BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Peranan BPN Pada Umumnya
1. Pengertian BPN (Badan Pertanahan Nasional)
Peran itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan yaitu :
suatu perangkat tingkah yang diharapkan di miliki oleh orang yang berkedudukan
dalam masyarakat. Sedangkan untuk peranan merupakan suatu tindakan yang
dilakukan oleh seorang dalam suatu peristiwa (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2007:854).
Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga pemerintah non departemen yang
mempunyai bidang tugas dibidang pertanahan dengan unit kerjanya, yaitu kantor
wilayah BPN ditiap-tiap Provinsi dan di daerah Kabupaten atau Kota yang melakukan
pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.
Lembaga tersebut dibentuk berdasarkan surat keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 26 tahun 1988 yang bertugas membantu presiden dalam mengelola dan
mengem bangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun peraturan
perundang-undangan lain yang meliputi pengaturan penggunaan, penguasaan dan
pemilikan tanah, penguasaan hak-hak tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah dan
lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan oleh presiden (Sumber: Literatur dari Badan Pertanahan Purbalingga).
Tugas pokok Badan Pertanahan Nasional adalah membantu Presiden dalam
mengelola dan mengembangkan Administrasi Pertanahan baik berdasarkan Undang-
undang Pokok Agraria maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi
pengaturan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dan lain-lain yang berkaitan
dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden
(Ali Achmad Chomzah, 2003: 9).
Tujuan dari pembangunan bidang pertanahan adalah menciptakan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat dalam rangka mencapai tujuan nasional yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata dan spiritual berdasarkan Pancasila (Ali
Achmad Chomzah, 2003: 9).
Berdasarkan KEPRES No.26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional
pada Pasal 31 mengenai tata kerjanya adalah:
a. Semua unsur di lingkungan Badan Pertanahan dalam melaksanakan tugasnya wajib
menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam lingkungan
Badan Pertanahan sendiri maupun dalam hubungan antar instansi Pemerintah untuk
kesatuan gerak sesuai dengan tugasnya.
b. Badan Pertanahan dalam melaksanakan tugas mendapatkan pembinaan dan
pengarahan dari Menteri atau Menteri-menteri yang akan ditunjuk Presiden.
Dalam melaksanakan tugas tersebut Badan Pertanahan Nasional
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut :
a. Merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan penguasaan dan penggunaan tanah;
b. Merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan
prinsip-prinsip bahwa tanah mempunyai sosial sebagaimana diatur dalam UUPA;
c. Merencanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah dalam upaya
memberikan kepastian hukum dibidang pertanahan;
d. Melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah dalam rangka memelihara tertib
administrasi dibidang pertanahan;
e. Dan melaksanakan penelitian dan pengembangan dibidang pertanahan serta
pendidikan dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan dibidang administrasi
pertanahan (Ali Achmad Chomzah, 2003:10).
Adapun dasar-dasar kebijaksanaan bidang pertanahan, antara lain:
a. Wawasan Nusantara
Bahwa seluruh bumi (tanah), air dan ruang angkasa dalam Wila yah Republik
Indonesia adalah kekayaan alam milik seluruh bangsa Indonesia, bersifat abadi
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1,4,16 dan 20 UUPA).
b. Hak Menguasai oleh Negara
Asas Domein yang dipergunakan sebagai dasar dari perundang-undangan Agraria
yang berasal dari Pemerintah jajahan, tidak dikenal dalam hukum Agraria
Nasional. Hak menguasai seluruh rakyat/bangsa Indonesia memberikan wewenang
kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia pada tingkatan
tertinggi, yaitu:
a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa
(Pasal 2 UUPA).
c. Kenyataan masih ada, serta sesuai dengan kepentingan Nasioanal Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dan tidak bertentangan dengan Undang-
undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi (Pasal 3 UUPA);
d. Fungsi sosial hak atas tanah, yaitu bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial (Pasal 6 jo. Pasal 15 dan 18 UUPA);
e. Asas kebangsaan
Yaitu bahwa hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara
Indonesia, sedangkan bagi orang asing dapat diberikan hak tertentu atas tanah
yang terbatas jangka waktu dan luasnya (Pasal 9, 17, 12 ayat 1 dan 2, 26 ayat 2,
28, 35 dan 41);
f. Persamaan Hak Warga Negara Atas Tanah
Yaitu bahwa warga Negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak dan manfaat
atas tanah (Pasal 9 ayat 2, 11 ayat 1, 13 ayat 2 dan 3, 26 ayat 1 UUPA);
g. Kewajiban Pemegang Hak Atas Tanah
Yaitu bahwa setiap orang, Badan Hukum atau Instansi yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah, wajib memanfaatkan tanah tersebut serta
menciptakan rasa keadilan sesuai dengan ketentuan peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 15 UUPA);
h. Penatagunaan Tanah dilakukan agar tanah dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan
Rakyat (Pasal 14 dan 15 UUPA).
Sasaran pembangunan bidang pertanahan adalah terwujudnya Catur Tertib
Pertanahan, yaitu:
a. Tertib Hukum Pertanahan merupakan keadaan dimana:
1. Seluruh perangkat peraturan perundang-undangan dibidang Pertanahan telah
tersusun lengkap dan komprehensip;
2. Semua peraturan perundang-undangan dibidang Pertanahan telah diterapkan
pelaksanaannya secara efektif;
3. Semua pihak yang menguasai/menggunakan tanah mempunyai hubungan
hukum yang sah yang bersangkutan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Tertib Administrasi Pertanahan merupakan keadaan dimana:
1. Untuk setiap bidang tanah telah tersedia catatan mengenai aspek-aspek ukuran
fisik, penguasaan, penggunaan, jenis hak dan kepastian hukumnya, yang
dikelola dalam sistem informasi pertanahan yang lengkap;
2. Terdapat mekanisme prosedur/tata cara kerja pelayanan dibidang pertanahan
yang sederhana, cepat dan murah tetap menjamin kepastian hukum yang
dilaksanakan secara tertib dan konsisten;
3. Penyimpanan warkah-warkah yang berkaitan dengan pemberian hak dan
pensertifikatan tanah dilaksanakan secara tertib, beraturan dan terjamin
keamanannya.
c. Tertib Penggunaan Tanah merupakan keadaan dimana:
1. Tanah telah digunakan secara lestari, optimal, serasi dan seimbang. Sesuai
dengan potensinya guna berbagai kegiatan kehidupan dan penghidupan yang
diperlukan untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional;
2. Penggunaan tanah di daerah Perkotaan telah dapat menciptakan suasana yang
aman, tertib, lancar dan sehat;
3. Tidak terdapat pembentukan kepentingan antar sektor dalam peruntukan
tanah.
d. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup, merupakan keadaan dimana:
1. Penanganan bidang pertanahan telah dapat menunjang kelestarian lingkungan
hidup;
2. Pemberian Hak Atas Tanah dan pengarahan penggunaannya telah dapat
menunjang terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan;
3. Semua pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah telah
melaksanakan kewajiban sehubungan dengan pemeliharaan tanah tersebut
(Ali Achmad Chomzah, 2003: 19).
2. Tanah Pada Umumnya
Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam
penggunaannya perlu diberi batasan, agar di ketahui dalam arti apa istilah tersebut
digunakan. Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis,
sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-undang Pokok
Agraria.
Dalam Pasal 4 dinyatakan, bahwa Atas dasar hak menguasai dari Negara....
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada oleh orang-orang...... Dengan demikian jelaslah, bahwa
tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas
tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi
dua dengan ukuran panjang dan lebar (Boedi Harsono, 2007:18).
Tanah hanya merupakan salah satu bagian dari bumi, disamping ditanam dibumi
juga ditubuh bumi. Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 PP 24 Tahun 1997, maka dinyatakan
bahwa ”bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang
yang terbatas, dan itu saja yang merupakan obyek dari pendaftaran tanah di Indonesia
(Parlindungan, 1999:20).
Tanah juga memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat penting dalam berbagai
kehidupan, terlebih lagi sebagai tempat bermukim atau perumahan. Maraknya
pembangunan di berbagai bidang kehidupan, menyebabkan tanah menjadi komoditi
yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan sulit dikendalikan (Ditulis
oleh: Kepala Seksi Sengketa, konflik dan perkara, Kantah Kab. Tasikmalaya, 2010).
Menurut Aryanto Sutadi (Deputi V BPN-RI), dalam raker BPN-RI Bidang
PPSKP (2010), mengemukakan sumber- sumber konflik tanah meliputi :
a. Perubahan status tanah paska kemerdekaan;
b. Harga tanah terus meningkat;
c. “Ketidakadilan” penguasaan tanah;
d. Rendahnya pemahaman tentang hak tanah;
e. Pendaftaran tanah, baru sebagian;
f. Mafia pertanahan (swasta/oknum pegawai).
Dikemukakan pula pemicu timbulnya masalah atau konflik tanah antara lain :
a. Tanah ditelantarkan;
b. Perubahan status tanah tanpa dokumen syah;
c. Tindak pidana obyek tanah dan dokumen;
d. Penyimpangan atau KKN terutama sisa masa lalu.
Secara garis besar, peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi
empat, yakni :
a. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan dan lain-
lain;
b. Masalah-masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan tentang
landreform;
c. Akses-akses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan;
d. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah (Maria SW, 2001: 15).
Konflik dan sengketa pertanahan mengandung beberapa hal, yakni:
a) Keterlibatan aktor ekonomi, politik dan sosial yang kuat;
b) Memiliki durasi waktu yang sangat lama;
c) Adanya persoalan administrasi (Proses ajudikasi yang carut marut);
d) Juga kasus- kasus lebih rumit bisa ditemukan di areal kehutanan yang
dialihfungsikan ke perkebunan. Sebab, acapkali izin lokasi perkebunan yang
diberikan Pemda hanyalah kedok perusahaan dalam mengambil hasil kayu.
Penyelesaian ini lebih rumit sebab selain aturan hukum kehutanan dan pertanahan
yang saling menegasikan, kasus seperti ini juga bertali temali dengan ke
pentingan buruh terbang, masyarakat adat (kampung) hingga dana reboisasi dan
rehabilitasi lahan yang kesemuanya menggiurkan;
e) Melibatkan sebagian masyarakat korban yang awam hukum positif namun pada
kenyataannya telah menguasai tanah tersebut secara turun temurun;
f) Dengan tidak menafikan aturan- aturan hukum positif, konflik dan sengketa
pertanahan memiliki model pembuktian yang berbeda dengan jenis sengketa
lainnya (Maria SW, 2001: 10).
3. Sumber-sumber Hukum Tanah Nasional
Adapun sumber-sumber Hukum Tanah Nasional di Indonesia yang berupa
norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, sebagai berikut:
1. Sumber-sumber hukum yang tertulis:
a. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3);
b. Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No.5 Tahun 1960);
c. Peraturan-peraturan pelaksana UUPA;
d. Peraturan-peraturan yang bukan pelaksana UUPA, yang dikeluarkan sesudah
tanggal 24 September 1960 yang karena sesuatu masalah perlu diatur;
e. Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku berdasarkan
ketentuan pasal-pasal peralihan.
2. Sumber-sumber hukum yang tidak tertulis:
a. Norma-norma Hukum Adat yang sudah di-saneer;
b. Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan praktik Administrasi
(Adrian Sutedi, 2007:37).
Berdasarkan PP No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau PP No.24
tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ada 2 cara pendaftaran tanah, yaitu :
1) Pendaftaran Tanah Secara Sistematik
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua
obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu desa atau kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik
didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah
yang ditetapkan oleh Menteri. Karena pendaftaran tanah secara sistematik
dilaksanakan atas prakarsa Pemerintah, maka kegiatan tersebut didasarkan
pada suatu rencana kerja yang ditetapkan oleh Menteri.
2) Pendaftaran Tanah Secara Sporadik
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara
individual atau massal. Jadi untuk pendaftaran tanah secara sporadik
dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Selain itu pula pendaftaran tanah juga diselenggarakan oleh Badan
Pertanahan Nasional yaitu sebuah lembaga pemerintah Non Departemen
yang bidang tugasnya meliputi bidang pertanahan. Kantor Pertanahan
merupakan unit kerja Badan Pertanahan Nasional diwilayah kabupaten atau
kotamadya, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan
daftar umum pendaftaran tanah. Dalam melaksanakan tugasnya, BPN dibantu
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT yaitu pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta atas tanah
(Florianus SP Sangsun, 2007:19).
BAGAN 1: TAHAP PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA KALI
(Sumber: Florianus SP Sangsun, 2007: 53)
Pembuktian dan pembukuan hak
Penerbitan Sertifikat
Pembuatan surat ukur
Mengajukan Permohonan ke BPN
Penempatan Batas oleh Pemegang Hak (Pemilik)
Penetapan Batas Bidang Tanah oleh BPN/Panitia Ajudikasi
Pengukuran dan pemetaan dalam peta dasar pendaftaran
Pembuatan Daftar Tanah
4. Pengukuran Tanah
1) Pengukuran dan Pemetaan
Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik pertama-tama
dilakukan suatu kegiatan pengukuran dan pemetaan yang meliputi:
a. Pembuatan peta dasar pendaftaran;
b. Penetapan batas bidang-bidang tanah;
c. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran.
d. Pembuatan daftar tanah; dan
e. Pembuatan surat ukur.
2) Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran
Kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik dimulai dengan pembuatan
peta dasar pendaftaran. Di wilayah-wilayah yang belum ditunjuk sebagai wilayah
pendaftaran tanah secara sistematik oleh Badan Pertanahan Nasional diusahakan
tersedianya peta dasar pendaftaran untuk keperluan pendaftaran tanah secara
sporadik.
Untuk keperluan pembuatan peta dasar pendaftaran, Badan Pertanahan
Nasional menyelenggarakan pemasangan, pengukuran, teknik nasional di setiap
Kabupaten. Pengukuran untuk pembuatan peta dasar pendaftaran diikatkan
dengan titik-titik dasar teknik nasional sebagai kerangka dasarnya.
Jika di suatu daerah tidak ada atau belum ada titik-titik dasar teknik
nasional, dalam melaksanakan pengukuran untuk pembuatan peta dasar
pendaftaran dapat digunakan titik dasar lokal tekhnik yang bersifat sementara,
yang kemudian diikatkan dengan titik dasar teknik nasional. Jadi sebuah peta
dasar pendaftaran menjadi dasar untuk pembuatan peta pendaftaran.
1) Penetapan Batas Bidang-bidang Tanah
Bidang-bidang tanah yang akan dipetakan, diukur, setelah ditetapkan
letaknya, batas-batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda
batas di setiap sudut bidang tanah yang bersangkutan dengan maksud untuk
memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah. Dalam penetapan
batas bidang tanah diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak
yang berkepentingan.
Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib dilakukan
oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Berdasarkan penunjukkan batas
oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui
oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan, maka Kepala Kantor
Pertanahan melakukan penetapan batas bidang tanah yang sudah dimiliki dengan
suatu hak (yang belum terdaftar atau sudah terdaftar tetapi belum ada surat
ukur/gambar situasinya atau surat ukur/ gambar situasi yang ada tidak sesuai
lagi dengan keadaan yang sebenarnya ).
Jika pada waktu yang telah ditentukan, pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan atau para pemegang hak atas tanah tidak hadir setelah dilakukan
pemanggilan, pengukuran bidang tanahnya untuk sementara dilakukan
berdasarkan batas-batas tanah yang bersangkutan.
2) Penerbitan Sertifikat
Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan
sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.
Jika di dalam buku tanah terdapat catatan-catatan menyangkut data yuridis, atau
data fisik maupun data yuridis maka penerbitan sertifikat ditangguhkan sampai
catatan yang bersangkutan dihapus.
Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum
dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau kepada pihak
lain yang dikuasakan olehnya. Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun kepunyaan bersama beberapa orang atau badan hukum diterbitkan
satu sertifikat, yang diterimakan kepada salah sattu pemegang hak bersama atas
penunjukkan tertulis para pemegang hak bersama yang lain.
Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan
bersama dapat diterbitkan sertifikat sebanyak jumlah pemegang hak bersama
untuk diberikan kepada tiap pemegang hak bersama yang bersangkutan, yang
memuat nama serta besarnya masing-masing dari hak bersama tersebut.
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat
didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data
yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Apabila atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas
nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan iktikad
baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai
hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan tersebut apabila dalam
waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut (Boedi Harsono,
2007:488).
Adapun prosedur penerbitan sertifikat tanah berdasarkan Pasal 32 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan bahwa :
a. Sertifikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai
alat bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat
didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data
yang ada dalam surat ukur dalam buku tanah hak yang bersangkutan;
b. Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama
orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik
dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak
atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak atas tanah tersebut
apabila dalam waktu 5 tahun sejak terbitnya sertifikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor
pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan
kepengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut;
c. Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum
dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau pihak lain
yang dikuasakan olehnya. Dalam hal, pemegang hak sudah meninggal dunia,
sertifikat diterimakan kepada ahli warisnya atau salah seorang ahli waris
dengan persetujuan para ahli waris yang lain.
Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah
membuktikan haknya. Oleh karena itu sertifikat merupakan alat pembuktian yang
kuat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 UUPA. Sehubungan dengan itu
apabila masih ada ketidakpastian mengenai hak atas tanah yang bersangkutan, yang
ternyata dari masalah adanya catatan dalam pembukuannya, pada prinsipnya
sertifikat belum dapat diterbitkan. Namun apabila catatan itu hanya mengenai data
fisik yang belum lengkap, tetapi tidak disengketakan, sertifikat dapat diterbitkan.
Dalam hal untuk mendapatkan suatu jaminan kepastian hukum atas bidang
tanah, di perlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, jelas, dan di laksanakan
secara konsisten sesuai dengan jiwa isi ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Dokumen-dokumen pertanahan sebagai hasil proses pendaftaran tanah adalah
dokumen tertulis yang memuat data fisik dan data yuridis tanah bersangkutan.
Dokumen-dokumen hukum yang berkaitan dengan tanah sebagai berikut :
a. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana yang di maksud dalam Pasal
19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf,
hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing
sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan;
b. Buku Tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan
data fisik suatu obyek pendaftaran yang sudah ada haknya;
c. Peta dasar pendaftaran adalah peta yang memuat titik-titik bidang dasar teknik
dan unsur-unsur geografis, seperti sungai, jalan, bangunan dan batas fisik
bidang-bidang tanah;
d. Peta pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang-bidang tanah untuk
keperluan pembukuan tanah;
e. Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas bidang
tanah dengan suatu sistem penomoran;
f. Surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah
dalam bentuk peta dan uraian;
g. Daftar nama adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat keterangan
mengenai penguasaan tanah dengan sesuatu hak atas tanah,atau hak pengelolaan
dan mengenai pemilikan hak milik atas satuan rumah susun oleh orang
perseoarangan atau badan hukum tertentu (Florianus SP Sangsun, 2007: 21-53).
Untuk mengetahui prosedur penerbitan sertifikat hak atas tanah maka
dibawah ini ada beberapa cara yang biasa ditempuh oleh pemohon untuk
memperoleh sertifikat tanah, yakni :
a) Pendaftaran tanah dilakukan dengan cara pemohon sertifikat mendatangi kantor
pertanahan dan mengajukan permohonan seraya menyerahkan berkas
permohonan serta persyaratan kelengkapan seperlunya termasuk surat kuasa dari
pemilik (jika pemohon mengurus tanah orang lain) dan membayar sejumlah
biaya yang telah ada daftar tarifnya sesuai luas tanah pemohon proses
pembayaran berlangsung di loket khusus gedung kantor pertanahan;
b) Pemohon menunjukkan batas-batas bidang tanah yang diklaim sebagai hak milik
dilapangan kepada petugas kantor pertanahan setelah pemohon menerima surat
atau pemberitahuan permintaan untuk itu dari kepala kantor pertanahan;
c) Pemohon mengisi dan menandatangani berita acara mengenai data fisik dan data
yuridis hasil pengukuran dan pemeriksaan petugas kantor pertanahan dihadapan
petugas kantor pertanahan.;
d) Pemohon menunggu terbitnya sertifikat hak milik tanah sekurang- kurangnya
selama 60 hari sejak berakhirnya langkah ketiga diatas. Waktu penantian 60 hari
tersebut diperlukan oleh kantor pertanahan guna mengumumkan data fisik dan
data yuridis bidang tanah pemohon pada papan pengumuman di kantor
pertanahan dan kantor desa atau kelurahan atau atas biaya dapat diumumkan
melalui iklan atau surat kabar daerah;
e) Pemohon menerima sertifikat hak milik atas tanah di kantor pertanahan dari
pejabat yang berwenang, setelah pemohon sebelumnya menerima surat
panggilan atau pemberitahuan dalam bentuk lain dari kantor pertanahan untuk
itu (http://www.ten tangsertifikat.com).
Adapun suatu pendaftaran tanah menurut PP No.24 Tahun 1997 Pasal 3,
bertujuan sebagai berikut :
1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan;
2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
3) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Setiap bidang tanah dan
satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun (Parlindungan, 1999: 9).
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau,
mutakhir, dan terbuka sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 PP No. 24
Tahun 1997 dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-
ketentuan pokok maupun prosedurnya mudah di pahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah;
b. Asas aman menunjukkan pendaftaran tanah perlu diseleng garakan secara teliti
dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum
sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri;
c. Asas terjangkau menunjuk pada keterjangkauan bagi pihak-pihak yang
memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang
memerlukan;
d. Asas mutakhir menunjuk pada kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Yang
tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti
kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi
kemudian hari;
e. Asas terbuka menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus
menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor
Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata dilapangan, dan masyarakat
dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat (Florianus
SP Sangsun, 2007: 18).
B. Masalah Sertifikat Ganda Atas Tanah
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak atas tanah, suatu pengakuan dan
penegasan dari negara terhadap penguasaan tanah secara perorangan atau bersama atau
badan hukum yang namanya ditulis didalamnya dan sekaligus menjelaskan lokasi, gambar,
ukuran dan batas-batas bidang tanah tersebut. Dalam bahasa Inggris sertifikat hak atas
tanah disebut dengan “title deed”, sedangkan penguasaan hak atas tanah disebut “land
ownership” dan bidang tanah sering disebut dengan “parcel atau plot”.
Berdasarkan definisi formalnya bahwa: ”sertifikat adalah surat tanda bukti hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak
pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang
masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”, yang juga
berdasarkan Pasal 1 angka 20 PP 24/1997 (Herman Hermit, 2004: 29).
Pengertian sertifikat ganda atas tanah pada umumnya adalah suatu kejadian di
mana sebidang tanah memiliki dua sertifikat tanah yang dimliki oleh dua orang yang
berbeda (Diyan Kusalawati, S.H, M.HUM seksi sengketa, konflik dan perkara BPN
Purbalingga).
Seksi sengketa, konflik dan perkara pertanahan kantor BPN Purbalingga Diyan
Kusalawati, SH, M.H mengungkapkan, ada dua penyebab sehingga terjadi sertifikat ganda.
Pertama, karena masalah teknis dan kedua karena masalah non-teknis. Masalah teknis,
karena saat melakukan pengukuran tanah, bisa jadi petugas tidak begitu jeli. Akibatnya
ketika sedikit saja melenceng, maka akan "memakan" tanah di sampingnya. Kalau lahan
tidak begitu luas, mungkin tak begitu menjadi persoalan, namun kalau lahan yang diukur
sangat luas, maka akan ada masalah besar.
Sedang terbitnya sertifikat ganda akibat non-teknis karena ada niat jahat dari salah
satu pihak. Ini juga seringkali terjadi di mana-mana. Ada unsur kesengajaan untuk
memaksa agar sertifikat terbit meski sebelumnya sudah ada sertifikatnya.
Adapun tujuan dari pembuatan sertifikat menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah
No.24 tahun 1997, adalah:
a) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak
atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak yang terdaftar agar dengan
mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar;
c) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Sertifikat Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah atau juga disebut Sertifikat Hak
terdiri dari salinan Buku Tanah atau Surat Ukur yang di jilid dalam satu sampul. Sertifikat
tanah memuat hal-hal berikut:
a. Data Fisik: letak, batas-batas, luas, keterangan fisik tanah dan beban yang ada diatas
tanah;
b. Data yuridis: jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak
pengelolaan) dan siapa pemegang haknya.
Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dalam Pasal 32 ayat
(1) yang menjelaskan bahwa:” Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada
dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan ”.
Seperti dimaklumi bahwa untuk penerbitan sertifikat diperlukan suatu proses yang
melibatkan pihak pemohon, para pemilik tanah yang bersebelahan, pamong desa maupun
pihak instansi yang terkait untuk memperoleh penjelasan dan surat-surat sebagai alas hak
yang berhubungan dengan permohonan penerbitan sertifikat tersebut. Penjelasan baik lisan
maupun tertulis dari pihak terkait memiliki peluang untuk terjadinya pemalsuan,
kadaluwarsa bahkan adakalanya tidak benar atau fiktif sehingga timbul sertifkat cacat
hukum (http://www.hukumtanah.com).
Perlindungan diatas dapat diberikan jika setiap sertifikat atas tanah yang terbit
diketahui dengan pasti letak atau lokasinya dimuka bumi. Dengan demikian setiap usaha
untuk mensertifikatkan tanah yang sama dapat segera diketahui dan dicegah oleh BPN.
Akan tetapi masih saja ada tanah bersertifikat yang tidak diketahui lokasinya yang
disebabkan oleh ketidaktersediaan peta.
Peta disini merupakan informasi penting yang menggambarkan letak seluruh
bidang tanah dipermukaan bumi. Jika sebuah sertifikat yang diterbitkan tidak dipetakan
dalam sebuah peta akibat tidak adanya sarana pada saat itu, maka bidang tanah itu
memiliki potensi untuk lahir sertifikat ganda. Dalam hal seseorang dengan bukti-bukti
tanah yang meyakinkan meminta pembuatan sertifikat di BPN, maka tidak ada bukti yang
kuat untuk mencegah lahirnya sertfikat ganda (http://www.tentangsertifikat. com).
Adapun akibat hukum dari sertifikat ganda adalah :
a) Terjadi kekacauan kepemilikan;
b) Terjadi sengketa hukum;
c) Terjadi ketidakpastian hukum;
d) Terjadi tindak pidana atas pemakaian sertifikat yang palsu yang merugikan pemilik
sertifikat asli ataupun pihak lainnya;
e) Ketidakpercayaan masyarakat terhadap sertifikat (http://www.sertifikatganda.com).
Adapun pendapat para ahli hukum mengenai definisi sertifikat ganda atas tanah,
antara lain :
1. Menurut Edi Prajoto (2006: 24) sertifikat ganda adalah bahwa kantor pertanahan
menerbitkan dua sertifikat untuk satu objek tanah yang diberikan kepada dua subjek
hukum yang sama- sama mengakui sebagai pemiliknya.
2. Menurut Soegiarto (2000: 115) sertifikat ganda adalah sertifikat yang diterbitkan lebih
dari satu pada satu bidang tanah oleh kantor pertanahan, sehingga mengakibatkan ada
kepemilikan bidang tanah hak yang saling bertindih, seluruhnya atau sebagian.
3. Menurut Kartasaputra (2005: 120) sertifikat ganda adalah surat atanda bukti
kepemilikan hak atas tanah yang diterbitkan oleh lembaga hukum BPN yang terbit
diatas satu objek hak yang bertindih antara satu objek tanah sebagian atau keseluruhan,
yang dapat terjadi suatu akibat hukum.
4. Menurut Parlindungan (1990: 113) sertifikat ganda adalah surat kete rangan
kepemilikan (dokumen) dobel yang diterbitkan oleh badan hukum yang mengakibatkan
adanya pendudukan hak yang saling bertindihan antara satu bagian atas sebagian lain.
Adapun beberapa faktor penyebab sehingga terjadinya sengketa atau masalah
sertifikat ganda atas tanah :
1. Adanya faktor salah tunjuk dalam memberikan penunjukkan batas-batasan tanah yang
akan diukur;
2. Pada saat diukur tidak dihadiri oleh tetangga sebelah atau yang berbatasan, sehingga
menimbulkan kesalahan penunjukkan batas tanah yang akibatnya menyebabkan
tumpang tindih sertifikat atau bidang tanah yang lain;
3. Faktor kesalahan pendataan baik data fisik maupun data yuridis dari pemohon dan
kurangnya ketelitian pada saat akan dilakukan suatu pengukuran dan pemeriksaan dari
orang itu sendiri (Wawancara dengan Ibu Diyan Kusalawati, S.H, M.HUM pegawai
BPN Purbalingga).
Terjadinya sertifikat ganda atau tumpang tindih pada waktu sebelum keluarnya
peraturan Kepala BPN disebabkan oleh :
a. Belum tertibnya administrasi pertanahan di tingkat kelurahan;
b. Belum tersedianya Peta Dasar Pendaftaran Tanah yang lengkap;
c. Ketidaktaatan asas teknis pengukuran sesuai dengan petunjuk Peraturan Kepala Badan
No. 3 tahun1997 (Edi Prajoto, 2006: 54).
Adapun cara untuk mengatasi terjadinya sertifikat ganda atas tanah, antara lain :
a. Penertiban administrasi pertanahan di tingkat kelurahan dalam hal ini menyangkut
obyek dan subyek tanah sehingga diperlukan penyuluhan sosialisasi administrasi
pertanahan kepada perangkat kelurahan;
b. Adanya peta tunggal yang telah mempunyai koordinat Nasional;
c. Meningkatkan pengawasan terhadap petugas ukur dalam pelaksanaan petunjuk teknis
(Edi Prajoto, 2006: 43).
Ada pula beberapa tipologi sengketa dibidang pertanahan yang marak menjadi
perhatian dewasa ini adalah :
a. Pendudukan tanah perkebunan atau non perkebunan atau tanah kehu tanan dan atau
tanah aset Negara/pemerintah, yang dianggap tanah terlantar;
b. Tuntutan pengembalian tanah atas dasar ganti rugi yang belum selesai, mengenai tanah-
tanah perkebunan, non perkebunan, tanah bekas tanah partikelir, bekas tanah hak barat,
tanah kelebihan maksimum dan pengakuan hak ulayat;
c. Tumpang tindih status tanah atas dasar klaim bekas eigendom, tanah milik adat dengan
bukti girik dan tanah obyek landreform dan lain-lain;
d. Tumpang tindih putusan pengadilan mengenai sengketa tanah (Edi Prajoto, 2006: 33).
C. Penyelesaian Masalah Hak Atas Tanah Bersertifikat Ganda
Adapun mengenai penyelesaian masalah hak atas tanah yang bersertifikat ganda
meliputi beberapa hal, yakni :
a. Sengketa pertanahan biasanya diketahui oleh Badan Pertanahan Nasional dengan
adanya pengaduan;
b. Adanya pengaduan ditindaklanjuti dengan mengidentifikasi masalah, untuk mengenali
masalah tersebut menjadi kewenangan Badan Perta nahan Nasional;
c. Meneliti permasalahan yang menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional, untuk
membuktikan kebenaran pengaduan , serta menentukkan apakah pengaduan yang
bersangkutan beralasan untuk diproses lebih lanjut;
d. Jika hasil penelitian perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan data fisik dan
administrasi serta yuridis, maka kepala kantor pertanahan dapat mengambil langkah-
langkah pengamanan berupa pencegahan mutasi (status quo);
e. Jika permasalahan bersifat strategis, maka diperlukan pembentukkan tim terpadu dari
beberapa unit kerja, jika bersifat politis, sosial, ekonomis, maka tim melibatkan lembaga
lain, seperti DPR, Departemen dalam Negeri (DEPDAGRI), Pemerintah Daerah dan
instansi terkait lainnya (http://www.penyelesaiansengketatanah.com).
Kepastian hukum kepemilikan tanah dengan sertifikat ganda, terdiri dari dua hal
yaitu:
1. Dilihat dari pentingnya hubungan tanah bagi eksistensi kelangsungan hidup manusia
ditinjau dari segi : sosial, budaya, religius, ekonomi.
Maka sesuai dengan pasal 19 UUPA (UU no. 5 Tahun 1960) yang mengatur tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Di Bidang Agraria, memerintahkan untuk diselenggarakan
pendaftaran tanah dalam upaya menjamin kepastian hukum hak atas tanah.
2. Untuk melaksanakan pendaftaran tanah diatas, berdasarkan peraturan pemerintah (PP
No. 24 Tahun 1997) dimana sistim pendaftaran tanah yang dianut yaitu : ”positif
bertendensi negatif” dimana sertifikat sebagai bukti kepemilikan sebidang tanah oleh
badan hukum adalah merupakan bukti yang ”kuat” jadi bukan merupakan bukti yang
bersifat mutlak (final).
Oleh karena itu , sebaiknya tanah milik kita harus segera disertifikat kan agar
kepemilikan atas tanah dijamin kepastian dan perlindungannya oleh hukum dari tangan-
tangan yang jahat para pembuat sertifikat ganda. Sebab jika sudah disertifikatkan atas
nama orang lain, maka kita akan direpotkan untuk menggugatnya, terlebih jika umur
dari sertifikat tersebut sudah lama. Akan tetapi jika tanah kita sudah dibuatkan
sertifikat, maka jika ada yang akan mencoba menggandakan sertifikat atas tanah kita
tersebut, kita tidak perlu khawatir karena semua data fisik objek tanah maupun data
yuridis kepemilikan tanah kita yang telah disertifikatkan oleh Kantor Pertanahan pasti
tersedia secara otentik di Kantor tersebut.
D. Penyelesaian Sengketa Tanah Dengan Cara Mediasi
Penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga diluar peradilan atau non litigasi
disebut arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute
Resolution sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.30 tahun 1999. Salah satu cara
penyelesaian alternative tersebut antara lain:
1) Mediasi adalah salah satu proses alternative penyelesaian masalah dengan bantuan
pihak ketiga (mediator) dan prosedur yang disepakati oleh para pihak dimana mediator
memfasilitasi untuk dapat tercapai suatu solusi (perdamaian) yang saling
menguntungkan (win-win solution).
2) Mediator adalah orang/pejabat yang ditunjuk dari jajaran BPN-RI yang disepakati oleh
para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahannya. Mediator disini
dapat berupa:
a. Mediator Jaring Sosial (Social Network Mediator); biasanya tokoh-pemuda dll.
Dari segi ini diharapkan suatu kasus yang akar masalahnya menyangkut hal-hal
yang berkaitan dengan ruang lingkup diatas dapat dilakukan mediasi oleh mediator
dimaksud. Misalnya sengketa/perselisihan pengadaan tanah dimana diperlukan
tokoh masyarakat yang berpengaruh di daerah tersebut, diikut sertakan dalam
penyuluhan dsb.
b. Mediator Pejabat yang berwenang (Authoritative Mediator); mediator ini misalnya
pejabat yang memiliki kompetensi di bidang sengketa yang ditangani dengan
pengetahuan yang memadai oleh karena ia harus mampu untuk menjelaskan
perannya dalam mediasi tersebut kepada para pihak. Misalnya: Kepala BPN-RI,
Kepala Kanwil BPN Propinsi, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten segera dapat
mengambil keputusan sesuai wenangnya apabila diperlukan.
c. Mediator Independen (Independent Mediator); adalah seorang yang memang
berprofesi sebagai mediator, mempunyai legitimasi, dan mampu untuk bernegosiasi
(negosiator), konsultan hukum, pengacara dan arbiter.
3) Pelaksanaan / Mekanisme Mediasi
Agar suatu kegiatan mediasi memiliki syarat formal, maka setiap mediasi yang
dilaksanakan oleh pejabat/pegawai ditunjuk dengan surat tugas/perintah dari Kepala
Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi atau Kepala BPN-RI,
sebagai pejabat yang memiliki authoritative (BPN-RI Petunjuk Teknis No.05/Juknis/D.
V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi).
Mediasi dimasa yang akan datang, harus meliputi hal-hal berikut, antara lain:
1. Strength (Kekuatan); akhir-akhir ini telah terbangun data peta permasalahan dan
akar masalahnya. Peta masalah ini bahkan sudah terbangun dalam system
tatalaksana penyelesaian sengketa (Justitia) sehingga baik segala keperluan dalam
baik dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan dapat dilakukan
dengan cepat dan akurat. Payung hukum dan dukungan kelembagaan sebagaimana
ketentuan Perpres No.10 tahun 2006 dan Keputusan Kepala BPN No.34 tahun 2007
sudah cukup memadai sebagai landasan operasional.
2. Weakness (Kelemahan); kesiapan sumber daya manusia teru tama aparat pelaksana
tugas jajaran kedeputian PPSKP dari tingkat Pusat sampai dengan Propinsi dan
Kabupaten belum banyak memahami tugas yang dihadapi (menganggap bertugas di
unit PPSKP sebagai buangan atau hukuman). Disamping itu belum dimilikinya
pola yang spesifik dalam menjalankan tugas pena nganan dan penyelesaian
sengketa pertanahan ini belum terwujud. Taktik dan strategi penyelesaian yang di
Jepang disebut WAKAI (rekonsiliasi) sebagai terobosan penyelesaian sengketa
belum disusun didalam langkah mediasi kita.
3. Opportunity (Peluang); kepercayaan (trust) dari masyarakat mulai meningkat
dengan diperkenalkannya “produk” baru dari BPN-RI seperti Program Pembaruan
Agraria Nasional (Reforma Agraria) dan Pelayanan Masyarakat dibidang
pertanahan (Larasita) dsb. Selain itu dari hasil evaluasi Operasi Tuntas Sengketa
(Optasta) sampai dengan pertengahan tahun 2008 ternyata 40% yang diselesaikan
adalah melalui kegiatan mediasi.
4. Threat (Tantangan); sebaran kasus yang dihadapi oleh BPN-RI sebagai tunggakan
masa lalu masih belum bergeser jauh dari jumlah data tahun 2007 yaitu 7.491
kasus. Untuk mengatasi ini perlu satu pemikiran-pemikiran baru dengan menyusun
kebijakan-kebijakan baru yang tidak hanya menumpas jumlah kasus tapi juga
harus
menciptakan kebijakan yang mencegah agar sengketa tanah tidak bertambah
(Yoshiro Kusano, 2008:13).
Mekanisme Mediasi terdiri dari kegiatan persiapan dan pelasanaan, antara lain:
a. Identifikasi masalah dan kemungkinan untuk diselesaikan, penyi apan bahan,
menguasai substansi permasalahan, kemungkinan ada pihak-pihak yang terkait
misalnya: obyek sengketa dalam pembebanan hak tanggungan, penggarapan dll,
menentukan waktu dan tempat mediasi;
b. Menyiapkan undangan untuk para pihak agar sampai kepada principal. Dan menata
tempat pertemuan dengan beberapa pertimbangan psikologis para pihak;
c. Dalam pelaksanaan dimulai dengan menciptakan suasana yang kondusif dan
menjelaskan kepada para pihak dengan jernih dan menggambarkan sifat tidak
memihak, memfasilitasi semua kehendak, mencampuri sebatas wewenang yang
ada pada seorang authorisator;
d. Mengklasifikasikan para pihak sejauh mana tingkat pemahaman mediasi, apa yang
boleh dan apa yang dilarang para pihak misalnya: memaksa pihak lawan untuk
memperlihatkan surat yang harus dirahasiakan dsb;
e. Menyamakan pemahaman dan menetapkan agenda mediasi. Tugas mediator
authoritatife untuk menjelaskan peraturan-peraturan hukum pertanahan sehingga
para pihak mengerti dalam menuntut hak dan kewajibannya dalam lingkup hukum
pertanahan;
f. Mengidentifikasikan kepentingan-kepentingan para pihak agar tetap fokus kepada
masalah yang sedang dimediasikan misalnya pokok masalahnya mengenai
sengketa batas kemudian melebar kepada sengketa bertetangga; Mengelompokan
opsi-opsi umum sebagai bahan negosiasi sebab dengan terbentuknya sekelompok
opsi maka langkah negosiasi berikutnya akan menjadi ringan;
g. Negosiasi dapat membuat sekelompok opsi menjadi lebih mengerucut sehingga
mudah untuk menentukan keputusan dan menghitung untung ruginya;
h. Negosiasi akhir dituangkan dan dirumuskan dalam bentuk kesepakatan;
i. Setiap hasil mediasi dilaporkan kepada pemberi perintah untuk diambil keputusan
oleh pimpinan yang berwenang (Yoshiro Kusano, 2008:21).
Tahap-tahap Pra Mediasi, antara lain:
1. Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib
untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator;
2. Hakim memberikan penjelasan tentang prosedur dan biaya mediasi;
3. Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi;
4. Dalam waktu paling lama 2 hari kerja setelah siding pertama, para pihak dan
atau kuasa hukum mereka wajib berunding guna pengadilan atau mediator
diluar daftar pengadilan;
5. Jika tidak ada kesepakatan dalam memilih mediator, maka ketua majelis segera
menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bertifikat pada
pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator;
6. Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa pokok
perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim
wajib menjalankan fungsi mediator (Yoshiro Kusano, 2008: 30-31).
Adapun tahap-tahap dalam proses mediasi, antara lain:
1) Proses mediasi pada asasnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para
pihak menghendaki lain;
2) Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah ditunjuk mediator, (Mediator
yang disepakati bersama atau mediator yang ditunjuk masing-masing pihak
dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator;
3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak mediator dipilih
oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim;
4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang
paling lama 14 hari kerja sejak berakhir masa 40 hari;
5) Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan
perkara;
6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan
secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi;
7) Mediator wajib mempersiapkan jadwal pertemuan untuk dibahas dan disepakati
dan mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan
dalam proses mediasi;
8) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik
bagi para pihak;
9) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli dalam proses mediasi ditanggung
para pihak berdasarkan kesepakatan.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang No.30 Tahun 1999 nmenyatakan
bahwa: hasil akhir dari mediasi pertanahan adalah keputusan penyelesaian sengketa
yang merupakan kesepakatan para pihak yang bersangkutan. Kesepakatan tersebut
pada pokoknya berisi opsi yang diterima, hak dan kewajiban para pihak. Dengan
kesepakatan tersebut secara substansi mediasi telah selesai, sementara tindak lanjut
pelaksanaannya menjadi kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara. Setiap kegiatan
mediasi hendaknya dituangkan dalam Berita Acara Mediasi. Formalisasi
kesepakatan secara tertulis dengan menggunakan format perjanjian, agar
mempunyai kekuatan mengikat berita acara tersebut ditandatangani oleh para pihak
dan mediator.
Penyelesaian sengketa pertanahan tidak selamanya harus dilakukan melalui
proses peradilan. Penyelesaian yang dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan tokoh-tokoh masyarakat terkadang cukup efektif dalam menyelesaikan
sengketa pertanahan. Penyelesaian demikian dapat dikategorikan sebagai bentuk
penye lesaian melalui mediasi tradisional.
Selain itu dikenal pula penyelesaian melalui kantor Pertanahan dari Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Dalam rangka penyelesaian melalui cara ini telah
ditetapkan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 01 Tahun 1999 tanggal 29 Januari 1999 tentang Tata Cara Penanganan
Sengketa Pertanahan.
Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan ini disebutkan bahwa sengketa pertanahan
adalah perbedaan pendapat mengenai:
1. Keabsahan suatu hak;
2. Pemberian hak atas tanah;
3. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti
sertifikat.
Adapun kekuatan dan kelemahan dengan cara mediasi, antara lain:
1) Kekuatan dari mediasi
a. Tertutup dan rahasia tidak dipublikasikan;
b. Penyelesaian luwes dan tidak formal seperti litigasi;
c. Pihak-pihak dapat berperan langsung dan aktif dalam perun dingan, tanpa
perlu didampingi advokat atau ahli hukum lainnya yang bersangkutan;
d. Dalam penyelesaiannya tidak selalu menggunakan aspek hukum tetapi bisa
aspek sosial, ekonomi, moral para pihak ikut berperan misalnya ganti
kerugian tetap diberikan untuk menjaga hubungan sosial;
2) Kelemahan dari mediasi
a. Jika para pihak mempunyai kekuatan yang tidak seimbang seperti
kekuatan financial, ekonomi, politik;
b. Pihak-pihak belum sepenuhnya memahami mediasi;
c. Tidak final, jika ada wan prestasi (ada kemajuan dalam PERMA No. 1
Tahun 2008);
d. Masih ada pihak yang sengaja beritikad buruk (Bachriadi, 1997: 63).
Adapun proses mediasi yang gagal, manakala proses mediasi gagal para
pihak dapat melanjutkan upaya penyelesaian sengketanya melalui proses
arbitrase atau litigasi pengadilan, dan sepakat untuk:
a. Tidak melibatkan Mediator maupun Co-Mediator sebagai pelaksana
fungsi Mediasi untuk memberi kesaksian dalam pelaksanaan arbitrase
atau peradilan dimaksud;
b. Tidak meminta Mediator maupun Co-Mediator menyerahkan sebagian
atau seluruh dokumen Mediasi baik berupa catatan, laporan, risalah,
laporan proses mediasi dan atau berkas lainnya yang terkait dengan proses
mediasi (Boedi Harsono, 1999: 54).
E. Penyelesaian Masalah Tanah Melalui Instansi BPN
Adapun penyelesaian masalah tanah melalui instansi BPN, yang meliputi antara
lain:
a. Pengaduan / keberatan dari masyarakat.
Suatu sengketa hak atas tanah itu timbul adalah karena adanya pengaduan /
keberatan dari orang / Badan Hukum yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat
Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, dimana keputusan
Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tertentu.
Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara dibidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah),
hanya ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sengketa hak atas tanah adalah
meliputi beberapa macam antara lain mengenai status tanah, siapa-siapa yang berhak,
bantahan terhadap bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak atau
pendaftaran dalam buku tanah dan sebagainya.
b. Penelitian dan Pengumpulan Data.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut diatas, pejabat yang
berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian terhadap berkas
yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah
pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat.
Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertana han Nasional
itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka BPN akan meminta penjelasan
disertai dengan data serta saran ke para Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi dan
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten setempat letak tanah yang disengketakan.
Selanjutnya setelah lengkap dapat yang diperlukan, kemudian diadakan
pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi
prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya.
c. Pencegahan Mutasi
Agar kepentingan orang atau Badan Hukum yang berhak atas tanah yang
disengketakan tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu
setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari
keyakinannya memang harus distatus quo kan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah
sengketa.
Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan
setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha
Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum
Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan,
asas persamaan didalam melayani kepentingan masyarakat dan memper hatikan
pihak-pihak yang bersengketa.
d. Pelayanan Secara Musyawarah.
Terhadap sengketa ha katas tanah yang disampaikan ke BPN untuk dimintakan
penyelesaian, apabila bisa dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat
baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah penyelesaian melalui cara
musyawarah ini seringkali BPN diminta sebagai mediator didalam menyelesaikan
sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang
bersengketa.
Dalam hal tercapai penyelesaian secara musyawarah seperti ini, harus pula
disertai dengan bukti tertulis sejak permulaan, yaitu dari Surat Pemberitahuan untuk
para pihak, Berita Acara Rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian
dituangkan dalam Akta Pernyataan Perdamaian yang bila perlu dihadapan Notaris
sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
e. Pencabutan / Pembatalan Surat Keputusan Tata Usaha Negara dibidang Pertanahan
oleh Kepala BPN berdasarkan adanya cacat hukum / administrasi di dalam
penerbitannya.
Yang menjadi dasar hukum kewenangan tersebut adalah:
1. UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keppres No. 26 Tahun 1988 tentang Pembentukan Badan Pertanahan
4. Nasional (Pasal 16 sub C).
5. Peraturan Menteri Negara Agraria / Ka. BPN No. 3 Tahun 1999.
Dalam praktek selama ini banyak sekali orang / Badan Hukum yang merasa
kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala BPN.
Demikian pula permohonan pembatalan sertifikat hak tanah yang didasarkan adanya
Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala BPN dan
sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten setempat dan diteruskan
melalui Kakanwil BPN Propinsi yang bersangkutan (Ali Achmad Chomzah, 2003:29-32).
Dalam praktek yang sering terjadi di kantor Badan Pertanahan Nasioanal untuk
sengketa pertanahan pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam kelompok-kelompok
berikut:
1) Sengketa pertanahan yang bersifat politis / strategis; sengketa yang bersifat politis
biasanya ditandai hal-hal: melibatkan masyarakat banyak, menimbulkan keresahan dan
kerawanan masyarakat, menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemerintah atau
penyelenggara Negara, mengganggu penyelenggaraan pembangunan nasional, serta
menimbulkan bahaya disintegrasi bangsa.
Sengketa yang bersifat politis tersebut antara lain disebabkan, karena:
a. Eksploitasi dan mendramatisasi ketimpangan-ketimpangan keadaan penguasaan
dan pemilikan tanah di masyarakat;
b. Tuntutan keadilan dari dan keberpihakan kepada golongan ekonomi lemah.
Bentuk-bentuk sengketa pertanahan yang bersifat strategis antara lain:
a. Tuntutan pengembalian tanah sebagai akibat pengambilan tanah pada jaman
pemerintah kolonial;
b. Tuntutan pengembalian tanah garapan yang sedang dikuasai oleh pihak lain;
c. Penyerobotan tanah-tanah perkebunan;
d. Pendudukan tanah asset instansi pemerintah;
e. Tuntutan pemberian hak atas tanah bekas tanah partikelir yang diduduki rakyat;
f. Tuntutan pengembalian tanah yang penggunaannya tidak sesuai dengan ijin lokasi;
g. Masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari kegiatan pengadaan tanah untuk
pembangunan dalam skala besar dsb.
2) Sengketa pertanahan beraspek sosial-ekonomi.
Masalah ini timbul sebagai akibat ketimpangan dan kecemburuan sosial dalam
pemilikan tanah antara masyarakat dengan pemilik tanah luas (Perusahaan). Adanya
ketimpangan tersebut secara tajam dapat mendorong aksi masyarakat untuk
menyerobot tanah yang bukan miliknya. Hal ini disebabkan kebutuhan masyarakat
akan tanah untuk mendukung penghidupannya. Penyerobotan juga sering terjadi pada
tanah kosong atau tanah-tanah terlantar. Hal ini didorong karena pemilik tanah tidak
memperhatikan kewajiban dalam penggunaan tanahnya antara lain:
a) Kewajiban untuk mengusahakan tanahnya secara aktif;
b) Menambah kesuburan dan memelihara serta mencegah kerusakan tanahnya;
c) Menjaga batas-batas tanahnya dan mengusahakan tanahnya sesuai dengan
peruntukannya.
Sengketa tersebut tidak hanya disebabkan kurang adanya pemerataan dan
penguasaan dan pemilikan tanah, melainkan dapat juga disebabkan kurang tersedianya
lapangan kerja. Sementara kebutuhan dalam kehidupan sosial menuntut untuk
dipenuhi, maka pendudukan tanah walaupun secara tidak sah secara hukum,
merupakan perbuatan karena keterpaksaan.
3) Sengketa pertanahan yang bersifat keperdataan
Sebagaimana diketahui bahwa proses penetapan suatu hak atas tanah, termasuk
penerbitan surat keputusan dan sertifikatnya, sangat tergantung pada data yuridis yang
disampaikan pihak yang memohon atau menerima hak kepada Badan Pertanahan
Nasional. Apabila data yang disampaikan mengandung kelemahan, maka demikian
pula kualitas kepastian hukum mengenai hak atas tanah akan mengandung kelemahan
yang pada suatu saat nanti dapat dibatalkan apabila terbukti terdapat cacat administrasi
maupun cacat hukum.
Sistem publikasi pendaftaran tanah di Indonesia yang menganut stelsel negatif
yang bertendens positif, tidak memungkinkan untuk memberikan jaminan kepastian
hukum secara mutlak. Jaminan kepastian hukum dimaksud hanya apabila data fisik
dan data yuridis yang tercantum didalam buku tanah, sertifikat dan daftar-daftar isian
lainnya, sesuai dengan kenyataannya di lapangan. Dengan demikian maka keabsahan
atas hak sebagai dasar penetapan suatu hak tanah sangat penting dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum.
4) Sengketa pertanahan yang bersifat administratif.
Sengketa pertanahan yang bersifat administratif disebabkan adanya kesalahan
atau kekeliruan penetapan hak dan pendaftarannya. Hal ini disebabkan karena hal-hal
berikut:
a) Kekeliruan penerapan peraturan;
b) Kekeliruan penetapan subyek hak;
c) Kekeliruan penetapan obyek hak;
d) Kekeliruan penetapan status hak;
e) Masalah prioritas penerima hak atas tanah;
f) Kekeliruan penetapan letak, luas dan batas dsb.
Sengketa ini pada umumnya bersumber pada kesalahan, kekeliruan
maupun kekurangcermatan penetapan hak oleh pejabat administrasi (Badan
Pertanahan Nasional), oleh karena itu penyelesaiannya dapat dilakukan secara
administrasi. Dalam bentuk tindakan pembatalan, ralat atau perbaikan keputusan
pejabat administrasi yang disengketakan. Seringkali penyelesaian sengketa
administrasi tersebut kurang memuaskan para pihak, sehingga oleh yang bersangkutan
keberatannya tersebut diajukan atau dituntut ke badan peradilan.
F. Alternatif Kebijakan Penyelesaian Konflik Pertanahan Setelah Berlakunya Otonomi
Daerah
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 meletakkan titik berat otonomi pada
daerah kabupaten dan daerah kota dengan tujuan untuk lebih mendekatkan fungsi
pelayanan kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep demokrasi bertanggung jawab
kepada rakyat yang diperkenalkan oleh Hatta, yaitu melaksanakan cita-cita lama yang
tertanam dalam pengertian “ pemerintah dari yang diperintah”, pada daerah kabupaten dan
daerah kota (Abdullah, 2000: 12).
Otonomi daerah sebagai suatu skema politik baru, termasuk aspek kebijakan
pertanahan sudah tentu membawa harapan tersendiri bagi masyarakat. Pada sebagian
terdapat suatu optimism dan harapan bahwa otonomi daerah akan menjadi wahana
pemberdayaan rakyat, mendekatkan pemerintah dengan rakyat, sehingga gerak program
pemerintah benar-benar bisa mengakomodasi aspirasi dan kepentingan massa rakyat
(Fauzi, 2000: 5).
Kewenangan bidang pemerintahan khususnya pertanahan meru pakan salah satu
bidang yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota berdasarkan Pasal
14 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang selama ini menjadi kewenangan pusat yang
bersifat sentralistis terutama dalam hal kebijakan pertanahan, sedangkan daerah hanya
merupakan pelaksana teknis dari kebijakan pemerintah pusat. Mengacu dengan keten tuan
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
yang pada intinya memberikan kewenangan kepada daerah kota dan daerah kabupaten,
semua kewenangan pemerintahan di luar ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 32 Tahun
2004. Salah satu yang wajib dilaksanakan adalah kewenangan bidang pertanahan. Dengan
demikian menurut Erwiningsih (2000: 85-86) pemerintah daerah kabupaten wajib
melaksanakan kewenangan untuk:
a) Mengatur mengenai persediaan, penggunaan dan peruntukan tanah di wilayahnya baik
untuk kepentingan manusia perorangan, kepentingan sosial, keagamaan, kepentingan
ekonomi, pertanian, industry, serta kepentingan daerah dan negara;
b) Melakukan perencanaan penggunaan tanah yang meliputi penggunaan atas ruang di atas
dan di bawah tanah sesuai dengan batas-batas peruntukannya;
c) Mengatur pola hubungan antara tanah dengan manusia, warga dengan penduduk di
daerah;
d) Mengatur hubungan antara manusia dengan manusia berkaitan dengan tanah di
wilayahnya termasuk mempersiapkan kelembagaannya agar hubungan hukum yang
terjadi dapat terjamin pemenuhannya.
Dalam melaksanakan kewenangan tersebut pemerintah daerah kabupaten harus
memperhatikan hal berikut:
1) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan tanah
berdasarkan asas taat asas;
2) Dalam pembuatan peraturan daerah sejauh mungkin melibatkan unsur-unsur legislative
daerah menurut kewenangan yang ada;
3) Aspek keadilan sosial serta pemanfaatannya yang dapat menjamin peningkatan
kesejahteraan;
4) Penghargaan secara proporsional terhadap unsur-unsur kebudayaaan asli daerah
berkaitan dengan nilai dan fungsi tanah.
Pemberian kewenangan kepada daerah kabupaten khususnya bidang pertanahan
berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 33 Tahun 2004
merupakan peluang bagi daerah kabupaten dalam menata, mengatur prosedur penggunaan
dan peruntukan tanah di wilayahnya, melakukan perencanaan penggunaan tanah baik untuk
kepentingan manusia perorangan, kepentingan sosial dan keagamaan, kepentingan
ekonomi, pertanian, industri serta kepentingan daerah dan negara termasuk mempersiapkan
kelembagaan-nya dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Peraturan
Daerah (PERDA) dengan melibatkan unsur-unsur legislative daerah menurut kewenangan
yang ada serta tetap memperhatikan aspek keadilan dan pemanfaatannya yang dapat
menjamin peningkatan kesejahteraan dan penghargaan secara proporsional terhadap unsur-
unsur kebudayaan asli daerah berkaitan dengan nilai dan fungsi tanah (Hambali Thalib,
2009: 175).
Penetapan PERDA sebagai salah satu sumber hukum dan tata urutan perundang-
undangan diharapkan mampu mengakomodasi unsur-unsur kebudayaan asli daerah secara
proporsional berkaitan dengan nilai dan fungsi tanah sekaligus merupakan salah satu solusi
dalam menata kebijakan pertanahan yang lebih terarah pada peningkatan dan pemanfaatan
serta penggunaan tanah secara adil, transparan, dan produktif dengan mengu tamakan hak-
hak rakyat setempat termasuk hak ulayat dan masyarakat adat berdasarkan tata ruang
wilayah yang serasi dan seimbang dalam koridor peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Santoso, 2001: 1-2).
Mengantisipasi berbagai kemungkinan penyelenggaraan desentralisasi dan
otonomi daerah, menurut Abdullah (2000: 7) menuntut kesiapan pemerintah daerah
kabupaten terhadap segala sesuatu, baik berupa dana, sumber daya manusia, sarana dan
prasarana serta pengetahuan dan pemahaman mengenai UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah itu sendiri, termasuk masyarakat terutama aparat pemerintahan perlu
melakukan langkah-langkah sosialisasi undang-undang tersebut kepada masyarakat.
Mengenai konflik pertanahan, dapat dikemukakan pendapat berbagai kalangan
sebagai berikut:
1) Pendapat yang mengemukakan bahwa dinamika pembangunan telah mengakibatkan
terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap tanah di antaranya untuk keperluan industri
dan perumahan, cenderung untuk kepentingan bisnis yang merugikan para pemilik
tanah, sementara pada saat yang sama persediaan tanah semakin terbatas.
Konsekuensinya, konflik pertanahan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan
(Harsono, S, 1996:22).
2) Pendapat yang mengemukakan bahwa factor pemicu konflik pertanahan sesungguhnya
jauh lebih rumit dari sekadar keterbatasan persediaan di tengah pesatnya permintaan.
Selama masa Orde Baru, setidaknya terdapat empat faktor yang diidentifikasi sebagai
pemicu konflik pertanahan, yaitu reduksionisme persoalan tanah, spekulasi tanah
untuk tujuan akumulasi kapital, konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah, dan
adanya keharusan struktural bagi pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan investor
asing (Mas’oed, 1997: 5-6).
3) Pendapat ini lebih spesifik mengidentifikasi akar konflik pertanahan, yakni:
a) Terlalu banyaknya reduksi yang terjadi di peradilan terhadap relevansi fakta-fakta
yang dianggap non yuridis dengan menga baikan sosiologi hukum yang sangat
berguna bagi penyelesaian konflik tanah berdasarkan hak milik berfungsi sosial;
b) Belum dikembangkan peradilan model “inter-face” yang mema dukan
pertimbangan ilmu pengetahuan sosial terhadap fakta yang mengandung nilai
norma dan pertimbangan yuridis formal dari suatu peraturan undang-undang yang
secara sosiologis kurang mengikuti perubahan sosial yang berhubungan dengan
permasa lahan pertanahan;
c) Kurangnya kemampuan untuk kajian hukum bahwa undang-undang agrarian bias
semakin lemah atau ketinggalan dari konflik kepentingan hukum yang semakin
kompleks dengan membutuhkan pengembang-an hukum secara “ius
constituendum” dan “iusconstitutum” yang dikaitkan dengan “ius operandum”
dan “iusoperatum” (Poernomo, 1997: 2).
Penyelesaian konflik pertanahan selama ini yang ditempuh secara formal oleh
para pencari keadilan dengan melalui jalur proses perdata, proses pidana termasuk proses di
luar kodifikasi hukum pidana dan proses tata usaha Negara, di samping belum terlaksana
secara efektif juga kurang memberikan perlindungan hukum terhadap para pemilik hak atas
tanah. Penyelesaian konflik pertanahan melalui hukum pidana pada khususnya ketentuan
perundang-undangan di luar kodifikasi hukum pidana yang mengatur tentang konflik
pertanahan merupakan salah satu alternative proses yang dapat ditempuh oleh para pencari
keadilan (Hadjon, 1997: 9-10).
Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) (Bachriadi, 1997: 71)
ada enam corak konflik tanah yang terjadi di Indonesia yang semuanya berhubungan
dengan modal pembangunan. Keenam corak tersebut adalah:
1) Konflik tanah karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam
tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber-sumber yang akan dieksploitasi secara
pasif;
2) Konflik tanah akibat program swasembada beras yang pada praktiknya mengakibatkan
penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan membengkaknya jumlah petani
tidak bertanah serta konflik-konflik yang bersumber pada keharusan petani untuk
menggunakan bibit unggul maupun masukan-masukan bahan nonorganic seperti
pestisida, pupuk urea, dan sebagainya;
3) Konflik tanah di area perkebunan baik karena pengalihan dan penerbitan Hak Guna
Usaha (HGU) maupun karena pembangunan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan
program sejenisnya seperti Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI);
4) Konflik tanah akibat penggusuran tanah untuk industry pariwisata real estate, kawasan
industri, pergudangan, pembangunan pabrik dan sebagainya;
5) Konflik tanah akibat penggusuran dan pengambilalihan tanah-tanah rakyat untuk
pembangunan sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan keamanan;
6) Konflik akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pemba ngunan taman nasional
atau hutan lindung dan sebagainya yang mengatasnamakan kelestarian lingkungan.
Corak konflik pertanahan yang terjadi pada dasarnya menunjukkan
posisi rakyat lemah, dan sebaliknya posisi Negara dan pemodal sangat kuat dalam
menentukan arah dan corak perubahan sosial yang selalu dinyatakan dengan kata, atas
nama pembangunan. Dalam hal ini, rakyat terpaksa menerima segala hal yang hendak
dilakukan oleh Negara untuk kepentingannya secara langsung ataupun untuk kepentingan
pemodal. Hampir setiap konflik tersebut lemahnya posisi rakyat juga terlihat dalam proses
terjadinya konflik itu sendiri.
Menurut Fauzi (1997: 8), pengambilan tanah-tanah rakyat yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru dengan berbagai cara, mulai cara penggusuran dengan menggunakan
kekerasan, penaklukan dan cara manipulasi ideologis dengan melanggar hak asasi manusia.
Beberapa cara yang sering dilakukan untuk melepaskan hak penguasaan dan pemilikan
tanah rakyat, antara lain:
a) Membuat kecelakaan massal seperti kebakaran yang kemudian wilayah tersebut tidak
dizinkan lagi untuk dibangun oleh penghuni yang lama;
b) Mengembangkan calo-calo tanah yang berniat buruk beroperasi dari rumah yang satu
ke rumah yang lain dengan maksud untuk menimbulkan risiko pada rendahnya
perolehan harga pelepasan hak atas tanah;
c) Melakukan intimidasi, teror, dan kekerasan fisik secara langsung maupun tidak
langsung seperti menjadikan lokasi yang akan dibebaskan sebagai lokasi latihan
perang-perangan bagi militer atau melakukan tindak kekerasan pada salah satu tokoh
masyarakat yang paling keras mempertahankan hak-hak mereka atas tanah;
d) Pemancangan palang, pematokan tanah, perataan tanah dan pembuldoseran yang akan
dijadikan area proyek;
e) Melakukan delegitimasi, penguasaan tanah yang tidak mempunyai bukti-bukti sertifikat
formal atau delegitimasi sertifikat yang telah dimiliki warga;
f) Menetapkan ganti rugi tanah secara sepihak;
g) Memanipulasi tanda tangan persetujuan rakyat pelepasan ha katas tanah;
h) Memberikan stigma sosial dan politik, misalnya eks tapol (tahanan politik) PKI dan
mematikan hal-hal perdata rakyat yang berusaha mempertahankan tanah yang akan
diambil untuk kepentingan proyek;
i) Mengembangkan program bedol desa atau transmigrasi massal mereka yang tanahnya
diperlukan untuk proyek raksasa.
Menurut Bachriadi (1997: 75) mengemukakan, bahwa ciri lain di dalam konflik
pertanahan pemerintahan Orde Baru, yaitu corak penaklukan dan penindasan yang ada
dasarnya bertujuan untuk mengalahkan, dengan cara meredam perlawanan yang dilakukan
oleh rakyat ketika mereka memasuki situasi konflik untuk mempertahankan haknya.
Dengan kata lain, segala penaklukan dan penindasan ini dilakukan dalam upaya
memaksakan kehendak, untuk dilaksanakannya suatu proyek atau program tertentu yang
dinyatakan sebagai program dalam proyek pembangunan
Konsep pembangunan tersebut, dimaksudkan untuk memperoleh legitimasi,
melakukan segala upaya penaklukan dan penindasan terha dap rakyat. Seluruh tindak
tanduk dalam menaklukan dan menindas selalu dikembangkan suatu klaim, dengan dalih
sebagai bagian dari upaya untuk menegakkan stabilitas sosial politik dan keamanan agar
proses pembangunan bangsa bias berlangsung terus, sebaliknya upaya-upaya rakyat untuk
mempertahankan haknya, akan segera diklaim sebagai upaya perbuatan rakyat yang
menghambat pembangunan dijadikan pembenaran oleh Negara dan aparatnya.
Recommended