8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Belajar
Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku manusia dan
mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan. Perubahan perilaku
terjadi karena didahului oleh proses pengalaman. Dari pengalaman yang satu ke
pengalaman yang lain akan menyebabkan proses perubahan. Perubahan ini tidak
hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan tetapi juga kecakapan,
ketrampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak dan penyesuaian diri.
Menurut Hamalik (2001: 29) bahwa belajar bukan suatu tujuan, tetapi belajar
merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan.
Dengan demikian seseorang dikatakan belajar apabila terjadi perubahan
pada diri orang yang belajar akibat adanya latihan dan pengalaman melalui
interaksi dengan lingkungan. Hakekat belajar adalah perubahan tingkah laku,
sehingga menurut Djamarah (2002: 15) belajar mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Belajar adalah perubahan yang terjadi secara sadar.
2) Perubahan dalam belajar bersifat fungsional.
3) Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif.
4) Perubahan dalam belajar tidak bersifat sementara.
5) Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah.
6) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Prinsip-prinsip belajar untuk melengkapi berbagai pengertian dan makna
belajar, perlu dikemukakan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan belajar.
Menurut Slameto (2003: 27-28) seorang guru atau calon guru perlu mengetahui
prinsip-prinsip belajar yaitu prinsip-prinsip belajar yang harus dilaksanakan dalam
situasi dan kondisi yang berbeda dan oleh setiap siswa secara individual.
Beberapa prinsip belajar yang perlu diketahui berdasarkan prasyarat yang
diperlukan untuk belajar antara lain:
9
a. Dalam belajar setiap siswa harus diusahakan partisipasi aktif,
meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan
instruksional.
b. Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat
pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional.
c. Belajar perlu lingkungan yang menantang di mana anak dapat
mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif.
d. Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya.
Berdasarkan pengertian hasil belajar di atas dapat disimpulkan bahwa
proses belajar mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru
ke subjek belajar/siswa, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan subjek belajar
merekonstruksi pengetahuannya. Mengajar adalah bentuk partisipasi dengan
subjek belajar dalam membentuk pengetahuan dan membuat makna, mencari
kejelasan. Karena itu guru mempunyai peran yang penting sebagai mediator dan
fasilitator untuk membantu optimalisasi belajar siswa dengan cara menggunakan
metode-metode mengajar yang tepat. 2.1.2. Hasil Belajar
Keberhasilan seseorang dalam proses belajar mengajar atau suatu program
pendidikan salah satu alat ukur yang paling banyak digunakan adalah tes belajar.
Jika ingin memberikan pengukuran dan penilaian terhadap hasil. Hasil belajar
yang dapat ditampilkan oleh siswa, dapat menggunakan asesmen. Menurut
pendapat Hamalik (2001: 34) hasil belajar adalah perubahan tingkah laku pada
orang tersebut dari tidak tahu menjadi tahu. Perubahan tingkah laku yang
termasuk hasil belajar meliputi pengetahuan, emosional, pengertian konsep,
keterampilan estis atau budi pekerti, dan sikap.
Menurut pendapat Nana Sudjana (2011: 12) menyatakan bahwa hasil belajar
sebagai objek penilaian pada hakikatnya menilai penguasaan siswa terhadap
tujuan-tujuan instruksional. Karena isi rumusan tujuan instruksional
menggambarkan hasil belajar yang harus dikuasai siswa berupa kemampuan-
kemampuan siswa setelah menerima atau menyelesaikan pengalaman belajarnya.
Belajar terdiri dari input kemudian proses (belajar) dan menghasilkan output
10
(hasil belajar) dapat dijelaskan bahwa proses (belajar) yang biasa akan
menghasilkan output atau hasil belajar yang biasa pula, Jadi faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar juga akan mempengaruhi atau berdampak pada hasil
belajar.
Hasil belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang
mencakup bidang kognitif dan afektif yang dimiliki siswa setelah menerima
pengalaman belajarnya. Kemampuan kognitif adalah kawasan yang berkaitan
dengan aspek-aspek intelektual atau secara logis yang biasa diukur dengan pikiran
atau nalar. Kemampuan afektif adalah kawasan yang berkaitan dengan aspek-
aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan
sebagainya.
Berikut dijelaskan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi belajar,
menurut Slameto (2010: 14) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
digolongkan menjadi 2 yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Dimana faktor intern
adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar dan faktor ekstern
adalah faktor yang ada di luar individu. Dalam faktor intern terdapat faktor
jasmaniah yang meliputi kesehatan, cacat tubuh. Kemudian faktor psikologis yang
meliputi inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan dan
yang terakhir adalah faktor kelelahan. Selain faktor intern juga terdapat faktor
eksternal diantaranya adalah faktor keluarga meliputi cara orang tua mendidik,
relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga,
pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan. Di samping itu, terdapat juga
faktor sekolah yang meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan
siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah,
standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, tugas rumah,
dan yang terakhir adalah faktor masyarakat yang meliputi kegiatan siswa dalam
masyarakat, mass media, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang baik, dan faktor lainnya
adalah alat pelajaran, dapat dijelaskan bahwa alat pelajaran erat hubungannya
dengan cara belajar siswa karena alat pelajaran digunakan guru dalam
menyampaikan pelajaran dan juga digunakan siswa dalam menerima materi
11
pelajaran yang disampaikan guru selain itu juga mengingat karakteristik anak
sekolah dasar yang perlu adanya benda konkret dalam memahami sesuatu juga
karakteristik dari mata pelajaran matematika sendiri bahwa matematika tidak
hanya mengkaji hal-hal yang konkret tetapi juga hal yang abstrak.
Berdasarkan uraian tentang definisi hasil belajar, pada intinya hasil belajar
merupakan dampak yang telah diperoleh dari belajar atau berinteraksi dengan
lingkungan. Dampak tersebut dapat berupa perubahan tingkah laku yang pasti
kearah yang positif. Jadi dapat disimpulkan hasil belajar adalah perubahan tingkah
laku yang terjadi pada individu yang berinteraksi dengan lingkungan (belajar) dan
tingkah laku yang dimaksud merupakan perubahan ke arah positif untuk lebih
memahami dengan didukung oleh faktor-faktor pendukung dalam peningkatan
hasil belajar.
2.1.3. Hasil Belajar Matematika Berdasarkan pengertian dari hasil belajar yang merupakan penilaian
perubahan tingkah laku untuk mengetahui pengetahuan siswa terhadap tujuan
pembelajaran. Hasil belajar matematika penjumlahan bilangan bulat adalah hasil
belajar yang dicapai oleh seorang siswa dalam proses pembelajaran matematika
tentang penjumlahan bilangan bulat positif dangan bilangan bulat negatif. Pada
umumnya hasil belajar matematika pada kondisi awal pembelajaran banyak yang
masih rendah, khususnya tentang penjumlahan bilangan bulat positif dengan
bilangan bulat negatif.
Menurut teorema penyusunan yang dikemukakan oleh Bruner dan Kenny
dalam Karso dkk (2004: 64) menyatakan bahwa anak yang mempelajari
penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif, akan lebih
memahami konsep jika ia mencoba sendiri dengan garis bilangan untuk
memperhatikan konsep penjumlahan. Dengan pemahaman konsep yang
dimilikinya, siswa dapat meningkatkan hasil belajar. Selain itu mungkin guru
dapat memberikan contoh-contoh soal yang bervariasi dan memberikan latihan
pada anak didik untuk mengerjakan soal untuk meningkatkan hasil belajar.
Objek penilaian hasil belajar kognitif yang paling banyak dinilai oleh para
guru di sekolah karena ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir,
12
termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi,
menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Menurut Sudjana
(2011: 23-29) dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses
berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi,
enam aspek tersebut antara lain:
1) Pengetahuan (Knowledge), mencakup ingatan akal hal-hal yang
dipelajari dan disimpan dalam ingatan. 2) Pemahaman (Comprehension), mengacu pada kemampuan memahami
makna materi. 3) Penerapan (Application), mengacu pada kemampuan menggunakan
atau menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru
dan menyangkut penggunaan atau dan prinsip. 4) Analisis (Analysis), mengacu pada kemampuan menguraikan materi
ke dalam hubungan diantara bagian yang satu dengan lainnya
sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti. 5) Sintesis (Synthesis), mengacu pada kemampuan memadukan konsep
atau komponen-komponen sehingga membentuk suatu pola struktur
atau bentuk baru. 6) Evaluasi (Evaluation), mengacu pada kemampuan memberikan
pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu. Berdasarkan uraian di atas tentang hasil belajar matematika, dapat
disimpulkan bahwa dapat diartikan bahwa belajar merupakan suatu proses
perubahan secara sadar, bersifat continue baik dalam hal tingkah laku ataupun
pengetahuan yang mempunyai tujuan terarah sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya. Pembelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa
untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis,
kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.
2.1.4. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya siswa diajak untuk aktif
dalam kegiatan belajar, oleh sebab itu guru dituntut untuk mampu menggunakan
variasi model pembelajaran agar kegiatan pembelajarannya tidak selalu berpusat
13
pada guru sehingga siswa juga aktif dalam belajar untuk mengurangi rasa bosan.
Banyak para ahli yang mendefinisikan tentang pembelajaran matematika di
sekolah dasar salah satunya adalah Anitah (2008: 34) yang mengungkapkan
bahwa pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara
sengaja dikelola untuk memungkinkan siswa turut serta dalam kondisi-kondisi
khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi
Menurut Muhsetyo (2008: 27) pembelajaran matematika adalah proses
pemberian belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang
terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan
matematika yang dipelajari. Hal itu juga diperkuat oleh pendapat Anitah (2008:
36) yang menjelaskan karakteristik pembelajaran matematika, yaitu diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kajian yang konkret dan abstrak.
b. Pola pikirnya induktif dan deduktif.
c. Kebenarannya konsistensi dan korelasional.
d. Bertumpu pada kesepakatan.
e. Memiliki simbol kosong dari arti dan juga berarti.
Sejalan dengan pemikiran para ahli, pendapat Piaget dalam Lapono (2009),
Pemikiran anak– anak usia sekolah dasar disebut pemikiran operasional konkret
(Concret Operational Thought), artinya aktivitas mental yang difokuskan pada
objek-objek peristiwa nyata atau konkret. Pembelajaran tidak hanya berpusat pada
gurunya akan tetapi juga interaksi atau kerja kelompok dengan teman. Dengan
kerja kelompok maka siswa akan belajar dengan temannya dan kerja kelompok
juga bisa mengenal lebih dekat lagi karakteristik teman sendiri.
Jadi, pembelajaran matematika yang diajarkan di SD merupakan
matematika sekolah yang terdiri dari bagian-bagian matematika yang dipilih guna
menumbuh kembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi anak.
Matematika sebagai studi tentang objek abstrak tentu saja sangat sulit untuk dapat
dipahami oleh siswa-siswa SD yang belum mampu berpikir formal, sebab
orientasinya masih terkait dengan benda-benda konkret.
14
2.1.5. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional sering disebut dengan pembelajaran
ekspositori. Metode konvensional merupakan suatu pembelajaran yang sering
digunakan oleh para guru dan pembelajaran ini memiliki kekhasan tertentu,
misalnya lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan pada
ketrampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses dan pembelajaran
berpusat pada guru. Paradigma yang menjadi acuan dari pembelajaran
konvensional ini adalah paradigma mengajar. Menurut Sanjaya dalam Rusmono
(2012: 66) menyebutkan bahwa strategi pembelajaran ekspositori dengan nama
strategi pembelajaran langsung, karena dalam strategi ini materi pembelajaran
disampaikan langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi
itu, karena materi pelajaran seakan-akan sudah jadi. Secara umum, ciri-ciri
pembelajaran konvensional adalah:
1) Siswa adalah penerima informasi secara pasif, dimana siswa menerima
pengetahuan dari guru dan pengetahuan diasumsinya sebagai badan dari
informasi dan keterampilan yang dimiliki sesuai dengan standar.
2) Pembelajaran ini lebih mengutamakan hasil daripada proses.
3) Kegiatan utamanya adalah menerangkan dan siswa
mendengarkan/mencatat yang disampaikan guru.
4) Dalam pembelajaran konvensional, metode yang sering digunakan
adalah metode ceramah dengan diiringi penjelasan serta pembagian
tugas dan latihan, atau, metode ekspositori yang kemudian memberikan
contoh soal dan penyelesaiannya serta memberi soal-soal latihan dan
siswa disuruh mengerjakannya.
5) Aktivitas guru mendominasi kelas dengan metode konvensional
(ekspositori) dan aktivitas siswa untuk menyampaikan pendapat sangat
kurang sehingga siswa menjadi pasif dalam belajar.
Pengajaran matematika dengan pendekatan pembelajaran konvensional
lebih menekankan pada hasil dibandingkan dengan proses. Menurut Rusmono
(2012: 67) dalam pembelajaran matematika, guru biasanya menggunakan media
pembelajaran untuk menjelaskan materi pelajaran secara naratif melalui ceramah
15
dan selanjutnya mengadakan tanya jawab terhadap materi yang telah disampaikan.
Selain itu, dalam usaha menyelesaikan materi sesuai kurikulum, guru lebih
cenderung pada pemberian hafalan, drill, dan ceramah serta cara yang digunakan
oleh guru mayoritas adalah pengerjaan soal-soal yang terdapat dalam LKS. Dalam
hubungan ini, guru memegang kendali seluruh proses pembelajaran dan siswa
mengikuti apa yang telah dirancang guru. Menurut Dimyati (2009: 172) guru aktif
memberikan penjelasan atau informasi terperinci tentang tujuan bahan pengajaran.
Tujuan utama dari pembelajaran konvensional adalah memindahkan pengetahuan
keterampilan dan nilai-nilai kepada siswa.
Menurut Muhammad Kholik (2011) dalam artikelnya dikatakan bahwa
pengajaran metode konvensional dipandang efektif atau mempunyai keunggulan,
terutama:
1) Berbagai informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
2) Menyampaikan informasi dengan cepat.
3) Membangkitkan minat akan informasi.
4) Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.
5) Mudah digunakan dalam proses belajar mengajar.
Sedangkan kelemahan pembelajaran ini adalah sebagai berikut:
1) Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan.
2) Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan
apa yang dipelajari.
3) Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
4) Daya serapnya rendah dan cepat hilang karena bersifat menghafal.
Jadi pembelajaran konvensional, seorang guru dalam kegiatan belajar
mengajar memegang kendali jalannya pembelajaran, sementara siswa hanya
menerima dan mengikuti apa yang disajikan oleh guru. Langkah pembelajaran
dalam pembelajaran konvensional adalah 1) ceramah, 2) tanya jawab, 3)
pembelarian soal evaluasi.
2.1.6. Pembelajaran Kooperatif
Untuk meningkatkan hasil belajar siswa, terdapat berbagai macam model
pembelajaran diantaranya adalah model pembelajaran kooperatif. Model
16
pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran di mana siswa belajar dalam
kelompok-kelompok heterogen untuk mencapai hasil belajar pengetahuan
akademik dan keterampilan sosial. Menurut Ina Karlina (2002) dalam artikelnya
yang berjudul pembelajaran kooperatif sebagai salah satu membangun strategi
belajar siswa menyebutkan karakteristik pembelajaran kooperatif diantaranya:
a. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi
akademis.
b. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang
berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.
c. Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif
berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin.
d. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada
individu.
Menurut Slavin (2008: 8), mengatakan bahwa dalam metode
pembelajaran kooperatif, para siswa akan duduk dalam kelompok yang
beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru.
Sedangkan menurut Trianto (2007: 42), pembelajaran kooperatif disusun dalam
sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan
pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serta
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-
sama siswa yang berbeda latar belakangnya.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, belajar dengan model
pembelajaran kooperatif dapat diterapkan untuk memotivasi siswa berani
mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat orang lain, dan saling
memberikan pendapat. Model pembelajaran kooperatif tidak hanya unggul dalam
membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk
menumbuhkan berpikir kritis, bekerja sama, dan membantu teman. Dalam
pembelajaraan kooperatif, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran sehingga
memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi yang
berkualitas, dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya.
17
Menurut Isjoni (2010: 18), adanya kelebihan dan kelemahan dalam pembelajaran
kooperatif.
Kelebihan dari pembelajaran kooperatif antara lain:
1) Saling ketergantungan positif.
2) Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu.
3) Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas.
4) Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan.
5) Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan
gurunya.
6) Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi
yang menyenangkan.
Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada beberapa faktor diantaranya:
1) Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu
memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu.
2) Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan
dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai.
3) Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan
topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang
tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
4) Saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang. Dalam hal ini
mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.
Dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif mempunyai setting kelompok-kelompok kecil dengan
memperhatikan keberagaman anggota kelompok sebagai wadah siswa untuk
bekerjasama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial dengan
teman sebayanya, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mempelajari
sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan dan ia menjadi narasumber bagi
teman yang lain. Dalam hal ini pembelajaran kooperatif mengutamakan kerjasama
diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
18
2.1.7. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Team Achievement
Division)
Menurut Isjoni (2011: 74) pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student
Team Achievement Division) merupakan salah satu dari model pembelajaran
kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa
untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran
guna mencapai hasil yang maksimal. Langkah-langkah model pembelajaran
koopertaif tipe STAD (Student Team Achievement Division) terdiri dari lima
tahapan utama sebagai berikut:
a. Penyajian Materi
Guru menyajikan materi melalui metode ceramah, demonstrasi,
ekspositori, atau membahas buku pelajaran matematika. Dalam tahap ini guru
menyampaikan tujuan pembelajaran khusus dan memotivasi rasa ingin tahu siswa
tentang konsep yang akan dipelajari, agar siswa dapat menghubungkan apa yang
telah dimiliki dengan yang di sampaikan oleh guru. Dalam hal ini, siswa harus
benar-benar memperhatikan agar dapat mengerjakan soal-soal yang di berikan
oleh guru.
b. Kerja Kelompok
Dalam kegiatan kelompok ini para siswa bersama-sama mendiskusikan
lembar kerja yang diberikan dan diharapkan saling membantu sesama anggota
kelompok untuk memahami bahan pelajaran dan menyelesaikan permasalahan
yang diberikan. Setiap kelompok beranggotakan 4-5 orang siswa.
c. Kuis
Kuis adalah tes yang dikerjakan secara mandiri dengan tujuan untuk
mengetahui keberhasilan siswa setelah belajar kelompok. Hasil tes digunakan
sebagai perkembangan individu dan disumbangkan sebagai nilai perkembangan
dan keberhasilan kelompok. Dalam menjawab tes, siswa tidak diperkenankan
saling membantu.
d. Nilai Perkembangan Individu
Perhitungan perkembangan skor individu dihitung berdasarkan skor awal,
dalam penelitian ini didasarkan pada nilai hasil belajara matematika siswa kelas
19
IV semester I. Berdasarkan skor awal setiap siswa memiliki kesempatan yang
sama untuk memberikan sumbangan skor maksimal bagi kelompoknya
berdasarkan skor tes individu yang diperoleh. Menurut Slavin dalam Isjoni (2011:
76) adapun pedoman perhitungan skor pemberian skor perkembangan individu
dengan pedoman pemberian skor pada tabel 2.1:
Tabel 2.1 Pedoman Pemberian Skor Perkembangan Individu
Skor Tes Skor Perkembangan
Individu
a. Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 5
b. 10 hingga 1 poin di bawah skor awal 10
c. Skor awal sampai 10 poin di atasnya 20
d. Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30
e. Nilai sempurna ( tidak berdasarkan skor awal) 30
Perhitungan perkembangan skor individu dimaksudkan agar siswa terpacu untuk
memperoleh prestasi terbaik sesuai dengan tingkat kemampuannya.
e. Penghargaan Kelompok
Penghargaan kelompok adalah pemberian predikat kepada masing- masing
kelompok. Predikat ini diperoleh dengan melihat skor perkembangan kelompok.
Skor perkembangan kelompok diperoleh dengan mengumpulkan perkembangan
skor masing – masing kelompok sehingga diperoleh skor rata-rata kelompok
Menurut Ruhadi (2008) setiap penggunaan model pembelajaran, memiliki
kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan penggunaan pembelajaran
kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division). Ada beberapa
kelebihan dalam menggunakan pembelajaran kooperatif STAD (Student Team
Achievement Division) yaitu:
a. Aktivitas guru dan siswa selama kegiatan belajar mengajar terjadi interaksi
atau kerjasama.
b. Siswa cenderung aktif dalam kegiatan pembelajaran.
c. Mendorong siswa untuk menghargai pendapat orang lain.
d. Kemampuan kerjasama siswa dapat terbangun.
20
e. Meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
Kekurangan dari pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement
Division) yaitu:
a. Karena siswa tidak terbiasa dengan penggunaan pembelajaran tipe STAD
(Student Team Achievement Division) maka alokasi waktu tidak
mencukupi.
b. Guru dituntut untuk bekerja cepat dalam menyelesaikan tugas yang
berkaitan dengan kegiatan pembelajaran seperti koreksi pekerjaan siswa,
melakukan perubahan kelompok belajar.
c. Jika jumlah siswa terlalu banyak maka guru kurang maksimal mengamati
kegiatan belajar kelompok.
Untuk mengatasi kekurangan dari pembelajaran kooperatif tipe STAD
(Student Team Achievement Division) adalah dalam pelaksanaan pembelajaran,
guru harus benar-benar memperhatikan waktu dengan baik agar pembelajaran
dapat terlaksana dengan baik tanpa mengganggu jam pelajaran selanjutnya.
Kerjasama antara siswa dan guru harus terjalin dengan baik agar pembelajaran
lebih menyenangkan dan terjalin suasana yang akrab. Untuk mempersiapkan
pengaturan kelas yang digunakan untuk belajar kelompok harus disiapkan dengan
rapi sebelum pelaksanaan pembelajaran agar siswa tetatp nyaman mengikuti
pembelajaran.
Dapat disimpulkan bahwa STAD (Student Team Achievement Division)
merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dimana siswa
ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang merupakan
campuran menurut tingkat kinerja, jenis kelamin dan suku. Guru menyajikan
pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa seluruh
anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut.
Berdasarkan tahapan-tahapan yang telah dikemukakan di atas, dapat disusun
langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement
Division) sebagai berikut:
a. Pendahuluan
1) Guru menyampaikan salam pembuka.
21
2) Guru melakukan apersepsi.
3) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
4) Guru memberikan motivasi.
b. Kegiatan Inti
Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan langkah-langkah
pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division).
1) Tahap pertama (penyajian materi)
a. Guru mempresentasikan materi pelajaran yang akan dipelajari.
2) Tahap kedua (kerja kelompok)
a. Guru akan membagi siswa dalam beberapa kelompok dan masing-
masing kelompok terdiri 4-5 siswa.
b. Dalam kerja kelompok, masing-masing kelompok akan mendapatkan
lembar diskusi untuk memecahkan suatu masalah
c. Setiap kelompok akan melakukan presentasi hasil diskusi.
3) Tahap ketiga (tes individu)
a. Siswa akan mengerjakan soal yang diberikan guru.
b. Setelah selesai mengerjakan tes individu, maka akan dilakukan
penilaian dari nilai tes oleh guru.
4) Tahap keempat (pemberikan skor perkembangan individu)
a. Guru akan memberikan skor perkembangan individu, berdasarkan nilai
awal siswa yang telah ditetapkan kemudian dilihat juga hasil tes
individu.
b. Guru akan memberikan skor perkembangan individu kepada setiap
siswa.
5) Tahap kelima (penghargaan kelompok)
a. Guru akan memberikan penghargaan kepada kelompok yang
mempunyai nilai tertinggi.
c. Penutup
1) Siswa dan guru, menyimpulkan materi yang telah dipelajari.
2) Guru mengingatkan siswa untuk mempelajari materi yang telah dipelajari.
3) Guru menutup pembelajaran.
22
Suatu pengajaran dapat dikatakan berhasil jika dengan pengajaran tersebut,
siswa menjadi lebih mudah memahami pelajaran, dan termotivasi dalam belajar
tanpa merasa jenuh. Efektifitas model pembelajaran merupakan suatu ukuran yang
berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran.
Menurut Pratana (2008, 161-162) menyebutkan bahwa efektif yang dimaksud
dalam keberhasilan dari suatu proses pembelajaran adalah adanya perubahan yang
meningkat prestasi belajar, motivasi belajar dan aktivitas belajar siswa.
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
(Student Team Achievement Division) efektif dalam meningkatkan prestasi belajar
siswa apabila rata-rata hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata hasil belajar kelas kontrol dan dapat meningkatkan keaktifan
siswa dalam proses pembelajaran. 2.2. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Pada dasarnya suatu penelitian yang akan dibuat dapat memperhatikan
penelitian lain yang dapat dijadikan rujukan dalam mengadakan penelitian.
Adapun penelitian terdahulu yang hampir sama diantaranya: penelitian yang
dilaksanakan oleh Heri Pamuji (2009) dengan skripsinya yang berjudul
“Keefektifan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Team
Achievement Division) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa Kelas VII SMP N 2 Adimulyo Kebumen Pada Sub Pokok Bahasan Persegi
Panjang Dan Persegi menyatakan bahwa Berdasarkan hasil uji normalitas dan
homogenitas data hasil tes dari kedua kelompok tersebut diperoleh bahwa kedua
sampel normal dan homogen, sehingga untuk pengujian hipotesis dapat digunakan
uji t. Dari hasil perhitungan pada lampiran diperoleh t hitung = 1,92 sedangkan nilai
ttabel = 1,67. Karena thitung > ttabel maka H0 ditolak dan hipotesis diterima. Jadi rata-
rata hasil evaluasi pembelajaran pada kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas
kontrol. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah pada kelas eksperimen lebih
baik dari pada kelas kontrol. Sehingga dapat dikatakan pembelajaran kooperatif
tipe STAD lebih efektif dari pada pembelajaran ekspositori terhadap kemampuan
23
pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP N 2 Adimulyo Kebumen
pada sub pokok bahasan persegi panjang dan persegi.
Penelitian yang dilaksanakan oleh Rahayuningsih (2011) dengan skripsinya
yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
STAD terhadap Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Matematika Kelas V SD
Negeri 1 Wadaslintang Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo Semester
2 Tahun Ajaran 2010/2011” menyatakan bahwa adanya perbedaan yang signifikan
hasil belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan hasil
belajar tanpa model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada kelompok kontrol
dengan hasil penelitian yang menunjukkan hasil uji beda post-test kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol, nilai mean untuk kelas eksperimen sebesar
79,45 dan nilai mean untuk kelas kontrol sebesar 64,96, sehingga dapat
disimpulkan bahwa nilai rata-rata post-test kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol lebih tinggi kelompok eksperimen. Kemudian tabel nilai sig (2-tailed)
0,000 berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol sehingga terdapat pengaruh penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD terhadap hasil belajar. Penelitian yang dilaksanakan oleh Heri Pamuji dan Rahayuningsih tersebut,
dapat memberikan gambaran peneliti untuk melaksanakan penelitian yang
berhubungan dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
(Student Team Achievement Division) dalam pembelajaran matematika. Dan
dengan penelitian tersebut terbukti menguatkan teori bahwa dalam kegiatan
belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
(Student Team Achievement Division).
2.3. Kerangka Pikir
Masalah yang ada pada pembelajaran matematika adalah karena matematika
dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit. Dalam hal ini, dapat juga disebabkan
guru masih kurang dalam mengembangkan model pembelajaran, dan dalam
proses pembelajaran cenderung guru yang lebih aktif dan siswa hanya
mendengarkan dan mencatat penjelasan guru atau karena minat belajar siswa yang
masih kurang. Pembelajaran konvensional yang dilakukan secara terus menerus
24
akan membuat siswa kurang tertarik dan kesulitan dalam memahami materi yang
dipelajari, sehingga hasil belajar yang dicapai menjadi rendah.
Berdasarkan masalah-masalah yang telah dikemukakan pada waktu observasi
proses pembelajaran matematika kelas IV SD Negeri Salatiga 06, peneliti akan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team
Achievement Division) pada mata pelajaran matematika kelas IV. Model
pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division)
merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana
dengan menggunakan tipe belajar kelompok kecil yang menekankan pada
aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling
membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai hasil belajar yang
maksimal. Dengan penerapan model pembelajaran ini diharapkan siswa menjadi
lebih tertarik dan fokus dalam memahami materi yang diberikan sehingga hasil
belajar siswa akan meningkat.
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement
Division) merupakan struktur sederhana dari pembelajaran kooperatif yang terdiri
atas 5 tahap yaitu 1) penyajian materi yang disampaikan oleh guru, 2) adanya
kerja kelompok antar siswa, 3) melakukan tes individu, 4) perhitungan skor
perkembangan individu, 5) pemberian penghargaan kepada kelompok yang
mempunyai nilai tertinggi.
Prinsip dari model ini adalah membagi siswa menjadi beberapa kelompok
kecil, dan setiap siswa dalam kelompok mempunyai kesempatan yang sama untuk
memberikan skor maksimal bagi kelompoknya. Perhitungan perkembangan skor
individu dimaksudkan agar siswa terpacu untuk memperoleh prestasi belajar yang
terbaik. Perhitungan skor kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan
masing-masing skor perkembangan individu anggota kelompoknya dan hasilnya
dibagi dengan jumlah anggota kelompoknya. Pemberian pengahargaan diberikan
berdasarkan perolehan rata-rata dari skor perkembangan individu dijumlahkan
dengan nilai kelompok. Selain itu pembagian kelompok juga dimaksudkan agar
setiap siswa dapat bertukar pikiran dalam menyelesaikan semua permasalahan
25
yang ditugaskan oleh guru secara bersama-sama sehingga diharapkan setiap siswa
akan aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Dengan melihat hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model
pembelajaran konvensional dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
(Student Team Achievement Division) merupakan salah satu cara penulis untuk
mengetahui seberapa besar keefektifan model pembelajaran koopertaif tipe STAD
(Student Team Avhievement Division) terhadap hasil belajar siswa. Jika siswa
belajar dengan diberikan perlakuan menggunakan model pembelajaran koopertaif
tipe STAD (Student Team Avhievement Division) memperoleh hasil belajar
matematika di atas rata-rata KKM (Kriteria Ketuntasan Mengajar) matematika SD
kelas IV dan nilai rata-rata hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dengan nilai
rata-rata hasil belajar kelas kontrol setelah diberikan perlakuan, maka
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe model
pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Avhievement Division)
bermanfaat dalam pembelajaran. Adapun gambar dari kerangka pikir dapat dilihat
pada gambar 2.1 berikut ini:
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
Kegiatan Belajar
Mengajar Kelas IV
Pembelajaran Koopertif tipe
STAD
Pembelajaran konvensional
1. Penyajian materi
2. Kerja Kelompok
3. Tes Individu
4. Pemberian Skor Individu
5. Penghargaan Kelompok
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
3. Evaluasi
Hasil Belajar Pembelajaran
Kooperatif Tipe STAD
Hasil Belajar Pembelajaran Konvensional
26
2.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan. Dari rumusan masalah di atas, maka dapat dikemukakan
hipotesisnya sebagai berikut :
a. Hipotesis Nol
1) Ho : X1=X2 yaitu rata – rata hasil belajar matematika kelas eksperimen
(siswa kelas IVB SD Negeri Salatiga 06) sama dengan rata – rata hasil
belajar matematika kelas kontrol (siswa kelas IVA SD Negeri Salatiga
06). Artinya model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team
Achievement Division) tidak efektif digunakan dalam peningkatan hasil
belajar matematika pada siswa kelas IV Sekolah Dasar.
b. Hipotesis Alternatif
1) Ha : X1> X2 yaitu rata – rata hasil belajar matematika kelas eksperimen
(siswa kelas IVB SD Negeri Salatiga 06) lebih tinggi dibandingkan rata –
rata hasil belajar matematika kelas kontrol (siswa kelas IVA SD Negeri
Salatiga 06). Artinya model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student
team Achievement Division) efektif digunakan dalam peningkatan hasil
belajar matematika pada siswa kelas IV Sekolah Dasar.