11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KONSEP KEBUTUHAN SPIRITUAL
2.1.1 Pengertian Kebutuhan Spiritual
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan
dan rnemenuhi kewajiban agama serta kebutuhan
untuk mendapatkan maaf atau pengampunan,
mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya
dengan Tuhan (Carson 2000). Kebutuhan spiritual
adalah kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup,
kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, serta
kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan
maaf (Kozier, 2004).
Clinebell dalam Hawari, (2002)
menginventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual
manusia, yaitu:
a) Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust),
kebutuhan ini secara terus-menerus diulang guna
membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini
adalah ibadah.
12
b) Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup,
kebutuhan untuk menemukan makna hidup
dalam membangun hubungan yang selaras
dengan Tuhannya (vertikal) dan sesama manusia
(horisontal) serta alam sekitaraya.
c) Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan
hubungannya dengan keseharian, pengalaman
agama integratif antara ritual peribadatan dengan
pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
d) Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan
secara teratur mengadakan hubungan dengan
Tuhan, tujuannya agar keimanan seseorang tidak
melemah.
e) Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan
dosa. Rasa bersalah dan berdosa ini merupakan
beban mental bagi seseorang dan tidak baik bagi
kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan ini
mencakup dua hal yaitu pertama secara vertikal
adalah kebutuhan akan bebas dari rasa
bersalah, dan berdosa kepada Tuhan. Kedua
secara horisontal yaitu bebas dari rasa bersalah
kepada orang lain.
13
f) Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri
(self acceptance dan self esteem), setiap orang
ingin dihargai, diterima, dan diakui oleh
lingkungannya.
g) Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan
keselamatan terhadap harapan masa depan.
Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahap yaitu
jangka pendek (hidup di dunia) dan jangka
panjang (hidup di akhirat). Hidup di dunia sifatnya
sementara yang merupakan persiapan bagi
kehidupan yang kekal di akhirat nanti.
h) Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat
yang makin tinggi sebagai pribadi yang utuh.
Dihadapan Tuhan, derajat atau kedudukan
manusia didasarkan pada tingkat keimanan
seseorang. Apabila seseorang ingin agar
derajatnya lebih tinggi dihadapan Tuhan maka
dia senantiasa menjaga dan meningkatkan
keimanannya.
i) Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan
alam dan sesama manusia. Manusia hidup saling
bergantung satu sama lain. Oleh karena itu,
14
hubungan dengan orang disekitarnya senantiasa
dijaga. Manusia juga tidak dapat dipisahkan dari
lingkungan alamnya sebagai tempat hidupnya.
Oleh karena itu manusia mempunyai kewajiban
untuk menjaga dan melestarikan alam ini.
j) Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang
penuh dengan nilai-nilai religius. Komunitas
keagamaan diperlukan oleh seseorang dengan
sering berkumpul dengan orang yang beriman
akan mampu meningkatkan iman orang tersebut.
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kebutuhan Spiritual
Menurut Asmadi (2008), faktor penting yang
dapat mempengaruhi kebutuhan spiritual seseorang
adalah:
a) Perkembangan
Usia perkembangan dapat menentukan proses
pemenuhan kebutuhan spiritual, karena setiap
tahap perkembangan memiliki cara meyakini
kepercayaan terhadap Tuhan.
b) Keluarga
15
Keluarga memiliki peran yang cukup strategis
dalam memenuhi kebutuhan spiritual, karena
keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat
dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-
hari.
c) Ras/suku
Ras/suku memiliki keyakinan/kepercayaan yang
berbeda, sehingga proses pemenuhan
kebutuhan spiritual pun berbeda sesuai dengan
keyakinan yang dimiliki.
d) Agama yang dianut
Keyakinan pada agama tertentu yang dimiliki
oleh seseorang dapat menentukan arti
pentingnya kebutuhan spiritual.
e) Kegiatan keagamaan
Adanya kegiatan keagamaan dapat selalu
mengingatkan keberadaan dirinya dengan Tuhan
dan selalu mendekatkan diri kepada Penciptanya
2.1.3 Perkembangan Aspek Spiritual
Menurut Burkhardt dalam Hamid (2000)
spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut:
16
1) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak
diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan.
2) Menemukan arti dan tujuan hidup.
3) Menyadari kemampuan untuk menggunakan
sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.
4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri
sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.
Perkembangan spiritual manusia dapat dilihat
dari tahap perkembangan mulai dari bayi, anak-
anak, pra sekolah, usia sekolah, remaja, desawa
muda, dewasa pertengahan, dewasa akhir, dan
lanjut usia. Secara umum tanpa memandang aspek
tumbuh-kembang manusia proses perkembangan
aspek spiritual dilihat dari kemampuan kognitifnya
dimulai dari pengenalan, internalisasi, peniruan,
aplikasi dan dilanjutkan dengan instropeksi. Namun,
berikut akan dibahas pula perkembangan aspek
spiritual berdasarkan tumbuh-kembang manusia
(Carson, 2002).
Perkembangan spiritual pada anak sangatlah
penting untuk diperhatikan. Manusia sebagai klien
dalam keperawatan anak adalah individu yang
17
berusia antara 0-18 bulan, yang sedang dalam
proses tumbuh kembang, yang mempunyai
kebutuhan yang spesifik (fisik, psikologis, sosial, dan
spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa. Anak
adalah individu yang masih bergantung pada orang
dewasa dan lingkungan, artinya membutuhkan
lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar
mandiri (Larson, 2009).
Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari
masa perkembangan bayi. Hamid (2000)
menjelaskan bahwa perkembangan spiritual bayi
merupakan dasar untuk perkembangan spiritual
selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral
untuk mengenal arti spiritual. Keluarga yang
spiritualnya baik merupakan sumber dari
terbentuknya perkembangan spiritual yang baik pada
bayi. Oleh karena itu, perawat dapat menjalin
kerjasama dengan orang tua bayi tersebut untuk
membantu pembentukan nilai-nilai spiritual pada
bayi.
18
Dimensi spiritual mulai menunjukkan
perkembangan pada masa kanak-kanak awal (18
bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami peningkatan
kemampuan kognitif. Anak dapat belajar
membandingkan hal yang baik dan buruk untuk
menindak lanjuti peran kemandirian yang lebih
besar. Tahap perkembangan ini memperlihatkan
bahwa anak-anak mulai berlatih untuk berpendapat
dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka
merasa tinggal dengan aman. Observasi kehidupan
spiritual anak dapat dimulai dari kebiasaan yang
sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan
berdoa sebelum makan, atau cara anak memberi
salam dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan lebih
merasa senang jika menerima pengalaman-
pengalaman baru, termasuk pengalaman spiritual
(Hamid, 2000).
Perkembangan spiritual pada anak masa pra
sekolah (3-6 tahun) berhubungan erat dengan
kondisi psikologis dominannya yaitu super ego. Anak
usia pra sekolah mulai memahami kebutuhan sosial,
norma, dan harapan, serta berusaha menyesuaikan
19
dengan norma keluarga. Anak tidak hanya
membandingkan sesuatu benar atau salah, tetapi
membandingkan norma yang dimiliki keluarganya
dengan norma keluarga lain. Kebutuhan anak pada
masa pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang
mendasar tentang isu-isu spiritual. Kebutuhan
spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah
mulai berfikiran konkrit. Mereka kadang sulit
menerima penjelasan mengenai Tuhan yang
abstrak, bahkan mereka masih kesulitan
membedakan Tuhan dan orang tuanya (Hamid,
2000).
Usia sekolah merupakan masa yang paling
banyak mengalami peningkatan kualitas kognitif
pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun) berfikir
secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat
menggunakan konsep abstrak untuk memahami
gambaran dan makna spriritual dan agama mereka.
Minat anak sudah mulai ditunjukan dalam sebuah
ide, dan anak dapat diajak berdiskusi dan
menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat
20
mengevaluasi pemikiran sang anak terhadap
dimensi spiritual mereka (Hamid, 2000).
Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu
sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup,
menggunakan pengetahuan misalnya untuk
mengambil keputusan saat ini dan yang akan
datang. Kepercayaan berkembang dengan mencoba
dalam hidup. Remaja menguji nilai dan kepercayaan
orang tua mereka dan dapat menolak atau
menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung
ketika menemukan perilaku dan role model yang
tidak konsisten. Pada tahap ini kepercayaan pada
kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga.
Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain
biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun
mereka protes dan memberontak saat remaja. Bagi
orang tua ini merupakan tahap paling sulit karena
orang tua melepas otoritasnya dan membimbing
anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul
konflik orang tua dan remaja (Hamid, 2000).
Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini
individu menjalani proses perkembangannya dengan
21
melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan
untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang
dipelajari saat kanak-kanak dan berusaha
melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri.
Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada
usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup
walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka
sudah dewasa (Hamid, 2000).
Dewasa pertengahan (25-38 tahun). Dewasa
pertenghan merupakan tahap perkembangan
spiritual yang sudah benar-benar mengetahui
konsep yang benar dan yang salah, mereka
menggunakan keyakinan moral, agama dan etik
sebagai dasar dari sistem nilai. Mereka sudah
merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang
sudah dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai
spiritual (Hamid, 2000).
Dewasa akhir (38-65 tahun). Periode
perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan
untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi
spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama baik
dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut.
22
Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan
ritual spiritual meningkat (Hamid, 2000).
Lanjut usia (65 tahun sampai kematian). Pada
tahap perkembangan ini, pada masa ini walaupun
membayangkan kematian mereka banyak
menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik,
karena mereka melihat agama sebagai faktor yang
mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi
orang lain. Riset membuktikan orang yang
agamanya baik, mempunyai kemungkinan
melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang
agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang
kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai,
ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan
pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati
dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan.
Jika merasa cemas terhadap kematian disebabkan
cemas pada proses bukan pada kematian itu sendiri
(Hamid, 2000).
2.2 KONSEP PERAWAT
2.2.1 Pengertian Perawat
23
Perawat atau nurse berasal dari bahasa latin
yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau
memelihara. (ANA, 1999 dikutip dari Hamid, 2000),
menjelaskan pengertian dasar seorang perawat
yaitu: seseorang yang berperan dalam merawat atau
memelihara, membantu dan melindungi seseorang
karena sakit, injuri dan proses penuaan.
Menurut Undang-Undang Kesehatan No.23
tahun 1992 bahwa Perawat adalah mereka yang
memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan
tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang
dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan
keperawatan.
Menurut Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001
tentang registrasi dan praktik perawat, perawat
adalah seseorang yang lulus pendidikan perawat,
baik didalam maupun di luar negeri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Perawat adalah orang yang memberikan
pelayanan/asuhan keperawatan berdasarkan data
hasil pengkajian sampai pada evaluasi hasil baik
24
medik maupun bio-psikososio-spiritual (Z. H. Ali,
2002: 43).
2.2.2 Peran Perawat
Peran perawat menurut konsorsium ilmu
kesehatan tahun (1989) dan Doheny (1982) dalam
Hidayat, (2008) sebagai berikut:
a. Sebagai pemberi asuhan keperawatan (Care
giver)
Sebagai pelaku/pemberi asuhan keperawatan,
perawat dapat memberikan pelayanan
keperawatan secara langsung dan tidak
langsung kepada klien, menggunakan
pendekatan proses keperawatan yang meliputi:
melakukan pengkajian dalam upaya
mengumpulkan data dan informasi yang benar,
menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan
hasil analisis data, merencanakan intervensi
keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah
yang muncul dan membuat langkah/cara
pemecahan masalah, melaksanakan tindakan
keperawatan sesuai dengan rencana yang ada
dan melakukan evaluasi berdasarkan respon
25
klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan.
Peran sebagai pemberi asuhan
keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan
memperhatikan kebutuhan keadaan dasar
manusia yang dibutuhkan melalui pemberian
pelayanan keperawatan dengan menggunakan
proses keperawatan sehingga dapat ditentukan
diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan
dan dilaksanakan tindakan yang sesuai dengan
kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat
dievaluasi tingkat perkembangannya.
b. Sebagai pembela untuk melindungi klien (Client
advocate)
Sebagai advokat klien, perawat berfungsi
sebagai penghubung antara klien dengan tim
kesehatan lain dalam upaya pemenuhan
kebutuhan klien, membela kepentingan klien dan
klien memahami semua informasi dan upaya
kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan
dengan pendekatan tradisional maupun
profesional. Peran advokasi sekaligus
26
mengharuskan perawat bertindak sebagai nara
sumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan
keputusan terhadap upaya kesehatan yang
harus dijalani oleh klien. Dalam menjalankan
peran sebagai advokat (pembela klien) perawat
harus dapat melindungi dan memfasilitasi
keluarga dan masyarakat dalam pelayanan
keperawatan.
Peran ini dilakukan perawat dalam
membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari
pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya
dalam pengambilan persetujuan atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepada klien, juga
dapat berperan mempertahankan dan melindungi
hak-hak pasian yang meliputi hak atas pelayanan
sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang
penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk
menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk
menerima ganti rugi akibat kelalaian.
27
c. Sebagai pemberi bimbingan/konseling klien
(Counselor)
Tugas utama perawat adalah
mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien
terhadap keadaan sehat-sakitnya. Adanya pola
interaksi ini merupakan dasar dalam
merencanakan metode untuk meningkatkan
kemampuan adaptasinya. Memberikan
konseling/bimbingan kepada klien, keluarga dan
masyarakat tentang masalah kesehatan sesuai
prioritas. Konseling diberikan kepada
individu/keluarga dalam mengintegrasikan
pengalaman kesehatan dengan pengalaman
yang lalu, pemecahan masalah difokuskan pada
masalah keperawatan, mengubah perilaku hidup
kearah perilaku hidup sehat.
Peran perawat sebagai konsultan adalah
sebagai tempat konsultasi terhadap masalah
atau tindakan keperawatan yang tepat untuk
diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan
klien terhadap informasi tentang tujuan
pelayanan keperawatan yang diberikan.
28
d. Sebagai pendidik klien (Educator)
Sebagai pendidik klien, perawat
membantu klien meningkatkan kesehatannya
melalui pemberian pengetahuan yang terkait
dengan keperawatan dan tindakan medik yang
diterima sehingga klien/keluarga dapat menerima
tanggung jawab terhadap hal-hal yang
diketahuinya. Sebagai pendidik, perawat juga
dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada
kelompok keluarga yang beresiko tinggi, kader
kesehatan, dan lain sebagainya.
Peran ini dilakukan dengan membantu
klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan
kesehatan, gejala penyakit, bahkan tindakan
yang diberikan, sehingga terjadi perubahan
perilaku dari klien setelah mendapatkan
pendidikan kesehatan.
e. Sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut
untuk dapat bekerja sama dengan tenaga
kesehatan lain (Collaborator)
29
Perawat bekerjasama dengan tim
kesehatan lain dan keluarga dalam menentukan
rencana maupun pelaksanaan asuhan
keperawatan guna memenuhi kebutuhan
kesehatan klien.
Peran perawat disini dilakukan karena
perawat bekerja melalui tim kesehatan yang
terdiri dari dokter, fiisoterapi, ahli gizi dan lain-lain
dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan
keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi,
atau bertukar pendapat dalam bentuk pelayanan
selanjutnya.
f. Sebagai koordinator agar dapat memanfaatkan
sumber-sumber potensi klien (Coordinator)
Perawat memanfaatkan semua sumber-
sumber dan potensi yang ada, baik materi
maupun kemampuan klien secara terkoordinasi
sehingga tidak ada intervensi yang terlewatkan
maupun tumpang tindih.
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan,
merencanakan, serta mengorganisasi pelayanan
kesehatan dari tim kesehatan sehingga
30
pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah
serta sesuai dengan kebutuhan klien.
g. Sebagai pembaharu yang selalu dituntut untuk
mengadakan perubahan-perubahan (Change
agent)
Sebagai pembaharu, perawat
mengadakan invasi dalam cara berfikir, bersikap,
bertingkah laku dan meningkatkan keterampilan
klien/keluarga agar menjadi sehat. Elemen ini
mencakup perencanaan, kerjasama, perubahan
yang sistematis dalam berhubungan dengan
klien dan cara memberikan perawatan kepada
klien.
Peran sebagai pembaharu dapat
dilakukan dengan mengadakan perencanaan,
kerja sama, perubahan yang sistematis dan
terarah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan.
h. Sebagai sumber informasi yang dapat membantu
memecahkan masalah klien (Consultan)
Elemen ini secara tidak langsung
berkaitan dengan permintaan klien terhadap
31
informasi tentang tujuan keperawatan yang
diberikan. Dengan peran ini dapat dikatakan
perawat adalah sumber informasi yang berkaitan
dengan kondisi spesifik klien
2.3 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PERAN PERAWAT DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN
SPIRITUAL PASIEN
Pasien sering menggunakan spiritualitas sebagai
mekanisme koping pribadi ketika menghadapi krisis
kesehatan. Penelitian berulang kali menunjukkan efek
positif dari spiritualitas dalam mengatasi penyakit
McSherry (2005). Melalui intervensi spiritual, orang
menemukan rasa damai dan kesejahteraan pada saat
stres, kesedihan, rasa sakit, dan ketidakpastian (Kristen
et al 2005).
Memberikan perawatan spiritual/rohani bagi
pasien merupakan komponen penting dari perawatan
holistik, tetapi sering diabaikan dalam keperawatan.
Perawat memiliki tanggung jawab untuk memastikan
bahwa pasien menerima perawatan holistik dan harus
menciptakan lingkungan perawatan yang mendukung
32
intervensi perawatan rohani bagi pasien. Memberikan
perawatan holistik yang mencakup dimensi spiritual
dianggap norma tetapi perawat gagal untuk
memasukkan aspek ini dalam kegiatan perawatan
pasien rutin (Narayanasamy, 2011).
Perawat menyatakan tidak nyaman dalam
memberikan perawatan rohani bagi pasien mereka
karena beberapa alasan: keperawatan terlalu biologis,
penekanan lebih banyak pada teknologi daripada
perawatan holistik, dan perawat tidak nyaman dengan
spiritualitas mereka sendiri. Hambatan tambahan
mencakup keterbatasan waktu, kurangnya pendidikan,
kurangnya kejelasan antara agama dan spiritualitas,
kehadiran multi-iman pasien dan perawat, dan
kurangnya bimbingan dari para pemimpin perawat.
perawat percaya bahwa perawatan rohani harus
disediakan oleh anggota pastoral; dan perawat percaya
bahwa spiritualitas adalah urusan pribadi. Perbedaan
budaya dan kurangnya pemahaman penyebab lain dari
keengganan untuk memberikan perawatan rohani
(Narayanasamy, 2004).
33
Dengan kata lain, faktor-faktor yang mempengaruhi
peran perawat dalam memenuhi kebutuhan spiritual
dapat diuraikan sebagai berikut (Jenkins, 2009):
1. Konflik
Ada ketika peran yang bertentangan diproyeksikan
ke perawat. Dalam memenuhi satu set harapan,
perawat tidak dapat memenuhi harapan dari
kelompok lain.
2. Peran yang berlebihan
Terjadi ketika tuntutan peran tertentu melebihi
kapasitas perawat untuk melakukan peran. Perawat
dapat memahami sifat dari persyaratan, tetapi tidak
memiliki waktu, tingkat keterampilan, atau
pendidikan untuk melakukan persyaratan tersebut.
3. Budaya
Budaya membentuk perilaku perawat. Budaya
merujuk pada bagaimana sesuatu terjadi dalam
organisasi. Hal ini termasuk komitmen organisasi
dalam misi dan tujuan, saling berbagi nilai dan
pengertian.
4. Peran keterlibatan
34
Terjadi ketika perawat sepenuhnya memahami peran
dan kegiatan yang diperlukan untuk memenuhi peran
tersebut.
Selain perawat, pimpinan perawat/kepala ruangan
juga memiliki andil besar dalam melaksanakan
pelayanan keperawatan yang holistik. Pimpinan perawat
adalah direktur atau manajer dari departemen
keperawatan di rumah sakit. Mereka bertanggung jawab
untuk perawatan pasien yang disediakan di departemen
mereka. Mereka mengembangkan kebijakan untuk
membimbing dan mengarahkan aktivitas perawat
sehingga mandat peraturan diikuti, dan akhirnya dapat
mempengaruhi penyediaan perawatan holistik bagi
pasien (Narayanasamy 2006). Ada 2 faktor yang
mempengaruhi peran perawat pemimpin dalam
memenuhi kebutuhan spiritual pasien, antara lain
sebagai berikut (Jeinkins, 2009):
1. Faktor internal meliputi:
a. Agama: persepsi perawat
b. Pengetahuan: kebijakan holistik
c. Kunjungan pastoral: intervensi spiritual
35
d. Keyakinan pribadi: kebutuhan individu, nilai-nilai,
ketrampilan, sifat
e. Kenyamanan: manfaat kebutuhan spiritual
2. Faktor eksternal meliputi:
a. Pengaruh uraian pekerjaan
b. Pengaruh supervisor
c. Pendidikan keperawatan spiritual
d. Pengaruh trend professional
Perawat pemimpin memiliki pandangan bahwa asuhan
spiritual sebagai kunjungan pastoral dan bersifat
keagamaan. Hal ini mengindikasi bahwa perawat
memandang asuhan spiritual sebagai aktifitas yang
bersifat keagamaan yang akan memberikan
kenyamanan saat dipimpin oleh pemimpin agama, dan
tidak ada aturan tertulis yang membimbing mereka dan
staff mereka dalam menyediakan asuhan spiritual bagi
pasien mereka.
2.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
a) H0 a: tidak ada hubungan antara faktor konflik
dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien di
RSP dr. Ario Wirawan.
36
H1 a: ada hubungan antara faktor konflik dengan
pemenuhan kebutuhan spiritual pasien di RSP
dr. Ario Wirawan.
b) H0 b: tidak ada hubungan antara faktor peran
yang berlebihan dengan pemenuhan kebutuhan
spiritual pasien di RSP dr.Ario Wirawan.
H1 b: ada hubungan antara faktor peran yang
berlebihan dengan pemenuhan kebutuhan
spiritual pasien di RSP dr. Ario Wirawan.
c) H0 c: tidak ada hubungan antara faktor budaya
dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien di
RSP dr. Ario Wirawan.
H1 c: ada hubungan antara faktor budaya dengan
pemenuhan kebutuhan spiritual pasien di RSP
dr. Ario Wirawan.
d) H0 d: tidak ada hubungan antara faktor
keterlibatan dengan pemenuhan kebutuhan
spiritual pasien di RSP dr. Ario Wirawan.
H1 d: ada hubungan antara faktor keterlibatan
dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien di
RSP dr. Ario Wirawan.