21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization pada tahun 2010, mengungkapkan bahwa 10% dari jumlah penduduk dunia merupakan penyandang cacat, kira-kira mencapai 600 juta jiwa. Sementara data Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2010 mencatat jumlah orang dengan kebutuhan khusus di Indonesia mencapai 6,7 juta yang terdiri dari tunanetra, tunawicara, tunarungu, lumpuh dan jenis kecacatan lain (Muhammadunnas, 2011). Pada tahun 2012, World Health Organization menuliskan terdapat 285 juta orang mengalami tunanetra di seluruh dunia. 39 juta mengalami kebutaan dan 246 juta mengalami lemah penglihatan (low vision). Sebanyak 90% kebutaan terjadi di negara berkembang (http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fe282/en/). Menurut Irwanto, Kasim, Fransiska, Lusli, dan Okta (2010), berubahnya data disabilitas dalam survei BPS dari indikator kesehatan menjadi indikator kesejahteraan sosial sejak tahun 1998 menimbulkan kesulitan untuk menentukan besaran yang sebenarnya dari penduduk yang mengalami disabilitas, terutama karena definisi operasional yang digunakan sering berubah. Hasil berbagai survei yang tidak bias, seperti RISKESDAS 2007 dan uji coba World Bank tahun 2007, diperkirakan terdapat tidak kurang dari 2-3% penduduk Indonesia dengan disabilitas yang mengganggu fungsi dan aktivitas sosial sehari-hari. Kementrian Sosial Republik Indonesia per-Desember 2010 menyebutkan jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 11.580.117 orang yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S2-2014-260210-chapter1.pdf1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization pada tahun 2010,

  • Upload
    lamque

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

World Health Organization pada tahun 2010, mengungkapkan bahwa

10% dari jumlah penduduk dunia merupakan penyandang cacat, kira-kira

mencapai 600 juta jiwa. Sementara data Kementerian Kesehatan Indonesia

tahun 2010 mencatat jumlah orang dengan kebutuhan khusus di Indonesia

mencapai 6,7 juta yang terdiri dari tunanetra, tunawicara, tunarungu, lumpuh dan

jenis kecacatan lain (Muhammadunnas, 2011).

Pada tahun 2012, World Health Organization menuliskan terdapat 285

juta orang mengalami tunanetra di seluruh dunia. 39 juta mengalami kebutaan

dan 246 juta mengalami lemah penglihatan (low vision). Sebanyak 90%

kebutaan terjadi di negara berkembang

(http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fe282/en/).

Menurut Irwanto, Kasim, Fransiska, Lusli, dan Okta (2010), berubahnya

data disabilitas dalam survei BPS dari indikator kesehatan menjadi indikator

kesejahteraan sosial sejak tahun 1998 menimbulkan kesulitan untuk menentukan

besaran yang sebenarnya dari penduduk yang mengalami disabilitas, terutama

karena definisi operasional yang digunakan sering berubah. Hasil berbagai

survei yang tidak bias, seperti RISKESDAS 2007 dan uji coba World Bank tahun

2007, diperkirakan terdapat tidak kurang dari 2-3% penduduk Indonesia dengan

disabilitas yang mengganggu fungsi dan aktivitas sosial sehari-hari.

Kementrian Sosial Republik Indonesia per-Desember 2010 menyebutkan

jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 11.580.117 orang yang terdiri

2

dari tunanetra sebanyak 3. 474.035 orang, tunadaksa sebanyak 3.010.830

orang, tunarungu sebanyak 2.547.626 orang, cacat mental sebanyak 1.389.614

orang, dan cacat kronis sebanyak 1.158.012 orang. Berdasarkan data

Kementrian Sosial ini menunjukkan bahwa tunanetra memiliki jumlah terbesar

dibandingkan dengan jenis kecacatan lainnya. di Yogyakarta misalnya, pada

tahun 2002 berdasarkan data BPS Prropinsi DIY penyandang cacat berat

berjumlah 23.569 jiwa, yang sebanyak 61,20% atau 14.424 jiwa adalah

penyandang tunanetra (Data Bidang Bina Program Dinas Sosial Propinsi DIY,

2004 ; dalam Lestari, 2007).

Terlepas dari besar atau kecilnya angka tersebut, mengingat yang

melekat pada angka tersebut adalah jiwa, maka berapa pun jumlah ini menjadi

angka yang membutuhkan perhatian dan kepedulian seluruh elemen bangsa

serta melekat pada angka itu hak-hak kemanusiaan yang menuntut untuk

dihormati, dipenuhi dan dilindungi.

Seorang ahli psikologi, Alfred Adler (dalam Hall, Lindzey & Campbell,

1997) menyatakan bahwa individu yang dilahirkan dalam keadaan cacat fisik

yang berat beresiko lebih besar untuk mengalami stres dan hambatan

penyesuaian. Kelompok ini harus mengkompensasi kekurangan-kekurangannya,

dan berakibat pada rendahnya rasa percaya diri, lemahnya keberanian dan lebih

sensitif (mudah tersinggung) terhadap sikap orang lain.

Kehilangan penglihatan sering mengakibatkan masalah-masalah sosial,

seperti penolakan oleh lingkungan sosialnya, kesulitan membina hubungan

sosial, dan sikap belas kasihan dan overproteksi dari orang-orang lain (Steffens

& Bergler, 1998 dalam Ben-Zur & Debi, 2005). Terlepas dari semua itu, Helen

Keller (dalam Dodds, 1993) mengamati bahwa hambatan utama bagi individu

3

tunanetra bukan ketunanetraannya itu sendiri, melainkan sikap masyarakat

terhadap tunanetra. Keterbatasan-keterbatasan yang terkait dengan kecacatan

sebagian besar diakibatkan oleh lingkungan yang nonakomodatif dan sikap

diskriminatif, bukan oleh kekurangan fungsional yang terkait dengan kecacatan

itu sendiri (Seelman, 1998 dalam Bellini & Rumrill, 1999).

Dalam keadaan semacam ini, justru difabel sangat membutuhkan

penerimaan dan dukungan sosial agar memiliki harapan untuk hidup bahagia,

sehat dan sejahtera baik fisik maupun psikologis. Penelitian Mazida (2012)

menyimpulkan dukungan sosial menjadi faktor pendukung paling berpengaruh

terhadap pengalaman kesejahteraan psikologis difabel netra. Hal ini

menunjukkan bahwa penerimaan, penghargaan dan pemberian kesempatan

merupakan hal yang sangat berharga. Istilah difabel pun diperkenalkan yang

merupakan akronim dari bahasa Inggris different ability yang berarti orang yang

memiliki kemampuan berbeda, istilah ini dirasa lebih ramah dibanding istilah

penyandang cacat. Istilah ini juga akan penulis gunakan dalam penelitian ini.

Sayangnya, eksklusi, marjinalisasi, dan diskriminasi terhadap difabel

masih menjadi tantangan yang berat bagi peluang mereka untuk hidup setara

dengan masyarakat yang lain. Berdasarkan hasil pendataan Kementerian Sosial

Republik Indonesia pada tahun 2009, sekitar 67,33% penyandang cacat dewasa

tidak mempunyai keterampilan dan pekerjaan. Bagi mereka yang memiliki

pekerjaan, jenis keterampilan utama penyandang cacat adalah pijat,

pertukangan, petani, buruh, dan jasa (Data dari Dinas Sosial Provinsi, dalam

Ro’fah, Supartini, Jahidin, Rozaki, Mulayani, & Aslamah, 2011).

Diungkap oleh Gabel dan Danforth (2008) bahwa Task Force on Higher

Education yang dibentuk Persatuan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000

4

mengartikan pendidikan tinggi sebagai key aspect bagi pembangunan suatu

bangsa khususnya pada era ekonomi global. Dalam kenyataan inilah pendidikan

tinggi bagi difabel merupakan proses difabel mendapatkan pengetahuan dan

keterampilan untuk hidup di masyarakat sebagai individu bertanggung jawab

serta dapat memiliki kemandirian untuk menentukan kualitas kehidupannya.

Melalui pendidikan tinggi , para difabel dapat meningkatkan akses terhadap

lapangan kerja dan kemandirian ekonomi, lebih dari itu, para difabel dapat

meningkatkan kualitas hidupnya dari berbagai aspek.

Menjangkau pendidikan bukanlah masalah sederhana bagi para difabel.

Secara hukum dan peraturan, pemenuhan hak pendidikan bagi setiap warga

negara termasuk difabel telah dijamin oleh Undang-Undang. Dalam UUD 1945

pasal 28 C (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri

melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan

memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,

demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Pada pasal 1 (1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.

Memperjelas muatan di atas, Undang-Undang Sistem Pendidikan

Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan dalam Pasal 4 (1) “Pendidikan

diselenggarakan secara demokratis, dan berkeadilan serta tidak diskriminatif

dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,

dan kemajemukan bangsa”. Dalam Pasal 5 (ayat 1 dan 2) dinyatakan “Setiap

warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang

bermutu”, “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,

intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

5

Puncaknya, pada tanggal 10 November 2011, pemerintah Indonesia telah

mengesahkan Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD).

Pengesahan ini menjadi tanda pemenuhan dan perlindungan hak-hak difabel

yang telah disepakati secara internasional oleh negara-negara anggota

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini menjadi tanda bahwa setiap elemen

negara wajib mematuhi undang-undang tersebut, termasuk perguruan tinggi.

Menyadari keberadaan jaminan hukum tersebut, negara memiliki kewajiban

untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak pendidikan bagi warga

negaranya, termasuk para difabel (http://www.handicap-international-

id.org/publications/category/21-recomendation-book?download)

Sungguh disayangkan karena ternyata banyak fakta yang belum selaras

dengan semangat di atas. Setiap tahunnya Komnas HAM menerima rata-rata 20

laporan terkait difabilitas. 80% atau sedikitnya 16 laporan terkait sikap

diskriminasi perguruan tinggi pada penyandang difabilitas. Disebutkan hanya

kurang dari 1% difabel yang dapat menempuh pendidikan hingga ke perguruan

tinggi, hal ini tidak terlepas dari sarana dan prasarana yang ada belum

sepenuhnya aksesibel terhadap difabel, baik aspek fisik (bentuk bangunan)

maupun nonfisik (kurikulum, tenaga pengajar dan lain sebagainya), selain itu

sempitnya lapangan kerja bagi difabel juga merupakan persoalan tersendiri

(http://www.surabayapost.co.id/berita)

Firdaus dan Iswahyudi (2010) menemukan kenyataan di lapangan berupa

minimnya sarana pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan serta pelayanan

lainnya yang dibutuhkan oleh para difabel, termasuk aksesibilitas pelayanan

umum yang dapat mempermudah kehidupan difabel dimana sebagian besar

6

hambatan aksesibilitas tersebut berupa hambatan arsitektural, membuat difabel

kehilangan haknya dalam mendapatkan pelayanan yang baik.

Mengamati fenomena umum kaum difabel di Indonesia, masih

memprihatinkan. Ruang publik bagi kaum difabel masih sangat sempit. Fasilitas

publik yang belum ramah difabel, kesempatan pendidikan yang belum terbuka

hingga kesempatan kerja yang nyaris menutup pintu untuk difabel.

Pemandangan kaum difabel ‘menjual’ kecacatan mereka dengan menjadi

peminta-minta kerap ditemukan di masyarakat. Di Indonesia, kaum difabel pada

umumnya digambarkan sebagai seseorang yang tak berdaya, membutuhkan

belas kasihan orang lain, tergantung dan tidak mandiri, selalu membutuhkan

perlindungan dan bantuan. Sayangnya, pandangan negatif tersebut sering

dipertahankan dan diperkuat oleh badan-badan amal demi menggugah hati

banyak orang untuk mendermakan harta yang dimilikinya (Dodds, 1993).

Peneliti sendiri yang sepanjang tahun 2003 hingga tahun 2007 menjadi

pengajar untuk mata ajar Bimbingan mental di Panti Sosial Bina Netra Dinas

Sosial Propinsi DIY, sering menemukan kenyataan bagaimana para difabel netra

mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri dengan peran dan tuntutan sosial

yang ada. AD misalnya, mengalami depresi yang cukup berarti setelah

kehilangan penglihatannya justru di saat ia baru saja diterima bekerja di sebuah

perusahaan, setelah belum lama menyelesaikan studi politeknik jurusan Teknik

Elektronika. Ia harus menerima kenyataan dengan kembali ‘melanjutkan’

studinya di Panti Sosial Bina Netra dengan kompetensi lulusan yang kelak

berprofesi sebagai tukang pijat.

FR, mahasiswa semester empat sebuah universitas negeri di Jawa

Tengah ini, terpaksa menghentikan kuliahnya sejak kehilangan penglihatan yang

7

datang secara mendadak. Ia sempat terpikir untuk bunuh diri dan menamatkan

hidupnya. Begitu juga AS, seorang tunanetra wanita yang cukup cerdas dan

berbakat, menceritakan cita-citanya sejak kecil adalah menjadi guru, namun cita-

cita itu kandas setelah ia kehilangan penglihatannya saat kelas 3 SMP. Sampai

saat ini, di saat usianya sudah menginjak 21 tahun, ia masih mengaku merasa

sedih jika mengingat cita-citanya yang kandas, terlebih jika mendengar kabar

teman sekelasnya dahulu yang telah kuliah di perguruan tinggi atau telah

menjadi guru.

Penelitian Fatimah, Muhrisun dan Andayani (2006) membuktikan bahwa

ada perbedaan yang sangat signifikan dalam hal tingkat eksklusi sosial antara

mahasiswa difabel dan non-difabel di UIN Sunan Kalijaga. Mahasiswa difabel

memiliki tingkat eksklusi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan

mahasiswa nondifabel. Eksklusi sosial meliputi aspek : aksesibilitas fasilitas

umum, aksesibilitas fasilitas dan layanan di perpustakaan, aksesibilitas kegiatan

akademik, aksesibilitas kegiatan sosialisasi dan aktualisasi mahasiswa, serta

beragam bentuk sikap dan tindak diskriminasi.

Sebuah penelitian sekitar empat tahun berikutnya dalam skala yang lebih

luas dilakukan oleh Steff, Mudzakir, dan Andayani (2010) yang bertajuk Equity

and Access To Tertiary Education for Student with Disabilities in Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan yang dihadapi oleh

siswa penyandang cacat dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Tiga puluh

mahasiswa penyandang cacat dari tujuh universitas yang berbeda dan dua

sekolah tinggi inklusif menjadi kancah penelitian. Penelitian ini juga melibatkan

para guru besar, tenaga administrasi dan pustakawan. Hambatan yang

didiskusikan meliputi ranah individu, institusi dan ideologis. Ditemukan fakta

8

bahwa masih sulit bagi seorang penyandang cacat mendaftar dan diterima di

universitas, tidak adanya layanan yang mendukung bagi mahasiswa penyandang

cacat, minimnya bahan akademik yang sudah diadaptasi, tidak memadainya

program pelatihan pribadi, kesenjangan pendanaan dan akses struktur, dan

minimnya kebijakan inklusif untuk memandu universitas.

Dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa meskipun secara hukum,

aksesibilitas pendidikan bagi penyandang cacat telah dijamin, namun

kenyataannya perguruan tinggi belum berperspektif inklusif. Ini berarti

mahasiswa penyandang cacat harus berjuang untuk lulus ujian nasional tanpa

bantuan khusus, mereka diterima jika dapat menyesuaikan diri dan tidak

mengganggu fungsi universitas, mereka hanya akan unggul jika mereka berjuang

tanpa fasilitas dan dukungan dalam perjalanan akademik. Universitas dan

perguruan tinggi belum memainkan peran yang jelas dalam pencapaian tujuan

pembangunan dan membutuhkan reorganisasi nyata untuk sukses.

Beberapa temuan menarik diungkap oleh Setyawaty (2009) dalam

penelitian `Problematika Pembelajaran dan Upaya Pemberian Layanan

Mahasiswa Difabel di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga`. Mahasiswa

difabel memiliki rasa cemas yang menonjol saat menjelang ujian tengah atau

akhir semester karena takut tidak mendapatkan pendamping pembaca soal.

Selain itu, mereka juga merasakan kecemasan saat mencari buku di

perpustakaan, perasaan rendah diri dan merasa takut merepotkan saat mereka

membutuhkan bantuan orang lain.

SW yang IPK nya kurang dari 1,5 dalam kesempatan penelitian

pendahuluan pada tanggal 10 Agustus 2011 mengungkapkan :

9

“Saya sudah tidak betah kuliah Bu, tidak ada teman yang mengerti saya, Saya tidak enak kalau minta bantuan terus. Tapi saya kasian sama orang tua yang sudah membiayai”

(SW, 10 Agustus 2011)

Dalam perkembangan terakhir, terdapat penemuan menarik dari Evianti

(2012) yang menunjukkan bahwa UIN Sunan Kalijaga melalui PSLD sudah

menggunakan model pendidikan inklusi penuh, dimana mahasiswa difabel

belajar bersama dengan mahasiswa normal tanpa ada perbedaan kurikulum.

Perkembangan terakhir ini menunjukkan kemajuan yang semakin

menggembirakan. Kenyataan ini justru menuntut perubahan selaras dalam iklim

sosial di UIN Sunan Kalijaga. Penyamaan kurikulum bagi difabel dan nondifabel

dalam aktifitas kuliah bersama, membutuhkan lebih banyak kepedulian dan

tanggung jawab sosial di sekitarnya.

Fenomena hadirnya para mahasiswa difabel netra di perguruan tinggi

sungguh merupakan kenyataan yang membesarkan hati. Terlebih fenomena

hadirnya mahasiswa difabel netra yang mampu ‘berselancar’ di tengah ‘arus dan

ombak’ perguruan tinggi. Tidak terbayang bagaimana perjuangan mereka

menjangkau dan menikmati kehidupan perguruan tinggi, di tengah-tengah

kondisi masyarakat kampus yang sebagian besar belum ‘melek’ terhadap

keberadaan mereka. Cita-cita segelintir kaum difabel netra untuk meraih

pendidikan di perguruan tinggi ini bukanlah tidak beralasan.

Di balik keterbatasannya, difabel berhak untuk memiliki hidup yang

bermakna. Ungkapan seperti “makna dalam derita” (meaning in suffering) atau

“hikmah dalam musibah” (blessing in disguise), menurut Bastaman (2007)

menunjukkan bahwa dalam penderitaan sekalipun makna hidup tetap dapat

ditemukan, bila hasrat ini dapat dipenuhi maka kehidupan yang dirasakan

10

berguna, berharga, dan berarti (meaningfull) akan dialami. Sebaliknya bila hasrat

ini tak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna

(meaningless).

Menjadi difabel, tunanetra khususnya, bukanlah sebuah pilihan. Mereka

menerima kenyataan kehilangan penglihatan sebagai takdir dan ketetapan.

Namun, keinginan untuk meraih impian dan cita-cita, mengaktualisasikan

potensi, meraih kehidupan masa depan yang lebih berarti tentu mereka miliki,

seperti layaknya manusia yang lain. Setidaknya hal ini terungkap dari wawancara

awal peneliti, VD yang ber IPK 3,38 ini mengaku pada awalnya ia harus

berusaha keras mengubah image teman-temannya terhadap kemampuannya.

Seperti diungkap olehnya pada tanggal 5 September 2011:

“Pertama kali ikut presentasi makalah, biasanya imej temen-temen, kamu ikut saja, kami yang bacakan. Saya ndak mau. Saya pasang laptop, saya pake program Jawz, saya pasang kabel LCD, Saya presentasi. Mereka heran. Oh ternyata bisa tho sendiri kata teman saya”

(VD, 5 September 2011) Begitu pula FR, pada tanggal 5 September 2011, mahasiswa yang

sedang menyelesaikan skripsi tahap akhirnya ini mengaku begitu panjang dan

berliku perjalanannya untuk menjangkau perguruan tinggi. Awalnya ia adalah

mahasiswa perguruan tinggi di Jawa Tengah. Kehilangan penglihatan yang

dialami di semester empat membuatnya merasa terhempas, pernyataan FR:

“Awalnya saya kayak mayat hidup Bu, mati ra gelem, hidup yo piye. Terus terang saya sempat berfikir untuk bunuh diri, Bu”.

(FR, 5 September 2011)

Saat ini, ia telah melanjutkan studinya di Universitas Islam Sunan Kalijaga

Yogyakarta, sedang menyelesaikan skripsinya, telah mengantongi IPK 3,45

bahkan menjalani studi dan menikah serta telah dikarunia seorang putra. Ia

11

mengaku banyak pengalaman berharga yang ia temukan untuk bangkit. Salah

satu hal istimewa yang diungkapnya berikut ini:

“Saya ditanya sama Pakde saya, ‘Nang, kowe ngerti cacing?’, ‘Ngerti Pakde’, ‘Cacing nduwe moto ra?’, ‘Mboten Pakde’, ‘Nduwe tangan karo sikil ora?’, ‘Mboten Pakde’, ‘Urip ora?’, ‘Urip Pakde’, trus saya mikir, kok aku kalah karo cacing. Itulah Bu saat saya hidup kembali setelah menjadi mayat hidup selama hampir tiga tahun, sejak putus kuliah”.

Ungkapan-ungkapan difabel netra ini menarik bagi peneliti karena

memuat sebuah dinamika proses perolehan kebermaknaan hidup yang tentu

akan semakin menarik jika digali dan membuat peneliti dapat memahami lebih

dalam akan fenomena ini. Frankl (1992) percaya bahwa perjuangan untuk

menemukan makna dalam hidup seseorang merupakan motivasi utama dalam

hidup. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning (1992), Frankl menceritakan

penelitiannya terhadap 7.948 mahasiswa dari empat puluh delapan Perguruan

tinggi . Ketika mahasiswa ditanyai, apa yang ‘sangat penting’ bagi mereka saat

ini, 16% menjawab mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan 78%

menjawab bahwa sasaran utama hidup mereka adalah menemukan tujuan dan

makna hidup.

Menurut Bastaman (1996) dalam proses perubahan dari penghayatan

hidup tak bermakna menjadi lebih bermakna seseorang melewati berbagai

dinamika dan pengalaman yang dapat digambarkan dalam tahapan berikut :

Tahap Derita (peristiwa tragis, penghayatan tampa makna), Tahap Penerimaan

Diri (pemahaman diri, pengubahan sikap), Tahap Penemuan Makna Hidup

(penemuan makna dan penemuan tujuan- tujuan hidup), Tahap Realisasi Makna

(keikatan diri, kegiatan terarah untuk pemenuhan makna hidup), Tahap

Kehidupan Bermakna (penghayatan bermaknaan, kebahagiaan).

12

Semangat dan motivasi para difabel netra menemukan salah satu

bentuknya dalam perjuangan mereka mencapai dan menikmati perguruan tinggi

.Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta merupakan salah satu

universitas yang memiliki Pusat Studi dan Layanan Difabilitas (PSLD). Di sinilah

salah satu tempat para mahasiswa difabel berkumpul. Selain mengusahakan

pengadaan sarana belajar dan aksesibilitas bagi penyandang difabilitas, lembaga

ini juga menyediakan informasi dan merekrut mahasiswa yang tidak

berkebutuhan khusus agar dapat membantu sebagai relawan. Lebih dari itu,

lembaga ini berperan untuk memfasilitasi terbentuknya kampus sebagai

lingkungan belajar yang aksesibel, inklusif dan demokratis dimana perbedaan

dan keragaman karakteristik semua mahasiswa diakui dan dihargai (Ro’fah,

Andayani, & Muhrisun, 2010).

Keberadaan PSLD merupakan sebuah realitas yang membanggakakan,

meski demikian menurut data PSLD, sejumlah difabel mampu mengakses

perguruan tinggi tanpa adanya kebijakan khusus yang menjamin partisipasi

difabel pada pendidikan tinggi. Tercatat 32 mahasiswa difabel netra yang

tersebar di berbagai fakultas. Ditemukan bahwa mahasiswa-mahasiswa tersebut

harus berjuang mengatasi berbagai hambatan untuk mampu menjalankan fungsi

akademik dan sosialnya tanpa dukungan dan layanan formal dari pihak

universitas.

Lebih jauh lagi, menurut Ro’fah, dkk., (2011), jenjang pendidikan tinggi

merupakan jenjang yang paling sulit dijangkau oleh difabel atau penyandang

disabilitas, disebabkan berbagai faktor, di antaranya: masih banyak kampus yang

tidak menerima mahasiswa difabel dengan alasan tidak sehat jasmani dan

ruhani; masih adanya asumsi yang kuat di kalangan pemegang kebijakan dunia

13

pendidikan bahwa pendidikan tinggi bukan untuk difabel; masih banyak institusi

pendidikan tinggi yang tidak aksesibel bagi difabel, baik kurikulum, media

pembelajaran, maupun layanan kampus seperti perpustakaan, laboratorium,

lambaga bahasa dan sebagainya; rendahnya kualitas pendidikan difabel pada

tingkatan pendidikan sebelumnya; sebagian besar dosen belum memahami

bagaimana mengajar untuk kelas inklusi bersama difabel; aksesibilitas bangunan

bagi difabel masih rendah; belum ada unit layanan difabel di kampus, kecuali di

PSLD UIN Sunan Kalijaga; mahasiswa umum belum memahami bagaimana

berinteraksi dengan mahasiswa difabel; dan masih terjadi diskriminasi dalam

proses akademis dan sosial di perguruan tinggi.

Terakhir tercatat terdapat 37 mahasiswa difabel di Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka), 3 orang difabel tunarungu, 3 orang difabel

tunadaksa dan 31 orang difabel netra (PSLD UIN Sunan Kalijaga, 8 Oktober

2011). Berdasar sisa kemampuan penglihatan, difabel netra ini tergolong menjadi

dua, yaitu mereka yang buta total (total blind) dan mereka yang masih memiliki

sebagian kecil penglihatan (low vision). Sementara berdasar riwayat

ketunanetraan, di antara mereka ada yang tunanetra sejak lahir dan tunanetra

pada usia tertentu. Berdasarkan observasi dan wawancara awal peneliti,

tunanetra tergolong total blind dengan riwayat mengalami tunanetra pada usia

tertentu membutuhkan kemampuan penyesuaian diri yang lebih terkendala.

Selaras seperti diungkap Ro’fah dan Muhrisun (2010) bahwa seseorang

yang mengalami difabel tidak sejak lahir atau mengalami ketunanetraan yang

disebabkan oleh faktor dari luar (eksternal) lebih memerlukan waktu untuk

memiliki adaptasi dan menerima keadaan dirinya daripada yang mengalami sejak

lahir. Hal ini dibenarkan pula oleh hasil penelitian Lestari (2007). Seperti yang

14

dialami Wt, yang pada wawancara pendahuluan tanggal 17 September 2011

menyatakan :

“Saya tidak bisa menerima kenyataan, kenapa saya harus kalah, kenapa cita-cita saya gagal. Setiap saya hendak melakukan sesuatu, saya ujung-ujungnya menangis, kadang ngamuk, karena merasa ndak bisa liat, ndak bisa lagi seperti dulu. Saya depresi. Papa saya bingung, Mama saya nangis. Selama dua tahun saya berjuang menerima kekalahan.”

(Wt,17 September 2011)

Fenomena ini mendukung peneliti untuk memahami lebih jauh dan lebih

dalam lagi terkait fenomena kebermaknaan hidup difabel netra yang mengalami

kehilangan penglihatan setelah usia tertentu dan tergolong total blind, dalam

konteks perjuangan mereka untuk mengakses dan menjangkau serta menikmati

kehidupan di perguruan tinggi. Konteks ini juga tidak terlepas dari masa

perkembangan dewasa awal yang mereka jalani, pada masa ini berbagai

tuntutan sosial mewarnai peran-peran mereka. Dewasa awal merupakan suatu

masa penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan yang baru, dan harapan-

harapan sosial yang baru (Hurlock, 1980).

Lebih jauh dari itu diharapkan penelitian ini dapat menggambarkan profil

mahasiswa tunanetra yang berhasil menikmati perjuangannya di perguruan tinggi

untuk menginspirasi para siswa difabel netra yang masih duduk di sekolah

tingkat lanjut untuk berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik.

B. Pertanyaan Penelitian

Tidaklah mudah bagi para mahasiswa difabel netra untuk meretas jalan

menuju perguruan tinggi, kemudian melewati berbagai tuntutan peran sebagai

mahasiswa hingga menjemput hari istimewa saat toga dikenakan di kepala.

Perjuangan masih berlanjut untuk menghadapi realitas pasca kampus. Sekalipun

UIN Sunan Kalijaga sudah lebih melek terhadap keberadaan difabel, namun

15

belum cukup untuk menjadi masyarakat kampus yang ramah difabel.

Terbatasnya sarana yang aksesibel untuk mengakomodasi keberadaan mereka

bertemu dengan keadaan mereka yang memang mengalami keterbatasan

secara fungsi organ visual dan bergulat dengan tugas perkembangan di masa

dewasa awal.

Keberadaan mahasiswa difabel netra di UIN Sunan Kalijaga sungguh

merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti. Di balik fenomena ini, peneliti

tertantang untuk melihat sebagian potensi dan kualitas insani yang layak untuk

semakin banyak dikaji. Menyadari fenomena ini, peneliti ingin mengungkap lebih

dalam dan memahami lebih dekat melalui teori kebermaknaan hidup, bagaimana

fenomena kebermaknaan hidup hadir dalam perjuangan difabel netra

menjangkau dan menjalani kehidupan perguruan tinggi, bagaimana fenomena

tahapan menuju kehidupan bermakna yang digambarkan Bastaman (1996)

dalam tahapan sebagai berikut: Tahap Derita (peristiwa tragis, penghayatan

tampa makna), Tahap Penerimaan Diri (pemahaman diri, pengubahan sikap),

Tahap Penemuan Makna Hidup (penemuan makna dan penemuan tujuan- tujuan

hidup), Tahap Realisasi Makna (keikatan diri, kegiatan terarah untuk pemenuhan

makna hidup), Tahap Kehidupan Bermakna (penghayatan bermaknaan,

kebahagiaan); bagaimana nilai-nilai kreatifitas, nilai-nilai penghayatan dan nilai-

nilai bersikap muncul dalam proses tersebut?; bagaimana kebebasan,

tanggungjawab dan spiritualitas mewarnai motivasi dan perjuangan mereka?;

apa makna menjadi mahasiswa bagi mereka?, apa saja fenomena yang mereka

temui dalam perjalanan menikmati perguruan tinggi?, bagaimana mereka

memaknai kenyataan-kenyataan sepanjang perjalanan tersebut yang bahkan

tidak dapat mereka indera secara visual?.

16

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami proses penemuan makna hidup

dan makna di balik keterbatasan mahasiswa difabel netra dalam perjuangannya

menjangkau dan menjalani studi di UIN Sunan Kalijaga.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan

ilmu psikologi klinis dalam arti yang luas yaitu mengkaji gelaja-gejala yang

mengurangi peluang manusia untuk bahagia. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan dasar pemahaman bagaimana makna hidup dapat menuntun dan

mengarahkan energi mereka yang mengalami disabilitas khususnya tunanetra

untuk mencapai cita-cita dan kebahagiaan hidup.

Manfaat praktis penelitian ini sebagai bahan evaluasi dan pengembangan

program untuk meningkatkan kebermaknaan hidup difabel netra. Penelitian ini

secara praktis juga diharapkan dapat menginspirasi mahasiswa baik yang

difabel maupun nondifabel untuk meningkatkan arti penting dan makna hidup

dalam peran mereka sebagai mahasiswa di perguruan tinggi khususnya dan

dalam kehidupan umumnya.

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian yang terkait dengan kebermaknaan hidup mulai banyak

dilakukan. Sebagian besar penelitian dengan pendekatan kualitatif tentang

kebermaknaan hidup dilakukan terhadap responden dengan karakteristik yang

mengandung fenomena penderitaan, kesakitan atau keunikan. Puspasari dan

Alfian (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui makna

hidup penyandang cacat fisik postnatal. Putri dan Ambarini (2012) meneliti

17

pemaknaan hidup dua orang skizofrenia yang pernah dirawat di Rumah Sakit

Jiwa Menur, Surabaya.

Lubis dan Priyanti (2009) melakukan penelitian untuk mengungkap

penemuan makna hidup dan sumber makna hidup pasien kanker leher rahim.

Sedangkan penelitian yang mengungkap makna hidup difabel dilakukan oleh

Nasirin (2010) yang meneliti kebermaknaan hidup difabel dalam sebuah studi

kasus terhadap difabel amputasi kaki. Sementara Wahyuni (2010) meneliti

tentang makna hidup penyandang cacat tunanetra yang berprofesi sebagai

tukang pijat yang melibatkan dua subjek penelitian.

Penelitian dengan pendekatan kuantitatif tentang kebermaknaan hidup

berusaha untuk melihat hubungan kebermaknaan hidup dengan variabel

psikologis lainnya. Satyaningtyas dan Abdullah (2010) dengan tema Penerimaan

Diri dan kebermaknaan Hidup Penyandang Cacat Fisik, berhasil membuktikan

hipotesanya. Penelitian Haryanto, Ustam, dan Setyowati (2008) bertujuan

untuk menguji secara empirik hubungan kebermaknaan hidup dan emotional

focused coping dengan kecenderungan bunuh diri.

Dalam hubungan kebermaknaan hidup dan aktifitas noetic atau spiritual,

Astuti (2003) melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan

antara penghayatan makna shalat dengan kebermaknaan hidup pada siswa

Madrasah Aliyah Negeri Tempel Sleman Yogyakarta. Pihasniwati (2007)

mengkaji tentang fenomena muallaf yang melihat konversi agama sebagai

pemenuhan makna hidup; dan aktifitas tadabur Al Qur’an sebagai salah satu

sumber kebermaknaan hidup. Gumilar dan Uyun (2008) mengkaji hubungan

kebersyukuran menurut syariat Islam dengan kebermaknaan hidup pada

mahasiswa dengan hasil penelitian yang menyatakan hipotesis diterima, ada

18

hubungan positif yang sangat signifikan antara kebersyukuran dan kebemaknaan

hidup mahasiswa Universitas Islam Indonesia.

Penelitian Cohen dan Caims (2001) mengungkap hubungan negatif

antara tingkat pencarian makna yang tinggi dalam hidup dengan kesejahteraan

subjektif serta efek moderasi positif bahwa kehadiran makna dan aktualisasi diri

terhadap nilai kebahagiaan ketika individu mencari makna dalam kehidupan.

Sebuah penelitian yang lain bertajuk ,”Meaning of Life for Adolescents

with A Physical Disability in Korea yang dilakukan oleh Kim dan Kang (2003)

bertujuan untuk memahami bagaimana remaja dengan cacat fisik melihat makna

di dalam hidup mereka yang dapat memberi harapan bagi mereka untuk

menemukan tujuan dan nilai hidup mereka sendiri.

Penelitian yang lain dilakukan oleh Rathi dan Rastogi (2007) yang

berjudul “Meaning in Life and Psychological Well-Being in Pre-Adolescents and

Adolescents”. Studi ini meneliti makna dalam kehidupan dan kesejahteraan

psikologis pada siswa pria dan perempuan periode pra-remaja dan remaja.

Penelitian Brassai, Piko, dan Steger (2011) dengan tajuk Meaning in Life:

Is It a Protective Factor for Adolescents’ Psychological health?, bermaksud untuk

mengkaji makna hidup sebagai faktor protektif pada populasi remaja Rumania

umumnya. Penelitian ini juga berupaya untuk memperoleh asesmen multidimensi

yang mencakup beberapa variabel yang berhubungan dengan kesehatan

(penyalahgunaan zat, perilaku berisiko kesehatan, kesehatan psikologis).

Hasil penelitian Santos, Magramo, Oguan, Paat, dan Barnachea (2012)

yang berjudul Meaning in Life and Subjective Well-Being: is a Satisfying Life

Meaningful ? dengan subjek sebanyak 969 mahasiswa dari berbagai sekolah di

19

Filipina, menunjukkan bahwa makna hidup dan kesejahteraan subjektif memiliki

hubungan yang positif.

Penelitian yang terkait dengan subjek penyandang cacat antara lain,

Pinquart dan Pfeiffer (2012) melakukan penelitian kuantitatif yang bertujuan

untuk mengetahui citra tubuh pada 177 remaja Jerman yang tunanetra dan 531

remaja Jerman yang tidak mengalami tunanetra. Rosenblum (2000) dengan

penelitian bertajuk Perceptions of the Impact of Visual Impairment on the Lives of

Adolescent yang melibatkan sepuluh remaja tunanetra dan teman-teman

terdekat mereka bertujuan untuk melihat dampak tunanetra terhadap keluarga,

sekolah, dan hubungan sebaya mereka.

Penelitian terkait difabel netra dilakukan Broto (2009) yang meneliti

tentang alternatif pendidikan Universitas Terbuka dan Jarak Jauh sebagai

alternatif pemenuhan hak pendidikan tinggi difabel. Penelitian Lestari (2007)

bertujuan untuk melihat bagaimana pengajian keislaman dapat meningkatkan

rasa percaya diri klien tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Yogyakarta. Khusnia

dan Rahayu (2010), mencoba melihat hubungan antara dukungan sosial dan

kepercayaan diri remaja tunanetra.

Sementara penelitian dengan subjek difabel netra di UIN Sunan Kalijaga

dilakukan oleh Setyawaty (2009) mengungkap tentang problematika

pembelajaran dan upaya pemberian layanan mahasiswa difabel di Universitas

Islam Negeri Sunan Kalijaga. Sumaryanto (2011) mencoba mengkaji upaya

Pusat Studi Layanan Difabel dalam membantu keberhasilan belajar mahasiswa

tunanetra. Penelitian Aminah (2010) bertujuan untuk mengetahui secara dalam

bagaimana aksesibilitas pendidikan termanifestasikan di Pusat Studi dan

Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga.

20

Evianti (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat peran

Pusat studi dan Layanan Difabel dalam pendidikan inklusi bagi mahasiswa

difabel Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puasa

(2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk memahami strategi

komunikasi para relawan Pusat Studi dan layanan Difabel dalam berkomunikasi

dengan mahasiswa difabel.

Maknunatin (2010) meneliti tentang pengaruh konsep diri terhadap

motivasi belajar mahasiswa tunanetra fakultas tarbiyah Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga. Wahana (2009) melihat lebih jauh tentang motivasi belajar

mahasiswa tunanetra Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Mazida (2012)

meneliti tentang kesejahteraan psikologis mahasiswa tunanetra melalui

pendekatan kualitatif fenomenologi.

Penelitian Fatimah, dkk., (2006) yang bertajuk “Eksklusi Sosial

Mahasiswa Difabel dalam Komunitas Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta”,

berupaya mengungkap adanya perbedaan yang sangat signifikan dalam hal

tingkat eksklusi sosial antara mahasiswa difabel dan non difabel di UIN Sunan

Kalijaga.

Dalam skala kebijakan, penelitian tentang difabel dilakukan oleh tim dari

PSLD UIN Sunan Kalijaga dan Departemen Sosial (Ro’fah, dkk, 2011) yang

menghasilkan Laporan akhir kajian akademik raperda penyandang disabilitas

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang menghasilkan banyak rekomendasi

penting untuk raperda terkait peraturan penyandang disabilitas di Propinsi

Daerah istimewa Yogyakarta.

Hasil penelitian Steff, dkk., (2010) yang bertajuk Equity and Access To

Tertiary Education for Student with Disabilities in Indonesia menyimpulkan bahwa

21

masih sulit bagi seorang penyandang cacat mendaftar dan diterima di

universitas, tidak adanya layanan yang mendukung bagi mahasiswa penyandang

cacat, minimnya bahan akademik yang sudah diadaptasi, tidak memadainya

program pelatihan pribadi, kesenjangan pendanaan dan akses struktur, dan

minimnya kebijakan inklusif untuk memandu universitas.

Berdasarkan penelusuran hasil penelitian di atas, belum dilakukan

penelitian mengenai dinamika penemuan kebermaknaan hidup mahasiwa difabel

netra. Keaslian penelitian ini menekankan pada pemahaman dinamika proses

kebermaknaan hidup yang menjadi bagian penting dalam pencapaian

kesejahteraan difabel netra.