BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur,
sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan
sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta
tindak pidana korupsi pada khususnya.
Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang
menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga
penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar
diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam
masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang
dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun
penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui
bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit
penaggulangan maupun pemberantasannya.
1
2
Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini
dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-
orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime).
Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem
pembuktian yang terletak pada beban pembuktian yang pada gilirannya
dapat digunakan sebagai salah satu alasan untuk pengembalian kerugian
keuangan Negara.
Korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi,
yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta
keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi
merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan
pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah
pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis,
dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat
internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan
manajemen tata laksana pemerintahan yang baik dan kerja sama
internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak
pidana korupsi.
Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-
3
undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah beberapa kali
diperbaharui yaitu :
1. Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960 tentang Pengusutan,
penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana Korupsi. 1
2. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak
pidana Korupsi. 2
3. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari KKN. 3
4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana Korupsi. 4
5. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana Korupsi. 5
Akan tetapi peraturan perundang-undangan dimaksud belum
memadai, antara lain karena belum adanya kerja sama internasional
dalam masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi.
Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 2003 di
Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa telah ikut menandatangani
1. Download Internet PERPU No. 24 tahun 1960 hari Jumat tanggal 16 Oktober 2009 jam 08.00 Wib2. Download Internet UU No. 3 tahun 1971 hari Jumat tanggal 16 Oktober 2009 jam 09.00 Wib3. Progresif books, Undang-undang tentang Korupsi, penerbit Progresif books cetakan pertama, Bekasi,
Januari 2006, hal. 514. Pustaka Yustisia Himpunan Perundangan tentang Pemberantasan KKN cetakan pertama, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, Juni 2006, hal. 425. Progresif books, Op.Cit, hal. 1
4
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti Korupsi yang
diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4
pada tanggal 31 Oktober 2003. 6
Bangsa Indonesia telah ikut aktif dalam upaya masyarakat
internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
dengan telah menandatangani United Nations Convention Against
Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,
2003). 7
Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip
demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, integritas,
dan keamanan serta stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi
merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan
pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah
pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis,
dan berkesinambungan pula, baik pada tingkat nasional maupun tingkat
internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan
manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional,
termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
6. Download internet Konvensi PBB anti korupsi hari Sabtu tanggal 10 Oktober 2009 jam 10.00 Wib7. Ibid
5
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan yang sangat tegas dalam hal
pengembalian kerugian keuangan negara dimana pelaku tindak pidana
Korupsi yang terbukti melakukan tindak pidana, disamping mendapat
sanksi penjara kurungan juga mendapat sanksi untuk mengembalikan
kerugian keuangan negara. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah :
1) Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara
tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 (Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999). 8
2) Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami,
anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui
dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan tersangka (Pasal 28 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999). 9
3) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di
sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa. Permintaan keterangan kepada bank
8. Ibid, hal. 46 9. Progresif books, op cit, hal. 56
6
sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan kepada
Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban
untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak
dokumen permintaan diterima secara lengkap (Pasal 29 ayat (1), (2)
dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). 10
4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank
untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa
yang diduga hasil korupsi. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap
tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas
permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu
juga mencabut pemblokiran (Pasal 29 ayat (4) jo. ayat (5) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999). 11
5) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan
kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai
mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang
sedang diperiksa (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999).12
10. Ibid, hal 56 11. Ibid, hal 5712. Ibid, hal 57
7
6) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli,
kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, isteri atau suami,
anak dan cucu dari terdakwa. Orang yang dibebaskan sebagai saksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai
saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh
terdakwa (Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999).13
7) Kewajiban memberi kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat
dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia,
kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus
menyimpan rahasia (Pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999).14
8) Terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan
perkara yang bersangkutan (Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999).15
9) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
13. Ibid, hal 5914. Ibid, hal 5915. Ibid, hal 60
8
penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat
dipergunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).16
Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga
harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut
efisiensi tinggi.
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur,
sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan
sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha
pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana Korupsi dan
kepada pelaku tindak pidana Korupsi dijatuhkan hukuman yang berat
dengan ditambah hukuman pengembalian kerugian keuangan negara.
Untuk mengembalikan kerugian keungan negara tersebut, dapat dilakukan 16. Ibid, hal 60
9
melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen pidana dan instrumen
perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta
benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut agar
dirampas oleh Hakim. Instrument perdata dilakukan oleh Jaksa Pengacara
Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi
(tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana
meninggal dunia). Instrumen pidana lebih lazim dilakukan karena proses
hukumnya lebih sederhana dan mudah.
Undang-undang korupsi lama yaitu Undang-undang No.3 tahun
1971, tidak menyatakan digunakannya instrumen perdata untuk
mengembalikan kerugian keuangan negara, tetapi dalam praktek
instrumen perdata ini digunakan oleh Jaksa, berkaitan dengan adanya
hukuman tambahan yaitu pembayaran uang pengganti terhadap terpidana
vide pasal 34 (C) Undang-undang tersebut. Dalam hal ini Jaksa
Pengacara Negara (selanjutnya disingkat JPN) melakukan gugatan
perdata terhadap terpidana, agar membayar uang pengganti sebagaimana
ditetapkan oleh Hakim pidana yang memutus perkara korupsi yang
bersangkutan.
Selanjutnya Undang-undang Korupsi yang berlaku saat ini, yaitu
Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 tahun 2001
dengan tegas menyatakan penggunaan instrumen perdata, sebagaimana
10
pada pasal 32, 33, 34, Undang-undang No. 31 tahun 1999 dan pasal 38 C
Undangundang No. 20 tahun 2001.
Kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan
instrumen perdata tersebut adalah sebagai berikut :
a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk
membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik
menghentikan penyidikan yang dilakukan.
Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikannya kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada
instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap
bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut
(pasal 32 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999). 17
b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi,
meskipun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, karena
unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut
umum menyerahkan putusan Hakim kepada Jaksa Penuntut Negara
atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan
perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan
negara (pasal 32 ayat (2) UU No. 31 tahun 1999). 18
17. Ibid, hal 5818. Ibid, hal 58
11
c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka
meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik
menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada Jaksa Pengacara
Negara atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan
gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka (pasal 33 UU No. 31
tahun 1999). 19
d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di
sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan
berkas berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata
terhadap ahli waris terdakwa (pasal 34 UU No. 31 tahun 1999). 20
e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana
korupsi yang belum dikenakan perampasan, (sedangkan di sidang
pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut
diperoleh bukan karena korupsi), maka negara dapat melakukan
gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya (pasal 38
C UU No. 20 tahun 2001). 21 Dalam kasus ini instansi yang dirugikan
19. Ibid, hal 5820. Ibid, hal 5921. Progresif books, op.cit, hal 105
12
dapat memberi kuasa kepada Jaksa Pengacara Negara atau kuasa
hukumnya untuk mewakilinya.
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa upaya pengembalian
kerugian keuangan negara menggunakan instrumen perdata, sepenuhnya
tunduk pada disiplin hukum perdata materiil maupun formil, meskipun
berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem
pembuktian materiil, maka proses perdata menganut sistem pembuktian
formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit daripada pembuktikan
materiil. Dalam tindak pidana korupsi khususnya, di samping penuntut
umum, terdakwa juga mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta benda miliknya diperoleh bukan karena
korupsi. Beban pembuktian pada terdakwa ini disebut “pembuktian terbalik
yang terbatas” (penjelasan pasal 37 UU no.31 tahun 1999). 22
Dalam proses perdata beban pembuktian merupakan kewajiban
penggugat, beban pembuktian ada pada Jaksa Pengacara Negara atau
instansi yang dirugikan sebagai penggugat. Dalam hubungan ini
penggugat berkewajiban membuktikan antara lain :
a. Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
b. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan
perbuatan tersangka atau terdakwa atau terpidana.22. Ibid, hal. 83
13
c. Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang
dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.
Untuk melaksanakan gugatan perdata tersebut sungguh tidak
gampang. Ichwal yang menghadang dalam praktek dapat dicontohkan
seperti di bawah ini :
a. Dalam pasal 32, 33 dan 34 Undang-undang No. 31 tahun 1999
terdapat rumusan “secara nyata telah ada kerugian negara”.
Penjelasan pasal 32 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian
keuangan negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan
hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang
ditunjuk”. Pengertian “nyata” di sini didasarkan pada adanya kerugian
negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya oleh instansi yang
berwenang atau akuntan publik. Jadi pengertian “nyata” disejajarkan
atau diberi bobot hukum sama dengan pengertian hukum “terbukti”.
Dalam sistem hukum kita, hanya Hakim dalam suatu persidangan
pengadilan mempunyai hak untuk menyatakan sesuatu terbukti atau
tidak terbukti atau bersalah atau tidak bersalah. Perhitungan instansi
yang berwenang atau akuntan publik tersebut dalam sidang
pengadilan tidak mengikat Hakim. Hakim tidak akan serta merta
14
menerima perhitungan tersebut sebagai perhitungan yang benar, sah
dan karenanya mengikat.
Demikian halnya dengan tergugat (tersangka, terdakwa atau
terpidana) juga dapat menolaknya sebagai perhitungan yang benar,
sah dan dapat diterima. Siapa yang dimaksud dengan “instansi yang
berwenang”, juga tidak jelas; mungkin yang dimaksud instansi seperti
BPKP, atau BPK. Mengenai “akuntan publik”, juga tidak dijelaskan
siapa yang menunjuk akuntan publik tersebut; penggugat atau
tergugat atau Pengadilan ?
b. Penggugat (Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan)
harus dapat membuktikan bahwa tergugat (tersangka, terdakwa, atau
terpidana) telah merugikan keuangan negara dengan melakukan
perbuatan tanpa hak (onrechmatige daad, factum illicitum). Beban ini
sungguh tidak ringan, tetapi penggugat harus berhasil untuk bisa
menuntut ganti rugi.
c. Kalau harta kekayaan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana)
pernah disita, hal ini akan memudahkan penggugat (Jaksa
Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan) untuk melacaknya
kembali dan kemudian dapat dimohonkan oleh penggugat agar
Hakim melakukan sita jaminan (conservatoir beslag). Tetapi bila
harta kekayaaan tergugat belum (tidak pernah disita), maka akan
15
sulit bagi penggugat untuk melacaknya, kemungkinan besar hasil
korupsi telah diamankan dengan di atas namakan orang lain.
d. Pasal 38 C Undang-undang No. 20 tahun 2001 menyatakan bahwa
terhadap “harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga
berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan
perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 B
ayat 2 maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap
terpidana dan atau ahli warisnya”.
Dengan bekal “dugaan atau patut diduga” saja penggugat (Jaksa
Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan) pasti akan gagal
menggugat harta benda tergugat (terpidana). Penggugat harus bisa
membuktikan secara hukum bahwa harta benda tergugat berasal dari
tindak pidana korupsi; “dugaan atau patut diduga” sama sekali tidak
mempunyai kekuatan hukum dalam proses perdata.
e. Proses perkara perdata dalam prakteknya berlangsung dengan
memakan waktu panjang, bahkan bisa berlarut-larut. Tidak ada
jaminan perkara perdata yang berkaitan dengan perkara korupsi
akan memperoleh prioritas. Di samping itu, sebagaimana
pengamatan umum bahwa putusan Hakim perdata sulit diduga
(unpredictable).
16
Kalau kita simak penjelasan umum Undang-undang No. 20 tahun
2001, maka pembuat Undang-undang berikrar akan memberantas tindak
pidana korupsi dengan “cara luar biasa” dan dengan “cara yang khusus”,
karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistimatik dan meluas sehingga
tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah melanggar hak-
hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
“Cara luar biasa” dan “cara yang khusus” yang dimaksud antara lain
penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan
kepada terdakwa, dan pengembalian kerugian keuangan negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana
Korupsi.
Kalau kita perhatikan uraian mengenai hambatan-hambatan yang
diperkirakan dapat timbul dalam penggunaan instrumen perdata untuk
mengembalikan kerugian keuangan negara, maka gugatan perdata
terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana yang dimaksud oleh
Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 tahun 2001
merupakan upaya standard bahkan konvensional dan sama sekali bukan
“cara luar biasa” atau “cara yang khusus”.
Mengingat proses perdata yang tidak mudah, maka dapat
diperkirakan bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan negara sulit
memperoleh keberhasilan. Kalau ketidak berhasilan ini sering terjadi,
17
maka akan menimbulkan penilaian yang keliru, khususnya terhadap Jaksa
Pengacara Negara karena dianggap gagal melaksanakan perintah
Undang-undang.
Adanya ketentuan yang mengatur tentang pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana Korupsi, menarik minat Penulis untuk
meneliti tentang hal tersebut dan menuliskan hasilnya dalam karya ilmiah
skripsi yang berjudul :
PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI TIDAK MENGHAPUSKAN DIPIDANANYA PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang
masalah di atas, maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini
adalah :
1. Apakah yang melatar belakangi munculnya Undang-undang No. 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi ?
2. Apakah semua perbuatan melawan hukum yang merugikan
keuangan negara dikategorikan sebagai tindak pidana Korupsi ?
3. Mengapa pengembalian kerugian keuangan negara tidak serta merta
18
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana Korupsi ?
C. Ruang lingkup
Agar penulisan skripsi ini tidak menyimpang dari pokok masalah yang
seharusnya dibahas, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan
dan penelitiannya pada analisis wewenang penyidik Kepolisian dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi dan pengembalian kerugian
keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
Korupsi.
D. Metodologi
Dalam penulisan skripsi ini jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum, yaitu dengan
cara penelusuran dan pengkajian beberapa literatur yang berhubungan
dengan pokok pembahasan.
Untuk mendapatkan data maka sipenulis menggunakan Metode
Normatif, yaitu mengelompokkan data pustaka yang berhubungan
kemudian disusun sehingga menghasilkan pengertian sesuai dengan
permasalahan yang diteliti, dan pengertian tersebut dihubungkan satu
19
sama lain sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang
memperhatikan keterkaitan data yang satu dengan yang lain, sehingga
diperoleh kesimpulan yang benar. Penarikan kesimpulan dilakukan
dengan memilih dari data isi yang bersifat ilmiah, kemudian diajukan saran
saran.