7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Sosial Dalam Bentuk Perjudian
1. Pengertian Penyakit Masyarakat
Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk
tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum,
adat-istiadat, hukum formal atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah
laku umum. Ilmu tentang masyarakat sosial atau penyakit masyarakat disebut
sebagai patologi sosial, yang membahas gejala-gejala sosial yang sakit atau
menyimpang dari pola perilaku umum yang disebabkan oleh faktor-faktor
sosial. Penyakit sosial ini disebut pula sebagai penyakit masyarakat, masalah
sosiopatik, gejala disorganisasi sosial, gejala disintegrasi sosial, dan gejala
deviasi (penyimpangan) tingkah laku. Disebut sebagai penyakit masyarakat
karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi
“penyakit”. Dapat disebut pula sebagai struktur sosial yang terganggu
fungsinya, disebabkan oleh faktor-faktor sosial. Disebut sebagai masalah
sosiopatik karena peristiwanya merupakan gejala yang sakit secara sosial,
yaitu terganggu fungsinya disebabkan oleh stimuli sosial. 10
Penyakit sosial disebut pula sebagai disorganisasi sosial karena
gejalanya berkembang menjadi ekses sosial yang mengganggu keutuhan dan
kelancaran berfungsinya organisasi sosial. Selanjutnya dinamakan pula
sebagai disintegrasi sosial, karena bagian satu struktur sosial tersebut
berkembang tidak seimbang dengan bagian-bagian lain (misalnya person,
10 Kartini Kartono, 1992b. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Rajawali Pres, Jakarta. hlm. 4
8
anggota suku, klien, dan lain-lain), sehingga prosesnya bisa menggangu,
menghambat, atau bahkan merugikan bagian-bagian lain, karena tidak dapat
diintegrasikan menjadi satu totalitas yang utuh.
Semua tingkah laku yang sakit secara sosial tadi merupakan
penyimpangan sosial yang sukar diorganisir, sulit diatur dan ditertibkan sebab
para pelakunya memakai cara pemecahan sendiri yang non controversial,
tidak umum, luar biasa atau abnormal sifatnya. Biasanya mereka mengikuti
kemauan dan cara sendiri demi kepentingan pribadi. Karena itu deviasi
tingkah laku tersebut dapat mengganggu dan merugikan subjek pelaku
sendiri dan/atau masyarakat luas. Deviasi tingkah laku ini juga merupakan
gejala yang menyimpang dari tendensi sentral, atau menyimpang dari ciri-ciri
umum rakyat kebanyakan. Tingkah laku menyimpang secara sosial tadi juga
disebut sebagai diferensiasi sosial, karena terdapat diferensiasi atau perbedaan
yang jelas dalam tingkah lakunya, yang berbeda dengan ciri-ciri karakteristik
umum, dan bertentangan dengan hukum, atau melanggar peraturan formal. 11
Kaitannya dengan pola tingkah laku masyarakat yang menyimpang
secara sosial dan tidak teratur atau segala bentuk tingkah laku yang dianggap
tidak sesuai, melanggar norma-norma umum dan bertentangan dengan
hukum, Satjipto Rahardjo mengemukakan :
“Bahwa masyarakat dan ketertibannya merupakan dua hal yang berhubungansangat erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang.Susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu ketertiban,bagaimanapun kualitasnya. Kendati demikian segera perlu ditambahkandi sini, bahwa yang disebut sebagai ketertiban itu tidak didukung oleh suatulembaga yang monolitik. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama. seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga
11 Ibid., hlm. 4-5.
9
dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan sahamnyadalam menciptakan ketertiban itu. Hukum bukanlah satu-satunya lembagayang menciptakan ketertiban dalam masyarakat”. 12
Selanjutnya Satjipto Rahardjo, dengan mengutip pernyataan atau
pendapat dari Radbruch, menyatakan bahwa :
“Pada hakikatnya kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalandengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan. Ketertibanyang didukung oleh adanya tatanan ini pada pengamatan lebih lanjutternyata terdiri dari berbagai tatanan yang mempunyai sifat-sifat yangberlain-lainan. Sifat yang berbeda-beda ini disebabkan oleh karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan itu mempunyai sifat-sifatyang tidak sama”. 13
Suatu tatanan dalam masyarakat yang menciptakan hubungan-
hubungan tepat dan teratur antara anggota-anggota masyarakat, sesungguhnya
tidak merupakan suatu konsep yang tunggal. Yang kita lihat sebagai tatanan
dari luar, pada hakikatnya di dalamnya terdiri dari suatu kompleks tatanan,
atau kita bisa menyebut tentang adanya tatanan yang terdiri dari sub-sub
tatanan. Sub-sub tersebut adalah : kebiasaan, hukum dan kesusilaan. Apa
yang biasa dilakukan orang-orang itulah yang kemudian bisa menjelma
menjadi norma kebiasaan melalui ujian keteraturan, keajegan dan kesadaran
untuk menerimanya sebagai kaidah oleh masyarakat. 14
Kaitannya dengan masalah penyakit masyarakat in B. Simandjuntak
menjelaskan tentang terjadinya penyakit masyarakat tersebut, bahwa
masyarakat (societal) memiliki beberapa unsur yaitu moral, politik, ekonomi,
pendidikan, hukum, agama, kebudayaan, filsafat, dan sebagainya. Unsur ini
biasa juga disebut institusi sosial. Institusi ini bekerja dalam suatu sistem.
12 Satjipto Rahardjo, 1991. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm. 13.13 Satjipto Rahardjo, 1991. Loc. cit.14 Satjipto Rahardjo, 1991. Loc. cit.
10
Dalam perubahan sosial yang lambat institusi ini berubah dalam keadaan
saling menyesuaikan keadaan serasi-equilibrium. Dalam kondisi serasi itu
individu mudah menyesuaikan diri dalam berbagai institusi. Tetapi tidak
selamanya kondisi tersebut demikian. Dalam perubahan sosial yang cepat tiap
institusi berjalan saling tidak serasi, saling tidak menyesuaikan diri.
Ketidakserasian ini menimbulkan ketegangan sehingga individu mengalami
kesulitan mengadakan penyesuaian diri dalam hubungan sosial. Dengan
demikian masyarakat berkondisi sakit atau abnormal atau disebut telah terjadi
disorganisasi sosial atau social maladjustment. 15
Gillin & Gillin merumuskan bahwa patologi sosial ialah terjadinya
maladjustment yang serius di antara berbagai unsur dalam keseluruhan
konfigurasi kebudayaan sedemikian rupa sehingga membahayakan
kelangsungan hidup suatu kelompok sosial atau secara serius menghambat
pemuasan kebutuhan asasi anggota kelompok yang mengakibatkan hancurnya
ikatan sosial mereka. Masyarakat Indonesia sedang mengalami perubahan
sosial yang cepat sebagai akibat pertemuan kebudayaan masyarakat dunia.
Hal ini dimungkinkan perkembangan teknologi. Sebagai akibat pertemuan
kebudayaan dunia ini maka institusi sosial tidak lagi dalam keadaan intergrasi
tetapi sudah dalam disorganisasi. Disorganisasi sosial menampakan diri
dalam manifestasi (1) desintegrasi standar tingkah laku, (2) adanya
mekanisme khusus.16
15 B. Simandjuntak, 1981. Op. Cit. hlm. 276.16 B. Simandjuntak, 1981. Loc. cit.
11
Disorganisasi sosial adalah suatu proses kontinu yang
memanifestasikan aspek tekanan batin, ketegangan dari suatu sistem sosial.
Sistem sosial ialah keseluruhan jaringan hubungan antara individu dengan
nilai-nilai, sikap, pola kebudayaan serta kaidah masyarakat. Secara teoritis
dapat dibedakan dua macam disorganisasi sosial, yaitu disorganisasi yang
timbul karena terpecahnya hubungan antar kelompok sosial yang
mengakibatkan terjadinya konflik sosial (disorganisasi schismatic), dan
diorganisasi yang timbul karena keretakan dalam hubungan fungsional antar
individu sehingga menggangu pelaksanaan tugas kelompok (disorganisasi
fungsional). Dalam disorganisasi schismatic maka kekuatan pengikat
terpecah, antara lain kinship, ras, etnik, ikatan territorial, ikatan profesi. 17
2. Perjudian
Dikemukakan oleh R. Soesilo bahwa salah satu kejahatan atau tindak
kriminal yang dirumuskan dalam KUHP adalah perjudian, yang dimaksud
dengan perjudian ialah tiap-tiap permaian di mana pada umumnya
kemungkinan mendapatkan untung tergantung pada peruntungan belaka, juga
apabila kemungkinan itu makin besar karena permaiannya lebih terlatih atau
mahir. Di situ termasuk segala peraturan tentang keputusan perlombaan atau
permaian lain-lainnya yang tidak diadakan di antara mereka yang turut lomba
atau bermain, demikian juga segala peraturan lainnya. 18
Perjudian itu merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat.
Dikemukakan oleh Kartini Kartono bahwa perjudian adalah pertaruhan
dengan sengaja; yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap
17 Ibid., hlm. 277.18 R. Soesilo,1989. Op. cit. hlm. 18.
12
bernilai, dengan menyaradi adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada
peristiwa-peristiwa permaianan, pertandingan, perlombaan dan kejadian-
kejadian yang tidak atau belum pasti hasilnya. 19
Pengertian perjudian dapat dilihat secara yuridis dan dapat dilihat
secara sosiologis. Secara yuridis, bahwa yang dimaksud dengan permaian judi
yaitu sebagaimna yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 303 ayat (3)
KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan permainan judi secara sosiologis
tergantung dari pandangan masing-masing kelompok masyarakat yang satu
mempunyai pandangan yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain.
Perbedaan ini banyak dipengaruhi oleh kulturnya. Sehingga dalam hal ini
perngertian judi selalu berkembang dan berubah. 20
Dalam rumusan Pasal 303 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), pengertian permainan judi dinyatakan sebagai berikut :
”Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permaian, di mana padaumumnya kemungkinan mendapat untuk tergantung pada peruntunganbelaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situtermasuk segala peraturan tentang segala keputusan perlombaan ataupermaian lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turutberlomba atau bermain, dengan demikian juga segala peraturan lainnya”. 21
Dikemukakan oleh Anton Tabah bahwa perjudian telah menjadi
masalah sosial di Indonesia, bahkan termasuk salah satu dari penyakit sosial
yang harus diberantas. Polri sebagai inti kekuatan Kamtibmas telah berbuat
banyak, namun hasilnya memang belum memuaskan. Meskipun angka laju
perjudian dapat ditekan, tetapi secara kualitatif kejahatan perjudian terus
19 Kartini Kartono, 1992b. Op. cit. hlm. 56.20 Satjipto Rahardjo, 1981. Hukum Dalam Perspektif Sosial. Alumni, Bandung. hlm. 99.21 R. Soesilo, 1989. Op. Cit. hlm. 222.
13
ibarat air pasang. Bukan saja jumlah asetnya yang semakin menjulang tetapi
juga peratannya yang semakin canggih. 22
Perjudian adalah penyakit masyarakat dan pada hakikatnya
bertentangan dengan Agama, Kesusilaan, dan Moral Pancasila, serat
membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara. Oleh karena itu Pemerintah Indonseia mengadakan usaha-usaha untuk
menertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya. 23
B. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan
istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau
misdaad) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi
dari pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para
sarjana. Sebagai gambaran umum pengertian kejahatan atau tindak pidana
yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso bahwa secara yuridis pengertian
kejahatan atau tindak pidana adalah “Perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang dan pelanggarannya dikenakan sanksi”, selanjutnya Djoko Prakoso
menyatakan bahwa secara kriminologis kejahatan atau tindak pidana adalah
“perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, dan secara psikologis
kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan manusia yang abnormal yang
22 Anton Tabah, 1991. Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta. hlm. 182-183.
23 R. Soesilo, 1984. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Politeia,Bogor, hlm. 183.
14
bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari
si pelaku perbuatan tersebut. 24
Pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam
hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya
untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka
bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau pengertian
terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana dimaksudkan
untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan
pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana
serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini bahwa,
pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus
sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan sebagai
”hukuman”. 25
Sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman
yang berasal dari kata ”straf” ini dan istilah ”dihukum” yang berasal dari
perkataan ”wordt gestraft”, adalah merupakan istilah konvensional.
Moeljatno tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-
istilah yang inkonvensional, yaitu ”pidana” untuk menggantikan kata
”wordt gestraft”. Jika ”straf” diartikan ”hukuman” maka strafrecht
seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman. Selanjutnya dikatakan oleh
Moeljatno bahwa ”dihukum” berarti ”diterapi hukuman” baik hukum pidana
maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan
24 Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, 1987. Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologidalam Konteks KUHAP. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 137
25 Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 37
15
hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga
keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.26
Sehubungan dengan pendapat sebagaimana tersebut di atas, Sudarto
mengatakan : Bahwa ”penghukuman” berasal dari kata ”hukum”, sehingga
dapat diartikan sebagai ”menetapkan hukum” atau ”memutuskan tentang
hukum” (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya
menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. 27
Membicarakan masalah hukum khususnya dalam perkara pidana, oleh
hakim disinonimkan perkataan ”penghukuman” dengan ”pemidanaan” atau
”pemberian/penjatuhan pidana”. Dalam hal ini menurut Sudarto,
”penghukuman” mempunyai makna yang sama dengan ”sentence” atau
”veroordeling” misalnya dalam pengertian ”semenced coditionally” atau
”voorwardelyk veroordeeled” yang sama artinya dengan ”dihukum pidana
bersyarat”. 28
Dari pendapat tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa perkataan
”pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembahasan
pengertian yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.
Guna memberi gambaran yang lebih luas, maka perlu dikemukakan beberapa
pendapat atau definisi dari para sarjana tentang pidana.
Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan
yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
26 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005. Teori - teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Alumni,Bandung. hlm. 1.
27 Sudarto, 1990/1991. Hukum Pidana 1 A - 1B. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,Purwokerto. hlm. 3
28 Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. hlm. 72
16
memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh
mengatakan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.
Sir Rupert Cross (dalam bukunya Muladi) mengatakan bahwa pidana berarti
pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana
karena suatu kejahatan. 29
Dengan menyebut cara yang lain, Hart sebagaimana dikutip oleh
Muladi mengatakan bahwa pidana harus :
a. Mengandung penderitaan atau konsenkuensi-konsekuensi lain yang tidakmenyenangkan;
b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benarmelakukan tindak pidana;
c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuanhukum;
d. Dilakukan dengan sengaja oleh selain pelaku tindak pidana;e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan
suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut. 30
Perumusan seperti dikemukakan tersebut di atas sejalan dengan
pendapat Alf Ross (dalam bukunya Muladi) yang mengatakan bahwa pidana
adalah reaksi sosial yang :
a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan ataunestapa atau akibat-akibat yang lain yang tak menyenangkan;
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yangmempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindakpidana menurut undang-undang. 31
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak pidana.
29 Muladi, 1985. Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung. hlm. 21-2230 Muladi, 1985. Loc. Cit.31 Ibid., hlm .23.
17
Jadi seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan
memenuhi syarat-syarat tindak pidana (strafbaarfeit). Menurut Sudarto,
pengertian unsur tindak pidana hendaknya dibedakan dari pengertian unsur-
unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang.
Pengertian yang pertama (unsur) ialah lebih luas dari pada kedua (unsur-
unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana
pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP. 32
Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada
umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-
unsur subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur ”subjektif”
adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan
dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur
”objektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
keadaan, yaitu keadaan-keadaan di mana tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan. 33
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah :
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain;
32 Sudarto, 1990/1991. Op. cit., hlm. 43.33 P.A.F. Lamintang, 1984. Hukum Penitensier Indomesia. Rajawali Perss, Jakarta. hlm. 183.
18
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Dengan demikian dapat diketakan unsur-unsur dari suatu tindak
pidana adalah :
a. Sifat melanggar hukum;
b. Kualitas si pelaku;
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 34
Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit)
ada beberapa pendapat para sarjana yaitu pengertian unsur-unsur tindak
pidana menurut aliran monistis dan menurut aliran dualistis.
Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu :
a. D. Simons
Simons yang menganut pandangan monistis mengatakan bahwa
pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) adalah ”Een strafbaar gestelde,
onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een
toerekeningsvatbaar persoon”.
Unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah :
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan);
34 Ibid., hlm. 184
19
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3) Melawan hukum (onrechtmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar
persoon). 35
Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut Simons membedakan adanya
unsur objektif dan unsur subjektif dari strafbaarfeit adalah :
a. Yang dimaksud dengan unsur obyektif ialah : perbuatan orang;
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan
itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat ”openbaar” atau ”dimuka
umum”.
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur subjektif dari strafbaarfeit
adalah :
1) Orangnya mampu bertanggung jawab;
2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dari
perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu
dilakukan. 36
b. Van Hamel
Stafbaarfeit adalah een weterlijk omschre en mensschelijke gedraging
onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten.
Jadi menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana adalah :
1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
35 Sudarto, 1990/1991. Op. cit., hlm. 3236 Sudarto, 1990/1991. Loc. Cit
20
2) Bersifat melawan hukum;
3) Dilakukan dengan kesalahan dan
4) Patut dipidana.37
c. E. Mezger
Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan
demikian unsur-unsurnya adalah :
1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);
2) Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun bersifat
subjektif);
3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;
4) Diancam dengan pidana.
d. J. Baumman
Menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut :
1) Perbuatan yang memenuhi rumusan delik;
2) Bersifat melawan hukum; dan
3) Dilakukan dengan kesalahan. 38
Dari pendapat para sarjana yang beraliran monistis tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal
responsibility. Lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana
menurut pendapat para sarjana yang berpandangan dualistis adalah sebagai
berikut :
a. H.B. Vos, dinyatakan bahwa Strafbaarfeit hanya berunsurkan : 1)
Kelakuan manusia dan 2) Diancam pidana dengan undang-undang.
37 Ibid., hlm. 3338 Sudarto, 1990/1991, Loc. cit.
21
b. W.P.J. Pompe, menurut hukum positif strafbaarfeit adalah tidak lain dari
feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi
perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan
dengan kesalahan dan diancam pidana.
c. Moeljatno, beliau memberikan arti tentang strafbaarfeit, yaitu sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan
tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :
a. Perbuatan (manusia);b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan
syarat formil) danc. Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang
tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat meteriil pun harus adapula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan olehmasyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patutdilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambattercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan olehmasyarakat.
Dengan demikian pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada
pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. 39
3. Jenis-jenis Tindak Pidana
Dalam sistem KUHP kita tindak pidana dibagi atas kejahatan
(misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pemmbagian dalam dua jenis
ini tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal di KUHP, tetapi
sudah dianggap demikian adanya. Dalam Buku II KUHP diatur tentang
Kejahatan sedangkan dalam Buku III diatur mengenai Pelanggaran. Dengan
kata lain KUHP tidak memberikan kriteria mengenai pembedaan jenis tindak
39 Ibid., hlm. 27
22
pidana tersebut, tetapi KUHP hanya memasukan dalam kelompok pertama
kejahatan dan kelompok kedua pelanggaran.40
a. Kejahatan dan pelanggaran
Ada dua pendapat :
1) Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada
perbedaan yang bersifat kualitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2
(dua) jenis delik, ialah :
a) Rechtsdelicten
Yang disebut rechsdelicten ialah perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana
dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi benar-benar dirasakan
oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan. Misal :
pembunuhan, pencurian. Delik semacam ini disebut “kejahatan
(Male perse).
b) Wetsdelicten
Yang disebut wetsdelikten ialah perbuatan yang oleh hukum baru
didasari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang
menyebutkan sebagai delik, jadi kerena ada undang-undang
mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di
sebelah kanan jalan. (Mala quiaprohibita). Delik-delik semacam
ini disebut ”pelanggaran”.41
Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada
kejahatan, yang baru disadari sebagai delik, karena tercantum dalam
40 Ibid., hlm. 5041 Ibid., hlm. 44
23
undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan
sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada
“pelanggaran” yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa
kedilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan,
maka dicari ukuran lain.
2) Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada
perbedaan yang bersifat kuantitatif. Pendirian ini hanya meletakan
kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah
“pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”. Mengenai delik
dalam kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang
menantang. Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga
berpendapat, bahwa penggolongan-penggolongan dari dua macam
delik itu harus ditiadakan.42
b. Delik formil dan materiil (delik dengan rumusan secara formil dan delik
dengan secara materiil).
1) Delik formil itu adalah yang perumusanya dititik beratkan perbuatan
yang dilarang. Delik tesebut telah selesai dengan dilakukan perbuatan
seperti tercantum dalam rumusan delik.
Misal : penghasutan (Pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan
perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan terhadap kepada
satu atau lebih golongan rakyat Indonesia (Pasal 156 KUHP) ;
penyuapan surat (Pasal 263 KUHP); pencurian (Pasal 362 KUHP).
42 Ibid., hlm. 45
24
2) Delik materiil itu adalah delik yang perumusan dititipberatkan kepada
akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila
akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum, maka
paling banyak hanya ada percobaan.
Misal : pembakaran (Pasal 187 KUHP), penipuan (Pasal 362 KUHP),
pembunuhan (Pasal 338 KUHP).
Batas antara delik formil dan delik materiil tidak tajam, misalnya 362
KUHP.43
c. Delik Commissionis, delik ommissionis dan delik commissionis per
ommissionis commissa.
1) Delik commissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap
larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pecurian,
penggelapan, penjualan.
2) Delik ommissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap
perintah, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka Pengadilan
(Pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan
pertolongan (Pasal 531 KUHP).
3) Delik commissionis per ommissionis commisa : delik yang berupa
pelanggaran larangan (dua delik commissionis), akan tetapi dapat
dilakuakn dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang
membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (Pasal 338
KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan
43 Sudarto, 1990/1991, Loc. Cit.
25
kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194
KUHP.
d. Delik dolus dan delik cupla (doulise en cuplose delicten)
1) Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal Pasal
187, 197, 254, 263, 310, 338, KUHP.
2) Delik cupla : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur,
missal : Pasal – pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan Pasal 359,
360 KUHP.
e. Delik tunggal dan delik berganda (enkeve en samengestede delicten).
1) Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu
kali.
2) Delik berganda : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan
bebrapa kali perbuatan, missal : Pasal 481 (penahanan sebagai
kebiasaan)
f. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus
(voortdurende en niet voortdurende (alfopende delicten).
Delik yang berlangsung terus : delik yang mampunyai ciri bahwa
keadaan terlarang itu berlangsung terus : missal merampas kemerdekaan
seseorang (Pasal 333 KUHP).
g. Delik aduan dan delik bukan aduan (kalchtdelecten en niet klacht
delecten).
Delik aduan : Delik yang penutunya hanya dilakukan apabila ada
gangguan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij), misal : perzinaan
26
(Pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran,
Pasal 335 ayat (1) sub KUHP juncto ayat 2).
Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
1) Delik aduan yang bersifat absolut, ialah misal : Pasal 284, 310, 332
KUHP. Delik ini sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan
pengakuan.
2) Delik aduan yang relatif adalah misal : Pasal 367 KUHP. Disebut
relatif, karena dalam delik ada hubungan istimewa antara si pembuat
dan orang yang terkena.
Catatan :
Perlu dibedakan antara aduan dan gugatan dan laporan. Gugatan dipakai
dalam acara perdata, misal : A menggugat B di muka pengadilan, karena
B tidak membayar hutangnya kepada A. Laporannya hanya
pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada polisi
atau jaksa.
h. Delik sederhana dan delik yang ada pembenaranya (eenvoudige dan
gendualificeerde delecten).
Delik yang ada pembenaranya, misal : penganiayaan yang menyebabakan
luka berat atau matinya orang (Pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian
pada waktu malam hari dan sebagainya. (Pasal 363). Ada delik yang
ancaman pidananya diperingan karena dilakuakn dalam keadaan tertentu,
misal pembunuhan kanak-kanak ( Pasal 341 KUHP). Delik ini disebut
“georivilegeerd delict”.
27
Delik sederhana : misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian
(Pasal 341 KUHP).
i. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan
delik ekonomi.
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam Pasal 1
Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1955, UU Darurat Tentang Tindak
Pidana ekonomi.
j. Kejahatan ringan : Dalam KUHP ada kejahatan-kejahatan ringan ialah :
Pasal 364, 373, 375, 384, 302, (1), 315, 407 KUHP.
C. Teori-teori Tentang Pemidanaan
1. Pengertian Pidana
Pidana menurut R. Soesilo berarti hukuman, yaitu suatu perasaan
tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang
yang melanggar undang-undang hukum pidana. 44 Wiryono Prodjodikoro
Pidana adalah hal-hal yang dipidanakan oleh instansi yang berkuasa yang
dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak
dirasakannya, dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. 45 Menurut
Sudarsono, pidana adalah hukuman, hal ini ada hubungannya dengan Pasal 5
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu :
Pasal 5 :
(1) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkanbagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan : 1) Salah satukejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal160, 161, 240, 279, 450, dan 451. 2) Salah satu perbuatan yang oleh
44 R. Soesilo, 1989. Op. cit. hlm. 3545 Wiryono Prodjodikoro, 1989. Azas-azas Hukum Pidana Indonesia. PT. Eresco, Bandung. hlm. 1
28
suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesiadipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam denganpidana.
(2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapatdilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudahmelakukan perbuatan. 46
Menurut Van Hamel, arti dari pada pidana atau straf menurut hukum
positif adalah ”Sesuatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang menjatuhkan pidana atas nama
negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar sesuatu
peraturan hukum yang ditegakkan oleh negara”.47
Simon mengakatan pidana atai straf dapat diartikan sebagai berikut :
”Sesuatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan
dengan pelanggaran terhadap sesuatu norma, yang dengan suatu putusan
hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”. 48 Sedangkan Algra
Janssen, merumuskan bahwa pidana atau straf adalah sebagai berikut :
”Alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkankepada mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapatdibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagiandari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa,kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya iat telah tidak melakukansuatu tindak pidana”. 49
Menurut hukum positif di Indonesia, rumusan ketentuan pidana
tercantum dalam Bab II Pidana Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), dinyatakan bahwa pidana terdiri atas :
46 Sudarsono, 2007. Kamus Hukum. PT. Rineka Cipta, Jakarta. hlm. 36147 P.A.F. Lamintang, 1984. Op. cit., hlm. 4748 Ibid., hlm. 4849 P.A.F. Lamintang, Loc. Cit.
29
a. Pidana pokok:
1) Pidana mati;2) Pidana penjara;3) Pidana kurungan;4) Pidana denda;5) Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan1. Pencabutan hak-hak tertentu;2. Perampasan barang-barang tertentu;3. Pengumuman putusan hakim. 50
Sedangkan jenis pidana yang terdapat dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2005, agak sedikit berbeda
dengan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dari segi pengelompokannya antara RKUHP 2005 dan KUHP sama yaitu
diklasifikasikan kepada 2 (dua) golongan yaitu pidana pokok dan pidana
tambahan.
Pidana Pokok dalam Pasal 65 RKUHP adalah :
a. Pidana penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda;
e. Pidana kerja sosial.
Pidana mati menurut RKUHP 2005 Pasal 66 merupakan pidana pokok
anak tetapi bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pidana tambahan dalam RKUHP adalah :
a. Pencabutan hak tertentu;
b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
50 Andi Hamzah, 2006. KUHP & KUHAP. PT. Rineka Cipta, Jakarta. hlm. 6
30
c. Pengumuman putusan hakim;
d. Pembayaran ganti kerugian;
e. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
yang hidup. 51
Setelah memperhatikan dan mengadakan komparasi jenis pidana yang
tercantum dalam KUHP dan RKUHP 2005 tentang jenis-jenis pidana
sungguh terdapat perbedaan yang cukup mencolok. Urutan jenis pidana
pokok dalam RKUHP 2005 yaitu pidana mati bukan lagi menjadi pidana
pokok yang menempati urutan pertama melainkan menjadi pidana yang
sifatnya khusus. Demikian pula pidana tutupan menjadi pidana pokok kedua
setelah pidana penjara, lain halnya dengan KUHP yang menempati urutan
kelima. 52
2. Teori Pemidanaan
Menentukan mengenai tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang
cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan
untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan
tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang
anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak
berhadil dilakukan memerlukan formasi baru dalam sistem atau tujuan
pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan
yang bisa diklasifikasikan berasarkan teori-teori tentang pemidanaan.
Tinjauan tentang teori pemidanaan terdapat 2 (dua) kajian, yaitu tujuan
51 Zainal Abidin, 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP. ELSAM,Jakarta. hlm. 18-19
52 Zainal Abidin, Loc. Cit.
31
pemidanaan yang tradisisonal dan tujuan pemidanaan menurut teori
perlindungan masyarakat.
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
dalam 3 (tiga) kelompok teori, yaitu:
a. Teori absolut atau pembalasan (retributive/vergeldings theorieen);
b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen);
c. Teori gabungan (verenigings teorieen).
Ad. a. Teori absolut
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan suatau kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est).
Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar
pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan
itu sendiri. Menurut Johannes Andenaes tujuan utama (primair) dari
pidana menurut teori absolut ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan”
(to satisfy the clams of justice) sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang
menguntungkan adalah sekunder. 53
Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas
dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law”
sebagaimana dikutip oleh Muladi mengemukakan sebagai berikut:
“ … Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai saranauntuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itusendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakanhanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk
53 Muladi & Barda Nawawi Arief, 2005. Op. Cit., hlm. 10-11.
32
menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya)pembunuh terakhir yang masih ada di dalam penjara harus di pidanamati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itudilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnyamenerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendamtidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidakdemikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambilbagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadapkeadilan umum”. 54
Jadi menurut pendapat Kant, pidana merupakan suatu tuntutan
kesusilaan. Kant, memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatief”
yakni: seseorang harus di pidana oleh hakim karena ia telah melakukan
kejahatan. Pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai suatu
tujuan, melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de
gerechtigheid). 55
Dalam buku John Kalpan, teori retribution ini dibedakan lagi
menjadi dua teori, yaitu: a) Teori pembalasan (the revenge theory), b)
Toeri penebusan dosa (the expiation theory). Menurut John Kalpan
kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda, tergantung dari cara orang
berpikir pada waktu menjatuhkan pidana yaitu apakah pidana itu
dijatuhkan karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya” atau karena
“ia berhutang sesuatu kepada kita”. Pembalasan mengandung arti bahwa
hutang si penjahat “telah dibayarkan kembali” (the criminal is paid back)
sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat “membayar
kembali hutangnya” (the criminal pays back). 56
54 Muladi & Barda Nawawi Arief, 2005. Loc. cit.55 Ibid., hlm. 12.56 Ibid., hlm. 13.
33
Ad. b. Teori relatif
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan
absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai,
tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai
“teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence). Menurut
Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori aliran reduktif (the
“redictive” point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori
ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Oleh karena itu para
penganutnya dapat disebut golongan “Reducers” (Penganut teori
reduktif). Pidana bukan sekedar melakukan pembalasan atau
pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana,
tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena
itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Jadi
dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada
tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang
membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan
melakukan kejahatan). 57
Beda ciri pokok atau karakteristik antara teori retributive dan
teori utilitarian dikemukakan secara terperinci oleh Karl. O.
Christiansen sebagai berikut :
1) Pada teori restribution :
a) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
57 Ibid., hlm. 16.
34
b) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidakmengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untukkesejahteraan masyarakat;
c) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
e) Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murnidan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik ataumemasyarakatkan kembali si pelanggar.
2) Pada teori utilitarian :
a) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
b) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untukmencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraanmasyarakat;
c) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkankepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yangmemenuhi syarat untuk adanya pidana;
d) Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untukpencegahan kejahatan;
e) Pidana melihat kemuka (bersifat prospektif); pidana dapatmengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaanmaupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidakmembantu pencegahan kejahatan untuk kepentingankesejahteraan masyarakat. 58
Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa
dibedakan antara istilah prevensi spesial dan prevensi general atau sering
juga digunakan istilah “special deterrence” dan “general deterrence”.
Dengan prevensi special dimaksudkan pengaruh pidana terhadap
terpidana. Jadi pencegahaan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana
dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan
pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu berubah
menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Teori tujuan
58 Ibid., hlm. 16-17.
35
pidana serupa ini dikenal dengan sebutan Reformation atau
Rehabilitation Theory. Dengan prevensi general dimaksudkan pengaruh
pidana terhadap masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan
kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah
laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak
pidana. 59
Ad. c. Teori gabungan
Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan
seperti dikemukakan di atas, yaitu teori absolut dan teori relatif, ada teori
ketiga yang disebut teori gabungan (verenigings theorieen). Penulis yang
pertama mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino Rossi (1787 –
1848). Selain ia tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana
dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pebalasan yang
adil, namun dia berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai
pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan
prevensi general. Penulis-penulis lain yang berpendirian bahwa pidana
mengandung pelbagai kombinasi tujuan ialah Binding, Merkel, Kohler,
Richard Schmid dan Beling. 60
Teori gabungan mendasarkan pidana pada asas pertahanan tata
terbit masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu adalah menjadi dasar
dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi 2
(dua), yaitu :
59 Ibid., hlm. 17-18.60 Ibid., hlm. 19.
36
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan
itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhnya pidana tidak boleh
lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Pendukung dari teori gabungan yang lebih menitikberatkan pada
pembalasan ini didukung oleh Pompe, yang mempunyai pandangan
bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga
bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar supaya
kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan.
Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat
bagi pertahanan tata tertib hukum di dalam masyarakat. 61
3. Tujuan Pemidanaan
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang dilematis,
terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan
pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak
dari proses pidana sebagai pencegahan tingkah laku yang anti sosial.
Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil
dilakukan, memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan
dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa
diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. 62
61 Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Raja Grafindo Persada, Jakarta,hlm. 162
62 Zainal Abidin, 2005. Op. cit. hlm. 10
37
Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang
surut dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi
telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi
tidak dapat berjalan. Maka pada tahun 1970 telah terdengar tekanan-tekanan
bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate
sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman. 63 Dalam
menetapkan tujuan pemidanaan Sholehuddin, mengemukakan bahwa untuk
menciptakan sinkroniasi yang bersifat fisik dalam tujuan pemidanaan harus
diperhatikan adanya 3 (tiga) faktor, yaitu : Sinkronisasi struktural (structural
synchronizaton), Sinkronisasi substansial (subtansial synchronizaton), dan
Sinkrinosasi kultural (cultural synchronizaton).64
Menurut Romli Atmasasmita, ada 4 (empat) tujuan pemidanaan
yang tercermin dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yaitu :
”Pandangan social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana,pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat spriritual berlandaskanPancasila. Menurutnya dari keempat tujuan pemidanaan tersebut dipertegaskembali dengan mencantumkan Pasal 50 ayat (2) yang menyebutkan,pemidanan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkanmartabat manusia”. 65
Tujuan pemidanaan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, adalah
sebagai berikut : ”Untuk menakut-nakuti orang agar orang tersebut jangan
sampai melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (general
preventive) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan
63 Sholehuddin, 2002. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Doble Track System danImplementasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 61
64 Ibid., hlm. 11965 Romli Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta, Bandung. hlm. 90
38
kejahatan agar di kemudian hari orang itu tidak melakukan lagi kejahatan”. 66
Menurut Sudarto, tujuan pemidanaan pada hakikatnya merupakan tujuan
umum negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka politik hukum adalah
berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan untuk sama-sama yang
akan datang. Lebih lanjut Sudarto mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan
adalah :
a. Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukankejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakutiorang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie);
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakansuka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya,sehingga bermanfaat bagi masyarakat;
c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara,masyarakat, dan penduduk, yakni :1) Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berbudi baik dan berguna2) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak
pidana. 67
Romli Atmasasmita, mengemukakan, jika dikaitkan dengan teori
restributif tujuan pemidanaan adalah :
a. Dengan pemidanaan maka si korban akan merasa puas, baik perasaan adilbagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan tersebut tidakdapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidakmenghargai hukum. Tipe restributif ini disebut vindicative.
b. Dengan pemidanaan akan memberikan peringatan pada pelaku kejahatandan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikanorang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak sahatau tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe restributif ini disebutfairness.
66 Andi Hamzah, 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. AkademikaPressindo, Jakarta, hlm. 26.
67 Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 83
39
c. Pemidanaan dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandinganantara apa yang disebut dengan the grafity of the offence dengan pidanayang dijatuhkan. Tipe restributif ini disebut dengan proportionality.Termasuk ke dalam ketegori the grafity ini adalah kekejaman darikejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalamkejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karenakelalainnya. 68
Tipe restributif yang disebut vindicative tersebut di atas, termasuk ke
dalam kategori pembalasan. John Kalpan, dalam bukunya Criminal Justice
membagi teori restributif menjadi 2 (dua), yaitu : a) The reverange theory
(teori pebalasan), b) The expiation theory (teori penebusan dosa). 69
Pembalasan mengandung arti hutang si penjahat telah dibayarkan kembali
(the criminalis paid back), sedangkan penebusan dosa mengandung arti si
penjahat membayar kembali hutangnya (the criminal pays back). Jadi
pengertiannya tidak jauh berbeda. Menurut John Kalpan, tergantung dari
cara orang berpikir pada saat menjatuhkan sanksi. Apakah dijatuhkannya
sanksi itu karena ”menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan ia
berhutang sesuatu kepada kita. Sebaliknya Johannes Andenaes, menegaskan
bahwa ”penebusan” tidak sama dengan ”pembalasan dendam” (revange).
Pembalasan berusaha memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian para
korban atau orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan penebusan
dosa lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. 70
Menurut Muladi, dalam tujuan pemidanaan dikenal istilah restorative
justice model yang mempunyai beberapa karakteristik, yaitu :
68 Romli Atmasasmita, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Mandar Maju,Bandung. hlm. 83-84
69 Muladi, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni, Bandung. hlm. 1370 Ibid., hlm. 14
40
a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang laindan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dankewajiban pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negoisasi;d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi
sebagai tujuan utama;e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar
hasil;f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun dalam penyelesain hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindakpidana didorong untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahamanterhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial, danekonomis;
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif. 71
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan
adalah untuk mendidik atau memperbnaiki orang-orang yang sudah
menandakansuka melakukan kejahatan, agar menajdi orang yang baik
tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. 72
71 Muladi, 1996. Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semaranghlm. 127-129
72 Wirjono Prodjodikoro, 1989, Op. cit. hlm. 18