1 | Tesis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
[…] The present age may be the age of space
Michel Foucault1
Dalam waktu beberapa tahun terakhir sampai saat ini, di Yogyakarta
dipenuhi dengan perumahan-perumahan berlabelkan agama. Terutama yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah perumahan muslim. Merebaknya
perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta memang merupakan fenomena
empirikal yang aktual, dan nampaknya, akan terus happening selama beberapa
tahun ke depan. Terbukti, jika menyempatkan diri berkeliling menyusuri pelbagai
tempat di Yogyakarta atau cukup “berselancar” di dunia maya, tidak akan sulit
untuk menemukan perumahan-perumahan muslim—baik yang sudah dibangun
dan ditempati, atau masih baru ditawarkan dalam bentuk produk properti dalam
brosur-brosur maupun situs-situs perumahan di internet.
Penulis melakukan pengamatan dan pemetaan awal sederhana terkait
perumahan-perumahan muslim berdasarkan empat lingkup kabutapen yang ada di
Yogyakarta. Tujuannya untuk meyakinkan bahwa perumahan-perumahan muslim
1 Seperti dikutip Walter Prigge dalam artikel,“Reading The Urban Revolution: Space and
Representation”, yang terhimpun dalam buku “Space, Difference dan Everyday Life”, Routledge,
New York dan London: 2008.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2 | Tesis
di Yogyakarta memang merebak. Dari pengamatan dan pemetaan tersebut,
didapatkan seluruh kabupaten di Yogyakarta (meliputi Bantul, Sleman,
Kulonprogo dan Gunung Kidul) dijadikan lokus dari proyek penggarapan
perumahan-perumahan muslim oleh para pengembang (developer). Di Bantul saja
misalnya, untuk menyebut beberapa di antaranya, ada perumahan Muslim
“Sedayu”, perumahan Muslim “Nirwana Residence”, perumahan Muslim “Baitus
Sakinah”, perumahan Muslim “Madina Residence Yogyakarta”, perumahan
Muslim “Griya Baiturahman” dan perumahan Muslim “Puri Sakinah 2”. Di
Kabupaten Sleman, ada perumahan Muslim “Darussalam”, perumahan Muslim
“Djogja Village”, dan perumahan Muslim “Villa Green Madani”. Sedangkan di
Kulonprogo, ada perumahan Muslim “Griya Nadhifa”. Sementara di Gunung
Kidul, ada perumahan Muslim “De Afifa Residence”, perumahan Muslim
“Rahmani Green Resident”, serta masih banyak yang lainnya.
Sulit untuk memastikan secara spesifik mengenai kapan sebenarnya
perumahan-perumahan muslim tersebut muncul pertama kalinya di Yogyakarta.
Selain karena belum ditemukannya data yang cukup meyakinkan dan bisa
dipertanggungjawabkan, juga mengingat bahwa proses perubahan sosial dan
budaya, kata Umar Kayam—dalam artikelnya berjudul “Arsitektur Masyarakat
Transisi”—terkadang memang tidak pernah berjalan secara jelas kapan
“sebenarnya-benarnya” titik mula dan akhirnya. Tiba-tiba, terhampar begitu saja
dihadapan kita, tanpa kita bisa menandai proses-proses perubahan itu dengan
sangat tandas akan tonggak-tonggaknya (dalam Budihardjo, dkk, 1996: 175).
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3 | Tesis
Hanya saja, untuk memberikan penjelasan secara umum atas munculnya
perumahan-perumahan muslim itu, barangkali perlu melihat kembali ke dalam
konteks pada kisaran antara tahun 1970 sampai 1980-an. Pada tahun 1970-an,
terdapat kondisi-kondisi yang mendorong program perumahan yang kemudian
banyak diikuti oleh munculnya proyek-proyek perumahan yang dikelola oleh
swasta. Kondisi-kondisi ini adalah konsekuensi logis dari kebijakan pembangunan
nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian
ekonomi (Siregar dalam Tjahjono, dkk, 2012: 131). Pertengahan tahun 1980-an,
deregulasi ekonomi2 juga semakin memberikan peluang yang cukup besar kepada
swasta atau pengembang non-pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan perumahan. Lantas para pengembang kemudian mulai melakukan upaya-
upaya “akrobatik” dengan inovasi-inovasi berbagai macam konsep perumahan
yang dikembangkan untuk menarik minat dan perhatian para konsumen3.
Misalnya, muncul konsep “perumahan hijau”, yang tidak hanya menekankan pada
kenyamanan dan kemegahan hunian semata, melainkan juga keasrian dan
kesegaran alam. Tidak hanya itu, para pengembang juga memasukkan konsep
agama (Islam) ke dalam persaingan bisnis properti perumahan.
Dimasukkannya konsep agama ke dalam bisnis properti perumahan
tersebut, diperkirakan mulai muncul pada sekitar tahun 1990-an, terlebih di
Jakarta dan beberapa kota besar lainnya (Lasman, 2007: 2). Tak mengherankan,
pada waktu itu, arus kesadaran Islam kultural dan islam politik—minimal dalam
2 Mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan deregulasi ekonomi ini, lebih lengkap silahkan lihat
dalam CST Kansil “Paket Kebijakan Deregulasi 1988”, Karyasastra Tridarma, Jakarta: 1989. 3 Lihat dan pelajari artikel Farabi Faqih “Rumah ‘Indonesia Indah’” dalam situs www.
karbonjournal.org.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4 | Tesis
level dan tataran simbolik—mengalami peningkatan yang pesat (Ibrahim dalam
Latif, 2007). Islamisasi merebak di berbagai bidang dan aspek kehidupan di
masyarakat (Ricklefs, 2012: 453; Turmudi, 2014: 6; Baso, 2002: 20).
Menguatnya proses islamisasi ini, tak bisa dilepaskan dari konteks politik
yang melingkupinya. Semua bermula dari sebuah pergeseran politik penguasa
Orde Baru terhadap Islam. Jika sebelumnya, negara di bawah rezim Orde Baru
menerapkan political scape-goating yang penuh kebencian terhadap Islam4.
Namun, pada akhir tahun 1980-an, penguasa mulai tampak merangkul hampir
seluruh elemen umat Islam. Islam mulai diakomodasi oleh penguasa sejak saat itu.
Pada awal tahun 1990-an, akomodasi penguasa terhadap Islam dianggap berada
pada titik puncaknya (Maliki, 2010: 298). William Liddle bahkan mencatat
pergeseran politik ini sebagai Islamic turn in Indonesia5. Martin van Bruinessen
mengganggapnya sebagai “pembalikan dramatis dari kebijakan-kebijakan Orde
Baru sebelumnya” (Bruinessen, 2013: 223). Robert Hefner menyebutnya sebagai
regimist Islam6. Fachry Ali dalam pidato politik akhir tahunnya di LIPI pada
tahun 1994 menyebutnya sebagai “institusionalisasi tidak resmi penyatuan Islam
dan negara” (dalam Husaini, 1995: 90). Sebagian pengamat lain, menggambarkan
fenomena ini sebagai era “bulan madu” antara Islam dan pemerintah (Afandi,
4 Mengenai hubungan yang sublim antara Islam dan negara, terutama bagaimana represi yang
dilakukan negara terhadap Islam pada masa Orde Baru, bisa dilihat dalam Robert Pringle
“Understanding Islam in Indonesia: Politics and Diversity” pada bagian “The Suharto Era: Islam
Repressed, Islam Resurgent”, Singapore, EDM. Lihat juga dalam Noorhaidi Hasan “Laskar Jihad:
Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru”, Jakarta, LP3ES dan
KITLV, hal 45. 5 Untuk membaca lebih jauh analisa William Liddle, lihat artikelnya berjudul “The Islamic Turn
in Indonesia: A Political Explanation” dalam The Journal of Asian Studies No 3 Volume 55 tahun
1996. 6 Pemahaman lebih detail, lihat Robert Hefner, dalam “Civic Islam: Muslim and
Democratizationin Indonesia”, Princeton University Press, 2000, terutama bagian dalam hal 128-
43.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5 | Tesis
1997: 3). Islam mulai bangkit dari tiarap panjang, dari pengucilan struktural, dari
keterpinggiran, dan mulai mendapatkan akses yang besar dalam pemerintahan
serta memiliki keberanian mengartikulasikan identitasnya, kesadaran
relijiusitasnya di ranah publik (SCHMIDT, 2012: 384; Assyaukanie, 2009: 177;
Hasbullah, 2012: 49). Suatu hal yang sebelumnya betul-betul tak dapat dan
mustahil dilakukan. Perumahan muslim, diakuti tidak, merupakan salah satu
wujud ekspresi dan artikulasi identitas Islam7—setelah akomodasi Islam ini—
dalam produk-produk kultural yang dimanfaatkan seluas-luasnya oleh para
kapitalis8 (developer/pengembang perumahan) untuk mereguk profit dan
keuntungan-keuntungan material yang sebesar-besarnya.
[ ]
Mencermati fenomena muncul dan merebaknya perumahan-perumahan
muslim di Yogyakarta, secara teoretis kita menemukan dua hal, apa yang oleh
Ronald Lukens-Bull (dalam Kittiarsa, 2008: 220) disebut sebagai ideologization
of commodities (religification of commodities) dan commoditization of ideologies.
Dua konsep yang mengacu pada proses-proses yang menyambungkan dan
melekatkan (embodement) nilai-nilai, ide-ide dan ideologi pada suatu komoditas,
serta proses-proses yang menjadikan yang ideologis tersebut menjadi sekedar
7 Identitas Islam dalam ruang publik, diakui tidak, merupakan dunia sosial yang terepresentasikan
di dalam dunia material melalui berbagai tanda, wacana dan struktur. Untuk pemahaman mengenai
dunia sosial yang direpresentasikan dalam dunia material tersebut, lihat buku “Discourse in Place:
Language in the Material World”, karya Ron Scollon dan Suzie Wong, Routlledge, 2003. 8 Menurut Yoshihara Kunio dalam bukunya yang cukup terkenal “The rise of Ersazt capitalism in
Southeast Asia”, dalam negara-negara sedang berkembang, istilah “kapitalis” memiliki konotasi
yang buruk dan negatif. Istilah ini kemudian diganti dengan istilah yang terdengar lebih netral
seperti “elit bisnis” dan “wirausahawan”. Lihat Yoshihara Kunio, “Kapitalisme Semu Asia
Tenggara”, diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi, LP3ES, Jakarta, 1990: 1
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6 | Tesis
komoditas itu sendiri. Dalam konteks perumahan muslim, kita melihat bagaimana
para pengembang (developer) memasukkan dan melekatkan konsep agama
(Islam) ke dalam komoditas properti perumahan.
Bagi para pengembang yang orientasinya sekedar bisnis dan profit, tentu
perumahan-perumahan muslim diproduksi karena menganggap prospek pasar
yang bagus. Mengingat jumlah kelas menengah muslim9, termasuk di Yogyakarta,
cukup besar. Meskipun dari pengamatan awal yang penulis lakukan, ada beberapa
proyek perumahan muslim di Yogyakarta (untuk tidak mengatakan sebagian
besar) yang dibangun bukan semata-mata karena tujuan mencari keuntungan
material, melainkan juga digerakkan dan “dipandu” oleh hal-hal yang sifatnya
ideologis-keagamaan, baik dari sisi pengembang sendiri maupun konseptor
perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Konseptor yang penulis maksud
adalah orang-orang yang merumuskan konsep perumahan muslim dan
membangun relasi kerja dengan pengembang dalam merealisasikan perumahan
muslim yang dikonsepnya. Konseptor perumahan muslim ini, penulis sebut
sebagai ‘elit kelompok Islam’. Disebut demikian, sebab konseptor mendaku
membawa muatan “dakwah agama” dalam proses produksi perumahan muslim
yang mereka lakukan. Pada titik ini, penulis menemukan adanya dominasi
kekuatan kapitalis (developer/pengembang perumahan) dan elit kelompok Islam
yang bersekongkol dalam memproduksi perumahan muslim di Yogyakarta.
9 Menurut banyak ilmuwan sosial, seperti Hefner, Kuntowijoyo, Arif Budiman, dll, kelas
menengah di Indonesia muncul secara fenomenal pada tahun 1980-1990-an, termasuk kelas
menengah muslim di dalamnya. Yang menarik, dalam konteks Indonesia, kemunculan lapisan
masyarakat baru ini nyaris bersamaan dengan meningkatnya semangat kembali pada agama. Lihat
Moeflich Hasbullah dalam “Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia”, Penerbit Pustaka
Setia, Bandung, 2014: 94-96.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7 | Tesis
Elit-elit Islam sendiri, secara pemikiran, nampaknya tidak seragam dalam
memandang fenomena perumahan muslim. Sebagian mereka memandang Islam
itu bersifat holistik, integral, mengatur semua aspek kehidupan seorang muslim
termasuk urusan bagaimana membangun rumah dan tempat tinggal. Al-Quran dan
Hadis sebagai teks dasar acuan dalam Islam, memang tidak memberikan tuntunan
yang eksplisit tentang bagaimana membangun rumah dan tempat tinggal, tetapi
keduanya, tetap mengatur dalam bentuk aturan-aturan akhlak perilaku sehari-hari
sebagai individu dan kelompok masyarakat. Nilai-nilai keislaman ini pada
gilirannya kemudian dianggap mempengaruhi perwujudan arsitekturnya
(Nurjayanti, 2014: 310). Sebaliknya, sebagian yang lain, menegaskan bahwa tidak
terlalu penting menonjolkan identitas keislaman dalam ruang publik. Salah satu
pemikir Islam terkemuka, Mohammad Arkoun, misalnya, menuding bahwa
bangunan-bangunan (termasuk perumahan) yang mengekspresikan dan diberikan
label Islam merupakan subjek persoalan dari sebuah proses kemunduran yang
menarik (Arkoun, 1990: 49)10
.
Fenomena merebaknya perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta,
bagi penulis, bukan hanya persoalan komodifikasi agamanya yang penting dikaji
dan dipersoalkan. Yang tidak kalah menarik, juga persoalan tarik menarik
kepentingan ideologis tertentu yang kemungkinan bermain di dalamnya.
Mengingat perumahan muslim merupakan sebuah ruang (sosial). Diakui tidak,
10
Mohammad Arkoun bahkan menuding banyak arsitek yang tiba-tiba menjadi kaya karena
proyek bangunan-bangunan yang diberikan label Islam, pesanan sponsor. Lihat artikelnya
“Islamic Culture, Developing Studies, Modern Thought” dalam “Expression of Islam in
Buildings”, Proceeding of An International Seminar yang disponsori oleh Aga Khan Award for
Architecture, 1990, hal 54.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8 | Tesis
perumahan muslim menjadi salah satu dari problem-problem keruangan di
Yogyakarta, selain massifnya pembangunan mall, apartemen, dan hotel mewah
yang belakangan mendapatkan gugatan serius dari publik.
Dalam teori-teori ruang yang dirumuskan beberapa ilmuwan sosial kritis,
ruang selalu diyakini sebagai hasil dari konstruksi sosial, dari relasi-relasi sosial
yang dinamis dan terus berubah dan selalu bertaut dengan pertanyaan seputar
kekuasaan dan simbolisme (Shields, 2006: 148; Barker, 2008: 309). Ruang
dengan manusia itu selalu berdialog (Ajidarma, 2008: 229). Bahkan bagi Henri
Lefebvre, salah seorang teoretikus neo-Marxian terkemuka, ruang bukan hanya
sekedar sesuatu yang dapat dikonsumsi semata, tetapi ruang juga dijadikan alat
kekuasaan untuk meraih kendali atas ruang yang semakin besar oleh kelas-kelas
yang berkuasa (Lefebvre, 1991: 26-27). Dalam praktik dominasi atas ruang,
hampir selalu pasti akan selalu terjadi peminggiran.
[ ]
Perumahan muslim sangat terkait dengan arsitektur, sebab teknis
perencanaan dan pembangunannya selalu membutuhkan peran kerja seorang
arsitek. Para arsitek-lah (tentu setelah bekerja sama dengan para pengembang dan
elit kelompok Islam) yang kemudian mengkonsep bagaimana perumahan muslim
itu didesain dan ditata sedemikian rupa. Dalam hal ini, kolaborasi di antara
mereka dapat dianggap sebagai pialang budaya baru (intelectuals of new culture
intermediaries) bagi tersebarnya perumahan muslim di Indonesia, dan khususnya
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9 | Tesis
di Yogyakarta11
. Dalam perspektif kajian arsitektur kritis, arsitektur memang tidak
dipahami hanya sekadar urusan gambar dan bangunan semata. Para arsitek
menghasilkan karyanya tidak melulu hanya dengan menggunakan dan
menerapkan teknik konstruksi dan fungsi bangunan. Lebih dari itu, arsitek ikut
terlibat dalam menyusun tatanan simbolik dan membentuk sistem sosial dan
budaya (Kusno, 2012: 2 - 3; Ikhwanuddin, 2005: 1). Manneka Budiman dalam
pengantar untuk buku Abidin Kusno “Zaman Baru Generasi Modernis: Sebuah
Catatan Arsitektur” juga memandang arsitek bukan sekumpulan tukang12
yang
hanya tahu dan mengerti soal-soal teknis. Mereka mau tidak mau, kata dia,
terseret dalam pusaran sejarah dan dipaksa untuk turut menjadi pemain penting
dalam transformasi zaman dan formasi identitas zaman tersebut (Kusno, 2012).
Konsepsi ruang Henri Lefebvre tampak memiliki semangat yang sama dengan
perspektif arsitektur kritis, karena konsepsi ruang Lefebvre memang banyak
menginspirasi kajian-kajian arsitekur.
1.2 Rumusan Masalah
Berangkat dari argumentasi dan pemaparan yang cukup panjang di atas,
penulis tertarik untuk mengkaji fenomena merebaknya perumahan-perumahan
muslim di Yogyakarta sebagai ruang (sosial). Pertanyaan-pertanyaan seperti,
proses-proses dan relasi-relasi sosial seperti apakah yang menciptakan dan
membentuk perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta sebagai ruang (sosial)?
11
Mengenai konsep intellectuals of new cultural intermediaries bisa dilihat lebih jauh dalam Mike
Featherstone “Consumer Culture and Postmodernism”, SAGE Publication, 2007, hal. 89 12
Ada perbedaan antara arsitek tukang dengan arsitek intelektual yang terpejalar. Lihat dalam
“Ruang dalam Arsitektur”, karya Cornelis Van de Van, penj. Imam Djokomono dan Prihminto
Widodo, Jakarta, Gramedia, 1991: XIV dan XIV
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10 | Tesis
Siapa sajakah para aktor dan agen yang terlibat dalam produksi perumahan-
perumahan muslim dan bagaimana tarik-ulur dinamika kepentingannya? Siapa
yang dominan dan siapa terpinggirkan dalam proses penciptaan dan produksi
ruang perumahan-perumahan muslim, mengingat ruang dalam konsepsi Lefebvre
(1991) selalu diorientasikan untuk kepentingan dominasi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, dirasa lebih tepat jika diarahkan ke
dalam rumusan masalah yang spesifik sebagai berikut:
1. Bagaimana produksi ruang perumahan-perumahan muslim di
Yogyakarta?
2. Bagaimana relasi dan kepentingan ekonomi politik dari pengembang
dan elit kelompok Islam yang terlibat dalam proses produksi ruang
perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana proses produksi ruang perumahan-perumahan
muslim di Yogyakarta.
2. Mengetahui bagaimana relasi dan kepentingan ekonomi politik dari
pengembang dan elit kelompok Islam yang terlibat dalam proses
produksi perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1. Diharapkan dapat menambah dan memperkaya literatur ilmiah
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11 | Tesis
tentang studi dan kajian mengenai ruang, terutama ruang dalam
perspektif Neo-Marxian.
2. Kajian kritis mengenai perumahan-perumahan muslim di
Yogyakarta relatif belum banyak dikaji.
b. Manfaat Praktis
1. Diharapkan dapat memberikan informasi yang bisa
mempengaruhi kebijakan-kebijakan terkait perumahan,
khususnya di daerah Yogyakarta.
2. Diharapkan dapat menjadi rujukan para praktisi, aktivis dan
publik secara luas dalam mengadvokasi persoalan-persoalan
ruang di Yogyakarta.
1.5 Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka ini, penulis menelusuri penelitian-penelitian
terdahulu yang dianggap relevan, terutama mengenai persoalan semakin
menguatnya identitas keislaman dan mengentalnya proses islamisasi di Indonesia
menjelang akhir dan pasca Orde Baru, serta kajian kritis soal perumahan (lebih
spesifik, perumahan muslim), gate community (komunitas berpagar), dan terutama
dalam kaitannya dengan persoalan tata ruang dan segregasi sosial di Yogyakarta.
Penelusuran penelitian terdahulu ini sangat penting dilakukan untuk memberikan
pijakan ilmiah dan penegasan akan aspek kebaruan penelitian yang akan
dilakukan.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12 | Tesis
1.5.1 Islamisasi Pasca Orde Baru
Persoalan semakin menguatnya proses islamisasi dan identitas keislaman
di Indonesia menjelang akhir dan terutama pasca Orde Baru sudah banyak dikaji.
Beberapa penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian tesis ini,
di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh M.C. Ricklefs berjudul
“Islamisation and Its Opponents in Java”13
. Tesis penting dari Ricklefs dalam
karyanya ini yang patut ditebalkan adalah: masyarakat Indonesia pasca Orde Baru
semakin terislamkan. Islamisasi di Indonesia (terutama di Jawa) semakin
mendalam. Jawa semakin “hijau”. Bahkan, saking mengental dan menguatnya
islamisasi tersebut, kata Ricklefs, saat ini tidak ada lagi penentangan yang cukup
signifikan terhadapnya, bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Dalam buku ini, Ricklefs memang menyinggung pergulatan dan
pertarungan antara kaum islamis dengan kaum sekuler, santri dan abangan, sejak
memperjuangkan dan memperdebatkan dasar-dasar negara Indonesia, perdebatan
Konstituante pada masa Orde Lama, sampai Orde Baru. Namun kata Ricklefs,
memasuki periode jelang akhir dan terutama pasca Orde Baru, sulit ditampik dan
diingkari bahwa islamisasi di Indonesia (terutama di Jawa) mengalami
kecenderungan semakin menguat. Perkembangan islamisme di tahun-tahun 1980
dan berpuncak pada tahun 1990-an ini, menurut Ricklefs, disebabkan oleh adanya
beberapa peristiwa besar yang muncul dan mengitarinya: Pertama, rezim yang
mendambakan hegemoni ideologis. Kedua, pendekatan antara NU dan rezim yang
13
Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Fx Dono Sunardi dan Satrio Wahono
dengan judul “Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930
sampai Sekarang”, Serambi, Jakarta, 2013. Buku yang dipakai dalam studi pustaka ini adalah buku yang versi terjemahan.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13 | Tesis
mendukung kemajuan dakwahisme. Ketiga, kemunculan kelompok-kelompok
revivalis dan islamis yang aspirasinya sejalan dengan beberapa unsur di dalam elit
rezim. Keempat, ketiga peristiwa besar tersebut di atas membawa konsekuensi
logis berupa islamisasi yang lebih dalam, yang kemudian lazim disebut
“penghijauan” rezim Orde Baru (Ricklefs, 2013). Sebagaimana diketahui,
sebelum tahun 1980-an, hubungan antara rezim Orde Baru dengan Islam
mengalami pasang surut. Bahkan, Islam pernah mengalami pengucilan struktural
dan dipinggirkan oleh rezim.
Seorang Indonesianis lain, R. William Liddle—dalam memahami
mengapa rezim Orde Baru pada tahun 1980-an mulai condong “beralih ke kanan”
dan merangkul Islam—menjelaskan dua kelompok pendekatan yang berusaha
menjawabnya: pendekatan pertama, mengajukan penjelasan kemasyarakatan dan
menekankan kekuatan politik pertumbuhan islamisasi masyarakat dan kebudayaan
Indonesia, dan pendekatan kedua yang memfokuskan lebih sempit pada masalah
konflik elit di dalam negara otoriter, terutama dari perilaku politik Presiden
Soeharto (Liddle, 1997: 72). Dalam pendekatan yang pertama, kata Liddle, Robert
Hefner termasuk salah ilmuwan sosial terkemuka yang memberikan analisa cukup
tajam dan menarik. Menurut Liddle dengan mengutip Hefner, argumentasi Hefner
setidaknya mengandung tiga hal: Pertama, Hefner percaya bahwa selama Orde
Baru sejumlah besar orang yang sebelumnya abangan telah menjadi pemeluk
Islam yang saleh atau santri. Kedua, banyak santri baru yang menjadi kelas
menengah yang sedang tumbuh, karena mendapatkan pendidikan modern,
dipekerjakan sebagai karyawan “berkerah putih”, manajer, profesional baik di
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14 | Tesis
sektor pemerintahan atau swasta. Kelompok santri baru ini menampilkan budaya
agama yang lebih toleran, moderat dan terbuka dibandingkan dengan generasi
sebelumnya. Nurcholis Madjid dianggap sebagai juru bicara kelas menengah
Islam baru ini. Dan ketiga, penerimaaan Presiden Soeharto terhadap bagian-
bagian pokok rencana aktivis Islam, termasuk dukungannya pada pembentukan
ICMI sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan besar di dalam masyarakat
Indonesia, terutama sekali islamisasi dari kelas menengah tadi (Liddle, 1997: 72-
74). Perkembangan islamisasi ini dipandang terus tumbuh dan semakin menguat
pasca Orde Baru, sebagaimana ditegaskan Ricklefs di atas.
Untuk meneguhkan pendapatnya mengenai semakin menguatnya
islamisasi di Indonesia (terutama dalam kehidupan masyarakat di Jawa) yang
semakin islami tersebut, Ricklefs mengajukan data-data yang meyakinkan soal
mengentalnya kesadaran akan Islam di kalangan masyarakat yang ditunjukkan
dari semakin menjamurnya label-label Islam di semua bidang dan aspek
kehidupan di Indonesia, seperti bisnis, pemerintahan, kebudayaan populer,
pendidikan dan lain sebagainya. Islam semakin menonjol dan memiliki pengaruh
kuat baik di pemerintahan, kebudayaan, dan semua praktik sosial sehari-hari.
Meskipun tetap, sebagai ilmuwan sosial, Ricklefs menyadari bahwa proses-proses
sosial di mana pun termasuk di Indonesia (terlebih di Jawa) tidak akan pernah
selesai, dan mengenal titik akhir. Dengan rendah hati, Ricklefs mengatakan ketika
buku ini sedang ditulis, cerita islamisasi di Indonesia tak akan rampung dibahas
dan diperdebatkan. Tetapi, lanjut dia, adalah hal yang keliru bila transformasi
sosial, pergeseran-pergesaran yang terjadi pada tahun-tahun 1980 dan akhir Orde
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15 | Tesis
Baru yang menunjukkan adanya tren ke arah islamisasi yang lebih mendalam
diabaikan begitu saja. Tren ke arah islamisasi yang terus tumbuh dan mendalam
pasca Orde Baru, tidak mungkin bisa begitu saja dibalikkan (Ricklefs, 2014: 429).
Penelitian terdahulu kedua yang menyinggung tentang menguatnya proses
islamisasi dan identitas keislaman di Indonesia pasca Orde Baru, ditulis oleh S.
Bayu Wahyono berjudul “Kejawen dan Aliran Islam: Studi tentang Respons
Kultural dan Politik Masyarakat Kejawen terhadap Penetrasi Gerakan Islam
Puritan di Yogyakarta”. Penelitian ini merupakan disertasi S. Bayu Wahyono di
Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Penelitian ini menegaskan bahwa
ketika negara mengalami surut—setelah sebelumnya, selama lebih dari tiga puluh
tahun lamanya menjadi kekuatan hegemonik dan dominatif terhadap
masyarakat—mengakibatkan pertarungan identitas dan ideologis serta benturan
nilai semakin tak bisa dihindari di dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat lebih
leluasa mengekspresikan nilai, identitas dan ideologinya dengan memanfaatkan
ruang-ruang publik yang ada tanpa adanya kontrol yang efektif dari negara.
Bahkan, benturan nilai itu mengarah pada keinginan untuk saling mendominasi
dan meniadakan satu sama lain. Dalam konteks sosio-politik seperti itu, Wahyono
mencoba melihat bagaimana benturan nilai, identitas dan ideologi antara
masyarakat Kejawen dan Islam di Yogyakarta. Sebab dekade 1990-an di
Indonesia, kelompok Islam puritan mengalami gelombang kebangkitan.
Bagaimana pergulatan keduanya di tengah-tengah kondisi politik yang terbuka,
menjadi pertanyaan yang menarik perhatiannya. Maka, Wahyono memfokuskan
penelitiannya tersebut pada pertanyaan yang lebih spesifik: (1) dalam proses
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16 | Tesis
pergulatan kedua entitas kebudayaan dan politik tersebut, bagaimana warga
masyarakat kejawen mempertahankan identitasnya ketika menghadapi penetrasi
gerakan Islam puritan? Secara kultural, apakah masyarakat kejawen dalam
merespon tekanan pengaruh Islam puritan, mengalami proses kehilangan
identitasnya atau terus berupaya mempertahankannya? (2) Secara politik
bagaimana masyarakat kejawen merespon tekanan pengaruh gerakan Islam
puritan, apakah terjadi proses transformasi menjadi basis pendukung partai-partai
Islam, atau tetap berusaha memberikan dukungan terhadap partai-partai nasionalis
yang dianggap mampu menjamin dan memberi proteksi terhadap kelangsungan
tradisi kejawen? (3) Dalam proses pergulatan antara warga masyarakat kejawen
yang masih mendukung tradisi kebudayaannya dengan pendukung gerakan Islam
puritan, bagaimana karakter hubungan kedua entitas tersebut? Bersifat interrelatif,
kontestatif atau bahkan konfliktual?
Dengan menggunakan metode etnografi, penelitian disertasi ini
menemukan bahwa dalam menghadapi gempuran penguatan islamisasi,
masyarakat kejawen di tingkat akar rumput melakukan respons kultural berupa
strategi perumitan budaya, reproduksi nilai-nilai, tradisi-tradisi dan ritual-ritual
Jawa dengan intens. Masyarakat kejawen menghidupkan dan semakin
menggiatkan kembali acara seperti, ruwatan, methik padi, jamasan, kirap pusaka,
serta meningkatkan kegairahan untuk mengunjungi tempat-tempat yang dianggap
keramat, yang notabennya dianggap syirik dalam kacamata Islam puritan. Ke
semuanya itu, dilakukan untuk membentengi masyarakat kejawen dari
penerobosan program-program puritanasisasi Islam dan islamisasi yang semakin
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17 | Tesis
meluas. Sementara respons politik masyarakat kejawen terhadap gempuran
islamisasi dan Islam puritan tersebut, dilakukan dengan cara memilih, berafiliasi
dan bersedia menjadi basis pendukung partai-partai nasionalis dibandingkan
partai-partai Islam. Alasannya, partai-partai nasional dianggap lebih menjamin
kelestarian tradisi dan nilai-nilai kejawen dibandingkan partai-partai Islam.
Penelitian terdahulu ketiga mengenai semakin menguatnya islamisasi dan
identitas keislaman di Indonesia, yang dianggap relevan adalah“On Secularization
and Islamization: A Sosiological Interpretation”, sebuah tesis yang ditulis oleh
Yudi Latif untuk meraih gelar Magister di Universitas Nasional Australia pada
tahun 199914
. Tesis ini juga berangkat dari fakta yang menarik perhatian Latif:
menguatnya islamisasi di republik ini. Sekalipun Latif menyadari bahwa partai-
partai Islam masih kalah bersaing dengan partai-partai nasional, tetapi dalam Orde
Reformasi, menurutnya, kepemimpinan kenegaraan dan birokrasi pemerintahan
memperlihatkan representasi kaum santri yang sangat mencolok. Tidak hanya di
level pemerintahan, dalam kehidupan sosial sehari-hari tren islamisasi mengalami
penguatan. Padahal kata Latif, di bawah rezim developmentalisme Orde Baru,
Indonesia diterpa arus modernisasi yang cukup kuat. Seharusnya, jika mengikuti
asumsi umum modernisme Barat yang mengatakan bahwa modernisasi akan
selalu berjalan secara bertolak belakang dengan agama, maka mengapa di
Indonesia modernisasi dapat berjalan seiring dengan islamisasi? Mengapa
modernisasi di Indonesia tak berjalan seperti trayek modernisasi di Barat? Inilah
yang menjadi fokus penelitian Latif. Latif melalui penelitian tesisnya ini
14
Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dibukukan oleh penerbit Jalasutra dengan
judul “Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia”, 2007.
Buku yang dipakai dalam studi pustaka ini adalah buku yang versi terjemahan.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18 | Tesis
menawarkan apa yang disebut sebagai “pendekatan dari bawah” untuk
membedakan dengan “pendekatan dari atas”. Maksud pendekatan dari atas
adalah bahwa modernisasi secara tak terhindarkan akan selalu mengarah pada
penyingkiran agama sebagaimana dipahami secara luas selama ini, seperti dalam
trayek modernisasi di Barat. Sebaliknya, pendekatan dari bawah meyakini bahwa
modernisasi bisa berjalan seiring dengan islamisasi, dengan memperhatikan
karakter khusus dari agama dan sosio-historis dari masyarakat itu sendiri.
Dalam kesimpulannya, Latif menegaskan bahwa di Indonesia, tak akan
ada modernisasi total ataupun islamisasi total. Sebab respon dan sikap muslim di
Indonesia terhadap modernisasi tidaklah homogen. Sebagian muslim lebih
akomodatif terhadap gagasan-gagasan modernisme demi memajukan masyarakat
Islam sesuai dengan tuntutan-tuntutan zaman modern. Sebagian yang lain,
menghendaki modernisasi yang berorientasi Islam. Yang satu menghendaki
“modernisasi islam”, yang lainnya menghendaki “islamisasi modern”. Tapi kata
Latif, tujuannya sama: merehabilitasi vitalitas muslim dalam menghadapi dunia
modern (Latif, 2007). Oleh karena itu, Latif meyakini bahwa modernisasi dan
islamisasi di Indonesia dapat berjalan secara simultan, dan memiliki arena dan
senjatanya masing-masing untuk saling bertahan. Perumahan muslim merupakan
salah satu arena bagi islamisasi tersebut.
1.5.2 Perumahan, Segregasi Sosial dan Tata Ruang di Yogyakarta
Perlu ditegaskan, bahwa sejauh penelusuran penulis, studi dan kajian
tentang perumahan (secara spesifik, tentang perumahan muslim) yang
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19 | Tesis
menggunakan pendekatan dan perspektif teori kritis belum banyak dilakukan,
terlebih di Indonesia. Yang banyak, hanyalah penelitian-penelitian tentang
perumahan dari disiplin manajemen (pemasaran), arsitektur dan teknik sipil, yang
menurut penilaian penulis, kurang tepat untuk dijadikan pustaka terdahulu
penelitian tesis ini, karena kajian-kajian tersebut kurang terasa political-culture-
nya.
Dalam penelusaran tersebut, akhirnya ditemukan beberapa penelitian
terdahulu berupa artikel-artikel ilmiah yang dianggap terkait dan relevan dengan
topik yang dibahas. Penelitian tersebut adalah artikel ilmiah berjudul “Displaying
Desire and Distinction in Housing” yang ditulis Elizabeth Silva dan David
Wright. Artikel ini dimuat dalam jurnal “Cultural Sociology” Volume 3, Nomer I,
Maret 2009 dan diterbitkan oleh SAGE Publication.
Dalam artikel ini, Elizabeth Silva dan David Wright mendiskusikan
mengenai makna modal kultural untuk memahami persoalan kekinian mengenai
perumahan-perumahan di Britain, Inggris. Artikel ini menunjukkan bahwa
perumahan di Britain terkait dengan posisi individual dalam ruang sosial. Menurut
Silva dan Wright, aspek-aspek material dari perumahan ternyata sangat
berhubungan dengan “pamer hasrat” untuk menunjukkan posisi, status dan
perbedaan sosial yang diekspresikan dengan atau melalui dekorasi rumah dan ide-
ide individual tentang sebuah rumah ideal yang diimpikan. Dengan kata yang
lebih sederhana, Silva dan Wright, dengan menyandarkan penelitiannya pada
teori-teori Pierre Bourdieu terutama “Distinctions”, ingin menegaskan bahwa
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20 | Tesis
perumahan di Britain dijadikan semacam penanda dan pembeda kelas sosial di
sana.
Artikel ini didasarkan pada sebuah investigasi ekstensif mengenai modal
kultural dan eksklusi sosial dengan mempertimbangkan perumahan aktual di
Britain, baik berupa lokasi, tipe dan dekorasi perumahan serta imajinasi tentang
perumahan ideal yang diimpikan. Penelitian ini menggabungkan dua pendekatan
yakni kuantitatif dan kualitatif sekaligus. Secara kuantitatif, artikel ini
mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang lokasi, tipe, dan dekorasi
perumahan serta imajinasi tentang perumahan ideal yang diimpikan dalam bentuk
kuesioner yang disebar kepada 1564 responden. Responden dengan jumlah
tersebut dianggap sebagai sample utama yang merepresentasikan populasi di
Inggris dan juga melibatkan 227 responden dari tiga komunitas etnis minoritas
terbesar di Britain. Secara kualitatif, penelitian ini melakukan wawancara
mendalam terhadap 22 responden yang diwawancara di rumah mereka masing-
masing terkait dengan pertanyaan yang sama.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa modal kultural yang diidentifikasi
dengan pengalaman atau tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan selera seseorang
sangat menentukan orientasi mengenai perumahan yang ideal yang didambakan.
Modal kultural dari seseorang adalah sumber yang berhubungan dengan posisi
sosial dan mobilitas sosial dalam sebuah perumahan. Dalam penelitian ini
disebutkan orang-orang yang masuk dalam kategori “lower class position” di
Britain tidak memiliki imajinasi tentang rumah ideal yang menjadi impian.
Mereka umumnya hanya memaknai perumahan hanya sebagai ruang fungsional
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21 | Tesis
semata. Berbeda halnya dengan orang-orang yang masuk dalam kategori “high
class position”, umumnya mereka selalu memahami perumahan sebagai ruang
aestetik yang merefleksikan posisi sosial yang bersangkutan. Dengan kata lain,
perumahan bagi mereka, merupakan tempat mempertontonkan hasrat, posisi dan
stratifikasi sosial yang membedakan diri mereka dengan yang lain.
Penelitian terdahulu berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Derajad
S. Widhyharto berjudul “Komunitas Berpagar: Antara Inovasi Sosial dan
Ketegangan Sosial (Studi Kasus Komunitas Berpagar di Propinsi D.I Yogyakarta
Indonesia)” yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP),
Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini menyoroti fenomena berkembangnya
gates communities atau komunitas berpagar di Yogyakarta, terutama di wilayah
Sleman dan Bantul yang ditandai dengan munculnya perumahan-perumahan
berpagar, memiliki portal dan dilengkapi dengan penjagaan yang cukup ketat oleh
satpam. Artinya, telah terjadi privatisasi ruang yang menghalangi aksesibilitas
publik yang kemudian mengakibatkan terjadinya fragmentasi ruang dan segregasi
sosial di tengah-tengah masyarakat. Perumahan-perumahan tersebut sejak awal,
kata Widhyharto, memang dirancang oleh pengembang dengan bentuk site-plan
perumahan model cluster mengantong, cul-de-sac, atau dead-end. Dalam
penelitiannya ini, Widhyharto menegaskan bahwa gates communities di
Indonesia, termasuk juga di Yogyakarta, bukan hanya dihuni oleh orang-orang
yang kaya, tetapi juga dari kalangan kelas menengah yang mempunyai
kecenderungan gaya hidup dan tingkat konsumtif yang cukup mewah.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22 | Tesis
Di Indonesia secara umum, gate communities, diperkirakan mulai mengalami
perkembangan yang pesat pada tahun-tahun 1990-an, terutama di kota-kota besar
seperti Jakarta. Dalam laporan riset Mahardika, dkk (2006), seperti dikutip
Widhyharto, perkembangan tersebut ditandai dengan kehadiran Bumi Serpong
Damai di Jakarta. Meskipun, fenomena ini dianggap tidak terlalu mendapatkan
perhatian kritis dari banyak pihak. Setidaknya hanya dua artikel Kompas yang
menyoroti tentang fenomena ini, yaitu tulisan Ridwan Kamil berjudul “Arogansi
Gated-Community di Kota Kita” yang dimuat dalam harian Kompas, pada
Minggu 29 Oktober 2000. Tulisan yang lainnya, ditulis oleh Wahyu Dewanto
berjudul “Ketidakamanan Mengubah Arsitektur Kota Kita”.
Di Yogyakarta sendiri, menurut Widhyharto, telah mengenal konsep
komunitas berpagar sejak awal dekade ketiga abad ke-20, seiring dengan
berkembangnya wilayah Kotagede. Komunitas berpagar tersebut, umumnya
berdasarkan profesi pekerjaan, pendapatan, dan etnis. Termasuk juga berdasarkan
agama. Perkembangan gate communities ini kemudian terus mengalami
peningkatan yang pesat pada tahun-tahun berikutnya, setelah pemerintah daerah
juga seperti berlomba-lomba mempromosikan wilayahnya sebagai tempat
investasi yang aman demi mengejar tingkat pertumbuhan daerah. Menurut
Widhyharto, ketiadaan platform teoritis yang cukup dari kalangan ilmuwan
mengakibatkan ketiadaan respon yang massif dari lembaga yang bertanggung
jawab terhadap perencanaan kota dan perumahan. Padahal, fenomena gates
communites yang mengakibatkan fragmentasi ruang dan segregasi sosial, baik
berdasarkan kelas dan etnis ini, akan mendatangkan persoalan baru seperti urban
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23 | Tesis
sprawl, perubahan tata guna lahan secara cepat dan tak terkendali, semakin
jauhnya disparitas kaya dan miskin, dan berbagai macam hirarki lainnya dalam
masyarakat. Intinya, fenomena gate communities di Yogyakarta menyimpan
potensi ketegangan sosial, kegagalan untuk menciptakan tatanan sosial yang baik
dan sehat, serta harus mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari
pemerintah (Widhyharto, 2009: 207).
Penelitian terdahulu berikutnya yang menyinggung soal fragmentasi ruang
dan segregasi sosial di Yogyakarta dilakukan oleh Suryanto, dkk berjudul “Aspek
Budaya dalam Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta” yang dimuat dalam
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Volume 26, Desember 2015. Penelitian
ini memang tidak secara spesifik membahas soal fragmentasi ruang dan segregasi
sosial di Yogyakarta, melainkan menjelaskan aspek kebudayaan yang mewujud
sebagai keistimewaan tata ruang di Yogyakarta. Namun ada sejumlah hal penting
yang akan digaris-bawahi terutama menyangkut riwayat tata ruang Yogyakarta
dan keistimewaan tata ruang Yogyakarta sebagaimana dijelaskan dalam UU
Nomor 13 Tahun 2012. Jika dalam penelitian sebelumnya, kemunculan gate
community di Yogyakarta dianggap dapat membuat sekat-sekat sosial, dalam
penelitian ini ditegaskan bahwa fragmentasi ruang dan segresasi sosial sebetulnya
sudah dapat dijumpai dalam riwayat kota Yogyakarta sejak dulu kala. Hal
tersebut, kata Suryanto, paling tidak dapat dibuktikan melalui hal berikut ini.
Dengan mengutip Selo Sumardjan (1962), Suryanto, dkk. menyatakan sejak mula
setidaknya sampai awal abad ke 20 atau sampai pemerintahan HB VIII (era
kolonial), masyarakat Yogyakarta masih berbudaya tradisional feodal. Konsep
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24 | Tesis
feodal yang membentuk piramida kekuasaan dan berorientasi konsentris
(memusat) tersebut, pada kenyataannya diwujudkan dalam tata ruang dan wilayah
Yogyakarta oleh penguasa. Ruang-ruang kemudian tersekat berdasarkan kelas-
kelas sosialnya. Kraton adalah pusat kekuasaan, tempat tinggal sultan dan
keluarganya. Ini merupakan lapis pertama. Di lapis kedua, terdapat ibu kota
(kutho negoro), yang ditinggali para bangsawan dengan jabatan yang tinggi. Para
bangsawan tidak diperkenankan tinggal di wilayah lungguhnya, melainkan harus
tinggal di wilayah kutho negoro, agar sultan dapat mudah mengawasi mereka. Di
lapis terluar, terdapat monconegoro yaitu wilayah yang tidak langsung “terawasi”
oleh sultan, tetapi wilayah ini tetap mengakui kesultanan dan biasanya ditinggali
oleh rakyat biasa (Suryanto, 2015). Di era kolonial, kelas bangsawan ini memiliki
mitra yang dianggap sejajar dan sepadan secara kelas dengan pejabat tinggi
Belanda dan pemilik dan pengusaha perkebunan. Fragmentasi ruang dan segregasi
sosial di Yogyakarta ini nampaknya terus menjadi persoalan sampai saat ini,
meski menampakkan dirinya dengan bentuk-bentuk yang sama sekali baru.
Artinya, fragmentasi ruang dan segregasi sosial selalu ada di tengah-tengah
masyarakat. Jika dahulu, sekat-sekat sosial itu dilakukan secara struktural oleh
penguasa (raja) dan pemerintah, tetapi saat ini hal tersebut nampaknya juga
dilakukan oleh swasta. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dari fenomena merebaknya
perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta yang sepenuhnya dibangun oleh
pengembang non pemerintah.
Penelitian terdahulu yang terakhir berupa artikel ilmiah berjudul
“Representasi Identitas dalam Brosur dan Artikel Perumahan Muslim” yang
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25 | Tesis
ditulis oleh Diah Kartini Lasman. Artikel ilmiah yang dimuat di jurnal dosen
Universitas Indonesia (UI) ini menyoroti persoalan representasi identitas
(keislaman) dalam brosur-brosur perumahan muslim yang marak belakangan ini.
Artikel ini membedakan antara apa yang disebut “perumahan muslim”,
“perumahan islami”, dan “arsitektur islami”, sebagai konsep-konsep yang dijual
oleh para pengembang atau sebagai strategi para pengembang untuk memikat para
konsumen dalam dunia bisnis properti perumahan. Alasannya, kata “muslim” dan
“islami” yang dipakai oleh para pengembang dalam bisnis properti perumahan,
sebenarnya ingin memberikan penekanan yang berbeda. Sesuai dengan KBBI,
kata “muslim” dan “islami” memiliki makna yang tak sama. Kata “islami”,
dianggap lebih mengacu pada nuansa atau suasana keislaman. Sementara kata
“muslim” dianggap lebih mengacu pada individu dan identitas seseorang.
Dalam konteks perumahan, perumahan islami adalah perumahan yang
menawarkan nuansa keislaman di dalamnya. Berbeda dengan perumahan islami,
perumahan muslim dianggap hanya menawarkan sesuatu yang sifatnya lebih
simbolik. Sedangkan arsitektur islami, dalam konteks perumahan muslim adalah
perumahan yang dalam proses pembangunannya memperhatikan hal-hal yang
dianggap “syar’ie”. Meskipun, dalam penilaian penulis, perumahan muslim dan
perumahan islami sebetulnya kurang lebih sama saja, keduanya sama-sama
mengandung aspek simbolik dan nuansa Islam sekaligus. Apapun sebutannya,
perumahan muslim, perumahan islami, arsitektur islami, pada akhirnya sama-
sama menunjukkan dan menegaskan identitas agama.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26 | Tesis
Artikel ini juga menegaskan bahwa konsumsi atas nama-nama Islam yang
dipakai dalam iklan-iklan perumahan muslim, diakui tidak, semakin menegaskan
identitas konsumen. Mengikuti Baudrillard, konsumen produk perumahan
muslim, bukan semata-mata membeli perumahan muslim karena nilai
fungsionalnya. Melainkan juga berdasarkan pemaknaan total atas citra-citra
“Islam” yang dihembuskan oleh iklan-iklan perumahan tersebut. Selain
menggunakan teori Baudrillard, artikel ini juga menegaskan persoalan selera akan
perumahan muslim dengan merujuk pada teori Pierre Bourdieu. Artikel ini
menuding bahwa selera akan perumahan muslim itu tidak netral. Selera
merupakan representasi kelas sosial dominan yang mententukan budaya, integrasi
kelompok dan sistem komunikasi. Selera pada gilirannya juga bisa membuat
posisi sosial konsumen berbeda dengan yang lain.
Dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai menguatnya proses islamisasi
dan identitas keislaman pasca Orde Baru serta kajian mengenai perumahan, gate
communities (komunitas berpagar) dalam kaitannya dengan persoalan fragmentasi
ruang dan segregasi sosial serta tata ruang di Yogyakarta di atas, dapat ditarik
beberapa benang merah yang tegas: Pertama, islamisasi di Indonesia pasca Orde
Baru semakin mengalami pendalaman dan penguatan. Masyarakat semakin
terislamkan. Sekalipun di bawah rezim Orde Baru, masyarakat Indonesia diterpa
arus modernisme yang intens, tapi islamisasi tetap berkembang. Islamisasi dan
modernisasi dianggap dapat berjalan seiring dan simultan. Meski demikian, dalam
era yang terbuka seperti sekarang ini dan lemahnya kontrol negara, tak dapat
ditampik bahwa pertarungan ideologis, identitas dan nilai akan selalu tetap saling
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27 | Tesis
berebut pengaruh dan dominasi dengan berbagai macam strategi yang dilakukan.
Mulai dari strategi struktural dengan cara memperebutkan negara, hingga strategi
kultural dalam berbagai rupa cara untuk “mengislamikan” masyarakat. Salah
satunya dengan cara merebut ruang-ruang keseharian, termasuk perumahan
muslim sebagai ruang (sosial). Penting ditegaskan, bahwa perumahan berdasarkan
studi pustaka terdahulu di atas, bukan ruang yang netral. Perumahan dapat
menjadi arena mempertontonkan hasrat, kedudukan, status sosial untuk
membedakan diri dengan yang lain, yang pada akhirnya, ditemukan
mendatangkan persoalan fragmentasi ruang dan segregasi sosial. Sekali lagi,
perumahan bukan kotak-ruang yang netral. Di dalamnya terdapat reproduksi kelas
dan sistem nilai. Kedua, iklan-iklan perumahan muslim yang dikaji menandai
bahwa produk perumahan muslim memang banyak diproduksi oleh para
pengembang saat ini. Perumahan muslim bukan hanya semata-mata menyangkut
soal konsumsi nilai tanda dan nilai guna seperti fokus kajian yang dilakukan
dalam penelitian terdahulu tersebut di atas. Lebih dari itu, perumahan muslim
menjadi korpus kajian yang menarik, yang perlu dilakukan penelitian lanjutan
dengan fokus kajian yang berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya. Misalnya,
kajian ruang perumahan muslim sebagai (produk) sosial.
1.6 Perspektif Teoretik
1.6.1 Teori Ruang Henri Lefebvre
Ruang merupakan salah satu konsep yang kompleks, yang selama ini,
telah banyak didekati dan dirumuskan dari pelbagai sudut pandang dan perspektif,
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28 | Tesis
mulai dari filsafat, sciences dan sosial (Kuper dalam Setha dan Zuniga, 2003:
247). Termasuk dari perspektif ilmu sosial Neo-Marxian, terutama dari sudut
pandang salah satu tokoh terkemuka Neo-Marxis yang akan dipaparkan dalam
bagian ini, yakni Henri Lefebvre.
Banyak pemikir ilmu sosial yang menyatakan bahwa tumbuhnya minat
ruang dalam teori-teori Neo-Marxian—yang merupakan sebagian terkecil dari
bangkitnya minat ruang dalam studi sosiologi—menemukan pijakan awalnya pada
kajian Michel Foucault dimana Foucault menegaskan bahwa teori-teori Marxian
sebenarnya menempatkan ruang dalam posisi yang istimewa (Ritzer dan
Goodman, 2013: 164). Seperti diketahui, dalam lapangan ilmu pengetahuan sosial
sebelumnya, ruang dianggap sebagai statis, diam, tidak bergerak dan tidak
dialektis, bila dibandingkan dengan waktu. Oleh sebab itu, kajian ruang cenderung
kurang diminati. Akibatnya, terjadi devaluasi ruang yang cukup lama. Padahal,
waktu dan ruang itu saling terkait, tak dapat dipisahkan. Seharusnya, ruang dan
waktu harus dipandang sebagai sesuatu yang sama-sama kaya, terus bergerak,
dinamis dan dialektis. Ruang kemudian mulai kembali dikaji secara serius.
Bahkan, Foucault mengatakan dengan sangat optimistik bahwa epos zaman
sekarang adalah sangat mungkin epos zaman bagi ruang (seperti dikutip dalam
Soja, 1989: 10). Henri Lefebvre pada tahun 1960-an, juga menangkap dan
mendeteksi fenomena spasial turn: yakni adanya sebuah pergeseran epoch dari
“waktu” ke “ruang” ini (Ronneberger dalam Goonewardena, 2008: 136).
Hanya saja kemudian, di tangan Lefebvre, teori ruang Marxian mengalami
pergeseran yang cukup signifikan: dari sasaran produksi (industri) ke produksi
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29 | Tesis
ruang. Artinya, jika sebelumnya dalam teori-teori Marxian fokus perhatiannya
terarah pada urusan sarana produksi dalam ruang, dalam analisis spasial Lefebvre,
fokus perhatiannya terarah pada produksi ruang aktual itu sendiri. Tapi, tetap
semangatnya adalah membongkar dominasi kapitalis dalam menguasai ruang
dalam keseharian. Lefebvre menghubungkan dominasi ruang terhadap reproduksi
kapitalisme. Dengan kata lain, produksi ruang merupakan fokus analitis Lefebvre,
sekaligus kritik dan tujuan politisnya: produksi ruang sebagai landasan bagi
transformasi sosial sehari-hari (Ritzer dan Goodman, 2013: 170).
Lefebvre memang menekankan pada persoalan everyday life dalam
filsafatnya. Menurut Lefebvre, kapitalisme dapat bertahan di akhir abad ke dua
puluh dan dapat mengatasi kontradiksi internalnya karena menduduki ruang dan
memproduksi ruang. Ini juga menjadi evaluasi mengapa revolusi gagal. Di dalam
“Urban Revolution”, Lefebvre menjelaskan bagaimana pertumbuhan industri dan
kekuatan industri mendorong proses-proses urbanisasi. Dan, di dalam ruang-ruang
urban ini, kapitalisme mereproduksi dirinya (Charnok dan Fumas, 2011: 6).
Kapitalisme menciptakan ruang-ruang urban, yang di dalamnya, kapitalisme dapat
dengan mudah membentuk kondisi-kondisi permisif untuk mereproduksi secara
totalitas masyarakat borjouis.
1.6.2 Ruang Sebagai Produk (Sosial)
Lefebvre banyak dipengaruhi Karl Marx dalam merumuskan konsep
ruangnya. Meskipun pada mulanya, menurut Elden dan Shield (dalam Wilson,
2013: 356) sepanjang masa karir intelektualnya—mulai tahun 1920-an sampai
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30 | Tesis
1980-an—ia concern dengan persoalan alienasi dalam masyarakat modern yang
kapitalistik. Bertitik tolak pada problem alienasi yang ditulis Marx dalam
Manuscript 1844 itulah, Lefebvre kemudian sampai pada ketertarikan untuk
mengembangkan konsep ruang dalam tradisi Marxian. Alienasi, dalam pemikiran
Marx, disebabkan karena adanya pemisahan antara produsen dengan makna
produksi. Namun para Marxist ortodoks membatasi persoalan alienasi itu hanya
sekadar dalam ruang ekonomi. Berbeda dengan mereka, Lefevbre mengatakan
bahwa problem alienasi tidak hanya terjadi dalam ruang produksi dan relasi
kepemilikan, tetapi alienasi juga dapat terjadi dalam lingkup yang lebih luas
dalam kehidupan sehari-hari. Alienasi membentuk peningkatan pemisahan
manusia dari hakekat hidup mereka. Dan, ruang abstrak, kata Lefebvre,
merupakan tempat dan sumber pemisahan itu. Dengan kata lain, alienasi dalam
masyarakat kapitalis terjadi dalam penaklukan dari perebutan akan hidup yang
dibayangkan, melalui penguasaan ruang dalam kehidupan keseharian. Kapitalisme
semakin meneguhkan dirinya dengan cara ini: menyusun ruang, lalu
menguasainya. Ruang abstrak memang merupakan ruang bagi kapitalisme
(Wilson, 2013: 364; Charnok dan Fumas, 2011: 5). Ruang abstrak (sepadan
dengan representasi ruang yang akan dijelaskan secara lebih jelas di bagian
berikutnya) adalah alat kekuasaan, bahkan kekuasaan itu sendiri. Kapitalis tidak
hanya sekedar ingin melakukan kontrol terhadap suatu ruang, melainkan meraih
kendali atas ruang-ruang yang semakin besar dan menyeluruh (Ritzer dan
Goodman, 2013: 168).
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31 | Tesis
Dalam karya utamanya “The Production of Space” Lefebvre menegaskan
bahwa ruang adalah produk (sosial). Ruang memproduksi struktur kelas, sistem
kapitalis, ruang juga tempat dimana praktik–praktik perebutan wacana dan
ideologi tertentu selalu terjadi, memperebutkan pengaruh di dalamnya. Ruang,
kata Lefevbre, seperti alat berpikir dan bertindak. Ruang bisa mengarahkan
bagaimana orang berpikir dan bertindak tertentu dalam kesehariannya, karena
ruang memang dimaksudkan untuk kepentingan kontrol dan dominasi. Lefebvre
menulis:
(social) space is a (social) product … the space thus produced also serves
as a tool of thought and of action; that in addition to being a means of
production it is also a means of control, and hence of domination, of
power; yet that, as such, it escapes in part from those who would make
use of it. The social and political (state) forces which engendered this
space now seek, but fail, to master it completely; the very agency that has
forced spatial reality towards a sort of uncontrollable autonomy now
strives to run it into the ground, then shackle and enslave it” (Lefebvre,
1991: 26-27).
Lefebvre juga mengatakan bahwa di dalam ruang, semua orang seperti
“disituasikan”, dimana mereka harus mengakui diri mereka atau menghilangkan
diri mereka sendiri (Lefebvre, 1991: 35). Ruang bukanlah suatu area yang kosong
dan kotak yang netral. Ruang-ruang yang secara sosial diproduksi menjadikan
ruang itu sebagai sesuatu yang tidak sederhana, melainkan sesuatu yang kompleks
dan selalu bertaut erat dengan persoalan kekuasaan (Mansvelt, 2005: 56). Di
dalam memahami tesis mendasar ruang sebagai produk sosial yang bertaut erat
dengan kekuasaan ini, kata Lefebvre, adalah pertama-tama memahami bahwa
ruang itu tidak dapat eksis dalam dirinya sendiri. Melainkan, ia selalu diproduksi
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32 | Tesis
dan hanya dapat dipahami di dalam konteks masyarakat yang spesifik (Schmid
dalam Goonewardena, 2008: 28-29).
1.6.3 Triad Konseptual Lefebvre
Lefebvre seperti ditegaskan dalam bagian sebelumnya, memandang ruang
itu sebagai produk (sosial). Tetapi, pertanyaannya, bagaimana ruang itu
diproduksi (secara sosial)? Lefebvre mengemukakan tiga konsep penting yang
menjadi kunci dalam pemahamannya yang canggih atas ruang yang sering disebut
sebagai momen-momen produksi ruang. Di satu sisi, Lefebvre merujuk pada
konsep triadik/tripartit yaitu praktik spasial (spatial practice), representasi ruang
(representation of space) dan ruang representasional (representational space)
(Lefebvre, 1991: 38-39; Schmid dalam Goonewardana, 2008: 29). Sementara di
sisi yang lain, dia juga merujuk pada apa yang disebutnya sebagai perceived
space, conceived space dan lived space. Triad konseptual ini yang kemudian
dimaksud sebagai praktik memproduksi ruang yang dilakukan oleh manusia
melalui relasi produksi pada sebuah relasi dan praktik sosial.
Menurut Lefebvre, makhluk hidup, termasuk juga manusia, pada dasarnya
memang mengorientasikan diri mereka di dunia dengan menciptakan ruang
(producing space). Memproduksi ruang merupakan metafisika Lefebvre. Scott
Lash mengatakan bahwa gagasan Lefebvre ini lebih ambisius dari metafisika
Nietzsche yang menekankan pada kehendak berkuasa (will to power) agar
manusia tetap survive, atau metafisika Marx yang menekankan pada sekedar
kepemilikan modal dan alat produksi. Bagi Lefebvre, untuk survive, manusia
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33 | Tesis
tidak hanya perlu memiliki kekuataan modal dan menguasai sarana produksi, atau
juga mengenyahkan mentalitas budak, tetapi cara kita menyesuaikan diri kita di
dunia adalah dengan memproduksi ruang (Lash, 2006: 116)
Lefebvre mencontohkan bagaimana laba-laba (spider) mula-mula
menciptakan ruang, berupa jaring-jaring laba-laba yang dikeluarkan dari tubuhnya
sendiri. Tubuh dianggap penting, yang menandai, bahwa dalam diri laba-laba,
memang sudah terdapat sistem yang inheren untuk memproduksi ruang-ruang
bagi kehidupannya sendiri (Lash, 2006: 116). Laba-laba, kata Lefevbre,
memproduksi ruang dengan prinsip mimesis, melalui proses pencerminan
(mirroring) dan penggambaran (imaging) pada tubuhnya sendiri. Seperti halnya
laba-laba, semua makhluk hidup tak terkecuali manusia, dengan kemampuannya,
selalu menciptakan ruang dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam menenun
jaring-jaring, laba-laba—dan juga makhluk yang lainnya seperti manusia—juga
“menenun” imajinasi mereka dan memperluas kekuasaan mereka di atas sebuah
arena ruang (Lash, 2006: 117). Inilah yang disebut praktik spasial oleh Lefevbre.
Praktik spasial (spatial practice) dalam skema pemikiran Lefebvre
dianggap sama dan tidak dibedakan dengan praktik sosial (Wilson, 2013: 367).
Praktik sosial, kata Lefebvre, memiliki implikasi-implikasi ruang. Sebab dalam
kesehariannya, manusia selalu melakukan aktivitas di dalam pelbagai ruang.
Praktik sosial selalu memiliki ruang-ruangnya sendiri. Sederhananya, praktik
meruang (atau praktik sosial) terkait dengan bagaimana manusia mencerap,
memaknai secara terus menerus ruang-ruang di sekelilingnya. Pemaknaan
manusia pada ruang tersebut, disadari tidak, telah menciptakan dan memproduksi
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34 | Tesis
ruang yang berbeda dengan ruang yang diapresiasinya dalam konteks tertentu.
Nah, dengan menyamakan praktik spasial dan praktik sosial, Lefebvre ingin
menegaskan bahwa hanya melalui relasi-sosio historis dari sebuah sosial sebuah
ruang dapat diproduksi. Dengan kata lain, praktik spasial adalah proses-proses
sosial yang mereproduksi ruang, yang keduanya, bisa menjadi alat dan sekaligus
hasil dari aktivitas manusia (Mansvelt, 2005: 57).
Sedangkan representasi ruang (representations of space) merupakan ruang
normatif, ruang ideal, ruang konseptual yang dirumuskan dan dikonseptualisasi
oleh para arsitek, ahli planologi, teknokrat, insinyur sipil dan pemerintah. Menurut
Lefebvre, ruang ini adalah ruang dominan di banyak masyarakat. Ruang abstraksi
dalam pikiran para ahli tersebut hanya mungkin dikonkretkan melalui sistem
representasi dan tanda-tanda yang spesifik (Lefebvre, 1991: 38-39). Ruang
representasi ini, bagi Lefebvre adalah “ruang yang sebenarnya” yang dijadikan
alat untuk mencapai dan mempertahankan dominasi. Misalnya, program
perbauran kota sejak dari awal oleh para arsitek dan planolog didesain, secara
teoretis, untuk menghancurkan perumahan-perumahan kumuh milik warga miskin
dan kemudian menggantikannya dengan perumahan yang lebih modern dan
mewah. Warga miskin dipinggirkan dan dipindahkan ke tempat-tempat baru, ke
wilayah-wilayah baru, hanya untuk membangun proyek-proyek perumahan yang
biasanya hanya ditempati oleh kelas menengah dan kelas atas saja. “Praktik
sosial” warga miskin diganti secara radikal oleh “representasi ruang” (Ritzer dan
Goodman, 2013: 166). Ada kekerasan yang intrinsik dalam banyak abstraksi:
sebab, kata Lefebvre, semua “rencana (plan)” yang dirumuskan oleh elit itu tidak
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35 | Tesis
hanya berhenti di atas kertas, buldozer akan merealisasikan “rencana” tersebut
(Charnok dan Fumas, 2011: 12).
Menurut Lefebvre, representasi memang tak bisa dihindari, problemnya
muncul saat representasi memisahkan bahkan kemudian mendominasi praktik
spasial. Bahkan, representasi ruang ini menguasai praktik spasial dan ruang
representasional sekaligus. Representasi ruang dapat membunuh praktik-praktik
spasial (Lash, 2006: 118-119). Buku “The Production of Space” Lefevbre
sebetulnya diposisikan sebagai kritik atas representasi ruang tersebut.
Sementara yang terakhir, ruang representasional (representasional space)
merupakan ruang yang secara langsung ditempati dan ditinggali oleh warga dan
penggunanya (Lefebvre, 1991: 38-39). Menurut Lefevbre, dalam ruang
representasional ini, kita dapat melihat semacam pewujudan simbolisme yang
kompleks, kadang-kadang semacam kode, baik berupa artikulasi tindakan,
perilaku, hasrat, ritual-ritual tertentu dan gaya hidup—sebagaimana
dikonseptualisasikan di dalam representasi ruang (Lefebvre, 1991: 33). Dengan
kata lain, jika representasi ruang yang dianggap sebagai “ruang yang sebenarnya”
diciptakan oleh kelompok dominan, maka representasi ruang betul-betul
menghasilkan “kebenaran ruang”. Orang-orang yang berada di dalamnya akan
merasakan dan merefleksikan hal-hal yang benar-benar terjadi di pengalaman
hidup lebih dari sekedar “kebenaran asbtrak” seperti yang ada dalam representasi
ruang yang diciptakan oleh kelompok dominan untuk mencapai dominasi dan
melanggengkan kekuasaan. Ruang representasi lenyap menjadi representasi
ruang (Ritzer dan Goodman, 2013: 166).
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36 | Tesis
Konsep triadik/tripartit di atas, bagi Lefebvre, merupakan sesuatu yang
bersifat determinan: ruang muncul hanya dalam pengaruh-mempengaruhi di
antara ketiganya (Schmid dalam Goonewardana, dkk, 2008: 41). Namun, konsep
triadik/tripartit yang sudah dijelaskan tersebut, dalam skema pemikiran Lefebvre,
berada dalam tataran yang ideal dan terkesan pesimistis. Dalam bahasa yang lebih
material dan optimistik, Lefebvre membedakan dengan tiga ruang lagi yang
disebutnya sebagai ruang absolut (ruang alamiah), ruang abstrak dan ruang
differensial. Menurut Lefevbre, ruang absolut (ruang alamiah) adalah ruang yang
tidak mengalami kolonisasi dan dihantam oleh kekuataan ekonomi dan politik.
Ruang abstrak sebetulnya serupa dengan representasi ruang. Ia merupakan ruang
yang dibentuk oleh perencana kota, arsitek dan lain sebagainya. Namun, ruang
abstrak tidak hanya sekedar bersifat ideasional. Ruang abstrak bukan hanya
ditandai oleh tidak adanya hal-hal yang diasosiasikan dengan ruang absolut, tetapi
ruang yang diduduki, didominasi dan dikendalikan. Sementara ruang differensial
merupakan ruang yang mengaksentuasi perbedaan dan kebebasan dari kontrol dan
dominasi sebagaimana dalam ruang abstrak. Tapi, Lefevbre sendiri, hanya tertarik
dan fokus mengembangkan pemikirannya pada ruang abstrak (Ritzer dan
Goodman, 2013: 169). Sebab ruang abstrak, bagi Lefebvre, ruang bagi
kapitalisme untuk terus mempertahankan dirinya.
1.7 Metodologi dan Metode Penelitian
Penelitian ini sebagaimana tercermin dalam rumusan pertanyaan,
merupakan penelitian kritis yang mengambil perspektif cultural studies.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37 | Tesis
Kedudukannya sebagai penelitian cultural studies, penelitian ini akan
menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Audifax, salah satu karakteristik
penting (kalau bukan kunci) dari pendekatan kualitatif adalah tujuannya untuk
mengkonstruksi makna budaya, dan nilainya yang mensyaratkan peneliti untuk
“hadir” dan “terlibat”. Berkebalikan dan kontras dengan pendekatan kuantitatif
yang salah satu karakteristik utamanya adalah bertujuan untuk mengukur fakta
objektif dan menekankan pada prinsip bebas nilai (Audifax, 2008: 57).
Pendekatan kualitatif dalam cultural studies dapat diterima dan terus
dikembangkan. Hal tersebut sangat mungkin mengingat penelitian kualitatif tidak
terikat dengan disiplin keilmuan manapun (Denzin dan Lincoln, 2009: 4). Selain
itu juga, analisis kualitatif selalu berurusan dengan konsep kebudayaan dan
menjelaskan secara penuh makna tindakan. Sementara cultural studies, di satu
sisi, tetap mengambil kebudayaan secara serius tanpa mereduksinya, dan sisi yang
lain (dan ini yang penting), cultural studies menempatkan kebudayaan dan sistem
makna tersebut sebagai sesuatu yang pasti terkait dengan politik dan kekuasaan
(Alasuutari, 1996: 2).
Mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan,
menginterpretasi dan menganalisis bagaimana produksi ruang perumahan-
perumahan muslim di Yogyakarta, serta menganalisis bagaimana relasi dan
kepentingan ekonomi-politik dari pengembang dan elit kelompok Islam yang
terlibat dalam proses produksi perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta
tersebut.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38 | Tesis
1.7.1 Lokasi Penelitian
Penelitian tentang perumahan muslim sebagai ruang (sosial) ini hanya
akan dibatasi dan difokuskan pada tiga perumahan muslim yang ada di
Yogyakarta, yaitu: perumahan Muslim Darussalam 1 dan 2 yang terletak di
Godean, perumahan Muslim Darussalam 3 yang terletak di Condongcatur, serta
perumahan Muslim Gapura Sitimulya Estate yang terletak di Piyungan, Jalan
Imogiri Km 9. Dua perumahan yang pertama terletak di Kabupaten Sleman.
Sementara yang terakhir terletak di Bantul. Pemilihan dua kabupaten ini dilakukan
karena di Yogyakarta, perumahan-perumahan muslim memang banyak ditemukan
di dua kabupaten tersebut.
Penentuan lokasi dan ketiga perumahan muslim ini dilakukan dengan
beberapa pertimbangan: (1) Perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta
merebak dan terus tumbuh barangkali sampai beberapa tahun ke depan, terutama
di Kabupaten Sleman dan Bantul (2) Yogyakarta merupakan daerah yang
memiliki karakteristik penting, selain karena kemajemukan nilai-nilai, budaya dan
ideologi di dalamnya, Yogyakarta juga menjadi miniatur bangsa yang sering
dijadikan referensi dan rujukan bagi daerah-daerah yang lain. 3) Perumahan
Muslim Darussalam 1 dan 2 dan perumahan Muslim Darussalam 3 relatif
merupakan perumahan muslim awal di Yogyakarta, sedangkan perumahan
Muslim Gapura Sitimulya Estate merupakan perumahan muslim yang relatif baru
dibangun. Berdasarkan pertimbangan atas waktu pemroduksian perumahan-
perumahan muslim tersebut, penulis bisa melihat apakah ada kesamaan dan
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39 | Tesis
perubahan konsep perumahan muslim dari tahun ke tahun di Yogyakarta, terutama
mulai tahun awal 2000-an sampai sekarang ini.
1.7.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu data primer
dan sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah informan, berupa
hasil wawancara mendalam dan hasil observasi (pengamatan) yang dilakukan
mengenai seputar perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Sementara data
sekunder dalam penelitian ini adalah sumber-sumber tertulis, berupa penelitian-
penelitian terdahulu yang dianggap terkait dan relevan dengan penelitian ini.
1.7.3 Teknik Penentuan Informan
Dalam penelitian ini informan ditentukan secara purposive. Informan yang
dipilih adalah orang-orang yang tinggal di perumahan-perumahan muslim, yang
dianggap dan diasumsikan memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang seputar
perumahan-perumahan muslim. Selain orang-orang yang tinggal di perumahan
muslim, beberapa pihak yang dianggap terkait dengan perumahan muslim akan
dijadikan informan penelitian ini, seperti para pengembang dan konseptor
perumahan muslim di Yogyakarta dan lain sebagainya.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam (indepth interview), observasi dan pengamatan, serta studi
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40 | Tesis
dokumen tentang perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta dan lain
sebagainya yang dianggap terkait. Menurut Perti Alasuutari, data-data penelitian
lapangan yang dihasilkan dari teknik pengumpulan data ini bukanlah hasil
penelitian itu sendiri, melainkan hanya sekedar petunjuk-petunjuk (clues), untuk
kemudian diinterpretasikan melalui metode tertentu sehingga ditemukan suatu
tatanan “tersembunyi dari fenomena sosial”, lebih dari sekedar yang tampak di
permukaan (Alasuutari, 1996: 39).
1.7.5 Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini, analisis data akan dilakukan secara deskriptif dan
interpretatif kritis, dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: tahapan
pertama adalah reduksi data, tahapan kedua adalah penyajian dan interpretasi, dan
tahapan terakhir berupa penyimpulan (Denzin, 2009: 591-592).
1.8 Alur dan Sistematika Penulisan
Alur dan sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi ke dalam beberapa
bab, sebagai berikut: Bab I pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, perspektif
teoretik, metodologi dan metode penelitian, serta alur dan sistematika penulisan.
Bab II, berisi tentang ulasan mengenai kebangkitan kelas menengah muslim di
Yogyakarta. Ulasan ini cukup penting, sebab kelas menengah muslim dapat
dianggap sebagai penggerak islamisasi dan sekaligus konsumen terbesar
perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Oleh sebab itu, di dalam bab ini
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41 | Tesis
dieksplorasi bagaimana kemunculan dan perkembangan kelas menengah muslim
di Indonesia, secara lebih spesifik di Yogyakarta. Bab III dan Bab IV, merupakan
bab pembahasan. Dalam Bab III dibahas bagaimana produksi ruang perumahan-
perumahan muslim di Yogyakarta dalam perspektif Henri Lefebvre terutama triad
konseptual atau konsep triadiknya. Lebih tegas, dalam bab ini, melihat bagaimana
praktik spasial, representasi ruang, dan ruang representasional perumahan-
perumahan muslim di Yogyakarta. Sementara Bab IV, membahas relasi dan
kepentingan ekonomi-politik di antara pengembang dan elit kelompok Islam
dalam memproduksi perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Kesimpulan
yang diperoleh dalam penelitian tesis ini, dikemukakan pada Bab V. Selain berisi
kesimpulan yang telah diperoleh, bab ini juga memuat saran bagi penelitian
selanjutnya yang masih terkait.
PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/