11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Anggaran Daerah
Undang-Undang no 12 tahun 2008 (revisi atas UU no 32 tahun 2004)
tentang pemerintah daerah menerangkan yang dimaksud APBD adalah rencana
keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah,
belanja daerah, dan pembiayaan. Penyusunan APBD berpedoman kepada rencana
kerja pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat
(Puspitasari & Idhar, 2009). Untuk menghasilkan struktur anggaran yang sesuai
dengan harapan dan kondisi normatif maka APBD yang pada hakikatnya
merupakan pen-jabaran kuantitaif dari tujuan dan sasaran pemerintah daerah serta
tugas pokok dan fungsi unit kerja harus disusun dalam struktur yang berorientasi
pada pencapaian tingkat kinerja tertentu. Artinya, APBD harus mampu
memberikan gambaran yang jelas tentang tuntutan besarnya pembiayaan atas
berbagai sasaran yang hendak dicapai, tugas-tugas dan fungsi pokok sesuai
dengan kondisi, potensi, aspirasi, dan kebutuhan riil di masyarakat untuk suatu
tahun tertentu. Dengan demikian alokasi dana yang digunakan untuk membiayai
berbagai program dan kegiatan dapat memberikan manfaat yang benar-benar
12
dirasakan masyarakat dan pelayanan yang berorientasi pada kepentingan publik
(Munawar, 2006: 3).
2.1.2 Pengertian Alokasi Belanja Modal
Belanja Modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya
melebihi satu anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan
selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya
pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Kelompok belanja ini
mencakup jenis belanja baik untuk bagian belanja aparatur daerah maupun
pelayanan publik (Mardiasmo, 2009). Pengalokasian anggaran belanja modal
yang sudah dianggarkan setiap tahunnya dalam APBD yang terhitung dari
tanggal 1 Januari hingga 31 Desember pada satu periode tahun anggaran. APBD
harus memuat sasaran yang telah ditetapkan melalui fungsi belanjanya, standar
pelayanan yang
13
telah diharapkan dan biaya yang telah dianggarkan untuk suatu kegiatan yang
bersangkutan serta sumber pendapatan yang diterima APBD untuk digunakan
dalam belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan dan belanja
modal atau investasi, maka APBD harus menggambarkan secara ekonomis dalam
kebutuhan peningkatan kualitas daerah tersebut demi memfasilitasi sarana dan
prasarana untuk menunjang kesejahteraan masyarakatnya. Belanja modal sangat
penting peranya dalam pelayanan untuk masyarakat, karena belanja modal ini
identik dengan belanja yang berhubungan dengan sarana dan prasaran untuk
kebutuhan masyarakat.
2.1.3 Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
Konsep Multi-Term Expenditure Framework (MTEF) menyatakan bahwa
kebijakan belanja modal harus memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan
kemampuan keuangan pemerintah daerah (budget capability) dalam pengelolaan
aset tersebut dalam jangka panjang (Abdullah dan Halim, 2006: 2). Dalam
perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract),
yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh
eksekutif. Pengalokasian sumberdaya ke dalam belanja modal (capital
expenditure) merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-
kepentingan politis. Anggaran ini sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan publik akan sarana dan prasarana umum yang diberikan secara cuma-
cuma oleh pemerintah daerah. Namun, adanya kepentingan politik dari lembaga
legislatif yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi
belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan
14
permasalahan di masyarakat (Keefer dan Khemani, 2003 dalam Darwanto dan
Yustikasari, 2007: 10). Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, anggaran
belanja modal sangat berkaitan dengan perencanaan keuangan jangka panjang,
terutama pembiayaan untuk pemeliharaan aset tetap yang dihasilkan dari belanja
modal tersebut.
2.1.4 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Belanja Modal Daerah
Alokasi belanja modal daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Banyak
penelitian yang telah menguji faktor faktor tersebut dan hasilnya belum konsisten.
Penelitian ini menguji beberapa faktor yang diidentifikasikan dapat
mempengaruhi terhadap alokasi belanja modal, diantaranya :
2.1.4.1 Rasio Keuangan Daerah
Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan
membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan
periode sebelumnya sehinggga dapat diketahui bagaimana kecenderungan
yang terjadi. Selain itu dapat pula dilaksanakan dengan cara
membandingkan dengan rasio keuangan pemerintah daerah tertentu dengan
rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerahnya relatif
sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah daerah tersebut
terhadap pemerintah daerah lainnya (Ardhini, 2011). Beberapa rasio
keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah
daerah yaitu rasio kemandirian, rasio efektifitas, dan rasio efisiensi
keuangan daerah (Halim, 2009).
15
A. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian keuangan suatu daerah dapat dilihat dari
besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh
daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pemberian
otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah. PAD selalu
dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk
mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Realitas
hubungan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap pembangunan
daerah. Hal ini terlihat jelas dari rendahnya PAD terhadap total
pendapatan daerah dibandingkan dengan total subsidi yang didrop
dari pusat. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhini (2011)
menunjukkan hasil bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah
tidak berpengaruh signifikan negatif terhadap belanja modal
sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sularso (2011) bahwa
rasio kemandirian keuangan daerah berpengaruh terhadap belanja
modal.
B. Rasio Efektivitas Keuangan Daerah
Rasio efektivitas bertujuan untuk mengukur sejauh mana
kemampuan pemerintah dalam memobilisasi penerimaan
pendapatan sesuai dengan yang di targetkan. Rasio efektivitas
pendapatan dihitung dengan cara membandingkan realisasi
16
pendapatan dengan target penerimaan pendapatan yang
dianggarkan (Halim, 2012). Kemampuan keuangan daerah dalam
menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai
minimal 100%. Namun, semakin tinggi rasio efektivitas
menggambarkan kemampuan keuangan daerah semakin naik.
Metode penentuan prioritas untuk tiap kegiatan pemerintahan di
daerah masih belum baik.
C. Rasio Efisiensi Keuangan Daerah
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan
perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang
diterima. Semakin kecil rasio efisiensi, maka semakin baik kinerja
pemerintah daerah (Ardhini, 2011). Efisiensi yang rendah
meyebabkan banyaknya layanan publik dijalankan apa adanya
secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan publik, sementara dana pada anggaran daerah yang pada
dasarnya merupakan dana publik sebagian dibelanjakan untuk
belanja pegawai. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhini (2011)
menunjukkan hasil bahwa efisiensi tidak perpengaruh signifikan
terhadap belanja modal.
17
D. Rasio Pertumbuhan Daerah
Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar
kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke
periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk
masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran,
dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi-potensi mana yang
perlu mendapat perhatian. Rasio pertumbuhan daerah dirumuskan
sebagai berikut
PADt1 PADt0/ PADt0
Dimana : t0 = Tahun Awal t1 = Tahun A
E. Rasio Tingkat Pembiayaan Keuangan Daerah
Rasio Tingkat Pembiayaan adalah Sisa Lebih Perhitungan
Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya (SiLPA) yang
diindikasikan menjadi salah satu sumber pendanaan belanja modal
untuk pelayanan publik. SiLPA tahun lalu yang besar pada struktur
penerimaan pendapatan menjadi pertimbangan pemerintah daerah
untuk meningkatkan pengalokasian belanja modal. Hal tersebut
berarti kenaikan tingkat pembiayaan SILPA tahun lalu, maka
alokasi Belanja Modal tahun berikutnya juga meningkat.
18
F. Rasio Derajat Kontribusi BUMD
Tingkat kontribusi perusahaan daerah/BUMD dalam
mendukung pendapatan daerah digunakan derajat kontribusi
BUMD. Semakin tinggi rasio ini berdampak pada naiknya
pendapatan daerah (Sularso dan Restianto, 2011). Derajat
kontribusi yang tinggi menunjukkan kemampuan keuangan daerah
menjadi lebih tinggi sehingga memungkinkan pengalokasian yang
lebih besar terhadap belanja modal. Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sularso dan Restianto (2011) menunjukkan bahwa
derajat kontribusi BUMD mempunyai pengaruh positif signifikan
terhadap alokasi belanja modal.
G. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi membuat pemerintah daerah lebih kompeten
dalam pengelolaan urusanya sendiri (Rosemary et al. 2016).
Bastian (2001:261) menyatakan, secara umum perubahan
kewenangan pembelanjaan maupun penerimaan anggaran,
merupakan akibat pelaksanaan desentralisasi fiskal, dapat
mempengaruhi kemampuan pemerintah pusat melakukan kebijakan
ekonomi makro melalui anggaran negara. Pemerintah mempunyai
wewenang lebih luas untuk mengelola keuangan daerahnya dengan
adanya desentralisasi fiskal, sehingga alokasi belanja modal untuk
pemenuhan kebutuhan masyarakat, dapat ditingkatkan (Huda,
2015). Semakin tinggi rasio derajat desentralisasi fiskal suatu
19
daerah, maka kemampuan daerah tersebut untuk mengalokasikan
belanja daerahnya ke belanja modal akan lebih tinggi. Hasil
penelitian yang menemukan bahwa derajat desentralisasi fiskal
berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja daerah
ditemukan juga oleh Arsa dan Setiawina (2015), Praza (2016), dan
Huda (2015).
2.1.4.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sesuai dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah pasal 6 bahwa Sumber Pendapatan
Asli Daerah adalah sebagai berikut:
1. Hasil Pajak Daerah
Berdasarkan Undang-Undang No.34 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas UndangUndang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan retribusi Daerah, yang dimaksud dengan “Pajak Daerah yang
selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah
daerah pembangunan daerah”. Seperti halnya pajak pada umumnya, pajak
daerah mempunyai peranan ganda yaitu :
20
Jenis Pajak Daerah menurut Undang-Undang No.34 Tahun 2000
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan PP No.65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah :
a. Pajak provinsi, antara lain :
1. Pajak kendaraan bermotor
2. Pajak kendaraan di atas air
3. Bea balik nama kendaraan bermotor
4. Bea balik nama kendaraan di atas air
5. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
b. Pajak Kabupaten/Kota
1. Pajak hotel
2. Pajak restoran
3. Pajak hiburan
4. Pajak reklame
5. Pajak penerangan jalan
6. Pajak pengambilan bahan galian golongan C
7. Pajak parkir
21
2. Hasil Retribusi Daerah
Di samping pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah yang
cukup besar peranannya dalam menyumbang pada terbentuknya
pendapatan asli daerah adalah retribusi daerah. Retribusi daerah
merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut sebagai
pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang diberikan oleh
pemerintah daerah kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang No.18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud
dengan retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
PEMDA oleh kepentingan orang pribadi atau badan. Jadi dalam hal
retribusi daerah balas jasa dengan adanya retribusi daerah tersebut dapat
langsung ditunjuk. Misalnya retribusi jalan, karena kendaraan tertentu
memang melewati jalan di mana retribusi jalan itu dipungut, retribusi
pasar dibayar karena ada pemakaian ruangan pasar tertentu oleh si
pembayar retribusi. Tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan
retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan
publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di
suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Jadi
sesungguhnya dalam hal pemungutan iuran retribusi itu dianut asas
manfaat (benefit principles). Dalam asas ini besarnya pungutan ditentukan
berdasarkan manfaat yang diterima oleh si penerima manfaat yang dari
22
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Namun yang menjadi
persoalannya adalah dalam menentukan berapa besar manfaat yang
diterima oleh orang yang membayar retribusi tersebut dan menentukan
berapa besar pungutan yang harus dibayarnya. Dalam penjelasan Undang
–Undang No.18 Tahun 1997 disebutkan bahwa UndangUndang No.12
tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah yang selama ini
berlaku telah menyebabkan daerah berpeluang untuk memungut pajak
yang diantaranya mempunyai biaya administrasi yang lebih tinggi
dibandingakn dengan hasilnya dan atau hasilnya tidak memadai
3. Hasil Perusahaan Milik Daerah
Jenis pendapatan yang termasuk hasil-hasil pengelolaan kekayaan
daerah lainnya yang dipisahkan, antara lain laba, dividen, dan penjualan
saham milik daerah.
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
Lain lain pendapatan daerah yang sah adalah Pendapatan Asli
daerah (PAD) yang tidak termasuk kategori pajak, retribusi dan
perusahaan daerah (BUMD). Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,
antara lain hasil penjualan aset tetap daerah dan jasa giro.
2.1.4.3 Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana
Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN,
23
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Menurut syafitri (2009) yang dikutip dalam Saragih (2003) menyatakan bahwa
kebijakan DAU merupakan instrumen penyeimbang fiskal daerah. Sebab tidak
semua daerah mempunyai struktur dan kemampuan yang sama. DAU sebagai
bagian dari kebijakan transfer fiskal dari pusat ke daerah yang berfungsi sebagi
faktor pemerataan fiskal antara daerah-daerah serta memperkecil kesenjangan
kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah.
DAU bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan
kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
DAU dialokasikan untuk daerah propinsi dan kabupaten/kota. Besaran
DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN)
Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan
untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan
antara propinsi dan kabupaten/kota.
Tahapan Perhitungan DAU adalah sebagai berikut :
1. Tahapan Akademis
Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula
DAU dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai universitas
dengan tujuan untuk memperoleh kebijakan penghitungan DAU
24
yang sesuai dengan ketentuan UU dan karakteristik Otonomi
Daerah di Indonesia.
2. Tahapan Administratif
Dalam tahapan ini Depkeu c.q. DJPK melakukan koordinasi
dengan instansi terkait untuk penyiapan data dasar penghitungan
DAU termasuk didalamnya kegiatan konsolidasi dan verifikasi data
untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yang akan
digunakan.
3. Tahapan Teknis
Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU yang
akan dikonsultasikan pemerintah kepada DPR RI dan dilakukan
berdasarkan formula DAU sebagaimana diamanatkan UU dengan
menggunakan data yang tersedia serta memperhatikan hasil
rekomendasi pihak akademis.
4. Tahapan Politis
Merupakan tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi
DAU antara Pemerintah dengan Panja Belanja Daerah Panitia
Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan mendapatkan persetujuan
hasil penghitungan DAU.
25
2.1.4.4 Dana Alokasi Khusus (DAK)
Menurut Pasal 11 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004 DAK atau specific
purpose grant adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada
daerah terpilih untuk membantu mendanai kegiatan yang bersifat khusus yang
merupakan wilayah kewenangan daerah tersebut akan tetapi sesuai dengan
prioritas nasional, khususnya dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan akan
sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Kegiatan khusus tersebut
ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan memprioritaskan kegiatan pembangunan
dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana dan
prasarana fisik untuk melakukan pelayanan dasar masyarakat dengan umur
ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang.
2.1.4.5 Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil dijelaskan sebagai dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun
2004). Pasal 11 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004 menjelaskan Dana Bagi Hasil yang
berasal dari pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan
Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Sedangkan
pada pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil yang
berasal dari sumber daya alam terdiri dari kehutanan, pertambangan umum,
perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan
pertambangan panas bumi.
26
2.2 Penelitian Terdahulu
Vegasari Endah Kusumawati (2011) PAD tahun berjalan berpengaruh
positif terhadap belanja modal tahun berjalan. Rasio kemandirian tahun berjalan
berpengaruh terhadap PAD tahun berjalan sedangkan rasio efektifitas tidak
berpengaruh terhadap belanja modal tahun berjalan.
Priyo Hari Adi (2006) meneliti bahwa belanja modal dipengaruhi secara
signifikan oleh Pendapatan Per Kapita dalam hubungan langsung, tetapi juga
mempunyai hubungan yang positif dalam hubungan tidak langsung melalui
Pendapatan Asli Daerah. Pendapatan Asli Daerah sangat berpengaruh terhadap
Pendapatan Per Kapita, tetapi pertumbuhan yang terjadi masih kurang merata
sehingga terjadi banyak ketimpangan ekonomi antar daerah.
Ardi Hamzah (2006) menyatakan bahwa pengujian secara langsung antara
kinerja keuangan terhadap belanja modal menunjukkan rasio kemandirian, dan
rasio efisiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap belanja modal,
sedangkan rasio efektifitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap belanja
modal
Hasil penelitian Darwanto (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan
positif dan signifikan antara DAU dengan belanja modal.
. Hasil penelitan Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti
empiris tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi
lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan
pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin
tinggi. Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah
27
khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU.
Berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan semakin tinggi DAU maka alokasi
belanja modal juga meningkat.
Tabel Penelitian Terdahulu
Penelitian Variabel Hasil
Vegasari Endah
Kusumawati
(2011)
Rasio Kemandirian Daerah (X1)
Rasio Efektivitas Daerah (X2)
PAD (X3)
Belanja Modal (Y)
PAD tahun berjalan
berpengaruh positif
terhadap belanja
modal tahun
berjalan.
Rasio kemandirian
berpengaruh
terhadap belanja
modal tahun
berjalan
Rasio efektifitas
tidak berpengaruh
terhadap belanja
modal tahun
berjalan.
Priyo Hari Adi
(2006)
Belanja Modal (Y)
Pendapatan Perkapita (X2)
PAD (X1)
Pendapatan per
kapita dan PAD
berpengaruh positif
terhadap alokasi
belanja modal
Ardi Hamzah
(2006)
Belanja Modal (Y)
Rasio Kemandirian Daerah (X1)
Rasio Efisiensi Daerah (X2)
Rasio Efektivitas Daerah (X3)
Rasio kemandirian,
dan rasio efisiensi
berpengaruh positif
secara signifikan
terhadap belanja
modal,
Rasio efektifitas
tidak berpengaruh
secara signifikan
terhadap belanja
modal
28
Darwanto
(2007)
Dana Alokasi Umum (X1)
Belanja Modal (Y)
Dana alokasi
umum berpengaruh
secara signifikan
terhadap belanja
modal daerah tahun
berjalan.
Haryanto dan Adi
(2007)
Dana Alokasi Umum (X1)
Belanja Modal (Y)
Dana alokasi
umum berpengaruh
secara positif
terhadap alokasi
belanja modal
Sumber : Data diolah peneliti 2018
2.3 Pengembangan Hipotesis
2.3.1 Hubungan Antara Rasio Kemandirian Daerah dan Alokasi Belanja
Modal Daerah Tahun Berjalan.
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap
sumber dana ekternal. Rasio kemandirian daerah juga menggambarkan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Partisipasi masyarakat ini
diwujudkan dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan
komponen utama pendapatan asli daerah. Sedangkan pendapatan asli daerah
sendiri merupakan sumber dana untuk alokasi belanja modal. Mengacu pada teori
keagenan, Hubungan organisasi terjalin dalam bentuk vertikal yakni antara atasan
(prinsipal) dan bawahan Halim (2003). Kemandirian daerah merupakan indikator
untuk menilai perolehan PAD atas adverse selection yang terjadi pemerintah
daerah. Dalam hal ini eksekutif sebagai agen bertanggungjawab dalam perolehan
PAD yang nantinya akan digunakan sebagai sumber dana untuk belanja modal
yang tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat. Penelitian yang dilakukan Havid
29
dan Restianto (2011) menunjukkan bahwa pengalokasian belanja modal
dipengaruhi oleh rasio kemandirian keuangan. Semakin tinggi rasio kemandirian
daerah maka semakin tinggi alokasi belanja modalnya. Penelitian tersebut
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Gerungan dkk (2015) bahwa rasio
kemandiran berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Namun pada
penelitian yang dilakukan oleh Fitri dkk (2014) tentang Pengaruh Rasio Keuangan
Daerah, Pendapatan Asli Daerah, Dan Dana Alokasi Umum Terhadap Alokasi
Belanja Modal Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi Riau menghasilkan bahwa rasio
kemandirian tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap alokasi belanja
modal. Dari uraian diatas maka didapatkan hipotesis :
H1 : Rasio kemandirian daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja
modal daerah tahun berjalan.
2.3.2 Hubungan Antara Rasio Efektivitas Daerah dan Alokasi Belanja Modal
Daerah Tahun Berjalan.
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam
merealisasikan pendapatan asli daerah yang telah direncanakan. Ukuran
efektivitas merupakan refleksi dari realisasinya. Maka efektivitas dapat
menunjukkan keberhasilan operasional pemerintah karena dapat menghasilkan
sumber daya yang ada di masyarakat yang sesuai target. Menurut Sularso (2011)
dalam Fitri dkk (2014) kemampuan dan efektivitas keuangan daerah dalam
merealisasikan PADnya akan memperlihatkan tingkat kemandirian daerah dalam
mengelola potensi dan manajemen keuangan daerah. Oleh sebab itu, daerah
dengan rasio efektivitas rendah menandakan rendahnya kemampuan daerah dalam
30
mengelola dan memanajemen potensi keuangan daerah. Hal ini akan
mengakibatkan turunnya PAD yang berarti turunnya sumber dana untuk alokasi
belanja modal. Mengacu pada teori keagenan, efektivitas keuangan daerah
merupakan indikator atas realisasi PAD untuk mengontrol permasalahan
keagenan. Menurut Stiglitz dan Pratt Zeckhauser (1987) dalam Gilardi (2001)
hubungan keagenan terjadi jika tindakan yang dilakukan seseorang memiliki
dampak kepada orang lain atau ketika seseorang sangat bergantung pada tindakan
orang lain. Pengaruh atau ketergantungan tersebut diwujudkan dalam kontrak.
Hubungan antara legislatif dan eksekutif terjalin dalam kontrak berupa anggaran
APBD yang telah disepakati sehingga realisasi PAD menjadi tanggung jawab
eksekutif. Jika nilai efektivitas tinggi maka jumlah belanja modal diindikasikan
tinggi pula. Menurut Affandi (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
tingkat efektivitas berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal. Suatu
daerah dikatakan efektif apabila rasio efektivitas minimal mencapai 100% dan
apabila nilainya lebih maka kemampuan pemerintah daerah semakin naik.
Penelitian yang dilakukan Martini dan Dwiranda (2015) menyatakan bahwa rasio
efektivitas berpengaruh positif pada alokasi belanja modal. Dari hasil uraian
diatas diperoleh hipotesis :
H2 : Rasio efektivitas daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja
modal daerah Tahun Berjalan.
31
2.3.3 Hubungan Rasio Efisiensi Keuangan Daerah dengan Alokasi Belanja
Modal Daerah Tahun Berjalan.
Rasio efisiensi adalah rasio yang dihitung dengan cara melihat perbandingan
antara penerimaan daerah dengan belanja daerah. Semakin besar penerimaan
dibandingkan dengan belanja, maka akan semakin efisien, begitupun sebaliknya.
Artinya bagaimana menghasilkan output sebesar-besarnya dengan input sekecil-
kecilnya. Hal ini memiliki arti bahwa semakin efisien suau daerah, maka akan
semakin besar juga alokasi terhadap belanja modal daerah tersebut. Hal ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya yaitu Hidayat (2013) dan Ardhini (2011) yang
menemukan bahwa efisiensi keuangan daerah berpengaruh signifikan pada
belanja modal daerah. Berdasarkan uraian tersebut maka diperoleh hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H3: Rasio efisiensi keuangan daerah berpengaruh positif pada alokasi
belanja modal daerah Tahun Berjalan.
2.3.4 Hubungan Kenaikan Pendapatan Asli Daerah dengan Alokasi Belanja
Modal Daerah Tahun Berjalan.
Infrastruktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan berdampak
pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana dan prasarana memadai maka
masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari – harinya secara aman dan nyaman
yang akan berpengaruh pada tingkat produktivitasnya yang semakin meningkat,
dan dengan adanya infrastruktur yang memadai akan menarik investor untuk
membuka usaha di daerah tersebut. Dengan bertambahnya belanja modal maka
akan berdampak pada periode yang akan datang yaitu produktivitas masyarakat
32
meningkat dan bertambahnya investor akan meningkatkan pendapatan asli daerah.
(Abimanyu, 2005) ASPP-15 7 Peningkatan Pemerintah Daerah dalam investasi
modal (belanja modal) diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik
dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik
terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD
(Mardiasmo, 2002). Wong (2004) menunjukkan bahwa pembangunan
infrastruktur industri mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan pajak
daerah. Dalam penelitian Adi (2006) menyatakan bahwa Belanja pembangunan
memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap Pendapatan Asli
Daerah. Dengan kata lain, pembangunan berbagai fasilitas sektor publik akan
berujung pada peningkatan pendapatan daerah. Dalam penerapan desentralisasi,
pembangunan menjadi prioritas utama pemerintah daerah untuk menunjang
peningkatan PAD. Penelitan yang dilakukan oleh Abdullah dan Halim (2003)
menunjukkan adanya pengaruh yang kuat belanja daerah terhadap peningkatan
pendapatan asli daerah. Berdasarkan uraian diatas, maka diperoleh hipotesis
sebagai berikut :
H4: Kenaikan Pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap alokasi
belanja modal daerah.
2.3.5 Hubungan Dana Alokasi Umum dengan Alokasi Belanja Modal Daerah
Tahun Berjalan.
Sejak diterapkannya desentralisasi fiskal, pemerintah pusat mengharapkan
daerah dapat mengelola sumber daya yang dimiliki sehingga tidak hanya
mengandalkan ASPP-156 DAU. Dibeberapa daerah peran DAU sangat signifikan
33
karena kebijakan belanja daerah lebih didominasi oleh jumlah DAU dari pada
PAD (Sidik et al, 2002). Setiap transfer DAU yang diterima daerah akan
ditunjukkan untuk belanja pemerintah daerah, maka tidak jarang apabila
pemerintah daerah menetapkan rencana daerah secara pesimis dan rencana belanja
cenderung optimis supaya transfer DAU yang diterima daerah lebih besar
(http://www.Balipost.co.id).
Dalam penelitiannya Holtz-Eakin et al (1994) menyatakan terhadap
keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja
modal. Pada studi yang dilakukan oleh legrenzi & Milas (2001) dalam Abdullah
dan Halim (2003) menemukan bukti empiris bahwasanya dalam jangka panjang
transfer berpengaruh terhadap belanja modal dan pengurangan jumlah transfer
dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja modal. Prakoso (2004)
memperoleh teman empiris yang sama yang menunjukkan bahwa jumlah belanja
modal dipengaruhi oleh dana alokasi umum yang diterima dari pemerintah pusat.
Hasil penelitian Susilo dan Adi (2007) semakin memperkuat kecenderungan ini.
Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan
yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan pemerintah daerah terhadap
transfer pemerintah pusat (dhi DAU) menjadi semakin tinggi. Hal ini memberikan
adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal
akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan ini. Penelitian yang dilakukan oleh
Abdullah (2003), Prakoso (2004), Maimunah (2004), semakin membuktikan
bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh secara signifikan terhadap alokasi
Belanja Modal. Dari uraian diatas maka diperoleh hipotesis sebagai berikut :
34
H5: Dana alokasi umum berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal
daerah Tahun Berjalan.
H6: Rasio kemandirian daerah, rasio efektivitas daerah, rasio efisiensi
daerah, kenaikan pendapatan asli daerah, dan dana alokasi umum secara
simultan berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal.
2.4 Kerangka Konseptual Penelitian
Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi
belanja modal daerah tahun berjalan. Variabel pada penelitian ini menggunakan
variabel independen dan variabel denpenden. Variabel independen pada penelitian
ini adalah rasio kemandirian daerah, rasio efektivitas daerah, rasio efisiensi
daerah, dana alokasi umum dan kenaikan pendapatan asli daerah. Sedangkan
untuk variabel dependennya yaitu alokasi belanja modal daerah tahun berjalan
kabupaten atau kota di propinsi Yogyakarta tahun 2014-2017. Berdasarkan uraian
diatas, kerangka mengenai hubungan antar masing-masing variabel dapat dilihat
pada gambar berikut:
35
Gambar kerangka konseptual penelitian
Sumber: Data diolah peneliti 2018
RASIO KEMANDIRIAN
DAERAH
RASIO EFEKTIVITAS
DAERAH
RASIO EFESIENSI
DAERAH
KENAIKAN PENDAPATAN
ASLI DAERAH
DANA ALOKASI UMUM
ALOKASI BELANJA
MODAL DAERAH TAHUN
BERJALAN
VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN