BAB II. KAJIAN PUSTAKA
Dalam ilmu-ilmu sosial, studi atas kaum muda pertama kali dilakukan oleh
sosiologiwan Talcott Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan anggapan
umum bahwa kaum muda adalah kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi
secara biologis oleh usia, menurut Parsons kaum muda adalah sebuah konstruksi
sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat (Wyn and
White, 1997: Barker 2005: 422 - 423). Jadi kaum muda bukanlah sebuah kategori
biologis yang universal. Hal ini berarti, kaum muda sebagai usia dan sebagai
masa transisi, tidaklah mempunyai karakteristik-karakteristik umum. Itulah
sebabnya kecenderungan perlaku kaum muda di Jakarta, Bandung, atau di
Yogyakarta, bisa berbeda dengan kaum muda di Mumbay, London, atau New
York.
Kaum muda tumbuh dan berkembang dalam konteks identitas lokal, nasional,
bahkan global. Modernitas generasi muda dengan demikian bisa dimaknai sebagi
budaya- nilai-nilai, pandangan, sikap, dan perilaku kaum muda dalam bingkai
struktur masyarakat modern saat ini.
A. Modern dalam Perspektif Filosofis-Sosiologis
1. Perspektif Filosofis
Pada mulanya filsafat dipandang sebagai sebuah ”kebijaksanaan” (wisdom)
yang dalam bahasa Yunani disebut sophia. Maka filsafat (philosophia) adalah
cinta akan kebijaksanaan dalam arti mencari dan berusaha mengetahui
kebijaksanaan karena hal itu berarti menjalankan keutamaan.
26
Filsafat juga dipandang sebagai pengetahuan mengenai sebab-sebab terakhir
dari kenyataan, atau menurut Aristoteles adalah ”ilmu tentang pengada sebagai
pengada”. Pandangan ini berusaha untuk menemukan apa yang paling inti atau
fundamental. Corak filsafat ini sering disebut ”metafisika”.
Perkembangan berikut adalah pandangan yang melihat filsafat merupakan
analisis bahasa (linguistic analysis), dan paham yang memandang filsafat sebagai
bidang yang bertugas mencari titik temu atau konvergensi berbagai ilmu
pengetahuan (Sastrapratedja, 2001).
Dalam penelitian ini, filsafat diartikan sebagai suatu disiplin pemikiran yang
berawal dari pemikir Yunani Kuno, yang kemudian menjadi khas pemikiran Barat
modern sejak dibangkitkan dan diformulasikan kembali oleh Rene Descartes
(rasionalisme). Pengertian filsafat seperti ini merujuk pada bidang-bidang
metafisika, epistemologi, etika, estetika, dan logika. Perhatian akan dipusatkan
hanya pada epistemologi secara sambil lalu, dengan pertimbangan bahwa apa
yang ada (metafisika) secara konstan mengandaikan pada apa yang diketahui
(epistemologi).
Istilah modern berasal dari kata Latin “moderna” yang artinya “sekarang”
“baru” atau “saat ini”. Atas dasar pengertian asli ini bisa dikatakan bahwa
manusia senantiasa hidup di zaman “modern”. Oleh karena itu secara filosofis
modern tidak hanya semata-mata menunjuk pada periode, epos atau zaman,
melainkan, dan ini yang lebih penting, juga suatu bentuk kesadaran akan
kebaruan (newness).
27
Pemahaman modernitas sebagai sebuah bentuk kesadaran bersifat
epistemologis dalam arti perubahan bentuk-bentuk kesadaran atau pola-pola
berpikir, dan bukan perubahan institusional sebuah masyarakat. Modernitas
sebagai bentuk kesadaran dicirikan oleh tiga hal yakni: subjektivitas, kritik, dan
kemajuan (Suseno, 1992: 60-69; Hardiman, 2004: 3).
a. Subjektivitas : Manusia sebagai Makhluk yang Sadar
Yang dimaksud subjektivitas bukanlah penilaian-penilaian berdasarkan
perspektif subjektif, melainkan “kekuatan subjek” yakni kesadaran manusia atas
kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di dunia
melainkan hadir dengan sadar, dengan berfikir, dengan berefleksi, dengan
mengambil jarak, secara kritis, dengan bebas.
Subjektivitas manusia mempunyai dua segi (Suseno, 1992: 60 - 64). Pertama,
tentang perspektif manusia itu sendiri yang bertolak dari cara pandang
kosmosentris pada zaman Yunani bergerak ke pandangan yang theosentris, dan
dan akhirnya didesak ke samping oleh pandangan antroposentris dalam masa
Renaissance sehingga lahirlah manusia universal sebagai cita-citanya. Segi kedua
adalah subjektivisme religius yang terungkap dalam reformasi Kristen Protestan,
terutama dalam ajaran Martin Luther. Melawan pimpinan Gereja dan para
penguasa dunia saat itu, Luther mempermaklumkan ”kebebasan orang kristen”,
yakni hak untuk tidak mempercayai sesuatu yang bertentangan dengan suara
hatinya.
Keyakinan akan hak manusia untuk mengikuti kepercayaan yang diyakininya,
ditampung dan diuniversalkan secara etis oleh Emanuel Kant (1724 – 1804). Kant
28
membedakan antara moralitas dan legalitas. Seseorang dapat bertindak sesuai
dengan kewajibannya semata-mata karena hal ini menguntungkan dirinya,
misalnya ia akan dipuji dan dipercayai sebagai orang baik. Inilah yang disebut
legalitas, sebuah kesesuaian lahiriah antara tindakan dan hukum. Sementara
moralitas, atau sikap moral terpuji, mesti terletak dalam hati. Orang hanya
bersikap baik dalam arti moral apabila ia bertindak sesuai dengan kewajibannya
karena ia mau menghormati kewajibannya, bukan karena pertimbangan untung
rugi.
b. Rasionalitas dan Kritik
Di dalam subjektivitas terkandung elemen rasionalitas, yakni tuntutan agar
suatu klaim atau pernyataan dipertanggungjawabkan secara argumentatif, dengan
argumen-argumen yang tidak mengandaikan kepercayaan atau pra-pengandaian
tertentu dan dapat diuniversalkan. Segala sesuatu dapat dan harus dimengerti dan
dipertanggungjawabkan secara rasional. Maka, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional harus ditolak, seperti tradisi, otoritas
tradisional, termasuk di dalamnya adalah dogma.
Penolakan terhadap tradisi, otoritas, dan dogma ini mempunyai dampak dalam
bidang ilmu pengetahuan. Budi Hardiman (1994 : 1-15), melukiskan sebuah
sketsa menarik. Menurutnya, sejarah modernitas dewasa ini adalah sejarah
rasionalisasi, yang digambarkan sebagai pertarungan dua raksasa peradaban yakni
antara logos yakni, rasio atau akal budi manusia, dan mitos yakni spekulasi
metafisis-teologis tanpa basis empiris. Logos dan mitos memiliki musuh bersama
yakni khaos.
29
Pada awalnya, mitoslah yang menyelamatkan manusia dari khaos. Logos yang
datang kemudian tampil lebih maju dalam rupa sains, menawarkan sebuah tilikan
atas dunia yang dapat lebih dimengeti dan diterima. Pertarungan keduanya, dan
juga metamorphosis mereka itulah yang tergelar dalam arena sejarah modernitas
(rasionalisasi).
Watak sains modern adalah “netral”, yakni tidak berprasangka, tidak memberi
penilaian baik atau buruk, dan bebas dari kepentingan. Watak semacam ini secara
tegas dibedakan dari etika yang justru berwatak preskriptif, personal, dan menilai
tindakan. Dengan watak-watak semacam itu, sains merupakan pembawa nilai-
nilai modern. Dalam komunitas ilmiah nilai-nilai ini terwujud dalam sikap tidak
berpihak, toleran, rasional, dan demokratis, karena penelitian ilmiah meyakini
adanya kebenaran objektif yang tidak tergantung pada otoritas subjektif. Nilai-
nilai yang dianut komunitas ilmiah itulah yang diandaikan dapat menjadi sumber
otoritatif bagi masyarakat. Inilah yang disebut saintisme.
Bentuk paling matang dari saintisme ini adalah positivisme yang dirintis
August Comte, yang kemudian dimantapkan lagi oleh Kelompok Wina pada abad
ke-20. Basis epistemologis positivisme adalah penegasan bahwa satu-satunya
fondasi pengetahuan adalah pengalaman indrawi. Karena itu segala sesuatu yang
melampaui pengalaman tidak bisa disebut pengetahuan ilmiah. Comte menolak
dengan tegas bentuk pengetahuan lain seperti etika, metafisika, teologi, seni yang
melampaui fenomena teramati.
30
Namun demikian, sains yang telah menghancurkan dan menyingkirkan mitos
dengan sekularisasi1, rasionalisasi, moralitas, dan metafiska ini mulai
menampakkan wujud aslinya. Logos telah berubah wujud menjadi Mitos baru
setelah peristiwa dua Perang Dunia. Mitos baru ini didukung dan dipercaya begitu
saja dengan cara membiarkan watak eliminasi dan dominasinya. Maka muncullah
para pemikir yang bersikap kritis untuk tetap mempertahankan rasionalitas namun
dalam perspektif yang kritis terhadap positivisme dan saintisme, antara lain Teori
Tindakan dari Max Weber (1864 – 1920), dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt.
Max Weber, sebagaimana dikemukakan oleh Bryan S. Turner (1992),
membedakan dua macam tindakan rasional, yakni yang “berorientasi sarana-
tujuan” (functional rationality) , dan yang “berorientasi realisasi nilai absolut”
(substantial rationality). Rasionalitas tujuan adalah rasionalitas seseorang atau
sekelompok orang yang berorientasi pada tujuan suatu tindakan, cara mencapai,
dan akibat-akibatnya. Rasionalitas ini juga disebut rasionalitas instrumental dan
bersifat formal karena hanya mengkalkulasi, mengklasifikasi, dan memverifikasi
seraya memikirkan dan menekankan efisiensi.
Sedangkan rasionalitas nilai (substantial rationality) adalah rasionalitas yang
mempertimbangkan nilai atau norma-norma yang membenarkan atau
menyalahkan penggunaan cara tertentu untuk mencapai tujuan. Rasionalitas ini
1 Arti asli dari sekularisasi adalah proses penyitaan kekayaan duniawi Gereja di beberapa negara di Eropa, di daerah kekaisaran Jerman misalnya pada tahun 1803. Pada zaman sekarang sekularisasi sering dipahami sebagai upaya menggeser dimensi adikodrati dari semua lingkungan kehidupan duniawi. Sekularisasi berbeda dengan sekularisme. Sekularisme merupakan sikap menentang pengaruh agama atas kehidupan masyarakat. Sedangkan sekularisasi dapat disebut sebagai penduniawian dunia, pendewasaan, dan pemandirian bidang-bidang duniawi. Sekularisasi memang bertentangan dengan paham tradisional, bahwa masyarakat, alam, dan alam gaib merupakan kesatuan yang berhubungan satu sama lain. Bagi masyarakat modern ketiganya tidak mempunyai hubungan langsung lagi.
31
menekankan pada kesadaran nilai-nilai estetis, etis, politis, dan religius. Dalam
kenyataan, kedua rasionalitas ini bercampur aduk dan saling tergantung.
Ross Poole menafsirkan konsep rasionalitas Weber dengan cara yang lebih
bebas. Bagi Poole (1993 : 87), dalam pandangan Weber sebenarnya terkandung
tiga rasio, yakni rasio instrumental, rasio yuridis, dan rasio kognitif atau rasio
ilmiah. Rasio instrumental lebih menekankan cara yang paling efektif meraih
tujuan. Rasio yuridis mengacu pada bentuk rasionalitas yang terealisasi dalam
bidang hukum dan birokrasi. Rasio instrumental dan rasio yuridis sering
bercampur namun tidak jarang saling bertentangan. Jenis rasio yang ketiga
menurut Poole adalah rasio ilmiah yang mengacu pada pemikiran sistematik
tentang dunia teoretik yang abstrak.
Pendekatan mutakhir dalam filsafat ilmu-ilmu sosial modern adalah Teori
Kritis yang merupakan program yang pertama kali dirumuskan oleh Max
Horkheimer, seorang tokoh arsitek “Mazhab Frankfurt”. Kritik merupakan konsep
kunci untuk memahami Teori Kritis. Adapun tujuan teori kritis adalah “to link
theory and practice, to provide insight, and to empower subjects to change their
oppressive circumstances and achieve human emancipation, a rational society
that satisfies human needs and powers” Lacey (1990 : 279).
Bleich (1977), sebagaimana dikemukakan oleh Nuryatno (2008 : 13-15),
menjelaskan tiga prinsip teori kritis. Pertama, teori kritis secara integral terkait
dengan realitas sosial bukan dalam alam abstrak dan ahistoris. Kedua, fungsi teori
kritis adalah menguji kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di dalam masyarakat
modern dan berupaya mencari akar penyebabnya dengan membongkar apa yang
32
tersembunyi dan membuat yang implisit menjadi eksplisit. Ketiga, menggunakan
beberapa idealitas nilai-nilai masa lalu utuk menilai situasi sekarang.
Max Horkheimer, salah seorang arsitek Mazhab Frankfurt, mengungkapkan
adanya dilema usaha manusia rasional yakni tergesernya akal budi atau rasio
objektif ke akal budi subjektif atau akal budi instrumentalis (Sindhunata, 1983 :
96-101). Pengertian rasio subjektif berkaitan dengan pengertian masyarakat pada
umumnya tentang rasio, bahwa orang yang rasional dapat memutuskan sesuatu
yang berguna bagi dirinya. Karena itu rasio subjektif sangat mementingkan cara
dan tidak mempersoalkan tujuan pada dirinya sendiri.
Menurut para eksponen Mazhab Frankfurt, teori Marx belum cukup kokoh
sebagai basis dalam menjelaskan dinamika masyarakat kapitalis. Mereka sepakat
dengan Marx bahwa kapitalisme telah menciptakan konsentrasi kekayaan
ekonomi dengan mengorbankan kaum pekerja yang tidak bisa mengkonsumsi
komoditas yang mereka hasilkan. Inilah salah satu alasan Mazhab Frankfurt
mengalihkan perhatiannya dari analisis ekonomi politik ke kritik atas penggunaan
rasio atau akal budi instrumental dalam masyarakat modern (Marcuse, 1964).
Dalam pandangan Mazhab Frankfurt, penggunaan rasio intrumental telah
menghasilkan budaya industri yang menghalangi perkembangan individu yang
sadar, otonom, kritis, dan independen (Adorno & Horkheimer, 1972).
Akan halnya Habermas, salah satu eksponen Mazhab Frankfurt generasi kedua
yang paling menonjol. Pemikiran Habermas yang paling penting adalah teori
tentang tindakan komunikatif (The Theory of Communicative Action, 1984).
Menurut Habermas pekerjaan dan komunikasi adalah dua macam tindakan
33
dasar manusia, yang meskipun saling mengandaikan dan berkaitan erat, namun
tidak dapat dikembalikan satu pada yang satunya. Bekerja adalah sikap manusia
terhadap alam. Komunikasi adalah sikapnya terhadap manusia lain. Dalam
pekerjaan hubungan manusia dengan alam tidak simetris ; manusia mengerjakan
alam, ia aktif sementara alam adalah bahan pasif. Manusia menguasai alam
melalui pekerjaan. Sedangkan komunikasi adalah hubungan yang simetris atau
timbal balik, dalam arti selalu terjadi di antara pihak yang sama kedudukannya.
Maka, pekerjaan dan komunikasi berjalan menurut aturan yang berbeda,
menunjang ilmu pengetahuan yang berbeda, dan mempunyai rasionalitas yang
berbeda pula.
Pekerjaan adalah tindakan yang mempunyai rasionalitas sasaran, dan karena itu
merupakan tindakan instrumental. Sebaliknya, komunikasi merupakan interaksi
dengan simbol-simbol, memakai bahasa dan mengikuti norma-norma.
Komunikasi tidak mengembangkan ketrampilan, melainkan kepribadian orang.
Dengan kata lain Habermas membuat distingsi antara manusia sebagai tool
making animal dan manusia sebagai speaking/symbolizing animal, antara tindakan
instrumental (tindakan rasional yang bertujuan) dan tindakan komunikatif.
c. Kemajuan (Progress)
Subjektivitas dan rasionalitas/kritik mengandaikan elemen yang ketiga yakni
kemajuan (progress). Dengan kemajuan dimaksudkan bahwa manusia menyadari
waktu sebagai serangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan yang dituju
oleh subjektivitas dan kritik itu. Eksistensi manusia terentang antara masa lampau
dan masa depan. Karena itu manusia adalah kemungkinan-kemungkinan yang
34
dapat diaktualisasikan masa kini. Intinya, kemajuan merupakan penciptaan
kesejahteraan umat manusia di masa depan, karena manusia adalah posibilitas
sekaligus aktualitas.
2. Perspektif Sosiologis
Ada dua cara untuk menetapkan konsep modernitas, yakni historis dan analitis.
Konsep historis mengacu pada ruang dan waktu tertentu. Sosiologiwan Anthony
Giddens (1990:1), mendefinisikan modernitas sebagai “modes of social life or
organisation which emerged in Europe from about the seventeenth century
onwards and which subsequently became more or less worldwide in their
influence”.
Kendati penetapan ruang (geografis) dan waktunya berbeda-beda antar para
sosiologiwan, namun dalam hal faktor pendorong mereka sepakat bahwa
modernitas muncul akibat revolusi besar. Revolusi industri di Inggris
menyediakan landasan ekonomi, Revolusi Perancis dan Amerika menyediakan
landasan institusional politik berupa demokrasi konstitusional, kekuasaan
berdasarkan hukum, dan prinsip kedaulatan negara-bangsa.
Melengkapi cara historis, muncul cara analitis yakni dengan menemukan ciri-
ciri fundamental modernitas yang digambarkan secara komprehensif dalam
berbagai tulisan para teoretisi sosial utama abad ke-19 seperti Karl Marx, Max
Weber, Alexis de Tocqueville, Georg Simmel, dan Emile Durkheim. Dalam
masyarakat kontemporer saat ini, pemikiran mereka masih tetap relevan, termasuk
Marx, kendati beberapa negara sosialisme telah gagal.
35
Bagi Adam Smith dan Karl Marx, kapitalisme dalam arti pasar dan produksi
yang berorientasi profit (Marx) merupakan pendorong utama bagi kehidupan
sosial modern. Menurut Marx, modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalisme.
Marx mengakui kemajuan yang ditimbulkan oleh transisi dari masyarakat
pramodern ke masyarakat kapitalisme. Namun demikian hampir seluruh karya-
karyanya ditujukan untuk mengkritik sistem ekonomi kapitalis.
Melalui kapitalisme, khususnya melalui konsep kepemilikan pribadi, orang
jadi berebut-rebutan memiliki alam sebagai sumber kehidupan sebanyak-
banyaknya. Manusia bersaing dengan manusia lainnya untuk memperbanyak harta
milik pribadinya karena dengan hal itu berarti lebih berkuasa baik kekuasaan
ekonomis maupun kekuasaan politis. Dengan demikian kapitalisme menciptakan
manusia yang serakah, bukan sebaliknya. Itulah hakikat manusia sebagaimana dia
dibentuk oleh sejarah atau human nature as modified in each historical epoch
(Fromm, 1966: 25).
Sementara itu, August Comte menekankan pada penerapan ilmu dan teknologi
secara tertib dan rasional, Tocqueville menekankan pada transisi dari organisasi
politik dan nilai-nilai budaya aristokrat ke institusi yang demokratis berdasarkan
nilai-nilai egalitarian, sementara Durkheim lebih menonjolkan individualisme dan
pembagian kerja (Cohen, 2006: 390).
August Comte (Sztompka, 2004: 82) juga menunjukkan beberapa ciri tatanan
baru (modernitas) sebagai berikut : konsentrasi tenaga kerja di pusat urban ;
pengorganisasian pekerjaan berdasarkan efektivitas dan keuntungan ; penerapan
ilmu dan teknologi dalam proses produksi ; munculnya antagonisme, baik laten
36
maupun nyata antara majikan dan buruh ; semakin meluasnya ketimpangan dan
ketidakadilan sosial ; dan sistem ekonomi pasar dengan persaingan terbuka. Ciri-
ciri lain dikemukakan oleh para sosiologiwan yang berpandangan dikotomis yakni
konsep yang membandingkan dua keadaan : tradisional dan modern, misalnya
Ferdinand Tonnies, Spencer, Durkheim, Weber, Parsons, dan Rostow (Etzioni,
1981 : 14-18 ; 36-37).
Sztomka (2004: 85-86) mencatat analisis yang lebih sistematis tentang
modernitas yang disajikan Krishan Kumar (1988). Menurut Kumar ciri-ciri
masyarakat modern adalah individualisme atau “kemenangan individu”,
diferensiasi di bidang tenaga kerja dan konsumsi, rasional, ekonomisme dalam arti
seluruh aspek kehidupan didominasi oleh logika dan aktivitas ekonomi,dan
perkembangan dalam arti bahwa modernitas cenderung memperluas
jangkauannya, terutama ruangnya.
Tokoh penting lain yang perlu dikemukakan di sini adalah Georg Simmel.
Simmel memandang modernitas dari dua sisi yang saling berhubungan yakni
kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat modernitas dipusatkan dan
diintensifkan, sedangkan ekonomi uang menyebarkan dan memperluas modernitas
lewat pertukaran (Frisby,1992 : 69). Sambil mengidentifikasi bahwa kota
merupakan pusat perekonomian, Simmel berpendapat bahwa hubungan antar
manusia di pusat kota cenderung anonim. Hal ini disebabkan oleh relasi
pemenuhan kebutuhan di pasar yang anonim pula. Munculnya kota-kota besar
memiliki implikasi signifikan di dalam pembentukan hidup sosial, untuk
selanjutnya berimplikasi pada meningkatnya konsumsi warga kota.
37
Aspek lain dari modernitas adalah manusianya. Kondisi modern jelas
mempengaruhi kepribadian manusianya. Namun sebaliknya, ada kecenderungan
kepribadian tertentu dibutuhkan sebagai syarat menjadi manusia modern. Dengan
kata lain demi efektifnya sebuah masyarakat modern, diperlukan kualitas sikap,
nilai, kebiasaan, dan kecenderungan-kecenderungan dari masyarakat tersebut,
seperti dikermukakan Inkeles dan Smith dalam bukunya Becoming Modern :
Individual Change in Six Developing Countries (1974).
Dalam karyanya itu, Inkeles dan Smith mengemukakan ciri-ciri manusia
modern antara lain ; keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru; mampu
menghormati segala perbedaan termasuk perbedaan pendapat; berorientasi ke
masa kini dan masa depan ; memiliki rasa keadilan dalam berbagi; menghormati
martabat orang lain, termasuk orang yang berstatus rendah.
Menurut Inkeles, dengan memberikan lingkungan yang tepat, setiap orang bisa
diubah menjadi manusia modern setelah ia mencapai usia dewasa. Dari hasil
penelitiannya, Inkeles dan Smith menyatakan bahwa memang pendidikan adalah
paling efektif untuk mengubah manusia. Dampak pendidikan tiga kali lebih kuat
dibandingkan dengan usaha-usaha lain. Di samping pendidikan, pengalaman
kerja, terutama kerja di pabrik, dan konsumsi media massa merupakan cara kedua
yang efektif.
Memasuki abad ke-21, Daniel Bell (1973), mengemukakan elemen-elemen
perubahan dalam masyarakat. Pertama di bidang ekonomi, ada kecenderungan
peralihan dari keunggulan barang-barang produksi manufaktur ke industri jasa.
Ini merupakan hal yang paling menentukan dalam masyarakat pascaindustri.
38
Kedua, pekerjaan profesional, pemberi jasa, dan teknis menguasai lapangan kerja.
Ketiga, ilmu pengetahuan adalah poros sentral dari masyarakat pasca industri dan
berperan sebagai sumber utama inovasi dan formulasi kebijakan. Keempat,
masyarakat pascaindustri berorientasi pada penafsiran atas kontrol teknologi dan
dampak-dampaknya. Kelima, pengambilan kebijakan ikut menciptakan sebuah
“teknologi intelektual” baru seperti teori informasi, sibernetika, teori keputusan,
dan teori dan proses-proses lain yang melibatkan variabel yang bervariasi. Di
bidang teknologi terjadi peningkatan teknologi intelektual baru yang mengacu
pada high-tech yang dibutuhkan dalam proses informasi (TI) daripada memproses
bahan mentah dan energi.
Anthony Giddens, sosiologiwan kontemporer yang menonjol pada abad ini,
menggunakan istilah modernitas ”tinggi” atau ”radikal”, runaway world, dunia
yang berlari atau dunia yang tunggang langgang untuk melukiskan masyarakat
abad ke-21. Runaway world digambarkan bagai sosok “juggernaut” yang lepas
kontrol (1990, 1999). Tentang juggernaut ini Giddens (1990 : 139) mengatakan:
“A runaway engine of enermous power which, collectively as human beings, we
can drive to some extent but which also threatens to rush out of control, and
which could rend itself asunder”
Dengan terma juggernaut, Giddens menggambarkan keadaan dunia di zaman
globalisasi yang kecepatannya tidak dapat dikendalikan dan perubahannya tidak
dapat diramalkan. Giddens bermaksud untuk menentang pendapat para pemikir
sosial budaya yang menyatakan masyarakat telah memasuki era postmodern.
Giddens memilih menggunakan istilah modernitas “tingkat tinggi” atau “radikal”.
39
Senada dengan Giddens, Habermas (1987) menyatakan bahwa modernitas
merupakan proyek yang belum selesai dalam arti masih banyak yang harus
dikerjakan dalam kehidupan modern. Ini berarti bahwa masalah sentral dalam
dunia modern masih tetap berpusat pada rasionalitas seperti pada masa Weber.
Menurut Giddens (1990: 59) masyarakat modern memiliki empat ciri
institusional atau organisasional. Pertama, modernitas mencakup perkembangan
sistem kapitalisme. Perusahaan saling bersaing dalam hal modal, tenaga kerja,
bahan mentah, dan produk jadi. Kedua, modernitas mengimplikasikan
industrialisme, yakni pelipatgandaan usaha manusia dengan menggunakan sumber
daya material seperti mesin (teknologi). Ketiga, peran negara dengan kemampuan
administratifnya, yakni kemampuan mengendalikan masyarakat dalam daerah
tertentu. Keempat, pemusatan pengendalian atas penggunaan sarana kekerasan
oleh militer dalam konteks industrialisasi sarana peperangan.
Sosiologiwan lain yang perlu dikemukakan di sini adalah George Ritzer. Sama
seperti Weber, Ritzer juga melihat rasionalitas sebagai proses kunci di dunia saat
ini. Ritzer menggunakan konsep ideal birokrasi Weber untuk menyoroti restoran
cepat saji yang mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal.
Ritzer melukiskan peningkatan rasionalitas formal ini dengan istilah
McDonaldisasi masyarakat (Ritzer, 2003), yakni suatu proses dimana prinsip-
prinsip restoran cepat saji mulai mendominasi berbagai sektor dalam masyarakat
di seluruh dunia, mulai dari bisnis restoran, agama, seks, pendidikan, dunia kerja,
biro periklanan, politik, program diet, keluarga, dan sebagainya.
40
Ada empat prinsip rasionalitas formal restoran cepat saji McDonalds yakni,
pertama efisiensi. Kedua, kemampuan untuk diprediksi atau keterprediksian
(predictability). Mengetahui bahwa McDonald's tidak menawarkan kejutan
adalah sebuah kenyamanan besar. Ketiga, McDonald's menawarkan makanan dan
layanan yang terkuantifikasi dan terkalkulasi. McDonald's membuktikan nilai
budaya yang diyakini banyak orang, "yang lebih besar adalah yang lebih baik",
kuantitas sejajar dengan kualitas, dan penghematan waktu. McDonald's
menjanjikan, bahwa pergi dan makan di McDonald's lebih hemat waktu
ketimbang makan di rumah. Kalkulasi waktu ini juga merupakan kunci sukses
sistem home-delivery (pesanan diantar ke rumah) McDonald's. Keempat,
McDonald's menawarkan kontrol, terutama prosedur kerja dan penggantian
pekerja manusia dengan mesin.
Prisip-prinsip di atas adalah komponen dasar sistem masyarakat modern yang
rasional. Ritzer menunjukkan bagaimana sistem yang rasional ini sebenarnya
penuh dengan irasionalitas. Meningkatnya layanan home-delivery di Jepang
misalnya, bukannya meningkatkan efisiensi, tetapi malah membuat jalan raya
dipenuhi mobil-mobil pengantar pesanan dan membuat meningkatnya kemacetan.
B. Postmodernisme dalam Perspektif Filosofis-Sosiologis
1. Perspektif Filosofis
Anderson (2004: 2-5), menyatakan, sebagai sebuah terma atau istilah,
postmodernisme pertama muncul ke permukaan di dunia Latin tahun 1930-an,
satu generasi sebelum kemunculannya di Inggris atau Amerika. Terma
“Postmodernismo” digunakan oleh Frederico de Onis untuk menggambarkan
41
mengalirnya kembali konservatisme (conservative reflux) dalam modernisme di
bidang sastra-budaya.
Arnold Toynbee pun menggunakan terma tersebut dalam jilid ke-8 bukunya
yang berjudul A Study of History yang terbit tahun 1954. Toynbee memberi nama
jaman yang baru terbuka setelah Perang Perancis-Prusia (Franco-Prussia War)
sebagai era “Post-modern”. Nampak bahwa terma postmodernime digunakan
dengan kandungan isi dan maksud yang berbeda, apalagi jika dikaitkan kondisi
masa kini. Oleh karena itu perlu dijernihkan dulu beberapa istilah dan konsep-
konsep yang mengemuka dalam wacana masa kini tentang kondisi postmodern,
yakni postmodernisme, postmodernitas, dan postmodernisasi.
Postmodernisme tidak mempunyai sebuah definisi yang tunggal-monolit-ketat
karena setiap pemikir (modernis maupun postmodernis) berbicara dengan
pengertiannya sendiri. Namun setidaknya postmodernisme memiliki dua karakter
pokok yakni pertama merujuk pada gaya estetik dan artistik yang menolak kode-
kode artistik dan estetis era modernisme, dan kedua posisi teoretik dan filosofis
yang menolak kaidah-kaidah pemikiran modern (Hutcheon, 2006: 115).
Adapun postmodernitas merupakan sebuah tahap perkembangan atau
perubahan sosial yang dipikirkan sebagai melampaui modernitas. Postmodernitas
merujuk pada epos sosial dan politik yang secara umum melanjutkan atau
mengikuti era modern dalam arti sejarah (Ritzer, 2005:14). Sedangkan
postmodernisasi menunjuk pada sejumlah perubahan sosial yang mengarah pada
transisi dari modernitas ke postmodernitas.
42
Mengacu pada karakter keragaman atau pluralitas, Bambang Sugiharto (1996:
30-32) mengkategorikan bentuk-bentuk pemikiran postmodernisme. Pertama,
kecenderungan untuk kembali kepada pola berpikir pramodern. Sebagai contoh
adalah kecenderungan mengkaitkan metafisika abad baru dengan wilayah
pemikiran mistis, terutama nampak dalam wilayah fisika modern. Kedua,
kenderungan yang muncul dalam dunia sastra dan persoalan linguistik. Kata kunci
yang muncul adalah dekonstruksi. Motivasinya mencegah totaliterisme dalam
segala sistem. Kategori ketiga adalah segala pemikiran yang hendak merevisi
modernisme tanpa menolak modernisme secara total, yakni dengan cara
memperbarui premis-premis modern di sana-sini. Dengan kata lain, mengkritik
sambil tetap mempertahankan ideal-ideal modern tertentu.
Pemikir Jean Francois Lyotard (1924-1998) dianggap sebagai filsuf yang
pertama kali memasukkan istilah “postmodern” ke dalam dunia filsafat sekitar
tahun 1970-an. Dalam karya-karyanya, Lyotard selalu menekankan bahwa
postmodernitas bukanlah sebuah epos sejarah baru, melainkan fase sejarah yang
berulang dalam modernitas. “Postmodernisme adalah bagian dari modern”
(Lyotard, 1993: 12).
Tesis pokok Lyotard dalam buku The Postmodern Condition (1984) adalah,
dalam abad modern ilmu pengetahuan atau sains, yang mengklaim dirinya sebagai
satu-satunya jenis pengetahuan yang valid, tidak dapat melegitimasi klaimnya itu
karena aturan main sains bersifat inheren dan ditentukan oleh konsensus di antara
para ilmuwan sendiri. Sains melegitimasi dirinya, secara konkrit, dengan bantuan
beberapa narasi besar (grandnarratives) seperti hermeneutika makna, subjek yang
43
rasional, dan penciptaan kesejahteraan umat manusia sebagai kepercayaan yang
optimis tentang kemajuan (1984: xxiii).
Narasi atau kisah-kisah besar itu tidak mendasarkan legitimasinya pada
peristiwa yang terjadi pada awal mula (seperti penciptaan oleh para dewa),
melainkan pada masa depan, dalam suatu Ide yang harus diwujudkan. Contohnya
antara lain adalah keyakinan bahwa kemajuan umat manusia seluruhnya akan
tercapai melalui perkembangan tekno-ilmiah yang kapitalistik (technoscience).
Bagi Lyotard modus legitimasi semacam itu tidak bisa dipertahankan lagi karena
kebanyakan proyek yang berangkat dari narasi besar telah gagal.
Prinsip pengetahuan dalam postmodern bukan lagi legitimasi pada kesatuan
(homologi), melainkan pada paralogi. Narasi-narasi kecil yang melegitimasikan
praktek-praktek pengetahuan tanpa perlu persetujuan dari grandnarratives.
Munculnya wacana atau diskursus feminisme, maskulinitas, queer studies, dan
berbagai pengetahuan lokal yang ”tidak ilmiah”, bahkan sampai ilmu klenik,
merupakan contoh representasi prinsip pengetahuan postmodern. Karena itu
istilah-istilah kunci dalam postmodern yang sering muncul adalah, antara lain
pluralisme, fragmentasi, heterogenitas, dekonstruksi, skeptisisme, ambiguitas,
ketidakpastian, perbedaan.
Berbeda dengan Lyotard, Jacques Derrida dikenal luas karena salah satu
konsep yang dikemukakannya yakni dekonstruksi. Derrida dan pengikutnya,
menolak mendefinisikan dekonstruksi, karena definisi adalah pembatasan,
sementara dekonstruksi sendiri berupaya menerobos batas. Bagi Derrida
dekonstruksi selalu merupakan dekonstruksi atas sebuah ”teks”.
44
Menurut Derrida, sebuah teks tidak bermakna tunggal melainkan selalu
terbuka. “Teks” di sini menggantikan “karya”. Karya, menyatakan secara tidak
langsung kualitas intelektual si pengarang. Dalam postmodern, tidak ada lagi
pengarang, tidak ada lagi karya. Dalam hal ini, yang menjadi masalah bukan siapa
yang menciptakan teks, tetapi lebih pada siapa “yang membaca” teks. Kekuasaan
beralih dari pengarang ke pembaca. Inilah demokratisasi dalam ilmu-ilmu sosial.
Implikasinya, yang menjadi fokus masalah adalah hubungan antara suatu teks
dengan semua teks yang lain, atau intertekstualitas.
Tujuan dekonstruksi adalah membebaskan pluralitas makna teks dari represi
yang dilakukan struktur maupun maksud pengarang. Dekonstruksi membongkar
unsur-unsur kekuasaan yang muncul dalam kesadaran (Derrida, 1976: 158).
Dalam perspektif kaum strukturalis, makna sebuah tanda (kesatuan penanda-
tinanda) diperoleh dari perbedaan tanda itu dengan tanda yang lain.
Salah satu jenis kuliner yang digemari orang Indonesia sebagai pengiring
makan disebut “sambal” bukan “sandal”, bukan karena kata itu logis berkaitan
dengan rasa pedas yang berasal dari cabe, melainkan karena perbedaannya dengan
kata ”lalapan”, “krupuk”, “saos”, atau “kecap”. Jadi istilah atau kata “sambal”
ditentukan secara manasuka (arbitrary). Begitu pula tanda (kata atau konsep)
“manusia” punya arti ketika ia ditautkan dengan tanda “Allah”, “malaikat”,
“binatang”, “tumbuhan”. Dengan kata lain, makna tanda diperoleh dari perbedaan
rangkaian atau rajutan tanda-tanda.
Namun yang sering terjadi, pertautan atau rajutan yang sebenarnya punya
banyak kemungkinan, menyempit menjadi pertentangan dua kutub atau oposisi
45
biner. Laki-laki dihadapkan dengan perempuan, personal dengan sosial, privat
dengan publik, (negara-negara) Barat dengan Timur atau Utara dan Selatan, jiwa
dengan badan, dan seterusnya. Hal ini sebetulnya tidak masalah dalam operasi
bahasa. Masalah muncul ketika salah satu terma dalam oposisi itu diunggulkan
atas terma lainnya, sehingga terjadi hirarkisasi oposisi biner: satu terma
menguasai dan menjadi asal makna bagi terma yang lain. Misalnya terma
perempuan memperoleh makna hanya dikaitkan dengan laki-laki; tetapi
sebaliknya terma laki-laki seolah-olah memiliki makna pada dirinya sendiri. Inilah
yang dimaksud Derrida ketika mengatakan bahwa hubungan dua terma yang
saling beroposisi bukanlah hubungan setara, tetapi hubungan hirarkis yang brutal
(violent hierarchy) :
In a classical philosophical opposition we are not dealing with the peaceful coexistence of a vis a vis, but rather with a violent hierarchy. One of the two terms govern the other (axiologically, logically, etc.) or has the upper hand. To deconstruct the opposition, the first of all, is to overturn the hierarchy at a given moment (Derrida, 1981: 41).
Permasalahannya, hirarki oposisi biner ini tidak hanya berpengaruh dalam cara
berpikir tetapi juga terinstitusionalisasi dan dijaga oleh tradisi, sehingga menjadi
budaya dalam arti yang seluas-luasnya. Misalnya budaya patriarki yang ditopang
oleh superioritas terma “laki-laki” atas “perempuan”.
Pauline Rosenau (1992) dalam salah satu karyanya Post-Modernism and the
Social Science, mempertajam karakteristik teori sosial postmodern dengan cara
yang mudah dipahami. Pertama, ini yang paling nyata, postmodernisme
merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya dalam memenuhi
janji-janjinya. Kedua, teoretisi postmodernis cenderung menolak apa yang
46
dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan
sebagainya seperti pada para teoretisi modernitas. Pemikir pascamoden cenderung
membicarakan fenomena pramodern seperti perasaan, emosi, intuisi, refleksi,
spekulasi, tradisi, kosmologi, magis, mitos, pengalaman mistik, dan sebagainya.
Ketiga, para teoretisi postmodern menolak kecenderungan modern yang
membuat garis batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademik dan non
akademik, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, citra dan kenyataan”. Keempat,
banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademik modern yang serba teliti,
cermat, dan bernalar. Mereka cenderung lebih menyastra daripada gaya bahasa
akademik yang logik-argumentatif. Kelima, postmodernis tidak memfokuskan diri
pada isu-isu inti (core) masyarakat modern, melainkan pada bagian pinggirannya
(peripheri). Singkatnya, demikian Rosenau, teoretisi postmodern lebih
menawarkan “intermediasi daripada determinasi, keragaman (diversity) daripada
kesatuan (unity), perbedaan daripada sintesis, dan kompleksitas daripada
simplifikasi”.
2. Postmodern : Perspektif Sosiologis
a. Gaya Hidup Masyarakat Konsumen
Membicarakan teori sosial postmodern tidak bisa dilepaskan dari karya-karya
Jean Baudrillard (1929 - ), sosiologiwan postmodern Perancis yang memiliki
perhatian terhadap realitas, media, dan ilusi. Pernyataan sentral Baudrillard adalah
bahwa objek (konsumsi) menjadi tanda (sign). Maka kalau Ritzer menyebut
masyarakat kontemporer sebagai McDonaldization Society, Baudrillard
menyebutnya dengan istilah Consumer Society (1988). Baudrillard dipengaruhi
47
oleh Marshall McLuhan yang mementingkan media massa dalam pandangan
sosiologis dan Roland Barthes tentang analisis semiotika dalam kebudayaan.
Baudrillard (1998 : 32-33) menyatakan, situasi masyarakat kontemporer
dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia sekarang dikelilingi oleh faktor konsumsi
yang ditandai oleh multiplikasi objek, jasa, dan barang-barang material. Gagasan
mengenai manusia yang mempunyai kebutuhan dan harus selalu terpenuhi melalui
konsumsi adalah mitos. Dalam kenyataan manusia tidak akan pernah merasa
terpuaskan kebutuhan-kebutuhannya, karena pemenuhan kebutuhan tidak
menyangkut soal representasi identitas. Dalam konteks inilah sebuah objek
konsumsi bermakna sebagai tanda.
Ketika seseorang mengkonsumsi objek, maka orang itu sedang mengkonsumsi
tanda, dan pada waktu itu yang bersangkutan sedang mendefinisikan dirinya.
Dengan kata lain, mengkonsumsi objek tertentu menandakan (bahkan secara tidak
sadar), bahwa seseorang sama dengan orang-orang yang mengkonsumsi objek
tersebut, sekaligus berbeda dengan orang yang mengkonsumsi objek lain. Inilah
yang disebut kode, yang mengontrol apa yang kita konsumsi dan yang tidak kita
konsumsi.
Dengan cara lain dapat dikatakan, mengkonsumsi tidak lagi sekadar kegiatan
memenuhi kebutuhan dasar atau fungsi kegunaan, akan tetapi berkaitan dengan
kegiatan mengekspresikan posisi atau status sosial ekonomi tertentu, menandai
kelas seseorang dalam masyarakat, atau menentukan identitas kultural seseorang.
Komoditas yang dikonsumsi tidak hanya sekadar objek atau materi, tetapi juga
makna simbolik atau tanda alias makna-makna sosial yang tersembunyi di
48
dalamnya. Masyarakat didorong untuk semakin konsumtif dengan munculnya
berbagai industri kartu kredit.
Manifestasi masyarakat konsumen semacam ini adalah persoalan gaya hidup.
Menurut David Cheney, gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern (2004:
40). Siapapun yang hidup dalam masyarakat modern, akan menggunakan gagasan
gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain.
Menurut Chaney gaya hidup merupakan gaya, tata cara menggunakan barang,
tempat, dan waktu, yang khas kelompok masyarakat tertentu. Gaya hidup, dengan
demikian dikaitkan dengan perbedaan pola penggunaan barang, ruang, dan waktu
tertentu oleh kelompok masyarakat yang berbeda. Gaya hidup dipahami oleh
Cheney sebagai proyek reflektif dan penggunaan fasilitas konsumen secara sangat
kreatif.
Senada dengan Chaney, Piliang mengartikan gaya hidup sebagai karakteristik
seseorang yang dapat diamati, yang menandai sistem nilai serta sikap terhadap diri
sendiri dan lingkungannya (Piliang, 1998: 209). Karakteristik tersebut berkaitan
dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang, dan objek-objek yang berkaitan
dengan semuanya. Misalnya cara berpakaian, cara makan, cara berbicara,
kebiasaan di rumah, di kantor, atau di sekolah/kampus, kebiasaan belanja, pilihan
teman, pilihan restoran, pilihan hiburan, tata ruang, tata rambut, tata busana, dan
sebagainya.
Ada dua pendekatan yang menonjol untuk menyoroti gaya hidup, yakni
ideologis dan sosio-kultural (Piliang, 1998: 210-212). Pendekatan ideologis
berasal dari analisis sosial Marxisme. Menurut pandangan kaum Marxist, gaya
49
hidup dilandasi oleh suatu ideologi yang menentukan bentuk dan arah gaya hidup.
Sedangkan pendekatan sosio-kultural memandang gaya hidup sebagai refleksi dari
kesadaran kelas kelompok masyarakat tertentu, atau bentuk ungkapan makna
sosial dan kultural. Setiap penggunaan objek, ruang, dan waktu, menyiratkan
adanya aspek-aspek penandaan dan semiotik, yang mengungkapkan makna sosial
dan kultural tertentu. Pemikiran Baudrillard yang sudah dipaparkan di atas
termasuk dalam pendekatan ini.
Salah satu perhatian para sosio-kulturalis adalah gaya hidup yang tercermin
dalam dan dibentuk oleh iklan. Iklan tidak saja merepresentasikan gaya hidup,
tetapi juga menaturalisasikannya. Dalam konteks modernitas, gaya hidup yang
ditawarkan oleh iklan menjadi lebih beragam, tidak lagi milik kelas tertentu dalam
masyarakat, seperti sebelumnya (Piliang, 1998 ; Heryanto, 2000).
b. Daya kritis
Sikap atau daya kritis boleh dikatakan sebagai semangat atau roh dari
postmodernisme. Kritik atau sikap kritis menyiratkan bahwa rasio tidak hanya
sebagai sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk
membebaskan individu dari otoritas tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-
prasangka yang menyesatkan (emansipatoris).
Paulo Freire (1999) membedakan kesadaran manusia menjadi tiga. Pertama
kesadaran magis, yakni suatu kesadaran yang melihat faktor di luar manusia
(natural maupun supranatural) sebagai penyebab ketidakberdayaan. Kedua,
kesadaran naif, yakni lebih melihat aspek ‘manusia’ sebagai penyebab persoalan
50
(blaming the victims). Ketiga adalah kesadaran kritis yakni cara pikir yang melihat
sistem atau struktur sebagai sumber masalah.
Mengacu pada pandangan Henry Giroux dan Marleau Ponty, Agus Nuryatno
(2003) mengemukakan bahwa sikap atau cara berpikir kritis adalah suatu pola
berpikir yang mampu mengetahui adanya fenomena tersembunyi atau berpikir
lebih dari sekadar asumsi akal sehat, atau berpikir melampaui struktur-struktur
yang sudah ada, yang menekankan pada fenomena dimensi-dimensi historis,
relasional, dan normatif. Hal yang terakhir ini menunjukkan bahwa suatu masalah
tidak dapat dilihat secara satu dimensi atau mekanistik saja, tetapi harus dilihat
dalam konteks interaksi antara individu dan masyarakat sebagai satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan.
Ikhwal bagaimana menumbuhkan daya kritis masyarakat, orang sering
menunjuk dunia pendidikan sebagai pilihannya. Berpikir kritis memungkinkan
peserta didik menemukan kebenaran di tengah banjir peristiwa dan informasi yang
mengelilingi mereka setiap hari (Johnson, 2002: 101).
Dalam konteks pendidikan, berkembang mazhab yang disebut aliran
pendidikan kritis. Proyek emansipatoris aliran pendidikan kritis didasarkan pada
komitmen untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis-dialektis. Dalam hal
ini sekolah (lembaga pendidikan) merupakan motor penggerak untuk menciptakan
“persamaan dan mobilitas sosial yang lebih adil dan lebih baik” (Carnoy, 1998:
78). Proses pembelajaran dalam aliran pendidikan kritis ditujukan untuk
mengkritik, memproduksi, dan menggunakan pengetahuan sebagai alat untuk
51
mengubah realitas, memberdayakan yang lemah dan mentransformasikan
ketidakadilan sosial.
Menurut Henry Giroux dan Peter McLaren, Keunggulan Aliran Pendidikan
Kritis terletak pada ”tujuannya untuk memberdayakan yang lemah dan
mentransformasikan ketidakadilan sosial” (Giroux & McLaren, 1991: 152).
Ketidakadilan sosial sering menggejala terutama dalam masyarakat plural akibat
diabaikannya hak-hak kelompok masyarakat yang mempunyai kultur dan
subkultur berbeda-beda, khususnya yang dipandang dan diperlakukan sebagai
kelompok minoritas. Dalam konteks ini paham multikulturalisme menjadi relevan
untuk masyarakat modern/postmodern.
c. Multikulturalisme
Secara teoretis, multikulturalisme dan postmodernisme saling memperkaya
satu sama lain, sekaligus menciptakan suasana yang kondusif bagi keduanya
(Ritzer, 2003: 323). Postmodernisme telah menciptakan iklim intelektual yang
memungkinkan multikulturalisme berkembang, dan sebaliknya multikulturalisme
menciptakan sebuah lingkungan sosial politis yang kondusif bagi perkembangan
teori sosial postmodern (Rogers, 1996 : 6). Ben Agger (1995) menyatakan bahwa
multikulturalisme adalah versi paling politis dari posmodernisme.
Pengertian multikulturalisme sendiri, sebegitu jauh tidak terang benderang
meski tidak pula gelap gulita. Tiap-tiap orang tampaknya memiliki pengertian
tersendiri dan cenderung menghindari definisi yang jelas dan pasti. Dalam tataran
ideologi, ia merupakan gagasan yang menekankan pada penerimaan terhadap
perbedaan ras, etnik, bahasa, dan praktik keragaman kultur/subkultur dalam
52
sebuah masyarakat plural (Budianta, 2004: 2). Dalam pembuatan kebijakan oleh
pemerintah, multikulturalisme dimaksudkan untuk memelihara harmoni antar
kelompok ras, etnik atau agama yang berbeda serta antar mereka dan negara.
Dalam bidang pendidikan, multikulturalisme berarti pengakuan terhadap
kontribusi semua kelompok kultural atas perkembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan (Petrozza, 1996). Oleh karena itu kurikulum yang dikembangkan
harus pula mencakup semua materi dari berbagai kultur (Gorski, 1998). Lebih
jauh, John Rex (1995 :31) menggambarkan multikulturalisme sebagai “an
enhanced form of the welfare state in which “the recognition of cultural diversity
actually enriches and strengthens democracy”. Di sini multikulturalisme
diletakkan sebagai bagian penting dalam proses demokrasi.
Douglas Kellner (1995), seorang teoretisi kritis generasi ketiga dalam tradisi
Mazhab Franfurt, mengembangkan istilah multikulturalme kritis dalam bukunya
Media Culture. Kata “kritis” digunakan untuk menjelaskan upaya menguak
bentuk-bentuk penindasan dan dominasi, serta mengartikulasikan perspektif
normatif untuk mengkritik penindasan tersebut (Kellner, 1995:95).
Multikulturalisme kritis menggunakan perspektif normatif yang terdapat dalam
teori-teori kritis, cultural studies, maupun teori-teori interpretasi. Perspektif kritis
mempertanyakan bagaimana konstruksi budaya seperti ras, etnisitas, kelas,
gender, dan orientasi seksual direpresentasikan dalam masyarakat kontemporer
serta bagaimana menafsirkan budaya dan masyarakat dalam relasi kekuasaan,
dominasi, dan resistensi (Kellner, 1995:96).
53
Pandangan di atas perlu dilengkapi dengan penelusuran peta multikulturalisme
menurut Bikhu Parekh (2000) berikut ini. Pertama, adalah ragam subkultur
(subcultural diversity), yakni kelompok masyarakat yang memiliki budaya
umumnya masyarakat, namun dalam beberapa hal mereka memiliki keyakinan-
keyakinan dan praktek-praktek yang berbeda berkaitan dengan perbedaan
wilayah-wilayah kehidupan atau mengembangkan cara hidup yang relatif berbeda.
Ragam subkultur ini adalah kalangan waria, anak-anak jalanan, orangtua tunggal,
gay, lesbi, dan berbagai individu atau kelompok yang mengikuti gaya hidup atau
struktur keluarga yang tidak konvensional.
Kedua, ragam pandangan (perspectival diversity) yakni anggota atau kalangan
masyarakat yang sangat kritis terhadap beberapa prinsip atau nilai utama dari
budaya dominan yang ada di dalam masyarakat dan berupaya untuk
membentuknya kembali. Contoh untuk ini adalah kalangan feminis yang terus
menyerang bias budaya patriarkhi yang demikian mengakar dalam masyarakat,
kalangan pecinta lingkungan yang terus mengkritik bias antroposentris dan
kecenderungan teknokratik dalam pengelolaan alam.
Ketiga, ragam komunal (communal diversity) yakni komunitas-komunitas yang
memiliki kesadaran diri dan hidup dengan sistem-sistem keyakinan dan
prakteknya sendiri yang berbeda. Mereka terorganisasi dengan cukup baik.
Termasuk dalam kalangan ini adalah para imigran/pendatang, berbagai komunitas
keagamaan, dan kelompok-kelompok budaya yang terkonsentrasi secara teritorial
seperti orang-orang asli (indigenous peoples).
54
Sampai di titik ini menjadi penting untuk mengkonstruksi konsep
modernitas/postmodernitas secara lebih utuh berdasarkan paparan teoretik di atas.
Tinjauan filosofis tentang modern/postmodern di atas menjadi dasar bagi peneliti
untuk menyusun konstruk pemikiran sebagai titik pangkal dari penelitian ini.
Modernitas yang berawal dari Renaissance ditandai dengan munculnya ilmu
pengetahuan yang tidak tergantung lagi pada kekuasaan agama, politik, atau
moral. Dalam sejarah pemikiran modern gagasan Descartes cogito ergo sum
menegaskan kemandirian tersebut.
Seperti telah dinyatakan di atas, modernitas menyimpan tiga keyakinan besar
yakni subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Masyarakat modern meyakini bahwa
ketiganya akan membawa ke situasi yang lebih baik, dengan rasionalitas sebagai
penopang utama. Karena ketiga ciri ini saling mengandaikan maka yang menjadi
fokus perhatian penelitian ini adalah ciri yang kedua yakni kritik. Dalam
pengertian kritik sudah tersirat ciri atau elemen subjektivitas atau rasionalitas
sekaligus kemajuan (progress), karena kritik mengarah pada kemajuan. Di dalam
elemen kritik ada elemen rasionalitas, demikian juga sebaliknya. Keduanya
mengandaikan kemajuan.
Kritik mengandaikan bahwa rasio atau akal budi tidak hanya sebagai sumber
pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan
individu dari otoritas tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka
yang menyesatkan (emansipatoris). Kritik juga menjadi semangat atau jantung
gerakan postmodernisme, karena postmodernisme pada dasarnya merupakan
kritik terhadap nalar modernitas.
55
Postmodernisme di sini dipahami sebagai konstruk pemikiran yang hendak
merevisi modernisme tanpa menolak modernisme secara total, yakni dengan cara
memperbarui premis-premis modern di sana-sini. Dirumuskan secara ringkas,
postmodernisme mengkritik sambil tetap mempertahankan ideal-ideal
modernisme. Seperti yang dikemukakan Lyotard, postmodern adalah bagian dari
modern. Justru karena sesuatu itu postmodern maka ia menjadi modern. Inilah
titik pijak yang digunakan dalam mengembangkan konstruk teori dalam penelitian
ini.
Maka dalam penelitian ini sikap kritis dijadikan sebagai salah satu indikator
atau komponen dalam variabel modernitas individual. Modernitas individual
dengan kandungan isi sikap kritis diperlakukan sebagai variabel dependen dalam
penelitian ini.
Teori-teori modernitas yang mengawali perspektif sosiologis lebih
mengedepankan struktur masyarakat modern beserta ciri-cirinya, mulai dari
pemikiran August Comte, Krishan Kumar, sampai Daniel Bell, kecuali Inkeles
dan Smith yang lebih menekankan kualitas manusia modern. Dalam perspektif
sosiologis Inkeles dan Smith lebih menekankan pelaku atau aktornya. Kedua
sudut pandang ini tidak akan dipertentangkan melainkan, sesuai asumsi dasar,
dilihat sebagai bentuk dualitas (bukan dualisme), dalam arti keduanya saling
mengandaikan.
Pemikiran Giddens menentang pendapat para pemikir sosial budaya yang
menyatakan masyarakat telah memasuki era postmodern, dan keyakinan
Habermas bahwa modernitas merupakan proyek yang belum selesai, diadopsi
56
peneliti sebagai titik pijak penelitian ini. Dalam konteks ini posisi teori-teori sosial
postmodernisme dipandang sebagai pelengkap sekaligus penopang kritis atas teori
sosial modernisme.
Penelitian ini menjadikan kota sebagai ”locus”nya. Hal ini merujuk pada
pandang Simmel yang memandang kota sebagai tempat di mana modernitas
dipusatkan dan diintensifkan. Munculnya kota-kota besar memiliki implikasi
signifikan di dalam pembentukan hidup sosial, untuk selanjutnya berimplikasi
pada meningkatnya konsumsi warga kota. Dalam konteks inilah teori sosial
postmodern dari Jean Baudrillard diletakkan, yakni tentang masyarakat konsumen
yang berujung pada persoalan gaya hidup.
Ciri-ciri pemikiran postmodernisme yang analogis, luwes, dan mengacu ke
beragam makna bersama dengan nilai-nilai postmodernisme yang menekankan
pada toleransi, pluralitas, kebebasan, dan perdamaian menjadi inspirasi peneliti
untuk menekankan pentingnya nilai-nilai multikulturalisme. Hal ini ditopang
dengan pendapat Ritzer bahwa dalam wacana teoretik postmodernisme dan
multikulturalisme saling memperkaya satu sama lain, sekaligus menciptakan
suasana yang kondusif bagi keduanya.
Atas dasar refleksi di atas maka gaya hidup dan eksplisitasi nilai-nilai
multikulturalitas dikonstruksi menjadi indikator-indikator modernitas individual
generasi muda bersama dengan sikap kritis yang sudah ditekankan pada paparan
perspektif filosofis di atas. Dirumuskan secara lebih eksplisit modernitas
individual generasi muda yang diteliti berisi tiga indikator yakni sikap atau daya
kritis, gaya hidup, dan eksplisitasi nilai-nilai multikulturalisme.
57
C. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial biasanya dibedakan dengan diferensiasi sosial. Diferensiasi
sosial dikaitkan dengan pembagian formasi sosial secara horisontal, sedangkan
stratifikasi sosial merupakan pembagian secara vertikal (hirarkis). Hasilnya adalah
peringkat atau strata sosial. Konkritnya ada kelas tinggi, menengah, dan kelas
yang rendah. Hal ini disebabkan adanya ketidakseimbangan atau ketidakmerataan
pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial,
dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat.
Stratifikasi semacam itu bisa hanya sekadar konsep, namun dapat juga
merefleksikan realitas sosial dalam masyarakat. Strata sebagai realitas sosial
ditentukan oleh jarak sosial tetapi lebih sering terjadi karena peminggiran yang
sistematis. Sosiologiwan juga membedakan antara sistem strata yang tertutup
seperti kasta dalam masyarakat Hindu dan sistem strata yang terbuka yang
ditentukan oleh sistem pekerjaan atau kelas dalam masyarakat modern.
Dalam teori fungsional, stratifikasi sosial merupakan kesepakatan bersama
karena menguntungkan secara sosial. Sementara dalam teori konflik, stratifikasi
selalu dikontestasikan dan disertai dengan dominasi. Teoretisi marxist melihatnya
sebagai akibat dari eksploitasi ekonomi, sementara kaum Weberian
memperlakukannya sebagai akibat dominasi berwajah ganda, yakni kombinasi
antara klas sosio-ekonomi, status sosio-kultural, dan hirarki otoritas sosio-politik
(Pakulski, 2006:586).
Terdapat konsensus yang luas di kalangan para sosiologiwan bahwa status
pekerjaan atau jabatan merupakan kekuatan utama pembentuk strata sosial dalam
58
masyarakat modern. Di samping itu strata sosial juga ditentukan oleh kepemilikan
aset seperti : pengaruh politik, otoritas (Dahrendorf, 1988), tingkat pendidikan,
ketrampilan, human capital, keahlian (Garry Becker, 1987 ; Daniel Bell, 1973),
jaringan sosial dan modal sosial (Coleman, 1974), modal kultural, selera, gaya
hidup, dan gender (Bordieu, 1980), etnik, ras, prestise (Shils, 1980).
Dalam teori sosiologi mainstream, unsur-unsur sistem stratifikasi sosial dalam
masyarakat adalah : kedudukan (status) dan peran (role). Status atau kedudukan
sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan
dengan orang lain. Kriteria berikut biasanya dipakai untuk mengukur status sosial
(ekonomi) seseorang yakni, jabatan atau pekerjaan, tingkat pendidikan, kekayaan,
dan pengaruh politik.
D. Media massa
Istilah media massa biasanya merujuk pada penyebaran informasi melalui
buku, surat kabar, majalah, film, radio, program-program televisi, CD, DVD, dan
sebagainya. Menurut Straubhaar dan LaRose (2002:15) media massa merupakan
“One-to-many camunication delivered through an electronic or mechanical
channel, with delayed feedback from the audience, and which reached all
members of its audience in about the same time”.
Definisi ini sebenarnya lebih menekankan pada saluran (channel) yang
digunakan yakni cetak seperti buku, majalah, tabloid, surat kabar, dan elektronik
seperti radio , televisi, dan film yang sering disebut sebagai ”old media”.
Namun kemajuan teknologi komunikasi yang begitu pesat membuat batasan di
atas tidak memadai lagi. Maka muncul istilah ”media komunikasi massa”. Media
59
komunikasi massa merupakan ”the industrialized production and multiple
distribution of messages through technological devices”. (Turow, 2009: 17)
Dalam pandangan Turow, media massa adalah instrumen teknologinya yang
bisa berupa surat kabar, majalah, radio, maupun televisi. Maka definisi ini dapat
digunakan sebagai payung bagi segala bentuk komunikasi (penyampaian pesan)
yang dimediasikan lewat saluran elektronik maupun mekanik (technological
devices). Konvergensi antara media massa, komputer, dan telekomunikasi
berujung pada internet yakni ”a network of networks that connects computers
worldwide... ” yang akhirnya melahirkan sebuah masyarakat informasi (Straubharr
and LaRose, 2002).
Pemikir asal Canada Marshal McLuhan berpendapat bahwa teknologi media
mempunyai dampak fundamental terhadap perasaan dan pikiran manusia.
Pernyataan McLuhan yang terkenal “media adalah pesan itu sendiri” (“the
medium is the message” ) menunjukkan hal itu. Maksudnya, apa yang disampaikan
media kepada masyarakat ternyata lebih luas daripada apa yang akan diterima
masyarakat itu jika mereka berkomunikasi tanpa media. Ini berarti adanya materi
cetak lebih penting daripada kandungan maksud yang disampaikannya atau
keberadaan televisi lebih penting daripada apa yang ditayangkan.
Dilawankan dengan tradisi lisan masyarakat, perkembangan tulisan dan
cetakan telah menciptakan budaya yang didominasi oleh “sense of vision” dan
pendekatan penyelesaian masalah secara analitik dan sekuensial. Hal ini
memungkinkan individu menjadi lebih independen, rasional, dan terspesialisasi
(McLuhan, 1964).
60
Pendapat McLuhan ini jauh berbeda dengan pandangan para “Teoretisi Kritis”
dari Mazhab Frankfurt. Horkheimer (1895- 1971) dan Adorno (1903 – 1969),
menyoroti asal usul dan dampak dari apa yang mereka sebut “industri budaya”
atau the culture of industry (Adorno, 1972). Lewat teknologi dan media,
kapitalisme modern telah berhasil membangun apa yang disebut oleh Baudrillard
the world of hiper-reality yakni situasi ketika orang sulit membedakan antara what
is the real dan what is not. Orang kehilangan kemampuan untuk membedakan
antara realitas dan fiksi, realitas dan simulasi, fakta sesungguhnya (realitas sosial)
dan fakta yang didapat dari media (realitas media). Ini adalah tanda masyarakat
telah kehilangan kapasitas kritisnya. Dalam masyarakat konsumtif, misalnya,
orang sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Budaya industri memberi kontribusi terhadap merosotnya otonomi dan critical
reasoning masyarakat. Orang hanya bisa mengafirmasi dan tidak dapat
menghindari kekuatan-kekuatan eksternal yang termanifestasikan dalam sistem
ekonomi kapitalis. Adorno juga menyatakan bahwa media massa merupakan
ideologi baru dalam masyarakat modern. Media massa menyediakan jalan bagi
masyarakat untuk melarikan diri dari realitas hidup sehari-hari yang keras,
pendangkalan imajinasi, dan memperlemah kemampuan berpikir kritis.
Senada dengan Adorno dan Horkheimer, para teoretisi yang berhalauan
Marxist pun berpendapat bahwa media massa dipandang sebagai medium
ideologis, dalam arti bahwa media massa digunakan oleh kelompok atau kelas
dominan untuk menyebarkan gagasan-gagasan yang mempromosikan kepentingan
61
mereka sendiri, dan digunakan untuk memelihara status quo. Althusser (1971)
bahkan menyebut media massa sebagai salah satu “ideological state apparatuses”.
Media massa, dengan cara menyeleksi event-event tertentu, atau dengan
membahasakan dan melabeli fakta-fakta tertentu, menciptakan kesadaran semu di
tengah masyarakat seputar realitas sosial yang mereka hadapi. Media massa
memiliki kuasa seperti ini, karena politik pengemasan berita dan isi media lain
pada umumnya tidaklah bersifat objektif sama sekali, melainkan sangatlah
subjektif. Dalam kerangka sedemikian, dapat dipahami bahwa relasi antara media
massa dan khalayak bersifat negatif.
Tentu saja dapat dipahami pula bahwa relasi antara media massa dan
pendidikan, yang sama-sama merupakan instrumen ideological state aparratus,
bisa saja memiliki hubungan saling memberdayakan demi melanggengkan
kekuasaan. Tetapi, dalam situasi ketika media massa dikuasai oleh kelompok
kapitalis, para teoretisi Kritis menilai, keberadaan media massa dengan efek
negatifnya mengancam semua sektor kehidupan manusia, termasuk pendidikan.
Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton (Rivers, 2004: 39) menyatakan media
komunikasi dapat menghaluskan paksaan sehingga tampak sebagai bujukan
(hegemonik). “Kelompok-kelompok kuat kian mengandalkan teknik manipulasi
melalui media untuk mencapai apa yang diinginkannya, termasuk agar mereka
bisa mengontrol secara lebih halus” Hal yang terakhir ini nampak jelas pada
iklan, terlebih dalam media elektronik seperti televisi.
Bagaimana media mempengaruhi masyarakat? Ada beberapa teori efek media
yang menjawab pertanyaan ini antara lain, teori peluru (bullet theory) dan ”model
62
jarum hipodermik” atau ”hypodermic needle model”, teori kultivasi, (Straubharr
and LaRose, 2002; Turow, 2009), teori kegunaan dan kepuasan atau uses and
gratifications, , teori agenda setting, dan teori proses belajar sosial.
Teori peluru dan jarum hipodermik disebut sebagai teori yang simplistik. Teori
ini menjelaskan bahwa media dapat mempengaruhi khalayak secara langsung dan
begitu kuat. Khalayak tidak berdaya sama sekali untuk mengontrol atau
menolaknya, seperti keadaan diberondong peluru (bullet theory), atau seperti
jarum hipodermik yang disuntikkan di bawah kulit yang langsung bereaksi
(hypodermic needle model).
Teori kultivasi (Straubharr and LaRose, 2002: 437) sangat menonjol dalam
menjelaskan dampak media televisi terhadap khalayak. Teori ini pertama kali
diperkenalkan oleh George Gerbner. Menurut Gerbner, media massa menanamkan
sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap
dan nilai itu kepada anggota masyarakat, kemudian mengikatnya. Dengan kata
lain, media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton meyakininya
bahwa apa yang disajikan televisi adalah sebuah ”kenyataan” yang benar adanya.
Menurut teori kultivasi, televisi merupakan media utama tempat khalayak
belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Persepsi khalayak tentang
masyarakat dan budayanya sangat ditentukan oleh televisi. Dengan kata lain
melalui televisi khalayak belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya,
dan adat kebiasaannya. Dibandingkan dengan media lain, televisi telah
mendapatkan tempat yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga
63
mendominasi lingkungan ”simbolik” khalayak. Teori ini disebut teori kultivasi
karena televisi dipercaya dapat berperan sebagai agen homogenisasi kebudayaan.
Teori lain adalah teori agenda setting. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa
media menyeleksi berita, artikel, tulisan, atau acara yang akan disiarkannya.
Setiap kejadian atau isue diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (kolom
dalam surat kabar atau waktu dalam radio dan televisi) dan cara penonjolan. Inti
teori ini adalah, jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media
itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Apa yang
dianggap penting oleh media, menjadi penting pula bagi masyarakat. Dalam hal
ini media diasumsikan memiliki efek yang kuat terutama karena berkaitan dengan
proses belajar dan bukan dengan perubahan sikap atau pendapat.
Berbeda dengan teori di atas, teori atau pendekatan uses and gratification
menganggap khalayak sebagai aktif dan rasional dalam arti mempunyai tujuan
dan mengkaitkannya dengan pemilihan media (Straubharr and LaRose, 2002: 58).
Penggunaan media oleh khalayak adalah salah satu cara untuk memuaskan
kebutuhan, karena itu efek media dipahami sebagai situasi ketika kebutuhan
individu dipuaskan (oleh media). Bagaimana kebutuhan itu terpenuhi melalui
konsumsi media massa amat tergantung pada perilaku khalayak yang
bersangkutan.
Teori lain yang cukup banyak dirujuk dalam penjelasan mengenai efek media
adalah Teori Belajar Sosial atau Social Learning Theory (Straubharr and LaRose,
2002: 60) yang dikembangkan oleh Albert Bandura (1986), seorang pakar
psikologi klinis. Jikalau Straubharr mengklasifikasikan teori ini dalam kubu
64
behaviorism, Pritchard dan Woollard (2010: 16) memasukkan teori ini ke dalam
kelompok teori social constructivism. Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan
tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan
antara faktor kognitif, tingkah laku, dan faktor lingkungan. Dengan kata lain
manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan
secara timbal balik.
Diterapkan dalam kajian efek media, Teori Belajar Sosial menjelaskan bahwa
sebuah tindakan, baik prososial maupun antisosial, dapat dipelajari lewat
mengkonsumsi media massa, khususnya menonton televisi atau film. Orang yang
menyaksikan tindakan antisosial berulang-ulang akan lebih memungkinkan
mereka melakukan tindakan ini (Turow, 2009: 158).
Di samping itu juga akan menimbulkan gejala “desensitisasi” (desensitization)
atau proses ketika seseorang menjadi tidak peka terhadap tindakan antisosial dan
akibatnya. Berbagai informasi lewat televisi yang hedonistik seperti iklan,
infotainment, aneka kuis, sampai peristiwa kriminal dan berita berpotensi
menumpulkan atau menurunkan sensitivitas masyarakat terhadap kenyataan.
E. Teknologi Informasi (TI)
Pada umumnya orang memandang teknologi sebagai alat untuk mencapai suatu
tujuan (pandangan tradisional instrumentalis). Apakah teknologi itu berupa palu,
mesin, mobil, atau komputer, dipandang sebagai sarana dan karena itu pada
dirinya netral, dalam arti dapat digunakan untuk tujuan baik atau buruk. Namun
juga ada kecenderungan seperti yang dikemukakan oleh Abraham Maslow (1976),
yang menyatakan bahwa teknologi itu mendominasi seluruh kehidupan seseorang
65
dan karena itu mengarahkan kegiatan seseorang. Kata Maslow, bagi orang yang
memegang palu, seluruh dunia rasanya seperti akan dipukul.
Sastrapratedja (2001:89) mengemukakan pandangan dialektis yang melihat
teknologi mengalami perkembangan konseptual dalam tiga fase. Fase pertama
adalah teknik seorang tukang, kedua adalah fase mesin ”klasik” yang
menggunakan energi alam, dan fase yang ketiga adalah teknologi informasi.
Pertama teknologi mengganti otot manusia, fase kedua mengganti energi dari
dirinya, dan yang terakhir, teknologi informasi merupakan eksteriorisasi ”otak”
manusia. Ketiga tahap perkembangan teknologi di atas menunjukkan semakin
meningkatnya teknologi itu bekerja dengan dirinya dan oleh dirinya sendiri atau
mencerminkan derajad ”self-sustaining” teknologi. Pada titik ini teknologi
menjadi teknosains.
Teknologi informasi merupakan salah satu dari sekian banyak teknologi
modern yang berkembang sangat pesat. Kemampuan komputer yang
memungkinkan manipulasi dan pengolahan informasi secara efektif berpadu
dengan teknologi komunikasi yang berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi
pada paruh kedua abad ke-20. TI sendiri secara umum merupakan teknologi yang
berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan,
penyajian, dan penyebaran informasi. Tentu saja hal ini menyangkut perangkat
keras (hardware), perangkat lunak (software), maupun kandungan isi (content).
Isi bisa berupa suara, tulisan, gambar, dan data lain dalam bentuk dan format yang
berbeda-beda.
66
Pada abad ke-20 sebuah teknologi informasi baru mulai merambah di tengah
masyarakat dan tidajk hanya mempengaruhi kehidupan orang-orang biasa
melainkan juga berpengaruh terhadap kehidupan bisnis, pendidikan, dan
pemerintahan. Beberapa negara di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, mayoritas
individu maupun keluarga menggunakan komputer, internet, dan telepon seluler
(ponsel). Ketiga peralatan ini di Amerika Serikat disebut dengan istilah
information technology (IT), sedangkan negara-negara di Eropa menggunakan
phrasa “information and communication technologies” yang sering disingkat
dengan ICT (Brynin dan Kraut, 2006: 3) .
Internet sendiri merupakan sebuah konvergensi antara media massa, komputer,
dan telekomunikasi. Cavanagh (2007: 48) sengaja mengutip beberapa penulis
ketika memberikan gambaran tentang pengertian internet sebagai berikut :
For Charles Ess the internet is simply 'the mother of all networks' (1996: 1). Burnett and Marshall define the internet as the 'global connection of hundreds of thousands of public and private computer networks by means of ... nodes, gateways and computer centres using the TCP/IP protocol' (2003: 206). The internet network is flexible, adaptive, a 'non-hierarchical, rhizomatic global structure' (Morse 1998, cited in Urry 2003: 63), 'webs ... without central points, organizational principles, hierarchies' (Plant 1997, cited in Urry 2003: 63).
Dalam sebuah survey terhadap pengguna dan bukan pengguna internet di
Amerika Serikat dan Inggris, Katz Dan Rice (2002) menyimpulkan bahwa
penggunaan internet tidak mengurangi modal sosial masyarakat melainkan
sebaliknya justru memberi kontribusi yang signifikan, memungkinkan munculnya
bentuk-bentuk interaksi sosial dan ekspresi diri yang baru. Salah satunya adalah
fenomena “web log” atau blog. Blog (dan sekarang jaringan sosial semacam
Facebook dan Twitter) menghapus garis batas antara ruang publik dan ruang
67
privat. Tentang penyalahgunaan, Katz dan Rice menyatakan hal itu juga bisa
terjadi pada setiap sistem informasi apapun. Ringkasnya, Katz dan Rice
menyimpulkan bahwa internet sangat membantu memenuhi kepentingan individu
dan menguntungkan bagi masyarakat.
Di samping komputer dan internet, komunikasi bergerak nirkabel (wireless
mobile communication) seperti telpon genggam pun menjanjikan revolusi
informasi yang mengubah kebiasaan kerja dan belajar masyarakat serta aktivitas
mereka dalam ruang publik (Katz, 2003). Ketika komunikasi bergerak
dikombinasikan dengan internet, persoalan baru akan muncul, namun demikian
hal ini juga akan memberikan peluang sosial dan ekonomi yang lebih baik.
Dalam lingkup satuan masyarakat yang lebih sempit seperti individu dan
keluarga, Brynin dan Kraut (2006: 6-8) menyebutkan empat pendekatan tentang
manfaat TI. Keempat pendekatan tersebut adalah pertama, TI sebagai alat, kedua,
TI sebagai teknologi yang menggeser tujuan, ketiga, yang menghasilkan
kesejahteraan pribadi, dan keempat, yang berdampak sosial. Hal yang kurang
lebih sama dikemukakan oleh Allison Cavanagh (2007), yang melihat internet
khususnya, sebagai sebuah jaringan (network), media komunikasi, ruang sosial
(social space), dan sebagai sebuah teknologi.
Dalam konteks kaitan antara revolusi TI dan generasi muda, Don Tapscott
(2009) membedakan 4 generasi yang dimulai dari tahun 1946 sampai sekarang.
Pertama adalah generasi Baby Boom. Termasuk dalam generasi ini adalah mereka
yang lahir antara Januari 1946 sampai dengan Desember 1964. Mereka ini juga
sering disebut sebagai ”Cold War Generation”,” atau “Growth Economy
68
Generation,” Kedua adalah generasi X (generation X), yakni yang lahir antara
Januari 1965 sampai dengan Desember 1976. Mereka ini disebut dengan generasi
Baby Bust. Generasi ketiga adalah yang disebut oleh Tapscott sebagai ”The Net
Generation” atau juga disebut Generation Y yakni yang lahir antara Januari 1977
sampai dengan Desember 1997. Generasi keempat adalah yang lahir antara
Januari 1998 sampai sekarang yang disebut Generation Next atau Generation Z.
Tapscott mengawali bukunya yang berjudul ”Grown Up Digital : How the Net
Generation is Changing You World” dengan mengutip pernyataan para orang tua,
guru, kaum terpelajar, akademisi, dan wartawan, tentang sisi gelap kaum muda di
era sekarang. Dikatakan bahwa :
They’re dumber than we were at their age, … they’re screenagers, Net
addicted, losing their social skills, and they have no time for sports or
healthy activities. … they have no shame, …… they are adrift in the
world and afraid to choose a path, … they steal, they’re bullying friends
online, … the latest they’re narcissistic, “me” generation (Tapscott,
2009: 3-5)
Tapscott membuktikan dengan penelitiannya, bahwa semua kekhawatiran di atas
tidak benar.
Lewat teknologi dan media, kapitalisme modern telah berhasil membangun apa
yang disebut oleh Baudrillard (1988) the world of hiper-reality yakni situasi
ketika orang sulit membedakan antara what is the real dan what is not. Pada saat
itu orang dapat kehilangan kemampuan untuk membedakan antara realitas dan
69
fiksi, realitas dan simulasi, fakta sesungguhnya (realitas sosial) dan fakta yang
didapat dari media (realitas media). Ketika hal ini terjadi, berarti masyarakat telah
kehilangan kapasitas, daya, atau sikap kritisnya.
Paparan tentang stratifikasi sosial, media massa, dan TI di atas oleh peneliti
dimaksudkan sebagai gambaran kerangka teoretik tentang variabel bebas yakni
status sosial ekonomi keluarga responden, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi
media massa.
Stratifikasi sosial merupakan ciri yang tetap dan umum pada setiap masyarakat
yang hidup dengan teratur. Mereka yang mempunyai aset berharga dalam jumlah
yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka yang memiliki
dalam jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali akan
dipandang mempunyai kedudukan yang rendah.
Pada umumnya mereka yang menduduki lapisan atas tidak hanya memiliki satu
macam saja dari sesuatu yang dipandang berharga oleh masyarakat, akan tetapi
kedudukan tinggi tersebut bersifat kumulatif, dalam arti mereka yang mempunyai
uang banyak, misalnya, akan dengan mudah mendapatkan tanah, kekuasaan, ilmu
pengetahuan, bahkan kehormatan.
Dalam penelitian ini status sosial ekonomi keluarga responden ditentukan oleh
kombinasi faktor ekonomi dan sosial. Konkritnya adalah tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan, dan tingkat pengeluaran per bulan. Tiga komponen ini adalah
komponen standar yang dapat ditambah dengan berbagai komponen lain yang
mencerminkan tingkat kesejahteraan atau kemakmuran seseorang atau
70
sekelompok orang. Karena itu tiga komponen standar di atas perlu ditambah
dengan satu komponen lagi yakni status kepemilikan tempat tinggal.
Dari uraian tentang media massa, terdapat pandangan yang optimistik-positif
maupun pesimistik-negatif. Pandangan pesimistik diwakili oleh pemikiran Adorno
dan Horkheimer dari Mazhab Frankfurt dan para pemikir Marxist. Menurut
mereka, media massa digunakan oleh kelompok atau kelas dominan untuk
menyebarkan gagasan-gagasan yang mempromosikan kepentingan mereka
sendiri, dan digunakan untuk memelihara status quo. Media massa memperlemah
kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis. Sebaliknya bagi para pemikir yang
berpandangan optimistik seperti McLuhan misalnya, media massa membuat
masyarakat menjadi lebih independen, rasional, dan terspesialisasi. Bagaimana
media mempengaruhi masyarakat, teori kultivasi dan teori belajar sosial dijadikan
titik tolaknya.
Hal yang kurang lebih sama nampak pada paparan tentang TI, yang dalam
penelitian ini dibatasi pada komputer, internet, dan telpon genggam. Kajian Don
Tapscott tentang The Net Generation di atas menunjukkan para “Net Geners”
ternyata memiliki karakteristik yang potensial untuk melakukan perubahan sosial
sekarang ini.
Menurut Krautt, terdapat empat pendekatan tentang apa yang disebut sebagai
“dampak sosial dari TI”. Pertama, TI sebagai alat, kedua, TI sebagai teknologi
yang menggeser tujuan, ketiga, yang menghasilkan kesejahteraan pribadi, dan
keempat, yang berdampak sosial. Peneliti mengkaitkan optimisme Tapscott
71
tersebut dengan pandangan Krautt dan kawan-kawan, terutama pada pendekatan
pertama sampai ketiga.
Dalam penelitian ini stratifikasi sosial, konsumsi media massa, dan pengetahuan
tentang TI bersama-sama dibingkai sebagai variabel bebas, sementara salah satu
segi dari TI yakni penggunaan atau pemanfaatannya dipandang sebagai variabel
terikat bersama-sama dengan variabel tingkat modernitas seperti yang telah
dipaparkan di muka.
F. Penelitian yang Relevan
1. Yudi Perbawaningsih (2003) pernah meneliti budaya teknologi di kalangan
akademik, yakni staf pengajar di Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas
Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), yang berjumlah 78 responden, berusia sekitar 23
tahun sampai 50 tahun. Hasilnya menunjukkan hampir seluruh responden merasa
membutuhkan teknologi untuk mendukung aktivitas komunikasinya, kendati ada
perbedaan dalam derajad kebutuhannya. Pengetahuan dan pemanfaatan teknologi
komunikasi di antara responden boleh dikatakan rendah. Hal ini ditunjukkan
dengan banyaknya responden yang mengoperasikan komputer dengan cara belajar
sendiri dan belajar bersama teman di sela-sela waktu luang. Walaupun demikian
hanya sebagian kecil di antara mereka yang mengaku tidak memiliki sendiri
perangkat komputer. 55,1% generasi muda percaya bahwa teknologi merupakan
pendorong modernitas. Sebagian responden lebih suka memanfaatkan media
konvensional, seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, untuk mendapatkan
informasi. Ini sejalan dengan temuan bahwa hanya 33.3% responden yang
72
memanfaatkan internet, sementara mereka yang memiliki homepage pribadi hanya
sebesar 3,8%, dan 12,8% mengaku sering memanfaatkan jasa online.
2. Penelitian yang dilakukan pada bulan Maret-Juli 2006 oleh Ogilvy Public
Relation Worldwide, Jakarta, yang sudah dikutip sebelumnya, sedikit banyak
memberikan gambaran yang optimistik tentang anak muda Indonesia (Tempo, 22
Oktober 2006). Penelitian ini mengambil 385 pasang anak muda usia 15 – 24
tahun yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, Yogyakarta, Medan,
Makasar. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa kaum muda kota lebih
menghargai nilai gagasan. Mereka lebih kreatif, ekspresif, berjiwa merdeka, tidak
canggung tampil beda, dan berani menerobos pakem-pakem konvensional.
Mereka ingin meraih dunia dengan semangat independen, serba indie.
Secara rinci disebutkan bahwa 61% menyatakan mereka bisa atau mampu
membuat apa saja, baju, sepatu, aksesori, musik, majalah yang mereka suka
(dalam ungkapan Sunda “kumaha aing”). Sebanyak itu pulalah (61%) juga yakin
bahwa mereka bisa memilih karier apa saja yang mereka sukai. Bahkan 92% di
antara responden menyatakan makin banyak orang di lingkungan yang mereka
kenal seperti kakak, adik, teman, tetangga, selebriti, yang mendapatkan
keuntungan ekonomi dari hobi mereka. 50% responden menyatakan sudah tidak
zamannya lagi seseorang dinilai hanya berdasarkan satu karakter, 97%
mengatakan kreativitas lokal itu penting, 92% meyakini tidak perlu pengeluaran
mahal untuk menjadi keren, 34% mengatakan media yang ada saat ini tidak
mewakili anak muda, dan 85% menyatakan bahwa tampil beda itu penting.
73
Responden yang mengaku menggunakan telpon genggam ada 88,3%,
komputer 68,8%, 25,4% responden suka dan sering akses atau koneksi ke internet,
40% akses e-mail, dan yang bermobil sebesar 31,3% sementara yang sehari-hari
bersepeda motor sebanyak 51,5%.
3. Survey yang dilakukan oleh Agus Suwignya tentang kualifikasi-kualifikasi
yang dituntut oleh pasar kerja di Indonesia dari para lulusan Perguruan Tinggi
pada tahun 2000 di Yogyakarta, Jakarta, dan Palembang (2003) menunjukkan
bahwa salah satu kualifikasi personal/interpersonal yang dituntut adalah sikap
kritis. Kuesioner dibagikan kepada manajer human resources development
(HRD) atau personalia lima sektor lapangan kerja modern yakni keuangan/bisnis,
rekayasa/teknik, pendidikan, hukum, dan kedokteran/medis. Terdapat 15
kualifikasi yang dinyatakan oleh para pencari kerja sebagai ”yang paling penting”,
”yang paling dicari”, dan ”yang paling menentukan” dalam proses rekrutmen.
Beberapa kualifikasi personal dan interpersonal yang muncul dalam ketiga
perspektif di atas adalah jujur, bertanggungjawab, kritis, penuh kemauan dan
inisiatif, mampu bekerja sama, solider dan punya kepekaan sosial.
4. Studi Gerke terhadap peran media massa, seperti yang telah dikutip pada
bagian pendahuluan menunjukkan bahwa para jurnalis dari sejumlah penerbitan
koran dan majalah, terutama majalah gaya hidup menyimpulkan bahwa mereka :
“... indeed, regarded themselves as stylists and missionaries of modernity as well
as trend-setters or a new way of life. They were the providers of symbolic goods of
modernity” (2000 : 146).
74
5. Masih dalam domain gaya hidup, Mark Plus & Co melakukan penelitian
dengan tajuk “The Future Study of Men in Indonesia” pada bulan Desember 2003
(Wibowo, 2006: 202-204). Penelitian ini melibatkan 400 responden pria dan 300
responden perempuan di wilayah Jabotabek. Status sosial ekonomi responden
dikategorikan menjadi kelas peralihan (89,5%), kelas menengah (8,4%), dan kelas
elit (2,1%). Hasilnya antara lain, pria Jakarta sangat mendukung pergerakan kaum
feminis (83%). Mereka menyatakan, jika mereka bisa kembali ke masa lalu,
mereka tidak akan membatalkan pergerakan perempuan (89,7%) dengan alasan
bahwa tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan. Dalam skala 1 sampai 5,
pentingnya berdandan bagi pria memperoleh skor 4,4, dan tidak menjadi masalah
pria melakukan perawatan wajah meraih skor 3,3.
G. Kerangka Pemikiran
Dalam sosiologi, struktur tidak pernah dilepaskan dari agency (agen atau
aktor). Dalam bahasa yang lebih umum dan abstrak disebut objektivisme -
determinisme (struktur) dan subjektivisme-voluntarisme (agen). Subjektivisme
dan voluntarisme merupakan cara pandang yang memprioritaskan tindakan atau
pengalaman invividu di atas gejala keseluruhan. Sementara objektivisme dan
determinisme merupakan cara pandang yang memprioritaskan gejala keseluruhan
di atas tindakan dan pengalaman individu. Dalam The Constitution of Society,
Anthony Giddens (1984) mencoba melihat keduanya tidak sebagai dualisme
(dualism) melainkan sebagai dualitas (duality) dalam arti “tindakan dan struktur
saling mengandaikan”. Inilah inti teori strukturasi dari Giddens yang dijadikan
asumsi dasar penelitian ini.
75
Teori-teori modernitas/postmodernitas seperti yang dikemukakan di atas, baik
klasik maupun modern, sedikit banyak menggambarkan struktur masyarakat
modern dewasa ini yang mengandaikan serangkaian kualitas manusia modern.
Karakteristik manusia modern menurut Inkeles dan Smith dimodifikasi sesuai
dengan perkembangan pemikiran teori-teori sosial dan kajian budaya (Cultural
Studies). Hasilnya adalah manusia modern yang secara konseptual ditandai
dengan ciri-ciri gaya hidup, sikap kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip
multikulturalitas. Ketiga indikator ini dapat disejajarkan dengan ranah
konatif/psikomotorik, kognitif, dan afektif. Tiga aspek ini menjadi indikator dari
variabel bebas yakni tingkat modernitas generasi muda.
Di samping tingkat modernitas, penelitian ini juga memperlakukan
pemanfaatan TI sebagai variabel bebas dengan pertimbangan bahwa secara
konseptual-teoretik maupun realitas-empirik, TI menjadi fenomena yang
mewarnai modernitas. Modernitas menunjuk pada aspek pemikiran atau aspek
mentalitas, sedangkan TI diletakkan sebagai instrumen teknologi yang relatif
otonom dalam arti terpisah dari penggunanya. Tentu saja secara konseptual,
keduanya dapat saling berkorelasi.
Generasi muda dewasa ini hidup dalam struktur masyarakat modern dengan
segala macam perubahannya. Merekalah kelompok masyarakat yang paling
sensitif namun juga adaptif menghadapi tantangan dan perubahan-perubahan yang
menggejala di lingkungan sekitarnya seperti perubahan di bidang sosial ekonomi
dan budaya. Mereka juga hidup dalam masyarakat majemuk dalam arti
masyarakat yang terdiferensiasi dalam sekat-sekat profesi, agama, etnik, dan
76
golongan sekaligus terstratifikasi dalam lapisan-lapisan sosial ekonomi politik.
Oleh karena itu status sosial ekonomi keluarga, pengetahuan tentang TI, serta
media massa yang dikonsumsi ditetapkan sebagai variabel bebas.
H. Hipotesis
Atas dasar pemahaman terhadap tinjauan teoretik dan hasil-hasil penelitian
yang terjangkau, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan secara rinci
sebagai berikut :
1. Status sosial ekonomi keluarga memberi kontribusi yang signifikan terhadap
pemanfaatan TI yang dimiliki generasi muda
2. Pengetahuan tentang TI memberi kontribusi yang signifikan terhadap
pemanfaatan TI yang dimiliki generasi muda
3. Konsumsi media massa memberi kontribusi yang signifikan terhadap
pemanfaatan TI yang dimiliki generasi muda.
4. Status sosial ekonomi orang tua, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media
massa memberi kontribusi yang signifikan terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki
generasi muda.
5. Status sosial ekonomi keluarga memberi kontribusi yang signifikan terhadap
tingkat modernitas individual generasi muda.
6. Pengetahuan tentang TI memberi kontribusi yang signifikan terhadap tingkat
modernitas generasi muda.
7. Konsumsi media massa memberi kontribusi yang signifikan terhadap tingkat
modernitas generasi muda.
77
8. Status sosial ekonomi keluarga, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media
massa secara bersama-sama memberi kontribusi yang signifikan terhadap tingkat
modernitas generasi muda.