11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Amanat Kejujuran
1. Amanat
Dalam kamus istilah sastra dinyatakan bahwa amanat adalah pesan yang
disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengarnya lewat karyanya
(Sudjiman, 1986:5). Amanat merupakan bagian keseluruhan dialog dan pokok
cerita. Sebuah karya sastra ada kalanya dapat memberikan suatu ajaran moral,
atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat terdapat pada sebuah
karya sastra secara implisit atau secara eksplesit. Implicit, jika jalan keluar atau
ajaran moral itu disiratkan dalam tinkah laku tokoh menjelang cerita berakhir.
Eksplesit, jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan,
saran peringatan, nasehat, anjuran, larangan dan sebagainya berkenaan dengan
gagasan yang mendasari cerita itu (Sudjiman, 1986:24).
Pendapat di atas hampir mirip dengan apa yang dikatakan oleh Esten
(2000:22-23) menyatakan amanat merupakan pemecahan peroalan yang
terkandung dalam tema yang menyebutkan amanat merupakan unsur yang
dominan dalam sebuah cerita dan memberikan arti kepada seluruh cerita di
dalamnya. Hal ini tentunya dapat terlihat melalui pandangan hidup dan cita-cita
pengarang. Amanat dapat diungkapkan secara eksplesit (terang-terangan) dan
dapat pula secara implisit (tersirat). Bahkan ada amanat yang tidak tamat sama
sekali.
12
2. Kejujuran
Kejujuran adalah sifat yang melekat dalam diri seseorang dan merupakan
hal penting untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Tabroni
Rusyan, arti jujur dalam bahasa arab merupakan terjemahan dari kata shidiq yang
artinya benar, dapat dipercaya. Dengan kata lain, jujur adalah perkataan dan
perbuatan sesuai dengan kebenaran jujur merupakan induk dari sifat-sifat terpuji.
Jujur juga disebut dengan benar, memberikan sesuatu yang benar atau sesuai
dengan kenyataan.
Kejujuran menurut Kamus Besar Bahasa Indonseia berasal dari kata
“jujur” yang mendapat imbuhan ke-an yang artinya lurus hati, tidak berbohong,
tidak curang, tulus atau iklas. Dapat disimpulkan bahwa kejujuran adalah suatu
pernyataan atau tindakan yang sesuai dengan faktanya sehingga dapat dipercaya
dan memberikan pengaruh bagi kesuksesan seseorang. Kejujuran itu ada pada
ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu
perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batiknya.
Jujur jika diartikan secara baku adalah mengakui, berkata atau
memberikan suatu informasi yang sesui dengan kenyataan dan kebenaran. Dalam
kamus bahasa Indonesia, kata jujur berarti tidak bohong, lurus hati, dapat
dipercaya kata-katanya, tidak khianat. Jika seseorang berkata tidak sesuai dengan
kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai dengan apa
adanya, maka orang tersebut dapat dinilai tidak jujur, menipu, mungkir,
berbohong, munafik dan sebagainya. Jujur adalah karakter yang berarti berani
manyatakan keyakinan pribadi menjukkan siapa dirinya Albert(dalam
Aladin, 2014:23)
13
Sesuai kitan suci Al-Qur‟an pengertian “jujur” terkadang dalam surat Al-
Maaidah (8):
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebenaranmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
taqwa, Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allahs Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Berdasarkan definisi di atas maka pengertian jujur (kejujuran) akan tercermin
dalam perilaku yang diikuti dengan hati yang lurus (ikhlas), berbicara sesuai
dengan kanyataan salah satu unsure kekuatan spiritual, akhlak mulia, serta
kepribadian.
Menurut Albert (dalam Aladin, 2014:24) tujuan utama sebuah pendidikan
adalah membentuk kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama dan
kunci menuju keberhasilan. Melalui kejujuran kita dapat mempelajari, memahami,
dan mengerti tentang keseimbangan keharmonisan. Adapun macam-macam
kejujuran yaitu jujur terhadap peran pribadi, jujur terhadap hak dan tanggung
jawab, jujur terhadap tatanan yang ada, jujur terhadap berpikir, bersikap dan
bertindak. Kecurangan adalah sebuah bentuk ketidak jujuran yang acap kali terjadi
dalam kehidupan. Bila kejujuran sudah hilang, maka kekacauan dan
ketidakharmonisan akan menguasai situasi. Yang ada hanya rekayasa dan
manupulasi, penyerobotan hak, penindasan, dan sebagainya.
3. Jenis-jenis kejujuran
Ada beberapa bentuk atau macam kejujuran yang harus senantiasa
dilakukan oleh seorang, baik muslim atau bukan. Jujur adalah sesuatu yang sangat
penting dalam kehidupan kita. Adapun bentu, macam, dan aneka pengelompokan
14
kejujuran. Menurut yunahas Ilyas dalam (Aladin 2014:24) dipergunakan lima
makna yaitu sebagai berikut:
a. Jujur dalam Hati (Shidqu al-qalb)
Jujur dalam hati yaitu menghiasi hati dengan iman kepada Allah,
sehingga akan bersih dari hati yang kotor. Hati yang jujura akan tercermin
dalam niat yang tulus dan iklas.
b. Jujur dalam Perkataan (Shidqu al-qaul)
Jujur dalam perkataan berarti bahwa segala yang disampaikan,
pertanyaan yang diajukan, dan jawaban yang berikan, sematamata adalah
kebenaran. Orang yang jujur dalam perkataan akan dipercaya oleh siapa
saja.
c. Jujur dalam Perbuatan dan Pergaulan (Shidqu al-amal)
Jujur dalam perbuatan yaitu segala prilakunya sesuai dengan syariat
islam. Orang yang memiliki sifat ini, tidak menipu, tidak memalsu dan tidak
berkhianat, serta dalam berbuat baik tidak pernah mengharap balasan,
kecuali dari Allah.
d. Jujur dalam Kemauan (Shidqu al-,azam)
orang yang memiliki sifat jujur dalam kemauan, sebelum
melakukan tindakan akan dilakukan terlebih dahulu penilaian dan
pertimbangan, kemudian diputuskan dan diniatkan untuk melakukan
perbuatan tersebut. Jadi, kemauan tersebut dimantapkan setelah diyakini
benar manfaatnya. Setelah itu orang tersebut tidak terpengaruh oleh suara-
suara orang lain yang mengomentarinya.
15
e. Jujur dalam Kenyataan Hidup (Shidqu al-hal)
Jujur dalam kenyataan hidup yaitu bersikap apa adanya, dalam
berbuat dan berkata kapanpun dan dimanapun, tidak menambahnambah
atau mengurangi karunia Allah yang diberikan kepadanya. Jadi tidak perlu
merasa malu kalau mungkin ada kekurangan dalam diri kita dan tidak
perlu mencoba mengubahnya dengan segala upaya agar tidak terlihat oleh
orang lain.
Oemar Bakri dalam bukunya Akhlak Muslim, menjelaskan bahwa
kejujuran dibagi menjadi empat jenis. Semua jenis kejujuran tersebut
saling terkait dan berhubungan satu sama lain. Keempat jenis kejujuran
tersebut yaitu sebagai berikut:
a. Jujur dalam berpikir
Jujur dalam berpikir yaitu menjalankan hasil pemikiran dengan jujur,
tidak dipengaruhi oleh rasa takut, sombong, sehingga pikiran yang murni
itu dirubah atau disembunyikan dalam perbuatan.
b. Jujur dalam perkataan (ucapan)
Jujur dalam perkataan ialah mengatakan apa yang sebenarnya
dan berterus terang. Kebenaran yang disampaikan dapat berupa peristiwa
yang terjadi, sesuatu yang didengarl, dan sesuatu yang ada dalam pikiran.
c. Jujur dalam perbuatan
Jujur dalam amal perbuatan berarti tidak bersifat munafik, yaitu
lain di hati, lain pula dalam perkataan dan perbuatan.
16
d. Jujur dalam pergaulan
Jujur dalam pergaulan ialah berkata dan berbuat benar kepada
setiap orang dalam hidup bermasyarakat. Hubungan antara sesama
manusia di dunia ini hendaknya selalu dilandasi dengan sikap kejujuran.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis kejujuran
pada dasarnya mempunyai kesamaan yaitu mempunyai dasar kesamaan
yaitu mempunyai dasar kebenaran dan kesesuaian antara yang dilakukan,
diucapkan dan yang terdapat dalam hati.
B. Konsep Novel
1. Pengertian novel
Novel dari bahasa italia novella, yang dalam bahasa jerman novella, dan
dalam bahasa yunani novellus. Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel.
Dewasa ini istilah novella dan novella mengandung pengertian yang dengan
istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi
yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.
Novel merupakan sebuah karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek
kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus (Nurgiyantoro,
1995:9).
Danesi (2004: 178-179) menyebutkan bahwa novel menjadi bentuk narasi
yang dominan dan paling popular pada abad ke-18 dan ke-19, pada saat semakin
banyak penulis yang mendedikasikan hidupnya pada seni. Novel menjadi lebih
nyata secara psikologi, menceritakan dan seringkali mengungkapkan satir
terhadap moral dan kehidupan pada masa tersebut. Pada masa yang sama, novel
17
menciptakan genrenya sendiri, mencangkup novel didaktik, yang menurut teori
pendidikan dan politik dieksplorasi, serta novel Gothik yang bertujuan menakuti
para pembaca melalui penggambaran kejadian-kejadian supranatural yang aneh.
John Locke dalam (Priyatno, 2010:124) menekankan pentingnya belajar dari
pengalaman merupakan ajaran baru yang berkembang pada masa itu. Akibat
timbulnya pembaca karya sastra dari kalangan pengusaha, pedagang, serta
golongan menengah yang kurang menyukai puisi dan drama yang dianggapnya
kurang realistis yang masuk akal dari hidup ini. Mereka ingin membaca tentang
kehidupan orang-orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bukan
lagi mengenai pahlawan khayal yang gagah perkasa, atau penjahat ulung yang
licik, atau kehidupan raja-raja yang penuh pesona seperti puisi dan drama selama
ini. Mereka ingin melihat kenyataan hidup sehari-hari yang nyata dan juga dialami
oleh sesama mereka.
Novel seringkali digunakan untuk wadah proses kreatif pengarang
menyajikan imajinasinya dalam sebuah paragraf narasi. Cerita yang disajikan
dapat berubah kisah nyata yang kemudian diolah ataupun kisah khayalan
pengarang. Novel dan pengarang memiliki kaitan yang sangat erat. Hal ini terlihat
jika seorang pengarang tidak jarang menjadi tokoh yang diceritakan dalam novel.
Novel merupakan tipe narasi yang berpengaruh dalam sejarah manusia
ataupun kehidupan manusia. Dengan adanya novel, maka manusia akan
mempelajari tentang moral atau kehidupan yang dibeberkan dalam cerita narasi.
Dalam novel, tidak hanya cerita-cerita fiktif yang dapat dipelajari. Akan tetapi
melalui novel seseorang dapat menemukan jati diri ataupun sejarah tentang
manusia itu sendiri. Pesan-pesan yang disampaikan dalam cerita narasi dapat
18
mewakili pesan pengarang terhadap pembaca. Karakter yang ada pada novel
merupakan ciptaan dari pengarang yang bertujuan untuk menggugah pembaca
dalam memahami dan menafsirkan cerita. Pengaruh akan terpengaruh dengan
penceritaan yang dibeberkan pengarang dalam cerita narasinya. Dengan
sendirinya masyarakat atau pembaca akan terbawa perasaannya dalam pembacaan
sebuah karya sastra khususnya novel.
2. Unsur Pembangun Novel
Sehubungan dengan penciptaan novel, tidak lepas dengan sesuatu yang
terkandung di dalamnya. Dalam sebuah novel terdapat unsure-unsur yang
membangunnya. Adapun unsur-unsur yang dimaksud yaitu unsur intrinsik dan
ekstrinsik.
Unsur intrinsik dikatakan sebagai unsur yang membangun karya sastra dari
dalam. Menurut Nurgiyantoro (2013:23) unsur intrinsik adalah unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri, yang secara langsung turut serta membangun
cerita. Kepaduan antar sebagia unsure intrinsik inilah yang membangun novel
terwujud.
Unsur intrinsik pada novel meliputi tema, penokohan, alur, dan amanat.
Adapun untuk lebih jelasnya lagi yaitu sebagai berikut:
a. Tokoh/Penokohan
Membicarakan sebuah fiksi, tidak dapat terlepas dari istilah seperti tokoh
dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakteristik. Istilah
tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Watak , perwatakan dan
karakter menjunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh
19
pembaca, lebih menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak
tertentu dalam sebuah ceita (Nurgiyantoro, 2010:264-165).
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari, selalu di emban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang
mengembang perisriwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin
suatu cerita tersebut dengan tokoh. Tokoh dalam suatu cerita rekaan merupakan
unsure penting yang menghidupkan cerita. Kehadiran tokoh dalam cerita
berkaitan dengan terciptanya konflik, dalam hal ini tokoh berperan membuat
konflik dalam sebuah cerita rekaan (Nurgiyantoro, 2010:164). Pembicaraan dalam
cerita rekaan tidak dapat dilepaskan hubungannya denga tokoh, istilah „tokoh‟
menunjukan pelaku dalam cerita sedangkan „penokohan‟ menunjukkan pada sifat,
watak atau karakter yang melingkupi dari tokoh yang ada.
Bulton dalam Aminnudin (2011:79) mengungapkan bahwa cara pengarang
menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagi macam. Mungkin
pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi,
pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya,
maupun pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh mahluk lain yang diberi sifat
seperti manusia, misalnya kuncil, kucing, sepatu, dan lain-lainnya.
Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari di
sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu. Tokoh berkaitan dengan orang
atau seseorang sehingga perlu penggambarang yang jelas tentang tokoh tersebut
20
(Nurgiyantoro, 2010:173). Jenis-jenis tokoh dapat dibagi sebagai berikut.
Berdasarkan segi peranan atau tingkatnya ada dua jenis, yaitu:
1) Tokoh utama
Tokoh utama yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel
dan sangat menentukan perkembangan alur secara keseluruhan. Tokoh utama
umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh
pengarangnya. Selain itu lewat judul cerita anda juga dapat menentukan siapa
tokoh utamanya. Misalnya jika terdapat cerita judul Siti Nurbaya, maling
Kundang, dan lain-lainnya. Maka anda akan dapat segera dapat menentukan
bahwa tokoh yang namanya diangkat sebagai judul cerita itu merupakan tokoh
utama, sementara tokoh-tokoh lain yang memiliki hubungan penting denga tokoh
itu juga dapat ditentukan sebagai tokoh utama.
2) Tokoh tambahan
Tokoh tambahan yaitu tokoh yang pemunculannya lebih sedikit dan
kehadirannya jika hanya keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung atau
tidak langsung, dan tokoh tambahan hanya dibicarakan alakadarnya.
Sedangkan berdasarkan segi fungsi penempilan tokoh juga terbagi menjadi
tiga, yaitu:
a) Protagonis
Tokoh protagonis yaitu tokoh yang merupakan perwujudan nilai-nilai yang
ideal bagi pembaca. pelaku protagonis memiliki watak yang baik sehingga
disenangi oleh pembaca.
21
b) Antargonis
Tokoh antargonis pelaku yang tidak disenangi pembaca karena memiliki
watak yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca. Tokoh
antargonis merupakan tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik.
c) Figuran
Figuran yaitu tokoh yang pemunculnnya lebih sedikit dan kehadirannya jika
hanya ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung atau tidak
langsung, dan tokoh tambahan hanya dibicarakan alakadarnya (Aminudin,
2011:79).
Peran pegarang memang luar biasa dalam pengenala dan penciptaan tokoh.
Seperti yang diungkapkan Wellek dan Warren (1990:83) bahwa sastrawan
terutama pengarang itu adalah pelamun yang diterima masyarakat. Pengarang
tidak pernah merubah kepribadiannya, dan yang diubah adalah publikasi
lamunannya. Hadirnya tokoh dalam sebuah cerita bukan tanpa pertimbangan.
Pengarang selalu menyesuaikan dengan keadaan sekitar tokoh dan bagaimana
budaya yang melingkupi tokoh. Staton (dalam Nurgiyantoro, 2010:247)
menegaskan bahwa dalam penggunaan istilah karekter atau penokohan sendiri
dalam berbagai bahasa inggris mengarah pada dua pengertian yang berbeda, yaitu
sebagai tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap ketertarikan, keinginan,
emosi dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut.
Penokohan adalah penghadiran tokoh utama dalam cerita fiksi (novel)
dengan cara langsung atai tidak langsung dan memngundang pembaca untuk
menafsirkan kulitas dirinya lewat kata dan tindakannya. Adanya karakterisasi
tersebut, pembaca bias menjadi penentu, apakah yang dilakukan tokoh dalam
22
cerita tersebut baik atau buruk. Tak ubahnya sebuah lakon, karakterisasi atau
penokohan menjadi salah satu kunci untuk tindak lanjut hal yang harus dilakukan
tokoh utama.
b. Latar/Setting
Menurut Aminudin, 2011:67 seting adalah latar suatu peristiwa dalam karya
fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwah, serta memiliki fungsi fisikal
dan fungsi spikologis.
Tahap awal karya fiksi, pada umumnya beris tentang penyituasian,
penyesuaian, dan pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan.
Misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana,
tempat, mungkin juga hubungan waktu. Tahap awal suatu cerita fiksi umumnya
berupa pengenalan tokoh, tempat dan waktu. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti
jika pengenalan hanya dilakukan di awal cerita. Pengenalan juga bisa hadir di
berbagai tahap lain sesuai alur cerita. Hadirnya latar dalam sebuah cerita
membawa kesan realitas kepada pembaca, sehingga pembaca menjadi terbawa
suasana seolah-olah cerita tersebut menjadi benar terjadi. Sehungga pembaca
dipermudah untuk menciptakan daya imajinasinya (Nurgiyantoro, 2010:303).
Latar atau setting memberikan pijakan yang jelas dalam sebuah cerita.
Adanya latar tersebut, menjadi saksi setiap peristiwa yang terjadi dalam cerita.
Latar juga bisa diartikan sebagai gamabaran kapan cerita tersebut di buat,
sehingga ada latar menjadi salah satu cara pembagian periodesasi sastra.
Membaca sebuah novel, sama hanya seperti membawa diri masuk pada peristiwa
yang ada dalam cerita. Pembaca akan bertemu denga lokasi tertentu seperti nama
kota, desa, jalan, hotel, penginapan dan lainnya sesuai tempat kejadian cerita.
23
Latar tersebut secara jelas menunjuk pada lokas tertentu yang dapat dilihat dan
dirasakan kehadirannya, maka disebutlah latar tersebut sebagai latar fisik.
Penunjukan latar fisik dalam teks fiksi dapat dilakukan dengan berbagai cara
tergantung kreativitas pengarang. Selain itu terdapat pula latar yang berwujud tata
cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat
setempat, maka latar yang seperti itu disebut dengan latar spiritual. Sesuai jenis dan
unsurnya, menurut Nurgiyantoro (2010:314-322), secara umum latar terbagi
menjadi tiga unsur pokok yaitu, latar tempat, latar waktu, dan latar sosioal-budaya.
c. Alur/Plot
Alur atau plot merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mangatur
bagaimana tindakan-tindakan halus berlatian satu sama lain, bagaimana suatu
peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain. Plot sebagai peristiwa-
peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang sederhana, karena pengarang
menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita
(Aminudin, 2011:83).
Pendapat ini sejalan dengan pendapat lain yang mengemukaan bahwa alur
adalah rangkaian peristiwa yang tersusun dalam hubungan sebab-akibat
(Jabrohim, 2003:110).
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, penulis mengacu
pada pendapat Jabrohim yang menyatakan alur adalah rangkaian peristiwa yang
tersusun berdasarkan hubungan sebab-akibat. Hal ini menjadi bahan rujukan
karena sangat ringkas dan dapat dengan mudah dimengerti.
24
d. Tema
Nurgiantoro (2010:67) tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah
cerita. Untuk menentukan makna pokok dari sebuha cerita, kita perlu memiliki
sebuah kejelasan pengertian tentan makna pokok, atau tema itu sendiri. Tema
merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang
terkandung di dalam teks sebagai struktur semantic dang yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
e. Amanat
Setiap karya fiksi mengandung amanat, ajaran, ataupun pesan yang ingin
disampaikan pengarang. Hal ini yang membuat karya fiksi memiliki fungsi
sebagai pencerah. Berkat amanat yang disampaikan oleh pengarang lewat
karyanya, pembaca belajar hal baru. Seperti pendapat Harimurti Kridalaksana
(dalam Sukada, 1993:59), bahwa amanat merupakan keseluruhan makna atau isi
suatu wacana, konsep dan perasaan yang hendak disampaikan pembaca untuk
mengerti dan diterima pendengar. Menurut Sukada (1993:59) amanat (message)
merupakan bagian integral dari dialog dan tindakan tokoh cerita. Wujud amanat
berupa kata-kata mutiara, nasehat, firman tuhan sebagai petunjuk untuk
memberikan nasehat, dan sejenisnya lagi. Amanat disebut juga sebagai unsure
moral dalam sebuah karya fiksi.
Nurgiyantoro (2013:320) berpendapat bahwa moral kadang-kadang
diidentikkan pengertiannya dengan tema walau sebenarnya tidak selalu menyeran
pada maksud yang sama. moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema
dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral
(Kenny, dalam Nurgiyantoro:2013:320). Selanjutnya bahwa Kenny berpendapat
25
bahwa moral dalam cerita dimaksudkan sebagi suatu saran yang berhubungan
dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan
ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.
Nurgiyantori ( 2013:323-324) tidak membatasi jenis-jenis moral yang ada
moral dapat dicakup seluru persoalan hidup dan kehidupan, seluru persoalan
hidup yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar
persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan kedalam persoalan-
persoalan sebagai berikut. (a) hubungan manusia dengan diri sendiri, (b)
hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termaksud
hubungan dengan alam dan (c) hubungan manusia dengan tuhannya.
Berdasarkan penjelasan berbagai unsur pembengun novel di atas, dapat
disampaikan bahwa unsur-unsur seperti tema, tokoh, plot (alur), seting, plot of
view, gaya, dan amanat, merupakan suatu kesatuan yang membangun sebuah
novel menjadi sebuah totalitas karya. Semua unsure tersebut harus dipadu dengan
baik agar menjadi sebuah bacaan yang menarik dan menghibur bagi pembaca.
C. Teori Sosiologi Sastra
Sosiologi tadak bisa dilepaskan dari keadaan lingkungan manusia, sama
halnya dengan sastra karena sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat
serta usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah
masyarakat lewat jalan atau alur ceritanya. Keadaan lingkungan sosioal
masyarakatnyalah yang menjadi sasaran sastrawan untuk berkreasi untuk
membuat karya sastra yang kreatif, menarik dan imajinatif.
26
Menurut Ratna (2013:1) sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan
sastra. Sebagai berasal dari kata sosio (yunani) (socius berarti bersama-sama,
bersatu, kawan, teman) dan logo (logos berarti sebda, perkataan, perumpamaan).
Perkembangan berikutnya nebgalami perubahan makna, soio/socius berarti
masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul
dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari
keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyrakat sifatnya umum,
rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (sansekertta) berarti mengarahkan,
mengajar, memberikan petunjuk dan intruksi. Akhiran Ha berarti alat, saran. Jadi
sastra berarti kumpulan alat untuk mangajar, buku petunjuk atau buku pengajaran
yang baik.
Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai Negara dan
inovasi, maupun afirmasi, jenis merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra
mempunyai tugas penting baik dalam usahanya untuk menjadi polopor
pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala
kemasyarakatan (Ratna, 2013:334).
Diantara genre utama karya sastra yang puisi, prosa dan drama. Genre
prosalah khusunya novel. Yang dianggap paling dominan dalam menampilkan
unsur-unsur sosial. Alas an yang dapat dikemukakan antaranya: a) novel
menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling
luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahsa sehari-hari, bahasa yang paling
umum digunakan dalam masyarakat (Ratna, 2013:335).
Sosiologi sastra mempelajari hubungan yang terjadi antara masyrakat
dengan karya sastra. Menurut Ratna (2013:11) tujuan sosiologi sastra adalah
27
meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitanya dengan masyarakat,
menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas
dikontruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatif tidak dapat dipahami
di luar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual
tetapi juga gejala sosial.
Sosiologi sastra sebagai alat untuk memberikan pengarahan, pengajaran
yang mempelajari hubungan antar manusia dan masyarakat. Dalam setiap karya
sastra mengandung hal-hal yang tidak jauh dari kehidupan masyarakat yang
ditumpahruangkan baik yang perna, sedang terjadi maupun sudah terjadi dan
karya sastra khususnya novel sebagai media yang paling banyak menyajikan
masalah-masalah sosial yang ada.
Sosiologi sastra sebagai ilmu yang mendekati sastra yang berhubungan
dengan kenyataan sosial. Menurut Wellek dan Werren (1990:111) klasifikasi
sosiologi sastra meliputi tiga macam. Masing-masing klasifikasi memiliki pokok
pembahasan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Untuk lebih
jelasnya yaitu sebagai berikut.
1. Sosiologi karya
Ian Watt (dalam Damono, 1978:4), memberikan batasan pada pengertian
“cermin” karena seringkali masih kabur. Batasan yang harus diperhatikan sebagai
berikut: (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada
waktu ia ditulis sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra
sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat „lain dari pada yang lain‟
seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta dalam
karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu dan
28
bukan sikap sosial seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan
masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa percaya sebagai cermin
masyarakat.
Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari dalam penelitian ini dikaji
melalui sosiologi karya yang mengutamakan teks sastra senagai bahan
penelaan. Dengan menganalisis teks maka dapat diketahui strukturnya dan
kemudian dipergunakan untuk memahami gejala sosial di luar sastra berupa
amanat kejujuran.