10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Setyaningsih (2014) dalam jurnalnya yang berjudul Dampak Sosial
Ekonomi Relokasi Pasar Satwa Kasus Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta
(PASTY). Metode yang digunakan dalam penelitian adalah dengan menggunakan
metode deskriptif dengan menggunaan alat uji t. Data didapatkan dengan 2 cara
yaitu primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara secara langsung
dengan pedagang sedangkan data sekunder diperoleh dari badan yang bersangkuan
dengan penelitian yaitu BPS D.I. Yogyakarta dan UPT pasar PASTY. Terdapat
beberapa temuan dari penelitian ini yaitu relokasi Pasar Ngasem membawa dampak
positif dan negatif bagi kehidupan sosial pedagang pasar tradisional. Berdasarkan
hasil uji t menyatakan bahwa relokasi efektif dapat meningkatkan pendapatan
pedagang. Sedangkan pendapat pedagang tentang relokasi ini terbagi menjadi tiga
jenis yaitu senang, tidak senang dan biasa saja. Persamaan penelitian Setyanigsih
dan Susilo pada penelitian ini adalah persamaan menggunakan metode deskriptif
dengan menggunakan uji t sebagai alat analisis. Perbedaan penelitian terdahulu
dengan penelitian ini adalah teknik pengambilan sample untuk mendapatkan data
keadaan sosial. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sample purposive
dengan pertimbangan tertentu.
Susilowati (2015) menganalisis Dampak Relokasi Pasar Tradisional
Terhadap Pedagang Pasar Dinoyo. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui
dan menjelaskan persepsi pedagang pasar Tradisional Dinoyo terhadap lokasi
keberadaan TPS (Tempat Pembuangan Sampah) di Merjosari serta dampak relokasi
11
Pasar Tradisional Dinoyo di TPS Merjosari terhadap pedagang. Teknik analisis data
dilakukan dengan menggunakan alat analisa Chi-square (X²) dibantu software
SPSS. Obyek penelitian adalah pedagang pada pasar tradisional Dinoyo di Kota
Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang menganggap lokasi TPS
Merjosari kurang strategis, relokasi pedagang berdampak menurunnya omzet
penjualan dan meningkatnya biaya transportasi, relokasi di TPS Merjosari tidak
mempunyai hubungan dengan harga jual barangnya, relokasi di TPS Merjosari
tidak mempunyai hubungan dengan jumlah tenaga kerja pedagangnya, dan tidak
terdapat variabel yang mempunyai hubungan dominan dengan relokasi pedagang
di TPS Merjosari. Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah pada
analisa dampak relokasi pasar terhadap pedagang, perbedaan penelitian terdahulu
terdapat pada metode analisis data yang digunakan.
Ayuningsasi (2010) menganalisis Pendapatan Pedagang Sebelum dan
Sesudah Program Revitalisasi Pasar Tradisional di Kota Denpasar. Penetian
tersebut bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan pendapatan pedagang di
Pasar Sudha Merta Desa Sidakarya Denpasar sebelum dan sesudah program
revitalisasi pasar. Penelitian berfokus pada pendapatan sesudah dan sebelum
diadakannya program revitalisasi apakah berbeda secara signifikan atau tidak.
Pendapatan dalam penelitian tersebut dikelompokkan dalam 4 kategori yaitu: a.
100.000, b.100.000-499.999, c. 500.000-1.000.000, d.>1.000.000. Penelitian ini
menggunakan teknik analisis uji t berpasangan sebelum dilakukan analisis
dilakukan uji normalitas data menggunakan one sample kolmogorov smirnov,
karena data tidak berdistribusi normal maka analisis yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode wilcoxon. Hasil penelitian ini menunjukkan 38 pedagang
12
mengalami kenaikan sedangkan 11 pedagang mengalami penurunan setelah
revitalisasi. Persamaan terdahulu dengan penelitian ini adalah metode analisis data
dan uji normalitas data, perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu
terletak pada penelitian keadaan sosial pedagang yang dibahas di penelitian
terdahulu.
Dewi (2015) dalam jurnalnya yang berjudul Analisis Perilaku Pedagang
Pasca Relokasi Pasar Dinoyo ke Merjosari. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian kualitatif dengan pertimbangan sebagai berikut: (1)
Peneliti ingin mendeskripsikan latar dan interaksi yang kompleks dari responden.
(2) Penelitian bermaksud untuk memahami keadaan yang terbatas jumlahnya
dengan fokus yang mendalam dan rinci. (3) Penelitian ini dilakukan untuk
penjajakan (eksplorasi), atau untuk mengidentifikasi informasi baru. Hasil
penelitian ini kelima indikator tersebut ada 4 (empat) indikator yang mengalami
perubahan yaitu jam operasional, kuantitas, posisi bedak dan kemudahan mencapai
lokasi mempengaruhi kinerja ekonomi. Perubahan dari indikator yang saling
berhubungan tersebut mengakibatkan turunnya omzet dan bertambahnya biaya
operasional pedagang. Sehingga, pendapatan pedagang menurun. Hal inilah yang
mengakibatkan kinerja ekonomi pedagang di pasar Merjosari menurun. Persamaan
penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah penelitian tentang keadaan sosial
pedagang dengan menggunakan pertanyaan yang bersifat eksplorasi dan subyek
penelitian yaitu pedagang yang melakukan relokasi, sedangkan perbedaan terletak
pada penelitian terhadap aspek ekonomi khususnya pendapatan.
(Rahmawati, 2017) melakukan penelitian yang berjudul Modal Sosial dan
Pasar Tradisional ( Studi Kasus di Pasar Legi Kota Gede Yogyakarta ). Penelitian
13
bertujuan untuk menemukan jenis modal sosial yang terdapat pada Pasar Legi Kota
Gede serta peran modal sosial terhadap keberlangsungan perdagangan. Penelitian
merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif menggunakan pendekatan studi
kasus, pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis
data menggunakan metode interaktif Miles dan Huberman, metode yang digunakan
dengan mengumpulkan, mengurangi, menyajikan, serta menarik kesimpulan data
yang diperoleh.
Hasil penelitian yang dilakukan antara lain pedagang Pasar Gede
Yogyakarta memeiliki modal sosial berupa norma serta kepercayaan, sedangkan
jaringan sosial tidak begitu menonjol karena pedagang tidak melakukan penjualan
dalam skala besar dan area luas. Jenis modal sosial yang terdapat pada pasar legi
adalah bounding dan bridging. Jenis modal sosial bounding terlihat pada rasa
kekeluargaan antar pedagang sedangkan bridging terlihat dari hubungan yang
dilakukan dengan distributor. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu
terdapat pada aspek sosial berupa interkasi sosial serta aspek ekonomi yaitu omzet
pedagang.
Penelitian yang dilakukan oleh Nuzuldin (2017) dengan judul Interaksi
Sosial Pedagang Sayur di Pasar Induk Minahasa Maupa Kecamatan Somba Opu
Kabupaten Gowa. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.
Mengenai bentuk interaksi sosial dan faktor yang memengaruhi interaksi sosial.
Pendekatan yang dilakukan menggunakan metode sosiologi dan komunikasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa interaksi yang terbentuk berupa kerjasama,
persaingan, pertikaian, akomodasi, kontravensi, dan asimilasi. Interaksi sosial
asosiatif disebabkan adanya tujuan yang sama , kedekatan fidik berdagang , rasa
14
simpati antar pedagang, dan kurangnya jumlah pelanggan. Interaksi sosial disosiatif
adalah kepribadian pedagang sayur berbeda-beda, jumah pedagang sayur yang
tidak seimbang dengan jumlah pelanggan. Persamaan penelitian adalah membahas
interaksi sosial sedangkan perbedaannya terdapat pada aspek ekonomi pedagang.
2.2 Pasar
Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari
satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan,
mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya (Presiden Republik
Indonesia, 2007).
Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios,
los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya
masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses
jual beli barang dagangan melalui tawar menawar (Presiden Republik Indonesia,
2007)
Pasar tradisional menurut jenisnya dibagi menjadi dua yaitu pasar regular
dan iregular. Pasar regular adalah pasar yang menjual komoditas kebutuhan sehari-
hari, konsumen dapat mendapatkannya di tempat atau daerah lain diikarenakan
barang dan harga yang sama. Pasar irregular adalah pasar yang menjual komoditas
khusus seperti pasar hewan dan pasar bunga sehingga terdapat keunikan yang tidak
dimiliki di pasar atau tempat lain. Pasar regular tidak memiliki bergaining power
sehingga market place sangat penting bagi pasar tradisional. Kebutuhan barang
yang sama pada lokasi yang dekat dan mudah diakses menjadi pilihan konsumen
15
untuk mendapatkan produk tersebut. perubahan tempat atau lokasi sangat
mempengaruhi pola kerja dan omzet penjualan pedagang, selain itu juga
berpengaruh terhadap biaya operasional dan omzet pedagang (Dewi, 2015).
Penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pasar tradisonal merupakan sebuah
tempat dimana para penjual dan pembeli melakukan suatu transaksi tawar menawar
harga. SDM di pasar baik penjual maupun pembeli merupakan masyarakat yang
memiliki penghasilan golongan mengah ke bawah. Pasar tradisonal Kertosono
menjadi tempat yang populer di masyarakat karena tersedianya beragam produk
selain itu juga pasar memiliki harga barang yang dapat ditawar sehingga menjadi
pilihan dari kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Tempat
strategis dan aksesibilitas yang mudah menjadi tambahan prioritas konsumen untuk
membeli di pasar regular tersebut.
2.3 Jenis Pasar
Pasar di bagi menjadi beberapa jenis antara lain menurut kegiatannya, lokasi
dan kemampuan pelayanannya, waktu kegiatannya, dan status kepemilikannya
(Oktavina, 2011).
Menurut jenis kegiatannya, pasar digolongkan menjadi tiga jenis:
a. Pasar eceran, melayani transaksi tingkat eceran kepada masyarakat. Bangunan
permanen/semi permanen.
b. Pasar grosir, melayani transaksi tingkat besar serta memiliki komoditas
lengkap. Bangunan luas serta dapat melayani hingga wilayah kota.
c. Pasar induk memiliki bangunan permanen bahkan lebih luas dibandingkan
pasar grosir. Merupakan pusat penyimpanan bahan pangan untuk disalurka
16
pada grosir dan pusat pembelian. Kemampuan pelayanan meliputi wilayah
antar kota.
Menurut lokasi dan kemampuan pelayanannya, pasar digolongkan menjadi
lima jenis :
Pasar regional, merupakan pasar yang memiliki arsitektur bangunan permanen,
memiliki komoditas lengkap, dan dapat memenuhi permintaan wilayah yang luas
baik kota maupun luar kota.
a. Pasar kota, memiliki bangunan yang permanen dan mempunyai semua
komoditas. Kemampuan pelayanan meliputi wilayah kota. Melayani 200.000‐
220.000 penduduk. Yang termasuk pasar ini adalah pasar induk, dan pasar
grosir.
b. Pasar wilayah (distrik), adalah pasar yang memiliki bangunan permanen
dengan letak yang strategis, mampu melayani hingga wilayah kota namun luas
bangunan lebih kecil dibandingkan pasar kota. Melayani sekitar 50.000‐60.000
penduduk. Contohnya adalah pasar eceran, pasar khusus, dan pasar induk.
c. Pasar lingkungan, memiliki arsitektur bagunan permanen maupun semi
permanen dengan kemampuan pelayanan hanya sebatas pemukiman penduduk
saja, memiliki komoditas kurang lengkap. Melayani 10.000‐15.000 penduduk.
Contohnya yaitu pasar eceran.
d. Pasar khusus, mempunyai kemampuan pelayanan meliputi wilayah kota.
Bangunan permanen/semi permanen, komoditas hanya terdapat satu saja
sehingga terlihat lebih khusus. Misalnya pasar bunga, burung, atau hewan.
Menurut waktu kegiatannya, pasar digolongkan menjadi empat jenis:
a. Pasar siang, beroperasi dari pukul 04.00‐16.00
17
b. Pasar malam, beroperasi dari pukul 16.00‐04.00
c. Pasar siang malam, beroperasi 24 jam.
d. Pasar darurat, yaitu pasar yang menggunakan jalanan umum atau tempat umum
tertentu atas penetapan Kepala Daerah dan ditiadakan pada saat peringatan
hari‐hari tertentu. Contohnya: Pasar Maulud, Pasar Murah Idulfitri, dan
sebagainya.
Menurut status kepemilikannya, pasar digolongkan menjadi tiga jenis:
a. Pasar pemerintah, dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah pusat maupun daerah.
b. Pasar swasta, dikelola dikuasai oleh badan hukum yang diijinkan oleh
pemerintah daerah.
c. Pasar liar, pasar yang belum mendapat perhatian oleh pemerintah daerah
sehingga tidak memiliki fasilitas yang lengkap serta tata letak masih belum
merata. Pasar liar ini dibagi tiga berdasarkan penanggung jawabnya, yakni
pasar perorangan, RW dan desa.
Ditinjau dari jenisnya, pasar dibedakan menjadi 2 yaitu regular dan iregular.
Pasar regular adalah jenis pasar yang menjual komoditas atau barang kebutuhan
harian, pembeli dapat menemukan barang atau produk yang dijual di tempat lain.
Pasar iregular adalah pasar yang menjual komoditas khusus, dan tidak terdapat di
tempat lain misalnya pasar hewan, atau pasar barang antik (Dewi, 2015)
Menteri Perdagangan Republik Indonesia (2013) membagi tipe dan
kategory pasar menjadi 4, dengan ciri sebagai berikut :
1. Pasar kategori tipe A
Memiliki luas sedikitnya 3000 m2. Kepemilikan lahan dibuktikan oleh
dokumen yang sah. Peruntukan lahan sesuai dengan RTRW setempat. Minimal
18
ditempati oleh 150 pedagang pasar. jalan menuju pasar mudah di akses dan dilewati
angkutan umum. Beroperasi setiap hari yang dikelola langsung oleh manajemen
pasar, serta memiliki CCTV yang terhubung langsung dengan Kementerian
Perdagangan. Bangunan berupa los, kios, dan gang, sarana pendukung wajib yang
ada meliputi : 1) Kantor pengelola dan kantor fasilitas pembiayaan, 2) Ruang
serbaguna untuk pembinaan pedagang, penitipan dan bermain anak dengan luas
paling sedikit 50m2, 3) Toilet/WC 4) Tempat ibadah, 5) Pos ukur ulang (paling kecil
ukuran 2m x 2m), 6) Pos kesehatan, 7) Pos keamanan, 8) Drainase (ditutup dengan
grill), 9) Tempat penampungan sampah sementara, 10) Gudang tempat
penyimpanan stok barang, 11) Area bongkar muat, 12) Tempat parkir, 13) Area
penghijauan, 14) Hidran dan/atau alat pemadam kebakaran (fire extinguisher), 15)
Instalasi air bersih dan jaringan listrik, (16) Instalasi pengolahan air limbah (IPAL),
17) Telekomunikasi 18) Sistem informasi harga dan stok, 19) Papan pengumuman
informasi harga harian.
2. Pasar tipe B
Memiliki luas bangunan paling sedikit 1500 m2, memiliki dokumen yang
sah, peruntukan lahan sesuai RTRW setempat. Sekurang - kurangnya terdapat 75
pedagang dengan operasional minimal 3 hari dalam seminggu yang dikelola
langsung oleh managemen pasar serta memiliki CCTTV yang dipantau oleh
Kementerian Perdagangan. Bangunan pasar sama seperti pada tipe A, namun tidak
memiliki pos ukur ulang, tempat bongkar muat, pos penyimpanan barang, IPAL,
serta memiliki standart ruang serbaguna yang lebih kecil setidaknya 40 m2.
3. Pasar tipe C
19
Luas lahan setidaknya 1000 m2 , sesuai dengan peruntukan RTRW
setempat. Memiliki dokumen yang sah, jumlah pedagang sedikitnya 30 pedagang.
Terletak dilokasi yang mudah di akses dan didukung jalur kendaraan umum,
kegiatan dilakukan paling tidak 1 atau 2 hari dalam seminggu. Pasar dikelola
langsung oleh manajemen pasar. Tidak wajib memiliki CCTV yang terhubung
dengan kementerian.
Bangunan pendukung meliputi : kantor pengelola dan kantor fasilitas
pembiayaan, toilet/WC, tempat ibadah, pos kesehatan, drainase (ditutup dengan
grill), tempat penampungan sampah sementara, tempat parkir, area penghijauan,
hidran, instalasi air bersih dan jaringan listrik dan telekomunikasi.
4. Pasar tipe D
luas lahan paling sedikit 500 m2, kepemilikan lahan dibuktikan dengan
dokumen yang sah dan dikelola secara langsung oleh managemen pasar.
Peruntukan lahan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerah
setempat. Jumlah pedagang paling sedikit 30 pedagang. Jalan menuju pasar
tradisional mudah diakses dan didukung dengan sarana transportasi umum.
Kegiatan pasar dilakukan setidaknya 1 sampai 2 kali dalam semminggu.
Bangunan utama Pasar Tradisional berupa los dan sarana pendukung
lainnya, meliputi: 1) kantor pengelola dan kantor fasilitas pembiayaan, 2)
toilet/WC, 3) tempat ibadah, 4) drainase (ditutup dengan grill), 5) tempat
penampungan sampah sementara, 6) area penghijauan, 7) instalasi air bersih dan
jaringan listrik.
20
2.4 Pedagang
Damsar (1997) mendefinisikan pedagang sebagai orang yang menjual
barang kepada konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun
pengelompokan pedagang menurut jalur distribusinya adalah sebagai berikut :
a. Pedagang distributor (tunggal), yaitu pedagang yang memegang hak distribusi
satu produk dari perusahaan tertentu.
b. Pedagang partai (besar), yaitu pedagang yang membeli produk dalam skala besar
dengan tujuan untuk dijual kembali kepada pedagang misalnya grosir.
c. Pedagang eceran, yaitu pedagang yang menjual produk secara langsung kepada
konsumen.
Berdasarkan dari kemampuan mengelola pendapatan pedagang
dikelompokkan menjadi :
a. Pedagang Profesional, memiliki penghasilan utama dari perdagangan dan tidak
memiliki pekerjaan lain. pendapatan yang diperoleh umumnya digunakan
untuk mengembangkan usaha dan konsumsi rumah tangga.
b. Pedagang Semi Profesional, yaitu pedagang yang mengakui aktivitas
perdagangan untuk memperoleh uang tetapi pendapatan dari hasil perdagangan
merupakan sumber tambahan bagi ekonomi keluarga.
c. Pedagang Subsistensi, orang yang menjual produk dari hasil subsistennya
untuk memnuhi kebutuhan keluarga. Misalnya, petani yang menjual hasil
panennya.
d. Pedagang Semu, yaitu orang yang melakukan kegiatan perdagangan karena
hobi atau untuk mendapatkan suasana baru atau untuk mengisi waktu luang.
Pedagang jenis ini tidak mengharapkan kegiatan perdagangan sebagai sarana
21
untuk memperoleh pendapatan, malahan mungkin saja sebaliknya ia (akan)
memperoleh kerugian dalam berdagang. (Hermanto, 2008)
2.5 Teori Lokasi
Menurut Undang-Undang Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2012 tentang pengelolaan dan pemberdayaan pasar
tradisional adalah sebagai berikut :
Pasal 7
Penentuan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
antara lain:
a. Mengacu pada RTRW Kabupaten/Kota.
b. Dekat dengan pemukiman penduduk atau pusat kegiatan ekonomi masyarakat.
c. Memiliki sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan ibukota
kabupaten/kota dan ibu kota kecamatan dengan lokasi pasar baru yang akan
dibangun.
Pasal 8
Fasilitas bangunan dan tata letak pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf b antara lain :
a. bangunan toko/kios/los dibuat dengan ukuran standar ruang tertentu.
b. petak atau blok dengan akses jalan pengunjung ke segala arah.
c. pencahayaan dan sirkulasi udara yang cukup.
d. penataan toko/kios/los berdasarkan jenis barang dagangan, dan
e. bentuk bangunan pasar tradisional selaras dengan karakteristik budaya daerah.
(Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, 2012)
22
Beberapa faktor berikut perlu dipertimbangkan secara cermat dalam
pemilihan lokasi usaha :
1. Akses Lokasi yang mudah dijangkau atau dilalui sarana transportasi umum
2. Visibilitas Lokasi yang dapat dilihat dengan jelas dari tepi jalan
3. Lalu lintas (traffic), dimana terdapat dua hal yang perlu dipertimbangkan,
yaitu :
a. Banyaknya orang yang melintasi daerah tersebut bisa memberikan besar
terjadinya impulse buying
b. Kepadatan dan kemacetan lalu lintas bisa juga menjadi hambatan, misalnya
terhadap pelayanan kepolisian, pemadam kebakaran dan ambulans
4. Tempat parkir yang luas dan aman;
5. Ekspansi, yaitu tersedia tanah/tempat yang cukup luas untuk keperluan
perluasan usaha dikemudian hari
6. Lingkungan, yaitu kondisi lingkungan sekitar yang mendukung produk yang
ditawarkan. Misalnya usaha fotocopy yang berdekatan dengan sekolah,
kampus atau perkantoran
7. Persaingan, yaitu lokasi pesaing. Misalnya dalam menentukan lokasi warnet,
perlu dipertimbangkan apakah daerah yang sama sudah banyak berdiri warnet
8. Peraturan pemerintah, misalnya adanya larangan untuk berjualan produk
makanan di kawasan tertentu, larangan usaha reparasi (bengkel) kendaraan
bermotor di daerah pemukiman penduduk (Tjiptono, 1997).
Pemilihan lokasi usaha untuk melakukan suatu kegiatan yang berkelanjutan
haruslah mempertimbangkan aspek-aspek penting yang berpengaruh terhadap
usaha tersebut. Pemilihan lokasi usaha berhubungan erat dengan keuntungan dan
23
keberlangsungan usaha yang dilakukan. Pemilihan usaha harus mempertimbangkan
faktor sosial, budaya, potensi, keamanan, kebijakan pemerintah dan kekurangan
dari lokasi tersebut agar meminimalisir kerugian dan pengeluaran, mengoptimalkan
keuntungan serta tidak mendapat penolakan dari mayoritas pihak yang merasa
terugikan setelah didirikan. Pemilihan lokasi juga harus beroientasi pada masa
depan selalu flexibel dengan perkembangan zaman dan budaya. Pemilihan lokasi
juga hendaknya dapat digunakan untuk expansi usaha saat berkembang.
2.6 Relokasi
Relokasi merupakan pemindahan suatu tempat ke tempat yang baru.
Relokasi adalah salah satu wujud dari kebijakan pemerintah daerah yang termasuk
dalam kegiatan revitalisasi. Revitalisasi dalam Kamus Bahasa Besar Indonesia
(KBBI) berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang
sebelumnya kurang terberdaya. Salah satu cara merevitalisasi atau membangun
pasar tradisional yang baru adalah menciptakan pasar tradisional dengan berbagai
fungsi, seperti tempat bersantai dan rekreasi bersama dengan keluarga
(Setyaningsih, 2014).
Relokasi pasar tradisional sangat berpengaruh terhadap pedagang, pedagang
harus siap dalam menjalani perubahan yang dihadapi dan beradaptasi dengan
suasana baru. Relokasi pasar yang baik memperhatikan tentang aspirasi dari
pedagang dan memikirkan aspek aspek penting yang membuat pedagang dapat
melakukan keberlanjutan usahanya.
2.7 Dampak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dampak merupakan
benturan, pengaruh kuat yang mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif).
24
Dampak juga dapat diartikan sebagai benturan yang cukup hebat antara dua benda
sehingga menyebabkan perubahan yang berarti dalam momentum sistem yang
mengalami benturan itu. Dilihat dari sisi ekonomi, dampak berarti bahwa pengaruh
suatu penyelenggaraan kegiatan terhadap perekonomian (KBBI, 2012)
Dampak diartikan sebagai hasil, akibat, baik positif maupun negatif karena
adanya suatu peristiwa. Dampak relokasi pasar dapat meliputi aspek sosial dan
ekonomi. Aspek sosial berupa hubungan sosial yang terjadi pada pedagang yang
telah mengalami relokasi serta beradaptasi dengan perubahan tersebut. Aspek
ekonomi berupa perubahan pendapatan karena adanya relokasi hal ini terjadi
disebabkan oleh pertimbangan pemikiran pedagang terhadap strategi dalam
melakukan usahanya.
2.8 Sosial
Sosial merupakan bagaimana suatu individu dapat berhubungan dengan
yang lainnya. Sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan berarti segala
sesuatu yang bertalian dengan sistem hidup bersama atau atau hidup bermasyarakat
dari orang atau sekelompok orang yang didalamnya sudah tercakup struktur,
organisasi, nilai-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya (Ranjabar,
2013).
2.9 Interaksi Sosial
Proses interaksi sosial dibagi menjadi dua bentuk yaitu interaksi sosial
asosiatif dan disosiatif. Interaksi asosiatif merupakan proses interkasi sosial yang
cenderung untuk membangun kesatuan dan kekompakan kelompok contohnya
akomodasi, akulturasi, asimilasi. Interaksi sosial disosiatif merupakan inetraksi
25
yang cenderung menghasilkan hubungan perpecahan misalnya persaingan,
kontravensi, dan konflik (Soekanto, 2012)
Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial yang perlu diketahui adalah
kerjasama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga
berbentuk pertentangan atau pertikaian (konflik). Suatu pertikaian mungkin
mendapatkan penyelesaian, dimana penyelesaian tersebut hanya akan diterima
untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Ada pula interaksi yang
menyangkut dua kebudayaaan bercampur menjadi satu, dalam hal ini dinamakan
asimilasi (Soekanto, 2012).
Suatu aktivitas jual beli merupakan interaksi sosial, minimal antara penjual
dan pembeli. Orang yang bekerja dalam sektor informal disamping bertujuan untuk
mendapatkan penghasilan, juga menjadikan pelaku usahanya memiliki suatu status
pekerjaan yang jelas yang memudahkannya untuk membangun interaksi dengan
orang lain. Sebagai upaya mencukupi kebutuhan hidup, seseorang sudah pasti harus
menjalin kerjasama antar individu, individu dengan kelompok, atau antar kelompok
dengan tujuan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan bersama (Soekanto,
2012).
2.10 Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Proses interaksi sosial dibagi menjadi dua bentuk yaitu interaksi sosial
asosiatif dan disosiatif. Interaksi asosiatif merupakan proses interaksi sosial yang
cenderung untuk membangun kesatuan dan kekompakan kelompok contohnya
akomodasi, akulturasi, asimilasi. Interaksi sosial disosiatif merupakan interaksi
yang cenderung menghasilkan hubungan perpecahan misalnya persaingan,
kontravensi, dan konflik (Soekanto, 2012).
26
Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial yang perlu diketahui adalah kerja
sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk
pertentangan atau pertikaian (conflict). Suatu pertikaian mungkin mendapatkan
suatu penyelesaian, dimana penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk
sementara waktu, yang dinamakan akomodasi (acomodation). Ada pula bentuk
interaksi yang menyangkut dua kebudayaan bercampur menjadi satu, dalam hal ini
dinamakan asimilasi (assimiliation) (Soekanto, 2012).
2.10.1 Kerjasma (Cooperation)
Kerjasama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang
perorangan atau beberapa kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa
tujuan bersama. Kerjasama timbul karena adanya orientasi orang-perorangan
terhadap kelompoknya (in-group-nya) dan kelompok lainnya (out-group).
Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang
mengancam atau tindakan-tindakan dari luar yang menyinggung kesetiaan baik
secara tradisional maupun institusional yang telah tertanam dalam kelompok, diri
seseorang atau segolongan orang (Soekanto, 2012).
Masyarakat Indonesia dikenal bentuk kerjasama dengan nama gotong-
royong. Gotong royong sendiri lahir karena adanya pandangan hidup bahwa
seseorang tidak mungkin hidup tanpa bantuan orang lain, sehingga gotong-royong
seringkali diterapkan untuk menyelenggarakan suatu kepentingan (Soekanto,
2012).
Kerjasama dibagi menjadi 5 sebagai berikut (Soekanto, 2012) :
1. Kerukunan mencakup gotong-royong dan tolong menolong
27
2. Transaksi (Bargaining) kesepakatan antara dua belah pihak atau lebih atas
barang dan jasa yang ditukarkan.
3. Kooptasi (cooptation)suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam
kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi untuk
menjaga stabilitas organisasi sehingga tidak terjadi keguncangan.
4. Koalisi (coalition) merupakan kombinasi antara dua organisasi atau lebih
yang memiliki tujuan sama.
5. Joint venture yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.
2.10.2 Persaingan (Competition)
Kompetisi merupakan bentuk interaksi sosial disosiatif yang sederhana.
Proses ini adalah proses sosial yang mengandung perjuangan untuk memperebutkan
tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya terbatas, yang semata-mata bermanfaat untuk
mempertahankan suatu kelestarian hidup (Narwoko & Suyanto, 2013).
Persaingan (competition) dapat diartikan sebagai suatu proses sosial dimana
individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan
melalui bidang-bidang kehidupan yang ada pada suatu masa tertentu menjadi pusat
perhatian umum (baik perseorangan atau kelompok) dengan cara menarik perhatian
publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan
ancaman dan kekerasan (Soekanto, 2012).
Persaingan dapat diartikan sebagai proses yang terjadi antara individu
maupun kelompok untuk saling memperebutkan tujuan yang sifatnya terbatas yang
menjadi perhatian umum tanpa menggunakan kekerasan dan ancaman. Cara yang
dilakukan untuk mendapatkan tujuan tersebut dapat melalui perhatian publik
maupun mempertajam prasangka yang telah ada.
28
2.10.3 Konflik (Conflict)
Konflik adalah suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan
orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menentang dengan ancaman
kekerasan. Walaupun bersifat kekerasan proses-proses konflik itu sering pula
mempunyai akibat-akibat yang positif bagi masyarakat. Konflik-konflik yang
berlangsung dalam diskusi, misalnya, jelas akan unggul, sedangkan pikiran-pikiran
yang kurang terkaji secara benar akan tersisih. positif tidaknya akibat konflik-
konflik memang tergantung dari persoalan yang dipertentangkan, dan tergantung
pula dari struktur sosial yang menjadi ajang berlangsungnya konflik (Narwoko &
Suyanto, 2013).
2.10.4 Akomodasi (Acomodation)
Akomodasi adalah suatu proses kearah tercapainya kesepakatan sementara
yang dapat diterima kedua belah pihak yang tengah bersengketa. Akomodasi ini
terjadi pada orang-orang atau kelompok-kelompok yang mau tak mau harus bekerja
sama, sekalipun dalam kenyataannya mereka masing-masing selalu memiliki
paham yang berbeda dan bertentangan (Narwoko & Suyanto, 2013).
Akomodasi sebagai proses sosial dapat berlangsung dalam beberapa bentuk.
Masing-masing dapat disebutkan dan dijelaskan berturut-turut sebagai berikut
(Narwoko & Suyanto, 2013).
1. Pemaksaan (coercion), ialah proses akomodasi yang berlangsung melalui
cara pemaksaan sepihak dan yang dilakukan dengan mengancam saksi. Pemaksaan
seperti ini tentu saja hanya mungkin terjadi apabila kedua belah pihak yang tengah
berakomodasi itu memiliki kedudukan sosial dan kekuatan yang tidak seimbang.
29
2. Kompromi (compromise), ialah proses akomodasi yang berlangsung dala
bentuk usaha pendekatan oleh kedua belah pihak yang sadar menghendaki
akomodasi, kedua belah pihak bersedia mengurangi tuntutan masing-masing
sehingga dapat diperoleh kata sepakat mengenai titik tengah penyelesaian.
3. Penggunaan jasa perantara (mediation), ialah suatu usaha kompromi yang
tidak dilakukan sendiri secara langsung, melainkan dilakukan dengan bantuan
pihak ketiga, yang dengan sikapnya yang tak memihak mencoba mempertemukan
dan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa atas dasar itikat kompromi kedua
belah pihak itu.
4. Penggunaan jasa penengah (arbitrate), ialah suatu usaha penyelesaian
sengketa yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga. Seperti halnya dengan
perantara, penengah ini juga dipilih oleh kedua belah pihak yang bersengketa,
hanya saja kalau perantara itu sekedar mempertumakan kehendak kompromitis
kedua belah pihak, penengah ini menyelesaikan sengketa dengan membuat
keputusan-keputusan penyelesaian atas dasar ketentuan-ketentuan yang ada.
Sebagai contoh abritatate adalah perselisihan perburuhan.
5. Peradilan (adjudication), ialah suatu usaha penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh pihak ketiga yang memang mempunyai wewenang sebagai
penyelesaian sengketa. Pengadil (hakim) tidaklah dipilah oleh pihak-pihak yang
bersengketa seperti apa yang terjadi pada proses akomodasi lewat penengah. Akan
tetapi, seperti halnya para penengah, para pengadil (adjudicator) khususnya hakim
itu selalu menggunakan aturan-aturan tertentu sebagai pangkal beranjak
penyelesaian sengketa.
30
6. Pertenggangan, adalah suatu usaha bentuk akomodasi yang berlangsung
tanpa manifestasi persetujuan formal macam apa pun. Pertenggangan terjadi karena
individu-individu bersedia menerima perbedaan-perbedaan yang ada sebagai suatu
kenyataan, dan dengan kerelaan membiarkan perbedaan itu, serta menghindari diri
dari perselisihan-perselisihan yang mungkin timbul.
7. Stalemate, adalah suatu bentuk akomodasi, di mana pihak-pihak yang
bertentangan sama-sama memiliki kekuatan yang seimbang, hingga mereka tiba
pada suatu posisi “maju tidak bisa, mundur tidak bisa”. Stalemate, adalah suatu
situasi kemacetan yang mantap, sehingga beberapa pihak mengatakan bahwa
stalemate bukanlah proses akomodasi melainkan resultant suatu proses akomodasi
2.10.5 Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi adalah proses peleburan kebudayaan, sehingga pihak-pihak atau
warga-warga dari dua-tiga kelompok yang tengah berasimilasi akan merasakan
adanya kebudayaan tunggal yang dirasakan sebagai milik bersama. Asimilasi
benar-benar mengarah kepada lenyapnya perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang
ada akan digantikan oleh kesamaan paham budayai, dan karena juga akan
digantikan oleh kesatuan pikiran, perilaku, dan mungkin juga tindakan. (Narwoko
& Suyanto, 2013).
2.11 Modal sosial
Modal sosial dalah hubungan yang terjadi dan diikat oleh adanya rasa
percaya (trust), saling pengertian ( mutual understanding), serta nilai kebersamaan
yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama
secara efektif dan efisien (Field, 2010)
31
Modal sosial atau kapital sosial merupakan investasi sosial yang meliputi
sumberdaya sosial seperti jaringan sosial, kepercayaan, nilai dan norma serta
kekuatan menggerakkan dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan
individu maupun kelompok secara efektif dan efisien (Damsar, 2016).
Modal sosial dapat didefinisikan sebagai sumber daya yang ada pada
individu atau sekelompok individu yang berfungsi sebagai perekat kesatuan
jaringan sosial. Modal sosial memberikan kekuatan kepada kelompok untuk
menjalin kerjasama demi tujuan yang akan dicapai. Terdapat tiga unsur dalam
modal sosial yaitu kepercayaan (trust), norma (norms), jaringan sosial (network).
Kepercayaan merupakan keyakinan akan hubungan seseorang atau sistem
terkait dengan berbagai hasil atau peristiwa. Dimana keyakinan tersebut
mengekspresikan suatu iman (faith).terhadap integritas cinta dan kasih orang lain
atau ketetapan prinsip abstrak (Damsar, 2016).
Nilai dan norma merupakan hal dasar yang terdapat dalam interaksi sosial.
Nilai dan norma merupakan aturan bagaimana seharusnya individu bertindak dalam
masyarakat. Nilai dapat dipahami sebagai pengukuran gagasan mengenai suatu
pengalaman apakah hal tersebut pantas atau tidak pantas berharga atautidak
berharga. Norma dapat diartikan sebagai peraturan bersama yang menuntun
peerilaku seseorang. Norma memberikan kita suatu tata cara agar individu dapat
menempatkan perilaku sesuai dengan orang lain (Damsar, 2016).
Jaringan sosial merupakan suatu ikatan simpul (individu atau kelompok)
yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial) yang diikat dengan
kepercayaan. Kepercayaan dipertahankan oleh norma antar kedua pihak. Jaringan
32
adalah hubungan kedua individu yang memiliki makna subjektif yang berhubungan
atau dikaitkan sebagai suatu simpul dan ikatan (Damsar, 2016).
Jaringan sosial terdiri atas 3 tingkatan sebagai berikut (Damsar, 2016) :
1. Jaringan mikro, merupakan jaringan sosial yang terjalin antar individu. Secara
harfiah manusia manusia tidak mungkin hidup tanpa bantuan manusia lain.
Hubungan yang terjalin secara terus-menerus dan berlangsung lama akan
menciptakan jaringan sosial diantara mereka.
2. Jaringan meso, dapat dartikan sebagai jaringan yang terjalin karena adanya
hubungan individu dengan kelompok. Contoh ikatan tersebut dapat berupa ikan
alumni, paguyuban, maupun keluarga besar.
3. Jaringan makro adalah jaringan yang timbul akibat adanya hubungan antar
kelompok maupun lebih. Jaringan makro dapat berupa ikatan antar institusi
maupun organisasi
Fungsi jaringan sosial diterima sebagai suatu sumber informasi penting
dalam mengekploitasi peluang bisnis. Jaringan tersebut beraneka ragam tergantung
pada jenis barang yang dijual sesuai dengan kepentingan untuk berdagang, selain
dengan distributor pedagang juga menjalin hubungan dengan pelanggan. Cara yang
dilakukan pedagang untuk mendapatkan pelanggan dapat berupa menggunakan
pelayanan yang baik atau memberi harga tidak terlalu mahal, dengan mendapatkan
pelanggan pedagang dapat menjual berangnya lebih banyak sehingga keuntungan
lebih besar (Rahmawati, 2017).
Hubungan interakasi dalam pasar membangun jaringan sosial diantara
lingkup ruang kerja pedagang. Jaringan sosial berfungsi sebagai pemenuhan
33
kebutuhan informasi dan kerjasama antar pedagang untuk menganalisa peluang
bisnis. Jaringan sosial
terdapat 3 jenis modal sosial yang terdapat di masyarakat diantaranya social
bounding (perekat sosial) memilik karakteristik yang ikatan modal sosial yang kuat
dalam suatu sistem kemasyarakatan bentuk sosial bounding diantaranya adat
istiadat, tradisi, norma. Social bridging (jembatan sosial) merupakan suatu ikatan
sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya.
Social bridging muncul jarena berbagai macam kelemahan yang ada di sekitarnya,
sehingga mereka memutuskan membangun kekuatan dari kelemahan. Social
linking merupakan hubungan sosial yang dikarakteristikkan melalui beberapa level
dari kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat, misalnya hubungan elit politik
dengan masyarakat umum (Field, 2010).
2.12 Ekonomi
Secara umum ilmu ekonomi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka
yang memiliki kegunaan mencapai kesejahteraan yaitu yang memiliki nilai dan
harga yang mencakup barang dan jasa yang diproduksi dan dijual oleh para pelaku
bisnis (Irfangi, 2016).
Tindakan ekonomi dapat dipandang sebagai tindakan sosial selama tindakan
tersebut memperhatikan tingkah laku orang lain. Secara umum, di kalangan
pedagang pasar tradisional terdapat interaksi sosial, hubungan sosial dan jaringan
yang dibangun untuk menopang usaha mereka (Heriyanto, 2012).
Selama pedagang melakukan kegiatan perdagangan mereka memperhatikan
dan mempelajari segala tingkah laku konsumen, untuk memenuhi kebutuhan
34
informasi mereka membuat sebuah jaringan sosial di lingkungan kerja baik dengan
penyuplai, organisasi pedagang, maupun dengan menjalin hubungan baik dengan
konsumen. Jaringan tersebut memungkinkan pedagang untuk mengantisipasi dan
membuat strategi mereka dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam segi
perdagangan maupun finansial. Strategi tersebut dapat berupa perubahan pada
kualitas maupun kuantitas.
2.13 Omzet
Penjualan merupakan kegiatan penting di dalam pemasaran. Berhasil atau
tidaknya suatu operasi bisnis tergantung pada bagian fungsi penjualan. Sebenarnya,
definisi penjualan ini cukup luas.penjualan secra sederhana dapat diartikan sebagai
aktivitas memperjualbelikan barang dan jasa kepada konsumen (Lilis & Anggadini,
2011).
Omzet penjualan pedagang di pasar tradisional adalah sejumlah uang yang
diterima oleh pedagang yang merupakan hasil dari banyaknya barang yang terjual
bisa diakumulasi dalam satu hari maupun satu bulan (Susilowati, 2015). Omzet
diteliti untuk mengetahui perbandingan sebelum dan sesudah relokasi.
2.14 Kuantitas
Menurut KBBI kuantitas adalah banyaknya benda atau sesuatu (KBBI,
2012). Dalam penelitian ini kuantitas yang dimaksud adalah jumlah barang yang
ditawarkan oleh pedagang. Perubahan ukuran bangunan dan penyediaan tempat
yang tidak sesuai dengan sebelumnya memaksa pedagang harus beradaptasi dengan
keadaan tersebut.
35
2.15 Masa Kerja
Masa kerja adalah jangka waktu atau lamanya sesorang bekerja dalam sutu
instansi , kantor, dan sebagainya (Koesindratmono & Septarin, 2011). Masa kerja
juga merupakan jangka waktu seseorang yang sudah bekerja dari pertama mulai
masuk hingga selesai bekerja. Masa kerja dapat diartikan sebagai sepenggala waktu
yang agak lama dimana seseorang tenaga kerja masuk dalam satu wilayah tempat
usaha sampai batas tertentu (Suma’mur, 2014).
Berdasarkan pada teori utility (kepuasan) dimana seorang konsumen akan
memaksimumkan kepuasannya dengan mengkonsumsi barang atau jasa. untuk
mendapatkan kepuasan maksimum. Barang dibeli dengan pendapatan yang
diperoleh dari waktu yang dicurahkan untuk bekerja. Dalam mengalokasikan waktu
individu dihadapkan pada dua pilihan yaitu bekerja dan tidak bekerja untuk
menikmati waktu luangnya ( Dewi, 2018).
Penelitian Dewi (2015) mengenai jam operasional pedagang mengalami
penurunan hal ini disebabkan oleh sepinya pengunjung pasar serta pembeli
borongan karena digantikan oleh warga biasa yang membeli barang secara eceran.
Pedagang pasar akhirnya merubah pola mereka menjadi berjualan lebih siang
menyesuaikan dengan perilaku konsumen.
Pasar tradisional merupakan sektor yang terbilang unik karena mekanisme
operasinya seperti sektor informal namun memiliki surat izin dan retribusi yang
membuatnya seperti sektor formal. Setiap pedagang memiliki tujuan yang sama
yaitu mendapatkan balas jasa (uang) dari hasil bekerja, uang digunakan pedagang
untuk mengonsumsi barang atau jasa agar kepuasan/tujuan tercapai. Dalam
36
mengalokasikan waktunya pedagang dihadapkan oleh dua pilihan yaitu bekerja atau
mengurai waktu kerjanya untuk mendapatkan kepuasan yang diinginkan.
2.16 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran menggambarkan bagaimana
keadaan pedagang yang telah mengalami kebakaran sehingga harus di relokasi
Pasar Kertosono
Kebakaran
Relokasi
Dampak Sosial Dampak Ekonomi
1. Interaksi Pedagang
2. Masa kerja
3. Tata letak kios
4. Kuantitas
5. Aksesibilitas
omzet
Turun naik
gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
37
diderah Banaran yang dianggap kurang strategis. Relokasi tersebut menyebabkan
pedagang harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru sehingga membuat
terjadi 2 dampak yaitu dampak sosial dan ekonomi. Segi ekonomi identik dengan
omzet pedagang, yang menimbulkan pemikiran bagaimana omzet ekonomi
pedagang setelah dilakukan relokasi apakah sama atau berbeda. Dampak sosial
berupa hubungan interaksi pedagang setelah di relokasi ke Jalan Ronggo Warsito,
Kelurahan Banaran, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk.