kaum muda.57
Youth culture diadaptasi dari ciri-ciri umum budaya kaum muda menurut
Penguin Dictionary of Sociology edisi 2000, yaitu budaya bersenang-senang dengan
memanfaatkan kemunculan dari media baru, dan lebih tertarik pada gaya hidup.58
Budaya anak muda erat hubungannya dengan trend. Trend menurut New Oxford
English Dictinary adalah suatu arah yang umum dimana sesuatu berkembang dan
berubah. Trend tersebut dipopulerkan atau diperkenalkan oleh trendsetter yaitu
orang-orang yang tampil di publik.59 Selain itu, konsep kaum muda sebagai youth
culture merujuk dari definisi kaum muda yang dikategorikan Prensky sebagai digital
native. Digital native adalah generasi yang lahir dan tumbuh bersama dengan
perkembangan teknologi infomasi dan komunikasi, yang hampir semua aktifitas
kehidupannya dikelilingi oleh teknologi digital yang saling terkoneksi satu sama lain
seperti komputer, internet dan handphone.60
Kaum mudalah yang tergolong dalam generasi Digital native, hal ini karena
kaum muda yang dekat dan aktif menggunakan media terkhusus media baru. Pada
masa muda, ada ciri khas pola perilaku tertentu yang ingin ditunjukkan setiap orang
pada masanya. Kaum muda sebagai masa pembentukan citra diri mulai terjadi,
menjadi masa penting bagi pertumbuhan seseorang sebelum memasuki masa dewasa.
Pada titik ini, kaum muda kemudian menjadi rentan terhadap masuknya nilai-nilai
baru seperti halnya dalam menggunakan media baru. Kaum muda yang berpikir luas
akan mencari nilai-nilai baru yang tepat pada dirinya melalui media sebagai dampak
Globalisasi. Kata globalisasi berasal dari kata global, yang maknanya ialah universal.
57Http://www.unesco.org/new/en/social-and-human-sciences/themes/youth/youth-definition/.
Diakses 30 Oktober 2016. 58Dyah, Ayu Mulatsasi. 2013. Korean Wave sebagai Globalisasi budaya di Indonesia. Tesis
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 59M. Ito., H. Horst., M. Bitanti., dkk. 2008. Living and Learning with New Media: Summary
of findings from the digital Youth Project. Chicago: The MacArthur Foundation. 60Prensky, March. 2001. Digital Native, Digital Immigrants. Journal From On The Horizon
MCB University Press, Vol.9 No. 5.
20
Globalisasi menurut Nugroho secara umum ditandai dengan adanya ekspansi pasar
kapitalis yang luar biasa agresif, dan juga eskalasi perilaku konsumtif masyarakat
diberbagai bidang kehidupan.61
1.5.4 Teori Resepsi Audiens
Klaus Bruhn Jensen dan Karl Erik Rosengren (dalam McQuail) membedakan
lima tradisi studi audiens, yaitu studi efek (effect), uses and gratifications, literary
criticism, cultural studies, dan analisis resepsi (reception analysis). Tradisi tersebut
kemudian disederhanakan menjadi tiga tradisi studi audiens yaitu structural tradition,
behaviourist tradition, serta cultural tradition-reception analysis. Sehingga studi
mengenai audiens juga mengalami perkembangan mengikuti perubahan audiens dan
media.62 Penelitian resepsi (reception research) yang salah satunya didominasi oleh
pandangan Stuart Hall. Hall melihat komunikasi sebagai proses dimana suatu pesan
dikirim dan diterima dengan efek tertentu. Hal tersebut dikenal konsep encoding dan
decoding. Gagasan di encode pengirim pesan dan di decode penerima pesan. Pesan
yang dikirim dan diterima tidak lagi serupa. Audiens yang berbeda dapat men-decode
pesan secara berbeda juga. Sehingga dalam penelitian ini memfokuskan pada studi
audiens dengan analisis resepsi (reception analysis).
Penelitian analisis resepsi audiens merujuk pada konsep rezeptionaesthetik
yang diperkenalkan di tahun 1967 oleh Hans Robert Jausz dan Wolfgang Iser.63 Ada
tiga pendekatan untuk memahami teks, karena teks dalam media suatu karya sastra
memiliki makna yang polisemi (ambigu) dan bebas diinterpretasikan dengan berbagai
cara. Oleh sebab itu Junus membuat konsep pendekatan memahami suatu teks, yakni:
(1) Mencari makna yang sebenarnya dengan menggali teks itu sendiri; (2) Makna
hanya dapat ditemukan pada pencipta yang membuat teks tersebut dengan cara
menghubungkan teks dan pencipta; dan (3) Resepsi yaitu mencari makna pada
61Dalam Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 62McQuail, Dennis. 1997. Audience Analysis. USA: Sage Publications. 63Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
21
pembaca.64 Pertemuan makna yang diperoleh dari teks, pencipta dan pengamat
menjadi perhatian utama dalam resepsi suatu karya sastra, sebaliknya resepsi media
melihat kekuatan audiens dalam menghadapi efek teks tersebut. Resepsi media
berfokus pada audiens yang membuat bermacam-macam makna tentang isi teks
media.65 Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp menyebut empat elemen
dalam sebuah karya:
“Pertama, work atau karya itu sendiri. Kedua, artist atau pencipta karya. Ketiga,
nature/universe (semesta teks) yang terdiri dari segala tindakan, ide, perasaan, materi-materi
dan peristiwa, atau hal-hal yang sangat sensitif yang mempengaruhi suatu karya. Keempat,
audience (audiens) yaitu mereka yang mendengar, menonton atau membaca karya seni
tersebut.”66
Gambar 1.1. Relasi Teks Abrams67
Kerangka yang dibuat Abrams untuk memperlihatkan relasi antara artist-
universe-work-audience. Kerangka tersebut berisi pendekatan kritis mengenai karya
manusia. Pendekatan mimetic (mimesis) menjelaskan bahwa secara esensial sebuah
karya adalah imitasi dari alam semesta, misalnya Raditya Dika menggambarkan
keadaan yang sering dirasakan dan dialami kaum muda saat ini dalam karyanya,
terkhusus novel-novel yang ditulisnya. Pendekatan expressive (ekspresif) memandang
bahwa pecipta (artist) dalam membuat karya (work) tidak bisa dilepaskan dari dunia
yang diketahuinya (universe). Seperti dalam RVLOG (Raditya Video Log) yang
memberikan pengetahuan dan tips-tips menulis skenario film yang baik, serta
bagaimana membuat dan memproduksi suatu film berdasarkan pengalaman Raditya
64Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra. Jakarta: Gramedia. 65Baran, Stanley. J dan Dennis. K. Davis. 2012. Mass Communication Theory: Foundations,
Ferment, and Future. USA: Wadsworth. 66Abrams, M.H. 1971. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical
Tradition. USA: Oxford University Press. 67Ibid.
22
Dika sendiri. Pendekatan objective (objektif) melihat teks apa adanya, apa yang
tercantum tanpa dipengaruhi pencipta, audiens atau pun alam semesta. Terakhir,
pendekatan pragmatic melihat audiens dalam memaknai karya dilatarbelakangi
dengan dunia (universe) yang diketahuinya. Pendekatan pragmatik ini dekat dengan
konsep resepsi.
Hall (dalam John Storey) mendemonstrasikan resepsi dalam proses sirkulasi
makna pada tiga level yang berbeda, yakni level media atau encoding; level program
sebagai diskursus makna dan level decoding oleh audiens.68 Jika konsep ini
dimasukkan pada lokus audiens aktif maka dalam analisis ini pembacaan dan
pemilahan teks (encoding) tidak selalu sama diterima dan diambil (decoding) oleh
audiens atau yang disebut asimetris.69 Bisa dikatakan, teks mungkin saja menawarkan
pesan atau wacana tertentu, namun audiens bebas memilih atau tidak menggunakan
wacana tersebut. Hall juga membahasakan resepsi sebagai konsumsi, yaitu titik awal
untuk merealisasikan pesan atau hasil akhir dari pemaknaan teks atau pesan media.70
Sehingga studi resepsi dikembangkan Hall dengan konsep encoding dan decoding.
Gambar 1.2. Model encoding dan decoding71
68Storey, John. 2008. Cultural Studies dan Kajian Pop: Pengantar Komprehensif Teori dan
Metode. Yogyakarta: Jalasutra. 69Hall, Stuart. 2005. Encoding/Decoding (dalam Culture, Media, Language: Working Papers
in Cultural Studies 1972-1979. Dorothy Hobson, Andrew Lowe dan Paul Willis [ed]). London:
Routledge (diterbitkan pertama kali tahun 1980). 70Durham, Menakshi Gigi dan Douglas M. Kellner. 2006. Media and Cultural Studies. New
York: Blackwell Publishing. 71Hall, Stuart. 2005. Encoding/Decoding (dalam Culture, Media, Language: Working Papers
in Cultural Studies 1972-1979. Dorothy Hobson, Andrew Lowe dan Paul Willis [ed]). London:
Routledge (diterbitkan pertama kali tahun 1980).
23
Konsep menggabungkan dua model yang diambil dari konsep encoding dan
decoding Hall, serta relasi teks Abrams. Model encoding dan decoding Hall dan relasi
teks Abrams tidak seluruhnya digunakan dalam penelitian. Peneliti mengambil
sebagian konsep dari kedua model yang disesuaikan berdasarkan permasalahan yang
diteliti. Dalam menyusun model penelitian ini, peneliti memilih menggunakan bagian
frameworks of knowledge-encoding-programme as meaningful discourse-decoding
yang disederhanakan menjadi kerangka pengetahuan-encoding-teks-decoding, yang
dirasa serupa dan cocok dengan konsep relasi Abrams, terutama untuk dikaitkan
dengan bagian audiens teks (work) dan semesta teks (universe).
Bagian technical infrastructure termasuk pencipta (authorship) sangat sulit
dihilangkan karena ada hubungan kuat antara pencipta dengan karyanya. Audiens pun
akan cenderung memilih suatu karya karena faktor keinginannya sendiri, meskipun
tidak menutup kemungkinan ada audiens yang memilih suatu karya secara acak atau
karena rekomendasi orang lain. Bagian ini tidak menjadi fokus penelitian tetapi
menjadi hal yang umum terjadi pada audiens, maka bagian technical infrastructure
dimasukkan ke dalam bagian semesta teks (universe) dalam relasi Abrams. Adapun
bagian yang tidak digunakan yaitu bagian relations of production karena kebutuhan
penelitian yang tidak mencari hubungan distribusi atau ekonomi politik media. Hall
kemudian mengelaborasi bagaimana decoding bekerja dalam media. Dalam proses
resepsi, Hall menempatkan posisi audiens pada tiga posisi decoding sebagai berikut:
“(1) Dominant-hegemonic position, yaitu audiens menerima dan mereproduksi kode teks
yang sama dengan produser pesan. Pada posisi ini audiens berpegang pada makna yang
ditawarkan dalam media. (2) Negotiated position, yaitu audiens memaknai dan menerima
secara luas sebagian kode teks tetapi kadang menentang atau mengubahnya sesuai
dengan cara pandang, pengalaman, dan minat. Posisi ini menunjukkan adanya
kontradiksi. (3) Oppositional position, yaitu ketika audiens mengembangkan interpretasi
yang sama sekali berbeda dengan kode teks. Posisi ini terjadi ketika audiens berada
dalam situasi sosial yang berlawanan dengan kode teks dominan sehingga membuat
mereka menolak teks tersebut. Dalam posisi ini, audiens dapat mengajukan alternatif
kode yang berbeda.”72
72Petrillo, Lisa dan John Petrillo. 2010. Cultural Studies (dalam Introduction Communication:
Theory Analysis Application oleh Richard West dan Lynn.H Turner (ed) pp. 360-375). New York:
McGraw-Hill.
24
Konsep penting dari analisis resepsi ini adalah makna yang dihasilkan dari
hubungan audiens dengan karya cipta merupakan hasil interaksi audiens dengan
adanya faktor kontekstual yang mempengaruhinya. Latar belakang audiens sangat
mempengaruhi cara mereka membaca, memaknai dan melakukan tindakan terhadap
teks tersebut. Audiens juga terikat oleh kerangka pengetahuan yang terbentuk ketika
melakukan decoding yang dipengaruhi pengalaman interaksinya dengan semesta teks
(lingkungan sosial, buku-buku atau sumber yang dibaca, kebiasaan bermedia dan
pengalaman pribadi). Semesta teks mempengaruhi audiens dalam memaknai teks dan
menggerakkan audiens untuk melakukan proses encoding terkait teks yang di-decode
mulai dari berupa ide, gagasan dan wacana atau pun merangsang munculnya inspirasi
dan keinginan untuk menghasilkan karya.
1.5.5 Personal Branding
“Brand adalah sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau desain atau kombinasi dari
kesemuanya yang bertujuan untuk mengidentifikasikan suatu barang atau jasa dan akhirnya
dapat membedakan diri sendiri dengan yang lainnya.”73
Bisa dikatakan brand bukan hanya membuat target pemasaran memilih kita di
dalam pasar yang penuh kompetensi, tetapi juga membuat prospek pemasaran melihat
kita sebagai satu-satunya yang dapat memberikan solusi kepada kebutuhan atau pun
masalah mereka. Berbicara brand maka akan berbicara image juga, karena keduanya
saling berkaitan. Terbentuknya sebuah image atau brand merupakan hasil dari
persepsi yang berkembang dalam benak audiens terhadap realitas yang muncul.
Persepsi yang baik akan memiliki image yang positif dan akhirnya meningkatkan
kepercayaan audiens, sehingga mempunyai sikap positif atas brand.74 Sehingga dapat
dikatakan brand yang berhasil adalah brand yang memiliki posisi yang kuat. Maka
Brand image itu sendiri merupakan apa yang konsumen pikir dan rasakan ketika
73Kotler, Philip. 2000. Marketing Management. Prentice Hall International: New Jersey. 74Jefkins, Frank. 2004. Public Relations. Jakarta: Erlangga.
25
mendengar atau melihat suatu merek dan apa yang konsumen pelajari tentang
merek.75 Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Keller, bahwa:
“Brand image can be defined as a perception about brand as reflected by the brand
association held in consumer memory.”76
Brand image muncul dalam benak konsumen (audiens), ketika audiens memutuskan
apakah akan menggunakan barang atau jasa brand tertentu yang telah dihasilkan.
Brand terhubung dalam ingatan seseorang dengan pikiran tertentu dan hubungan
perasaan yang direfleksikan.
Pada manusia, brand yang melekat pada dirinya disebut personal brand.
Personal brand merupakan cerminan dari kemampuan, keunggulan dan reputasi
seseorang yang mampu memperlihatkan keistimewaan dan keunggulan seseorang
dalam bidang tertentu.77 Memiliki personal branding yang kuat menjadi aset yang
sangat penting saat ini, baik secara online atau pun virtual karena menjadi kunci
sukses individu seseorang. Timothy P. O’Brien (dalam Haroen) mengatakan bahwa
personal brand adalah identitas pribadi mengenai kualitas dan nilai yang dimiliki
seseorang untuk dapat menciptakan respon emosional terhadap orang lain. Personal
branding tidak serta merta terjadi begitu saja, tetapi melalui proses. Pembentukan
personal branding dilakukan dalam tiga proses, yakni:
“(1) You, atau dengan kata lain seseorang itu sendiri. Seseorang dapat membentuk sebuah
personal branding melalui sebuah polesan dan metode komunikasi yang disusun dengan baik.
Dirancang untuk menyampaikan dua hal penting kepada target market, yaitu: (a) Siapakah
seseorang tersebut sebagai suatu pribadi? (b) Spesialisasi apa yang seseorang itu lakukan?
Personal Brand adalah sebuah gambaran mengenai apa yang masyarakat pikirkan tentang
seseorang. Hal tersebut mencerminkan nilai-nilai, kepribadian, keahlian dan kualitas yang
membuat seseorang berbeda dengan yang lainnya. (2) Promise, dalam personal brand adalah
sebuah janji dan sebuah tanggung jawab untuk memenuhi harapan yang timbul pada
masyarakat akibat dari personal brand itu sendiri. (3) Relationship, sebuah personal branding
yang baik akan mampu menciptakan suatu relasi yang baik dengan masyarakat, semakin
banyak atribut-atribut yang dapat diterima oleh masyarakat dan semakin tingginya tingkat
75Ibid hal 182. 76Keller, Kevin Lane. 1998. “Strategic Brand Management: Building, Measuring and
Managing Brand Equity.” Prentice Hall: New Jersey. Jakarta: Gramedia Pustaka. 77Montoya, Peter. 2006. The Personal Branding. Phenomenon Published by Personal
Branding Press / ISBN: 0967450616.
26
kekuasaan seseorang, menunjukkan semakin baiknya tingkat relasi yang ada pada personal
branding tersebut.”78
Personal Branding berbicara tentang kemampuan mempengaruhi keputusan
dan tingkah laku seseorang. Personal Branding pada dasarnya adalah bagian dari
branding secara umum, sehingga teori atau framework (kerangka) yang digunakan
pada branding atau brand image dapat diterapkan juga untuk personal branding.
Menurut Kupta, Personal branding merupakan pencitraan pribadi yang mewakili
serangkaian keahlian, suatu ide cemerlang, sebuah sistem kepercayaan dan persamaan
nilai yang dianggap menarik oleh orang lain.79 Personal branding juga bisa diartikan
sebagai seni dalam menarik dan memelihara banyak customer dengan membentuk
persepsi audiens secara aktif. Maka untuk mendapatkan personal branding yang
diinginkan, terdapat beberapa proses yang terjadi ketika audiens menerima informasi
mengenai realitas yang terjadi, yakni:
“(1) Selective Attention (perhatian selektif), dimana seseorang akan mempersepsikan sesuatu
berdasarkan perhatiannya, mengingat banyaknya informasi yang diterima. Oleh sebab itu,
maka komunikasi haruslah membuat informasi yang dapat menarik perhatian audiens. (2)
Selective Distortion (distorsi selektif), yakni kecenderungan seseorang untuk memilih
informasi berdasarkan kepenting pribadinya dan menerjemahkan informasi berdasarkan pola
sebelumnya yang berkaitan dengan informasi tersebut. Maka dari itu dibutuhkan kemampuan
untuk memahami kemungkinan-kemungkinan terjadinya distorsi pada saat mengirimkan
informasi kepada target audiens. (3) Selctive Retention (ingatan selektif), dimana audiens akan
mudah mengingat informasi yang dilakukan secara berulang-ulang. Maka dari itu diperlukan
kreatifitas agar pesan yang disampaikan secara berulang-ulang tidak akan terlihat sama dan
membosankan”.80
Untuk memperoleh personal brand yang baik dibutuhkan produk yang baik
juga. Produk di sini dapat berupa keahlian, attitude (sikap), penampilan, cara bicara
dan tentu saja reputasi dan apa yang sudah dihasilkan. Setelah itu, diperlukan cara
mengkomunikasikan reputasi atau produk tersebut.81
78
Montoya & Tim Vandehey. 2008. The Brand Called You. McGraw-Hill Professional. 79Ibid hal 164. 80Kotler, Philip & Keller, Kevin Lane. 2009. Manajemen Pemasaran. Edisi ketiga belas.
Jakrta: Erlangga. 81Ibid hal 88.
27
B.6 Alur Penelitian
Dalam proses analisis resepsi, audiens dilihat sebagai individu yang memiliki
persamaan budaya selera (taste culture) yang oleh Herbert Ganz dilihat sebagai
audiens yang dibentuk berdasarkan kepentingan, yaitu adanya konten serupa yang
dipilih oleh audiens.82 Dalam hal ini audiens (penikmat RVLOG) adalah mereka yang
mengamati dan terikat oleh content dalam RVLOG di bulan Maret-April 2016, yang
dipengaruhi kedekatan peristiwa, memiliki perasaan dan pikiran yang serupa, simpati,
atau secara konsisten mengikuti karya Raditya Dika lainnya yang memanfaatkan
media konvensional atau pun media baru.
Konsep audiens RVLOG dalam penelitian berada pada audiens mikro. Dalam
level mikro, dimana audiens melakukan konstruksi dan rekonstruksi berdasarkan
pengetahuan, kesukaan, kebutuhan dan pilihan media yang dikonsumsi. Berdasarkan
teori level mikro, maka audiens RVLOG dapat dijabarkan sebagai berikut:1) Audiens
RVLOG tersebar dimana saja tanpa terikat keadaan geografis atau pun sosial-kultural
tertentu; 2) Penikmat RVLOG di bulan Maret-April 2016 dapat melakukan tindakan
memaknai yang berbeda, artinya meskipun content RVLOG yang diamati sama akan
tetapi interpretasi penikmat akan berbeda-beda; 3) Penikmat RVLOG direkatkan oleh
content yang terdapat dalam RVLOG dan bebas menggunakan media lainnya secara
bersamaan. Sejalan oleh pandangan McQuail, bahwa individu diidentifikasikan oleh
kebutuhan tertentu yang bisa saja dipengaruhi pengalaman sosial.83
Model kerangka pemikiran yang digunakan menunjukkan, bahwa encoding
dan decoding adalah proses yang saling berkaitan. Audiens (penikmat RVLOG)
memilah content yang mereka maknai (encoding) dan kemudian membentuk wacana
atau perpektif berdasarkan content media yang dipilih (meaningful discourse). Hal ini
seperti dikemukakan oleh Kristyn Gorton, bahwa encoding akan memiliki efek yang
82McQuail, Dennis. 2008. McQuail’s Mass Communication Theory 5th Edition. USA: Sage
Publications. 83Ibid hal 410.
28
membentuk batasan dan ukuran yang terjadi bersamaan dengan proses decoding.84
Decoding memungkinkan peneliti menelusuri penerimaan teks sekaligus interaksi
audiens RVLOG dengan teks berupa content-content vlog. Sementara itu encoding
memungkinkan peneliti menganalisis pemaknaan audiens berdasarkan penglihatan
dan pengamatan terhadap RVLOG yang telah di decode sebelumnya.
Semesta teks (universe) adalah hal sensitif bagi audiens yang mempengaruhi
dalam memaknai content RVLOG, yang bermuara dalam pembentukan kerangka
berpikir audiens. Semesta teks dapat berupa gender, pendidikan, kebiasaan bermedia,
dan lingkungan sosial. Proses sirkulasi pemaknaan ini memungkinkan audiens dalam
tiga posisi, yaitu menerima (dominant-hegemonic position), menerima sebagian dan
memadukan dengan pemikiran sesuai situasi sosial-budaya (negotiated reading), dan
menolak (oppositional reading). Maka kerangka alur penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Proses Encoding
Proses Decoding
Bagan 1.1. Kerangka Alur Penelitian85
84Gorton, Kristyn. 2009. Media Audiences: Television, Meaning, and Emotion. Edinburg:
Edinburg University Press. 85Peneliti.
Semesta Teks
(Media habit,
Lingkungan Sosial)
Audiens
Penikmat RVLOG
(Raditya Video Log)
Personal Branding Raditya Dika
Analisis Resepsi
Teks
(RVLOG Bulan Maret-
April 2016)
29
1.6 Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian analisis resepsi audiens media baru, dimana
audiens memiliki interpretasi dan pemaknaan yang berbeda-beda terhadap suatu hal
yang diamatinya. Kemudian direfleksikan berdasarkan pengetahuan dan pemikiran
audiens itu sendiri. Atas dasar permasalahan penelitian, metode kualitatif menjadi
metode yang tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian, karena penelitian kualitatif
mengkaji secara mendalam fenomena-fenomena yang terjadi dalam realitas sosial.
Maka penelitian ini berada dalam paradigma konstruktivis, bahwa kebenaran yang
ingin dicari dalam penelitian ini adalah bagaimana penerimaan audiens RVLOG yang
merupakan bagian dari audiens media baru terhadap personal branding Raditya Dika
dalam RVLOG di YouTube channel Raditya Dika.
Berdasarkan paradigma konstruktivis penelitian dilakuakan melalui interaksi
langsung antara peneliti dengan informan penelitian, karena itu untuk mendapatkan
hasil temuan, peneliti harus membangun realitas bersama dengan informan penelitia.
Relasi yang terjalin antara peneliti dan informan terjadi secara transaksional, sehingga
dapat menemukan secara langsung interaksi yang menuju rekonstruksi kebenaran.86
Maka dalam konteks ini peneliti membangun realitas dengan informan RVLOG yang
merupakan audiens media baru, yang terdiri dari generasi muda yang lahir bersamaan
dengan munculnya media baru.
1.6.1 Metode Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian mengenai resepsi audiens, maka
penelitian ini akan berfokus pada resepsi audiens yang dalam hal ini adalah audiens
media baru. Audiens media baru yang dimaksud merupakan penikmat RVLOG di
YouTube channel Raditya Dika pada bulan Maret-April 2016. Aktivitas sosial ini
dilakukan informan secara bertahap, oleh karena itu dibutuhkan metode yang tepat
sebagai acuan peneliti saat melakukan pengamatan secara mendalam diranah karya
86Guba, Egon G dan Yvonna S Lincoln. 1994. Competing Paradigms in Qualitative Research,
dalam Handbook Qualitative Research.
30
Raditya Dika yang memanfaatkan media baru berupa RVLOG di YouTube channel
Raditya Dika. Maka dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif,
dimana Jane Stokes menyebutkan penelitian kualitatif dalam penelitian kajian media
dan budaya berkepentingan dengan makna dan penafsiran.87 Penelitian kualitatif
mengkaji dan memahami pola-pola yang terjadi di dalam sebuah realitas sosial yang
nantinya temuan akan membentuk kata yang melaporkan sudut pandang narasumber
secara terperinci.88 Oleh karena itu penelitian kualitatif menggunakan wawancara
mendalam terhadap informan penelitian untuk memperolah data yang dibutuhkan dan
kemudian dianalisis.
1.6.2 Lokasi dan Subyek Penelitian
Lokasi penenelitian dilakukan berdasarkan daerah yang bisa dijangkau oleh
peneliti, yakni di Jakarta, Yogyakarta dan Malang. Hal ini berdasarkan dari jumlah
viewer yang subscribe dan sering berkomentar di RVLOG melalui YouTube channel
Raditya Dika pada bulan Maret-April 2016, dimana sebagian besar berada di Jakarta,
Yogyakarta dan Malang. Subyek penelitian ini adalah penikmat RVLOG pada bulan
Maret-April 2016, baik itu laki-laki atau pun perempuan sebagai informan penelitian
dengan menggunakan purposive sampling berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang
sudah dikategorikan oleh peneliti. Hal ini dilakukan agar tidak meledaknya jumlah
informan penelitian yang dilibatkan dan supaya alur penelitian berjalan sesuai dengan
tujuan diharapkan. Peneliti menetapkan 6 orang informan, 4 informan perempuan dan
2 informan laki-laki dengan kriteria:
a. Informan yang sudah melihat dan mengikuti RVLOG melalui YouTube channel
Raditya Dika, terkhusus pada bulan Maret-April 2016.
b. Informan berdasarkan subscribers dan viewers aktif berkomentar pada RVLOG
dibulan Maret-April 2016, setidaknya 10 kali berkomentar dan like setidaknya 15
kali.
87Stokes, Jane. 2006. How To Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan
Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta: Bentang. 88Silalahi, Ulber. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press.
31
c. Informan bisa laki-laki dan perempuan, hal ini dikarenakan viewers yang aktif
berkomentar dan berinteraksi dalam kolom komentar RVLOG dibulan Maret-April
2016 tidak hanya terdiri dari perempuan saja.
d. Informan yang aktif menggunakan media baru, terutama YouTube karena RVLOG
melalui situs YouTube channel Raditya Dika.
e. Informan berusia diantara 17-26 tahun, dikarenakan viewers RVLOG terdiri dari
kaum muda, sejalan dengan pandangan PBB bahwa mereka yang tergolong kaum
muda adalah berusia 15-26 tahun. Serta kemunculan dari media baru bersamaan
dengan lahirnya generasi muda, dimana content yang disajikan dirancang sesuai
dengan budaya kaum muda saat ini.
f. Informan yang bisa dijangkau peneliti demi kelancaran jalannya penelitian, maka
informan penelitian berada di Jakarta, Yogyakarta dan Malang. Hal ini diperkuat
dengan pengamatan yang telah dilakukan peneliti, bahwa sebagian besar viewers
yang subscribe dan sering berkomentar di RVLOG YouTube Channel Raditya
Dika berada di tiga kota tersebut.
1.6.3 Waktu Penelitian
Fokus kajian penelitian ini adalah resepsi audiens terhadap personal branding
Raditya Dika dalam RVLOG di YouTube channel Raditya Dika pada bulan Maret-
April 2016. Peneliti memilih RVLOG pada bulan Maret-April 2016, karena: (1) Pada
Maret 2016, content RVLOG adalah kumpul YouTubers Indonesia di rumah Raditya
Dika, serta content persiapan film Koala Kumal; (2) Pada bulan April 2016, RVLOG
menceritakan proses shooting film Koala Kumal yang tayang pada pertengahan tahun
2016, serta ketika Raditya Dika menjadi pemateri “pembicara kreatif di Fransisco,
Amerika Serikat.” Sejak Raditya Dika membuat vlog di YouTube channel miliknya,
32
audiens yang subscribe YouTube channel Raditya Dika bertambah banyak, terutama
ketika RVLOG pada bulan Maret-April 2016. 89
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data baik primer atau sekunder masuk dalam prosedur
penelitian ini. Data primer merupakan hasil wawancara (resepsi) dengan audiens
sebagai subyek penelitan yang pemilihannya terdiri dari orang-orang yang memenuhi
kategori kualifikasi informan yang akan diteliti. Interviewe guide sudah tersusun
sebelum turun ke lapangan. Beberapa poin pertanyaan antara lain seputar interaksi
sosial, habit (kebiasaan) bermedia, kenapa memilih RVLOG (Raditya Video Log),
sertasampai pengalaman-pengalaman sosial budaya.
a. in-depth interview
Rachmah Ida menyatakan bahwa in-depth interview dilakukan untuk mencari
tahu atau melakukan investigasi yang lebih mendalam tentang topik atau isu tertentu
dari konten-konten suatu media.90 Bisa dikatakan in-depth interview digunakan untuk
mengumpulkan data primer penelitian, dengan memberikan peluang kepada informan
dalam mendefinisikan diri sendiri, lingkungannya, serta menggunakan istilah-istilah
mereka sendiri. Dalam analisis resepsi, teknik wawancara adalah teknik yang tepat
dalam memperoleh informasi mengenai interpretasi informan. Dalam konteks ini
adalah interpretasi audiens RVLOG di YouTube channel Raditya Dika terhadap
personal branding Raditya Dika. Narasi-narasi kualitatif yang didapat dari penuturan
informan menjadi data. Demikian pula hubungannya dengan makna polisemi, maka
penuturan informan yang berbeda-beda merupakan titik krusial dalam studi resepsi.
Penuturan yang beragam tidak terlepas dari hasil stimuli memori informan.
89Raditya Dika “Official YouTube Channel” dari 1.582.271 menjadi 1.842.796 subscribe
dari Januari hingga April 2016 (Diakses 18 Januari dan 3 Mei 2016 ). 90Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Prenada
Media Grup.
33
b. Studi Pustaka
Dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang diperoleh dari
studi pustaka. Data sekunder digunakan untuk menopang pengumpulan data primer.
Data diperoleh dengan literatur melalui buku-buku, jurnal-jurnal, penelitian akademik
(skripsi, tesis, dan disertasi), serta bisa artikel dari media massa atau online sebagai
tinjauan pustaka mengenai penelitian-penelitian terdahulu seputar resepsi audiens,
media baru, karya-karya Raditya Dika dan personal branding.
1.6.5 Teknik Analisis Data
Kerangka analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah gabungan antara
dua model yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, yaitu kerangka resepsi
Stuart Hall untuk melihat bagaimana audiens membuat (encoding) dan menerima
(decoding) pesan media, serta relasi teks Abrams untuk melihat hubungan antara
audiens dengan semesta teks (media habit dan lingkungan sosial) sebagai faktor yang
mempengaruhi interpretasinya.
Dalam mengetahui proses resepsi yang terjadi, content dalam judul-judul
RVLOG di bulan Maret-April 2016 diajukan kepada informan sebagai latar (setting)
terkait content, kemudian dimaknai. Peneliti selanjutnya mengkategorikan interpretasi
dan pemaknaan informan terhadap content setiap vlog, yakni; (1) Pengkategorian
penerimaan informan berdasarkan judul RVLOG pada bulan Maret-April 2016. (2)
Mengkategorisasikan posisi audiens terhadap content-content vlog, yaitu dominant-
hegemonic position (posisi dominan) yaitu menerima keseluruhan content, negotiated
position (posisi negosiasi) yaitu menerima sebagian dan sebagian lainnya dipadukan
dengan pemikiran sesuai dengan sosial-kultural atau pengalaman pribadi, dan terakhir
oppositional position (posisi oposisional) yaitu menolak secara keseluruhan content.
(3) Menganalisis perbedaan penerimaan audiens dengan menelusuri faktor-faktor apa
saja penyebab perbedaan tersebut, seperti media habit, lingkungan sosial, pendidikan,
usia, pengetahuan terhadap karya Raditya Dika terkhusus RVLOG, serta pengalaman
yang pernah dirasakan sendiri seputar content RVLOG.
34
1.6.6 Sistematika Penulisan
Penelitian ini terkait resepsi audiens terhadap personal branding Raditya Dika
dalam RVLOG (Raditya Video Log) di YouTube channel Raditya Dika pada bulan
Maret-April 2016. Dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam 5 bab sebagai berikut:
a. Bab I Pendahuluan berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah Penelitian, Tujuan
Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Pemikiran Penelitian, Alur Penelitian
dan Metodologi Penelitian.
b. Bab II berisis literatur review sebagai pengembangan dari kajian teoritik (kerangka
pemikiran) dan kerangka alur penelitian berdasarkan bab sebelumnya.
c. Bab III membahas tentang konteks penelitian, yakni obyek dan subyek penelitian
yang terbagi dalam tiga bagian besar: Raditya Dika (produser teks), RVLOG di
YouTube channel Raditya Dika (teks), serta profil informan penelitian (penikmat
RVLOG).
d. Bab IV menjelaskan terkait hasil penelitian yang berdasarkan temuan di lapangan
dan analisis data yang dikumpulkan berdasar pada data primer dan data sekunder
berdasarkan kepentingan penelitian. Pembahasan penelitian terikat pada kerangka
pemikiran dan alur penelitian yang sebelumnya telah tersusun.
e. Bab V yakni bab terakhir atau penutup. Akan dibahas mengenai kesimpulan terkait
hasil penelitian dan hasil analisis berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian,
serta saran yang dibutuhkan bagi penelitian selanjutnya.
1.6.7 Limitasi Penelitian
Penelitian ini hanya menganalisis resepsi audiens terhadap personal branding
Raditya Dika dalam RVLOG (Raditya Video Log) di YouTube channel Raditya Dika
pada bulan Maret-April 2016. Dalam penelitian ini tidak lepas dari keterbatasan, baik
keterbatasan jumlah audiens (penikmat RVLOG). Lokasi penelitian berdasarkan
daerah yang bisa dijangkau peneliti dan tidak terikat pada daerah tertentu, karena
tidak mencari hubungan antara daerah dengan resepsi audiens, serta juga untuk
memperlihatkan keberagaman audiens (informan penikmat RVLOG).