1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
World Health Organization pada tahun 2010, mengungkapkan bahwa
10% dari jumlah penduduk dunia merupakan penyandang cacat, kira-kira
mencapai 600 juta jiwa. Sementara data Kementerian Kesehatan Indonesia
tahun 2010 mencatat jumlah orang dengan kebutuhan khusus di Indonesia
mencapai 6,7 juta yang terdiri dari tunanetra, tunawicara, tunarungu, lumpuh dan
jenis kecacatan lain (Muhammadunnas, 2011).
Pada tahun 2012, World Health Organization menuliskan terdapat 285
juta orang mengalami tunanetra di seluruh dunia. 39 juta mengalami kebutaan
dan 246 juta mengalami lemah penglihatan (low vision). Sebanyak 90%
kebutaan terjadi di negara berkembang
(http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fe282/en/).
Menurut Irwanto, Kasim, Fransiska, Lusli, dan Okta (2010), berubahnya
data disabilitas dalam survei BPS dari indikator kesehatan menjadi indikator
kesejahteraan sosial sejak tahun 1998 menimbulkan kesulitan untuk menentukan
besaran yang sebenarnya dari penduduk yang mengalami disabilitas, terutama
karena definisi operasional yang digunakan sering berubah. Hasil berbagai
survei yang tidak bias, seperti RISKESDAS 2007 dan uji coba World Bank tahun
2007, diperkirakan terdapat tidak kurang dari 2-3% penduduk Indonesia dengan
disabilitas yang mengganggu fungsi dan aktivitas sosial sehari-hari.
Kementrian Sosial Republik Indonesia per-Desember 2010 menyebutkan
jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 11.580.117 orang yang terdiri
2
dari tunanetra sebanyak 3. 474.035 orang, tunadaksa sebanyak 3.010.830
orang, tunarungu sebanyak 2.547.626 orang, cacat mental sebanyak 1.389.614
orang, dan cacat kronis sebanyak 1.158.012 orang. Berdasarkan data
Kementrian Sosial ini menunjukkan bahwa tunanetra memiliki jumlah terbesar
dibandingkan dengan jenis kecacatan lainnya. di Yogyakarta misalnya, pada
tahun 2002 berdasarkan data BPS Prropinsi DIY penyandang cacat berat
berjumlah 23.569 jiwa, yang sebanyak 61,20% atau 14.424 jiwa adalah
penyandang tunanetra (Data Bidang Bina Program Dinas Sosial Propinsi DIY,
2004 ; dalam Lestari, 2007).
Terlepas dari besar atau kecilnya angka tersebut, mengingat yang
melekat pada angka tersebut adalah jiwa, maka berapa pun jumlah ini menjadi
angka yang membutuhkan perhatian dan kepedulian seluruh elemen bangsa
serta melekat pada angka itu hak-hak kemanusiaan yang menuntut untuk
dihormati, dipenuhi dan dilindungi.
Seorang ahli psikologi, Alfred Adler (dalam Hall, Lindzey & Campbell,
1997) menyatakan bahwa individu yang dilahirkan dalam keadaan cacat fisik
yang berat beresiko lebih besar untuk mengalami stres dan hambatan
penyesuaian. Kelompok ini harus mengkompensasi kekurangan-kekurangannya,
dan berakibat pada rendahnya rasa percaya diri, lemahnya keberanian dan lebih
sensitif (mudah tersinggung) terhadap sikap orang lain.
Kehilangan penglihatan sering mengakibatkan masalah-masalah sosial,
seperti penolakan oleh lingkungan sosialnya, kesulitan membina hubungan
sosial, dan sikap belas kasihan dan overproteksi dari orang-orang lain (Steffens
& Bergler, 1998 dalam Ben-Zur & Debi, 2005). Terlepas dari semua itu, Helen
Keller (dalam Dodds, 1993) mengamati bahwa hambatan utama bagi individu
3
tunanetra bukan ketunanetraannya itu sendiri, melainkan sikap masyarakat
terhadap tunanetra. Keterbatasan-keterbatasan yang terkait dengan kecacatan
sebagian besar diakibatkan oleh lingkungan yang nonakomodatif dan sikap
diskriminatif, bukan oleh kekurangan fungsional yang terkait dengan kecacatan
itu sendiri (Seelman, 1998 dalam Bellini & Rumrill, 1999).
Dalam keadaan semacam ini, justru difabel sangat membutuhkan
penerimaan dan dukungan sosial agar memiliki harapan untuk hidup bahagia,
sehat dan sejahtera baik fisik maupun psikologis. Penelitian Mazida (2012)
menyimpulkan dukungan sosial menjadi faktor pendukung paling berpengaruh
terhadap pengalaman kesejahteraan psikologis difabel netra. Hal ini
menunjukkan bahwa penerimaan, penghargaan dan pemberian kesempatan
merupakan hal yang sangat berharga. Istilah difabel pun diperkenalkan yang
merupakan akronim dari bahasa Inggris different ability yang berarti orang yang
memiliki kemampuan berbeda, istilah ini dirasa lebih ramah dibanding istilah
penyandang cacat. Istilah ini juga akan penulis gunakan dalam penelitian ini.
Sayangnya, eksklusi, marjinalisasi, dan diskriminasi terhadap difabel
masih menjadi tantangan yang berat bagi peluang mereka untuk hidup setara
dengan masyarakat yang lain. Berdasarkan hasil pendataan Kementerian Sosial
Republik Indonesia pada tahun 2009, sekitar 67,33% penyandang cacat dewasa
tidak mempunyai keterampilan dan pekerjaan. Bagi mereka yang memiliki
pekerjaan, jenis keterampilan utama penyandang cacat adalah pijat,
pertukangan, petani, buruh, dan jasa (Data dari Dinas Sosial Provinsi, dalam
Ro’fah, Supartini, Jahidin, Rozaki, Mulayani, & Aslamah, 2011).
Diungkap oleh Gabel dan Danforth (2008) bahwa Task Force on Higher
Education yang dibentuk Persatuan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000
4
mengartikan pendidikan tinggi sebagai key aspect bagi pembangunan suatu
bangsa khususnya pada era ekonomi global. Dalam kenyataan inilah pendidikan
tinggi bagi difabel merupakan proses difabel mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan untuk hidup di masyarakat sebagai individu bertanggung jawab
serta dapat memiliki kemandirian untuk menentukan kualitas kehidupannya.
Melalui pendidikan tinggi , para difabel dapat meningkatkan akses terhadap
lapangan kerja dan kemandirian ekonomi, lebih dari itu, para difabel dapat
meningkatkan kualitas hidupnya dari berbagai aspek.
Menjangkau pendidikan bukanlah masalah sederhana bagi para difabel.
Secara hukum dan peraturan, pemenuhan hak pendidikan bagi setiap warga
negara termasuk difabel telah dijamin oleh Undang-Undang. Dalam UUD 1945
pasal 28 C (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Pada pasal 1 (1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Memperjelas muatan di atas, Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan dalam Pasal 4 (1) “Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis, dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa”. Dalam Pasal 5 (ayat 1 dan 2) dinyatakan “Setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu”, “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.
5
Puncaknya, pada tanggal 10 November 2011, pemerintah Indonesia telah
mengesahkan Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD).
Pengesahan ini menjadi tanda pemenuhan dan perlindungan hak-hak difabel
yang telah disepakati secara internasional oleh negara-negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini menjadi tanda bahwa setiap elemen
negara wajib mematuhi undang-undang tersebut, termasuk perguruan tinggi.
Menyadari keberadaan jaminan hukum tersebut, negara memiliki kewajiban
untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak pendidikan bagi warga
negaranya, termasuk para difabel (http://www.handicap-international-
id.org/publications/category/21-recomendation-book?download)
Sungguh disayangkan karena ternyata banyak fakta yang belum selaras
dengan semangat di atas. Setiap tahunnya Komnas HAM menerima rata-rata 20
laporan terkait difabilitas. 80% atau sedikitnya 16 laporan terkait sikap
diskriminasi perguruan tinggi pada penyandang difabilitas. Disebutkan hanya
kurang dari 1% difabel yang dapat menempuh pendidikan hingga ke perguruan
tinggi, hal ini tidak terlepas dari sarana dan prasarana yang ada belum
sepenuhnya aksesibel terhadap difabel, baik aspek fisik (bentuk bangunan)
maupun nonfisik (kurikulum, tenaga pengajar dan lain sebagainya), selain itu
sempitnya lapangan kerja bagi difabel juga merupakan persoalan tersendiri
(http://www.surabayapost.co.id/berita)
Firdaus dan Iswahyudi (2010) menemukan kenyataan di lapangan berupa
minimnya sarana pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan serta pelayanan
lainnya yang dibutuhkan oleh para difabel, termasuk aksesibilitas pelayanan
umum yang dapat mempermudah kehidupan difabel dimana sebagian besar
6
hambatan aksesibilitas tersebut berupa hambatan arsitektural, membuat difabel
kehilangan haknya dalam mendapatkan pelayanan yang baik.
Mengamati fenomena umum kaum difabel di Indonesia, masih
memprihatinkan. Ruang publik bagi kaum difabel masih sangat sempit. Fasilitas
publik yang belum ramah difabel, kesempatan pendidikan yang belum terbuka
hingga kesempatan kerja yang nyaris menutup pintu untuk difabel.
Pemandangan kaum difabel ‘menjual’ kecacatan mereka dengan menjadi
peminta-minta kerap ditemukan di masyarakat. Di Indonesia, kaum difabel pada
umumnya digambarkan sebagai seseorang yang tak berdaya, membutuhkan
belas kasihan orang lain, tergantung dan tidak mandiri, selalu membutuhkan
perlindungan dan bantuan. Sayangnya, pandangan negatif tersebut sering
dipertahankan dan diperkuat oleh badan-badan amal demi menggugah hati
banyak orang untuk mendermakan harta yang dimilikinya (Dodds, 1993).
Peneliti sendiri yang sepanjang tahun 2003 hingga tahun 2007 menjadi
pengajar untuk mata ajar Bimbingan mental di Panti Sosial Bina Netra Dinas
Sosial Propinsi DIY, sering menemukan kenyataan bagaimana para difabel netra
mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri dengan peran dan tuntutan sosial
yang ada. AD misalnya, mengalami depresi yang cukup berarti setelah
kehilangan penglihatannya justru di saat ia baru saja diterima bekerja di sebuah
perusahaan, setelah belum lama menyelesaikan studi politeknik jurusan Teknik
Elektronika. Ia harus menerima kenyataan dengan kembali ‘melanjutkan’
studinya di Panti Sosial Bina Netra dengan kompetensi lulusan yang kelak
berprofesi sebagai tukang pijat.
FR, mahasiswa semester empat sebuah universitas negeri di Jawa
Tengah ini, terpaksa menghentikan kuliahnya sejak kehilangan penglihatan yang
7
datang secara mendadak. Ia sempat terpikir untuk bunuh diri dan menamatkan
hidupnya. Begitu juga AS, seorang tunanetra wanita yang cukup cerdas dan
berbakat, menceritakan cita-citanya sejak kecil adalah menjadi guru, namun cita-
cita itu kandas setelah ia kehilangan penglihatannya saat kelas 3 SMP. Sampai
saat ini, di saat usianya sudah menginjak 21 tahun, ia masih mengaku merasa
sedih jika mengingat cita-citanya yang kandas, terlebih jika mendengar kabar
teman sekelasnya dahulu yang telah kuliah di perguruan tinggi atau telah
menjadi guru.
Penelitian Fatimah, Muhrisun dan Andayani (2006) membuktikan bahwa
ada perbedaan yang sangat signifikan dalam hal tingkat eksklusi sosial antara
mahasiswa difabel dan non-difabel di UIN Sunan Kalijaga. Mahasiswa difabel
memiliki tingkat eksklusi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan
mahasiswa nondifabel. Eksklusi sosial meliputi aspek : aksesibilitas fasilitas
umum, aksesibilitas fasilitas dan layanan di perpustakaan, aksesibilitas kegiatan
akademik, aksesibilitas kegiatan sosialisasi dan aktualisasi mahasiswa, serta
beragam bentuk sikap dan tindak diskriminasi.
Sebuah penelitian sekitar empat tahun berikutnya dalam skala yang lebih
luas dilakukan oleh Steff, Mudzakir, dan Andayani (2010) yang bertajuk Equity
and Access To Tertiary Education for Student with Disabilities in Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan yang dihadapi oleh
siswa penyandang cacat dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Tiga puluh
mahasiswa penyandang cacat dari tujuh universitas yang berbeda dan dua
sekolah tinggi inklusif menjadi kancah penelitian. Penelitian ini juga melibatkan
para guru besar, tenaga administrasi dan pustakawan. Hambatan yang
didiskusikan meliputi ranah individu, institusi dan ideologis. Ditemukan fakta
8
bahwa masih sulit bagi seorang penyandang cacat mendaftar dan diterima di
universitas, tidak adanya layanan yang mendukung bagi mahasiswa penyandang
cacat, minimnya bahan akademik yang sudah diadaptasi, tidak memadainya
program pelatihan pribadi, kesenjangan pendanaan dan akses struktur, dan
minimnya kebijakan inklusif untuk memandu universitas.
Dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa meskipun secara hukum,
aksesibilitas pendidikan bagi penyandang cacat telah dijamin, namun
kenyataannya perguruan tinggi belum berperspektif inklusif. Ini berarti
mahasiswa penyandang cacat harus berjuang untuk lulus ujian nasional tanpa
bantuan khusus, mereka diterima jika dapat menyesuaikan diri dan tidak
mengganggu fungsi universitas, mereka hanya akan unggul jika mereka berjuang
tanpa fasilitas dan dukungan dalam perjalanan akademik. Universitas dan
perguruan tinggi belum memainkan peran yang jelas dalam pencapaian tujuan
pembangunan dan membutuhkan reorganisasi nyata untuk sukses.
Beberapa temuan menarik diungkap oleh Setyawaty (2009) dalam
penelitian `Problematika Pembelajaran dan Upaya Pemberian Layanan
Mahasiswa Difabel di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga`. Mahasiswa
difabel memiliki rasa cemas yang menonjol saat menjelang ujian tengah atau
akhir semester karena takut tidak mendapatkan pendamping pembaca soal.
Selain itu, mereka juga merasakan kecemasan saat mencari buku di
perpustakaan, perasaan rendah diri dan merasa takut merepotkan saat mereka
membutuhkan bantuan orang lain.
SW yang IPK nya kurang dari 1,5 dalam kesempatan penelitian
pendahuluan pada tanggal 10 Agustus 2011 mengungkapkan :
9
“Saya sudah tidak betah kuliah Bu, tidak ada teman yang mengerti saya, Saya tidak enak kalau minta bantuan terus. Tapi saya kasian sama orang tua yang sudah membiayai”
(SW, 10 Agustus 2011)
Dalam perkembangan terakhir, terdapat penemuan menarik dari Evianti
(2012) yang menunjukkan bahwa UIN Sunan Kalijaga melalui PSLD sudah
menggunakan model pendidikan inklusi penuh, dimana mahasiswa difabel
belajar bersama dengan mahasiswa normal tanpa ada perbedaan kurikulum.
Perkembangan terakhir ini menunjukkan kemajuan yang semakin
menggembirakan. Kenyataan ini justru menuntut perubahan selaras dalam iklim
sosial di UIN Sunan Kalijaga. Penyamaan kurikulum bagi difabel dan nondifabel
dalam aktifitas kuliah bersama, membutuhkan lebih banyak kepedulian dan
tanggung jawab sosial di sekitarnya.
Fenomena hadirnya para mahasiswa difabel netra di perguruan tinggi
sungguh merupakan kenyataan yang membesarkan hati. Terlebih fenomena
hadirnya mahasiswa difabel netra yang mampu ‘berselancar’ di tengah ‘arus dan
ombak’ perguruan tinggi. Tidak terbayang bagaimana perjuangan mereka
menjangkau dan menikmati kehidupan perguruan tinggi, di tengah-tengah
kondisi masyarakat kampus yang sebagian besar belum ‘melek’ terhadap
keberadaan mereka. Cita-cita segelintir kaum difabel netra untuk meraih
pendidikan di perguruan tinggi ini bukanlah tidak beralasan.
Di balik keterbatasannya, difabel berhak untuk memiliki hidup yang
bermakna. Ungkapan seperti “makna dalam derita” (meaning in suffering) atau
“hikmah dalam musibah” (blessing in disguise), menurut Bastaman (2007)
menunjukkan bahwa dalam penderitaan sekalipun makna hidup tetap dapat
ditemukan, bila hasrat ini dapat dipenuhi maka kehidupan yang dirasakan
10
berguna, berharga, dan berarti (meaningfull) akan dialami. Sebaliknya bila hasrat
ini tak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna
(meaningless).
Menjadi difabel, tunanetra khususnya, bukanlah sebuah pilihan. Mereka
menerima kenyataan kehilangan penglihatan sebagai takdir dan ketetapan.
Namun, keinginan untuk meraih impian dan cita-cita, mengaktualisasikan
potensi, meraih kehidupan masa depan yang lebih berarti tentu mereka miliki,
seperti layaknya manusia yang lain. Setidaknya hal ini terungkap dari wawancara
awal peneliti, VD yang ber IPK 3,38 ini mengaku pada awalnya ia harus
berusaha keras mengubah image teman-temannya terhadap kemampuannya.
Seperti diungkap olehnya pada tanggal 5 September 2011:
“Pertama kali ikut presentasi makalah, biasanya imej temen-temen, kamu ikut saja, kami yang bacakan. Saya ndak mau. Saya pasang laptop, saya pake program Jawz, saya pasang kabel LCD, Saya presentasi. Mereka heran. Oh ternyata bisa tho sendiri kata teman saya”
(VD, 5 September 2011) Begitu pula FR, pada tanggal 5 September 2011, mahasiswa yang
sedang menyelesaikan skripsi tahap akhirnya ini mengaku begitu panjang dan
berliku perjalanannya untuk menjangkau perguruan tinggi. Awalnya ia adalah
mahasiswa perguruan tinggi di Jawa Tengah. Kehilangan penglihatan yang
dialami di semester empat membuatnya merasa terhempas, pernyataan FR:
“Awalnya saya kayak mayat hidup Bu, mati ra gelem, hidup yo piye. Terus terang saya sempat berfikir untuk bunuh diri, Bu”.
(FR, 5 September 2011)
Saat ini, ia telah melanjutkan studinya di Universitas Islam Sunan Kalijaga
Yogyakarta, sedang menyelesaikan skripsinya, telah mengantongi IPK 3,45
bahkan menjalani studi dan menikah serta telah dikarunia seorang putra. Ia
11
mengaku banyak pengalaman berharga yang ia temukan untuk bangkit. Salah
satu hal istimewa yang diungkapnya berikut ini:
“Saya ditanya sama Pakde saya, ‘Nang, kowe ngerti cacing?’, ‘Ngerti Pakde’, ‘Cacing nduwe moto ra?’, ‘Mboten Pakde’, ‘Nduwe tangan karo sikil ora?’, ‘Mboten Pakde’, ‘Urip ora?’, ‘Urip Pakde’, trus saya mikir, kok aku kalah karo cacing. Itulah Bu saat saya hidup kembali setelah menjadi mayat hidup selama hampir tiga tahun, sejak putus kuliah”.
Ungkapan-ungkapan difabel netra ini menarik bagi peneliti karena
memuat sebuah dinamika proses perolehan kebermaknaan hidup yang tentu
akan semakin menarik jika digali dan membuat peneliti dapat memahami lebih
dalam akan fenomena ini. Frankl (1992) percaya bahwa perjuangan untuk
menemukan makna dalam hidup seseorang merupakan motivasi utama dalam
hidup. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning (1992), Frankl menceritakan
penelitiannya terhadap 7.948 mahasiswa dari empat puluh delapan Perguruan
tinggi . Ketika mahasiswa ditanyai, apa yang ‘sangat penting’ bagi mereka saat
ini, 16% menjawab mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan 78%
menjawab bahwa sasaran utama hidup mereka adalah menemukan tujuan dan
makna hidup.
Menurut Bastaman (1996) dalam proses perubahan dari penghayatan
hidup tak bermakna menjadi lebih bermakna seseorang melewati berbagai
dinamika dan pengalaman yang dapat digambarkan dalam tahapan berikut :
Tahap Derita (peristiwa tragis, penghayatan tampa makna), Tahap Penerimaan
Diri (pemahaman diri, pengubahan sikap), Tahap Penemuan Makna Hidup
(penemuan makna dan penemuan tujuan- tujuan hidup), Tahap Realisasi Makna
(keikatan diri, kegiatan terarah untuk pemenuhan makna hidup), Tahap
Kehidupan Bermakna (penghayatan bermaknaan, kebahagiaan).
12
Semangat dan motivasi para difabel netra menemukan salah satu
bentuknya dalam perjuangan mereka mencapai dan menikmati perguruan tinggi
.Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta merupakan salah satu
universitas yang memiliki Pusat Studi dan Layanan Difabilitas (PSLD). Di sinilah
salah satu tempat para mahasiswa difabel berkumpul. Selain mengusahakan
pengadaan sarana belajar dan aksesibilitas bagi penyandang difabilitas, lembaga
ini juga menyediakan informasi dan merekrut mahasiswa yang tidak
berkebutuhan khusus agar dapat membantu sebagai relawan. Lebih dari itu,
lembaga ini berperan untuk memfasilitasi terbentuknya kampus sebagai
lingkungan belajar yang aksesibel, inklusif dan demokratis dimana perbedaan
dan keragaman karakteristik semua mahasiswa diakui dan dihargai (Ro’fah,
Andayani, & Muhrisun, 2010).
Keberadaan PSLD merupakan sebuah realitas yang membanggakakan,
meski demikian menurut data PSLD, sejumlah difabel mampu mengakses
perguruan tinggi tanpa adanya kebijakan khusus yang menjamin partisipasi
difabel pada pendidikan tinggi. Tercatat 32 mahasiswa difabel netra yang
tersebar di berbagai fakultas. Ditemukan bahwa mahasiswa-mahasiswa tersebut
harus berjuang mengatasi berbagai hambatan untuk mampu menjalankan fungsi
akademik dan sosialnya tanpa dukungan dan layanan formal dari pihak
universitas.
Lebih jauh lagi, menurut Ro’fah, dkk., (2011), jenjang pendidikan tinggi
merupakan jenjang yang paling sulit dijangkau oleh difabel atau penyandang
disabilitas, disebabkan berbagai faktor, di antaranya: masih banyak kampus yang
tidak menerima mahasiswa difabel dengan alasan tidak sehat jasmani dan
ruhani; masih adanya asumsi yang kuat di kalangan pemegang kebijakan dunia
13
pendidikan bahwa pendidikan tinggi bukan untuk difabel; masih banyak institusi
pendidikan tinggi yang tidak aksesibel bagi difabel, baik kurikulum, media
pembelajaran, maupun layanan kampus seperti perpustakaan, laboratorium,
lambaga bahasa dan sebagainya; rendahnya kualitas pendidikan difabel pada
tingkatan pendidikan sebelumnya; sebagian besar dosen belum memahami
bagaimana mengajar untuk kelas inklusi bersama difabel; aksesibilitas bangunan
bagi difabel masih rendah; belum ada unit layanan difabel di kampus, kecuali di
PSLD UIN Sunan Kalijaga; mahasiswa umum belum memahami bagaimana
berinteraksi dengan mahasiswa difabel; dan masih terjadi diskriminasi dalam
proses akademis dan sosial di perguruan tinggi.
Terakhir tercatat terdapat 37 mahasiswa difabel di Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka), 3 orang difabel tunarungu, 3 orang difabel
tunadaksa dan 31 orang difabel netra (PSLD UIN Sunan Kalijaga, 8 Oktober
2011). Berdasar sisa kemampuan penglihatan, difabel netra ini tergolong menjadi
dua, yaitu mereka yang buta total (total blind) dan mereka yang masih memiliki
sebagian kecil penglihatan (low vision). Sementara berdasar riwayat
ketunanetraan, di antara mereka ada yang tunanetra sejak lahir dan tunanetra
pada usia tertentu. Berdasarkan observasi dan wawancara awal peneliti,
tunanetra tergolong total blind dengan riwayat mengalami tunanetra pada usia
tertentu membutuhkan kemampuan penyesuaian diri yang lebih terkendala.
Selaras seperti diungkap Ro’fah dan Muhrisun (2010) bahwa seseorang
yang mengalami difabel tidak sejak lahir atau mengalami ketunanetraan yang
disebabkan oleh faktor dari luar (eksternal) lebih memerlukan waktu untuk
memiliki adaptasi dan menerima keadaan dirinya daripada yang mengalami sejak
lahir. Hal ini dibenarkan pula oleh hasil penelitian Lestari (2007). Seperti yang
14
dialami Wt, yang pada wawancara pendahuluan tanggal 17 September 2011
menyatakan :
“Saya tidak bisa menerima kenyataan, kenapa saya harus kalah, kenapa cita-cita saya gagal. Setiap saya hendak melakukan sesuatu, saya ujung-ujungnya menangis, kadang ngamuk, karena merasa ndak bisa liat, ndak bisa lagi seperti dulu. Saya depresi. Papa saya bingung, Mama saya nangis. Selama dua tahun saya berjuang menerima kekalahan.”
(Wt,17 September 2011)
Fenomena ini mendukung peneliti untuk memahami lebih jauh dan lebih
dalam lagi terkait fenomena kebermaknaan hidup difabel netra yang mengalami
kehilangan penglihatan setelah usia tertentu dan tergolong total blind, dalam
konteks perjuangan mereka untuk mengakses dan menjangkau serta menikmati
kehidupan di perguruan tinggi. Konteks ini juga tidak terlepas dari masa
perkembangan dewasa awal yang mereka jalani, pada masa ini berbagai
tuntutan sosial mewarnai peran-peran mereka. Dewasa awal merupakan suatu
masa penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan yang baru, dan harapan-
harapan sosial yang baru (Hurlock, 1980).
Lebih jauh dari itu diharapkan penelitian ini dapat menggambarkan profil
mahasiswa tunanetra yang berhasil menikmati perjuangannya di perguruan tinggi
untuk menginspirasi para siswa difabel netra yang masih duduk di sekolah
tingkat lanjut untuk berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik.
B. Pertanyaan Penelitian
Tidaklah mudah bagi para mahasiswa difabel netra untuk meretas jalan
menuju perguruan tinggi, kemudian melewati berbagai tuntutan peran sebagai
mahasiswa hingga menjemput hari istimewa saat toga dikenakan di kepala.
Perjuangan masih berlanjut untuk menghadapi realitas pasca kampus. Sekalipun
UIN Sunan Kalijaga sudah lebih melek terhadap keberadaan difabel, namun
15
belum cukup untuk menjadi masyarakat kampus yang ramah difabel.
Terbatasnya sarana yang aksesibel untuk mengakomodasi keberadaan mereka
bertemu dengan keadaan mereka yang memang mengalami keterbatasan
secara fungsi organ visual dan bergulat dengan tugas perkembangan di masa
dewasa awal.
Keberadaan mahasiswa difabel netra di UIN Sunan Kalijaga sungguh
merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti. Di balik fenomena ini, peneliti
tertantang untuk melihat sebagian potensi dan kualitas insani yang layak untuk
semakin banyak dikaji. Menyadari fenomena ini, peneliti ingin mengungkap lebih
dalam dan memahami lebih dekat melalui teori kebermaknaan hidup, bagaimana
fenomena kebermaknaan hidup hadir dalam perjuangan difabel netra
menjangkau dan menjalani kehidupan perguruan tinggi, bagaimana fenomena
tahapan menuju kehidupan bermakna yang digambarkan Bastaman (1996)
dalam tahapan sebagai berikut: Tahap Derita (peristiwa tragis, penghayatan
tampa makna), Tahap Penerimaan Diri (pemahaman diri, pengubahan sikap),
Tahap Penemuan Makna Hidup (penemuan makna dan penemuan tujuan- tujuan
hidup), Tahap Realisasi Makna (keikatan diri, kegiatan terarah untuk pemenuhan
makna hidup), Tahap Kehidupan Bermakna (penghayatan bermaknaan,
kebahagiaan); bagaimana nilai-nilai kreatifitas, nilai-nilai penghayatan dan nilai-
nilai bersikap muncul dalam proses tersebut?; bagaimana kebebasan,
tanggungjawab dan spiritualitas mewarnai motivasi dan perjuangan mereka?;
apa makna menjadi mahasiswa bagi mereka?, apa saja fenomena yang mereka
temui dalam perjalanan menikmati perguruan tinggi?, bagaimana mereka
memaknai kenyataan-kenyataan sepanjang perjalanan tersebut yang bahkan
tidak dapat mereka indera secara visual?.
16
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami proses penemuan makna hidup
dan makna di balik keterbatasan mahasiswa difabel netra dalam perjuangannya
menjangkau dan menjalani studi di UIN Sunan Kalijaga.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan
ilmu psikologi klinis dalam arti yang luas yaitu mengkaji gelaja-gejala yang
mengurangi peluang manusia untuk bahagia. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan dasar pemahaman bagaimana makna hidup dapat menuntun dan
mengarahkan energi mereka yang mengalami disabilitas khususnya tunanetra
untuk mencapai cita-cita dan kebahagiaan hidup.
Manfaat praktis penelitian ini sebagai bahan evaluasi dan pengembangan
program untuk meningkatkan kebermaknaan hidup difabel netra. Penelitian ini
secara praktis juga diharapkan dapat menginspirasi mahasiswa baik yang
difabel maupun nondifabel untuk meningkatkan arti penting dan makna hidup
dalam peran mereka sebagai mahasiswa di perguruan tinggi khususnya dan
dalam kehidupan umumnya.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang terkait dengan kebermaknaan hidup mulai banyak
dilakukan. Sebagian besar penelitian dengan pendekatan kualitatif tentang
kebermaknaan hidup dilakukan terhadap responden dengan karakteristik yang
mengandung fenomena penderitaan, kesakitan atau keunikan. Puspasari dan
Alfian (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui makna
hidup penyandang cacat fisik postnatal. Putri dan Ambarini (2012) meneliti
17
pemaknaan hidup dua orang skizofrenia yang pernah dirawat di Rumah Sakit
Jiwa Menur, Surabaya.
Lubis dan Priyanti (2009) melakukan penelitian untuk mengungkap
penemuan makna hidup dan sumber makna hidup pasien kanker leher rahim.
Sedangkan penelitian yang mengungkap makna hidup difabel dilakukan oleh
Nasirin (2010) yang meneliti kebermaknaan hidup difabel dalam sebuah studi
kasus terhadap difabel amputasi kaki. Sementara Wahyuni (2010) meneliti
tentang makna hidup penyandang cacat tunanetra yang berprofesi sebagai
tukang pijat yang melibatkan dua subjek penelitian.
Penelitian dengan pendekatan kuantitatif tentang kebermaknaan hidup
berusaha untuk melihat hubungan kebermaknaan hidup dengan variabel
psikologis lainnya. Satyaningtyas dan Abdullah (2010) dengan tema Penerimaan
Diri dan kebermaknaan Hidup Penyandang Cacat Fisik, berhasil membuktikan
hipotesanya. Penelitian Haryanto, Ustam, dan Setyowati (2008) bertujuan
untuk menguji secara empirik hubungan kebermaknaan hidup dan emotional
focused coping dengan kecenderungan bunuh diri.
Dalam hubungan kebermaknaan hidup dan aktifitas noetic atau spiritual,
Astuti (2003) melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan
antara penghayatan makna shalat dengan kebermaknaan hidup pada siswa
Madrasah Aliyah Negeri Tempel Sleman Yogyakarta. Pihasniwati (2007)
mengkaji tentang fenomena muallaf yang melihat konversi agama sebagai
pemenuhan makna hidup; dan aktifitas tadabur Al Qur’an sebagai salah satu
sumber kebermaknaan hidup. Gumilar dan Uyun (2008) mengkaji hubungan
kebersyukuran menurut syariat Islam dengan kebermaknaan hidup pada
mahasiswa dengan hasil penelitian yang menyatakan hipotesis diterima, ada
18
hubungan positif yang sangat signifikan antara kebersyukuran dan kebemaknaan
hidup mahasiswa Universitas Islam Indonesia.
Penelitian Cohen dan Caims (2001) mengungkap hubungan negatif
antara tingkat pencarian makna yang tinggi dalam hidup dengan kesejahteraan
subjektif serta efek moderasi positif bahwa kehadiran makna dan aktualisasi diri
terhadap nilai kebahagiaan ketika individu mencari makna dalam kehidupan.
Sebuah penelitian yang lain bertajuk ,”Meaning of Life for Adolescents
with A Physical Disability in Korea yang dilakukan oleh Kim dan Kang (2003)
bertujuan untuk memahami bagaimana remaja dengan cacat fisik melihat makna
di dalam hidup mereka yang dapat memberi harapan bagi mereka untuk
menemukan tujuan dan nilai hidup mereka sendiri.
Penelitian yang lain dilakukan oleh Rathi dan Rastogi (2007) yang
berjudul “Meaning in Life and Psychological Well-Being in Pre-Adolescents and
Adolescents”. Studi ini meneliti makna dalam kehidupan dan kesejahteraan
psikologis pada siswa pria dan perempuan periode pra-remaja dan remaja.
Penelitian Brassai, Piko, dan Steger (2011) dengan tajuk Meaning in Life:
Is It a Protective Factor for Adolescents’ Psychological health?, bermaksud untuk
mengkaji makna hidup sebagai faktor protektif pada populasi remaja Rumania
umumnya. Penelitian ini juga berupaya untuk memperoleh asesmen multidimensi
yang mencakup beberapa variabel yang berhubungan dengan kesehatan
(penyalahgunaan zat, perilaku berisiko kesehatan, kesehatan psikologis).
Hasil penelitian Santos, Magramo, Oguan, Paat, dan Barnachea (2012)
yang berjudul Meaning in Life and Subjective Well-Being: is a Satisfying Life
Meaningful ? dengan subjek sebanyak 969 mahasiswa dari berbagai sekolah di
19
Filipina, menunjukkan bahwa makna hidup dan kesejahteraan subjektif memiliki
hubungan yang positif.
Penelitian yang terkait dengan subjek penyandang cacat antara lain,
Pinquart dan Pfeiffer (2012) melakukan penelitian kuantitatif yang bertujuan
untuk mengetahui citra tubuh pada 177 remaja Jerman yang tunanetra dan 531
remaja Jerman yang tidak mengalami tunanetra. Rosenblum (2000) dengan
penelitian bertajuk Perceptions of the Impact of Visual Impairment on the Lives of
Adolescent yang melibatkan sepuluh remaja tunanetra dan teman-teman
terdekat mereka bertujuan untuk melihat dampak tunanetra terhadap keluarga,
sekolah, dan hubungan sebaya mereka.
Penelitian terkait difabel netra dilakukan Broto (2009) yang meneliti
tentang alternatif pendidikan Universitas Terbuka dan Jarak Jauh sebagai
alternatif pemenuhan hak pendidikan tinggi difabel. Penelitian Lestari (2007)
bertujuan untuk melihat bagaimana pengajian keislaman dapat meningkatkan
rasa percaya diri klien tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Yogyakarta. Khusnia
dan Rahayu (2010), mencoba melihat hubungan antara dukungan sosial dan
kepercayaan diri remaja tunanetra.
Sementara penelitian dengan subjek difabel netra di UIN Sunan Kalijaga
dilakukan oleh Setyawaty (2009) mengungkap tentang problematika
pembelajaran dan upaya pemberian layanan mahasiswa difabel di Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga. Sumaryanto (2011) mencoba mengkaji upaya
Pusat Studi Layanan Difabel dalam membantu keberhasilan belajar mahasiswa
tunanetra. Penelitian Aminah (2010) bertujuan untuk mengetahui secara dalam
bagaimana aksesibilitas pendidikan termanifestasikan di Pusat Studi dan
Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga.
20
Evianti (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat peran
Pusat studi dan Layanan Difabel dalam pendidikan inklusi bagi mahasiswa
difabel Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puasa
(2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk memahami strategi
komunikasi para relawan Pusat Studi dan layanan Difabel dalam berkomunikasi
dengan mahasiswa difabel.
Maknunatin (2010) meneliti tentang pengaruh konsep diri terhadap
motivasi belajar mahasiswa tunanetra fakultas tarbiyah Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga. Wahana (2009) melihat lebih jauh tentang motivasi belajar
mahasiswa tunanetra Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Mazida (2012)
meneliti tentang kesejahteraan psikologis mahasiswa tunanetra melalui
pendekatan kualitatif fenomenologi.
Penelitian Fatimah, dkk., (2006) yang bertajuk “Eksklusi Sosial
Mahasiswa Difabel dalam Komunitas Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta”,
berupaya mengungkap adanya perbedaan yang sangat signifikan dalam hal
tingkat eksklusi sosial antara mahasiswa difabel dan non difabel di UIN Sunan
Kalijaga.
Dalam skala kebijakan, penelitian tentang difabel dilakukan oleh tim dari
PSLD UIN Sunan Kalijaga dan Departemen Sosial (Ro’fah, dkk, 2011) yang
menghasilkan Laporan akhir kajian akademik raperda penyandang disabilitas
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang menghasilkan banyak rekomendasi
penting untuk raperda terkait peraturan penyandang disabilitas di Propinsi
Daerah istimewa Yogyakarta.
Hasil penelitian Steff, dkk., (2010) yang bertajuk Equity and Access To
Tertiary Education for Student with Disabilities in Indonesia menyimpulkan bahwa
21
masih sulit bagi seorang penyandang cacat mendaftar dan diterima di
universitas, tidak adanya layanan yang mendukung bagi mahasiswa penyandang
cacat, minimnya bahan akademik yang sudah diadaptasi, tidak memadainya
program pelatihan pribadi, kesenjangan pendanaan dan akses struktur, dan
minimnya kebijakan inklusif untuk memandu universitas.
Berdasarkan penelusuran hasil penelitian di atas, belum dilakukan
penelitian mengenai dinamika penemuan kebermaknaan hidup mahasiwa difabel
netra. Keaslian penelitian ini menekankan pada pemahaman dinamika proses
kebermaknaan hidup yang menjadi bagian penting dalam pencapaian
kesejahteraan difabel netra.