8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kelelahan
2.1.1 Pengertian Kelelahan
Kelelahan secara sempit dapat diartikan sebatas lelah fisik yang dirasakan
saja. Hal ini dikarenakan setiap orang yang merasakan kelelahan hanya terbatas
pada keluhan-keluhan fisik yang mereka rasakan saja. Gejala yang ditimbulkan,
perubahan fisik dan perasaan yang dirasakan memang berbeda pada masing-
masing individu. Kelelahan juga dapat diartikan sebagai fenomena kompleks
fisiologis maupun psikologis dimana ditandai dengan adanya gejala perasaan lelah
dan perubahan fisiologis dalam tubuh (kelelahan). Kelelahan mudah ditiadakan
dengan istirahat, tetapi jika dipaksakan kelelahan akan bertambah dan sangat
mengganggu.
Kelelahan dapat diartikan sebagai perubahan dari keadaan yang lebih kuat
ke keadaan yang lebih lemah. Kelelahan merupakan kondisi yang ditandai dengan
perasaan lelah dan penurunan kesiagaan serta berpengaruh terhadap produktivitas
kerja (Grangjean dalam Putri 2008).
Kelelahan adalah reaksi fungsional dari pusat kesadaran yaitu cortex
cerebri yang dipengaruhi oleh 2 sistem antagonis yaitu sistem penghambat
(inhibisi) dan sistem penggerak (aktivitas) tetapi semuanya bermuara kepada
pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh (Suma’mur 2009)
9
Dari beberapa pengertian kelelahan yang dikemukakan diatas dapat
disimpulkan bahwa kelelahan sebagai sinyal alamiah yang diberikan tubuh karena
adanya penurunan fungsi tubuh akibat proses kerja yang membutuhkan
keterpaduan pada seluruh sistem di dalam tubuh. Saat sistem tersebut mengalami
perubahan dari kondisi baik ke kondisi buruk maka tubuh akan memberikan
sinyal kelelahan yang memerlukan pemulihan untuk mengatasinya. Kondisi
fisologis tubuh yang mengalami penurunan,akan menunjukkan penurunan daya
kerja yang akhirnya dapat mempengaruhi produktivitas kerja seseorang.
2.1.2 Sistem Penggerak Kelelahan
Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Terdapat struktur susunan syaraf
pusat yang sangat penting yang mengontrol fungsi secara luas dan konsekuen
yaitu reticular formation atau sistem penggerak pada medula yang dapat
meningkatkan dan mengurangi sensitivitas dari cortex cerebri. Cortex cerebri
merupakan pusat kesadaran meliputi persepsi,perasaan subjektif, refleks, dan
kemauan ( Rodahl dalam Putri 2008). Keadaan dan perasaan lelah merupakan
reaksi fungsional dari pusat kesadaran yaitu cortex cerebri yang dipengaruhi oleh
sistem antagonistik yaitu sistem penghambat dan sistem penggerak yang saling
bergantian. Sistem penghambat terdapat dalam thalamus yang mampu
menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan menyebabkan kecenderungan
untuk tidur, sedangkan sistem penggerak terdapat formatio retikularis yang dapat
merangsang pusat-pusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari peralatan dalam
tubuh untuk bekerja, berkelahi, melarikan diri dan lainnya.
10
Gambar 1 Sistem Penghambat dan Penggerak Aktifitas
Keadaan seseorang suatu saat tergantung kepada hasil kerja diantara dua
sistem antagonis tersebut. Apabila sistem penghambat lebih kuat, seseorang akan
berada pada kelelahan. Sebaliknya, manakala sistem aktivitas yang lebih kuat
maka seseorang akan berada dalam keadaan segar untuk melakukan aktivitas.
Kedua sistem harus berada dalam keserasian dan keseimbangan.
(Grandjean,Rodahl dalam Putri, 2008).
2.1.3 Klasifikasi Kelelahan
Silaban dalam Putri (2008) menerangkan mengenai jenis-jenis kelelahan
dapat diklasifikasi menjadi 3 yaitu: proses dalam otot, waktu terjadi kelelahan,
dan penyebabnya yaitu:
1. Berdasarkan waktu kejadian
a. Kelelahan akut
Kelelahan akut terjadi pada aktifitas tubuh terutama yang banyak
menggunakan otot. Hal ini disebabkan karena suatu organ atau seluruh
tubuh bekerja secara terus menerus dan berlebihan. Kelelahan dengan
11
jenis ini dapat hilang dengan beristirahat cukup dan menghilangkan
gangguan-gangguannya.
b. Kelelahan kronis
Kelelahan kronis sebenarnya adalah kelelahan akut yang bertumpuk-
tumpuk. Hal ini disebabkan oleh adanya tugas terus-menerus tanpa
penggaturan jarak tugas yang baik dan teratur. Menurut Grandjean
dalam bukunya yang berjudul Fitting The Task to The Human,
kelelahan kronis berlangsung setiap hari dan berkepanjangan, dan
bahkan telah terjadi sebelum memulai suatu pekerjaan. Kelelahan yang
diperoleh dari tugas-tugas terdahulu belum hilang dan disusul lagi
dengan tugas berikutnya. Kondisi ini terjadi secara berulang-ulang.
Dengan beristirahat biasa belum bisa menghilangkan kelelahan jenis
kronis ini. Pekerja yang mengalami kelelahan kronis ini sudah merasa
lelah sebelum memulai pekerjaan, ketika bangun tidur perasaan lelah
masih ada. Jika kondisi ini dibiarkan maka dapat membahayakan tugas
yang sedang dilakukanya atau dalam jangka waktu panjang dapat
menyebabkan kecelakaan.
2. Berdasarkan proses dalam otot
a. Kelelahan otot
Kelahan otot yaitu menurunya kinerja setelah mengalami stress tertentu
yang ditandai dengan menurunya kekuatan dan kelambatan gerak.
12
b. Kelelahan umum
Kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya keinginan untuk
bekerja yang disebabkan oleh persyarafan ataupun psikis. Kelelahan
umum ialah suatu perasaan yang menyebar dan disertai dengan
penurunan kesiagaan dan kelambatan pada setiap aktivitas. Kelelahan
umum pada dasarnya adalah gejala penyakit dan erat hubungannya
dengan faktor psikologis seperti penurunan motivasi, dan kejenuhan
yang mengakibatkan menurunya kapsitas kerja seseorang. Kelelahan
umum dicirikan dengan menurunya perasaan ingin bekerja. Kelelahan
umum disebut juga kelelahan fisik dan juga kelelahan syaraf.
3. Berdasarkan penyebabnya
a. Faktor fisik dan psikologi di tempat kerja.
b. Faktor fisiologis yaitu akumulasi dari substansi toksin (asam laktat)
dalam darah dan faktor psikologis yaitu konflik yang menyebabkan
stress emosional yang berkepanjangan.
c. Kelelahan fisik (kelelahan karena kerja fisik); kelelahan patologis
(kelelahan yang ada hubunganya dengan penyakit); dan kelelahan
psikologis yang ditandai dengan menurunnya prestasi kerja, rasa lelah
dan ada hubunganya dengan faktor psikososial. Kelelahan merupakan
aspek yang penting pada beberapa kondisi tempat kerja, baik dinamis
maupun statis. Berdasarkan tingkatan dari kelelahan yang terjadi pada
pekerja dapat menyebabkan ketidaknyamanan, gangguan dan
kemungkinan berkurangnya kepuasan dan hasil dalam bekerja.
13
Menurut Muchinsky dalam Putri (2008), menyatakan ada empat tipe kelelahan
yakni:
1. Kelelahan otot (muscular fatigue), disebabkan oleh aktivitas yang
membutuhkan tenaga fisik yang banyak dan berlangsung lama. Tipe ini
berhubungan dengan perubahan biokimia tubuh dan dirasakan individu
dalam bentuk sakit yang akut pada otot. Kelelahan ini dapat dikurangi
dengan mendesain prosedur kerja baru yang melindungi individu dari
pekerjaan yang terlalu berat, misalnya dengan mendesain ulang
peralatan atau penemuan alat-alat baru serta melakukan sikap kerja
yang lebih efisien.
2. Kelelahan mental (mental fatigue), berhubungan dengan aktivitas kerja
yang monoton. Kelelahan ini dapat membuat individu kehilangan
kendali akan pikiran dan perasaan, individu menjadi kurang ramah
dalam berinteraksi dengan orang lain, pikiran dan perasaan yang
seharusnya ditekan karena dapat menimbulkan konflik dengan individu
lain menjadi lebih mudah diungkapkan. Kelelahan ini diatasi dengan
mendesain ulang pekerjaan sehingga membuat karyawan lebih
bersemangat dan tertantang untuk menyelesaikan pekerjaan.
3. Kelelahan emosional (emotional fatigue), dihasilkan dari stres yang
hebat dan umumnya ditandai dengan kebosanan. Kelelahan ini berasal
dari faktor-faktor luar di tempat kerja, perusahaan dapat mengatasi
kelelahan ini dengan memberikan pelayanan konseling bagi karyawan
14
agar kelelahan emosional yang dirasakan karyawan dapat teratasi dan
performansi kerja karyawan meningkat.
4. Kelelahan keterampilan (skills fatigue), berhubungan dengan
menurunnya perhatian pada tugas-tugas tertentu seperti tugas pilot atau
pengontrol lalu lintas udara. Pada kelelahan tipe ini standar akurasi dan
penampilan kerja menurun secara progresif. Penurunan ini diperkirakan
menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan mobil dan pesawat
terbang, sehingga karyawan harus selalu diawasi dan diupayakan agar
terhindar dari kelelahan ini dengan pemberian waktu istirahat yang
cukup.
2.1.4 Faktor Penyebab Kelelahan
Kelelahan dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam tubuh
(internal) maupun dari luar tubuh (eksternal), dimana faktor-faktor tersebut,antara
lain:
a. Faktor dari dalam individu (internal):
1) Usia
Kebutuhan zat tenaga terus meningkat sampai akhirnya menurun pada
usia 40 tahun. Berkurangnya kebutuhan zat tenaga tersebut dikarenakan
telah menurunnya kekuatan fisik sehingga kegiatan yang bisa dilakukan
biasanya juga berkurang dan lebih lamban.
Usia berkaitan dengan kinerja karena pada usia yang meningkat akan
diikuti dengan proses degenerasi dari organ sehingga dalam hal ini
kemampuan organ akan menurun. Dengan adanya penurunan
15
kemampuan organ, maka hal ini akan menyebabkan tenaga kerja akan
semakin mudah mengalami kelelahan.
2) Jenis kelamin
Pada tenaga kerja wanita akan terjadi siklus biologis setiap bulan di
dalam mekanisme tubuhnya, sehingga akan mempengaruhi kondisi fisik
maupun psikisnya dan hal ini akan menyebabkan tingkat kelelahan
wanita akan lebih besar daripada tingkat kelelahan pria
3) Status gizi
Semua orang dalam hidup membutuhkan zat gizi yang diperoleh dari
bahan makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Setiap orang
membutuhkan makanan sebagai sumber energi. Semakin besar tenaga
yang diperoleh dari makanan maka akan semakin besar pula
produktivitas kerja yang dilakukan oleh seorang pekerja. Status gizi
dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
kapasitas kerja,dimana keadaan gizi buruk dengan beban kerja yang
berat akan mengganggu kerja dan menurunkan efisiensi serta
mengakibatkan kelelahan.
4) Kondisi fisik/ kesehatan
Tingkat kesehatan terbagi menjadi, tingkat kesehatan fisik dan tingkat
kesehatan psikologis. Kesehatan mental ataupun psikologis juga
mempengaruhi kelelahan kerja. Salah satu pikiran yang selalu
mengganggu adalah kekhawatiran dimana kekhawatiran ini meningkat
16
dan menjadi tegangan pikiran yang mengakibatkan pekerja yang
bersangkutan menjadi sakit.
Kelelahan secara fisiologis dan psikologis dapat terjadi jika tubuh
dalam kondisi tidak fit/sakit atau seseorang mempunyai keluhan
terhadap penyakit tertentu. Semakin besar kondisi kesehatan yang
dirasakan kurang sehat oleh pekerja maka kelelahan akan semakin cepat
timbul ( Grandjean dalam Putri 2008). Kondisi tubuh yang tidak sehat
akan diikuti dengan kenaikan suhu di dalam tubuh. Menurut penelitian,
setiap terjadinya kenaikan suhu 10 C diperlukan peningkatan energi
basal sekitar 13%, oleh karena itu kelelahan akan semakin cepat
dirasakan (Marsetyo dalam Putri 2008).
b. Faktor dari luar tubuh (eksternal)
1) Beban kerja dan masa kerja
Beban kerja dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Beban
kerja kuantitatif adalah seseorang bekerja dalam jumlah banyak sesuai
dengan waktu yang telah diberikan. Beban kerja kualitatif seseorang
bekerja dengan tugas-tugas yang repetitive (berulang-ulang),berbagai
jenis pekerjaan, dan memiliki tantangan. Faktor internal yang
mempengaruhi beban kerja merupakan faktor yang berasal dari dalam
tubuh sendiri. Reaksi tubuh tersebut dikenal dengan strain. Berat
ringannya strain dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif.
Penilaian secara objektif yaitu melalui perubahan reaksi fisiologis,
sedangkan penilaian subjektif dapat dilakukan melalui perubahan reaksi
17
psikologis dan perubahan prilaku. Penilaian subjektif strain berkaitan
erat dengan harapan, keinginan dan penilaian subjektif lainnya
(Putri,2008). Beban kerja menentukan berapa lama seseorang dapat
bekerja tanpa mengakibatkan kelelahan. Pada pekerjaan yang terlalu
berat dan berlebihan akan mempercepat pula kelelahan kerja seseorang.
Masa kerja dapat berpengaruh pada kelelahan kerja khususnya
kelelahan kronis, semakin lama seseorang bekerja pada lingkungan
kerja yang kurang nyaman dan menyenangkan maka kelelahan pada
orang tersebut akan menumpuk terus dari waktu ke waktu.
2) Lingkungan kerja fisik
Lingkungan kerja fisik yang mempengaruhi kelelahan antara lain:
penerangan, kebisingan dan iklim kerja.
a. Penerangan/pencahayaan
Penerangan yang kurang baik di lingkungan kerja bukan saja akan
menambah beban kerja, karena mengganggu pelaksana pekerjaan,
tetapi menimbulkan kesan yang kotor. Akibat dari kurangnya
penerangan di lingkungan kerja akan memyebabkan kelelahan fisik
dan mental bagi para pekerja, gejala fisik dan mental antara lain:
sakit kepala, menurunnya kemampuan intelektual, menurunnya
konsentrasi dan kecepatan fikir.
Untuk mengurangi kelelahan akibat dari penerangan yang tidak
cukup dikaitkan dengan faktor obyek dan umur pekerja dapat
18
dilakukan antara lain: perbaikan kontras, meningkatkan penerangan
dan pengaturan jam kerja yang sesuai dengan umur tenaga kerja.
b. Kebisingan
Kebisingan akan mempengaruhi faal tubuh seperti gangguan
psikomotor, syaraf otonom, efek pada syaraf otonom terlihat sebagai
bertambahnya metabolisme, bertambahnya tegangan otot yang
mempercepat kelelahan
c. Iklim kerja
Iklim kerja merupakan interaksi berbagai variabel seperti:
temperatur, kelembaban udara, kecepatan gerak angin dan suhu
radiasi. Iklim kerja adalah keadaan udara di tempat kerja.
Pengaruh suhu panas pada manusia berakibat menurunya prestasi
kerja fikir. Suhu panas dapat dapat mengurangi kelincahan,
memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan,
mengganggu kecermatan kerja otot, mengganggu koordinasi syaraf
perasa dan motorik.
3) Faktor ergonomi
Ergonomi dapat mengurangi beban kerja dan kelelahan kerja. Dengan
bekerja menggunakan prinsip ergonomi, dapat berperan dalam
memaksimalkan kenyamanan, keamanan dan efisiensi dalam
pekerjaan.
19
2.1.5 Tanda dan Gejala Kelelahan
Kelelahan dapat digambarkan dengan gejala yang diawali perasaan lelah
dengan pengurangan dan ketidakinginan seseorang dalam melakukan aktivitasnya.
Kelelahan seseorang dapat ditandai dengan berbagai gejala seperti lemah, lesu,
jenuh, menurunnya perhatian, konsentrasi berkurang dan lainnya.
Adapun beberapa tanda dan gejala dari kelelahan antara lain:
1. Kelelahan otot mempunyai gejala: antara stimulus dengan kontraksi awal
jaraknya semakin lama atau lamban, kontraksi dan relaksasi melambat
2. Kelelahan umum mempunyai gejala,antara lain:
a. Perasaan subyektif kelelahan, mengantuk, pusing, tidak suka bekerja
b. Pikiran lamban/loyo
c. Berkurangnya kewaspadaan
d. Persepsi lamban
e. Ketidakinginan untuk bekerja
f. Kemunduran dalam performa kerja baik fisik maupun mental
3. Kelelahan kronis mempunyai gejala:
a. Sakit kepala
b. Menggigil
c. Kehilangan waktu tidur
d. Kehilangan nafsu makan
(Grandjean dalam Putri, 2008).
20
2.1.6 Pengukuran Kelelahan
Salah satu pengukuran tingkat kelelahan menggunakan pengukuran gejala-
gejala atau perasaan-perasaan. Pengukuran kelelahan dilakukan dengan
mengajukan beberapa pertanyaan mengenai gejala-gejala atau perasaan yang
secara subyektif dirasakan oleh responden. Adapun gejala- gejala yang
berhubungan dengan kelelahan adalah:
1. Perasaan berat di kepala
2. Menjadi lelah seluruh badan
3. Kaki merasa berat
4. Menguap
5. Merasakan ada beban di mata
6. Kaku dan canggung dalam
gerakan
7. Tidak seimbang dalam berdiri
8. Merasa ingin berbaring
9. Merasa sulit untuk berpikir
10. Lelah berbicara
11. Menjadi gugup
12. Tidak dapat berkonsentrasi
13. Tidak dapat mempunyai
perhatian terhadap
sesuatu/memusatkan perhatian
14. Cenderung untuk lupa
15. Kurang kepercayaan
16. Cemas terhadap sesuatu
17. Tidak dapat mengontrol sikap
18. Tidak tekun dalam bekerja
19. Sakit kepala
20. Kaku di bahu
21. Merasa kacau pikiran
22. Merasa nyeri di punggung
23. Menjadi mengantuk
24. Merasa pernafasan tertekan
25. Haus
26. Suara serak
27. Merasa pening
28. Ketegangan pada kelopak mata
29. Gemetar pada anggota badan
30. Merasa kurang sehat
21
Metode pengukuran menggunakan skala yang dikeluarkan oleh
international fatigue research conference (IFRC) atau disebut subjective self
rating test (SSRT) dimana berisi sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan
gejala kelelahan. Di dalam skala IFRC terdapat 30 gejala kelelahan yang disusun
dalam bentuk pertanyaan. Jawaban untuk kuisioner IFRC tersebut terbagi menjdi
empat kategori besar yaitu: sangat sering (SS) dengan diberi nilai empat, sering
(S) dengan diberi nilai tiga, kadang-kadang (K) dengan diberi nilai dua, dan tidak
pernah (TP) dengan diberi nilai satu. Untuk menentukan tingkatan kelelahan,
jawaban tiap pertanyaan dijumlahkan kemudian disesuaikan dengan kategori
tertentu. Kategori yang diberikan antara lain:
Nilai 30 = tidak kelelahan
Nilai 31-60 = kelelahan ringan
Nilai 61-90 = kelelahan menengah
Nilai 91-120 = kelelahan berat
(Manuaba dalam wirasati, 2003).
Dalam penelitian ini, pengukuran tingkat kelelahan menggunakan
kuisioner 16 item gejala tingkat kelelahan yang dimodifikasi dari kuisioner skala
IFRC menjadi skala guttman,dilakukan penilaian nilai satu untuk jawaban ya dan
nilai 0 untuk jawaban tidak. Kemudian digolongkan menjadi tiga kategori yaitu
kelelahan berat, sedang, ringan. Dikatakan berat (>80%), sedang (60-80%), dan
ringan (<60%) (Khomsan, 2000).
22
2.2 Konsep Ergonomi
2.2.1 Pengertian Ergonomi
Ergonomi dapat juga dikatakan sebagai suatu aturan atau norma dalam
sistem kerja. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk
menyeserasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik
dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan
manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan
menjadi lebih baik (Tarwaka, Bakri,Sudiajeng, 2004).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2010), mendefinisikan
ergonomi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya
dengan pekerjaan dan dapat dikatakan sebagai ergonomik yaitu penyesuaian tugas
pekerjaan dengan kondisi tubuh untuk menurunkan stress yang akan dihadapi.
Upayanya antara lain berupa menyesuaikan ukuran tempat kerja dengan dimensi
tubuh agar tidak melelahkan dan sesuai dengan kebutuhan manusia. Ergonomi
merupakan praktek dalam mendesain peralatan dan rincian pekerjaan sesuai
dengan kemampuan pekerja yang bertujuan untuk mencegah cidera pada pekerja
(OSHA, 2004).
Dapat disimpulkan ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari
bagaimana manusia berhubungan dengan lingkungan kerja sehingga manusia
tersebut dapat merasa nyaman saat bekerja.
23
2.2.2 Ruang Lingkup Ergonomi
Ergonomi mempunyai ruang lingkup yang memberi batasan area sehingga
dalam penerapannya ergonomi dapat disesuaikan dengan tujuan yang ingin
dicapai, seperti: ergonomi fisik yang berkaitan dengan anatomi tubuh manusia,
ergonomi kognitif yang berkaitan dengan proses mental manusia, ergonomi
organisasi yang berkaitan dengan kebijakan, struktur organisasi dan proses
organisasi, ergonomi lingkungan yang berkaitan dengan pencahayaan, temperatur,
kebisingan dan getaran.
2.2.3 Tujuan Dan Manfaat Ergonomi
Ilmu ergonomi belum banyak dipahami dan diterapkan oleh pekerja. Hal
tersebut terjadi akibat kurangnya pengetahuan dan informasi yang diberikan oleh
para pengelola tempat kerja. Secara umum tujuan dan manfaat dari penerapan
ergonomi adalah upaya untuk mencegah cedera akibat kerja, menurunkan beban
kerja fisik dan mental, mengurangi kelelahan setelah bekerja, mengupayakan
promosi dan kepuasan kerja sehingga tercipta kualitas kerja yang tinggi.
2.2.4 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Ergonomi
Penampilan kerja membutuhkan keseimbangan yang dinamis antara
tuntutan tugas dengan kemampuan yang dimiliki sehingga tercapai kondisi
lingkungan yang sehat, aman, nyaman. Apabila tuntutan tugas lebih besar
daripada kemampuan atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi
ketidaknyamanan, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan tidak
produktif.
24
a. Kapasitas atau kemampuan kerja
Kemampuan seorang pekerja sangat mempengaruhi hubungannya dengan
lingkungan kerja. Kemampuan kerja ditentukan oleh: karakteristik pribadi
seperti faktor usia, jenis kelamin, antropometri, pendidikan pengalaman,
status sosial,status kesehatan.
Kapasitas kerja juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan kerja fisik.
Kemampuan kerja fisik merupakan suatu kemampuan seseorang untuk
mampu melakukan suatu pekerjaan dengan menggunakan aktivitas otot
pada periode waktu tertentu. kemampuan kerja fisik seseorang ditentukan
oleh kekuatan otot dan ketahanan otot
b. Tuntutan tugas
Pekerja melakukan pekerjaannya untuk memenuhi tuntutan tugas yang
diberikan. Tuntutan tugas pekerjaan tergantung pada task and material
characteristics yang ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin,
tipe, kecepatan, dan irama kerja. Organization characteristics, yang
berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan bergilir,
cuti, dan libur, manajemen. Environment characteristics, yang berkaitan
dengan manusia: teman setugas, suhu, dan kelembaban, bising, dan
getaran, penerangan, sosio budaya, norma, adat dan kebiasaan, bahan-
bahan pencemar (Elyas, 2012).
2.2.5 Aplikasi Pelaksanaan Ergonomi Kerja
Ergonomi harus dilaksanakan agar kelelahan dalam bekerja dapat
dikurangi sehingga tidak terjadi cedera dalam bekerja. Menurut International
25
Labour Organisation (ILO) mengeluarkan panduan bagi pekerja dalam
melakukan aktivitasnya. Panduan tersebut ditujukan untuk pekerja dengan posisi
duduk dan berdiri. Berikut adalah panduan ergonomis untuk bekerja dalam posisi
duduk menurut International Labour Organisation (ILO):
a) Pekerja dapat menjangkau seluruh area kerja tanpa adanya peregangan
atau tidak memutar
b) Posisi duduk yang baik adalah dengan duduk lurus dan dekat dengan
pekerjaan
c) Meja dan kursi harus dirancang sehingga permukaan tempat kerja kira-kira
pada tingkat yang sama dengan siku
d) Bagian belakang harus lurus dan bahu rileks
e) Jika memungkinkan, harus ada beberapa bentuk topangan yang sesuai
untuk lengan bawah siku atau tangan.
Sedangkan panduan ergonomis dalam posisi berdiri menurut International Labour
Organisation (ILO) adalah:
a) Menurut tinggi kepala
1) Sediakan tempat yang memadai untuk pekerja yang paling tinggi.
2) Posisi kepala pada atau dibawah level mata karena orang secara alami
melihat sedikit ke bawah
b) Tinggi bahu
1) Pusat control harus ditempatkan antara bahu dan setinggi pinggang.
2) Hindari menempatkan benda di atas ketinggian bahu, tempatka sesuatu
yang sering digunakan dan dapat dijangkau oleh lengan.
26
3) Posisikan alat atau fasilitas sesuai dengan kondisi pekerja sehingga pekerja
yang paling tinggi tidak perlu membungkuk.
c) Tinggi siku
Sesuaikan tinggi permukaan pekerjaan sesuai dengan tinggi siku atau di
bawah tinggi siku untuk tugas-tugas pekerjaan yang paling sering
dilakukan.
d) Panjang kaki
1) sesuaikan tinggi kursi sesuai dengan panjang kaki dan tinggi permukaan
kerja.
2) Sediakan tempat sehingga kaki bisa terentang, dengan cukup ruang untuk
kaki panjang.
3) Memberikan pijakan kaki disesuaikan sehingga kaki tidak menggantung
dan untuk membantu posisi pekerja perubahan tubuh.
2.2.6 Posisi Kerja Saat Tindakan Memandikan Pasien
Tindakan memandikan merupakan kegiatan membersihkan tubuh pasien
dengan menggunakan air dan sabun, yang dilakukan pada pasien yang tidak
mampu mandi secara mandiri atau memerlukan bantuan. Tujuan dari kegiatan ini
adalah untuk membersihkan diri dari kotoran dan bau badan, memberikan
kesegaran fisik sehingga memberikan rasa nyaman bagi pasien, untuk memelihara
integritas kulit dan mencegah infeksi, serta merangsang peredaran darah dan
merelaksasikan otot-otot pasien.
Dalam melakukan tindakan ini perawat melaksanakan tindakan manual
handling. Manual handling adalah segala aktivitas yang membutuhkan tenaga dan
27
dilakukan oleh perawat untuk mengangkat, menurunkan, mendorong, menarik,
memindahkan, memegang dan menahan pasien (Nurses Association and
Workcover dalam Adi W, 2008). Perawat harus memperhatikan posisi ergonomis
tubuh saat melakukan tindakan agar tidak mudah lelah. Saat melakukan tindakan
memandikan perawat banyak melakukannya dengan posisi berdiri.
Pada posisi berdiri, tinggi optimum area kerja adalah 5-10 cm dibawah
siku. Agar tinggi optimum dapat diterapkan, maka perlu diukur tinggi siku yaitu
jarak vertikal dari lantai ke siku dengan keadaan lengan bawah mendatar dan
lengan atas vertikal. Berdiri harus dengan posisi yang benar, dengan tulang
punggung yang lurus dan bobot badan terbagi rata pada kedua kaki (Elyas, 2012).
Postur normal yaitu postur dalam proses kerja yang sesuai dengan anatomi
tubuh, sehingga tidak terjadi pergeseran atau penekanan pada bagian penting
tubuh seperti organ tubuh, syaraf, tendon, dan tulang sehingga keadaan menjadi
relaks dan tidak menyebabkan keluhan Musculoskeletal Disorders (Baird dalam
Merulalia, 2010).
Adapun postur normal yang dapat diterapkan saat memandikan pasien:
a. Pada tangan dan lengan : postur normal pada bagian tangan dan pergelangan
tangan adalah berada dalam keadaan garis lurus dengan jari tengah, tidak
miring ataupun mengalami fleksi/ekstensi.
b. Pada leher: posisi normal leher lurus dan tidak miring/memutar ke samping
kiri atau kanan. Posisi miring pada leher tidak melebihi 200 sehingga tidak
terjadi penekanan pada discus tulang cervical (Bridger, 1995).
28
c. Pada bahu: posisi normal pada bahu adalah tidak dalam keadaan
mengangkat dan siku berada dekat dengan tubuh sehingga bahu kiri dan
kanan dalam keadaan lurus dan proporsional.
d. Pada punggung: posisi normal dari tulang belakang untuk bagian toraks
adalah kiposis dan untuk bagian lumbal adalah lordosis serta tidak miring
ke kiri atau ke kanan. Postur tubuh membungkuk tidak boleh lebih dari 20°.
Posisi Kerja Tidak Alamiah atau Postur Janggal
Posisi kerja tidak alamiah atau postur janggal adalah pergeseran dari
gerakan tubuh atau anggota gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan
aktifitas dari postur atau posisi normal secara berulang-ulang dalam waktu yang
relatif lama. Gerakan dan postur janggal ini adalah suatu faktor resiko untuk
terjadinya gangguan, penyakit dan cedera pada sistem muskuloskeletal.
Beberapa postur janggal saat memandikan,sebagai berikut:
a. Postur janggal pada tulang belakang:
1) Membungkuk, yaitu punggung dan dada lebih condong ke depan
membentuk >20o terhadap garis vertikal.
2) Berputar, yaitu posisi tubuh yang berputar ke kanan dan kiri dimana garis
vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan berapa derajat besarnya
rotasi yang dilakukan.
3) Miring, yaitu setiap deviasi bidang median tubuh dari garis vertikal tanpa
memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk. Terjadi fleksi pada bagian
tubuh, biasanya ke depan atau ke samping.
29
b. Postur janggal pada tangan dan pergelangan tangan adalah melakukan
pekerjaan dengan posisi memegang benda dengan cara mencubit, tekanan
pada jari terhadap objek, menggenggam dengan kuat,posisi pergelangan
tangan yang fleksi dan ekstensi dengan sudt >45o, serta posisi pergelangan
tangan yang deviasi selama >10 detik dan frekuensi > 30/menit.
c. Postur janggal pada bahu adalah melakukan pekerjaan lengan atas
membentuk sudut >45o ke arah samping atau ke arah depan terhadap badan
selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi lebih dari atau sama dengan 2
kali/menit dan beban > 4,5 kg.
d. Postur janggal pada lengan bawah adalah posisi siku sebesar 135o dan jika
menggunakan gerakan penuh dalam bekerja.
e. Postur janggal pada leher yang menjadi faktor risiko adalah melakukan
pekerjaan (membengkokkan leher >20o terhadap vertikal), menekukkan
kepala atau menoleh ke samping kiri atau kanan, serta menengadah.
f. Postur janggal pada kaki:
1) Jongkok (squatting), yaitu posisi tubuh dimana perut menempel pada paha
dimana terjadi fleksi maksimal pada daerah lutut, pangkal paha, dan tulang
lumbal.
2) Berlutut (kneeling) yaitu posisi tubuh dimana sendi lutut menekuk,
permukaan lutut menyentuh lantai dan berat tubuh bertumpu pada lutut dan
jari-jari kaki.
3) Berdiri pada satu kaki (stand on one leg), yaitu posisi tubuh dimana tubuh
bertumpu pada satu kaki (Humantech, 1995).
30
4) Posisi menjinjit merupakan posisi penumpuan berat badan yang tertuju pada
daerah jari-jari kaki. Pada posisi menjinjit yang dilakukan dalam waktu
lama, akan menyebabkan rasa pegal dan nyeri. Posisi ini akan menyebabkan
nyeri didaerah betis, sebagai akibat dari posisi kaki yang menjinjit, sehingga
otot betis (gastrocnemius) akan berkontraksi. Bila otot ini berkontraksi
secara terus menerus, akan menyebabkan terjadinya penumpukan asam
laktat sehingga akan menyebabkan kelelahan pada otot betis anda.
2.2.7 Penilaian Ergonomi Menurut Rapid Entire Body Assessment (REBA)
REBA (Highment and McA tamney, 2000) dikembangkan untuk mengkaji
postur bekerja yang dapat ditemukan pada industri pelayanan kesehatan dan
industri pelayanan lainnya. Data yang dikumpulkan termasuk postur badan,
kekuatan yang digunakan, tipe dari pergerakan, gerakan berulang, dan gerakan
berangkai. Skor akhir REBA diberikan untuk memberi sebuah indikasi pada
tingkat risiko mana dan pada bagian mana yang harus dilakukan penanggulangan.
Metode REBA digunakan untuk menilai postur pekerjaan berisiko yang
berhubungan dengan musculoskeletal disorder/ work related musculoskeletal
disorder (WRMSDS).
REBA bukan merupakan desain spesifik untuk memenuhi standart khusus.
Meskipun demikian, ini telah digunakan di Inggris untuk pengkajian yang
berhubungan dengan Manual Handling Operation Regulation (HSE, 1998).
REBA ini juga digunakan secara luas di dunia internasional termasuk dalam US
Ergonomi Program Standar (OSHA, 2004).
31
Kelebihan REBA antara lain:
a. Merupakan metode yang cepat untuk menganalisa postur tubuh pada suatu
pekerjaan yang dapat menyebabkan risiko ergonomi.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko dalam pekerjaan (kombinasi efek
dari otot dan usaha, postur tubuh dalam pekerjaan, genggaman atau grip,
peralatan kerja, pekerjaan statis atau berulang-ulang).
c. Dapat digunakan untuk postur tubuh yang stabil maupun yang tidak stabil.
d. Skor akhir dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, untuk
menentukan prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu dilakukan.
e. Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapat dilakukan ditinjau
dari analisa yang telah dilakukan
Kelemahan metode REBA antara lain:
a. Hanya menilai aspek postur dari pkerja.
b. Tidak mempertimbangkan kondisi yang dialami oleh pekerja terutama
yang berkaitan dengan faktor psikososial.
c. Tidak menilai kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan
vibrasi, temperature dan jarak pandang.
Langkah- langkah penilaian metode REBA:
1) . Melakukan pengamatan aktivitas kerja dan mengambil data gambar posisi
tubuh ketika bekerja.
2) . Menentukan postur kerja yang akan diamati, antara lain batang tubuh,
pergelangan tangan, leher, kaki,lengan atas, dan lengan bawah.
32
3) . Menentukan nilai untuk masing-masing postur tubuh serta penentuan skor
aktivitas. Secara garis besar penilaian dilakukan untuk menilai dua
kelompok besar yaitu kelompok A untuk punggung, leher dan kaki, serta
kelompok B untuk penilaian lengan bagian atas, lengan bagian bawah dan
pergelangan tangan.
1. Kriteria penilaian postur grup A:
a. Kriteria penilaian area leher:
a) Skor 1 = posisi leher 0o-20
o ke depan
b) Skor 2 = posisi leher > 20o ke depan dan ke belakang
c) Skor + 1, jika leher berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri,
serta ke atas dan atau ke bawah
b. Kriteria penilaian area punggung:
a) Skor 1 = posisi punggung lurus atau o
b) Skor 2 = posisi 0o- 20
o ke depan dan ke belakang
c) Skor 3 = posisi 20o-60
0 ke depan dan > 20
o ke belakang
d) Skor 4 = posisi > 60o ke depan
e) Skor + 1 , jika punggung berputar atau miring ke kanan, dan atau ke
kiri serta ke atas dan atau ke bawah.
c. Kriteria penilaian area kaki:
a) Skor 1 = tubuh bertumpu pada kedua kaki, berjalan,duduk
b) Skor 2 = berdiri dengan satu kaki,tidak stabil
c) Skor + 1, jika lutut di tekuk 30o – 60
o ke depan, dan skor + 2, jika
lutut di tekuk > 60o ke depan.
33
Setelah didapat skor postur punggung,leher dan kaki kemudian diperoleh
skor tabel A. Nilai dari tabel A kemudian di jumlahkan dengan berat beban
yang diangkat.
a) Skor 0 = berat beban < 5 kg
b) Skor 1 = berat beban 5-10 kg
c) Skor 2 = berat beban > 10 kg
d) Skor + 1, jika disertai dengan pergerakan yang cepat.
2. Kriteria penilaian postur grup B:
a. Kriteria penilaian area lengan atas:
a. Skor 1 = posisi lengan atas 0o-20
o ke depan dan ke belakang
b. Skor 2 = posisi lengan atas > 20o ke belakang, dan 20
o – 40
o ke depan
c. Skor 3 = posisi lengan atas antara 45o – 90
o
d. Skor 4 = posisi lengan atas > 90o ke atas
e. Skor + 1, jika bahu berputar atau bahu dinaikan atau diberi penahan
f. Skor – 1 , jika lengan dibantu oleh alat penopang atau terdapat orang
yang membantu.
b. Kriteria penilaian area lengan bawah:
a) Skor 1 = posisi lengan 60o – 100
o ke depan
b) Skor 2 = posisi lengan antara 0o – 60
o ke bawah, dan > 100
o ke atas
c. Kriteria penilaian area pergelangan tangan:
a) Skor 1 = posisi pergelangan tangan 0o – 15
o ke depan dan ke belakang
b) Skor 2 = posisi pergelangan tangan > 15o ke depan dan ke belakang
c) Skor +1, jika terdapat penyimpangan pada pergelangan tangan.
34
Setelah skor area lengan atas,lengan bawah dan pergelangan tangan
dimasukan ke dalam tabel skor B. tahap selanjutnya dijumlahkan dengan
nilai genggaman tangan. Kriteria penilaian cara memegang:
a) Skor 0 = memegang beban dengan dibantu oleh alat pembantu
b) Skor 1 = memegang beban dengan mendekatkan beban ke anggota
tubuh yang dapat menopang
c) Skor 3 = memegang beban tidak pada tempat pegangan yang disediakan
3) Setelah nilai dari grup A dan grup B didapat, maka dimasukkan ke tabel C
4) Kemudian diperoleh nilai C dan dijumlah dengan nilai aktivitas. Kriteria
nilai aktifitas yaitu:
a) Skor + 1, jika salah satu atau lebih dari anggota tubuh statis > 1 menit
b) Skor + 1, jika melakukan gerakan berulang > 4 kali dalam waktu 1
menit
c) Skor + 1, jika perubahan postur dengan cepat atau tidak stabil.
Setelah nilai C di jumlahkan dengan nilai aktivitas, maka di peroleh nilai
REBA atau skor akhir REBA serta level perubahan yang harus dilakukan. Dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Skor Akhir REBA
Level
aksi
Skor
REBA
Level
Risiko
Aksi (termasuk tindakan penilaian)
0 1 Sangat rendah Risiko masih dapat diterima dan tidak perlu dirubah
1 2-3 Rendah Mungkin diperlukan perubahan
2 4-7 Sedang Butuh pemeriksaan dan perubahan
3 8-10 Tinggi Kondisi berbahaya, oleh karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan dan perubahan dengan segera
4 11-15 Sangat tinggi Perubahan dilakukan saat itu juga
35
2.3 Hubungan Posisi Kerja Dengan Kelelahan
Kelelahan dapat disebabkan oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor
ergonomi. Dalam melakukan pekerjaan diperlukan posisi kerja yang tepat untuk
mengurangi kelelahan dan mencegah terjadinya cedera di dalam bekerja. Salah
satu kelelahan yang dapat muncul adalah kelelahan otot, dimana kelelahan otot
merupakan kelelahan yang disebabkan akibat aktivitas fisik yang terlalu lama dan
banyak (Muchinsky dalam Putri, 2008).
Bekerja dalam postur tubuh yang janggal dapat menjadi suatu kebiasaan
yang dapat berdampak pada pergerakan atau pemendekan jaringan lunak dan otot
(Pheasant,1991 dalam Kurniawati, 2009). Postur janggal adalah posisi tubuh yang
menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal saat melakukan pekerjaan
(Department of EH&S, 2002). Bekerja dengan posisi janggal meningkatkan
jumlah energi yang dibutuhkan untuk bekerja. Posisi janggal menyebabkan
kondisi dimana transfer tenaga dari otot ke jaringan rangka tidak efisien sehingga
mudah menimbulkan lelah (Octarisya, 2009).
Sikap kerja yang salah, canggung dan diluar kebiasaan akan menambah
resiko cidera pada bagian muskuloskeletal (Andy Wijaya, 2008). Melihat hal itu
kita dapat lihat pentingnya memahami prinsip-prinsip ergonomi dalam bekerja.
Dimana bisa kita lihat dari tujuan dan manfaat dari penerapan ergonomi adalah
upaya untuk mencegah cedera akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan
mental, mengurangi kelelahan setelah bekerja, mengupayakan promosi dan
kepuasan kerja sehingga tercipta kualitas kerja yang tinggi. Dengan menerapkan
ergonomi di dalam melakukan tindakan khususnya tindakan memandikan pasien
36
diatas tempat tidur dapat mengurangi tingkat kelelahan yang dirasakan oleh
perawat. Semakin tubuh kita dapat menyesuaikan antara posisi kerja dengan
proses kerja yang tepat maka kelelahan itu dapat diturunkan.