34
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerimaan terhadap suatu teks media atau karya cipta sangat tergantung pada penerimaan audiens, dimana saat ini audiens tidak hanya bersifat pasif menerima, namun lebih bersifat aktif. Hal ini dikarenakan pergeseran peran audiens yang telah menciptakan hubungan timbal balik diantara audiens dan teks media, bukan hanya hubungan searah dari media pada audiens. Hubungan keduanya menjadi menarik, dimana media dan audiens pada akhirnya akan saling membutuhkan, saling memberi, saling mengambil keuntungan satu sama lain, serta memainkan perannya masing- masing yang dinamis. Sejalan dengan yang dikemukakan Graeme Burton, bahwa audiens adalah mereka yang mengkonsumsi produk-produk media. 1 Dalam konteks ini, audiens memiliki andil dalam menentukan media yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan akan informasi dan hiburan. Hubungan timbal balik ini terjadi pada situs YouTube dengan audiensnya yang berupa viewer, 2 dimana sejak kehadiran YouTube pada tahun 2005 menawarkan cara lain dalam dunia blogging. Jika sebelumnya bentuk blog hanya berupa tulisan, dalam YouTube, dikenal adanya Video Blogging atau Video Log yang berbentuk video. Video Log sendiri merupakan suatu video dengan bermacam content, baik mengenai opini, cerita keseharian, tutorial atau apa pun yang kemudian disisipkan pada suatu situs YouTube. 3 Audiens biasapun dapat memberikan kontribusinya dalam dunia YouTube. Bahkan, tidak sedikit YouTubers 4 content-content video luar biasa dalam YouTube berasal dari kalangan biasa, karena penggunaan YouTube yang sangat 1 Burton, Graeme. 2012. Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. 2 Istilah ini digunakan untuk menyebut orang yang telah menonton video di sebuah YouTub channel. 3 http://www.tekinfom.com/2016/05/apa-itu-vlog-perkembangan-dari-blog-kah.html (Diakses, 19 Mei 2016). 4 Istilah dalam YouTube untuk menyebut orang-orang yang memiliki akun atau YouTube channel.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108924/potongan/S2...1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerimaan terhadap suatu teks media atau karya

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penerimaan terhadap suatu teks media atau karya cipta sangat tergantung pada

penerimaan audiens, dimana saat ini audiens tidak hanya bersifat pasif menerima,

namun lebih bersifat aktif. Hal ini dikarenakan pergeseran peran audiens yang telah

menciptakan hubungan timbal balik diantara audiens dan teks media, bukan hanya

hubungan searah dari media pada audiens. Hubungan keduanya menjadi menarik,

dimana media dan audiens pada akhirnya akan saling membutuhkan, saling memberi,

saling mengambil keuntungan satu sama lain, serta memainkan perannya masing-

masing yang dinamis. Sejalan dengan yang dikemukakan Graeme Burton, bahwa

audiens adalah mereka yang mengkonsumsi produk-produk media.1 Dalam konteks

ini, audiens memiliki andil dalam menentukan media yang dipilih untuk memenuhi

kebutuhan akan informasi dan hiburan.

Hubungan timbal balik ini terjadi pada situs YouTube dengan audiensnya yang

berupa viewer,2 dimana sejak kehadiran YouTube pada tahun 2005 menawarkan cara

lain dalam dunia blogging. Jika sebelumnya bentuk blog hanya berupa tulisan, dalam

YouTube, dikenal adanya Video Blogging atau Video Log yang berbentuk video.

Video Log sendiri merupakan suatu video dengan bermacam content, baik mengenai

opini, cerita keseharian, tutorial atau apa pun yang kemudian disisipkan pada suatu

situs YouTube.3 Audiens biasapun dapat memberikan kontribusinya dalam dunia

YouTube. Bahkan, tidak sedikit YouTubers4content-content video luar biasa dalam

YouTube berasal dari kalangan biasa, karena penggunaan YouTube yang sangat

1Burton, Graeme. 2012. Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. 2Istilah ini digunakan untuk menyebut orang yang telah menonton video di sebuah YouTub

channel. 3http://www.tekinfom.com/2016/05/apa-itu-vlog-perkembangan-dari-blog-kah.html (Diakses,

19 Mei 2016). 4Istilah dalam YouTube untuk menyebut orang-orang yang memiliki akun atau YouTube

channel.

2

sederhana dimana YouTubers dapat mengunggah, mempublikasikan, dan video

streaming, tanpa memerlukan high level of technical knowledge.

Sambutan audiens terhadap YouTube dinilai sangat fantastis. Pada November

tahun 2007, YouTube menjadi The Most Popular Entertainment Website di Britain,

mengalahkan BBC website. Kemudian pada awal tahun 2008, YouTube termasuk Top

Ten Most Visited Websites secara global. April tahun 2008, lembaga riset pasar

internet ComScore, melansir bahwa 37% dari seluruh video di internet yang telah

ditonton di United States, berasal dari YouTube, mengalahkan Fox Interactive Media

yang hanya 4,2%.5 Maka ketika berbicara vlog6 juga akan berbicara viewer, karena

vlog dan viewer merupakan dua hal yang saling terikat dan tidak bisa dipisahkan.

Viewer dalam YouTube channel itu sendiri merupkan kaum muda, karena kaum muda

adalah generasi yang dekat dengan media baru (internet), serta kemunculan media

baru juga berdampingan dengan lahirnya generasi muda saat ini dengan rentang usia

17-24 tahun.7

Ketika berbicara mengenai kaum muda, kental dengan perspektif bahwa jiwa

kaum muda adalah jiwa yang bebas. Hal ini dipermudah pula dengan penggunaan

internet yang bebas, tidak mengenal batas ruang dan waktu, serta tidak membutuhkan

biaya mahal. Sehingga, tidak heran jika generasi saat ini disebut generasi media baru

karena telah dirancang sesuai dengan budaya kaum muda. Internet yang notabene

adalah media baru, telah menjadi bagian dari hidup para kaum muda.8 Seperti halnya

di Indonesia, budaya kaum muda dalam menggunakan media baru sudah mulai

menjamur dikalangan masyarakat saat ini yang dianggap aktif dan expert (ahli) dalam

menggunakan media baru tersebut. Sebelum media baru berpengaruh terhadap aspek-

5Burgess, Jean dan Green, Joshua. 2009. YouTube: Digital Media and Society Series.

Cambridge: Polity Press. 6Seterusnya secara konsisten akan menggunakan kata Vlog. 7Fadhal, Soraya. 2012. Identifikasi Identitas Kaum Muda di Tengah Media Digital (Studi

Aktivitas Kaum Muda Indonesia di Youtube). Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol. 1,

No. 3 Jakarta. 8Chien Chou, Linda Codron, dan John C. Belland. 2005. A review of the Research on Internet

Addiction: Springer Science + Bussiness Media, Inc. Hal 1.

3

aspek kehidupan audiens, hubungan yang tercipta hanyalah searah melalui FTF

(Communication And Interaction), dimana ketika itu audiens lebih dapat dikontrol

dibandingkan melalui SNS (Social Network Site). Krämer & Winter mengatakan,

“Afundamental difference between face-to-face communication and the SNS situation

arises, because the audience of conformity behavior is largely undetermined”.9 Hal

ini menyebabkan audiens dalam dunia maya bersifat heterogen, serta audiens saat ini

merupakan generasi media baru, yaitu audiens media baru yang terdiri dari kaum

muda.

Audiens media baru tergambarkan diantara Raditya Dika dengan penikmat

karya yang dihasilkannya, dalam konteks ini adalah karya Raditya Dika berupa vlog

dengan nama RVLOG (Raditya Video Log) di YouTube channel Raditya Dika.

Raditya Dika membuat vlog dengan content cerita kegiatan sehari-hari, tidak hanya

tentang project kerja atau karya yang sedang dikerjakan, namun kegiatan lainnya

yang selama ini belum ter-expose oleh media. Audiens tidak hanya menerima begitu

saja content yang disajikan dalam RVLOG,10 namun audiens dapat berkomentar dan

memberi saran di laman komentar yang sudah tersedia di RVLOG tersebut.

Vlog bermula dari media baru yang merupakan bagian konvergensi media,

menyebabkan perubahan budaya media dan adanya budaya populer. Konvergensi

media lahir ketika media baru mulai diperkenalkan, dimana konvergensi media itu

sendiri merupakan hasil dari irisan tiga unsur new media yaitu jaringan komunikasi,

teknologi informasi dan konten media.11Konvergensi media bukan saja memperkaya

sajian informasi, tetapi juga memberi pilihan kepada audiens untuk memilih media

sesuai dengan kebutuhan dan selera mereka. Bisa dikatakan konvergensi media juga

mengubah hubungan diantara audiens, teknologi, industri, pasar, dan gaya hidup.

9Ganster, Tina. 2014. “Like” what you see? (A Qualitative Exploration of Peer Influence

Exerted Through the Display of Likes on Facebook Pages). Social Psychology: Media and

Communication, University of Duisburg-Essen. Germany. 10Seterusnya secara konsisten akan menggunakan kata RVLOG. 11Jenkins, Henry. 2007. Convergence Culture: Where Old Media and New Media Collide.

NYU Press: New York.

4

Sebelum munculnya RVLOG, Raditya Dika sudah mengasilkan berbagai

karya. Bermula hanya semata-mata melakukan hobi dan curhat tentang kejadian yang

dialami sehari-hari yang ditulis melalui blog pribadi. Curhat sehari-hari itu lantas

menjadi hiburan menyenangkan bagi para blog walker yang ribuan kali menginjakkan

jejak di laman blog pribadinya.12

Kemudian Raditya Dika memberanikan diri untuk

membukukan catatan harian di blog pribadinya, setelah memenangkan Indonesian

Blog Award dan juga pernah meraih pengharagaan dari Indosat yang bertajuk The

Online Inspiring.13 Kambing Jantan, itulah karya novel pertama yang mengangkat

nama Raditya Dika, ditampilkan dalam format diary (buku harian).

Raditya Dika yang bermula sebagai penulis: Kambing Jantan (2005), Cinta

Brontosaurus (2006), Radikus Makankakus: Bukan Binatang Biasa (2007), Babi

Ngesot (2008), Marmut Merah Jambu (2010), Manusia Setengah Salmon (2011) dan

yang terbaru adalah Koala Kumal (2015) dan menjadi komika14 sekaligus menjadi

juri Stand Up Comedy Indonesia. Tidak berhenti disitu saja, Raditya Dika terus

mengembangakan talenta dalam dirinya dengan aktif dalam bidang perfilman, dimana

Raditya Dika sebagai aktor sekaligus sutradara film-film yang berangkat dari novel

karangannya sendiri. Dalam media baru pun Raditya Dika sangat aktif, seperti di

YouTube channel. Hal ini terlihat dari berbagai karya yang dihasilkannya, seperti web

series Malam Minggu Miko dan terbaru RVLOG di YouTube channel Raditya Dika.15

Adanya konvergensi media yang melahirkan media baru, layaknya RVLOG di

YouTube channel Raditya Dika, menjadikan audiens yang dalam penelitian ini adalah

penikmat RVLOG semakin bertambah banyak. Artinya, karya-karya Raditya Dika

cukup mendapat respon positif dari audiens dan bertambah banyak pula penghargaan

yang dihasilkan Raditya Dika. Dimana baru-baru ini Raditya Dika mendapatkan

12www.radityadika.com “Official website” (Diakses 19 Februari 2016). 13Ibid. 14Sebutan untuk orang yang Stand Up Comedy. 15Berdasarkan yang terarsip dalam Atho Novian, “Biografi Asal Usul Raditya Dika”

http://athodotnovian.blogspot.com/2013/03/biografi-asal-usul-raditya-dika.html (Diakses tanggal 19

Februari 2016).

5

penghargaan lagi, kali ini diberikan oleh Jawa Pos Group Awards 2016, Infotaiment

Awards 2016 dan Box Office Indonesia Movie Awards 2016.16

Jelas terlihat Raditya Dika telah sukses dan berhasil menjangkau audiens tidak

hanya di media cetak dan konvensional, namun juga di media baru melalui karya

yang dihasilkannya. Semakin diperkuat dengan audiens yang melihat dan mengikuti

RVLOG melalui YouTube channel Raditya Dika, dimana dengan adanya RVLOG

jumlah subscribe17 YouTube channel Raditya Dika bertambah signifikan.18 Selain itu

juga terbukti dengan semakin banyaknya audiens yang follow19 Instagram Raditya

Dika.20 Melalui Instagram Raditya Dika selalu update RVLOG terbarunya.

Raditya Dika yang sebelumnya sudah sukses dan terkenal dengan berbagai

karya yang dihasilkannya, kemudian membuat RVLOG dengan berbagai content

cerita tentang kegiatannya sehari-hari, sehingga brand image Raditya Dika dibenak

audiens menjadi dipertanyakan. Pada manusia, brand yang melekat pada dirinya

disebut personal branding. Personal branding bertujuan untuk membangun asosiasi

dan harapan audiens terhadap diri seseorang, yang berkenaan dengan kemampuan

untuk mempengaruhi keputusan dan tingkah laku seseorang.21 Kembali pada konteks

penelitian, dimana penelitian ini akan menganalisis bagaimana penetapan keputusan

audiens terhadap personal branding Raditya Dika dengan menikmati karya Raditya

Dika dalam ranah media baru, yakni RVLOG di YouTube Channel Raditya Dika.

Awalnya penelitian mengenai brand image lebih didominasi terhadap studi

iklan produk dan marketing suatu perusahaan, padahal studi mengenai personal

branding juga penting dilakukan untuk mengkaji bagaimana seseorang memandang

dan mempersepsikan orang lain. Persepsi yang direfleksikan akan berbeda-beda,

16Http://liputan6.com/ (Diakses 10 Maret 2016). 17Dalam YouTube istilah ini digunakan untuk menyebut orang yang berlangganan video-video

dalam sebuah YouTube channel yang dikehendaki. 18Raditya Dika “Official YouTube Channel” dari 1.582.271 menjadi 2.091.605 subscribe

dari Januari hingga November 2016 (Diakses 18 Januari dan 8 November). 19Istilah untuk orang-orang yang mengikuti akun instagram. 20Raditya_Dika “Raditya Dika’s Official Account (Instagram)” dari 2.2M menjadi 4,9M

follower dari Januari hingga November 2016. (Diakses 18 Januari dan 8 November). 21Montoya & Tim Vandehey. 2008. The Brand Called You. McGraw-Hill Professional.

6

tergantung bagaimana seseorang meyakininya berdasarkan apa yang dilihat, diamati

dan didengar. Penelitian terdahulu mengenai personal branding dilakukan oleh

Kumala Maharani Totoatmojo, dimana penelitian ini ingin melihat dan mengetahui

pengaruh citra Inul Daratista terhadap citra merek Inul Vizta, serta ingin mengetahui

persepsi pelanggan mengenai citra merek Inul Vizta.22

Audiens dalam penelitian ini merujuk pada konsep audiens aktif dalam kajian

budaya, yang mana audiens sebagai pencipta makna. Menurut Barker audiens aktif

mengacu pada kemampuan audiens atau pemirsa untuk menjadi pencipta makna

secara aktif bukan hanya menjadi penerima pasif dari makna yang disampaikan

teks.23 Teori resepsi audiens (audience reception theory) dipilih karena relevansinya

dalam penelitian ini. Resepsi audiens dalam tradisi kajian budaya berada digaris batas

antara ilmu sosial dan ilmu humaniora terutama menyangkut budaya populer.

McQuail menyatakan studi dalam tradisi ini menekankan media sebagai alat untuk

merefleksikan secara khusus konteks sosio-kultural dan proses pemberian makna

terhadap produk budaya berdasarkan pengalaman manusia. Penelitian resepsi akan

menunjukkan bahwa pesan dapat dibaca (decode) secara berbeda oleh berbagai

kelompok karena perbedaan sosial dan kultural.24

Studi resepsi menitikberatkan pada peran audiens dalam decoding teks media.

Keadaan ini juga memungkinkan bagi audiens saat ini yang tidak terbatas pada satu

media saja, tetapi juga bebas menggunakan media lainnya. McQuail menyatakan

audiens dapat merujuk pembaca (readers), pendengar (listeners), atau penonton

(viewers) terkait tipe dan konten media yang digunakannya.25 Tipe media pun

bermacam-macam seperti film, musik, buku, majalah, televisi, radio dan bahkan

22Totoatmojo, Kumala Maharani. 2015. Public Figure and Their Business the Image Effect of

Inul Daratista toward Brand Image of Inul Vizta. Jurnal Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. 23Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Kanisius. 24McQuail, Dennis. 1997. Audience Analysis. USA: Sage Publications. 25Hall, Stuart. 2005. Encoding/Decoding (dalam Culture, Media, Language: Working Papers

in Cultural Studies 1972-1979. Dorothy Hobson, Andrew Lowe dan Paul Willis [ed]). London:

Routledge (diterbitkan pertama kali tahun 1980).

7

media baru seperti video di YouTube channel. Dalam studi kajian budaya, analisis

resepsi diaplikasikan dalam berbagai media, seperti situasi komedi yang memuat

stereotip gender dan peran keluarga (Margaret. J. Mc Cleland, 2007); audiens dan

konten program siaran radio (Eyasu Negash Alemie, 2008); pengaruh foodstuff dalam

film terhadap praktik sosial (Ece Simen Civelek, 2012); serta musik yang bermuatan

kritik sosial seperti lagu-lagu Efek Rumah Kaca (Rifki Amelia Fadlina, 2012).

Penelitian ini memilih RVLOG pada bulan Maret-April 2016 karena: (1)

RVLOG merupakan karya terbaru Raditya Dika dengan memanfaatkan media baru,

yakni melalui YouTube channel Raditya Dika yang baru dimulai 16 Feberuari 2016;

(2) Vlog merupakan hal yang masih baru dan booming di Indonesia, terutama sejak

adanya RVLOG;26 (3) Sejak adanya RVLOG, audiens yang subscribe di YouTube

channel Raditya Dika bertambah signifikan;27 (4) Content RVLOG di bulan Maret-

April 2016 lebih bervariasi dan menarik, sehingga viewers RVLOG bulan Maret-

April 2016 lebih banyak dari viewer content RVLOG sebelumnya.28

Penelitian ini secara khusus akan menganalisis tentang penerimaan audiens,

yang saat ini peran audiens sudah mengalami pergeseran. Audiens saat ini merupakan

audiens media baru yang terdiri dari kaum muda yang lebih aktif dalam bermedia,

karena kemunculan dari media baru juga berdampingan dengan lahirnya generasi

muda saat ini. Maka penikmat RVLOG juga merupakan audiens media baru, karena

content dalam RVLOG sangat dekat dengan kehidupan dan sosial-budaya kaum

muda saat ini. Serta juga personal branding seseorang yang dipertanyakan kembali,

terutama ketika jauh sebelumnya seseorang tersebut sudah dikenal oleh banyak orang.

Ketika orang-orang pada umumnya terkenal setelah membuat vlog di YouTube

26http://www.tekinfom.com/2016/05/apa-itu-vlog-perkembangan-dari-blog-kah.html

(Diakses, 19 Mei 2016). 27Raditya Dika “Official YouTube Channel” dari 1.582.271 menjadi 2.091.605 subscribe dari

Januari hingga November 2016 (Diakses 18 Januari dan 8 November). 28Ibid (sebanyak 438.293 viewer dengan content shooting film Koala Kumal, 441.762 viewer

dengan content kumpul YouTubers, dan 415.884 viewer dengan content Menjadi Pemateri).

8

channel, lain halnya dengan Raditya Dika yang sudah terkenal melalui karya-karya

dihasilkannya sebelum membuat RVLOG di YouTube channel-nya.

Penelitian resepsi terdahulu hanya melihat obyek media dalam studi-studi

resepsi yang didominasi pada tayangan di media massa terutama serial TV atau film,

seperti pada penelitian Evan Cooper (2003) mengenai resepsi audiens terhadap serial

TV Will and Grace29 dan Laura M. Carpenter (2009) mengenai pengaruh film-film

populer terhadap praktik hidup audiens.30 Namun saat ini terdapat juga penelitian

terdahulu mengenai vlog di YouTube channel, yang dilakukan Darin Rania Balqis.

Dimana penelitian ini ingin mengetahui bagaimana anak muda, dalam hal ini Bayu

dan Tasha mempresentasikan diri mereka melalui vlog-nya.31 Sehingga penelitian ini

akan melengkapi penelitian-penelitian terdahulu dengan berdiri di atas argumen,

bahwa suatu karya seni atau pun karyaa cipta tidak akan bermakna tanpa penerimaan

dari audiens (penikmat) karya itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,

maka rumusan masalah dalam penelitian ini: Bagaimana resepsi audiens terhadap

personal branding Raditya Dika dalam RVLOG (Raditya Video Log) di YouTube

channel Raditya Dika?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan: Untuk

menganalisis bagaimana resepsi audiens terhadap personal branding Raditya Dika

dalam RVLOG (Raditya Video Log) di YouTube channel Raditya Dika.

29Cooper, Evan. 2003. Decoding Will and Grace: Mass Audience Reception of Popular

Network. Sociological Perspectives. Vol. 46, No.4. pp. 513-533. 30Carpenter, Laura.M. 2009. Virginity Loss in Reel/Real Life: Using Popular Movies to

Navigate Sexual Initiation. Sociological Forum, Vol. 24, No.4. 31Balqis, Darin Rania. 2015. VIDEO BLOG SEBAGAI MEDIUM PRESENTASI DIRI ANAK

MUDA (Sebuah Studi Deskriptif terhadap Kanal YouTube “BayuSkak” dan “NatashaFarani”). Jurnal

Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

9

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini akan memberikan manfaat dan kontribusi sebagai

berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian memberikan peluang dan kebaruan terhadap teori resepsi

audiens, karena objek penelitian mengkaji pengamatan audiens terhadap suatu teks

media baru, serta mengkaji suatu personal branding. Penelitian ini juga menambah

penelitian dalam bidang komunikasi, terkhusus mengenai kajian audiens dan personal

branding. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu menjadi tambahan referensi

dan acuan bagi para peneliti selanjutnya yang tertarik dengan studi audiens, baik

dalam ranah media konvensional atau pun media baru sebagai karya komunikasi.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap publik,

terkhusus pelajar dan mahasiswa dalam mempelajari mengenai penerimaan audiens

dan personal branding. Dengan mengetahui lebih banyak mengenai varian penelitian

seputar audiens, mahasiswa akan dengan mudah mengembangkan lagi penelitian lain

seputar studi media, audiens dan personal branding.

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1 Konvergensi Media

Konvergensi media menurut pemikiran Briggs dan Bourke dalam bukunya

“Media Convergence: Issues in Cultural and Media Studies,” bahwa:

“Konvergensi merupakan perkembangan teknologi digital yang terjadi, yaitu integrasi teks,

angka, gambar dan suara yang merupakan digitalisasi” (dalam Dwyer, 2010: 144 ).32

Namun pada kenyataannya tidak hanya sebatas itu saja, konvergensi media

adalah suatu perkembangan teknologi yang mengubah bagaimana content (isi) media

diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi melalui media baru. Dan konvergensi

32Dwyer, Tim. 2010. Media Convergence: Issues in Cultural and Media Studies. New York.

USA

10

media bukanlah hanya persoalan internetisasi dan digitalisasi saja, melainkan ada

implikasi pada newsroom, serta bagaimana konsumen mengkonsumsi sekaligus

memproduksi content medianya sendiri. Konvergensi media juga memberikan

kesempatan baru yang bersifat radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan

pemrosesan seluruh bentuk informasi baik yang bersifat visual, audio, data dan

sebagainya.33

Konvergensi pada akhirnya menyebabkan transformasi tidak hanya pada

organisasi media maupun pada kalangan kreatif atau profesional media yang bekerja

di organisasi media, melainkan juga menyebabkan transformasi pada audiens, bahkan

pemerintah atau negara sebagai otoritas regulator, dan juga industri. Perubahan

teknologi media telah membawa paradigma baru yang terjadi karena digitalisasi

media dan jaringan media massa yang semakin meluas dan konvergens.34

Kehadiran konvergensi media yang melahirkan media baru (new media)

berdampak pada perkembangan teknologi, dimana semakin beragam fasilitas dan

fiturnya yang menawarkan kemudahan bagi audiens (khalayak) dalam mengakses

berbagi hal, terkhusus dalam bidang komunikasi dan media. Kecanggihan fitur-fitur

tersebutlah dianggap berkontribusi terhadap terjadinya pergeseran dan perubahan

budaya media. Perubahan budaya media yang dimaksud adalah adanya pergeseran

peran dan sikap audiens terhadap media yang semula pasif, lama kelamaan bergeser

menjadi aktif karena adanya dorongan dan pengaruh dari teknologi itu sendiri yang

menfasilitasi terjadinya perubahan budaya media. Hal ini kemudian diperkuat oleh

pernyataan seorang ahli di bidang media dan komunikasi Nick Couldry dalam

berbagai tulisannya yang dipublikasikan.

Salah satu tulisan Couldry yang membahas mengenai perubahan paradigma

audiens adalah artikel “The Extended Audience: Scanning Horizon,” mengeksplorasi

tentang perubahan sikap audiens yang disebabkan oleh teknologi, lokasi spasial dan

33Preston, Paschal. 2001. Reshaping Communications: Technology, Information and Social

Change. Sage, Thousand Oaks: California. 34Soekartono. 2012. Konvergensi Media dan Massa Depan Bangsa. Jurnal Ilmu Komunikasi.

Vol.4. No.2.

11

sosial, serta pengalaman dan tantangan dalam penelitian mengenai khalayak. Menurut

Couldry cara audiens merespon dan terlibat dengan media dipengaruhi oleh

perubahan atas hal-hal tersebut.35 Couldry juga menyatakan bahwa secara historis

audiens bersifat lebih pasif, hal tersebut didasari pada asumsi bahwa audiens hanya

mengonsumsi tanpa terlibat denga media. Namun, seiring perkembangan teknologi

dalam ranah media baru yang semakin pesat, telah memungkinkan audiens untuk

berpartisipasi secara aktif melalui fitur-fitur yang tersedia, sehingga memudahkan

mereka untuk mengekspresikan dirinya melalui media.

Implikasi lainnya dari konvergensi saat ini adalah runtuhnya batas-batas ruang

dan waktu ini kemudian yang sejalan dengan pendapat McLuhan yang sangat

terkenal, yaitu Global Village. Konsep Global Village ini menjelaskan bahwa tidak

ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu

tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, melalui interne.36

Dimana pembicaraan akan suatu topik dapat menjadi konsumsi dan masukan bagi

masyarakat luas dan semua orang berhak untuk ikut dalam pembicaraan umum, dan

juga berhak untuk mengkonsumsinya, tanpa terkecuali. Perkembangan teknologi

komunikasi dan informasi inilah yang menjadikan adanya konvergensi media, yang

memudahkan audiens dalam kehidupan sehari-hari.

Pemilihan media juga merupakan salah satu dari implikasi konvergensi media

terkhusus pada audiens, dimana audiens dapat melakukan pilihan terhadap media

mana yang menurutnya penting. Schram menjelaskan bahwa:

“Orang-orang akan memilih media yang menurut harapannya akan memberikan imbalan.

Schram berpendapat ada dua macam imbalan, yakni imbalan langsung dan imbalan

tertunda.”37

35Gillespie, Marie, (ed). 2004. The Extended Audience: Scanning The Horizon. Ppen

university press: Maidenhead. 36McLuhan, Marshall. 1997. Digital McLuhan: A Guide to the Information Millennium.

London:Routledge. 37Rivers, William L. Jensen, Jay W & Peterson Theodore. 2015. Mass Media and Modern

Society. Jakarta: Prenadamedia Group.

12

Artinya audiens akan menentukan media mana yang menurut mereka dapat

memenuhi kebutuhannya akan informasi atau bahkan membuat content media sendiri.

Sehingga audiens merasakan imbalan yang memang sepantasnya didapatkan dari

pilihan media yang dialakukan.

1.5.2 Media Baru (New Media)

Keberadaan internet memunculkan istilah media baru (New Media) yang

merupakan bentuk dari teknologi komunikasi bermedia, dimana keberadaannya

muncul bersama dengan perkembangan teknologi digital. Perbedaan media baru ini

dengan media konvensional, bahwa media baru melebihi dari media konvensional

dalam hal kecepatan, kualitas dan kinerja. Bennet mengkategorikan media baru

menjadi internet, telepon genggam, teknologi streaming, wireless networks dan

kapasitas berbagi informasi melalui World Wide Web (WWW).38 Sehingga apa yang

disebut dengan media baru, lahir ketika konvergensi media mulai diperkenalkan.39

Menurut Bordewijk dan Kaam (1986) ada dua ciri khas utama dari pola

komunikasi dalam media baru, yaitu: (1) ketersediaan serta akses terhadap informasi,

dan (2) penggunaan informasi dalam konteks kontrol waktu dan pilihan.40 Hal ini

sejalan dengan pemikiran Lievrouw dan Livingstone yang membedakan karakteristik

media baru dengan media lama kedalam empat aspek, yaitu:

1. Recombinant. Media baru merupakan hasil kombinasi secara continue antara teknologi yang

sudah ada dengan inovasi baru, dalam sebuah jaringan teknis dan institusional yang saling

terhubung satu sama lain. Tidak seperti media massa yang pada akhir abad ke-20 telah

terdiferensiasi dengan stabil ke dalam beberapa saluran atau bentuk (karena kelangkaan

spektrum serta pendirian standar teknis dan formal), bentuk dan macam media baru terus

bercabang, berekombinan, serta berkembang.

2. Networked. Komunikasi dalam media massa bersifat hierarkhis, satu arah (one-way), dan

tersentralisasi (one to many), sementara media baru komunikasi bersifat terdesentralisasi dan

dua arah (two-way). Pengguna media baru saling terhubung dan dapat menjadi pengirim

maupun penerima pesan, atau keduanya sekaligus.

38Bennet, W. Lance. 2003. Contesting Media Power. Lanham: Rowman & Littlefield. 39Tapsell, Ross. 2014. Freedom Platform convergence in Indonesia: Challenges and

opportunities for media. Convergence: The Internasional Journal of Research into New Media

Technologies. Australian National University Australia. Vol. 6. No.2. 40Mc Quail, Denis. 2010. Mass Communication Theory 5th ed. London: Sage Publication.

Hal. 148.

13

3. Ubiquitous. Media baru mempengaruhi setiap orang dalam masyarakat dimana media tersebut

digunakan, meskipun tidak setiap orang dalam masyarakat itu menggunakannya. Sementara

teknologi media massa biasanya digunakan bersama, teknologi media baru didesain sebagai

alat atau aksesori personal yang menyediakan akses keberbagai konten yang bersifat

perseorangan atau layanan komunikasi, dimana pun pengguna, layanan, ataupun sumber daya

berada.

4. Interactive. Media baru mengakomodasi penggunanya dalam aspek selektivitas dan

jangkauan, di mana pengguna media baru dapat memilih sumber informasi mereka dan

berinteraksi dengan pengguna lainnya. Memang pengguna media massa juga dapat menerima

dan mempertahankan informasi secara selektif, namun media baru juga memberi

penggunanya sarana untuk membentuk, mencari, serta berbagi konten secara selektif, dan

untuk berinteraksi dengan individu dan grup lainnya, dalam skala lebih besar secara lebih

praktis dibanding dengan media massa tradisional.41

a. Media Sosial

Media sosial merupakan media yang muncul ketika adanya konvergensi

media yang melahirkan media baru, dimana media sosial berupa media online dengan

para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan

content (isi) melalui internet. Sejalan dengan Andreas Kaplan dan Michael Haenlein

mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet

yang dibangun atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, serta memungkinkan

penciptaan dan pertukaran user-generated content".42

Kaplan dan Haenlein menciptakan skema klasifikasi untuk berbagai jenis

media sosial dalam artikel Horizons Bisnis mereka diterbitkan pada 2010. Menurut

Kaplan dan Haenlein ada enam jenis media sosial:

1. Proyek Kolaborasi, website mengizinkan user-nya untuk dapat mengubah, menambah, atau

pun me-remove konten-konten yang ada di website ini. Contohnya: wikipedia.

2. Blog dan microblog, user lebih bebas dalam mengekspresikan sesuatu, seperti curhat atau pun

mengkritik kebijakan pemerintah. Contohnya: Twitter, Blogspot dan Tumblr.

3. Content, para user dari pengguna website ini saling meng-share content-content media, baik

seperti video, ebook, gambar dan lain-lain. Contohnya: YouTube.

4. Situs jejaring sosial, aplikasi yang mengizinkan user untuk dapat terhubung dengan cara

membuat informasi pribadi, sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi

itu bisa seperti foto-foto. Contohnya: Facebook, Path dan Instagram.

41Lievrouw, Leah dan Livingstone, Sonia. 2006. Handbook of New Media: Social Shaping

and Social Consequences of ICTs. London: Sage Publications Ltd. Hal. 4-7. 42Rogers, Everett M. 1986. Communication Technology: The New Media in Society. New

York: The Free Press.

14

5. Virtual game world, dunia virtual yang mereplikasikan lingkungan 3D, dimana user bisa

muncul dalam bentuk avatar-avatar yang diinginkan serta berinteraksi dengan orang lain

selayaknya di dunia nyata. Contohnya: game online.

6. Virtual social world, dunia virtual yang di mana penggunanya merasa hidup di dunia virtual,

sama seperti virtual game world, berinteraksi dengan yang lain. Namun, Virtual Social World

lebih bebas dan lebih kearah kehidupan. Contohnya: second life.43

Blog, jejaring sosial, wiki dan YouTube merupakan bentuk media sosial yang

paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Hal ini dipicu dengan

menggunakan media sosial, menjadikan kita sebagai diri sendiri. Selain kecepatan

informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, menjadi diri sendiri dalam media

sosial adalah alasan mengapa media sosial berkembang pesat. Tidak terkecuali,

keinginan untuk aktualisasi diri dan kebutuhan menciptakan personal branding.

Media sosial memudahkan orang untuk membuat dan yang terpenting

menyebarluaskan content mereka sendiri, seperti: post di Blog, twitter, atau video di

YouTube channel dapat direproduksi dan dilihat oleh jutaan orang secara gratis.

Pemasang iklan melalui media sosial pun tidak harus membayar banyak uang kepada

penerbit atau distributor untuk memasang iklannya. Sekarang pemasang iklan dapat

membuat konten sendiri yang menarik dan dilihat banyak orang melalui media

sosial.44

b. YouTube

“YouTube allows billions of people to discover, watch and share originally-created videos.

YouTube provides a forum for people to connect, inform, and inspire others across the globe

and acts as a distribution platform for original content creators and advertisers large and

small.”45

Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Burgess & Green, bahwa YouTube

merupakan platform di dunia maya untuk mendistribusikan content-content video

secara global, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat (audiens) di belahan dunia

manapun.46

43Ibid hal 6-7. 44Ibid hal 8. 45Https://www.youtube.com/yt/about/ (Diakses 10 Juni 2016). 46Burgess, Jean dan Green, Joshua. 2009. YouTube: Digital Media and Society Series.

Cambridge: Polity Press.

15

YouTube diprakarsai oleh 3 orang mantan karyawan PayPal (website online

komersial), Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim pada Februari 2005, dan

diluncurkan ke publik pertama kali pada Juni 2005. Sejak awal diluncurkan, YouTube

langsung mendapat sambutan baik di masyarakat. Hal ini menurut Gannes, karena

terdapat 4 fitur yang dimiliki YouTube belum pernah ditemukan sebelumnya pada

website lain, yakni: video recommendations via related videos list, an email link to

enable video sharing, comments (and other social networking functionality), and an

embeddable video player.47

c. YouTube dan Audiens Media Baru

Kehadiran YouTube memberi pengaruh luar biasa kepada audiens, khususnya

bagi kaum muda. Ketika berbicara mengenai kaum muda, kental dengan perspektif

bahwa jiwa kaum muda adalah jiwa yang bebas. Hal ini dipermudah pula dengan

pengaksesan situs YouTube yang bebas, tidak mengenal batas ruang dan waktu, serta

tidak membutuhkan biaya mahal. Sehingga, tidak heran jika generasi saat ini disebut

generasi media baru (audiens populer) karena telah dirancang sesuai dengan budaya

kaum muda. YouTube yang notabene adalah media baru, telah menjadi bagian dari

hidup para kaum muda.48

YouTube menawarkan cara lain dalam dunia blogging. Jika sebelumnya

bentuk blog hanya berupa tulisan, dalam situs YouTube dikenal adanya Video

Blogging atau Video Log yang berbentuk video. Content video di YouTube sebagai

sebuah platform video raksasa, tentu saja video di dalamnya tidak hanya diisi oleh

vlogs. Berbagai macam jenis konten video tersaji di YouTube. Namun sebuah riset

yang dilakukan Jean Burgess dan Joshua Green, Content video di YouTube tergolong

ke dalam dua jenis jika dilihat dari pembuat videonya, yakni video dari pengguna

amatir (user-created content) dan video dari institusi media tradisional (misalnya

program televisi yang ditayangkan di YouTube, dll). Riset mereka juga menemukan

47Ibid hal 2. 48Chien Chou, Linda Codron, dan John C. Belland. 2005. A review of the Research on

Internet Addiction: Springer Science + Bussiness Media, Inc. Hal 1.

16

kesimpulan, bahwa user-created content lebih banyak diminati (diukur dari kategori

most favorite, most viewed, most discussed, dan most responded). Dari 2177 user-

created video, 40% adalah vlogs, 15% user-created music videos (termasuk fanvids

dan video musik anime), 13% live material (pertunjukan musik, sporting footage, dan

slice of life footage), 10% konten informasi (newscasts, video game reviews and

interviews), serta 8% scripted materials (sketsa komedi, animasi, dan machinima).49

Berlandaskan dari riset yang dilakukan oleh Burgess dan Green, audiens

biasapun dapat memberikan kontribusinya dalam dunia YouTube. Bahkan, tidak

sedikit YouTubers content-content video luar biasa dalam YouTube yang berasal dari

kalangan biasa, karena penggunaan YouTube yang sangat sederhana dengan hanya

mengunggah, mempublikasikan, dan video streaming tanpa memerlukan high level of

technical knowledge. Terbukti bahwa dalam memahami YouTube, tidak hanya dapat

dilihat dari posisinya sebagai Social Networking Sites (SNS) yang populer, tetapi juga

dapat dilihat dengan semakin banyaknya YouTubers yang memproduksi content

medianya sendiri, yang kemudian dapat menjadi ladang mencari uang bagi

YouTubers yang memang mampu memanfaatkan situs YouTube dengan baik.

d. Vlog (Video Blogging atau Video Log) sebagai Media Populer

Media baru muncul ketika terjadinya konvergensi media, dimana menjadikan

adanya perubahan budaya media sekaligus budaya populer. Awalnya hanya berupa

media konvensional dengan audiens (khalayak) yang pasif, yang hanya menerima apa

yang disajikan oleh media. Namun dengan adanya media baru ini, audiens menjadi

lebih aktif dan selektif dalam memilih media mana yang dapat memenuhi

kebutuhannya akan informasi dan hiburan. Salah satunya adalah vlog (video Blogging

atau Video Log) yang saat ini menjadi sangat populer, terkhusus dikalangan kaum

muda.

49Burgess, Jean dan Green, Joshua. 2009. YouTube: Digital Media and Society Series.

Cambridge: Polity Press.

17

Vlog sendiri merupakan suatu video yang diisi bermacam content (isi) baik

mengenai opini, cerita keseharian, atau apa pun yang lalu disisipkan pada suatu

situs.50 Vlog juga merujuk pada content video yang berisi berbagai hal. Umumnya

dalam video tersebut diangkat satu tema khusus dan kemudian dibagikan via layanan

berbagai video, seperti YouTube atau media sosial lainnya.51 Dapat dikatakan vlog

merupakan bentuk dari media baru, dimana vlog berupa video dokumentasi yang

berada dalam suatu situs yang berisikan tentang kehidupan, opini atau pun pikiran.

Vlog dimulai dari sesorang bernama Adam Kontras yang memposting sebuah

video bersama dengan entri blognya pada tahun 2000. Dan di tahun yang sama pada

bulan November, Adrian Miles memposting video yang mengubah teks pada gambar

diam dan menggunakan kata vlog yang merujuk pada video blog yang dia posting.

Kemudian di tahun 2004, Steve Garfield meluncurkan video blog-nya sendiri dan

menyatakan bahwa tahun itu adalah tahunnya video blog. Sejak saat itu mulailah

dikenal yang namanya vlog.52

Popularitas vlog meningkat sejak tahun 2005, dimana Yahoo juga sempat

memiliki channel sendiri bertajuk vlog dan mengalami peningkatan anggota secara

drastis. Dan di tahun itu juga, situs video sharing YouTube muncul.53 Dalam sekejap,

YouTube menjadi wadah paling pas bagi para vlogger.54Fenomena vlog menunjukkan

bahwa audiens saat ini berada ditahap perkembangan audiens kontemporer, dimana

mereka tidak dapat terlepas dari media dalam menjalankan kehidupannya. Adanya

sikap aktif audiens terhadap media menunjukkan audiens tidak lagi bergantung

kepada media, tetapi sebaliknya disisi lain media juga membutuhkan partisipasi dari

audiens untuk memenuhi kepentingan media. Hal ini semakin diperkuat dengan apa

50http://www.tekinfom.com/2016/05/apa-itu-vlog-perkembangan-dari-blog-kah.html

(Diakses, 19 Mei 2016). 51http://www.money.id/digital/jadi-fenomena-apa-itu-sebenarnya-vlog-160429x.html (Diakses

19 Mei 2016). 52http://www.money.id/digital/jadi-fenomena-apa-itu-sebenarnya-vlog-160429x.html (Diakses

19 Mei 2016). 53Ibid. 54Sebutan bagi pembuat Video Log, biasa disingkat vlogger.

18

yang dikemukakan ole Abercrombie dan Longhurst mengidentifikasi tiga tahap dalam

perkembangan khalayak, yaitu khalayak yang sederhana, khalayak massa, dan

khalayak kontemporer yang tersebar (terdifusi) namun tetap terhubung secara

permanen dengan media elektronik tertentu dalam setiap aktivitas sehari-harinya.55

Dapat dikatakan pergeseran dari peran audiens (khalayak) telah menciptakan

hubungan timbal balik antara audiens dan media, dan bukan lagi hanya hubungan

searah dari media kepada audiens saja. Hubungan keduanya sangatlah menarik,

media dan audiens pada akhirnya akan selalu saling membutuhkan, saling memberi,

saling mengambil keuntungan satu sama lain, dan juga memainkan perannya masing-

masing yang dinamis.

1.5.3 Audiens Media Baru

Ketika berbicara budaya media baru, maka tidak bisa terlepas dari audiens

yang berada dalam ranah budaya media baru itu sendiri. Audiens yang dimaksud

adalah mereka yang tergolong youth culture (kaum muda), karena kaum muda inilah

yang sering kali diterpa dan menjadi sasaran dari budaya-budaya media baru yang

sedang berkembang saat ini. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh UNESCO,

bahwa:

“Youth is the best understood as a period of transition from the dependence childhood to

adulthhood’s independence and awareness of our interdependence as members of

community.” 56

Youth merupakan istilah yang telah banyak digunakan dalam dunia penelitian

untuk menyatakan mereka yang termasuk dalam kategori “kaum muda.” Meskipun

UNESCO menganggap bahwa “youth” merupakan kategori yang berubah-ubah dan

55Gillespie, Marie, (ed). 2004. The Extended Audience: Scanning The Horizon. Ppen

university press: Maidenhead. 56UNESCO. 2013. Empowering Youth Through National Youth Policy. Paris: UNESCO.

(Dalam Afra Suci Ramadhan A. Kebijakan Anak Muda di Indonesia: Mengaktifkan Peran Anak

Muda).

19

tidak seperti kategori fixed-age. PBB menetapkan, bahwa mereka yang berusia 15

sampai 26 tahun tergolong dalam kategori kaum muda.57

Youth culture diadaptasi dari ciri-ciri umum budaya kaum muda menurut

Penguin Dictionary of Sociology edisi 2000, yaitu budaya bersenang-senang dengan

memanfaatkan kemunculan dari media baru, dan lebih tertarik pada gaya hidup.58

Budaya anak muda erat hubungannya dengan trend. Trend menurut New Oxford

English Dictinary adalah suatu arah yang umum dimana sesuatu berkembang dan

berubah. Trend tersebut dipopulerkan atau diperkenalkan oleh trendsetter yaitu

orang-orang yang tampil di publik.59 Selain itu, konsep kaum muda sebagai youth

culture merujuk dari definisi kaum muda yang dikategorikan Prensky sebagai digital

native. Digital native adalah generasi yang lahir dan tumbuh bersama dengan

perkembangan teknologi infomasi dan komunikasi, yang hampir semua aktifitas

kehidupannya dikelilingi oleh teknologi digital yang saling terkoneksi satu sama lain

seperti komputer, internet dan handphone.60

Kaum mudalah yang tergolong dalam generasi Digital native, hal ini karena

kaum muda yang dekat dan aktif menggunakan media terkhusus media baru. Pada

masa muda, ada ciri khas pola perilaku tertentu yang ingin ditunjukkan setiap orang

pada masanya. Kaum muda sebagai masa pembentukan citra diri mulai terjadi,

menjadi masa penting bagi pertumbuhan seseorang sebelum memasuki masa dewasa.

Pada titik ini, kaum muda kemudian menjadi rentan terhadap masuknya nilai-nilai

baru seperti halnya dalam menggunakan media baru. Kaum muda yang berpikir luas

akan mencari nilai-nilai baru yang tepat pada dirinya melalui media sebagai dampak

Globalisasi. Kata globalisasi berasal dari kata global, yang maknanya ialah universal.

57Http://www.unesco.org/new/en/social-and-human-sciences/themes/youth/youth-definition/.

Diakses 30 Oktober 2016. 58Dyah, Ayu Mulatsasi. 2013. Korean Wave sebagai Globalisasi budaya di Indonesia. Tesis

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 59M. Ito., H. Horst., M. Bitanti., dkk. 2008. Living and Learning with New Media: Summary

of findings from the digital Youth Project. Chicago: The MacArthur Foundation. 60Prensky, March. 2001. Digital Native, Digital Immigrants. Journal From On The Horizon

MCB University Press, Vol.9 No. 5.

20

Globalisasi menurut Nugroho secara umum ditandai dengan adanya ekspansi pasar

kapitalis yang luar biasa agresif, dan juga eskalasi perilaku konsumtif masyarakat

diberbagai bidang kehidupan.61

1.5.4 Teori Resepsi Audiens

Klaus Bruhn Jensen dan Karl Erik Rosengren (dalam McQuail) membedakan

lima tradisi studi audiens, yaitu studi efek (effect), uses and gratifications, literary

criticism, cultural studies, dan analisis resepsi (reception analysis). Tradisi tersebut

kemudian disederhanakan menjadi tiga tradisi studi audiens yaitu structural tradition,

behaviourist tradition, serta cultural tradition-reception analysis. Sehingga studi

mengenai audiens juga mengalami perkembangan mengikuti perubahan audiens dan

media.62 Penelitian resepsi (reception research) yang salah satunya didominasi oleh

pandangan Stuart Hall. Hall melihat komunikasi sebagai proses dimana suatu pesan

dikirim dan diterima dengan efek tertentu. Hal tersebut dikenal konsep encoding dan

decoding. Gagasan di encode pengirim pesan dan di decode penerima pesan. Pesan

yang dikirim dan diterima tidak lagi serupa. Audiens yang berbeda dapat men-decode

pesan secara berbeda juga. Sehingga dalam penelitian ini memfokuskan pada studi

audiens dengan analisis resepsi (reception analysis).

Penelitian analisis resepsi audiens merujuk pada konsep rezeptionaesthetik

yang diperkenalkan di tahun 1967 oleh Hans Robert Jausz dan Wolfgang Iser.63 Ada

tiga pendekatan untuk memahami teks, karena teks dalam media suatu karya sastra

memiliki makna yang polisemi (ambigu) dan bebas diinterpretasikan dengan berbagai

cara. Oleh sebab itu Junus membuat konsep pendekatan memahami suatu teks, yakni:

(1) Mencari makna yang sebenarnya dengan menggali teks itu sendiri; (2) Makna

hanya dapat ditemukan pada pencipta yang membuat teks tersebut dengan cara

menghubungkan teks dan pencipta; dan (3) Resepsi yaitu mencari makna pada

61Dalam Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 62McQuail, Dennis. 1997. Audience Analysis. USA: Sage Publications. 63Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

21

pembaca.64 Pertemuan makna yang diperoleh dari teks, pencipta dan pengamat

menjadi perhatian utama dalam resepsi suatu karya sastra, sebaliknya resepsi media

melihat kekuatan audiens dalam menghadapi efek teks tersebut. Resepsi media

berfokus pada audiens yang membuat bermacam-macam makna tentang isi teks

media.65 Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp menyebut empat elemen

dalam sebuah karya:

“Pertama, work atau karya itu sendiri. Kedua, artist atau pencipta karya. Ketiga,

nature/universe (semesta teks) yang terdiri dari segala tindakan, ide, perasaan, materi-materi

dan peristiwa, atau hal-hal yang sangat sensitif yang mempengaruhi suatu karya. Keempat,

audience (audiens) yaitu mereka yang mendengar, menonton atau membaca karya seni

tersebut.”66

Gambar 1.1. Relasi Teks Abrams67

Kerangka yang dibuat Abrams untuk memperlihatkan relasi antara artist-

universe-work-audience. Kerangka tersebut berisi pendekatan kritis mengenai karya

manusia. Pendekatan mimetic (mimesis) menjelaskan bahwa secara esensial sebuah

karya adalah imitasi dari alam semesta, misalnya Raditya Dika menggambarkan

keadaan yang sering dirasakan dan dialami kaum muda saat ini dalam karyanya,

terkhusus novel-novel yang ditulisnya. Pendekatan expressive (ekspresif) memandang

bahwa pecipta (artist) dalam membuat karya (work) tidak bisa dilepaskan dari dunia

yang diketahuinya (universe). Seperti dalam RVLOG (Raditya Video Log) yang

memberikan pengetahuan dan tips-tips menulis skenario film yang baik, serta

bagaimana membuat dan memproduksi suatu film berdasarkan pengalaman Raditya

64Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra. Jakarta: Gramedia. 65Baran, Stanley. J dan Dennis. K. Davis. 2012. Mass Communication Theory: Foundations,

Ferment, and Future. USA: Wadsworth. 66Abrams, M.H. 1971. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical

Tradition. USA: Oxford University Press. 67Ibid.

22

Dika sendiri. Pendekatan objective (objektif) melihat teks apa adanya, apa yang

tercantum tanpa dipengaruhi pencipta, audiens atau pun alam semesta. Terakhir,

pendekatan pragmatic melihat audiens dalam memaknai karya dilatarbelakangi

dengan dunia (universe) yang diketahuinya. Pendekatan pragmatik ini dekat dengan

konsep resepsi.

Hall (dalam John Storey) mendemonstrasikan resepsi dalam proses sirkulasi

makna pada tiga level yang berbeda, yakni level media atau encoding; level program

sebagai diskursus makna dan level decoding oleh audiens.68 Jika konsep ini

dimasukkan pada lokus audiens aktif maka dalam analisis ini pembacaan dan

pemilahan teks (encoding) tidak selalu sama diterima dan diambil (decoding) oleh

audiens atau yang disebut asimetris.69 Bisa dikatakan, teks mungkin saja menawarkan

pesan atau wacana tertentu, namun audiens bebas memilih atau tidak menggunakan

wacana tersebut. Hall juga membahasakan resepsi sebagai konsumsi, yaitu titik awal

untuk merealisasikan pesan atau hasil akhir dari pemaknaan teks atau pesan media.70

Sehingga studi resepsi dikembangkan Hall dengan konsep encoding dan decoding.

Gambar 1.2. Model encoding dan decoding71

68Storey, John. 2008. Cultural Studies dan Kajian Pop: Pengantar Komprehensif Teori dan

Metode. Yogyakarta: Jalasutra. 69Hall, Stuart. 2005. Encoding/Decoding (dalam Culture, Media, Language: Working Papers

in Cultural Studies 1972-1979. Dorothy Hobson, Andrew Lowe dan Paul Willis [ed]). London:

Routledge (diterbitkan pertama kali tahun 1980). 70Durham, Menakshi Gigi dan Douglas M. Kellner. 2006. Media and Cultural Studies. New

York: Blackwell Publishing. 71Hall, Stuart. 2005. Encoding/Decoding (dalam Culture, Media, Language: Working Papers

in Cultural Studies 1972-1979. Dorothy Hobson, Andrew Lowe dan Paul Willis [ed]). London:

Routledge (diterbitkan pertama kali tahun 1980).

23

Konsep menggabungkan dua model yang diambil dari konsep encoding dan

decoding Hall, serta relasi teks Abrams. Model encoding dan decoding Hall dan relasi

teks Abrams tidak seluruhnya digunakan dalam penelitian. Peneliti mengambil

sebagian konsep dari kedua model yang disesuaikan berdasarkan permasalahan yang

diteliti. Dalam menyusun model penelitian ini, peneliti memilih menggunakan bagian

frameworks of knowledge-encoding-programme as meaningful discourse-decoding

yang disederhanakan menjadi kerangka pengetahuan-encoding-teks-decoding, yang

dirasa serupa dan cocok dengan konsep relasi Abrams, terutama untuk dikaitkan

dengan bagian audiens teks (work) dan semesta teks (universe).

Bagian technical infrastructure termasuk pencipta (authorship) sangat sulit

dihilangkan karena ada hubungan kuat antara pencipta dengan karyanya. Audiens pun

akan cenderung memilih suatu karya karena faktor keinginannya sendiri, meskipun

tidak menutup kemungkinan ada audiens yang memilih suatu karya secara acak atau

karena rekomendasi orang lain. Bagian ini tidak menjadi fokus penelitian tetapi

menjadi hal yang umum terjadi pada audiens, maka bagian technical infrastructure

dimasukkan ke dalam bagian semesta teks (universe) dalam relasi Abrams. Adapun

bagian yang tidak digunakan yaitu bagian relations of production karena kebutuhan

penelitian yang tidak mencari hubungan distribusi atau ekonomi politik media. Hall

kemudian mengelaborasi bagaimana decoding bekerja dalam media. Dalam proses

resepsi, Hall menempatkan posisi audiens pada tiga posisi decoding sebagai berikut:

“(1) Dominant-hegemonic position, yaitu audiens menerima dan mereproduksi kode teks

yang sama dengan produser pesan. Pada posisi ini audiens berpegang pada makna yang

ditawarkan dalam media. (2) Negotiated position, yaitu audiens memaknai dan menerima

secara luas sebagian kode teks tetapi kadang menentang atau mengubahnya sesuai

dengan cara pandang, pengalaman, dan minat. Posisi ini menunjukkan adanya

kontradiksi. (3) Oppositional position, yaitu ketika audiens mengembangkan interpretasi

yang sama sekali berbeda dengan kode teks. Posisi ini terjadi ketika audiens berada

dalam situasi sosial yang berlawanan dengan kode teks dominan sehingga membuat

mereka menolak teks tersebut. Dalam posisi ini, audiens dapat mengajukan alternatif

kode yang berbeda.”72

72Petrillo, Lisa dan John Petrillo. 2010. Cultural Studies (dalam Introduction Communication:

Theory Analysis Application oleh Richard West dan Lynn.H Turner (ed) pp. 360-375). New York:

McGraw-Hill.

24

Konsep penting dari analisis resepsi ini adalah makna yang dihasilkan dari

hubungan audiens dengan karya cipta merupakan hasil interaksi audiens dengan

adanya faktor kontekstual yang mempengaruhinya. Latar belakang audiens sangat

mempengaruhi cara mereka membaca, memaknai dan melakukan tindakan terhadap

teks tersebut. Audiens juga terikat oleh kerangka pengetahuan yang terbentuk ketika

melakukan decoding yang dipengaruhi pengalaman interaksinya dengan semesta teks

(lingkungan sosial, buku-buku atau sumber yang dibaca, kebiasaan bermedia dan

pengalaman pribadi). Semesta teks mempengaruhi audiens dalam memaknai teks dan

menggerakkan audiens untuk melakukan proses encoding terkait teks yang di-decode

mulai dari berupa ide, gagasan dan wacana atau pun merangsang munculnya inspirasi

dan keinginan untuk menghasilkan karya.

1.5.5 Personal Branding

“Brand adalah sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau desain atau kombinasi dari

kesemuanya yang bertujuan untuk mengidentifikasikan suatu barang atau jasa dan akhirnya

dapat membedakan diri sendiri dengan yang lainnya.”73

Bisa dikatakan brand bukan hanya membuat target pemasaran memilih kita di

dalam pasar yang penuh kompetensi, tetapi juga membuat prospek pemasaran melihat

kita sebagai satu-satunya yang dapat memberikan solusi kepada kebutuhan atau pun

masalah mereka. Berbicara brand maka akan berbicara image juga, karena keduanya

saling berkaitan. Terbentuknya sebuah image atau brand merupakan hasil dari

persepsi yang berkembang dalam benak audiens terhadap realitas yang muncul.

Persepsi yang baik akan memiliki image yang positif dan akhirnya meningkatkan

kepercayaan audiens, sehingga mempunyai sikap positif atas brand.74 Sehingga dapat

dikatakan brand yang berhasil adalah brand yang memiliki posisi yang kuat. Maka

Brand image itu sendiri merupakan apa yang konsumen pikir dan rasakan ketika

73Kotler, Philip. 2000. Marketing Management. Prentice Hall International: New Jersey. 74Jefkins, Frank. 2004. Public Relations. Jakarta: Erlangga.

25

mendengar atau melihat suatu merek dan apa yang konsumen pelajari tentang

merek.75 Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Keller, bahwa:

“Brand image can be defined as a perception about brand as reflected by the brand

association held in consumer memory.”76

Brand image muncul dalam benak konsumen (audiens), ketika audiens memutuskan

apakah akan menggunakan barang atau jasa brand tertentu yang telah dihasilkan.

Brand terhubung dalam ingatan seseorang dengan pikiran tertentu dan hubungan

perasaan yang direfleksikan.

Pada manusia, brand yang melekat pada dirinya disebut personal brand.

Personal brand merupakan cerminan dari kemampuan, keunggulan dan reputasi

seseorang yang mampu memperlihatkan keistimewaan dan keunggulan seseorang

dalam bidang tertentu.77 Memiliki personal branding yang kuat menjadi aset yang

sangat penting saat ini, baik secara online atau pun virtual karena menjadi kunci

sukses individu seseorang. Timothy P. O’Brien (dalam Haroen) mengatakan bahwa

personal brand adalah identitas pribadi mengenai kualitas dan nilai yang dimiliki

seseorang untuk dapat menciptakan respon emosional terhadap orang lain. Personal

branding tidak serta merta terjadi begitu saja, tetapi melalui proses. Pembentukan

personal branding dilakukan dalam tiga proses, yakni:

“(1) You, atau dengan kata lain seseorang itu sendiri. Seseorang dapat membentuk sebuah

personal branding melalui sebuah polesan dan metode komunikasi yang disusun dengan baik.

Dirancang untuk menyampaikan dua hal penting kepada target market, yaitu: (a) Siapakah

seseorang tersebut sebagai suatu pribadi? (b) Spesialisasi apa yang seseorang itu lakukan?

Personal Brand adalah sebuah gambaran mengenai apa yang masyarakat pikirkan tentang

seseorang. Hal tersebut mencerminkan nilai-nilai, kepribadian, keahlian dan kualitas yang

membuat seseorang berbeda dengan yang lainnya. (2) Promise, dalam personal brand adalah

sebuah janji dan sebuah tanggung jawab untuk memenuhi harapan yang timbul pada

masyarakat akibat dari personal brand itu sendiri. (3) Relationship, sebuah personal branding

yang baik akan mampu menciptakan suatu relasi yang baik dengan masyarakat, semakin

banyak atribut-atribut yang dapat diterima oleh masyarakat dan semakin tingginya tingkat

75Ibid hal 182. 76Keller, Kevin Lane. 1998. “Strategic Brand Management: Building, Measuring and

Managing Brand Equity.” Prentice Hall: New Jersey. Jakarta: Gramedia Pustaka. 77Montoya, Peter. 2006. The Personal Branding. Phenomenon Published by Personal

Branding Press / ISBN: 0967450616.

26

kekuasaan seseorang, menunjukkan semakin baiknya tingkat relasi yang ada pada personal

branding tersebut.”78

Personal Branding berbicara tentang kemampuan mempengaruhi keputusan

dan tingkah laku seseorang. Personal Branding pada dasarnya adalah bagian dari

branding secara umum, sehingga teori atau framework (kerangka) yang digunakan

pada branding atau brand image dapat diterapkan juga untuk personal branding.

Menurut Kupta, Personal branding merupakan pencitraan pribadi yang mewakili

serangkaian keahlian, suatu ide cemerlang, sebuah sistem kepercayaan dan persamaan

nilai yang dianggap menarik oleh orang lain.79 Personal branding juga bisa diartikan

sebagai seni dalam menarik dan memelihara banyak customer dengan membentuk

persepsi audiens secara aktif. Maka untuk mendapatkan personal branding yang

diinginkan, terdapat beberapa proses yang terjadi ketika audiens menerima informasi

mengenai realitas yang terjadi, yakni:

“(1) Selective Attention (perhatian selektif), dimana seseorang akan mempersepsikan sesuatu

berdasarkan perhatiannya, mengingat banyaknya informasi yang diterima. Oleh sebab itu,

maka komunikasi haruslah membuat informasi yang dapat menarik perhatian audiens. (2)

Selective Distortion (distorsi selektif), yakni kecenderungan seseorang untuk memilih

informasi berdasarkan kepenting pribadinya dan menerjemahkan informasi berdasarkan pola

sebelumnya yang berkaitan dengan informasi tersebut. Maka dari itu dibutuhkan kemampuan

untuk memahami kemungkinan-kemungkinan terjadinya distorsi pada saat mengirimkan

informasi kepada target audiens. (3) Selctive Retention (ingatan selektif), dimana audiens akan

mudah mengingat informasi yang dilakukan secara berulang-ulang. Maka dari itu diperlukan

kreatifitas agar pesan yang disampaikan secara berulang-ulang tidak akan terlihat sama dan

membosankan”.80

Untuk memperoleh personal brand yang baik dibutuhkan produk yang baik

juga. Produk di sini dapat berupa keahlian, attitude (sikap), penampilan, cara bicara

dan tentu saja reputasi dan apa yang sudah dihasilkan. Setelah itu, diperlukan cara

mengkomunikasikan reputasi atau produk tersebut.81

78

Montoya & Tim Vandehey. 2008. The Brand Called You. McGraw-Hill Professional. 79Ibid hal 164. 80Kotler, Philip & Keller, Kevin Lane. 2009. Manajemen Pemasaran. Edisi ketiga belas.

Jakrta: Erlangga. 81Ibid hal 88.

27

B.6 Alur Penelitian

Dalam proses analisis resepsi, audiens dilihat sebagai individu yang memiliki

persamaan budaya selera (taste culture) yang oleh Herbert Ganz dilihat sebagai

audiens yang dibentuk berdasarkan kepentingan, yaitu adanya konten serupa yang

dipilih oleh audiens.82 Dalam hal ini audiens (penikmat RVLOG) adalah mereka yang

mengamati dan terikat oleh content dalam RVLOG di bulan Maret-April 2016, yang

dipengaruhi kedekatan peristiwa, memiliki perasaan dan pikiran yang serupa, simpati,

atau secara konsisten mengikuti karya Raditya Dika lainnya yang memanfaatkan

media konvensional atau pun media baru.

Konsep audiens RVLOG dalam penelitian berada pada audiens mikro. Dalam

level mikro, dimana audiens melakukan konstruksi dan rekonstruksi berdasarkan

pengetahuan, kesukaan, kebutuhan dan pilihan media yang dikonsumsi. Berdasarkan

teori level mikro, maka audiens RVLOG dapat dijabarkan sebagai berikut:1) Audiens

RVLOG tersebar dimana saja tanpa terikat keadaan geografis atau pun sosial-kultural

tertentu; 2) Penikmat RVLOG di bulan Maret-April 2016 dapat melakukan tindakan

memaknai yang berbeda, artinya meskipun content RVLOG yang diamati sama akan

tetapi interpretasi penikmat akan berbeda-beda; 3) Penikmat RVLOG direkatkan oleh

content yang terdapat dalam RVLOG dan bebas menggunakan media lainnya secara

bersamaan. Sejalan oleh pandangan McQuail, bahwa individu diidentifikasikan oleh

kebutuhan tertentu yang bisa saja dipengaruhi pengalaman sosial.83

Model kerangka pemikiran yang digunakan menunjukkan, bahwa encoding

dan decoding adalah proses yang saling berkaitan. Audiens (penikmat RVLOG)

memilah content yang mereka maknai (encoding) dan kemudian membentuk wacana

atau perpektif berdasarkan content media yang dipilih (meaningful discourse). Hal ini

seperti dikemukakan oleh Kristyn Gorton, bahwa encoding akan memiliki efek yang

82McQuail, Dennis. 2008. McQuail’s Mass Communication Theory 5th Edition. USA: Sage

Publications. 83Ibid hal 410.

28

membentuk batasan dan ukuran yang terjadi bersamaan dengan proses decoding.84

Decoding memungkinkan peneliti menelusuri penerimaan teks sekaligus interaksi

audiens RVLOG dengan teks berupa content-content vlog. Sementara itu encoding

memungkinkan peneliti menganalisis pemaknaan audiens berdasarkan penglihatan

dan pengamatan terhadap RVLOG yang telah di decode sebelumnya.

Semesta teks (universe) adalah hal sensitif bagi audiens yang mempengaruhi

dalam memaknai content RVLOG, yang bermuara dalam pembentukan kerangka

berpikir audiens. Semesta teks dapat berupa gender, pendidikan, kebiasaan bermedia,

dan lingkungan sosial. Proses sirkulasi pemaknaan ini memungkinkan audiens dalam

tiga posisi, yaitu menerima (dominant-hegemonic position), menerima sebagian dan

memadukan dengan pemikiran sesuai situasi sosial-budaya (negotiated reading), dan

menolak (oppositional reading). Maka kerangka alur penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Proses Encoding

Proses Decoding

Bagan 1.1. Kerangka Alur Penelitian85

84Gorton, Kristyn. 2009. Media Audiences: Television, Meaning, and Emotion. Edinburg:

Edinburg University Press. 85Peneliti.

Semesta Teks

(Media habit,

Lingkungan Sosial)

Audiens

Penikmat RVLOG

(Raditya Video Log)

Personal Branding Raditya Dika

Analisis Resepsi

Teks

(RVLOG Bulan Maret-

April 2016)

29

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian analisis resepsi audiens media baru, dimana

audiens memiliki interpretasi dan pemaknaan yang berbeda-beda terhadap suatu hal

yang diamatinya. Kemudian direfleksikan berdasarkan pengetahuan dan pemikiran

audiens itu sendiri. Atas dasar permasalahan penelitian, metode kualitatif menjadi

metode yang tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian, karena penelitian kualitatif

mengkaji secara mendalam fenomena-fenomena yang terjadi dalam realitas sosial.

Maka penelitian ini berada dalam paradigma konstruktivis, bahwa kebenaran yang

ingin dicari dalam penelitian ini adalah bagaimana penerimaan audiens RVLOG yang

merupakan bagian dari audiens media baru terhadap personal branding Raditya Dika

dalam RVLOG di YouTube channel Raditya Dika.

Berdasarkan paradigma konstruktivis penelitian dilakuakan melalui interaksi

langsung antara peneliti dengan informan penelitian, karena itu untuk mendapatkan

hasil temuan, peneliti harus membangun realitas bersama dengan informan penelitia.

Relasi yang terjalin antara peneliti dan informan terjadi secara transaksional, sehingga

dapat menemukan secara langsung interaksi yang menuju rekonstruksi kebenaran.86

Maka dalam konteks ini peneliti membangun realitas dengan informan RVLOG yang

merupakan audiens media baru, yang terdiri dari generasi muda yang lahir bersamaan

dengan munculnya media baru.

1.6.1 Metode Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian mengenai resepsi audiens, maka

penelitian ini akan berfokus pada resepsi audiens yang dalam hal ini adalah audiens

media baru. Audiens media baru yang dimaksud merupakan penikmat RVLOG di

YouTube channel Raditya Dika pada bulan Maret-April 2016. Aktivitas sosial ini

dilakukan informan secara bertahap, oleh karena itu dibutuhkan metode yang tepat

sebagai acuan peneliti saat melakukan pengamatan secara mendalam diranah karya

86Guba, Egon G dan Yvonna S Lincoln. 1994. Competing Paradigms in Qualitative Research,

dalam Handbook Qualitative Research.

30

Raditya Dika yang memanfaatkan media baru berupa RVLOG di YouTube channel

Raditya Dika. Maka dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif,

dimana Jane Stokes menyebutkan penelitian kualitatif dalam penelitian kajian media

dan budaya berkepentingan dengan makna dan penafsiran.87 Penelitian kualitatif

mengkaji dan memahami pola-pola yang terjadi di dalam sebuah realitas sosial yang

nantinya temuan akan membentuk kata yang melaporkan sudut pandang narasumber

secara terperinci.88 Oleh karena itu penelitian kualitatif menggunakan wawancara

mendalam terhadap informan penelitian untuk memperolah data yang dibutuhkan dan

kemudian dianalisis.

1.6.2 Lokasi dan Subyek Penelitian

Lokasi penenelitian dilakukan berdasarkan daerah yang bisa dijangkau oleh

peneliti, yakni di Jakarta, Yogyakarta dan Malang. Hal ini berdasarkan dari jumlah

viewer yang subscribe dan sering berkomentar di RVLOG melalui YouTube channel

Raditya Dika pada bulan Maret-April 2016, dimana sebagian besar berada di Jakarta,

Yogyakarta dan Malang. Subyek penelitian ini adalah penikmat RVLOG pada bulan

Maret-April 2016, baik itu laki-laki atau pun perempuan sebagai informan penelitian

dengan menggunakan purposive sampling berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang

sudah dikategorikan oleh peneliti. Hal ini dilakukan agar tidak meledaknya jumlah

informan penelitian yang dilibatkan dan supaya alur penelitian berjalan sesuai dengan

tujuan diharapkan. Peneliti menetapkan 6 orang informan, 4 informan perempuan dan

2 informan laki-laki dengan kriteria:

a. Informan yang sudah melihat dan mengikuti RVLOG melalui YouTube channel

Raditya Dika, terkhusus pada bulan Maret-April 2016.

b. Informan berdasarkan subscribers dan viewers aktif berkomentar pada RVLOG

dibulan Maret-April 2016, setidaknya 10 kali berkomentar dan like setidaknya 15

kali.

87Stokes, Jane. 2006. How To Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan

Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta: Bentang. 88Silalahi, Ulber. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press.

31

c. Informan bisa laki-laki dan perempuan, hal ini dikarenakan viewers yang aktif

berkomentar dan berinteraksi dalam kolom komentar RVLOG dibulan Maret-April

2016 tidak hanya terdiri dari perempuan saja.

d. Informan yang aktif menggunakan media baru, terutama YouTube karena RVLOG

melalui situs YouTube channel Raditya Dika.

e. Informan berusia diantara 17-26 tahun, dikarenakan viewers RVLOG terdiri dari

kaum muda, sejalan dengan pandangan PBB bahwa mereka yang tergolong kaum

muda adalah berusia 15-26 tahun. Serta kemunculan dari media baru bersamaan

dengan lahirnya generasi muda, dimana content yang disajikan dirancang sesuai

dengan budaya kaum muda saat ini.

f. Informan yang bisa dijangkau peneliti demi kelancaran jalannya penelitian, maka

informan penelitian berada di Jakarta, Yogyakarta dan Malang. Hal ini diperkuat

dengan pengamatan yang telah dilakukan peneliti, bahwa sebagian besar viewers

yang subscribe dan sering berkomentar di RVLOG YouTube Channel Raditya

Dika berada di tiga kota tersebut.

1.6.3 Waktu Penelitian

Fokus kajian penelitian ini adalah resepsi audiens terhadap personal branding

Raditya Dika dalam RVLOG di YouTube channel Raditya Dika pada bulan Maret-

April 2016. Peneliti memilih RVLOG pada bulan Maret-April 2016, karena: (1) Pada

Maret 2016, content RVLOG adalah kumpul YouTubers Indonesia di rumah Raditya

Dika, serta content persiapan film Koala Kumal; (2) Pada bulan April 2016, RVLOG

menceritakan proses shooting film Koala Kumal yang tayang pada pertengahan tahun

2016, serta ketika Raditya Dika menjadi pemateri “pembicara kreatif di Fransisco,

Amerika Serikat.” Sejak Raditya Dika membuat vlog di YouTube channel miliknya,

32

audiens yang subscribe YouTube channel Raditya Dika bertambah banyak, terutama

ketika RVLOG pada bulan Maret-April 2016. 89

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data baik primer atau sekunder masuk dalam prosedur

penelitian ini. Data primer merupakan hasil wawancara (resepsi) dengan audiens

sebagai subyek penelitan yang pemilihannya terdiri dari orang-orang yang memenuhi

kategori kualifikasi informan yang akan diteliti. Interviewe guide sudah tersusun

sebelum turun ke lapangan. Beberapa poin pertanyaan antara lain seputar interaksi

sosial, habit (kebiasaan) bermedia, kenapa memilih RVLOG (Raditya Video Log),

sertasampai pengalaman-pengalaman sosial budaya.

a. in-depth interview

Rachmah Ida menyatakan bahwa in-depth interview dilakukan untuk mencari

tahu atau melakukan investigasi yang lebih mendalam tentang topik atau isu tertentu

dari konten-konten suatu media.90 Bisa dikatakan in-depth interview digunakan untuk

mengumpulkan data primer penelitian, dengan memberikan peluang kepada informan

dalam mendefinisikan diri sendiri, lingkungannya, serta menggunakan istilah-istilah

mereka sendiri. Dalam analisis resepsi, teknik wawancara adalah teknik yang tepat

dalam memperoleh informasi mengenai interpretasi informan. Dalam konteks ini

adalah interpretasi audiens RVLOG di YouTube channel Raditya Dika terhadap

personal branding Raditya Dika. Narasi-narasi kualitatif yang didapat dari penuturan

informan menjadi data. Demikian pula hubungannya dengan makna polisemi, maka

penuturan informan yang berbeda-beda merupakan titik krusial dalam studi resepsi.

Penuturan yang beragam tidak terlepas dari hasil stimuli memori informan.

89Raditya Dika “Official YouTube Channel” dari 1.582.271 menjadi 1.842.796 subscribe

dari Januari hingga April 2016 (Diakses 18 Januari dan 3 Mei 2016 ). 90Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Prenada

Media Grup.

33

b. Studi Pustaka

Dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang diperoleh dari

studi pustaka. Data sekunder digunakan untuk menopang pengumpulan data primer.

Data diperoleh dengan literatur melalui buku-buku, jurnal-jurnal, penelitian akademik

(skripsi, tesis, dan disertasi), serta bisa artikel dari media massa atau online sebagai

tinjauan pustaka mengenai penelitian-penelitian terdahulu seputar resepsi audiens,

media baru, karya-karya Raditya Dika dan personal branding.

1.6.5 Teknik Analisis Data

Kerangka analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah gabungan antara

dua model yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, yaitu kerangka resepsi

Stuart Hall untuk melihat bagaimana audiens membuat (encoding) dan menerima

(decoding) pesan media, serta relasi teks Abrams untuk melihat hubungan antara

audiens dengan semesta teks (media habit dan lingkungan sosial) sebagai faktor yang

mempengaruhi interpretasinya.

Dalam mengetahui proses resepsi yang terjadi, content dalam judul-judul

RVLOG di bulan Maret-April 2016 diajukan kepada informan sebagai latar (setting)

terkait content, kemudian dimaknai. Peneliti selanjutnya mengkategorikan interpretasi

dan pemaknaan informan terhadap content setiap vlog, yakni; (1) Pengkategorian

penerimaan informan berdasarkan judul RVLOG pada bulan Maret-April 2016. (2)

Mengkategorisasikan posisi audiens terhadap content-content vlog, yaitu dominant-

hegemonic position (posisi dominan) yaitu menerima keseluruhan content, negotiated

position (posisi negosiasi) yaitu menerima sebagian dan sebagian lainnya dipadukan

dengan pemikiran sesuai dengan sosial-kultural atau pengalaman pribadi, dan terakhir

oppositional position (posisi oposisional) yaitu menolak secara keseluruhan content.

(3) Menganalisis perbedaan penerimaan audiens dengan menelusuri faktor-faktor apa

saja penyebab perbedaan tersebut, seperti media habit, lingkungan sosial, pendidikan,

usia, pengetahuan terhadap karya Raditya Dika terkhusus RVLOG, serta pengalaman

yang pernah dirasakan sendiri seputar content RVLOG.

34

1.6.6 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terkait resepsi audiens terhadap personal branding Raditya Dika

dalam RVLOG (Raditya Video Log) di YouTube channel Raditya Dika pada bulan

Maret-April 2016. Dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam 5 bab sebagai berikut:

a. Bab I Pendahuluan berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah Penelitian, Tujuan

Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Pemikiran Penelitian, Alur Penelitian

dan Metodologi Penelitian.

b. Bab II berisis literatur review sebagai pengembangan dari kajian teoritik (kerangka

pemikiran) dan kerangka alur penelitian berdasarkan bab sebelumnya.

c. Bab III membahas tentang konteks penelitian, yakni obyek dan subyek penelitian

yang terbagi dalam tiga bagian besar: Raditya Dika (produser teks), RVLOG di

YouTube channel Raditya Dika (teks), serta profil informan penelitian (penikmat

RVLOG).

d. Bab IV menjelaskan terkait hasil penelitian yang berdasarkan temuan di lapangan

dan analisis data yang dikumpulkan berdasar pada data primer dan data sekunder

berdasarkan kepentingan penelitian. Pembahasan penelitian terikat pada kerangka

pemikiran dan alur penelitian yang sebelumnya telah tersusun.

e. Bab V yakni bab terakhir atau penutup. Akan dibahas mengenai kesimpulan terkait

hasil penelitian dan hasil analisis berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian,

serta saran yang dibutuhkan bagi penelitian selanjutnya.

1.6.7 Limitasi Penelitian

Penelitian ini hanya menganalisis resepsi audiens terhadap personal branding

Raditya Dika dalam RVLOG (Raditya Video Log) di YouTube channel Raditya Dika

pada bulan Maret-April 2016. Dalam penelitian ini tidak lepas dari keterbatasan, baik

keterbatasan jumlah audiens (penikmat RVLOG). Lokasi penelitian berdasarkan

daerah yang bisa dijangkau peneliti dan tidak terikat pada daerah tertentu, karena

tidak mencari hubungan antara daerah dengan resepsi audiens, serta juga untuk

memperlihatkan keberagaman audiens (informan penikmat RVLOG).