53
BAB II. KAJIAN PUSTAKA Dalam ilmu-ilmu sosial, studi atas kaum muda pertama kali dilakukan oleh sosiologiwan Talcott Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan anggapan umum bahwa kaum muda adalah kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi secara biologis oleh usia, menurut Parsons kaum muda adalah sebuah konstruksi sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat (Wyn and White, 1997: Barker 2005: 422 - 423). Jadi kaum muda bukanlah sebuah kategori biologis yang universal. Hal ini berarti, kaum muda sebagai usia dan sebagai masa transisi, tidaklah mempunyai karakteristik-karakteristik umum. Itulah sebabnya kecenderungan perlaku kaum muda di Jakarta, Bandung, atau di Yogyakarta, bisa berbeda dengan kaum muda di Mumbay, London, atau New York. Kaum muda tumbuh dan berkembang dalam konteks identitas lokal, nasional, bahkan global. Modernitas generasi muda dengan demikian bisa dimaknai sebagi budaya- nilai-nilai, pandangan, sikap, dan perilaku kaum muda dalam bingkai struktur masyarakat modern saat ini. A. Modern dalam Perspektif Filosofis-Sosiologis 1. Perspektif Filosofis Pada mulanya filsafat dipandang sebagai sebuah ”kebijaksanaan” (wisdom) yang dalam bahasa Yunani disebut sophia. Maka filsafat (philosophia) adalah cinta akan kebijaksanaan dalam arti mencari dan berusaha mengetahui kebijaksanaan karena hal itu berarti menjalankan keutamaan.

BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

  • Upload
    buitu

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

Dalam ilmu-ilmu sosial, studi atas kaum muda pertama kali dilakukan oleh

sosiologiwan Talcott Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan anggapan

umum bahwa kaum muda adalah kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi

secara biologis oleh usia, menurut Parsons kaum muda adalah sebuah konstruksi

sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat (Wyn and

White, 1997: Barker 2005: 422 - 423). Jadi kaum muda bukanlah sebuah kategori

biologis yang universal. Hal ini berarti, kaum muda sebagai usia dan sebagai

masa transisi, tidaklah mempunyai karakteristik-karakteristik umum. Itulah

sebabnya kecenderungan perlaku kaum muda di Jakarta, Bandung, atau di

Yogyakarta, bisa berbeda dengan kaum muda di Mumbay, London, atau New

York.

Kaum muda tumbuh dan berkembang dalam konteks identitas lokal, nasional,

bahkan global. Modernitas generasi muda dengan demikian bisa dimaknai sebagi

budaya- nilai-nilai, pandangan, sikap, dan perilaku kaum muda dalam bingkai

struktur masyarakat modern saat ini.

A. Modern dalam Perspektif Filosofis-Sosiologis

1. Perspektif Filosofis

Pada mulanya filsafat dipandang sebagai sebuah ”kebijaksanaan” (wisdom)

yang dalam bahasa Yunani disebut sophia. Maka filsafat (philosophia) adalah

cinta akan kebijaksanaan dalam arti mencari dan berusaha mengetahui

kebijaksanaan karena hal itu berarti menjalankan keutamaan.

Page 2: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

26

Filsafat juga dipandang sebagai pengetahuan mengenai sebab-sebab terakhir

dari kenyataan, atau menurut Aristoteles adalah ”ilmu tentang pengada sebagai

pengada”. Pandangan ini berusaha untuk menemukan apa yang paling inti atau

fundamental. Corak filsafat ini sering disebut ”metafisika”.

Perkembangan berikut adalah pandangan yang melihat filsafat merupakan

analisis bahasa (linguistic analysis), dan paham yang memandang filsafat sebagai

bidang yang bertugas mencari titik temu atau konvergensi berbagai ilmu

pengetahuan (Sastrapratedja, 2001).

Dalam penelitian ini, filsafat diartikan sebagai suatu disiplin pemikiran yang

berawal dari pemikir Yunani Kuno, yang kemudian menjadi khas pemikiran Barat

modern sejak dibangkitkan dan diformulasikan kembali oleh Rene Descartes

(rasionalisme). Pengertian filsafat seperti ini merujuk pada bidang-bidang

metafisika, epistemologi, etika, estetika, dan logika. Perhatian akan dipusatkan

hanya pada epistemologi secara sambil lalu, dengan pertimbangan bahwa apa

yang ada (metafisika) secara konstan mengandaikan pada apa yang diketahui

(epistemologi).

Istilah modern berasal dari kata Latin “moderna” yang artinya “sekarang”

“baru” atau “saat ini”. Atas dasar pengertian asli ini bisa dikatakan bahwa

manusia senantiasa hidup di zaman “modern”. Oleh karena itu secara filosofis

modern tidak hanya semata-mata menunjuk pada periode, epos atau zaman,

melainkan, dan ini yang lebih penting, juga suatu bentuk kesadaran akan

kebaruan (newness).

Page 3: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

27

Pemahaman modernitas sebagai sebuah bentuk kesadaran bersifat

epistemologis dalam arti perubahan bentuk-bentuk kesadaran atau pola-pola

berpikir, dan bukan perubahan institusional sebuah masyarakat. Modernitas

sebagai bentuk kesadaran dicirikan oleh tiga hal yakni: subjektivitas, kritik, dan

kemajuan (Suseno, 1992: 60-69; Hardiman, 2004: 3).

a. Subjektivitas : Manusia sebagai Makhluk yang Sadar

Yang dimaksud subjektivitas bukanlah penilaian-penilaian berdasarkan

perspektif subjektif, melainkan “kekuatan subjek” yakni kesadaran manusia atas

kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di dunia

melainkan hadir dengan sadar, dengan berfikir, dengan berefleksi, dengan

mengambil jarak, secara kritis, dengan bebas.

Subjektivitas manusia mempunyai dua segi (Suseno, 1992: 60 - 64). Pertama,

tentang perspektif manusia itu sendiri yang bertolak dari cara pandang

kosmosentris pada zaman Yunani bergerak ke pandangan yang theosentris, dan

dan akhirnya didesak ke samping oleh pandangan antroposentris dalam masa

Renaissance sehingga lahirlah manusia universal sebagai cita-citanya. Segi kedua

adalah subjektivisme religius yang terungkap dalam reformasi Kristen Protestan,

terutama dalam ajaran Martin Luther. Melawan pimpinan Gereja dan para

penguasa dunia saat itu, Luther mempermaklumkan ”kebebasan orang kristen”,

yakni hak untuk tidak mempercayai sesuatu yang bertentangan dengan suara

hatinya.

Keyakinan akan hak manusia untuk mengikuti kepercayaan yang diyakininya,

ditampung dan diuniversalkan secara etis oleh Emanuel Kant (1724 – 1804). Kant

Page 4: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

28

membedakan antara moralitas dan legalitas. Seseorang dapat bertindak sesuai

dengan kewajibannya semata-mata karena hal ini menguntungkan dirinya,

misalnya ia akan dipuji dan dipercayai sebagai orang baik. Inilah yang disebut

legalitas, sebuah kesesuaian lahiriah antara tindakan dan hukum. Sementara

moralitas, atau sikap moral terpuji, mesti terletak dalam hati. Orang hanya

bersikap baik dalam arti moral apabila ia bertindak sesuai dengan kewajibannya

karena ia mau menghormati kewajibannya, bukan karena pertimbangan untung

rugi.

b. Rasionalitas dan Kritik

Di dalam subjektivitas terkandung elemen rasionalitas, yakni tuntutan agar

suatu klaim atau pernyataan dipertanggungjawabkan secara argumentatif, dengan

argumen-argumen yang tidak mengandaikan kepercayaan atau pra-pengandaian

tertentu dan dapat diuniversalkan. Segala sesuatu dapat dan harus dimengerti dan

dipertanggungjawabkan secara rasional. Maka, yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara rasional harus ditolak, seperti tradisi, otoritas

tradisional, termasuk di dalamnya adalah dogma.

Penolakan terhadap tradisi, otoritas, dan dogma ini mempunyai dampak dalam

bidang ilmu pengetahuan. Budi Hardiman (1994 : 1-15), melukiskan sebuah

sketsa menarik. Menurutnya, sejarah modernitas dewasa ini adalah sejarah

rasionalisasi, yang digambarkan sebagai pertarungan dua raksasa peradaban yakni

antara logos yakni, rasio atau akal budi manusia, dan mitos yakni spekulasi

metafisis-teologis tanpa basis empiris. Logos dan mitos memiliki musuh bersama

yakni khaos.

Page 5: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

29

Pada awalnya, mitoslah yang menyelamatkan manusia dari khaos. Logos yang

datang kemudian tampil lebih maju dalam rupa sains, menawarkan sebuah tilikan

atas dunia yang dapat lebih dimengeti dan diterima. Pertarungan keduanya, dan

juga metamorphosis mereka itulah yang tergelar dalam arena sejarah modernitas

(rasionalisasi).

Watak sains modern adalah “netral”, yakni tidak berprasangka, tidak memberi

penilaian baik atau buruk, dan bebas dari kepentingan. Watak semacam ini secara

tegas dibedakan dari etika yang justru berwatak preskriptif, personal, dan menilai

tindakan. Dengan watak-watak semacam itu, sains merupakan pembawa nilai-

nilai modern. Dalam komunitas ilmiah nilai-nilai ini terwujud dalam sikap tidak

berpihak, toleran, rasional, dan demokratis, karena penelitian ilmiah meyakini

adanya kebenaran objektif yang tidak tergantung pada otoritas subjektif. Nilai-

nilai yang dianut komunitas ilmiah itulah yang diandaikan dapat menjadi sumber

otoritatif bagi masyarakat. Inilah yang disebut saintisme.

Bentuk paling matang dari saintisme ini adalah positivisme yang dirintis

August Comte, yang kemudian dimantapkan lagi oleh Kelompok Wina pada abad

ke-20. Basis epistemologis positivisme adalah penegasan bahwa satu-satunya

fondasi pengetahuan adalah pengalaman indrawi. Karena itu segala sesuatu yang

melampaui pengalaman tidak bisa disebut pengetahuan ilmiah. Comte menolak

dengan tegas bentuk pengetahuan lain seperti etika, metafisika, teologi, seni yang

melampaui fenomena teramati.

Page 6: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

30

Namun demikian, sains yang telah menghancurkan dan menyingkirkan mitos

dengan sekularisasi1, rasionalisasi, moralitas, dan metafiska ini mulai

menampakkan wujud aslinya. Logos telah berubah wujud menjadi Mitos baru

setelah peristiwa dua Perang Dunia. Mitos baru ini didukung dan dipercaya begitu

saja dengan cara membiarkan watak eliminasi dan dominasinya. Maka muncullah

para pemikir yang bersikap kritis untuk tetap mempertahankan rasionalitas namun

dalam perspektif yang kritis terhadap positivisme dan saintisme, antara lain Teori

Tindakan dari Max Weber (1864 – 1920), dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt.

Max Weber, sebagaimana dikemukakan oleh Bryan S. Turner (1992),

membedakan dua macam tindakan rasional, yakni yang “berorientasi sarana-

tujuan” (functional rationality) , dan yang “berorientasi realisasi nilai absolut”

(substantial rationality). Rasionalitas tujuan adalah rasionalitas seseorang atau

sekelompok orang yang berorientasi pada tujuan suatu tindakan, cara mencapai,

dan akibat-akibatnya. Rasionalitas ini juga disebut rasionalitas instrumental dan

bersifat formal karena hanya mengkalkulasi, mengklasifikasi, dan memverifikasi

seraya memikirkan dan menekankan efisiensi.

Sedangkan rasionalitas nilai (substantial rationality) adalah rasionalitas yang

mempertimbangkan nilai atau norma-norma yang membenarkan atau

menyalahkan penggunaan cara tertentu untuk mencapai tujuan. Rasionalitas ini

1 Arti asli dari sekularisasi adalah proses penyitaan kekayaan duniawi Gereja di beberapa negara di Eropa, di daerah kekaisaran Jerman misalnya pada tahun 1803. Pada zaman sekarang sekularisasi sering dipahami sebagai upaya menggeser dimensi adikodrati dari semua lingkungan kehidupan duniawi. Sekularisasi berbeda dengan sekularisme. Sekularisme merupakan sikap menentang pengaruh agama atas kehidupan masyarakat. Sedangkan sekularisasi dapat disebut sebagai penduniawian dunia, pendewasaan, dan pemandirian bidang-bidang duniawi. Sekularisasi memang bertentangan dengan paham tradisional, bahwa masyarakat, alam, dan alam gaib merupakan kesatuan yang berhubungan satu sama lain. Bagi masyarakat modern ketiganya tidak mempunyai hubungan langsung lagi.

Page 7: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

31

menekankan pada kesadaran nilai-nilai estetis, etis, politis, dan religius. Dalam

kenyataan, kedua rasionalitas ini bercampur aduk dan saling tergantung.

Ross Poole menafsirkan konsep rasionalitas Weber dengan cara yang lebih

bebas. Bagi Poole (1993 : 87), dalam pandangan Weber sebenarnya terkandung

tiga rasio, yakni rasio instrumental, rasio yuridis, dan rasio kognitif atau rasio

ilmiah. Rasio instrumental lebih menekankan cara yang paling efektif meraih

tujuan. Rasio yuridis mengacu pada bentuk rasionalitas yang terealisasi dalam

bidang hukum dan birokrasi. Rasio instrumental dan rasio yuridis sering

bercampur namun tidak jarang saling bertentangan. Jenis rasio yang ketiga

menurut Poole adalah rasio ilmiah yang mengacu pada pemikiran sistematik

tentang dunia teoretik yang abstrak.

Pendekatan mutakhir dalam filsafat ilmu-ilmu sosial modern adalah Teori

Kritis yang merupakan program yang pertama kali dirumuskan oleh Max

Horkheimer, seorang tokoh arsitek “Mazhab Frankfurt”. Kritik merupakan konsep

kunci untuk memahami Teori Kritis. Adapun tujuan teori kritis adalah “to link

theory and practice, to provide insight, and to empower subjects to change their

oppressive circumstances and achieve human emancipation, a rational society

that satisfies human needs and powers” Lacey (1990 : 279).

Bleich (1977), sebagaimana dikemukakan oleh Nuryatno (2008 : 13-15),

menjelaskan tiga prinsip teori kritis. Pertama, teori kritis secara integral terkait

dengan realitas sosial bukan dalam alam abstrak dan ahistoris. Kedua, fungsi teori

kritis adalah menguji kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di dalam masyarakat

modern dan berupaya mencari akar penyebabnya dengan membongkar apa yang

Page 8: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

32

tersembunyi dan membuat yang implisit menjadi eksplisit. Ketiga, menggunakan

beberapa idealitas nilai-nilai masa lalu utuk menilai situasi sekarang.

Max Horkheimer, salah seorang arsitek Mazhab Frankfurt, mengungkapkan

adanya dilema usaha manusia rasional yakni tergesernya akal budi atau rasio

objektif ke akal budi subjektif atau akal budi instrumentalis (Sindhunata, 1983 :

96-101). Pengertian rasio subjektif berkaitan dengan pengertian masyarakat pada

umumnya tentang rasio, bahwa orang yang rasional dapat memutuskan sesuatu

yang berguna bagi dirinya. Karena itu rasio subjektif sangat mementingkan cara

dan tidak mempersoalkan tujuan pada dirinya sendiri.

Menurut para eksponen Mazhab Frankfurt, teori Marx belum cukup kokoh

sebagai basis dalam menjelaskan dinamika masyarakat kapitalis. Mereka sepakat

dengan Marx bahwa kapitalisme telah menciptakan konsentrasi kekayaan

ekonomi dengan mengorbankan kaum pekerja yang tidak bisa mengkonsumsi

komoditas yang mereka hasilkan. Inilah salah satu alasan Mazhab Frankfurt

mengalihkan perhatiannya dari analisis ekonomi politik ke kritik atas penggunaan

rasio atau akal budi instrumental dalam masyarakat modern (Marcuse, 1964).

Dalam pandangan Mazhab Frankfurt, penggunaan rasio intrumental telah

menghasilkan budaya industri yang menghalangi perkembangan individu yang

sadar, otonom, kritis, dan independen (Adorno & Horkheimer, 1972).

Akan halnya Habermas, salah satu eksponen Mazhab Frankfurt generasi kedua

yang paling menonjol. Pemikiran Habermas yang paling penting adalah teori

tentang tindakan komunikatif (The Theory of Communicative Action, 1984).

Menurut Habermas pekerjaan dan komunikasi adalah dua macam tindakan

Page 9: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

33

dasar manusia, yang meskipun saling mengandaikan dan berkaitan erat, namun

tidak dapat dikembalikan satu pada yang satunya. Bekerja adalah sikap manusia

terhadap alam. Komunikasi adalah sikapnya terhadap manusia lain. Dalam

pekerjaan hubungan manusia dengan alam tidak simetris ; manusia mengerjakan

alam, ia aktif sementara alam adalah bahan pasif. Manusia menguasai alam

melalui pekerjaan. Sedangkan komunikasi adalah hubungan yang simetris atau

timbal balik, dalam arti selalu terjadi di antara pihak yang sama kedudukannya.

Maka, pekerjaan dan komunikasi berjalan menurut aturan yang berbeda,

menunjang ilmu pengetahuan yang berbeda, dan mempunyai rasionalitas yang

berbeda pula.

Pekerjaan adalah tindakan yang mempunyai rasionalitas sasaran, dan karena itu

merupakan tindakan instrumental. Sebaliknya, komunikasi merupakan interaksi

dengan simbol-simbol, memakai bahasa dan mengikuti norma-norma.

Komunikasi tidak mengembangkan ketrampilan, melainkan kepribadian orang.

Dengan kata lain Habermas membuat distingsi antara manusia sebagai tool

making animal dan manusia sebagai speaking/symbolizing animal, antara tindakan

instrumental (tindakan rasional yang bertujuan) dan tindakan komunikatif.

c. Kemajuan (Progress)

Subjektivitas dan rasionalitas/kritik mengandaikan elemen yang ketiga yakni

kemajuan (progress). Dengan kemajuan dimaksudkan bahwa manusia menyadari

waktu sebagai serangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan yang dituju

oleh subjektivitas dan kritik itu. Eksistensi manusia terentang antara masa lampau

dan masa depan. Karena itu manusia adalah kemungkinan-kemungkinan yang

Page 10: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

34

dapat diaktualisasikan masa kini. Intinya, kemajuan merupakan penciptaan

kesejahteraan umat manusia di masa depan, karena manusia adalah posibilitas

sekaligus aktualitas.

2. Perspektif Sosiologis

Ada dua cara untuk menetapkan konsep modernitas, yakni historis dan analitis.

Konsep historis mengacu pada ruang dan waktu tertentu. Sosiologiwan Anthony

Giddens (1990:1), mendefinisikan modernitas sebagai “modes of social life or

organisation which emerged in Europe from about the seventeenth century

onwards and which subsequently became more or less worldwide in their

influence”.

Kendati penetapan ruang (geografis) dan waktunya berbeda-beda antar para

sosiologiwan, namun dalam hal faktor pendorong mereka sepakat bahwa

modernitas muncul akibat revolusi besar. Revolusi industri di Inggris

menyediakan landasan ekonomi, Revolusi Perancis dan Amerika menyediakan

landasan institusional politik berupa demokrasi konstitusional, kekuasaan

berdasarkan hukum, dan prinsip kedaulatan negara-bangsa.

Melengkapi cara historis, muncul cara analitis yakni dengan menemukan ciri-

ciri fundamental modernitas yang digambarkan secara komprehensif dalam

berbagai tulisan para teoretisi sosial utama abad ke-19 seperti Karl Marx, Max

Weber, Alexis de Tocqueville, Georg Simmel, dan Emile Durkheim. Dalam

masyarakat kontemporer saat ini, pemikiran mereka masih tetap relevan, termasuk

Marx, kendati beberapa negara sosialisme telah gagal.

Page 11: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

35

Bagi Adam Smith dan Karl Marx, kapitalisme dalam arti pasar dan produksi

yang berorientasi profit (Marx) merupakan pendorong utama bagi kehidupan

sosial modern. Menurut Marx, modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalisme.

Marx mengakui kemajuan yang ditimbulkan oleh transisi dari masyarakat

pramodern ke masyarakat kapitalisme. Namun demikian hampir seluruh karya-

karyanya ditujukan untuk mengkritik sistem ekonomi kapitalis.

Melalui kapitalisme, khususnya melalui konsep kepemilikan pribadi, orang

jadi berebut-rebutan memiliki alam sebagai sumber kehidupan sebanyak-

banyaknya. Manusia bersaing dengan manusia lainnya untuk memperbanyak harta

milik pribadinya karena dengan hal itu berarti lebih berkuasa baik kekuasaan

ekonomis maupun kekuasaan politis. Dengan demikian kapitalisme menciptakan

manusia yang serakah, bukan sebaliknya. Itulah hakikat manusia sebagaimana dia

dibentuk oleh sejarah atau human nature as modified in each historical epoch

(Fromm, 1966: 25).

Sementara itu, August Comte menekankan pada penerapan ilmu dan teknologi

secara tertib dan rasional, Tocqueville menekankan pada transisi dari organisasi

politik dan nilai-nilai budaya aristokrat ke institusi yang demokratis berdasarkan

nilai-nilai egalitarian, sementara Durkheim lebih menonjolkan individualisme dan

pembagian kerja (Cohen, 2006: 390).

August Comte (Sztompka, 2004: 82) juga menunjukkan beberapa ciri tatanan

baru (modernitas) sebagai berikut : konsentrasi tenaga kerja di pusat urban ;

pengorganisasian pekerjaan berdasarkan efektivitas dan keuntungan ; penerapan

ilmu dan teknologi dalam proses produksi ; munculnya antagonisme, baik laten

Page 12: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

36

maupun nyata antara majikan dan buruh ; semakin meluasnya ketimpangan dan

ketidakadilan sosial ; dan sistem ekonomi pasar dengan persaingan terbuka. Ciri-

ciri lain dikemukakan oleh para sosiologiwan yang berpandangan dikotomis yakni

konsep yang membandingkan dua keadaan : tradisional dan modern, misalnya

Ferdinand Tonnies, Spencer, Durkheim, Weber, Parsons, dan Rostow (Etzioni,

1981 : 14-18 ; 36-37).

Sztomka (2004: 85-86) mencatat analisis yang lebih sistematis tentang

modernitas yang disajikan Krishan Kumar (1988). Menurut Kumar ciri-ciri

masyarakat modern adalah individualisme atau “kemenangan individu”,

diferensiasi di bidang tenaga kerja dan konsumsi, rasional, ekonomisme dalam arti

seluruh aspek kehidupan didominasi oleh logika dan aktivitas ekonomi,dan

perkembangan dalam arti bahwa modernitas cenderung memperluas

jangkauannya, terutama ruangnya.

Tokoh penting lain yang perlu dikemukakan di sini adalah Georg Simmel.

Simmel memandang modernitas dari dua sisi yang saling berhubungan yakni

kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat modernitas dipusatkan dan

diintensifkan, sedangkan ekonomi uang menyebarkan dan memperluas modernitas

lewat pertukaran (Frisby,1992 : 69). Sambil mengidentifikasi bahwa kota

merupakan pusat perekonomian, Simmel berpendapat bahwa hubungan antar

manusia di pusat kota cenderung anonim. Hal ini disebabkan oleh relasi

pemenuhan kebutuhan di pasar yang anonim pula. Munculnya kota-kota besar

memiliki implikasi signifikan di dalam pembentukan hidup sosial, untuk

selanjutnya berimplikasi pada meningkatnya konsumsi warga kota.

Page 13: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

37

Aspek lain dari modernitas adalah manusianya. Kondisi modern jelas

mempengaruhi kepribadian manusianya. Namun sebaliknya, ada kecenderungan

kepribadian tertentu dibutuhkan sebagai syarat menjadi manusia modern. Dengan

kata lain demi efektifnya sebuah masyarakat modern, diperlukan kualitas sikap,

nilai, kebiasaan, dan kecenderungan-kecenderungan dari masyarakat tersebut,

seperti dikermukakan Inkeles dan Smith dalam bukunya Becoming Modern :

Individual Change in Six Developing Countries (1974).

Dalam karyanya itu, Inkeles dan Smith mengemukakan ciri-ciri manusia

modern antara lain ; keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru; mampu

menghormati segala perbedaan termasuk perbedaan pendapat; berorientasi ke

masa kini dan masa depan ; memiliki rasa keadilan dalam berbagi; menghormati

martabat orang lain, termasuk orang yang berstatus rendah.

Menurut Inkeles, dengan memberikan lingkungan yang tepat, setiap orang bisa

diubah menjadi manusia modern setelah ia mencapai usia dewasa. Dari hasil

penelitiannya, Inkeles dan Smith menyatakan bahwa memang pendidikan adalah

paling efektif untuk mengubah manusia. Dampak pendidikan tiga kali lebih kuat

dibandingkan dengan usaha-usaha lain. Di samping pendidikan, pengalaman

kerja, terutama kerja di pabrik, dan konsumsi media massa merupakan cara kedua

yang efektif.

Memasuki abad ke-21, Daniel Bell (1973), mengemukakan elemen-elemen

perubahan dalam masyarakat. Pertama di bidang ekonomi, ada kecenderungan

peralihan dari keunggulan barang-barang produksi manufaktur ke industri jasa.

Ini merupakan hal yang paling menentukan dalam masyarakat pascaindustri.

Page 14: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

38

Kedua, pekerjaan profesional, pemberi jasa, dan teknis menguasai lapangan kerja.

Ketiga, ilmu pengetahuan adalah poros sentral dari masyarakat pasca industri dan

berperan sebagai sumber utama inovasi dan formulasi kebijakan. Keempat,

masyarakat pascaindustri berorientasi pada penafsiran atas kontrol teknologi dan

dampak-dampaknya. Kelima, pengambilan kebijakan ikut menciptakan sebuah

“teknologi intelektual” baru seperti teori informasi, sibernetika, teori keputusan,

dan teori dan proses-proses lain yang melibatkan variabel yang bervariasi. Di

bidang teknologi terjadi peningkatan teknologi intelektual baru yang mengacu

pada high-tech yang dibutuhkan dalam proses informasi (TI) daripada memproses

bahan mentah dan energi.

Anthony Giddens, sosiologiwan kontemporer yang menonjol pada abad ini,

menggunakan istilah modernitas ”tinggi” atau ”radikal”, runaway world, dunia

yang berlari atau dunia yang tunggang langgang untuk melukiskan masyarakat

abad ke-21. Runaway world digambarkan bagai sosok “juggernaut” yang lepas

kontrol (1990, 1999). Tentang juggernaut ini Giddens (1990 : 139) mengatakan:

“A runaway engine of enermous power which, collectively as human beings, we

can drive to some extent but which also threatens to rush out of control, and

which could rend itself asunder”

Dengan terma juggernaut, Giddens menggambarkan keadaan dunia di zaman

globalisasi yang kecepatannya tidak dapat dikendalikan dan perubahannya tidak

dapat diramalkan. Giddens bermaksud untuk menentang pendapat para pemikir

sosial budaya yang menyatakan masyarakat telah memasuki era postmodern.

Giddens memilih menggunakan istilah modernitas “tingkat tinggi” atau “radikal”.

Page 15: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

39

Senada dengan Giddens, Habermas (1987) menyatakan bahwa modernitas

merupakan proyek yang belum selesai dalam arti masih banyak yang harus

dikerjakan dalam kehidupan modern. Ini berarti bahwa masalah sentral dalam

dunia modern masih tetap berpusat pada rasionalitas seperti pada masa Weber.

Menurut Giddens (1990: 59) masyarakat modern memiliki empat ciri

institusional atau organisasional. Pertama, modernitas mencakup perkembangan

sistem kapitalisme. Perusahaan saling bersaing dalam hal modal, tenaga kerja,

bahan mentah, dan produk jadi. Kedua, modernitas mengimplikasikan

industrialisme, yakni pelipatgandaan usaha manusia dengan menggunakan sumber

daya material seperti mesin (teknologi). Ketiga, peran negara dengan kemampuan

administratifnya, yakni kemampuan mengendalikan masyarakat dalam daerah

tertentu. Keempat, pemusatan pengendalian atas penggunaan sarana kekerasan

oleh militer dalam konteks industrialisasi sarana peperangan.

Sosiologiwan lain yang perlu dikemukakan di sini adalah George Ritzer. Sama

seperti Weber, Ritzer juga melihat rasionalitas sebagai proses kunci di dunia saat

ini. Ritzer menggunakan konsep ideal birokrasi Weber untuk menyoroti restoran

cepat saji yang mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal.

Ritzer melukiskan peningkatan rasionalitas formal ini dengan istilah

McDonaldisasi masyarakat (Ritzer, 2003), yakni suatu proses dimana prinsip-

prinsip restoran cepat saji mulai mendominasi berbagai sektor dalam masyarakat

di seluruh dunia, mulai dari bisnis restoran, agama, seks, pendidikan, dunia kerja,

biro periklanan, politik, program diet, keluarga, dan sebagainya.

Page 16: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

40

Ada empat prinsip rasionalitas formal restoran cepat saji McDonalds yakni,

pertama efisiensi. Kedua, kemampuan untuk diprediksi atau keterprediksian

(predictability). Mengetahui bahwa McDonald's tidak menawarkan kejutan

adalah sebuah kenyamanan besar. Ketiga, McDonald's menawarkan makanan dan

layanan yang terkuantifikasi dan terkalkulasi. McDonald's membuktikan nilai

budaya yang diyakini banyak orang, "yang lebih besar adalah yang lebih baik",

kuantitas sejajar dengan kualitas, dan penghematan waktu. McDonald's

menjanjikan, bahwa pergi dan makan di McDonald's lebih hemat waktu

ketimbang makan di rumah. Kalkulasi waktu ini juga merupakan kunci sukses

sistem home-delivery (pesanan diantar ke rumah) McDonald's. Keempat,

McDonald's menawarkan kontrol, terutama prosedur kerja dan penggantian

pekerja manusia dengan mesin.

Prisip-prinsip di atas adalah komponen dasar sistem masyarakat modern yang

rasional. Ritzer menunjukkan bagaimana sistem yang rasional ini sebenarnya

penuh dengan irasionalitas. Meningkatnya layanan home-delivery di Jepang

misalnya, bukannya meningkatkan efisiensi, tetapi malah membuat jalan raya

dipenuhi mobil-mobil pengantar pesanan dan membuat meningkatnya kemacetan.

B. Postmodernisme dalam Perspektif Filosofis-Sosiologis

1. Perspektif Filosofis

Anderson (2004: 2-5), menyatakan, sebagai sebuah terma atau istilah,

postmodernisme pertama muncul ke permukaan di dunia Latin tahun 1930-an,

satu generasi sebelum kemunculannya di Inggris atau Amerika. Terma

“Postmodernismo” digunakan oleh Frederico de Onis untuk menggambarkan

Page 17: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

41

mengalirnya kembali konservatisme (conservative reflux) dalam modernisme di

bidang sastra-budaya.

Arnold Toynbee pun menggunakan terma tersebut dalam jilid ke-8 bukunya

yang berjudul A Study of History yang terbit tahun 1954. Toynbee memberi nama

jaman yang baru terbuka setelah Perang Perancis-Prusia (Franco-Prussia War)

sebagai era “Post-modern”. Nampak bahwa terma postmodernime digunakan

dengan kandungan isi dan maksud yang berbeda, apalagi jika dikaitkan kondisi

masa kini. Oleh karena itu perlu dijernihkan dulu beberapa istilah dan konsep-

konsep yang mengemuka dalam wacana masa kini tentang kondisi postmodern,

yakni postmodernisme, postmodernitas, dan postmodernisasi.

Postmodernisme tidak mempunyai sebuah definisi yang tunggal-monolit-ketat

karena setiap pemikir (modernis maupun postmodernis) berbicara dengan

pengertiannya sendiri. Namun setidaknya postmodernisme memiliki dua karakter

pokok yakni pertama merujuk pada gaya estetik dan artistik yang menolak kode-

kode artistik dan estetis era modernisme, dan kedua posisi teoretik dan filosofis

yang menolak kaidah-kaidah pemikiran modern (Hutcheon, 2006: 115).

Adapun postmodernitas merupakan sebuah tahap perkembangan atau

perubahan sosial yang dipikirkan sebagai melampaui modernitas. Postmodernitas

merujuk pada epos sosial dan politik yang secara umum melanjutkan atau

mengikuti era modern dalam arti sejarah (Ritzer, 2005:14). Sedangkan

postmodernisasi menunjuk pada sejumlah perubahan sosial yang mengarah pada

transisi dari modernitas ke postmodernitas.

Page 18: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

42

Mengacu pada karakter keragaman atau pluralitas, Bambang Sugiharto (1996:

30-32) mengkategorikan bentuk-bentuk pemikiran postmodernisme. Pertama,

kecenderungan untuk kembali kepada pola berpikir pramodern. Sebagai contoh

adalah kecenderungan mengkaitkan metafisika abad baru dengan wilayah

pemikiran mistis, terutama nampak dalam wilayah fisika modern. Kedua,

kenderungan yang muncul dalam dunia sastra dan persoalan linguistik. Kata kunci

yang muncul adalah dekonstruksi. Motivasinya mencegah totaliterisme dalam

segala sistem. Kategori ketiga adalah segala pemikiran yang hendak merevisi

modernisme tanpa menolak modernisme secara total, yakni dengan cara

memperbarui premis-premis modern di sana-sini. Dengan kata lain, mengkritik

sambil tetap mempertahankan ideal-ideal modern tertentu.

Pemikir Jean Francois Lyotard (1924-1998) dianggap sebagai filsuf yang

pertama kali memasukkan istilah “postmodern” ke dalam dunia filsafat sekitar

tahun 1970-an. Dalam karya-karyanya, Lyotard selalu menekankan bahwa

postmodernitas bukanlah sebuah epos sejarah baru, melainkan fase sejarah yang

berulang dalam modernitas. “Postmodernisme adalah bagian dari modern”

(Lyotard, 1993: 12).

Tesis pokok Lyotard dalam buku The Postmodern Condition (1984) adalah,

dalam abad modern ilmu pengetahuan atau sains, yang mengklaim dirinya sebagai

satu-satunya jenis pengetahuan yang valid, tidak dapat melegitimasi klaimnya itu

karena aturan main sains bersifat inheren dan ditentukan oleh konsensus di antara

para ilmuwan sendiri. Sains melegitimasi dirinya, secara konkrit, dengan bantuan

beberapa narasi besar (grandnarratives) seperti hermeneutika makna, subjek yang

Page 19: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

43

rasional, dan penciptaan kesejahteraan umat manusia sebagai kepercayaan yang

optimis tentang kemajuan (1984: xxiii).

Narasi atau kisah-kisah besar itu tidak mendasarkan legitimasinya pada

peristiwa yang terjadi pada awal mula (seperti penciptaan oleh para dewa),

melainkan pada masa depan, dalam suatu Ide yang harus diwujudkan. Contohnya

antara lain adalah keyakinan bahwa kemajuan umat manusia seluruhnya akan

tercapai melalui perkembangan tekno-ilmiah yang kapitalistik (technoscience).

Bagi Lyotard modus legitimasi semacam itu tidak bisa dipertahankan lagi karena

kebanyakan proyek yang berangkat dari narasi besar telah gagal.

Prinsip pengetahuan dalam postmodern bukan lagi legitimasi pada kesatuan

(homologi), melainkan pada paralogi. Narasi-narasi kecil yang melegitimasikan

praktek-praktek pengetahuan tanpa perlu persetujuan dari grandnarratives.

Munculnya wacana atau diskursus feminisme, maskulinitas, queer studies, dan

berbagai pengetahuan lokal yang ”tidak ilmiah”, bahkan sampai ilmu klenik,

merupakan contoh representasi prinsip pengetahuan postmodern. Karena itu

istilah-istilah kunci dalam postmodern yang sering muncul adalah, antara lain

pluralisme, fragmentasi, heterogenitas, dekonstruksi, skeptisisme, ambiguitas,

ketidakpastian, perbedaan.

Berbeda dengan Lyotard, Jacques Derrida dikenal luas karena salah satu

konsep yang dikemukakannya yakni dekonstruksi. Derrida dan pengikutnya,

menolak mendefinisikan dekonstruksi, karena definisi adalah pembatasan,

sementara dekonstruksi sendiri berupaya menerobos batas. Bagi Derrida

dekonstruksi selalu merupakan dekonstruksi atas sebuah ”teks”.

Page 20: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

44

Menurut Derrida, sebuah teks tidak bermakna tunggal melainkan selalu

terbuka. “Teks” di sini menggantikan “karya”. Karya, menyatakan secara tidak

langsung kualitas intelektual si pengarang. Dalam postmodern, tidak ada lagi

pengarang, tidak ada lagi karya. Dalam hal ini, yang menjadi masalah bukan siapa

yang menciptakan teks, tetapi lebih pada siapa “yang membaca” teks. Kekuasaan

beralih dari pengarang ke pembaca. Inilah demokratisasi dalam ilmu-ilmu sosial.

Implikasinya, yang menjadi fokus masalah adalah hubungan antara suatu teks

dengan semua teks yang lain, atau intertekstualitas.

Tujuan dekonstruksi adalah membebaskan pluralitas makna teks dari represi

yang dilakukan struktur maupun maksud pengarang. Dekonstruksi membongkar

unsur-unsur kekuasaan yang muncul dalam kesadaran (Derrida, 1976: 158).

Dalam perspektif kaum strukturalis, makna sebuah tanda (kesatuan penanda-

tinanda) diperoleh dari perbedaan tanda itu dengan tanda yang lain.

Salah satu jenis kuliner yang digemari orang Indonesia sebagai pengiring

makan disebut “sambal” bukan “sandal”, bukan karena kata itu logis berkaitan

dengan rasa pedas yang berasal dari cabe, melainkan karena perbedaannya dengan

kata ”lalapan”, “krupuk”, “saos”, atau “kecap”. Jadi istilah atau kata “sambal”

ditentukan secara manasuka (arbitrary). Begitu pula tanda (kata atau konsep)

“manusia” punya arti ketika ia ditautkan dengan tanda “Allah”, “malaikat”,

“binatang”, “tumbuhan”. Dengan kata lain, makna tanda diperoleh dari perbedaan

rangkaian atau rajutan tanda-tanda.

Namun yang sering terjadi, pertautan atau rajutan yang sebenarnya punya

banyak kemungkinan, menyempit menjadi pertentangan dua kutub atau oposisi

Page 21: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

45

biner. Laki-laki dihadapkan dengan perempuan, personal dengan sosial, privat

dengan publik, (negara-negara) Barat dengan Timur atau Utara dan Selatan, jiwa

dengan badan, dan seterusnya. Hal ini sebetulnya tidak masalah dalam operasi

bahasa. Masalah muncul ketika salah satu terma dalam oposisi itu diunggulkan

atas terma lainnya, sehingga terjadi hirarkisasi oposisi biner: satu terma

menguasai dan menjadi asal makna bagi terma yang lain. Misalnya terma

perempuan memperoleh makna hanya dikaitkan dengan laki-laki; tetapi

sebaliknya terma laki-laki seolah-olah memiliki makna pada dirinya sendiri. Inilah

yang dimaksud Derrida ketika mengatakan bahwa hubungan dua terma yang

saling beroposisi bukanlah hubungan setara, tetapi hubungan hirarkis yang brutal

(violent hierarchy) :

In a classical philosophical opposition we are not dealing with the peaceful coexistence of a vis a vis, but rather with a violent hierarchy. One of the two terms govern the other (axiologically, logically, etc.) or has the upper hand. To deconstruct the opposition, the first of all, is to overturn the hierarchy at a given moment (Derrida, 1981: 41).

Permasalahannya, hirarki oposisi biner ini tidak hanya berpengaruh dalam cara

berpikir tetapi juga terinstitusionalisasi dan dijaga oleh tradisi, sehingga menjadi

budaya dalam arti yang seluas-luasnya. Misalnya budaya patriarki yang ditopang

oleh superioritas terma “laki-laki” atas “perempuan”.

Pauline Rosenau (1992) dalam salah satu karyanya Post-Modernism and the

Social Science, mempertajam karakteristik teori sosial postmodern dengan cara

yang mudah dipahami. Pertama, ini yang paling nyata, postmodernisme

merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya dalam memenuhi

janji-janjinya. Kedua, teoretisi postmodernis cenderung menolak apa yang

Page 22: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

46

dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan

sebagainya seperti pada para teoretisi modernitas. Pemikir pascamoden cenderung

membicarakan fenomena pramodern seperti perasaan, emosi, intuisi, refleksi,

spekulasi, tradisi, kosmologi, magis, mitos, pengalaman mistik, dan sebagainya.

Ketiga, para teoretisi postmodern menolak kecenderungan modern yang

membuat garis batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademik dan non

akademik, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, citra dan kenyataan”. Keempat,

banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademik modern yang serba teliti,

cermat, dan bernalar. Mereka cenderung lebih menyastra daripada gaya bahasa

akademik yang logik-argumentatif. Kelima, postmodernis tidak memfokuskan diri

pada isu-isu inti (core) masyarakat modern, melainkan pada bagian pinggirannya

(peripheri). Singkatnya, demikian Rosenau, teoretisi postmodern lebih

menawarkan “intermediasi daripada determinasi, keragaman (diversity) daripada

kesatuan (unity), perbedaan daripada sintesis, dan kompleksitas daripada

simplifikasi”.

2. Postmodern : Perspektif Sosiologis

a. Gaya Hidup Masyarakat Konsumen

Membicarakan teori sosial postmodern tidak bisa dilepaskan dari karya-karya

Jean Baudrillard (1929 - ), sosiologiwan postmodern Perancis yang memiliki

perhatian terhadap realitas, media, dan ilusi. Pernyataan sentral Baudrillard adalah

bahwa objek (konsumsi) menjadi tanda (sign). Maka kalau Ritzer menyebut

masyarakat kontemporer sebagai McDonaldization Society, Baudrillard

menyebutnya dengan istilah Consumer Society (1988). Baudrillard dipengaruhi

Page 23: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

47

oleh Marshall McLuhan yang mementingkan media massa dalam pandangan

sosiologis dan Roland Barthes tentang analisis semiotika dalam kebudayaan.

Baudrillard (1998 : 32-33) menyatakan, situasi masyarakat kontemporer

dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia sekarang dikelilingi oleh faktor konsumsi

yang ditandai oleh multiplikasi objek, jasa, dan barang-barang material. Gagasan

mengenai manusia yang mempunyai kebutuhan dan harus selalu terpenuhi melalui

konsumsi adalah mitos. Dalam kenyataan manusia tidak akan pernah merasa

terpuaskan kebutuhan-kebutuhannya, karena pemenuhan kebutuhan tidak

menyangkut soal representasi identitas. Dalam konteks inilah sebuah objek

konsumsi bermakna sebagai tanda.

Ketika seseorang mengkonsumsi objek, maka orang itu sedang mengkonsumsi

tanda, dan pada waktu itu yang bersangkutan sedang mendefinisikan dirinya.

Dengan kata lain, mengkonsumsi objek tertentu menandakan (bahkan secara tidak

sadar), bahwa seseorang sama dengan orang-orang yang mengkonsumsi objek

tersebut, sekaligus berbeda dengan orang yang mengkonsumsi objek lain. Inilah

yang disebut kode, yang mengontrol apa yang kita konsumsi dan yang tidak kita

konsumsi.

Dengan cara lain dapat dikatakan, mengkonsumsi tidak lagi sekadar kegiatan

memenuhi kebutuhan dasar atau fungsi kegunaan, akan tetapi berkaitan dengan

kegiatan mengekspresikan posisi atau status sosial ekonomi tertentu, menandai

kelas seseorang dalam masyarakat, atau menentukan identitas kultural seseorang.

Komoditas yang dikonsumsi tidak hanya sekadar objek atau materi, tetapi juga

makna simbolik atau tanda alias makna-makna sosial yang tersembunyi di

Page 24: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

48

dalamnya. Masyarakat didorong untuk semakin konsumtif dengan munculnya

berbagai industri kartu kredit.

Manifestasi masyarakat konsumen semacam ini adalah persoalan gaya hidup.

Menurut David Cheney, gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern (2004:

40). Siapapun yang hidup dalam masyarakat modern, akan menggunakan gagasan

gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain.

Menurut Chaney gaya hidup merupakan gaya, tata cara menggunakan barang,

tempat, dan waktu, yang khas kelompok masyarakat tertentu. Gaya hidup, dengan

demikian dikaitkan dengan perbedaan pola penggunaan barang, ruang, dan waktu

tertentu oleh kelompok masyarakat yang berbeda. Gaya hidup dipahami oleh

Cheney sebagai proyek reflektif dan penggunaan fasilitas konsumen secara sangat

kreatif.

Senada dengan Chaney, Piliang mengartikan gaya hidup sebagai karakteristik

seseorang yang dapat diamati, yang menandai sistem nilai serta sikap terhadap diri

sendiri dan lingkungannya (Piliang, 1998: 209). Karakteristik tersebut berkaitan

dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang, dan objek-objek yang berkaitan

dengan semuanya. Misalnya cara berpakaian, cara makan, cara berbicara,

kebiasaan di rumah, di kantor, atau di sekolah/kampus, kebiasaan belanja, pilihan

teman, pilihan restoran, pilihan hiburan, tata ruang, tata rambut, tata busana, dan

sebagainya.

Ada dua pendekatan yang menonjol untuk menyoroti gaya hidup, yakni

ideologis dan sosio-kultural (Piliang, 1998: 210-212). Pendekatan ideologis

berasal dari analisis sosial Marxisme. Menurut pandangan kaum Marxist, gaya

Page 25: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

49

hidup dilandasi oleh suatu ideologi yang menentukan bentuk dan arah gaya hidup.

Sedangkan pendekatan sosio-kultural memandang gaya hidup sebagai refleksi dari

kesadaran kelas kelompok masyarakat tertentu, atau bentuk ungkapan makna

sosial dan kultural. Setiap penggunaan objek, ruang, dan waktu, menyiratkan

adanya aspek-aspek penandaan dan semiotik, yang mengungkapkan makna sosial

dan kultural tertentu. Pemikiran Baudrillard yang sudah dipaparkan di atas

termasuk dalam pendekatan ini.

Salah satu perhatian para sosio-kulturalis adalah gaya hidup yang tercermin

dalam dan dibentuk oleh iklan. Iklan tidak saja merepresentasikan gaya hidup,

tetapi juga menaturalisasikannya. Dalam konteks modernitas, gaya hidup yang

ditawarkan oleh iklan menjadi lebih beragam, tidak lagi milik kelas tertentu dalam

masyarakat, seperti sebelumnya (Piliang, 1998 ; Heryanto, 2000).

b. Daya kritis

Sikap atau daya kritis boleh dikatakan sebagai semangat atau roh dari

postmodernisme. Kritik atau sikap kritis menyiratkan bahwa rasio tidak hanya

sebagai sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk

membebaskan individu dari otoritas tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-

prasangka yang menyesatkan (emansipatoris).

Paulo Freire (1999) membedakan kesadaran manusia menjadi tiga. Pertama

kesadaran magis, yakni suatu kesadaran yang melihat faktor di luar manusia

(natural maupun supranatural) sebagai penyebab ketidakberdayaan. Kedua,

kesadaran naif, yakni lebih melihat aspek ‘manusia’ sebagai penyebab persoalan

Page 26: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

50

(blaming the victims). Ketiga adalah kesadaran kritis yakni cara pikir yang melihat

sistem atau struktur sebagai sumber masalah.

Mengacu pada pandangan Henry Giroux dan Marleau Ponty, Agus Nuryatno

(2003) mengemukakan bahwa sikap atau cara berpikir kritis adalah suatu pola

berpikir yang mampu mengetahui adanya fenomena tersembunyi atau berpikir

lebih dari sekadar asumsi akal sehat, atau berpikir melampaui struktur-struktur

yang sudah ada, yang menekankan pada fenomena dimensi-dimensi historis,

relasional, dan normatif. Hal yang terakhir ini menunjukkan bahwa suatu masalah

tidak dapat dilihat secara satu dimensi atau mekanistik saja, tetapi harus dilihat

dalam konteks interaksi antara individu dan masyarakat sebagai satu kesatuan

yang tidak dapat dipisahkan.

Ikhwal bagaimana menumbuhkan daya kritis masyarakat, orang sering

menunjuk dunia pendidikan sebagai pilihannya. Berpikir kritis memungkinkan

peserta didik menemukan kebenaran di tengah banjir peristiwa dan informasi yang

mengelilingi mereka setiap hari (Johnson, 2002: 101).

Dalam konteks pendidikan, berkembang mazhab yang disebut aliran

pendidikan kritis. Proyek emansipatoris aliran pendidikan kritis didasarkan pada

komitmen untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis-dialektis. Dalam hal

ini sekolah (lembaga pendidikan) merupakan motor penggerak untuk menciptakan

“persamaan dan mobilitas sosial yang lebih adil dan lebih baik” (Carnoy, 1998:

78). Proses pembelajaran dalam aliran pendidikan kritis ditujukan untuk

mengkritik, memproduksi, dan menggunakan pengetahuan sebagai alat untuk

Page 27: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

51

mengubah realitas, memberdayakan yang lemah dan mentransformasikan

ketidakadilan sosial.

Menurut Henry Giroux dan Peter McLaren, Keunggulan Aliran Pendidikan

Kritis terletak pada ”tujuannya untuk memberdayakan yang lemah dan

mentransformasikan ketidakadilan sosial” (Giroux & McLaren, 1991: 152).

Ketidakadilan sosial sering menggejala terutama dalam masyarakat plural akibat

diabaikannya hak-hak kelompok masyarakat yang mempunyai kultur dan

subkultur berbeda-beda, khususnya yang dipandang dan diperlakukan sebagai

kelompok minoritas. Dalam konteks ini paham multikulturalisme menjadi relevan

untuk masyarakat modern/postmodern.

c. Multikulturalisme

Secara teoretis, multikulturalisme dan postmodernisme saling memperkaya

satu sama lain, sekaligus menciptakan suasana yang kondusif bagi keduanya

(Ritzer, 2003: 323). Postmodernisme telah menciptakan iklim intelektual yang

memungkinkan multikulturalisme berkembang, dan sebaliknya multikulturalisme

menciptakan sebuah lingkungan sosial politis yang kondusif bagi perkembangan

teori sosial postmodern (Rogers, 1996 : 6). Ben Agger (1995) menyatakan bahwa

multikulturalisme adalah versi paling politis dari posmodernisme.

Pengertian multikulturalisme sendiri, sebegitu jauh tidak terang benderang

meski tidak pula gelap gulita. Tiap-tiap orang tampaknya memiliki pengertian

tersendiri dan cenderung menghindari definisi yang jelas dan pasti. Dalam tataran

ideologi, ia merupakan gagasan yang menekankan pada penerimaan terhadap

perbedaan ras, etnik, bahasa, dan praktik keragaman kultur/subkultur dalam

Page 28: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

52

sebuah masyarakat plural (Budianta, 2004: 2). Dalam pembuatan kebijakan oleh

pemerintah, multikulturalisme dimaksudkan untuk memelihara harmoni antar

kelompok ras, etnik atau agama yang berbeda serta antar mereka dan negara.

Dalam bidang pendidikan, multikulturalisme berarti pengakuan terhadap

kontribusi semua kelompok kultural atas perkembangan ilmu pengetahuan dan

kesusasteraan (Petrozza, 1996). Oleh karena itu kurikulum yang dikembangkan

harus pula mencakup semua materi dari berbagai kultur (Gorski, 1998). Lebih

jauh, John Rex (1995 :31) menggambarkan multikulturalisme sebagai “an

enhanced form of the welfare state in which “the recognition of cultural diversity

actually enriches and strengthens democracy”. Di sini multikulturalisme

diletakkan sebagai bagian penting dalam proses demokrasi.

Douglas Kellner (1995), seorang teoretisi kritis generasi ketiga dalam tradisi

Mazhab Franfurt, mengembangkan istilah multikulturalme kritis dalam bukunya

Media Culture. Kata “kritis” digunakan untuk menjelaskan upaya menguak

bentuk-bentuk penindasan dan dominasi, serta mengartikulasikan perspektif

normatif untuk mengkritik penindasan tersebut (Kellner, 1995:95).

Multikulturalisme kritis menggunakan perspektif normatif yang terdapat dalam

teori-teori kritis, cultural studies, maupun teori-teori interpretasi. Perspektif kritis

mempertanyakan bagaimana konstruksi budaya seperti ras, etnisitas, kelas,

gender, dan orientasi seksual direpresentasikan dalam masyarakat kontemporer

serta bagaimana menafsirkan budaya dan masyarakat dalam relasi kekuasaan,

dominasi, dan resistensi (Kellner, 1995:96).

Page 29: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

53

Pandangan di atas perlu dilengkapi dengan penelusuran peta multikulturalisme

menurut Bikhu Parekh (2000) berikut ini. Pertama, adalah ragam subkultur

(subcultural diversity), yakni kelompok masyarakat yang memiliki budaya

umumnya masyarakat, namun dalam beberapa hal mereka memiliki keyakinan-

keyakinan dan praktek-praktek yang berbeda berkaitan dengan perbedaan

wilayah-wilayah kehidupan atau mengembangkan cara hidup yang relatif berbeda.

Ragam subkultur ini adalah kalangan waria, anak-anak jalanan, orangtua tunggal,

gay, lesbi, dan berbagai individu atau kelompok yang mengikuti gaya hidup atau

struktur keluarga yang tidak konvensional.

Kedua, ragam pandangan (perspectival diversity) yakni anggota atau kalangan

masyarakat yang sangat kritis terhadap beberapa prinsip atau nilai utama dari

budaya dominan yang ada di dalam masyarakat dan berupaya untuk

membentuknya kembali. Contoh untuk ini adalah kalangan feminis yang terus

menyerang bias budaya patriarkhi yang demikian mengakar dalam masyarakat,

kalangan pecinta lingkungan yang terus mengkritik bias antroposentris dan

kecenderungan teknokratik dalam pengelolaan alam.

Ketiga, ragam komunal (communal diversity) yakni komunitas-komunitas yang

memiliki kesadaran diri dan hidup dengan sistem-sistem keyakinan dan

prakteknya sendiri yang berbeda. Mereka terorganisasi dengan cukup baik.

Termasuk dalam kalangan ini adalah para imigran/pendatang, berbagai komunitas

keagamaan, dan kelompok-kelompok budaya yang terkonsentrasi secara teritorial

seperti orang-orang asli (indigenous peoples).

Page 30: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

54

Sampai di titik ini menjadi penting untuk mengkonstruksi konsep

modernitas/postmodernitas secara lebih utuh berdasarkan paparan teoretik di atas.

Tinjauan filosofis tentang modern/postmodern di atas menjadi dasar bagi peneliti

untuk menyusun konstruk pemikiran sebagai titik pangkal dari penelitian ini.

Modernitas yang berawal dari Renaissance ditandai dengan munculnya ilmu

pengetahuan yang tidak tergantung lagi pada kekuasaan agama, politik, atau

moral. Dalam sejarah pemikiran modern gagasan Descartes cogito ergo sum

menegaskan kemandirian tersebut.

Seperti telah dinyatakan di atas, modernitas menyimpan tiga keyakinan besar

yakni subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Masyarakat modern meyakini bahwa

ketiganya akan membawa ke situasi yang lebih baik, dengan rasionalitas sebagai

penopang utama. Karena ketiga ciri ini saling mengandaikan maka yang menjadi

fokus perhatian penelitian ini adalah ciri yang kedua yakni kritik. Dalam

pengertian kritik sudah tersirat ciri atau elemen subjektivitas atau rasionalitas

sekaligus kemajuan (progress), karena kritik mengarah pada kemajuan. Di dalam

elemen kritik ada elemen rasionalitas, demikian juga sebaliknya. Keduanya

mengandaikan kemajuan.

Kritik mengandaikan bahwa rasio atau akal budi tidak hanya sebagai sumber

pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan

individu dari otoritas tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka

yang menyesatkan (emansipatoris). Kritik juga menjadi semangat atau jantung

gerakan postmodernisme, karena postmodernisme pada dasarnya merupakan

kritik terhadap nalar modernitas.

Page 31: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

55

Postmodernisme di sini dipahami sebagai konstruk pemikiran yang hendak

merevisi modernisme tanpa menolak modernisme secara total, yakni dengan cara

memperbarui premis-premis modern di sana-sini. Dirumuskan secara ringkas,

postmodernisme mengkritik sambil tetap mempertahankan ideal-ideal

modernisme. Seperti yang dikemukakan Lyotard, postmodern adalah bagian dari

modern. Justru karena sesuatu itu postmodern maka ia menjadi modern. Inilah

titik pijak yang digunakan dalam mengembangkan konstruk teori dalam penelitian

ini.

Maka dalam penelitian ini sikap kritis dijadikan sebagai salah satu indikator

atau komponen dalam variabel modernitas individual. Modernitas individual

dengan kandungan isi sikap kritis diperlakukan sebagai variabel dependen dalam

penelitian ini.

Teori-teori modernitas yang mengawali perspektif sosiologis lebih

mengedepankan struktur masyarakat modern beserta ciri-cirinya, mulai dari

pemikiran August Comte, Krishan Kumar, sampai Daniel Bell, kecuali Inkeles

dan Smith yang lebih menekankan kualitas manusia modern. Dalam perspektif

sosiologis Inkeles dan Smith lebih menekankan pelaku atau aktornya. Kedua

sudut pandang ini tidak akan dipertentangkan melainkan, sesuai asumsi dasar,

dilihat sebagai bentuk dualitas (bukan dualisme), dalam arti keduanya saling

mengandaikan.

Pemikiran Giddens menentang pendapat para pemikir sosial budaya yang

menyatakan masyarakat telah memasuki era postmodern, dan keyakinan

Habermas bahwa modernitas merupakan proyek yang belum selesai, diadopsi

Page 32: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

56

peneliti sebagai titik pijak penelitian ini. Dalam konteks ini posisi teori-teori sosial

postmodernisme dipandang sebagai pelengkap sekaligus penopang kritis atas teori

sosial modernisme.

Penelitian ini menjadikan kota sebagai ”locus”nya. Hal ini merujuk pada

pandang Simmel yang memandang kota sebagai tempat di mana modernitas

dipusatkan dan diintensifkan. Munculnya kota-kota besar memiliki implikasi

signifikan di dalam pembentukan hidup sosial, untuk selanjutnya berimplikasi

pada meningkatnya konsumsi warga kota. Dalam konteks inilah teori sosial

postmodern dari Jean Baudrillard diletakkan, yakni tentang masyarakat konsumen

yang berujung pada persoalan gaya hidup.

Ciri-ciri pemikiran postmodernisme yang analogis, luwes, dan mengacu ke

beragam makna bersama dengan nilai-nilai postmodernisme yang menekankan

pada toleransi, pluralitas, kebebasan, dan perdamaian menjadi inspirasi peneliti

untuk menekankan pentingnya nilai-nilai multikulturalisme. Hal ini ditopang

dengan pendapat Ritzer bahwa dalam wacana teoretik postmodernisme dan

multikulturalisme saling memperkaya satu sama lain, sekaligus menciptakan

suasana yang kondusif bagi keduanya.

Atas dasar refleksi di atas maka gaya hidup dan eksplisitasi nilai-nilai

multikulturalitas dikonstruksi menjadi indikator-indikator modernitas individual

generasi muda bersama dengan sikap kritis yang sudah ditekankan pada paparan

perspektif filosofis di atas. Dirumuskan secara lebih eksplisit modernitas

individual generasi muda yang diteliti berisi tiga indikator yakni sikap atau daya

kritis, gaya hidup, dan eksplisitasi nilai-nilai multikulturalisme.

Page 33: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

57

C. Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial biasanya dibedakan dengan diferensiasi sosial. Diferensiasi

sosial dikaitkan dengan pembagian formasi sosial secara horisontal, sedangkan

stratifikasi sosial merupakan pembagian secara vertikal (hirarkis). Hasilnya adalah

peringkat atau strata sosial. Konkritnya ada kelas tinggi, menengah, dan kelas

yang rendah. Hal ini disebabkan adanya ketidakseimbangan atau ketidakmerataan

pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial,

dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat.

Stratifikasi semacam itu bisa hanya sekadar konsep, namun dapat juga

merefleksikan realitas sosial dalam masyarakat. Strata sebagai realitas sosial

ditentukan oleh jarak sosial tetapi lebih sering terjadi karena peminggiran yang

sistematis. Sosiologiwan juga membedakan antara sistem strata yang tertutup

seperti kasta dalam masyarakat Hindu dan sistem strata yang terbuka yang

ditentukan oleh sistem pekerjaan atau kelas dalam masyarakat modern.

Dalam teori fungsional, stratifikasi sosial merupakan kesepakatan bersama

karena menguntungkan secara sosial. Sementara dalam teori konflik, stratifikasi

selalu dikontestasikan dan disertai dengan dominasi. Teoretisi marxist melihatnya

sebagai akibat dari eksploitasi ekonomi, sementara kaum Weberian

memperlakukannya sebagai akibat dominasi berwajah ganda, yakni kombinasi

antara klas sosio-ekonomi, status sosio-kultural, dan hirarki otoritas sosio-politik

(Pakulski, 2006:586).

Terdapat konsensus yang luas di kalangan para sosiologiwan bahwa status

pekerjaan atau jabatan merupakan kekuatan utama pembentuk strata sosial dalam

Page 34: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

58

masyarakat modern. Di samping itu strata sosial juga ditentukan oleh kepemilikan

aset seperti : pengaruh politik, otoritas (Dahrendorf, 1988), tingkat pendidikan,

ketrampilan, human capital, keahlian (Garry Becker, 1987 ; Daniel Bell, 1973),

jaringan sosial dan modal sosial (Coleman, 1974), modal kultural, selera, gaya

hidup, dan gender (Bordieu, 1980), etnik, ras, prestise (Shils, 1980).

Dalam teori sosiologi mainstream, unsur-unsur sistem stratifikasi sosial dalam

masyarakat adalah : kedudukan (status) dan peran (role). Status atau kedudukan

sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan

dengan orang lain. Kriteria berikut biasanya dipakai untuk mengukur status sosial

(ekonomi) seseorang yakni, jabatan atau pekerjaan, tingkat pendidikan, kekayaan,

dan pengaruh politik.

D. Media massa

Istilah media massa biasanya merujuk pada penyebaran informasi melalui

buku, surat kabar, majalah, film, radio, program-program televisi, CD, DVD, dan

sebagainya. Menurut Straubhaar dan LaRose (2002:15) media massa merupakan

“One-to-many camunication delivered through an electronic or mechanical

channel, with delayed feedback from the audience, and which reached all

members of its audience in about the same time”.

Definisi ini sebenarnya lebih menekankan pada saluran (channel) yang

digunakan yakni cetak seperti buku, majalah, tabloid, surat kabar, dan elektronik

seperti radio , televisi, dan film yang sering disebut sebagai ”old media”.

Namun kemajuan teknologi komunikasi yang begitu pesat membuat batasan di

atas tidak memadai lagi. Maka muncul istilah ”media komunikasi massa”. Media

Page 35: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

59

komunikasi massa merupakan ”the industrialized production and multiple

distribution of messages through technological devices”. (Turow, 2009: 17)

Dalam pandangan Turow, media massa adalah instrumen teknologinya yang

bisa berupa surat kabar, majalah, radio, maupun televisi. Maka definisi ini dapat

digunakan sebagai payung bagi segala bentuk komunikasi (penyampaian pesan)

yang dimediasikan lewat saluran elektronik maupun mekanik (technological

devices). Konvergensi antara media massa, komputer, dan telekomunikasi

berujung pada internet yakni ”a network of networks that connects computers

worldwide... ” yang akhirnya melahirkan sebuah masyarakat informasi (Straubharr

and LaRose, 2002).

Pemikir asal Canada Marshal McLuhan berpendapat bahwa teknologi media

mempunyai dampak fundamental terhadap perasaan dan pikiran manusia.

Pernyataan McLuhan yang terkenal “media adalah pesan itu sendiri” (“the

medium is the message” ) menunjukkan hal itu. Maksudnya, apa yang disampaikan

media kepada masyarakat ternyata lebih luas daripada apa yang akan diterima

masyarakat itu jika mereka berkomunikasi tanpa media. Ini berarti adanya materi

cetak lebih penting daripada kandungan maksud yang disampaikannya atau

keberadaan televisi lebih penting daripada apa yang ditayangkan.

Dilawankan dengan tradisi lisan masyarakat, perkembangan tulisan dan

cetakan telah menciptakan budaya yang didominasi oleh “sense of vision” dan

pendekatan penyelesaian masalah secara analitik dan sekuensial. Hal ini

memungkinkan individu menjadi lebih independen, rasional, dan terspesialisasi

(McLuhan, 1964).

Page 36: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

60

Pendapat McLuhan ini jauh berbeda dengan pandangan para “Teoretisi Kritis”

dari Mazhab Frankfurt. Horkheimer (1895- 1971) dan Adorno (1903 – 1969),

menyoroti asal usul dan dampak dari apa yang mereka sebut “industri budaya”

atau the culture of industry (Adorno, 1972). Lewat teknologi dan media,

kapitalisme modern telah berhasil membangun apa yang disebut oleh Baudrillard

the world of hiper-reality yakni situasi ketika orang sulit membedakan antara what

is the real dan what is not. Orang kehilangan kemampuan untuk membedakan

antara realitas dan fiksi, realitas dan simulasi, fakta sesungguhnya (realitas sosial)

dan fakta yang didapat dari media (realitas media). Ini adalah tanda masyarakat

telah kehilangan kapasitas kritisnya. Dalam masyarakat konsumtif, misalnya,

orang sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Budaya industri memberi kontribusi terhadap merosotnya otonomi dan critical

reasoning masyarakat. Orang hanya bisa mengafirmasi dan tidak dapat

menghindari kekuatan-kekuatan eksternal yang termanifestasikan dalam sistem

ekonomi kapitalis. Adorno juga menyatakan bahwa media massa merupakan

ideologi baru dalam masyarakat modern. Media massa menyediakan jalan bagi

masyarakat untuk melarikan diri dari realitas hidup sehari-hari yang keras,

pendangkalan imajinasi, dan memperlemah kemampuan berpikir kritis.

Senada dengan Adorno dan Horkheimer, para teoretisi yang berhalauan

Marxist pun berpendapat bahwa media massa dipandang sebagai medium

ideologis, dalam arti bahwa media massa digunakan oleh kelompok atau kelas

dominan untuk menyebarkan gagasan-gagasan yang mempromosikan kepentingan

Page 37: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

61

mereka sendiri, dan digunakan untuk memelihara status quo. Althusser (1971)

bahkan menyebut media massa sebagai salah satu “ideological state apparatuses”.

Media massa, dengan cara menyeleksi event-event tertentu, atau dengan

membahasakan dan melabeli fakta-fakta tertentu, menciptakan kesadaran semu di

tengah masyarakat seputar realitas sosial yang mereka hadapi. Media massa

memiliki kuasa seperti ini, karena politik pengemasan berita dan isi media lain

pada umumnya tidaklah bersifat objektif sama sekali, melainkan sangatlah

subjektif. Dalam kerangka sedemikian, dapat dipahami bahwa relasi antara media

massa dan khalayak bersifat negatif.

Tentu saja dapat dipahami pula bahwa relasi antara media massa dan

pendidikan, yang sama-sama merupakan instrumen ideological state aparratus,

bisa saja memiliki hubungan saling memberdayakan demi melanggengkan

kekuasaan. Tetapi, dalam situasi ketika media massa dikuasai oleh kelompok

kapitalis, para teoretisi Kritis menilai, keberadaan media massa dengan efek

negatifnya mengancam semua sektor kehidupan manusia, termasuk pendidikan.

Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton (Rivers, 2004: 39) menyatakan media

komunikasi dapat menghaluskan paksaan sehingga tampak sebagai bujukan

(hegemonik). “Kelompok-kelompok kuat kian mengandalkan teknik manipulasi

melalui media untuk mencapai apa yang diinginkannya, termasuk agar mereka

bisa mengontrol secara lebih halus” Hal yang terakhir ini nampak jelas pada

iklan, terlebih dalam media elektronik seperti televisi.

Bagaimana media mempengaruhi masyarakat? Ada beberapa teori efek media

yang menjawab pertanyaan ini antara lain, teori peluru (bullet theory) dan ”model

Page 38: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

62

jarum hipodermik” atau ”hypodermic needle model”, teori kultivasi, (Straubharr

and LaRose, 2002; Turow, 2009), teori kegunaan dan kepuasan atau uses and

gratifications, , teori agenda setting, dan teori proses belajar sosial.

Teori peluru dan jarum hipodermik disebut sebagai teori yang simplistik. Teori

ini menjelaskan bahwa media dapat mempengaruhi khalayak secara langsung dan

begitu kuat. Khalayak tidak berdaya sama sekali untuk mengontrol atau

menolaknya, seperti keadaan diberondong peluru (bullet theory), atau seperti

jarum hipodermik yang disuntikkan di bawah kulit yang langsung bereaksi

(hypodermic needle model).

Teori kultivasi (Straubharr and LaRose, 2002: 437) sangat menonjol dalam

menjelaskan dampak media televisi terhadap khalayak. Teori ini pertama kali

diperkenalkan oleh George Gerbner. Menurut Gerbner, media massa menanamkan

sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap

dan nilai itu kepada anggota masyarakat, kemudian mengikatnya. Dengan kata

lain, media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton meyakininya

bahwa apa yang disajikan televisi adalah sebuah ”kenyataan” yang benar adanya.

Menurut teori kultivasi, televisi merupakan media utama tempat khalayak

belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Persepsi khalayak tentang

masyarakat dan budayanya sangat ditentukan oleh televisi. Dengan kata lain

melalui televisi khalayak belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya,

dan adat kebiasaannya. Dibandingkan dengan media lain, televisi telah

mendapatkan tempat yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga

Page 39: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

63

mendominasi lingkungan ”simbolik” khalayak. Teori ini disebut teori kultivasi

karena televisi dipercaya dapat berperan sebagai agen homogenisasi kebudayaan.

Teori lain adalah teori agenda setting. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa

media menyeleksi berita, artikel, tulisan, atau acara yang akan disiarkannya.

Setiap kejadian atau isue diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (kolom

dalam surat kabar atau waktu dalam radio dan televisi) dan cara penonjolan. Inti

teori ini adalah, jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media

itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Apa yang

dianggap penting oleh media, menjadi penting pula bagi masyarakat. Dalam hal

ini media diasumsikan memiliki efek yang kuat terutama karena berkaitan dengan

proses belajar dan bukan dengan perubahan sikap atau pendapat.

Berbeda dengan teori di atas, teori atau pendekatan uses and gratification

menganggap khalayak sebagai aktif dan rasional dalam arti mempunyai tujuan

dan mengkaitkannya dengan pemilihan media (Straubharr and LaRose, 2002: 58).

Penggunaan media oleh khalayak adalah salah satu cara untuk memuaskan

kebutuhan, karena itu efek media dipahami sebagai situasi ketika kebutuhan

individu dipuaskan (oleh media). Bagaimana kebutuhan itu terpenuhi melalui

konsumsi media massa amat tergantung pada perilaku khalayak yang

bersangkutan.

Teori lain yang cukup banyak dirujuk dalam penjelasan mengenai efek media

adalah Teori Belajar Sosial atau Social Learning Theory (Straubharr and LaRose,

2002: 60) yang dikembangkan oleh Albert Bandura (1986), seorang pakar

psikologi klinis. Jikalau Straubharr mengklasifikasikan teori ini dalam kubu

Page 40: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

64

behaviorism, Pritchard dan Woollard (2010: 16) memasukkan teori ini ke dalam

kelompok teori social constructivism. Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan

tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan

antara faktor kognitif, tingkah laku, dan faktor lingkungan. Dengan kata lain

manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan

secara timbal balik.

Diterapkan dalam kajian efek media, Teori Belajar Sosial menjelaskan bahwa

sebuah tindakan, baik prososial maupun antisosial, dapat dipelajari lewat

mengkonsumsi media massa, khususnya menonton televisi atau film. Orang yang

menyaksikan tindakan antisosial berulang-ulang akan lebih memungkinkan

mereka melakukan tindakan ini (Turow, 2009: 158).

Di samping itu juga akan menimbulkan gejala “desensitisasi” (desensitization)

atau proses ketika seseorang menjadi tidak peka terhadap tindakan antisosial dan

akibatnya. Berbagai informasi lewat televisi yang hedonistik seperti iklan,

infotainment, aneka kuis, sampai peristiwa kriminal dan berita berpotensi

menumpulkan atau menurunkan sensitivitas masyarakat terhadap kenyataan.

E. Teknologi Informasi (TI)

Pada umumnya orang memandang teknologi sebagai alat untuk mencapai suatu

tujuan (pandangan tradisional instrumentalis). Apakah teknologi itu berupa palu,

mesin, mobil, atau komputer, dipandang sebagai sarana dan karena itu pada

dirinya netral, dalam arti dapat digunakan untuk tujuan baik atau buruk. Namun

juga ada kecenderungan seperti yang dikemukakan oleh Abraham Maslow (1976),

yang menyatakan bahwa teknologi itu mendominasi seluruh kehidupan seseorang

Page 41: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

65

dan karena itu mengarahkan kegiatan seseorang. Kata Maslow, bagi orang yang

memegang palu, seluruh dunia rasanya seperti akan dipukul.

Sastrapratedja (2001:89) mengemukakan pandangan dialektis yang melihat

teknologi mengalami perkembangan konseptual dalam tiga fase. Fase pertama

adalah teknik seorang tukang, kedua adalah fase mesin ”klasik” yang

menggunakan energi alam, dan fase yang ketiga adalah teknologi informasi.

Pertama teknologi mengganti otot manusia, fase kedua mengganti energi dari

dirinya, dan yang terakhir, teknologi informasi merupakan eksteriorisasi ”otak”

manusia. Ketiga tahap perkembangan teknologi di atas menunjukkan semakin

meningkatnya teknologi itu bekerja dengan dirinya dan oleh dirinya sendiri atau

mencerminkan derajad ”self-sustaining” teknologi. Pada titik ini teknologi

menjadi teknosains.

Teknologi informasi merupakan salah satu dari sekian banyak teknologi

modern yang berkembang sangat pesat. Kemampuan komputer yang

memungkinkan manipulasi dan pengolahan informasi secara efektif berpadu

dengan teknologi komunikasi yang berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi

pada paruh kedua abad ke-20. TI sendiri secara umum merupakan teknologi yang

berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan,

penyajian, dan penyebaran informasi. Tentu saja hal ini menyangkut perangkat

keras (hardware), perangkat lunak (software), maupun kandungan isi (content).

Isi bisa berupa suara, tulisan, gambar, dan data lain dalam bentuk dan format yang

berbeda-beda.

Page 42: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

66

Pada abad ke-20 sebuah teknologi informasi baru mulai merambah di tengah

masyarakat dan tidajk hanya mempengaruhi kehidupan orang-orang biasa

melainkan juga berpengaruh terhadap kehidupan bisnis, pendidikan, dan

pemerintahan. Beberapa negara di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, mayoritas

individu maupun keluarga menggunakan komputer, internet, dan telepon seluler

(ponsel). Ketiga peralatan ini di Amerika Serikat disebut dengan istilah

information technology (IT), sedangkan negara-negara di Eropa menggunakan

phrasa “information and communication technologies” yang sering disingkat

dengan ICT (Brynin dan Kraut, 2006: 3) .

Internet sendiri merupakan sebuah konvergensi antara media massa, komputer,

dan telekomunikasi. Cavanagh (2007: 48) sengaja mengutip beberapa penulis

ketika memberikan gambaran tentang pengertian internet sebagai berikut :

For Charles Ess the internet is simply 'the mother of all networks' (1996: 1). Burnett and Marshall define the internet as the 'global connection of hundreds of thousands of public and private computer networks by means of ... nodes, gateways and computer centres using the TCP/IP protocol' (2003: 206). The internet network is flexible, adaptive, a 'non-hierarchical, rhizomatic global structure' (Morse 1998, cited in Urry 2003: 63), 'webs ... without central points, organizational principles, hierarchies' (Plant 1997, cited in Urry 2003: 63).

Dalam sebuah survey terhadap pengguna dan bukan pengguna internet di

Amerika Serikat dan Inggris, Katz Dan Rice (2002) menyimpulkan bahwa

penggunaan internet tidak mengurangi modal sosial masyarakat melainkan

sebaliknya justru memberi kontribusi yang signifikan, memungkinkan munculnya

bentuk-bentuk interaksi sosial dan ekspresi diri yang baru. Salah satunya adalah

fenomena “web log” atau blog. Blog (dan sekarang jaringan sosial semacam

Facebook dan Twitter) menghapus garis batas antara ruang publik dan ruang

Page 43: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

67

privat. Tentang penyalahgunaan, Katz dan Rice menyatakan hal itu juga bisa

terjadi pada setiap sistem informasi apapun. Ringkasnya, Katz dan Rice

menyimpulkan bahwa internet sangat membantu memenuhi kepentingan individu

dan menguntungkan bagi masyarakat.

Di samping komputer dan internet, komunikasi bergerak nirkabel (wireless

mobile communication) seperti telpon genggam pun menjanjikan revolusi

informasi yang mengubah kebiasaan kerja dan belajar masyarakat serta aktivitas

mereka dalam ruang publik (Katz, 2003). Ketika komunikasi bergerak

dikombinasikan dengan internet, persoalan baru akan muncul, namun demikian

hal ini juga akan memberikan peluang sosial dan ekonomi yang lebih baik.

Dalam lingkup satuan masyarakat yang lebih sempit seperti individu dan

keluarga, Brynin dan Kraut (2006: 6-8) menyebutkan empat pendekatan tentang

manfaat TI. Keempat pendekatan tersebut adalah pertama, TI sebagai alat, kedua,

TI sebagai teknologi yang menggeser tujuan, ketiga, yang menghasilkan

kesejahteraan pribadi, dan keempat, yang berdampak sosial. Hal yang kurang

lebih sama dikemukakan oleh Allison Cavanagh (2007), yang melihat internet

khususnya, sebagai sebuah jaringan (network), media komunikasi, ruang sosial

(social space), dan sebagai sebuah teknologi.

Dalam konteks kaitan antara revolusi TI dan generasi muda, Don Tapscott

(2009) membedakan 4 generasi yang dimulai dari tahun 1946 sampai sekarang.

Pertama adalah generasi Baby Boom. Termasuk dalam generasi ini adalah mereka

yang lahir antara Januari 1946 sampai dengan Desember 1964. Mereka ini juga

sering disebut sebagai ”Cold War Generation”,” atau “Growth Economy

Page 44: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

68

Generation,” Kedua adalah generasi X (generation X), yakni yang lahir antara

Januari 1965 sampai dengan Desember 1976. Mereka ini disebut dengan generasi

Baby Bust. Generasi ketiga adalah yang disebut oleh Tapscott sebagai ”The Net

Generation” atau juga disebut Generation Y yakni yang lahir antara Januari 1977

sampai dengan Desember 1997. Generasi keempat adalah yang lahir antara

Januari 1998 sampai sekarang yang disebut Generation Next atau Generation Z.

Tapscott mengawali bukunya yang berjudul ”Grown Up Digital : How the Net

Generation is Changing You World” dengan mengutip pernyataan para orang tua,

guru, kaum terpelajar, akademisi, dan wartawan, tentang sisi gelap kaum muda di

era sekarang. Dikatakan bahwa :

They’re dumber than we were at their age, … they’re screenagers, Net

addicted, losing their social skills, and they have no time for sports or

healthy activities. … they have no shame, …… they are adrift in the

world and afraid to choose a path, … they steal, they’re bullying friends

online, … the latest they’re narcissistic, “me” generation (Tapscott,

2009: 3-5)

Tapscott membuktikan dengan penelitiannya, bahwa semua kekhawatiran di atas

tidak benar.

Lewat teknologi dan media, kapitalisme modern telah berhasil membangun apa

yang disebut oleh Baudrillard (1988) the world of hiper-reality yakni situasi

ketika orang sulit membedakan antara what is the real dan what is not. Pada saat

itu orang dapat kehilangan kemampuan untuk membedakan antara realitas dan

Page 45: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

69

fiksi, realitas dan simulasi, fakta sesungguhnya (realitas sosial) dan fakta yang

didapat dari media (realitas media). Ketika hal ini terjadi, berarti masyarakat telah

kehilangan kapasitas, daya, atau sikap kritisnya.

Paparan tentang stratifikasi sosial, media massa, dan TI di atas oleh peneliti

dimaksudkan sebagai gambaran kerangka teoretik tentang variabel bebas yakni

status sosial ekonomi keluarga responden, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi

media massa.

Stratifikasi sosial merupakan ciri yang tetap dan umum pada setiap masyarakat

yang hidup dengan teratur. Mereka yang mempunyai aset berharga dalam jumlah

yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka yang memiliki

dalam jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali akan

dipandang mempunyai kedudukan yang rendah.

Pada umumnya mereka yang menduduki lapisan atas tidak hanya memiliki satu

macam saja dari sesuatu yang dipandang berharga oleh masyarakat, akan tetapi

kedudukan tinggi tersebut bersifat kumulatif, dalam arti mereka yang mempunyai

uang banyak, misalnya, akan dengan mudah mendapatkan tanah, kekuasaan, ilmu

pengetahuan, bahkan kehormatan.

Dalam penelitian ini status sosial ekonomi keluarga responden ditentukan oleh

kombinasi faktor ekonomi dan sosial. Konkritnya adalah tingkat pendidikan, jenis

pekerjaan, dan tingkat pengeluaran per bulan. Tiga komponen ini adalah

komponen standar yang dapat ditambah dengan berbagai komponen lain yang

mencerminkan tingkat kesejahteraan atau kemakmuran seseorang atau

Page 46: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

70

sekelompok orang. Karena itu tiga komponen standar di atas perlu ditambah

dengan satu komponen lagi yakni status kepemilikan tempat tinggal.

Dari uraian tentang media massa, terdapat pandangan yang optimistik-positif

maupun pesimistik-negatif. Pandangan pesimistik diwakili oleh pemikiran Adorno

dan Horkheimer dari Mazhab Frankfurt dan para pemikir Marxist. Menurut

mereka, media massa digunakan oleh kelompok atau kelas dominan untuk

menyebarkan gagasan-gagasan yang mempromosikan kepentingan mereka

sendiri, dan digunakan untuk memelihara status quo. Media massa memperlemah

kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis. Sebaliknya bagi para pemikir yang

berpandangan optimistik seperti McLuhan misalnya, media massa membuat

masyarakat menjadi lebih independen, rasional, dan terspesialisasi. Bagaimana

media mempengaruhi masyarakat, teori kultivasi dan teori belajar sosial dijadikan

titik tolaknya.

Hal yang kurang lebih sama nampak pada paparan tentang TI, yang dalam

penelitian ini dibatasi pada komputer, internet, dan telpon genggam. Kajian Don

Tapscott tentang The Net Generation di atas menunjukkan para “Net Geners”

ternyata memiliki karakteristik yang potensial untuk melakukan perubahan sosial

sekarang ini.

Menurut Krautt, terdapat empat pendekatan tentang apa yang disebut sebagai

“dampak sosial dari TI”. Pertama, TI sebagai alat, kedua, TI sebagai teknologi

yang menggeser tujuan, ketiga, yang menghasilkan kesejahteraan pribadi, dan

keempat, yang berdampak sosial. Peneliti mengkaitkan optimisme Tapscott

Page 47: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

71

tersebut dengan pandangan Krautt dan kawan-kawan, terutama pada pendekatan

pertama sampai ketiga.

Dalam penelitian ini stratifikasi sosial, konsumsi media massa, dan pengetahuan

tentang TI bersama-sama dibingkai sebagai variabel bebas, sementara salah satu

segi dari TI yakni penggunaan atau pemanfaatannya dipandang sebagai variabel

terikat bersama-sama dengan variabel tingkat modernitas seperti yang telah

dipaparkan di muka.

F. Penelitian yang Relevan

1. Yudi Perbawaningsih (2003) pernah meneliti budaya teknologi di kalangan

akademik, yakni staf pengajar di Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas

Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), yang berjumlah 78 responden, berusia sekitar 23

tahun sampai 50 tahun. Hasilnya menunjukkan hampir seluruh responden merasa

membutuhkan teknologi untuk mendukung aktivitas komunikasinya, kendati ada

perbedaan dalam derajad kebutuhannya. Pengetahuan dan pemanfaatan teknologi

komunikasi di antara responden boleh dikatakan rendah. Hal ini ditunjukkan

dengan banyaknya responden yang mengoperasikan komputer dengan cara belajar

sendiri dan belajar bersama teman di sela-sela waktu luang. Walaupun demikian

hanya sebagian kecil di antara mereka yang mengaku tidak memiliki sendiri

perangkat komputer. 55,1% generasi muda percaya bahwa teknologi merupakan

pendorong modernitas. Sebagian responden lebih suka memanfaatkan media

konvensional, seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, untuk mendapatkan

informasi. Ini sejalan dengan temuan bahwa hanya 33.3% responden yang

Page 48: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

72

memanfaatkan internet, sementara mereka yang memiliki homepage pribadi hanya

sebesar 3,8%, dan 12,8% mengaku sering memanfaatkan jasa online.

2. Penelitian yang dilakukan pada bulan Maret-Juli 2006 oleh Ogilvy Public

Relation Worldwide, Jakarta, yang sudah dikutip sebelumnya, sedikit banyak

memberikan gambaran yang optimistik tentang anak muda Indonesia (Tempo, 22

Oktober 2006). Penelitian ini mengambil 385 pasang anak muda usia 15 – 24

tahun yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, Yogyakarta, Medan,

Makasar. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa kaum muda kota lebih

menghargai nilai gagasan. Mereka lebih kreatif, ekspresif, berjiwa merdeka, tidak

canggung tampil beda, dan berani menerobos pakem-pakem konvensional.

Mereka ingin meraih dunia dengan semangat independen, serba indie.

Secara rinci disebutkan bahwa 61% menyatakan mereka bisa atau mampu

membuat apa saja, baju, sepatu, aksesori, musik, majalah yang mereka suka

(dalam ungkapan Sunda “kumaha aing”). Sebanyak itu pulalah (61%) juga yakin

bahwa mereka bisa memilih karier apa saja yang mereka sukai. Bahkan 92% di

antara responden menyatakan makin banyak orang di lingkungan yang mereka

kenal seperti kakak, adik, teman, tetangga, selebriti, yang mendapatkan

keuntungan ekonomi dari hobi mereka. 50% responden menyatakan sudah tidak

zamannya lagi seseorang dinilai hanya berdasarkan satu karakter, 97%

mengatakan kreativitas lokal itu penting, 92% meyakini tidak perlu pengeluaran

mahal untuk menjadi keren, 34% mengatakan media yang ada saat ini tidak

mewakili anak muda, dan 85% menyatakan bahwa tampil beda itu penting.

Page 49: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

73

Responden yang mengaku menggunakan telpon genggam ada 88,3%,

komputer 68,8%, 25,4% responden suka dan sering akses atau koneksi ke internet,

40% akses e-mail, dan yang bermobil sebesar 31,3% sementara yang sehari-hari

bersepeda motor sebanyak 51,5%.

3. Survey yang dilakukan oleh Agus Suwignya tentang kualifikasi-kualifikasi

yang dituntut oleh pasar kerja di Indonesia dari para lulusan Perguruan Tinggi

pada tahun 2000 di Yogyakarta, Jakarta, dan Palembang (2003) menunjukkan

bahwa salah satu kualifikasi personal/interpersonal yang dituntut adalah sikap

kritis. Kuesioner dibagikan kepada manajer human resources development

(HRD) atau personalia lima sektor lapangan kerja modern yakni keuangan/bisnis,

rekayasa/teknik, pendidikan, hukum, dan kedokteran/medis. Terdapat 15

kualifikasi yang dinyatakan oleh para pencari kerja sebagai ”yang paling penting”,

”yang paling dicari”, dan ”yang paling menentukan” dalam proses rekrutmen.

Beberapa kualifikasi personal dan interpersonal yang muncul dalam ketiga

perspektif di atas adalah jujur, bertanggungjawab, kritis, penuh kemauan dan

inisiatif, mampu bekerja sama, solider dan punya kepekaan sosial.

4. Studi Gerke terhadap peran media massa, seperti yang telah dikutip pada

bagian pendahuluan menunjukkan bahwa para jurnalis dari sejumlah penerbitan

koran dan majalah, terutama majalah gaya hidup menyimpulkan bahwa mereka :

“... indeed, regarded themselves as stylists and missionaries of modernity as well

as trend-setters or a new way of life. They were the providers of symbolic goods of

modernity” (2000 : 146).

Page 50: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

74

5. Masih dalam domain gaya hidup, Mark Plus & Co melakukan penelitian

dengan tajuk “The Future Study of Men in Indonesia” pada bulan Desember 2003

(Wibowo, 2006: 202-204). Penelitian ini melibatkan 400 responden pria dan 300

responden perempuan di wilayah Jabotabek. Status sosial ekonomi responden

dikategorikan menjadi kelas peralihan (89,5%), kelas menengah (8,4%), dan kelas

elit (2,1%). Hasilnya antara lain, pria Jakarta sangat mendukung pergerakan kaum

feminis (83%). Mereka menyatakan, jika mereka bisa kembali ke masa lalu,

mereka tidak akan membatalkan pergerakan perempuan (89,7%) dengan alasan

bahwa tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan. Dalam skala 1 sampai 5,

pentingnya berdandan bagi pria memperoleh skor 4,4, dan tidak menjadi masalah

pria melakukan perawatan wajah meraih skor 3,3.

G. Kerangka Pemikiran

Dalam sosiologi, struktur tidak pernah dilepaskan dari agency (agen atau

aktor). Dalam bahasa yang lebih umum dan abstrak disebut objektivisme -

determinisme (struktur) dan subjektivisme-voluntarisme (agen). Subjektivisme

dan voluntarisme merupakan cara pandang yang memprioritaskan tindakan atau

pengalaman invividu di atas gejala keseluruhan. Sementara objektivisme dan

determinisme merupakan cara pandang yang memprioritaskan gejala keseluruhan

di atas tindakan dan pengalaman individu. Dalam The Constitution of Society,

Anthony Giddens (1984) mencoba melihat keduanya tidak sebagai dualisme

(dualism) melainkan sebagai dualitas (duality) dalam arti “tindakan dan struktur

saling mengandaikan”. Inilah inti teori strukturasi dari Giddens yang dijadikan

asumsi dasar penelitian ini.

Page 51: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

75

Teori-teori modernitas/postmodernitas seperti yang dikemukakan di atas, baik

klasik maupun modern, sedikit banyak menggambarkan struktur masyarakat

modern dewasa ini yang mengandaikan serangkaian kualitas manusia modern.

Karakteristik manusia modern menurut Inkeles dan Smith dimodifikasi sesuai

dengan perkembangan pemikiran teori-teori sosial dan kajian budaya (Cultural

Studies). Hasilnya adalah manusia modern yang secara konseptual ditandai

dengan ciri-ciri gaya hidup, sikap kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip

multikulturalitas. Ketiga indikator ini dapat disejajarkan dengan ranah

konatif/psikomotorik, kognitif, dan afektif. Tiga aspek ini menjadi indikator dari

variabel bebas yakni tingkat modernitas generasi muda.

Di samping tingkat modernitas, penelitian ini juga memperlakukan

pemanfaatan TI sebagai variabel bebas dengan pertimbangan bahwa secara

konseptual-teoretik maupun realitas-empirik, TI menjadi fenomena yang

mewarnai modernitas. Modernitas menunjuk pada aspek pemikiran atau aspek

mentalitas, sedangkan TI diletakkan sebagai instrumen teknologi yang relatif

otonom dalam arti terpisah dari penggunanya. Tentu saja secara konseptual,

keduanya dapat saling berkorelasi.

Generasi muda dewasa ini hidup dalam struktur masyarakat modern dengan

segala macam perubahannya. Merekalah kelompok masyarakat yang paling

sensitif namun juga adaptif menghadapi tantangan dan perubahan-perubahan yang

menggejala di lingkungan sekitarnya seperti perubahan di bidang sosial ekonomi

dan budaya. Mereka juga hidup dalam masyarakat majemuk dalam arti

masyarakat yang terdiferensiasi dalam sekat-sekat profesi, agama, etnik, dan

Page 52: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

76

golongan sekaligus terstratifikasi dalam lapisan-lapisan sosial ekonomi politik.

Oleh karena itu status sosial ekonomi keluarga, pengetahuan tentang TI, serta

media massa yang dikonsumsi ditetapkan sebagai variabel bebas.

H. Hipotesis

Atas dasar pemahaman terhadap tinjauan teoretik dan hasil-hasil penelitian

yang terjangkau, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan secara rinci

sebagai berikut :

1. Status sosial ekonomi keluarga memberi kontribusi yang signifikan terhadap

pemanfaatan TI yang dimiliki generasi muda

2. Pengetahuan tentang TI memberi kontribusi yang signifikan terhadap

pemanfaatan TI yang dimiliki generasi muda

3. Konsumsi media massa memberi kontribusi yang signifikan terhadap

pemanfaatan TI yang dimiliki generasi muda.

4. Status sosial ekonomi orang tua, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media

massa memberi kontribusi yang signifikan terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki

generasi muda.

5. Status sosial ekonomi keluarga memberi kontribusi yang signifikan terhadap

tingkat modernitas individual generasi muda.

6. Pengetahuan tentang TI memberi kontribusi yang signifikan terhadap tingkat

modernitas generasi muda.

7. Konsumsi media massa memberi kontribusi yang signifikan terhadap tingkat

modernitas generasi muda.

Page 53: BAB II. KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/d_ips_056589_chapter2(1).pdf · kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di

77

8. Status sosial ekonomi keluarga, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media

massa secara bersama-sama memberi kontribusi yang signifikan terhadap tingkat

modernitas generasi muda.