1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Manusia adalah makhluk hidup yang membutuhkan lingkungan, oleh
karena itu manusia memiliki kewajiban untuk menghormati, menghargai dan
menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalam lingkungan. Tingkah laku manusia
sangat mempengaruhi alam karena manusia adalah bagian alam yang tidak dapat
dipisahkan. Perilaku positif manusia dapat menyebabkan lingkungan lestari begitu
juga dengan perilaku negatifnya dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Etika menjadi panduan untuk apa hukum seharusnya. Tokoh-tokoh
filsafat dan etika berharap bahwa hukum yang diterima masyarakat akan
mewujudkan beberapa pendapat tentang apa yang secara etis dianggap benar dan
salah dan mendistribusikan hukuman yang sesuai. Ruang lingkup etika jauh lebih
luas daripada ranah hukum. Etika tidak hanya peduli dengan kasus-kasus yang
merugikan secara ekstrim. Etika meluas ke semua tugas dan kewajiban, kebajikan
dan keburukan, sebagaimana manusia berinteraksi satu sama lain (Light, 2007:2-
3).
Etika lingkungan menimbulkan pertanyaan mendalam tentang apa yang
dihitung secara moral dan mengapa spesies yang terancam punah, hutan tua, hutan
2
belantara memerlukan pengkajian ulang untuk lebih diperhatikan dan dilestarikan.
Etika lingkungan hidup memiliki banyak perdebatan tentang nilai-nilai yang
dimiliki alam. Apakah alam itu bernilai sejauh alam berguna bagi kepentingan
manusia atau alam mempunyai nilai sendiri terlepas bernilai atau tidaknya bagi
manusia (Light, 2007: 6)
Etika lingkungan hidup memfokuskan tentang perilaku manusia
terhadap alam serta hubungan antara semua kehidupan alam semesta. Etika
lingkungan melakukan pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya
memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang,
sehingga semua unsur kehidupan mempunyai nilai dan arti yang sama. Prinsip
etika lingkungan hidup adalah semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan
dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak
untuk hidup, dan hak untuk berkembang (Rahim, 2013:1).
Kepedulian terhadap lingkungan hidup akhir-akhir semakin gencar
dikampanyekan demi menekan dampak dari kerusakan lingkungan yang telah
terjadi dan salah satunya yaitu melalui film. Film merupakan salah satu media
yang paling ampuh untuk mempengaruhi manusia dengan tujuan yang baik
maupun buruk (Pratista,208:181).
Film tidak hanya dipahami sebagai suatu karya seni maupun barang
dagangan melainkan juga dimaknai sebagai media penyampai informasi. Manusia
memiliki berbagai macam naluri atau kebutuhan dasar yang tertanam di dalam
3
dirinya dan salah satunya yaitu naluri untuk mengetahui apa yang terjadi di luar
pengalaman langsung dalam diri manusia (Irwansyah, 2009:10).
Film dokumenter merupakan film yang mempunyai konsep realisme
(nyata). Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa namun film ini
merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Film dokumenter tidak
memiliki plot namun memiliki suatu struktur yang didasarkan oleh tema atau
argumen dari sineas pembuat film. Objek dari film dokumenter berhubungan
dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi nyata. Penokohan seperti halnya
dalam film fiksi tidak terdapat dalam film dokumenter (Pratista, 2008:4).
The Cove adalah film dokumenter tahun 2009 yang menyoroti praktek
perburuan lumba-lumba di Teluk Taiji, Jepang. Film The Cove adalah sebuah
panggilan untuk bertindak menghentikan pembunuhan lumba-lumba massal,
mengubah praktik perikanan Jepang, dan untuk menginformasikan dan mendidik
masyarakat tentang risiko bahaya keracunan merkuri dari daging lumba-lumba.
Film yang dibuat oleh sekelompok penyelamat lingkungan ini mengisahkan
bagaimana perjuangan para tim OPS (oceanic preservation society) membuat
sebuah rekaman video pembantaian lumba-lumba yang dilakukan oleh para
nelayan di Teluk Taiji, Jepang (Kaori, 2010:1).
Lumba-lumba adalah salah satu contoh hewan yang dewasa ini sangat
gencar diberitakan oleh media massa baik di televisi, media cetak, dan media
sosial seperti twitter, blog, dan facebook. Ada banyak sekali berita tentang lumba-
lumba yang keberadaannya sangat menyedihkan karena adanya eksploitasi oleh
4
manusia. Lumba-lumba merupakan salah satu mamalia laut yang terancam
kelestariannya. Satwa cerdas ini terancam mengalami kepunahan karena
banyaknya pembunuhan. Lumba-lumba selain terancam punah, lumba-lumba juga
rentan terhadap tindak eksploitasi. Wahana hiburan, seperti sirkus, yang
memanfaatkan lumba-lumba demi kepentingan manusia adalah sebuah bentuk
eksploitasi terhadap lumba-lumba. Lumba-lumba disuruh mengemis untuk
memenuhi kebutuhan manusia, dijadikan sebagai bisnis. Dengan menempatkan
lumba-lumba di kolam, bukan pada habitat aslinya, menjadikan satwa ini
kehilangan fungsinya. Selain kemampuan sonarnya menjadi rusak, satwa ini juga
akan mengalami stres. konservasi sering kali menjadi salah satu alasan yang
menyertai tindak esploitasi, juga alasan wahana hiburan sebagai sarana
pembelajaran. Padahal manusia tetap bisa mempelajari hewan ini dari alam bebas.
manusia tidak akan pernah belajar mencintai lumba-lumba dari cara-cara seperti
tersebut (Den Haas, 2014:1).
Eksploitasi secara besar-besaran pada lumba-lumba akan menyebabkan
kepunahan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem laut, yang
lebih luas mengakibatkan terjadinya krisis lingkungan hidup global yang
bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli, dan
mementingkan kesenangan pribadinya. Manusia keliru memandang alam,
kekeliruan ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia
sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai,
sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan
5
kebutuhan hidup manusia. Bahkan manusia dipahami sebagai penguasa atas alam
yang boleh melakukan apa saja terhadap alam (Keraf, 2010:3).
Cara berpikir etika antroposentrisme yang dijadikan paham secara
sengaja ataupun tidak sengaja oleh manusia ini seakan melegalkan untuk
menjadikan lumba-lumba sekehendak hatinya sesuai yang diinginkan manusia.
Manusia menganggap dirinya sebagai penguasa alam semesta dan bisa
memanfaatkan alam dengan semaksimal mungkin, termasuk juga lumba-lumba.
Penulis menjadikan salah satu cabang teori etika lingkungan hidup hak
asasi alam yaitu hak asasi hewan untuk mengkritisi fenomena tersebut. Mengingat
kelemahan cara pandang etika antroposentrisme yang hanya memandang etika
hanya berlaku pada manusia saja, maka konsep mengenai perlakuan etis terhadap
alam, apalagi ide mengenai hak asasi hewan merupakan sesuatu yang dianggap
aneh dan tidak masuk akal. Aneh dan tidak masuk akal bahwa hewan dan
tumbuhan mempunyai hak asasi yang sama dengan manusia (Keraf, 2010: 5).
Hak asasi hewan dikenal juga sebagai kebebasan hewan (animal
liberation) adalah ide bahwa hak-hak dasar hewan harus dianggap sederajat
sebagaimana hak-hak dasar manusia. Para pendukung mendekati masalah ini dari
posisi filosofis yang berbeda, mulai dari gerakan proteksionis yang dicetuskan
oleh filsuf Peter Singer dengan fokus utilitarian terhadap penderitaan dan
konsekuensi, daripada konsep hak itu sendiri, sampai gerakan abolisionis yang
dicetuskan Gary Francione yang menyatakan bahwa hewan hanya butuh satu hak,
yaitu hak untuk tidak dijadikan benda atau properti. Pandangan dan pendapat
6
mengenai hak asasi hewan bermacam-macam dan mempunyai berbagai macam
pendekatan, semua setuju bahwa hewan harus dipandang sebagai “orang” non-
manusia dan anggota komunitas moral, serta tidak digunakan sebagai makanan,
pakaian, subyek penelitian, atau hiburan (Scruton, 2000: 1).
Tom Regan seorang pendukung hak hewan mempunyai pendapat yang
berbeda dengan Peter Singer dalam memandang hak asasi hewan. Regan tidak
setuju dengan program utilitarian Peter Singer untuk gerakan kebebasan hewan,
baginya penolakan tersebut karena utilitarianisme tidak cukup mewakili hakikat
dari kebebasan hewan. Regan memposisikan hewan dan manusia hakikatnya
mempunyai derajat yang sama dimana hewan berhak untuk hidup dan inilah dasar
perhatian Regan (Pojman, 2008: 82-83).
Richard O’ Barry pemimpin dalam pembuatan film dokumenter The
Cove sekaligus aktivis penyelamat lumba-lumba, berpendapat bahwa lumba-
lumba layaknya manusia yang juga mempunyai hak asasi untuk tidak disakiti,
untuk hidup bebas, tidak dibantai, dan tidak untuk diperlakukan sekehendak hati
manusia. pengalamannya melatih lumba-lumba menjadikan Richard O’Barry
sadar bahwa hakikat hidup lumba-lumba bukan di kolam-kolam buatan manusia
untuk menyenangkan manusia akan tetapi lumba-lumba harus hidup di habitat
asalnya dan tidak berpisah dengan kelompoknya. Richard O’Barry beranggapan
lumba-lumba layaknya manusia, lumba-lumba bernafas secara sadar,
berkomunikasi, mempunyai emosional, dan mempunyai keinginan untuk
mempertahankan hidup, hal ini mendorong Richard O’Barry untuk
7
menyelamatkan lumba-lumba diseluruh dunia salah satunya adalah di Teluk Taiji,
Jepang dimana ribuan lumba-lumba dibantai setiap tahunnya (O’barry, 2012:1).
Kompleksitas masalah yang terjadi dalam fenomena pengeksploitasian
yang tidak wajar sampai dengan pembantaian ribuan lumba-lumba di Teluk Taiji,
Jepang dalam film dokumenter The Cove menjadikan penulis menginginkan
mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang teori hak asasi hewan. Bagi
sebagian orang sangat tidak lazim memikirkan hak asasi alam apalagi hewan.
Secara nasional tanggal 15 0ktober diperingati sebagai hari hak asasi hewan akan
tetapi masyarakat tidak banyak tahu akan hal ini, hanya sebatas orang-orang atau
golongan tertentu saja yang mengetahuinya. Tanggal tersebut dipilih karena pada
tanggal 15 Oktober 1978 diproklamirkan naskah "The Universal Declaration of
Animal Rights" bertempat di markas UNESCO, Paris. Meskipun demikian sampai
saat ini masih banyak terjadi kontroversi mengenai hak asasi hewan, banyak yang
mempertanyakan apakah benar hewan mempunyai hak asasi layaknya manusia?
(Kabarnews, 2013:1). Apakah pantas hewan yang mempunyai intelegensia lebih
rendah dari manusia memiliki hak asasi? Dan masih banyak lagi. Bertitik tolak
pada pertanyaan-pertanyaan tersebut peniliti ingin mengkaji teori-teori mengenai
hak asasi hewan melalui pandangan dua tokoh besar yaitu Peter Singer dan Tom
Regan. Penulis berharap dapat lebih mempopulerkan teori hak asasi hewan ini
dengan memecahkan sebuah permasalahan tentang pentingnya pengakuan adanya
hak asasi hewan melalui film dokumenter “The Cove”. Penulis berharap hak asasi
hewan tidak lagi menjadi suatu teori yang dipandang sebelah mata bagi
masyarakat Indonesia khususnya.
8
2. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut :
1. Apa problem-problem yang terjadi pada lumba-lumba di Teluk Taiji
Jepang dalam film dokumenter The Cove dalam kaitannya dengan hak
asasi hewan?
2. Apa inti teori etika lingkungan hidup hak asasi alam khususnya teori
hak asasi hewan?
3. Bagaimana analisis kritis terhadap hak asasi hewan (animal rights)
dalam film dokumenter The Cove ditinjau dari perspektif etika
lingkungan?
3. Keaslian penelitian
Fokus kajian dalam penelitian ini adalah tentang hak asasi hewan dalam
film dokumenter The Cove. Penelitian ini akan memaparkan bagaimana salah satu
cabang teori etika lingkungan hidup hak asasi alam yaitu teori hak asasi hewan
memandang pembantaian lumba-lumba dalam film dokumenter The Cove.
Sejauh penelusuran dan pengamatan mengenai karya-karya ilmiah di
lingkungan Fakultas Filsafat atau di luar fakultas. Penelitian yang membahas dan
mengulas mengenai film dan teori etika lingkungan hidup sudah banyak, namun
penulis tidak menemukan penelitian yang mengkaji film dokumenter The Cove
dari segi teori hak asasi hewan. Penulis menemukan beberapa karya yang
berhubungan dengan etika lingkungan hidup yaitu :
9
a. Arick Nur Rachman. 2005. Pemaknaan Etika dalam Film Telaah Etika
Politik dan Etika Lingkungan dalam Film The Lord of The Ring. Fakultas
Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Skripsi ini membahas tentang
pemaknaan etika politik dan etika lingkungan dalam film The Lord of The
Ring. Konsep etika politik yang terdapat di dalam sebuah film kemudian
dikaitkan dengan etika lingkungan yang menjadi pisau analisisnya.
Pemaknaan RING dalam politik kekuasaan dan paradigma etika lingkungan
hidup dari sudut pandang antroposentris dan ekosentris yang terdapat di
dalam film The Lord of The Ring.
b. Muhammad Asa Bakti Ikwanto. 2011. Konsep Etika Lingkungan dalam Film
Avatar (Perspektif Etika Lingkungan Biosentrisme). Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Skripsi ini membahas tentang
pemaknaan film Avatar dalam kaitannya dengan telaah etika lingkungan
biosentrisme.
Penelitian ini mengkaji problem-problem hak asasi hewan dalam film
dokumenter The Cove. Penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan
beberapa penelitian lain yang memahami film dari segi makna filosofis khususnya
etika lingkungan. Perbedaan terletak pada penggunaan telaah etika lingkungan di
dalam sebuah film yang mengusung tema lingkungan guna menarik suatu
kesimpulan pesan moral. Hal ini yang menjadikan landasan objek formal yang
digunakan penulis lebih mengerucut terhadap objek material yang dituju. Penulis
berani mengutarakan bahwa analisis pembahasan dalam penulisan skripsi ini
dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya.
10
4. Manfaat penelitian
a. Bagi ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan paradigma baru yang lebih
komprehensif mengenai hak asasi hewan melalui film dokumenter The
Cove. Pengetahuan bahwa tidak hanya manusia yang memiliki hak asasi
akan tetapi hewan dan makhluk hidup selain manusia juga memiliki hak
asasi sama dengan manusia.
b. Bagi Filsafat
Penelitian ini diharapkan mampu memperluas pengetahuan dalam
pemikiran terhadap ilmu filsafat terutama mengenai salah satu teori etika
lingkungan hidup hak asasi alam khususnya hak asasi hewan.
c. Bagi Bangsa Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi masyarakat
Indonesia serta menyadarkan bahwa tidak hanya manusia yang
mempunyai hak asasi akan tetapi hewan. Penelitian ini diharapkan dapat
menumbuhkan kesadaran untuk tidak lagi mengeksploitasi secara
berlebihan bahkan membantai atau menganiaya hewan secara tidak perlu
yang diharapkan dapat terciptanya keseimbangan ekosistem dan
munculnya kasih sayang antara manusia dengan hewan sebagai sesama
makhluk ciptaan Tuhan.
11
B. Tujuan Penelitian
1. Memaparkan problem-problem hak asasi hewan yang terjadi pada lumba-
lumba di Teluk Taiji Jepang dalam film dokumenter The Cove.
2. Memaparkan teori etika lingkungan hidup hak asasi alam khususnya hak
asasi hewan (animal rights) melalui dua pandangan tokoh Peter Singer dan
Tom Regan
3. Menganalisis dan merefleksikan animal rights dalam film dokumenter The
Cove dalam perspektif etika lingkungan?
C. Tinjauan Pustaka
Film merupakan suatu perangkat yang memiliki pertentangan-
pertentangan besar dan cakupan luas yang saling berhubungan yaitu pembuatan
film dan subjek, film dan pengamat, tujuan konservatif dan sasaran pembebasan,
psikologi dan politik, gambar dan suara, dialog dan musik, dan susunan lakon,
kepekaan sastra dan kepekaan sistematika, lambang dan arti, kebudayaan dan
masyarakat, bentuk fungsi, desain dan kegunaan, seks dan kekerasan, citra dan
peristiwa, realisme ekspresionasime, bahasa dan fenomenologi. Film juga
merupakan suatu kelengkapan kode dan sub kode yang menghasilkan pertanyaan-
pertanyaan asasi hubungan antara kehidupan dan seni, realitas dan bahasa
(Monaco, 1985:47-48).
Film atau gambar bergerak (motion picture) termasuk seni yang lahir,
tumbuh dan berkembang dengan menyerap penemuan-penemuan yang telah ada
dalam sains, estetika, dan teknologi. Penemuan—penemuan yang berproses pada
12
film terwujud dalam sinematografi, yaitu sebuah mesin yang bisa difungsikan
sebagai kamera dan proyektor yang memungkinkan sebuah film dapat ditonton
oleh banyak orang dalam satu waktu (Biran, 2009: xv).
Film sebagai imitasi kehidupan, mempunyai tujuan untuk ditonton atau
disaksikan orang. Sebuah film ditonton oleh seseorang, orang kemudian
mengasosiasikan isi film dengan kenyataan sehari-hari. Kenyataan di dalam
sebuah film tetaplah kenyataan semu. Persoalan pembuatan film yakni bagaimana
membuat kenyataan semu itu punya makna dan dipahami penonton untuk
direfleksikan dalam kenyataan maupun kehidupan sehari-hari (Irwansyah,
2009:49).
Film dokumenter adalah dokumentasi dalam bentuk film mengenai
suatu peristiwa bersejarah atau suatu aspek seni budaya yang mempunyai makna
khusus agar dapat menjadi alat penerangan dan alat pendidikan (Kamus Besar
Bahasa Indonesia). Rekaman suatu peristiwa dalam bentuk audio visual yang
tercipta tanpa ada unsur rekayasa. Film dokumenter dapat dibuat oleh perorangan,
kelompok/organisasi, atau institusi pemerintah dan swasta dengan berdasarkan
maksud dan tujuan yang diinginkan.
Film dokumenter merupakan film yang mempunyai konsep realisme
(nyata). Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa namun film ini
merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Film dokumenter tidak
memiliki plot namun memiliki suatu struktur yang didasarkan oleh tema atau
argumen dari sineas pembuat film. Objek dari film dokumenter berhubungan
13
dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi nyata. Penokohan seperti halnya
dalam film fiksi tidak terdapat dalam film dokumenter (Pratista, 2008:4)
Beberapa proses yang harus dilakukan dalam pembuatan film
dokumenter adalah pra produksi, produksi, dan pasca produksi. Hasil terpenting
dalam proses produksi adalah riset, karena dokumenter membutuhkan data yang
valid untuk dituangkan dalam bentuk audio visual (VMS multimedia)
Film The Cove adalah film dokumenter buatan Amerika, yang
diproduksi tahun 2009. Film ini mengisahkan tentang perburuan dan pembunuhan
lumba-lumba setiap tahunnya di Taman Nasional di Taiji, Wakayama, Jepang.
Bintang utama film ini adalah Richard O’Barry, seorang mantan angkatan laut
yang kemudian bekerja melatih lumba-lumba yang digunakan untuk serial TV
Flipper. Film ini disutradari oleh Louie Psihoyos, seorang mantan fotografer
National Geographic. Richard O’Barry dan Psihoyos kemudian melakukan
perjalanan ke Jepang, apa yang dihasilkan oleh Psihoyos dan Timnya sangat
mencengangkan. Mereka mendapati sebuah industri yang menghasilkan lebih dari
dua milyar dollar per tahun dari lumba-lumba yang ditangkap. Ini merupakan
pembunuhan mamalia besar-besaran yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi
(Bayu, 2010: 1).
Richard O'Barry was the man who captured and trained the dolphins
for the television show Flipper (1964). O'Barry's view of cetaceans in
captivity changed from that experience when as the last straw he saw
that one of the dolphins playing Flipper - her name being Kathy -
basically committed suicide in his arms because of the stress of being in
captivity. Since that time, he has become one of the leading advocates
against cetaceans in captivity and for the preservation of cetaceans in
the wild. O'Barry and filmmaker 'Louie Psihoyos go about trying to
14
expose one of what they see as the most cruel acts against wild dolphins
in the world in Taiji, Japan, where dolphins are routinely corralled,
either to be sold alive to aquariums and marine parks, or slaughtered
for meat. The primary secluded cove where this activity is taking place
is heavily guarded. O'Barry and Psihoyos are well known as enemies by
the authorities in Taiji, the authorities who will use whatever tactic to
expel the two from Japan forever. O'Barry, Psihoyos and their team
covertly try to film as a document of conclusive evidence this cruel
behavior. They employ among others Hollywood cameramen and deep
sea free divers. They also highlight what is considered the dangerous
consumption of dolphin meat (due to its high concentration of mercury)
which is often sold not as dolphin meat, and the Japanese government's
methodical buying off of poorer third world nations for their support of
Japan's whaling industry, that support most specifically at the
International Whaling Commission (Huggo, 2009:1).
Seorang pengulas film dalam situs IMDb smengomentari bahwa film
The Cove sangat menarik dan mengundang efek emosional yang tidak dapat
diabaikan. Film The Cove adalah sebuah film yang dibuat dengan agenda yang
jelas dan sarat dengan unsur-unsur seperti yang ada dalam film-film pencurian
dan thriller mata-mata. Kengerian dalam film The Cove tidak dapat diragukan dan
terlihat sangat nyata. Pembantaian tiap tahun ribuan lumba-lumba disebuah teluk
terisolasi di Taiji adalah hal yang memuakkan, menyayat hati, dan harusnya tak
perlu terjadi. Setelah memilih lumba-lumba yang diinginkan untuk diambil
akuarium dunia, sisanya dibantai/ dipotong secara brutal dan biadab. Film The
Cove mengaduk banyak emosi dan hal inilah yang dibutuhkan untuk memicu
perubahan. Kebanyakan orang di Jepang bahkan tidak menyadari kekejaman
seperti yang ada dalam film ini (Bushido, 2009:1).
The campaigning elements of the film may not sit well with some
people, but the facts are the facts, and there's simply no denying the
emotional impact this film has. It is a prime example of constructed
film-making with an overt agenda, filled with elements that at time
make it feel like a heist movie or spy thriller. Having said that, there's
15
no doubting just how real the horrors are. The annual slaughter of
thousands of dolphins in an isolated cove near Taiji is sickening, heart-
wrenching and unnecessary. After select dolphins are taken for the
world's aquariums, the rest are left for brutal and barbaric butchering.
I'm utterly delighted that this film is stirring up so much emotion, as
this is exactly what is needed to spark change. Most people in Japan
aren't even aware of this atrocity, and had it not been for this film, I
seriously doubt many of them would have ever known. I for one
appreciate the risks taken by the film makers in attempting to get this
story out, and I would place good money on this documentary being a
front-runner for next year's Oscars (Bushido, 2009:1)
Richard O’Barry seorang pelatih lumba-lumba dan salah satu pemain
dalam film The Cove merasa bahwa lumba-lumba yang berada dalam sebuah Sea
World yang pernah dilatihnya untuk serial televisi Flipper mengalami depresi
berat sehingga lumba-lumba itu memilih bunuh diri. Lumba-lumba adalah hewan
yang bernafas secara sadar layaknya manusia.
“The thing that turned me around was the death of Flipper, of Cathy.
She was really depressed. I could feel it. I could see it. And she
committed suicide in my arms. That's a very strong word, suicide. But
you have to understand dolphins and other whales are not automatic
air breathers, like we are. Every breath they take is a conscious effort.
And so they can end their life whenever life becomes too unbearable by
not taking the next breath. And it's in that context I use the word
suicide. She did that. She swam into my arms, looked me right in the
eye, and took a breath... and didn't take another one”. (O’Barry,
2009:1)
D. Landasan Teori
Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Apabila
seseorang melakukan perbuatan buruk maka ia akan disebut tidak bermoral.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan
16
dengan baik buruk. Perlu dibedakan anatara immoral dan amoral (Bertens, 2007
:7). Amoral sebaiknya diartikan sebagai netral dari sudut moral atau tidak
mempunyai relevansi etis. Itu berarti jika tidak ingin memakai kata Immoral tapi
menggunakan kata amoral di sinilah salah kaprah (Bertens, 2007 :8).
Etika menyoroti yang baik dan yang buruk dalam tingkah laku manusia.
baik dan buruk merupakan kategori etis yang penting. Manusia memaksudkan
baik atau buruk dalam konteks etika, di sini juga selalu harus ditambah baik atau
buruk secara moral. Di luar konteks etika, ada banyak hal yang baik atau buruk,
tetapi di situ kebaikan atau keburukannya selalu terbatas pada aspek tertentu saja
dan karena itu tidak bersifat moral (Bertens, 2011: 11). Etika juga merupakan
filsafat moral atau ilmu yang membahas dan mengkaji persoalan benar dan salah
secara kritis secara moral bagaimana seseorang harus bertindak dalam situasi
konkret (Keraf, 2006:3-5).
Etika maupun moralitas memiliki konsep minimum dalam membimbing
tindakan seseorang dengan menggunakan akal yaitu dengan melakukan apa yang
terbaik menurut akal, kemudian dengan memberikan penilaian yang sama
menyangkut kepentingan tiap individu yang akan dkenai dampak dan akibatnya
dari tindakan yang dilakukan (Rachels, 2004:40). Pola perilaku manusia dalam
bertindak akan selalu mempengaruhi lingkungannya. Manusia juga tidak akan
terlepas dari pengaruh lingkungan, baik yang datang dari alam sekitarnya,
hubungan antar individu maupun antar masyarakat. Hubungan pengaruh timbal
balik atau proses interaksi manusia dengan berbagai subsistem maupun
komponen-komponen lingkungannya selama berada dalam batas-batas
17
keseimbangan, selama itu pula lingkungan dapat dikatakan serasi (Siahaan,
2004:26). Lingkungan pada umumnya juga terbuka bagi perubahan sikap
manusia, yang seringkali bergantung pada pemahaman nilai-nilai yang digunakan
sebagai pembenaran tindakan manusia terhadap lingkungan (Fritsch, 1980:7).
Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dan segala benda, daya
dan keadaan serta makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang
berpengaruh terhadap kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan makhluk
secara umum (Sugandhy,2009:1). Lingkungan hidup di bumi seringkali
dikategorikan dalam lingkungan organik dan anorganik. Lingkungan organik atau
dikenal dengan istilah biotis merupakan semua makhluk hidup yang ada di sekitar
manusia, sementara lingkungan anorganik atau abiotis merupakan segala sesuatu
yang ada di sekitar manusia yang berbentuk benda mati (Borrong, 2000: 18-19).
Etika lingkungan merupakan salah satu disiplin filsafat yang berbicara
mengenai hubungan antara moral manusia dengan lingkungan. Fokus dari etika
lingkungan adalah bagaimana perilaku manusia yang semestinya terhadap
lingkungan, maka etika lingkungan dapat dikatakan sebagai ilmu yang berbicara
mengenai norma dan kaedah moral yang mengatur perilaku manusia dalam
berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip yang menjiwainya. Berbeda dari
itu, etika lingkungan juga dapat difahami sebagai refleksi kritis atas norma-norma
dan prinsip atau nilai moral yang diterapkan dalam lingkungan atau komunitas
ekologis, dengan demikian etika lingkungan tidak hanya berbicara mengenai
perilaku manusia terhadap alam, namun etika lingkungan juga berbicara mengenai
relasi antara kehidupan alam semesta, yaitu hubungan sesama manusia yang
18
mempunyai dampak pada alam, dan hubungan manusia dengan alam secara
keseluruhan (Keraf, 2010: 26-27).
Etika lingkungan hidup menuntut perluasan cara pandang dan perilaku
moral manusia dengan memasukkan keseluruhan alam semesta ke dalam
komunitas moral. Etika lingkungan hidup menuntut etika dan moralitas
diberlakukan juga bagi komunitas biotis dan ekologis. Etika lingkungan hidup
dipahami sebagai refleksi kritis atas norma-norma dan nilai-nilai moral yang
selama ini hanya untuk komunitas manusia untuk diterapkan pada komunitas
ekologis seluruhnya (Keraf, 2006:27).
Salah satu persoalan yang muncul dalam teori-teori etika lingkungan
hidup yang dibahas sampai sekarang adalah persoalan mengenai apakah alam
mempunyai hak. Secara konseptual persoalan ini cukup kontroversial karena
selama ini etika dan paham politik kita sangat antroposentris sehingga hanya
manusia yang dianggap mempunyai hak. Leopold dan semua penganut teori etika
lingkungan hidup biosentrisme dan ekosentrisme meneruskan perluasan bahwa
etika tidak hanya berlaku untuk manusia saja akan tetapi juga komunintas biotis
dan ekologis seluruhnya. Etika tidak lagi sebagai wilayah kekuasaan manusia
akan tetapi juga alam termasuk juga hewan dan tumbuhan (Keraf, 2010:122).
Hak asasi hewan dikenal juga sebagai kebebasan hewan adalah sebuah
gagasan bahwa hak-hak dasar hewan harus dianggap sederajat sebagaimana hak-
hak dasar manusia (Taylor, 2003:15). Secara filosofis sejauh ini diterima umum
bahwa manusia mempunyai dua hak asasi, yaitu hak atas hidup dan hak atas
19
kebebasan. Hak atas kehidupan adalah hak asasi yang paling mendasar, karena
hanya dengan memiliki kehidupan dimungkinkan untuk memiliki hak yang lain
(Keraf, 2010:136).
Para pendukung hak asasi hewan mendekati masalah ini dari posisi
filosofis yang berbeda mulai gerakan proteksionis yang dicetuskan oleh Peter
Singer dengan fokus utilitarian terhadap penderitaan dan konsekuensi, daripada
konsep hak itu sendiri sampai gerakan abolisionis yang dicetuskan Gary
Francione menyatakan bahwa hewan hanya butuh satu hak yaitu hak untuk tidak
dijadikan benda atau properti. Meski ada berbagai pendekatan mereka semua
setuju bahwa hewan harus dipandang sebagai makhluk hidup yang sejajar dengan
manusia dan anggota komunitas moral, serta tidak digunakan sebagai makanan,
pakaian, subyek penelitian atau hiburan. Pembela hak asasi hewan menyatakan
bahwa hewan harus dipandang sebagai makhluk hidup buka benda (Scruton,
2000: 1).
Tom Regan memposisikan hewan dan manusia pada hakikatnya berada
pada derajat yang sama dimana mereka sama-sama berhak untuk hidup, dan hal
ini pula yang menjadi dasar perhatiannya. Sebuah kesalahan mendasar adalah
pada sebuah sistem yang memperbolehkan memandang hewan-hewan sebagai
sumber yang selalu bisa dimanfaatkan. Manusia bukanlah penguasa hewan-hewan
tersebut. Tom Regan adalah seorang revolusioner yang berjuang dalam sebuah
gerakan membebaskan perbudakan secara total yaitu pada penggunaan hewan
dalam ilmu pengetahuan (penelitian), peternakan untuk komersial, dan perburuan
(Pojman, 2008:82-83).
20
Peter Singer berpendapat entah subjek perhatian kita hewan atau
manusia, tuntutan hak-hak tidaklah memuaskan. Ketika hak-hak bertabrakan
perdebatan mengenai pemberian hak yang satu melebihi yang lain biasanya
memberikan sedikit kemajuan, hal itu dikarenakan hak-hak bukanlah dasar dari
kewajiban-kewajiban moral kita sesungguhnya. Hak-hak itu sendiri didasrkan
pada kepedulian akan kepentingan-kepentingan dari semua yang terpengaruh dari
tindakan (De Waal, 2011:184). Pembahasan hak-hak binatang dengan kemutlakan
dan kevokalannya tidak menolong secara khas. Peter Singer lebih suka
mendiskusikannya dalam kerangka kewajiban-kewajiban manusiawi terhadap
hewan (De Waal, 2011:196).
The Universal Declaration Of Animal Rights yang diresmikan di Paris
pada tanggal 15 Oktober 1978 di markas UNESCO dengan teks yang telah
direvisi oleh International League of Animal Rights pada tahun 1989, disebutkan
dalam pembukaannya sebagai berikut
“ considering that life is one, all living beings having a common origin
and having of diversified in the course of the species, considering that
all living beings possess natural rights, and that any animal with a
nervous system has specific rights, considering that the contempt for,
and even the simple ignorance of, these natural right, cause serious
damage to Nature and lead men to commit crimes against animals,
considering that that coexistence of species implies a recognition by th
human species of other animal species to live, considering that the
respect of animals by humans is inseparable from the respect of men for
each other” (sumber: http://www.cwrl.utexas.edu).
“Mengingat bahwa hidup adalah satu, semua makhluk hidup memiliki
asal mula yang sama dan memiliki diversifikasi dalam perjalanan evolusi spesies,
menimbang bahwa semua makhluk hidup memiliki hak alamiah, dan bahwa setiap
21
hewan dengan sistem saraf memiliki hak khusus, menimbang bahwa penghinaan
dan penolakan teradap hak alamiah ini menyebabkan kerusakan serius pada alam
dan mendorong manusia melakukan kejahatan pada hewan, menimbang bahwa
ko-eksistensi spesies menyiratkan pengakuan oleh spesies manusia dari hak
spesies hewan lain untuk hidup, menimbang bahwa rasa hormat pada hewan oleh
manusia tidak terlepas dari rasa hormat dengan sesama manusia”.
Tom Regan berpendapat bahwa apa yang penting untuk pertimbangan
moral bukan perbedaan antara manusia dan makhluk bukan manusia tetapi
kesamaan. Regan berpendapat hal itulah yang menyebabkan manusia berbagi
dengan makhluk non manusia yang mempunyai kemampuan mengalami subjek
kehidupan dan memiliki kesejahteraan individual yang penting bagi makhluk non
manusia yang tak pernah terpikir oleh manusia, keduanya baik manusia ataupun
makhluk non-manusia layak mendapatkan pertimbangan moral (Regan, 2010: 6).
E. Metode Penelitian
1. Model atau jenis penelitian
Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif deskriptif tentang
masalah aktual yang bersumber pada data pustaka. Bahan dan materi penelitian ini
diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu dari film dan buku-buku yang
berkaitan dengan film dokumenter The Cove dan teori hak asasi hewan.
2. Bahan dan materi penelitian
a. Sumber pustaka primer
22
Kepustakaan primer merupakan sumber-sumber utama dari bahan dan objek
material penelitian. Pustaka primer yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Film Dokumenter The Cove
2) Script film dokumenter The Cove
3) Blog Dolphin Project Milik Ric O’ Barry
4) The Universal Declaration of Animal Rights 1978, UNESCO
b. Sumber pustaka sekunder
Pustaka sekunder berupa buku-buku, artikel, jurnal dan bahan-bahan
lainnya yang berhubungan dengan tema yang diangkat oleh penulis. Pustaka
sekunder yang digunakan adalah sebagai berikut
1) Buku Etika Lingkungan Hidup Karya Sony Keraf. 2010. Kompas Media
Nusantara: Jakarta
2) Buku Environmental Ethics Karya Louis P. Pojman dan Paul Pojman. 2008.
Wadsworth Cengage Learning: Canada
3) Buku Environmental Ethics An Anthology karya Andrew Light dan Holmes
Rolston III. 2003. Blackwell Publishing LTd: USA
4) Buku Primat dan Filsuf Merunut Asal usul Moral Karya Frans de Waal.
2011. Kanisius : Yogyakrta.
5) Buku The Case For Animal Rights karya Tom Regan. 2004. University of
California Press: California
6) Buku Animal Liberation Karya Peter Singer. 2002. Harper Collins Publisher
Inc:New York
23
3. Jalan Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Inventarisasi dan kategorisasi, yaitu pengumpulan data kepustakaan sebanyak
mungkin dan penunjang lainnya yang berkaitan dengan objek material dan
objek formal penelitian. Studi pustaka dilakukan dalam upaya memperoleh
gambaran lengkap dan menyeluruh mengenai teori hak asasi hewan.
b. Klasifikasi data yaitu pengelompokan data primer dan sekunder.
c. Analisis sintetis, yaitu menganalisa data primer dan data sekunder, kemudian
mengeliminasi atau memilah mana data yang tidak perlu dan kemudian
mensintesakan sesuai dengan gagasan dalam upaya memperkuat hasil
penelitian.
d. Evaluasi kritis, yaitu melakukan pengecekan. Pengecekan dilakukan setelah
melalui beberapa tahap analisis sintesis, sehingga menghasilkan pemaparan
hasil penelitian yang kritis, berimbang, dan objektif.
4. Analisis hasil
Data dianalisis menggunakan model kefilsafatan yaitu model
penelitian kepustakaan tentang masalah aktual (Kaelan, 2005: 297), adapun
unsur metodis penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Verstehen
Data yang dikumpulkan dari film dokumenter The Cove dipahami
berdasarkan karakteristiknnya. Kemudian memahami simbol-simbol atau
pesan yang ingin disampaikan pembuat film lewat film dokumenternya.
b. Interpretasi
24
Interpretasi digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan lebih
mendalam berdasarkan data yang diperoleh dari film dokumenter The Cove.
c. Hermeneutika
Data yang ada dilihat secara keseluruhan, terutama pembahasan tentang film
dokumenter The Cove. serta menganalisa teori-teori hak asasi hewan yang
dikemukakan oleh Peter Singer dan Tom Regan, sehingga diperoleh hakikat
dari hak asasi hewan
d. Induktif
Data yang ada dilihat dari kesinambungan pemikiran untuk memahami
tentang sebab pembantaian lumba-lumba dalam film dokumenter The Cove
sehingga dapat diperoleh kesimpulan secara induktif. Dari hasil induktif
tersebut maka akan diperoleh sebuah konstruksi teoritis yag kemudian akan
di kaji dalam pandangan teori etika lingkungan hidup hak asasi alam
khususnya hak asasi hewan.
e. Heuristika
Menunjukkan kelebihan dan kekurangan teori etika lingkungan hidup hak
asasi alam khususnya hak asasi hewan kemudian menunjukkan mana yang
sesuai dan tidak sesuai untuk diterapkan dalam menganalisis film dokumenter
The Cove. Melakukan kritik teoretis yaitu kritik terhadap kasus pembantaian
lumba-lumba yang dilakukan dalam film dokumenter The Cove.
F. Hasil yang Dicapai
Hasil yang telah dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut
25
1. Memperoleh penjelasan tentang problem-problem hak asasi hewan (animal
Rights) yang terjadi pada lumba-lumba di Teluk Taiji Jepang dalam film
dokumenter The Cove.
2. Memperoleh penjelasan tentang teori hak asasi alam khususnya hak asasi
hewan menurut pandangan Peter Singer dan Tom Regan.
3. Analisis kritis terhadap animal rights dalam film dokumenter The Cove dalam
perspektif etika lingkungan hidup.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian yang berjudul “ Hak Asasi hewan (Animal
Rights) dalam Film Dokumenter The Cove Ditinjau dari Perspektif Etika
Lingkungan” ini terdiri dari lima bab dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB I berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka sebagai dasar dari
landasan teori, metode yang dipakai dalam penelitian, hasil yang ingin dicapai
dalam penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II berupa uraian yang menjelaskan tentang pengertian, sinopsis film
dokumenter The Cove dan problem-problem hak asasi hewan yang terjadi pada
lumba-lumba di Teluk Taiji di Jepang dalam film dokumenter The Cove.
26
BAB III berupa uraian yang membahas pengertian etika lingkungan hidup,
macam-macam teori etika lingkungan hidup, dan kemudian menjelaskan teori Hak
Asasi Hewan berdasarkan pemikiran Peter Singer dan Tom Regan.
BAB IV merupakan Analisis kritis terhadap animal rights dalam film
dokumenter The Cove ditinjau dari perspektif etika lingkungan hak asasi alam.
Memaparkan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi hewan yang dilakukan dalam
film dokumenter The Cove.
BAB V merupakan penutup, rangkuman penulisan penelitian yang berisikan
kesimpulan dan saran.