10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anggrek Cattleya
Famili Orchidaceae yang lebih dikenal dengan nama anggrek adalah salah
satu famili terbesar dalam angiospermae. Orchidaceae terdiri dari sekitar
700 genus dan 35 000 spesies yang tersebar di seluruh dunia, dimana anggrek
dipergunakan untuk berbagai keperluan sebagai tanaman hias, bunga potong,
diekstrak untuk bahan parfum, dan koleksi terutama untuk jenis anggrek spesies
yang unik dan langka (Oliveira dan Faria, 2005).
Anggrek Cattleya merupakan salah satu jenis anggrek yang bervariasi dan
meliputi sekitar 113 spesies, varietas dan forma yang tak terhitung jumlahnya
serta ribuan hibrid baik alami maupun buatan termasuk salah satunya Cattleya
‘Blc. Mount Hood Mary’ (Hawkes, 1965). Habitat asli Cattleya berasal dari
daerah Amerika Tengah dan Selatan, termasuk Venezuela, Brasil, Peru, Meksiko,
Guyana dan Argentina dan Cattleya merupakan tanaman epifit dan memiliki
pseudobulb tebal yang dapat menyimpan banyak air dan cadangan makanan
(Sessler, 1978).
Cattleya diambil dari nama William Cattley, seorang hortikulturis dari
Inggris yang mengimpor tanaman dari Brasil. Pada saat pengiriman
tanaman-tanamannya, di antara daun-daun yang digunakan sebagai bahan
pengemas terdapat semacam umbi (bulb) yang tidak dikenalnya, lalu Cattley
menanam bulb ini di dalam pot dan menyimpannya di tempat yang panas. Pada
November 1818, tanaman dari Brasil ini berbunga sangat indah dengan warna
11
ungu. Dr. John Lindley, seorang botanis terkenal pada waktu itu kemudian
memberi nama Cattleya labiata autummalis yang berarti bunga Cattley dengan
labelum yang bagus dan berbunga pada musim gugur (Gunawan, 1989).
2.1.1. Taksonomi
Klasifikasi anggrek Cattleya (Dressler, 1993) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Asparagales
Famili : Orchidaceae
Subfamili : Epidendroideae
Suku : Epidendrea
Subsuku : Laeliinae
Genus : Cattleya Lindl.
2.1.2. Morfologi
Memahami bagian-bagian tanaman serta karakteristiknya merupakan salah
satu cara mudah untuk menentukan habitatnya. Secara morfologi, tanaman
anggrek terdiri atas beberapa bagian yakni bunga, daun, batang, akar, dan buah
(Purwanto dan Semiarti, 2009).
2.1.2.1. Bunga
Bunga anggrek tersusun dalam karangan bunga dan jumlah kuntum bunga
pada satu karangan dapat terdiri dari satu sampai banyak kuntum. Karangan bunga
12
pada beberapa spesies letaknya terminal, sedangkan pada sebagian besar spesies
lain letaknnya lateral. Bunga anggrek memiliki lima bagian utama yaitu sepal
(daun kelopak), petal (daun mahkota), stamen (benang sari), pistil (putik), ovari
(bakal buah), dan labellum (bibir bunga) (Widiastoety, 2005).
Menurut Hidayani (2007), setiap bunga anggrek terdiri dari tiga sepal luar
dan tiga petal dalam, namun tipe sepal dan petal dari masing-masing jenis bunga
anggrek berbeda-beda berdasarkan bentuk, warna, dan ukurannya. Sepal tengah
disebut dengan sepallum dorsalis atau kelopak punggung, sementara sepal
samping disebut dengan sepallum lateralis atau kelopak samping. Petal atau daun
mahkota bunga pada umumnya berukuran lebih besar serta bertekstur halus
dibandingkan dengan sepal dan labellum merupakan perkembangan dari salah
satu petal. Column (tugu bunga) yang merupakan tempat kumpulan alat-alat
kelamin bunga anggrek mempunyai serbuk sari yang disebut polinia
(Gunawan, 2005). Di bagian tengah bunga terdapat alat reproduksi jantan dan
betina, serbuk sari (alat reproduksi jantan) berwarna kuning dan tertutup oleh
anther cap, sementara putik (alat reproduksi betina) terletak di bawah cap dan
polinia serta menghadap ke labellum (Purwanto dan Semiarti, 2009).
Bunga anggrek Cattleya terbentuk pada pucuk/ujung tanaman
(Gunawan, 1989). Jumlah kuntum bunga untuk jenis Cattleya berdaun satu
berjumlah 1-2 kuntum bunga dan berukuran besar, sementara jenis Cattleya
berdaun 2-3 mempunyai bunga 3-8 kuntum dan berukuran kecil. Panjang tangkai
bunga termasuk pendek, diameter bunga 5 hingga lebih dari 16 cm, dan daya
tahan bunga bertahan 1-2 minggu bila tidak dipotong dan kurang lebih 3-4 hari
bila digunakan sebagai bunga potong (Widiastoety, 2005). Struktur bunga pada
13
genus Cattleya pada dasarnya agak sederhana, mekar secara khusus, sepal lebar,
petal yang menjuntai diatas bibir (labelum) yang besar, indah dan biasanya
labellum berwarna berbeda (Hawkes, 1965).
Gambar 1. Bunga Cattleya ‘Blc. Mount Hood Mary’
(Sumber: www.orchidsamore.com Brassolaeliocattleya Mount Hood Mary Flower)
2.1.2.2. Daun
Bentuk daun anggrek terdiri dari berbagai macam bentuk seperti agak
bulat, lonjong, sampai lanset. Tebal daun beragam, dari tipis sampai berdaging,
dan kaku serta permukaannya rata. Daun tidak bertangkai, sepenuhnya duduk
pada batang, bagian tepi bergerigi ataupun rata, tulang daun sejajar dengan tepi
daun dan berakhir di ujung daun serta daun anggrek muncul pada ruas-ruas batang
dengan posisi berhadapan atau berpasangan (Widiastoety, 2005).
Berdasarkan pertumbuhannya anggrek Cattleya termasuk golongan
evergreen yaitu daun tetap segar/hijau dan tidak gugur secara serentak. Daun
anggrek Cattleya berbentuk lanset ataupun lebar, tebal dan berdaging
(Widiastoety, 2005). Sandra (2003), menyebutkan bahwa anggrek Cattleya
termasuk anggrek berdaun lebar, bentuk daunnya sederhana, bertulang daun lurus
serta jumlahnya satu atau dua helai tiap batang. Anggrek berdaun lebar biasanya
lebih gampang berbunga dibandingkan yang berdaun sempit karena proses
14
fotosintesis dan transpirasi juga semakin cepat sehingga makanan yang dihasilkan
lebih banyak.
2.1.2.3. Batang
Bentuk batang anggrek beraneka ragam, ada yang ramping, gemuk
berdaging seluruhnya atau menebal di bagian tertentu saja, dengan atau tanpa
umbi semu (pseudobulb). Pseudobulb berfungsi sebagai tempat cadangan
makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan generatif atau pembungaan.
Ukuran bervariasi mulai dari yang sangat besar, sangat pendek, ataupun sangat
panjang (Widiastoety, 2004).
Berdasarkan pertumbuhannya, batang anggrek dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu tipe simpodial dan tipe monopodial. Anggrek Cattleya termasuk
golongan anggrek tipe simpodial yakni mempunyai batang yang berumbi semu
(pseudobulb) dengan pertumbuhan ujung batang terbatas, dimana tangkai bunga
keluar dari ujung pseudobulb. Pertumbuhan batang akan terhenti bila telah
mencapai maksimal. Pertumbuhan baru dilanjutkan oleh tunas anakan yang
tumbuh di sampingnya. Tunas anakan tersebut tumbuh dari rhizoma
(batang di bawah media) yang menghubungkannya dengan tanaman induk
(Widiastoety, 2005).
2.1.2.4. Akar
Pada umumnya, akar anggrek berbentuk silindris, berdaging lunak, dan
mudah patah. Bagian ujung akar meruncing, licin, dan sedikit lengket. Dalam
keadaan kering, akar tampak berwarna putih keperak-perakan dan hanya bagian
ujung akar saja yang berwarna hijau atau tampak agak keunguan. Akar yang
sudah tua akan berwarna cokelat dan kering. Akar anggrek bervelamen, yaitu
15
lapisan luar yang terdiri dari beberapa lapis sel berongga dan transparan, serta
merupakan lapisan pelindung pada sistem saluran akar. Velamen ini berfungsi
melindungi akar dari kehilangan air selama proses transpirasi dan evaporasi,
menyerap air, melindungi bagian dalam akar, serta membantu melekatnya akar
pada benda yang ditumpanginya (Widiastoety, 2004).
Akar anggrek Cattleya yang merupakan anggrek simpodial, diproduksi
pada bagian dasar pseudobulb atau sepanjang rhizoma yang menghubungkan
pseudobulb satu dengan lainnya (Gunawan, 2005). Anggrek Cattleya memiliki
akar lekat dan akar udara. Fungsi akar lekat diduga hanya untuk menahan tanaman
tetap pada posisisnya, sedangkan akar udara lebih berperan dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan tanaman dikarenakan akar udara mampu
menyerap unsur-unsur hara (Gunadi, 1977).
2.1.2.5. Buah
Buah anggrek merupakan buah kapsular yang berwarna hijau, berbelah
enam, jika masak mengering dan terbuka dari samping. Bijinya sangat kecil dan
ringan sehingga mudah terbawa angin. Biji anggrek tidak memiliki jaringan
penyimpan cadangan makanan (endosperm). Oleh karena itu, untuk
perkecambahan dan pertumbuhan awal biji anggrek dibutuhkan gula dan
persenyawaan-persenyawaan lain dari luar atau dari lingkungan sekelilingnya
(Gunawan, 2005).
Bentuk buah anggrek umumnya berbeda-beda, bergantung pada jenisnya.
Biasanya, setelah bunga diserbuki dan dibuahi, 3-9 bulan kemudian muncul buah
yang sudah tua. Kematangan buah sangat bergantung pada jenis anggreknya.
Buah pada anggrek Cattleya baru matang setelah sembilan bulan. Bagian awal
16
yang terbuka adalah tengahnya bukan di ujung atau pangkal buah. Di dalam buah
terdapat biji yang dapat mencapai 5 juta biji (Iswanto, 2010).
2.1.3. Lingkungan Tumbuh Anggrek
Anggrek hidup epifit pada pohon dan ranting-ranting tanaman lain, tetapi
dalam pertumbuhannya anggrek dapat ditumbuhkan dalam pot yang diisi media
tertentu. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman anggrek yaitu suhu,
kelembaban, dan cahaya serta pemeliharaan seperti pemupukan dan penyiraman
(Hidayani, 2007).
Anggrek Cattleya merupakan anggrek yang tumbuh di daerah yang
mempunyai ketinggian antara 750-2 000 m dpl. Anggrek Cattleya akan tumbuh
dengan baik bila lingkungan tempat tumbuhnya mempunyai suhu siang antara
21-32ºC dan suhu malam 13-18ºC. Intensitas cahaya yang dibutuhkan berkisar
2000-4000 fc atau 30% cahaya matahari penuh, kelembaban sekitar 60-80%,
selain itu juga perlu sirkulasi udara dan pengairan yang cukup baik
(Soeryowinoto, 1974).
2.1.4. Kelebihan Anggrek Cattleya
Cattleya adalah anggrek berbunga tunggal yang keindahan bunganya
sangat sempurna karena keindahan bunganya dan ukuran bunganya yang pada
umumnya besar maka Cattleya dijuluki sebagai The Queen of Orchid. Spesies
yang ukuran bunganya paling besar adalah Cattleya gigas, namun spesies yang
paling terkenal adalah Cattleya skinneri yang dijadikan sebagai bunga nasional
negara Brasil (Sarwono, 2002).
17
Anggrek Cattleya memiliki keanekaragaman bentuk dan warna bunga
seperti pink, ungu, putih, dan oranye, memiliki lidah bunga yang besar dengan
bermacam-macam warna dan ada yang berbeda dengan warna mahkotanya
(Widiastoety, 2005). Cattleya ‘Blc. Mount Hood Mary’ merupakan salah satu
jenis anggrek Cattleya hibrida yang memiliki ukuran diameter bunga sebesar
± 20 cm dan berwarna putih. Dalam pertumbuhannya, Cattleya tidak
membutuhkan banyak air dan termasuk anggrek yang mudah untuk ditumbuhkan
(Hawkes, 1965). Cattleya memiliki nilai jual yang tinggi dengan harga yang
relatif mahal dan umumnya digunakan sebagai aksen pemanis dalam rangkaian
bunga untuk pernikahan dan acara-acara penting lainnya karena memiliki
kesegaran yang relatif lama (Sarwono, 2002).
2.2. Perbanyakan In Vitro
Perbanyakan in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplasma sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta
menumbuhkannya dalam keadaan aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali
(Sandra, 2004). Dasar teori kultur jaringan adalah konsep totipotensi
(total potensi genetik) sel yang artinya setiap sel memiliki potensi genetik seperti
zigotnya yaitu mampu memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi tanaman
lengkap (George dan Sherrington, 1984).
Menurut Gunawan (1995), perbanyakan melalui kultur jaringan atau
in vitro sangat diperlukan pada tanaman-tanaman yang memiliki persentase
perkecambahan biji rendah, tanaman hibrida yang berasal dari tetua yang
menunjukkan male sterility, serta tanaman yang selalu diperbanyak secara
18
vegetatif. Semua pekerjaan dalam kultur in vitro dilakukan dalam laboratorium
sehingga pelaksanaannya tidak bergantung dari musim dan faktor lingkungan lain
serta tidak memerlukan daerah pembibitan yang luas.
Gunawan (1992), menyebutkan pemanfaatan teknik kultur jaringan dalam
bidang agronomi diantaranya adalah :
1. Membantu perbanyakan vegetatif tanaman dalam rangka penyediaan bibit dari
induk superior
2. Membersihkan bahan tanaman/bibit dari virus yang ada dalam tubuh induk
3. Membantu program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan tanaman yang
lebih baik
4. Membantu proses konservasi dan preservasi plasma nuftah tanaman
5. Produksi persenyawaan kimia untuk keperluan farmasi dan pewarna untuk
industri makanan dan kosmetik di dalam kultur sel
2.3. Faktor Penentu Keberhasilan Perbanyakan In Vitro
Keberhasilan teknik kultur jaringan bergantung pada syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya adalah pemilihan eksplan yang
tepat, penggunaan media yang cocok, teknik sterilisasi eksplan, keadaan
penanaman yang aseptik, kondisi fisik lingkungan tumbuh serta keterlibatan zat
pengatur tumbuh terutama auksin dan sitokinin (Zulkarnain, 2009).
2.3.1. Eksplan
Eksplan adalah bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk
inisiasi suatu kultur. Secara teoritis, hampir semua bagian tanaman dapat
digunakan sebagai eksplan, namun pertumbuhannya bergantung dari sumber dan
19
ukuran eksplan (Gunawan, 1992). Eksplan yang digunakan dapat berasal dari
jaringan meristmem tunas, kepala sari atau tepung sari, cadangan makanan
(endosperm) atau embrio, kalus, dan organ tanaman yang meliputi pucuk, bunga,
daun, dan akar (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam pemilihan eksplan yakni
genotip atau varietas, umur, kondisi fisiologis, dan ukuran ekpslan
(Zulkarnain, 2009). Penggunaan jaringan muda dan jaringan yang sedang aktif
pertumbuhannnya, seperti tunas, daun, mata tunas, tangkai tunas dan ujung akar
dapat meningkatkan keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro karena
memiliki daya regenerasi yang tinggi, lebih mudah berproliferasi dan relatif lebih
bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan) (Yusnita, 2003). Dalam hal ini
maka tunas mikro dapat dimanfaatkan sebagai bahan perbanyakan yang dapat
tumbuh dan berkembang.
2.3.2. Komposisi Media
Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
perbanyakan tanaman secara kultur in vitro. Spesies tanaman, jaringan atau organ
yang akan ditumbuhkan, dan tujuan penggunaan teknik kultur jaringan
menentukan pemilihan media tertentu dalam kutur jaringan. Pemilihan media
yang tepat pada metode kultur in vitro bergantung pada pemahaman yang baik
pada kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan. Anggrek mempunyai cakupan biokimia,
fisiologi, dan keanekaragaman genetik yang sangat luas maka diperlukan media
kultur spesifik untuk pertumbuhannya (Oliviera dan Faria, 2005).
Media pada umumnya mengandung lima komposisi dasar yaitu mineral
(garam-garam anorganik) yang terdiri dari unsur hara makro dan mikro, sebagai
20
contoh unsur N, P, K, Ca, Mg, Na, S, Fe, Mn, Co dan Zn, sumber karbon dan
energi seperti glukosa dan sukrosa, vitamin, bahan tambahan organik, asam
amino, dan zat pengatur tumbuh (fitohormon) seperti kelompok auksin dan
sitokinin (Hartman et al., 1990).
Masing-masing unsur anorganik mempunyai peranan penting dalam
pembentukan klorofil dan protein, pertumbuhan vegetatif, pemanjangan sel
tanaman, meningkatkan aktivitas enzim, mengaktifkan pembentukan jaringan
meristematik, dan translokasi karbohidrat (George et al., 2008).
Media kultur in vitro juga mengandung karbohidrat sebagai sumber energi
yang didapat dari penggunaan gula. Gula yang terbaik adalah sukrosa, walaupun
glukosa dan fruktosa dapat juga digunakan. Konsentrasi gula yang digunakan
dalam media kultur jaringan bergantung pada tipe dan umur bahan tanaman
(Pierik, 1987). Karbohidrat ini digunakan untuk menggantikan karbon yang
biasanya didapat dari atmosfer melalui fotosintesis (Gunawan, 1995).
Komponen vitamin seperti vitamin B1 (tiamin) mutlak diperlukan
walaupun dalam jumlah sedikit, konsentrasi yang digunakan berkisar antara
0.1-20 mg L-1
. Selain tiamin, vitamin yang biasa digunakan adalah Piridoksin
HCl, Asam nikotinat, Niasin, Glisin, Mio-inositol. Vitamin-vitamin ini umumnya
berperan dalam reaksi-reaksi enzimatik, mempercepat pembelahan sel, dan
sebagai koenzim dalam reaksi yang menghasilkan energi
(Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Asam-asam amino seperti kasein hidrolisat, sistein, asparagin, pepton serta
glutamin. Asam amino berperan penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi
kalus, berperan dalam metabolisme amino (Hendaryono dan Wijayani, 1994),
21
sebagai kofaktor dalam pembentukan enzim, menstimulir proliferasi jaringan dan
memperlancar respirasi (Gunawan, 1995).
Bahan tambahan organik yang biasa digunakan diantaranya air kelapa,
ekstrak ragi, pisang, tomat, ekstrak wortel, taoge, ekstrak kentang, alpokat,
pepaya, dan apel. Ditinjau dari sudut pandang ilmiah, penggunaan ekstrak-ekstrak
alami masih dapat dianjurkan dan kehadiran senyawa-senyawa tersebut tidak
dapat diabaikan begitu saja apabila ternyata senyawa-senyawa murni tidak dapat
memenuhi kebutuhan yang diharapkan (Zulkarnain, 2009).
Hendaryono dan Wijayani (1994), menyebutkan bahwa zat pengatur
tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah
sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi
tumbuhan. Zat pengatur tumbuh dalam tanaman terdiri dari lima kelompok yaitu
auksin, sitokinin, giberelin, etilen dan inhibitor dengan ciri khas serta pengaruh
yang berlainan terhadap proses fisiologis.
2.3.3. Teknik Sterilisasi
Keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro, salah satunya
dipengaruhi oleh teknik sterilisasi. Chawla (2002), menyebutkan bahwa prosedur
sterilisasi secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Sterilisasi media serta alat-alat biasanya dengan menggunakan autoclave.
Beberapa cara dalam pelaksanaan sterilisasi media serta alat-alat yaitu
sterilisasi uap, sterilisasi kering, sterilisasi filter, dan sterilisasi ultra violet.
2. Pemeliharaan kondisi aseptik laboratorium. Kondisi aseptik perlu dijaga
terutama ketika proses penanaman sedang berlangsung. Pemeliharaan kondisi
aseptik dapat dilakukan dengan cara membersihkan tangan dan
22
Laminar Air Flow Cabinet menggunakan alkohol atau dengan melakukan
sterilisasi api yaitu membakar alat-alat yang akan digunakan untuk menanam
setelah sebelumnya disemprot dengan alkohol.
3. Sterilisasi bahan tanaman atau eksplan. Bahan tanaman disterilisasi dengan
menggunakan bahan kimia. Jenis dan konsentrasi dari bahan kimia yang akan
digunakan dan lama waktu sterilisasi harus diputuskan secara empiris.
2.3.4. Kondisi Fisik Lingkungan Tumbuh
Kondisi fisik lingkungan tumbuh yang meliputi cahaya, suhu, dan
kelembaban merupakan faktor lain yang menentukan keberhasilan dalam kultur
jaringan. Peran cahaya terhadap pertumbuhan eksplan ditentukan oleh intensitas
cahaya, kualitas cahaya dan lama penyinaran (George et al., 2008). Peranan
cahaya tidak terlalu penting pada fotosintesis in vitro dibandingkan dengan
fotosintesis in vivo. Pentingnya cahaya dalam kultur jaringan terletak pada
pengaruhnya lebih terhadap fotomorfogenesis dibandingkan terhadap fotosintesis.
Hal ini disebabkan laju fotosintesis tanaman dalam kultur jaringan sangat rendah
karena eksplan sebagian besar bergantung pada ketersediaan sukrosa yang
terkandung di dalam media (George dan Sherrington, 1984).
Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan jaringan pada umumnya
berkisar antar 20-28ºC. Penggunaan suhu yang terlalu rendah dapat mengurangi
aktivitas enzim terutama peroksidase dan oksidase yang bertindak sebagai
katalisator dalam proses oksidasi senyawa fenol dan dapat menyebabkan
penghambatan pertumbuhan eksplan karena terjadi pembekuan, sebaliknya suhu
yang terlalu tinggi dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme penyebab
kontaminasi (Pierik, 1987).
23
Kelembaban merupakan faktor penting yang sangat menentukan
keberhasilan kultur in vitro berbagai spesies tanaman. Kelembaban relatif di
dalam ruang kultur sekitar 70%, namun kebutuhan kelembaban di dalam wadah
kultur mendekati 90% (Zulkarnain, 2009). Kelembaban relatif yang
direkomendasikan untuk ruang pertumbuhan adalah 70% (George et al., 2008).
Kelembaban relatif ruang kultur yang berada dibawah 70% dapat mengakibatkan
media dalam botol kultur (yang tidak tertutup rapat) akan cepat menguap dan
mengering sehingga eksplan dan planlet yang dikulturkan akan cepat kehabisan
media, sebaliknya kelembaban yang terlalu tinggi menyebabkan tanaman tumbuh
abnormal yakni daun lemah, mudah patah, dan tanaman berukuran kecil yang
dikenal dengan kondisi vitrifikasi (George et al., 2008).
2.3.5. Zat Pengatur Tumbuh
Konsep zat pengatur tumbuh diawali dengan konsep hormon tanaman.
Hormon tanaman adalah senyawa-senyawa organik tanaman yang dalam
konsentrasi rendah dapat mempengaruhi proses-proses fisiologi. Proses-proses
fisiologi ini terutama berkenaan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan
tanaman (Wattimena, 1992). Dengan ditemukannya zat pengatur tumbuh yang
dapat merangsang pertumbuhan vegetatif, maka penggunaan zat pengatur tumbuh
tersebut sangat penting pada media tanam kultur jaringan.
Zat pengatur tumbuh yang banyak dipergunakan dalam kultur jaringan
adalah jenis auksin dan sitokinin. Keseimbangan auksin dan sitokinin menentukan
arah pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam kultur in vitro.
Perbandingan konsentrasi yang seimbang antara auksin dan sitokinin akan
menstimulasi pembentukan kalus. Bila konsentrasi auksin lebih tinggi
24
dibandingkan sitokinin akan menstimulasi pembentukan akar, sedangkan bila
konsentrasi sitokinin lebih tinggi dibandingkan auksin akan menstimulasi
pembentukan tunas (George dan Sherrington, 1984).
Auksin berperan pada berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan
antara lain pembesaran sel, penghambatan mata tunas samping, aktivitas pada
kambium, dan pertumbuhan akar. Peran fisiologis sitokinin secara umum adalah
mendorong pembelahan sel, morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas,
pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi, pembukaan stomata,
pembungaan dan pembentukan buah partenokapri, serta menghambat senessen
dan absisi (Wattimena, 1992).
2.4. Perbanyakan In Vitro pada Anggrek
Arditti (2008), menyebutkan perbanyakan anggrek secara in vitro telah
dimulai sejak tahun 1874 dimana Noel dan Bernard merupakan orang yang
pertama kali menemukan formulasi metode perkecambahan simbiotik benih
anggrek secara in vitro. Melalui teknik kultur jaringan dimungkinkan untuk
memproduksi ribuan planlet dalam satu tahun dari satu eksplan tanaman dengan
melakukan berulang kali sub kultur.
Hasil perkembangan kultur in vitro pada tanaman anggrek telah dirasakan
manfaatnya. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari penggunaan metode
tersebut antara lain perbanyakan vegetatif dan generatif yang cepat dan efisien,
mempermudah seleksi mutan, menghindari sterilitas yang menghambat program
hibridisasi, produksi tanaman bebas patogen dan pelestarian plasma nuftah
(Arditti dan Ernst, 1993).
25
Pada tahun 1960, dilaporkan secara luas tentang pembiakan vegetatif
tanaman anggrek dimana pada saat itu Morel mencoba mendapatkan tanaman
Cymbidium yang bebas virus dengan kultur apikal meristem. Kultur meristem ini
kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tanaman-tanaman kecil dalam jumlah
banyak dan bebas dari virus (Gunawan, 1989). Maka sejak saat itu, berbagai
percobaan kultur jaringan berbagai macam anggrek telah dilakukan.
2.4.1. Jenis-jenis Eksplan pada Perbanyakan Anggrek secara In Vitro
Bahan-bahan tanaman atau eksplan yang digunakan dalam perbanyakan
seara in vitro diambil dari jaringan yang diperkirakan dapat tumbuh dan
berkembang menjadi tanaman. Anggrek dapat diperbanyak melalui organ
generatif biji maupun organ vegetatif yang dikulturkan secara steril pada medium
dalam botol. Menurut Arditti dan Ernst (1993), hampir seluruh bagian jaringan
atau organ dapat digunakan sebagai eksplan, namun tingkat keberhasilan yang
ditunjukkan bergantung dari sistem kultur yang digunakan, spesies yang
dikulturkan, dan sterilisasi eskplan.
Eksplan yang digunakan pada perbanyakan secara in vitro tidak semua
mudah ditumbuhkan, ada beberapa bagian tanaman yang sukar ditumbuhkan.
Bagian-bagian tanaman yang mudah ditumbuhkan adalah pucuk tanaman,
meristem, tunas aksilar, daun muda pada beberapa jenis Cattleya, dan tunas muda
yang baru tumbuh (Gunawan, 2005). Eksplan yang juga sering digunakan pada
perbanyakan angrek secara in vitro adalah protocorm dan protocorm like bodies
(plb). Protocorm merupakan biji yang berisi embrio yang belum terorganisir,
terdiri dari beberapa ratus sel yang selama masa perkecambahan biji membentuk
struktur berupa umbi (Zulkarnain, 2009). Protocorm like bodies (plb) merupakan
26
struktur yang menyerupai protocorm yang terbentuk dari jaringan eksplan dan
atau kalus in vitro (Arditti, 2008).
2.4.2. Media Kultur pada Perbanyakan Anggrek
Media dalam kultur jaringan merupakan campuran air dan hara yang
mengandung garam-garam anorganik, zat pengatur tumbuh dan senyawa
kompleks alami. Beberapa media dasar dalam kultur jaringan yang banyak
digunakan diantaranya adalah media dasar Murashige dan Skoog, B5, White,
Vacin dan Went, Nitsch dan Nitsch, Schenk dan Hildebrant, WPM, dan N6
(Gunawan, 1992). Sarwono (2002), menyebutkan bahwa media Vacin dan Went
merupakan media yang dianggap terbaik untuk budidaya anggrek secara in vitro
dimana media ini terdiri dari elemen makro, elemen mikro, sukrosa, agar, dan air
destilasi. Meskipun demikian, media MS juga dapat digunakan untuk
perbanyakan anggrek secara in vitro karena media MS merupakan media dasar
yang paling luas penggunaannya. Hal itu dikarenakan medium MS memiliki
kandungan garam-garam yang lebih tinggi daripada media lain, disamping
kandungan nitratnya juga tinggi (Zulkarnain, 2009).
2.4.3. Penggunaan Pupuk Daun pada Media Kultur In Vitro
Pada teknik kultur jaringan anggrek, pupuk daun dapat dipakai pada media
sebagai sumber unsur hara. Pupuk daun mengandung unsur hara atau elemen
makro dan mikro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, termasuk oleh tanaman anggrek. Beberapa jenis pupuk daun yang telah
digunakan sebagai media bagi pertumbuhan protocorm dan planlet anggrek yaitu
Pokon, Peter Special, Gaviota, Hyponex, Greenzit Super, Bayfolan, Gandasil D,
27
Florint, Vitabloom, Metalik, Uteka, Orgasol, Cytozym, Kumbayah dan Molifert
(Soedjono dan Kamidjono, 1992).
Media dasar pupuk Growmore dan Hyponex dapat dijadikan media
alternatif pengganti media Vacin dan Went atau ½ MS dalam perbesaran seedling
anggrek Dendrobium hibrida (Lingga dan Marsono, 2008). Pupuk daun juga dapat
dijadikan pengganti media Knudson pada penanaman biji anggrek
(Gunawan, 2005). Soedjono dan Kamidjono (1992), menyebutkan bahwa
beberapa penelitian medium sapih dengan bahan dasar pupuk daun telah
menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan medium
Vacin dan Went. Maka dari itu, pada saat ini pupuk daun tidak hanya digunakan
dengan cara penyemprotan pupuk ke tanaman tetapi digunakan sebagai bahan
dasar media dalam kultur jaringan anggrek karena pupuk daun merupakan pupuk
majemuk yang lengkap dengan kandungan unsur hara makro dan mikro.
Pupuk daun mengandung berbagai unsur makro dan mikro. Hara makro
dan mikro yang terdapat dalam pupuk daun Growmore adalah N 32%, P 10%,
K 10%, Calcium (Ca), Magnesium (Mg), Sulfur (S), Boron (B), Copper (Cu),
Manganese (Mn), Molybdenum (Mo), Zinc (Zn), Iron (Fe).
2.4.4. Penggunaan Bahan Organik Kompleks pada Media Kultur In Vitro
Bahan organik yang ditambahkan pada media dasar dalam perbanyakan
secara in vitro digunakan pada produksi anggrek secara massal untuk
mendapatkan planlet yang baik. Bahan organik alami yang digunakan dalam
kultur jaringan sebagai suatu suplemen dimaksudkan untuk memantapkan
pertumbuhan dan perkembangan kultur (Hartman et al., 1990). Bahan organik
28
yang biasa digunakan dalam kultur jaringan anggrek adalah ekstrak wortel
(Puchooa dan Ramburn, 2004) dan air kelapa (Gunawan, 1995).
2.4.4.1. Ekstrak Wortel
Wortel merupakan salah satu sayuran dengan umbi berwarna kuning
hingga kemerah-merahan karena mengandung pigmen karotenoid dengan kadar
yang cukup tinggi. Kadar karoten dalam wortel yang berwarna kuning muda
berkisar antara 7-12 µg per gram, sedangkan wortel yang berwarna kuning tua
sampai 100-170 µg per gram (Paul dan Palmer, 1975).
Menurut Paul dan Palmer (1975), karotenoid di dalam buah-buahan dan
sayur-sayuran pada umumnya stabil pada pemasakan biasa. Demikian pula
Luh dan Woodroof (1988) menyatakan bahwa pada umumnya pemasakan hanya
memberikan pengaruh yang tidak berarti terhadap karotenoid.
Umbi wortel mengandung nilai gizi yang tinggi yaitu sangat kaya akan
vitamin A, umbi wortel juga mengandung zat lain antara lain alkaloida akonitina
atau asetbencilakonin, benzoilakonina, akonina dan neupelina. Umbi wortel
mengandung senyawa karoten (pro-vitamin A), β-karoten yang sangat tinggi dan
zat pengatur tumbuh IAA atau yang dikenal dengan auksin (Cahyono, 2002).
2.4.4.2. Air Kelapa
Air kelapa merupakan salah satu diantara beberapa bahan organik alami
yang dapat digunakan dalam kultur jaringan dan telah lama diketahui sebagai
sumber yang kaya akan zat-zat aktif yang diperlukan untuk perkembangan
embrio. Hendaryono dan Wijayani (1994), menyebutkan air kelapa merupakan
endosperm cair yang mengandung zat makanan, dimana pada buah kelapa
perubahan endosperm bagian pinggir menjadi daging buah, sedangkan bagian
29
tengahnya menjadi air kelapa. Pada air kelapa ini dapat dilihat suatu interaksi
antara sitokinin dengan fitohormon lainnya di dalam proses perkembangan embrio
(Wattimena, 1992). Gunawan (1995), menyatakan bahwa efek air kelapa pada
pertumbuhan menjadi lebih baik bila dalam media juga ditambahkan pemberian
auksin.
Van Overbeck pada tahun 1944 menemukan bahwa air kelapa memiliki
kemampuan untuk menyokong pertumbuhan embrio Datura stramonium sehingga
potongan embrio tersebut dapat menjadi tanaman lengkap (Gunawan, 1995). Air
kelapa yang baik untuk campuran media kultur jaringan anggrek yaitu air kelapa
pada tingkat ketuaan kelapa muda dan sedang yang manis rasanya dengan daging
buah yang tidak terlalu lunak tetapi juga belum terlalu keras (umur 210-240 hari)
(Hendaryono dan Wijayani, 1994), serta daging buah berwarna putih dan masih
dapat dikerok dengan sendok (Soeryowinoto, 1974).
George dan Sherrington (1984), menyebutkan senyawa-senyawa yang
terkandung dalam air kelapa diantaranya gula dan meliputi sukrosa, glukosa,
fruktosa dan manitol yang berfungsi sebagai sumber energi bagi pertumbuhan dan
perkembangan jaringan, Diphenyl urea yang mempunyai aktivitas seperti
sitokinin dan juga mengandung zat-zat seperti vitamin, asam-asam amino, fosfor,
zat pengatur tumbuh yang berfungsi sebagai kofaktor pembentuk enzim, memacu
diferensiasi tunas, menstimulir proliferasi jaringan, memperlancar metabolisme,
dan respirasi. Pada prinsipnya sitokinin dapat digantikan dengan air kelapa,
karena itu air kelapa pada media kultur jaringan yang dimodifikasi telah banyak
dilakukan dan berhasil pada beberapa jenis tanaman.
30
2.5. Kontaminasi
Salah satu faktor pembatas yang mempengaruhi keberhasilan kultur
jaringan adalah kontaminasi. Kontaminasi terjadi karena adanya mikroorganisme
pada kultur baik pada media kultur atau eksplan yang dapat menghambat
pertumbuhan eksplan ataupun menyebabkan kematian eksplan. Jenis kontaminasi
ada dua yaitu kontaminasi eksternal dan kontaminasi internal. Kontaminasi
eksternal dapat disebabkan oleh bakteri maupun jamur, sedangkan kontaminasi
internal terdapat dalam bahan eksplan itu sendiri. Kontaminasi oleh bakteri
ditandai oleh perubahan warna media menjadi putih keruh seperti susu dan berbau
busuk, sedangkan kontaminasi yang disebabkan oleh jamur ditandai dengan
adanya spora pada eksplan maupun pada media kultur
(Susilowati dan Listyawati, 2001). Sumber kontaminasi lainnya dapat berasal dari
organisme kecil yang masuk ke dalam media, penggunaan alat-alat yang kurang
steril, sterilisasi media yang tidak sempurna, penanaman yang kurang hati-hati,
dan lingkungan kerja yang kotor (Gunawan, 1995).