8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi
Pengertian komunikasi secara umum dapat dilihat dari dua segi, yaitu secara
etimologis dan terminologis. Secara etimologis atau menurut kata asalnya, istilah
komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio, dan perkataan ini bersumber
pada kata communis yang artinya sama, dalam arti sama makna, yaitu sama
makna mengenai sesuatu hal. Jadi, komunikasi berlangsung apabila antara orang-
orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang
dikomunikasikan. Secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian
suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Sedangkan dalam pengertian
paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media.
Dalam definisi paradigmatis ini tersimpul tujuan, yakni memberitahu atau
mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion) atau perilaku (behavior) (Effendi,
2002:4).
Komunikasi juga disebut sebagai tindakan satu orang atau lebih yang
mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi
dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan
untuk memperoleh umpan balik. Lingkungan (konteks) komunikasi setidak-
tidaknya memiliki tiga dimensi : fisik, sosial-psikologis dan temporal. Dimensi
fisik adalah ruang atau tempat dimana komunikasi berlangsung, misalnya di ruang
kantor, ruang kelas dan sebagainya. Dimensi sosial-psikologis adalah lingkungan
komunikasi yang diatur oleh norma atau budaya masyarakat, dimana komunikasi
dapat dilakukan, misal komunikasi yang diperbolehkan pada suatu pesta wisuda
mungkin tidak dibolehkan di rumah sakit. Komunikasi dalam dimensi temporal
berhubungan dengan waktu komunikasi berlangsung, misalnya bagi banyak orang
pagi hari bukanlah waktu ideal untuk berkomunikasi, tetapi bagi orang lain
merupakan waktu ideal. Tiga dimensi tersebut satu sama lain saling berhubungan
9
dan berinteraksi, di mana masing-masing konteks saling mempengaruhi dan
dipengaruhi (DeVito, 1997:23).
Mulyana (2002:61) mencatat setidaknya ada tiga kerangka pemahaman
mengenai komunikasi, yakni komunikasi sebagai tindakan satu-arah, komunikasi
sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Sebagai tindakan satu-arah,
suatu pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi
yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu
lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung
(tatap-muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar,
majalah, radio, atau televisi.
Komunikasi sebagai interaksi menyetarakan komunikasi dengan suatu proses
sebab-akibat atau aksi-reaksi, yang arahnya bergantian. Seseorang menyampaikan
pesan, baik verbal atau nonverbal, seorang penerima bereaksi dengan memberi
jawaban verbal atau menganggukkan kepala, kemudian orang pertama bereaksi
lagi setelah menerima respons atau umpan balik dari orang kedua, dan begitu
seterusnya. Komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis
daripada komunikasi sebagai tindakan satu-arah. Salah satu unsur yang dapat
ditambahkan dalam konseptualisasi kedua ini adalah umpan balik (feed back),
yakni apa yang disampaikan penerima pesan kepada sumber pesan Mulyana
(2002:65-66).
Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung
bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun
perilaku nonverbalnya. Berdasarkan konseptualisasi ini, komunikasi pada
dasarnya adalah suatu proses yang dinamis yang secara sinambung mengubah
pihak-pihak yang berkomunikasi. Menurut pandangan ini, maka orang-orang yang
berkomunikasi dianggap sebagai komunikator yang secara aktif mengirimkan dan
menafsirkan pesan. Setiap pihak dianggap sumber sekaligus juga penerima pesan
Mulyana (2002:67).
Peran komunikasi menurut Ruslan (2005:80) sangat penting bagi manusia dalam
kehidupan sehari-hari, sesuai dengan fungsi komunikasi yang bersifat persuasif,
edukatif dan informatif. Sebab tanpa komunikasi, maka tidak adanya proses interaksi
seperti saling tukar ilmu pengetahuan, pengalaman, pendidikan, persuasi, informasi
10
dan lain sebagainya. Proses penyampaian informasi/pesan tersebut pada umumnya
berlangsung melalui suatu media komunikasi, khususnya bahasa percakapan yang
mengandung makna yang dapat dimengerti atau dalam lambang yang sama.
Pengertian pemakaian bahasa dapat bersifat konkrit atau abstrak.
Konsep komunikasi mencakup pemanfaatan dan penerapan sarana
komunikasi, yang terbentang mulai dari penggunaan bahasa hingga produksi dan
reproduksi realitas sosial melalui media. Raymond Williams dalam Hardt
(2005:12) pernah menawarkan pengingat yang tepat mengenai sentralitas
komunikasi dalam studi kemasyarakatan, yaitu “sebuah definisi bahasa, secara
eksplisit atau implisit, mengingatkan tentang manusia di dunia”. Hal tersebut
merupakan ajakan untuk memperhitungkan dimensi kultural komunikasi, yang
merupakan bidang di balik batas-batas tradisional disiplin akademis dan menjadi
suatu kawasan penyelidikan kultural.
Berkaitan dengan itu Mulyana (1999:193-194) mengatakan terdapat banyak
model komunikasi. Ada definisi (model) yang mengisyaratkan komunikasi satu
arah, ada pula definisi yang tujuannya untuk mempengaruhi (sikap atau perilaku)
dan ada pula yang mentikberatkan bahwa komunikasi itu harus disengaja. Namun
satu hal yang pasti, pernyataan bahwa komunikasi itu adalah suatu proses telah
diterima secara luas. Proses adalah suatu interaksi berkesinambungan dari
sejumlah besar faktor, dimana setiap faktor mempengaruhi setiap faktor lainnya,
semuanya pada saat yang sama. Pendekatan proses memandang peristiwa-
peristiwa dan hubungan-hubungan sebagai dinamika, selalu berubah dan
berkesinambungan.
Model komunikasi yang dikenal luas adalah model David K. Berlo yang
dikenal dengan model SMCR, kepanjangan dari Source (sumber), Message
(pesan), Channel (saluran) dan Receiver (penerima). Dalam situasi tatap muka,
kelompok kecil dan komunikasi publik (pidato), saluran komunikasinya adalah
udara yang menyalurkan gelombang suara. Dalam komunikasi massa, terdapat
banyak saluran : televisi, radio, surat kabar, buku dan majalah. Menurut Berlo,
sumber dan penerima pesan dipengaruhi oleh faktor-faktor : keterampilan
komunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial dan budaya. Pesan dikembangkan
berdasarkan elemen, struktur, isi, perlakuan dan kode. Salurannya berhubungan
11
dengan panca indra : melihat, mendengar, menyentuh, membaui, dan merasai
(Mulyana, 2002: 150-151).
Keterampilan
Sikap
Pengetahuan
Sistem Sosial
Budaya
R
Keterampilan
Sikap
Pengetahuan
Sistem Sosial
Budaya
Melihat
Mendengar
Menyentuh
Membaui
Merasai
Elemen Struktur
M CS
Perlakuan
KodeIsi
Gambar 2. Model Komunikasi Berlo (Mulyana, 2002:151)
Untuk memahami pengertian komunikasi secara efektif, para peminat
komunikasi sering mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell.
Paradigma Lasswel menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur yaitu
komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel,
media), komunikan (coomunicant, communicatee, receiver, recipient) dan efek
(effect, impact, influence). Berikut ini model proses komunikasi yang
dikemukakan Harold Lasswell (Effendi, 2004:18).
Receiver (Komunikan)
Sender (Komunikator)
Message (Pesan)
Channel (Media)
Effect (Umpan balik)
Gambar 3. Model Komunikasi Lasswell (Effendi, 2004:18)
12
Penegasan tentang unsur-unsur dalam proses komunikasi di atas adalah
sebagai berikut :
1. Sender : Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau
sejumlah orang.
2. Message : Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang
disampaikan oleh komunikator.
3. Channel : Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator
kepada komunikan.
4. Receiver : Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.
5. Effect : Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau
disampaikan kepada komunikator.
2.2. Pemberdayaan
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment)
berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Ide utama pemberdayaan
bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan
dengan kemampuan membuat orang lain melakukan apa yang diinginkannya,
terlepas dari keinginan dan minatnya yang berkaitan dengan pengaruh dan
kontrol. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok
rentan dan lemah, sehingga memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a)
memenuhi kebutuhan dasarnya untuk mendapatkan kebebasan (freedom), dalam
arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan,
bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber
produktif yang memungkinkan untuk meningkatkan pendapatannya dan
memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang diperlukan; dan (c) berpartisipasi
dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhinya
(Suharto, 2005:58).
Menurut Ife (1995:60-62), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci,
yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan diartikan bukan hanya
menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau
penguasaan klien atas hal berikut :
13
a. Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup : kemampuan
dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal
dan pekerjaan.
b. Pendefinisian kebutuhan : kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan
aspirasi dan keinginannya.
c. Ide atau gagasan : kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan
gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
d. Lembaga-lembagan: kemampuan menjangkau, menggunakan dan
mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan
sosial, pendidikan dan kesehatan.
e. Sumber-sumber : kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal
dan kemasyarakatan.
f. Aktivitas ekonomi : kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme
produksi, distribusi dan pertukaran barang, serta jasa.
g. Reproduksi : kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran,
perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada
pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang
mengorganisir dirinya sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang
demikian diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai
obyek, tetapi justru sebagai subyek pelaku pembangunan yang ikut menentukan
masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum (Setiana, 2005:5-6).
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu
dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.
Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan
sosial (Hikmat, 2001:3). Sementara itu, McArdle dalam Hikmat (2001:3)
mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-
orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang
yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya,
bahkan merupakan suatu “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usahanya
sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan dan sumber lainnya dalam
14
rangka mencapai tujuan tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan
eksternal.
Suatu proses pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien
memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan
dilakukan yang terkait dengan dirinya, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi
dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan
kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain
melalui transfer daya dari lingkungannya (Payne dalam Adi, 2003:54).
Menurut Hubeis (2001:14) pemberdayaan masyarakat (community
empowerment) adalah perwujudan dari pengembangan kapasitas (capacity
building) masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumber daya manusia
(SDM) melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat
pusat sampai tingkat pedesaan seiring dengan pembangunan sosial ekonomi
rakyat, prasarana dan sarana, serta pengembangan sistem 3 P : Pendampingan
yang dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat; Penyuluhan yang dapat
merespons dan memantau perubahan-ubahan yang terjadi di masyarakat; dan
Pelayanan yang berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset
sumber daya fisik dan non-fisik yang diperlukan oleh masyarakat.
Upaya pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya selalu dihubungkan
dengan karakteristik sasaran sebagai suatu komunitas yang mempunyai ciri, latar
belakang dan budaya tertentu. Oleh sebab itu dalam program pemberdayaan
masyarakat diperlukan suatu strategi. Menurut Harper dalam Soesilowati (1997:6-
7), ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat
berikut :
1. Strategi fasilitasi. Strategi ini digunakan ketika kelompok atau sistem yang
dijadikan target mengetahui ada suatu masalah dan membutuhkan
pengubahan, ada keterbukaan terhadap bantuan dari luar dan keinginan
pribadi untuk terlibat. Melalui strategi ini para agen peubah diharapkan dapat
bertindak selaku fasilitator. Oleh karena itu tugasnya sering membuat
kelompok target menjadi sadar terhadap pilihan-pilihan dan keberadaan
sumber-sumber di mana mengklasifikasikan isu-isu peubah. Strategi ini
15
dikenal dengan strategi kooperatif, di mana agen peubah dan masyarakat
(kliennya) bersama-sama melakukan penyelesaian masalah.
2. Strategi re-edukatif. Strategi ini diistilahkan dengan re-edukasi, karena
biasanya melibatkan proses justifikasi rasional atas aksi yang dilakukan.
Strategi ini membutuhkan waktu, untuk membentuk pengetahuan dan
keahlian. Reedukatif dipergunakan untuk memberikan suatu pemahaman dan
pengetahuan baru dalam mengadopsi suatu perubahan. Segmentasi menjadi
faktor penting untuk membuat pesan mudah dimengerti dan diterima oleh
kelompok berbeda. Karakteristik demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan
dan kondisi sosial ekonomi) merupakan pengkategorian yang umum
dipergunakan dalam memilah segmentasi khalayak sasaran.
3. Strategi persuasif. Strategi ini berusaha untuk membawa perubahan melalui
kebiasaan berperilaku, dimana pesan distruktur dan dipresentasikan. Jadi
persuasif mengacu pada tingkatan reduksi, di mana agen perubahan
menggunakan emosi dan hal-hal yang tidak rasional untuk melakukan
perubahan. Persuasif lebih sering digunakan apabila target tidak sadar
terhadap kebutuhan perubahan atau mempunyai komitmen rendah terhadap
perubahan.
4. Strategi kekuasaan. Praktik strategi kekuasaan yang efektif membutuhkan
agen perubahan yang mempunyai sumber-sumber untuk memberi bonus atau
sanksi pada target dan mempunyai kemampuan untuk memonopoli akses.
Strategi kekuasaan menjadi efektif, ketika komitmen terhadap perubahan
rendah, waktu singkat dan perubahan yang dikehendaki lebih pada perilaku
ketimbang sikap (attitude).
Setiap perencanaan pembangunan yang diarahkan pada pemberdayaan
masyarakat, paling tidak harus memuat unsur-unsur pokok berikut : pertama,
strategi dasar pemberdayaan masyarakat yang merupakan acuan dari seluruh
upaya pemberdayaan masyarakat. Kedua, kerangka makro pemberdayaan
masyarakat yang memuat berbagai besaran sebagai sasaran yang harus dicapai.
Ketiga, sumber anggaran pembangunan sebagai perkiraan sumber-sumber
pembiayaan pembangunan. Keempat, kerangka dan perangkat kebijaksanaan
pemberdayaan masyarakat. Kelima, program-program pemberdayaan masyarakat
16
yang secara konsisten diarahkan pada pengembangan kapasitas masyarakat.
Keenam, indikator keberhasilan program-program yang memuat perangkat
pencatatan sebagai dasar pemantauan evaluasi program dan penyempurnaan
program, serta kebijaksanaan yang menjamin kelangsungan program
(Sumodiningrat, 1999:129).
Dalam konsep pemberdayaan masyarakat, perlu diketahui potensi atau
kekuatan yang dapat membantu proses perubahan agar dapat lebih cepat dan
terarah, sebab tanpa adanya potensi atau kekuatan yang berasal dari masyarakat
itu sendiri, maka seseorang, kelompok, organisasi atau masyarakat akan sulit
bergerak untuk melakukan perubahan. Kekuatan pendorong ini di dalam
masyarakat harus ada atau bahkan diciptakan lebih dulu pada awal proses
perubahan dan harus dipertahankan selama proses perubahan tersebut berlangsung
(Setiana, 2005:7).
Untuk konteks Indonesia saat ini, dibutuhkan strategi komunikasi sistematis
berorientasi pada masyarakat. Seringkali kebijakan-kebijakan dan program
pemerintah maupun lembaga-lembaga lain tidak menguntungkan masyarakat,
menghalangi persamaan hak, membuat masyarakat tidak berdaya dan akhirnya
jatuh ke dalam situasi terpuruk. Strategi komunikasi yang berorientasi pada
masyarakat seharusnya menyerahkan produksi, pengelolaan dan pengendalian
media kepada masyarakat, sehingga aspirasi, kebutuhan dan masalahnya
tercermin dalam media itu dan akan lebih banyak berkesempatan untuk
memperoleh sumber-sumber komunikasi yang ada. Strategi ini bukan hanya berisi
tentang istilah-istilah menarik. Lebih dari itu, strategi ini merupakan upaya yang
sungguh-sungguh untuk memberdayakan masyarakat yang paling bawah
sekalipun (Setyowati, 2005:84 – 85).
2.3. Kelompok Masyarakat
Masyarakat dalam kamus disebut sebagai sejumlah manusia dalam arti yang
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang dianggap sama. Menurut
Koentjaraningrat (1980:160), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan
yang terikat oleh suatu identitas yang sama. Sedangkan Horton dan Hunt (199:129)
17
menjelaskan masyarakat (komunitas) adalah suatu kelompok setempat (lokal)
dimana orang melaksanakan segenap kegiatan (aktivitas) kehidupannya. Definisi
komunitas yang lebih rinci mencakup : (1) sekelompok orang, (2) hidup dalam
suatu wilayah tertentu, (3) pembagian kerja yang berfungsi khusus dan saling
tergantung (interdependent), (4) memiliki sistem sosial-budaya yang mengatur
kegiatan para anggota, (5) yang mempunyai kesadaran akan kesatuan dan perasaan
memiliki, serta (6) mampu bertindak secara kolektif dengan cara teratur.
Memahami masyarakat secara mendalam, alangkah baiknya dimulai dengan
masyarakat dalam bentuk kelompok-kelompok kesatuan hidup terlebih dahulu,
karena melalui hal tersebut akan diketahui setiap gejolak dan dinamika yang
terdapat di dalamnya. Menelaah masyarakat dapat dilakukan dari dua segi, yaitu
dari segi struktural dan segi dinamikanya. Segi struktural atau struktur sosial yaitu
keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok berupa kaidah-kaidah
sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan sosial. Sedangkan dinamika
masyarakat adalah apa yang disebut proses sosial dan perubahan-perubahan sosial
(Mutakin dan Pasha, 2003:20).
Masyarakat merupakan organisasi yang di dalamnya terdapat sistem yang
terdiri dari berbagai komponen yang satu sama lain memiliki fungsi dan saling
melengkapi, begitu pula masyarakat sebagai kelompok sosial yang besar di
dalamnya terdapat beberapa kelompok sosial yang lebih kecil, di dalam kelompok
tersebut memiliki interaksi, solidaritas, pemimpin, nilai maupun norma tersendiri
yang mengikat anggotanya. Dengan demikian, kelompok ini sebagai suatu
organisasi yang merupakan bagian dari masyarakat sendiri yang di dalamnya
terdapat ikatan-ikatan sosial terhadap anggotanya (Mutakin dan Pasha, 2003: 31).
Dalam membahas kelompok masyarakat perlu juga menjelaskan mengenai
dinamika kelompok. Menurut Santosa (2004:5) dinamika berarti tingkah laku
warga yang satu secara langsung mempengaruhi warga yang lain secara timbal
balik. Jadi, dinamika berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota
kelompok yang satu dengan anggota kelompok yang lain secara timbal balik dan
antara anggota dengan kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini dapat terjadi
karena selama ada kelompok, semangat kelompok (group spirit) terus menerus
berada dalam kelompok itu. Oleh karena itu, kelompok tersebut bersifat dinamis,
18
artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah, sehingga dapat
disimpulkan bahwa dinamika kelompok berarti suatu kelompok yang teratur dari
dua individu atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara jelas antara
anggota yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, antar anggota kelompok
mempunyai hubungan psikologis yang berlangsung dalam situasi yang dialami
secara bersama-sama.
Benedict dalam Santosa (2004:7) menjelaskan bahwa persoalan dalam
kelompok masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kohesi/ persatuan
Dalam persoalan kohesi akan dilihat tingkah laku anggota dalam kelompok,
seperti proses pengelompokan, intensitas anggota, arah pilihan, nilai
kelompok, dan sebagainya.
b. Motif/ dorongan
Persoalan motif ini berkisar pada interes anggota terhadap kehidupan
kelompok, seperti kesatuan kelompok, tujuan bersama, orientasi diri terhadap
kelompok, dan sebagainya.
c. Struktur
Persoalan ini terlihat pada bentuk pengelompokan, bentuk hubungan,
perbedaan kedudukan antar anggota, pembagian tugas, dan sebagainya.
d. Pimpinan
Persoalan pimpinan tidak kalah pentingnya pada kehidupan kelompok, hal ini
terlihat pada bentuk-bentuk kepemimpinan, tugas pimpinan, sistem
kepemimpinan, dan sebagainya.
e. Perkembangan kelompok
Persoalan perkembangan kelompok dapat pula menentukan kehidupan kelompok
selanjutnya, dan ini terlihat pada perubahan dalam kelompok, senangnya anggota
tetap berada dalam kelompok, perpecahan kelompok, dan sebagainya.
Sebuah kelompok bisanya melakukan tiga fungsi bagi anggotanya, yaitu (1)
memenuhi kebutuhan antarpersonal, (2) memberi dukungan bagi konsep diri
perorangan dan (3) melindungi para individu dari kesalahannya sendiri.
Disamping membantu anggota perorangan dalam hal-hal tersebut, kelompok ini
juga menciptakan identitas atau konsep diri bagi kelompok itu sendiri. Kadang-
19
kadang tujuan perorangan bertentangan dengan tujuan kelompok, kadang-kadang
tujuan kelompok bertentangan dengan tujuan organisasi yang lebih besar, tetapi
sesekali tujuannya amat serupa. Cara kelompok berkembang berkaitan dengan
bagaimana kelompok menangani tiga aspek penting dalam kehidupan kelompok :
(1) peranan atau kegiatan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok, (2) norma-
norma dan perbedaan dalam status yang tumbuh ketika para anggota berinteraksi,
dan (3) konflik yang muncul dari tekanan untuk bersikap secara bersaing alih-alih
bekerjasama (Pace dan Faules, 2005:318).
Slamet, Cartwright dan Zander dalam Carmelita (2002:20) menjelaskan
beberapa kekuatan dalam kelompok, yaitu :
1. Tujuan kelompok, merupakan gambaran tentang sesuatu hasil yang diharapkan
dicapai oleh kelompok. Anggota kelompok berbuat sesuai tujuan kelompok,
karena kelompok mempunyai tujuan yang jelas dan anggota kelompok
mengetahui arah kelompok.
2. Struktur kelompok, yaitu hubungan antara individu di dalam kelompok yang
disesuaikan dengan posisi dan peranan masing-masing individu. Kelompok
yang telah memiliki struktur, yaitu kelompok yang telah memiliki hubungan
yang stabil antar anggota kelompok.
3. Fungsi tugas adalah segala kegiatan yang harus dilakukan kelompok,
sehingga tujuannya tercapai.
4. Pembinaan kelompok, dimaksudkan sebagai usaha mempertahankan
kehidupan kelompok.
5. Kekompakan kelompok, di mana anggota kelompok yang tingkat
kekompakannya lebih tinggi terangsang untuk aktif mencapai tujuan
kelompok dibandingkan anggota kelompok yang tingkat kekompakannya
rendah.
6. Suasana kelompok, di mana kelompok mempunyai suasana yang menentukan
reaksi anggota terhadap kelompoknya seperti rasa hangat dan setia kawan,
rasa takut dan saling mencurigai, sikap saling menerima dan sebagainya.
20
7. Tekanan kelompok adalah segala sesuatu yang menimbulkan tegangan pada
kelompok untuk mendapatkan dorongan berbuat sesuatu dan tercapainya
tujuan kelompok.
8. Efektivitas kelompok, dilihat dari segi produktivitas, moral dan kepuasan
anggota.
2.4. Pemuka Pendapat
Di dalam suatu masyarakat biasanya ada orang-orang tertentu yang menjadi
tempat bertanya dan meminta nasehat anggota masyarakat lainnya mengenai
urusan-urusan tertentu, karena seringkali memiliki kemampuan mempengaruhi
orang lain untuk bertindak dalam cara-cara tertentu. Orang-orang tersebut
mungkin menduduki jabatan formal, tetapi pengaruh itu berlaku secara informal.
Pengaruh itu tumbuh bukan karena ditunjang oleh kekuatan atau birokrasi formal.
Jadi kepemimpinan itu bukan diperoleh karena jabatan resminya, melainkan
karena kemampuan dan hubungan antarpribadi dengan anggota masyarakat.
Orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain seperti
itu disebut tokoh masyarakat, pemuka pendapat, pemimpin informal atau sebutan
lainnya yang sejenis (Rogers and Shoemaker, 1981:110).
Opinion leader adalah orang yang mempunyai keunggulan dari masyarakat
kebanyakan. Maka sepantasnya jika mempunyai karakteristik yang membedakan
dirinya dengan yang lain. Beberapa karakteristik yang dimaksud adalah (1)
Lebih tinggi pendidikan formalnya dibandingkan dengan anggota masyarakat
lain; (2) Lebih tinggi status sosial ekonominya; (3) Lebih inovatif dalam
menerima dan mengadopsi ide baru; (4) Lebih tinggi pengenalan medianya; (5)
Kemampuan empatinya lebih besar; (6) Partisipasi sosialnya lebih besar; (7)
Lebih kosmopolit (mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas) (Nurudin,
2005:160).
Para pemimpin pendapat boleh jadi berasal dari tingkat sosial, ekonomi dan
pekerjaan mana saja. Dalam setiap lapisan masyarakat yang berbeda, terdapat
pemimpin pendapat yang berbeda, karena cenderung mempunyai lebih banyak
informasi dan lebih sering menggunakan berbagai media massa (Tubbs dan
Moss, 2001:208). Rogers (1995:239) menjelaskan karakteristik pemuka
21
pendapat yang membedakan dari masyarakat lainnya, yaitu (1) Pemuka pendapat
mempunyai ekspose lebih besar ke mass media dibandingkan para pengikutnya;
(2) Pemuka pendapat lebih kosmopolit daripada pengikutnya; (3) Pemuka
pendapat mempunyai hubungan lebih luas dengan agen perubahan dibandingkan
pengikutnya; (4) Pemuka pendapat memiliki partisipasi sosial lebih besar
dibanding pengikutnya; (5) Pemuka pendapat memiliki status sosial ekonomi
yang lebih tinggi dibandingkan pengikutnya; (6) Pemuka pendapat lebih inovatif
dibandingkan pengikutnya; (7) Ketika suatu sistem norma sosial menyukai
perubahan, para pemuka pendapat menjadi lebih inovatif, tetapi ketika norma-
norma tidak menyukai perubahan, maka para pemimpin pendapat tidak terlalu
inovatif.
Pemuka pendapat adalah sumber informasi, para pengikutnya adalah
penerima informasi (receiver). Beberapa pemuka pendapat mengambil prakarsa
dalam komunikasi dengan mencari kesempatan menghubungi anggota masyarakat
untuk menyebarluaskan pesan-pesannya. Sebaliknya masyarakat sering juga
menemui pemuka pendapat untuk mencari informasi (Ardianto dan Erdinaya,
2004:166). Pada masyarakat Indonesia yang masih bersifat agraris dan
transisional, banyak pemimpin informal berasal dari tetua adat, orang kaya yang
dermawan, alim ulama, cendekiawan dan sebagainya. Pemuka pendapat tampil
menjadi pemimpin informal, karena memiliki beberapa kelebihan dan diakui
keberadaannya oleh masyarakat. Para pemuka pendapat pada umumnya, memiliki
pengetahuan luas, kearifan memelihara dan memegang teguh nilai-nilai sosial
budaya, serta kemampuan mengambil keputusan. Pemuka agama, acapkali
dipandang memiliki perilaku sederhana, jujur, memegang teguh norma-norma
keagamaan dan kesusilaan. Pemuka pendapat yang tampil dari kalangan
cendekiwan dan dermawan, dianggap memiliki pengetahuan tentang masalah atau
aspek kehidupan, integritas dan pengabdian terhadap kehidupan bersama
masyarakat luas (Hasani, 2004:13).
Kepemimpinan menurut Robbins (2002:163) adalah kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Bentuk pengaruh tersebut
dapat secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi. Sedangkan
nonsanctioned leadership merupakan kemampuan untuk memberi pengaruh di
22
luar struktur formal organisasi yang kepentingannya sama atau bahkan melebihi
pengaruh struktur formal. Dengan kata lain, seorang pemimpin dapat saja muncul
dalam suatu kelompok, walaupun tidak diangkat secara formal.
Thoha (1991:9) juga menjelaskan dalam arti luas kepemimpinan dapat
digunakan setiap orang dan tidak hanya terbatas berlaku dalam suatu organisasi
atau kantor tertentu. Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi
perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan
maupun kelompok. Kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau
tatakrama birokrasi. Kepemimpinan tidak harus diikat terjadi dalam suatu
organisasi tertentu. Melainkan kepemimpinan dapat terjadi di mana saja, asalkan
seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain ke
arah tercapainya suatu tujuan tertentu.
Schramm dalam Ardianto dan Erdinaya (2004:167) pernah melakukan
penelitian untuk mengetahui atau menemukan para pemuka pendapat di tengah-
tengah masyarakat, melalui :
a. Revore Study. Dalam teori ini diuraikan tentang cara-cara atau teknik
menemukan pemuka pendapat di masyarakat, yaitu menanyakan kepada
orang-orang di dalam masyarakat, kepada siapa bertanya apabila masyarakat
tersebut mempunyai kesulitan dalam suatu masalah.
b. Decatur Study adalah suatu penelitian khusus dalam bidang pemasaran. Fokus
penelitian ini tidak hanya kepada pemuka pendapat, tetapi juga pada (1)
Kepentingan relatif dari pengaruh perseorangan, dan (2) Orang yang
dinamakan pemimpin dalam arti sesungguhnya. Penelitian ini
mengindikasikan nama seseorang yang berpengaruh di masyarakat.
c. Drug Study. Penelitian ini lebih banyak berhubungan dengan ilmu jiwa dan
sosiologi. Sebagai contoh, seorang dokter memberikan resep kepada pasien.
Setelah minum obat tersebut ternyata pasien sembuh, maka pasien tersebut
akan menyebarkan kepada orang lain bahwa obat yang diberikan oleh
dokternya ternyata manjur.
Menurut Ardianto dan Erdinaya (2004:167-168) juga terdapat tiga metode
utama lainnya yang dapat digunakan untuk penelitian pemuka pendapat. Yang sering
dilakukan dalam penelitian komunikasi adalah :
23
a. Sociometric Method. Dalam metode ini kepada masyarakat ditanyakan kepada
siapa meminta atau mencari informasi atau nasihat mengenai masalah-
masalah kemasyarakatan yang dihadapinya. Sociometric Method ini
merupakan alat pengukur yang paling sahih untuk menentukan siapa yang
menjadi pemimpin dalam masyarakat sesuai dengan pandangan para
pengikutnya. Pemimpin dalam hal ini adalah anggota masyarakat yang
memiliki informasi terbanyak.
b. Informant’s Rating. Dalam metode ini diajukan pertanyaan-pertanyaan
tertentu kepada orang-orang/responden yang dianggap sebagai key informants
dalam masyarakat mengenai siapa yang dianggapnya dan dianggap
masyarakat umum sebagai pemimpinnya. Dalam penggunaan teknik ini, harus
dipilih key informants yang benar-benar akrab (familiar) dengan sistem
masyarakat.
c. Self Designating Method. Dalam metode ini, kepada setiap responden
diajukan rangkaian pertanyaan untuk menentukan dalam tingkat mana
menganggap dirinya sebagai pemimpin dalam masyarakatnya. Pertanyaan
yang khas dapat diajukan : “menurut pendapat saudara, selain kepada pemuka
pendapat, pada siapakah masyarakat meminta informasi atau nasihat ?”.
Validitas pertanyaan ini banyak bergantung pada ketepatan (accuracy)
responden untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai pemimpin.
Mardikanto (1988:72) juga menjelaskan penelusuran tentang pemuka
pendapat, yaitu melalui beberapa model seperti (a) Model sosiometri, yaitu
dengan cara bertanya kepada beberapa warga masyarakat, tentang siapa
pemimpinnya atau sumber informasi yang biasa dihubungi; (b) Model jenjang-
informan, yaitu bertanya kepada beberapa warga masyarakat tentang siapa yang
dianggap tokoh/pemimpin di dalam masyarakatnya, oleh warga masyarakat pada
umumnya; (c) Model tunjuk-diri, yaitu bertanya kepada beberapa warga
masyarakat apakah yang bersangkutan merupakan sumber informasi bagi warga
masyarakatnya; (d) Pengamatan langsung tentang siapa-siapa yang dapat
dipandang atau dinilai sebagai tokoh (pemimpin, sumber informasi) di dalam
masyarakat yang diamatinya.
24
2.5. Bencana Alam
Bencana alam menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
United Nation Development Program atau UNDP (1992:12) mendefinisikan
bencana adalah gangguan yang serius dari berfungsinya suatu masyarakat, yang
menyebabkan kerugian-kerugian yang besar terhadap lingkungan, material dan
manusia, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana untuk
menanggulangi dengan hanya menggunakan sumber-sumber daya masyarakat itu
sendiri. Bencana sering diklasifikasikan sesuai dengan cepatnya serangan bencana
tersebut (secara tiba-tiba atau perlahan-lahan), atau sesuai dengan penyebab
bencana itu (secara alami atau karena ulah manusia).
Menurut Hidayati (2005:56) bencana adalah keadaan yang mengganggu
kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang disebabkan oleh gejala alam atau
perbuatan manusia. Bencana dapat terjadi melalui suatu proses yang panjang atau
situasi tertentu dalam waktu yang sangat cepat dengan tanpa adanya tanda-tanda.
Dampak bencana bervariasi tergantung pada kondisi dan kerentanan lingkungan
dan masyarakat. Bencana sering kali menimbulkan kepanikan masyarakat dan
menyebabkan penderitaan dan kesedihan yang berkepanjangan, seperti luka,
kematian, tekanan ekonomi akibat hilangnya usaha/pekerjaan dan kekayaan harta
benda, kehilangan anggota keluarga dan kerusakan infrastruktur, serta lingkungan.
2.5.1. Banjir
Banjir terjadi apabila sejumlah besar air menggenangi permukaan tanah
yang biasanya kering. Banjir adalah bencana alam yang paling sering terjadi dan
paling banyak merugikan baik segi kemanusiaan maupun ekonomi. Penyebab
utama banjir antara lain (1) hujan dalam jangka waktu yang panjang, (2) erosi
tanah atau buruknya penanganan sampah dan (3) pembangunan dan
perkembangan tempat pemukiman yang menyebabkan hilangnya daya serap air
hujan (IDEP, 2005:42).
25
2.5.2. Tanah Longsor
Pengertian tanah longsor adalah terjadinya pergerakan tanah atau bebatuan
dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau berangsur yang umumnya terjadi di
daerah terjal yang tidak stabil. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
bencana ini adalah lereng gundul serta kondisi tanah dan bebatuan yang rapuh.
Air hujan adalah pemicu utama terjadinya tanah longsor. Ulah manusiapun bisa
menjadi penyebab tanah longsor seperti penambangan tanah, pasir dan batu yang
tidak terkendali. Gejala umum tanah longsor yaitu (1) muncul retakan-retakan di
lereng yang sejajar dengan arah tebing, (2) muncul mata air secara tiba-tiba, (3)
air sumur di sekitar lereng menjadi keruh dan (4) tebing rapuh dengan kerikil
mulai berjatuhan (IDEP, 2005:48).
2.5.3. Gunung Meletus
Gunung meletus terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang
didorong keluar oleh gas bertekanan tinggi. Letusannya membawa abu dan batu
menyembur sejauh radius 18 km atau lebih, sedangkan lavanya dapat
membanjiri daerah sejauh radius 90 km. Letusan gunung berapi dapat
menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar sampai ribuan kilometer
jauhnya bahkan dapat mempengaruhi iklim bumi (IDEP, 2005:50).
2.5.4. Angin Topan
Angin Topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin 120
km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis di antara garis balik utara
dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan
khatulistiwa. Angin topan disebabkan oleh perbedaan tekanan dalam suatu
sistem cuaca. Angin paling kencang yang terjadi di daerah tropis ini umumnya
berpusar dengan radius ratusan kilometer di sekitar daerah sistem tekanan
rendah yang ekstrem dengan kecepatan sekitar 20 km/jam (IDEP, 2005:54).
2.5.5. Gempa Bumi
Salah satu bencana yang berkaitan dengan penelitian ini adalah gempa
bumi. Winardi, dkk (2006:18) menyebutkan gempa bumi adalah gerakan tiba-
tiba di dalam kerak atau mantel bumi bagian atas. Gempa tektonik ditimbulkan
26
oleh proses gesekan dan tunjaman di kerak bumi. Sementara gempa vulkanik
disebabkan oleh aktivitas gunung api. Secara umum dapat dikatakan, bahwa
gempa-gempa yang telah dan akan terjadi di Indonesia memiliki kaitan, baik
langsung maupun tidak langsung, dengan proses tumbukan (subduksi) antar
lempeng yang melingkupi Indonesia. Proses tersebut sebenarnya alamiah,
karena tepian lempeng bumi yang selalu terbaharui sementara ukuran bumi tak
berubah sedikitpun. Kemunculan tepian yang baru dan akan mendorong tepian
lainnya masuk ke dalam lapisan mantel bumi, lalu melebur. Pertemuan antar
tepian lempeng itulah yang memungkinkan terjadinya gesekan, tumbukan dan
gempa.
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-ESDM (2006:2)
gempa bumi adalah berguncangnya bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar
lempeng bumi, patahan aktif aktivitas gunung api atau runtuhan batuan. Proses
gempa bumi merupakan pergerakan lempeng samudera yang rapat massanya
lebih besar ketika bertumbukkan dengan lempeng benua di zona tumbukan
(subduksi) akan menyusup ke bawah. Gerakan lempeng itu akan mengalami
perlambatan akibat gesekan dari selubung bumi. Akibat utama gempa bumi
adalah hancurnya bangunan-bangunan karena goncangan tanah.
Bakornas PBP (2005:38) menjelaskan bahwa magnitudo gempa bumi
menunjukkan besarnya energi yang dilepaskan dari pusat gempa
bumi/hiposenter. Ukuran dan luas daerah kerusakan akibat gempa bumi secara
kasar berhubungan dengan besarnya enegi yang dilepaskan. Skala magnitudo
gempa bumi biasanya dinyatakan dengan skala Richter. Skala intensitas
menunjukkan kerusakan akibat getaran pada lokasi kerusakan. Skala intensitas
juga berhubungan dengan magnitudo dari energi yang dilepaskan, jarak dari
epicenter dan kondisi tanah lokasi.
27
Tabel 1. Skala Modified Mercalli Intensity yang digunakan untuk menunjukkan intensitas guncangan gempa bumi
Skala Keterangan
1 Sangat jarang/hampir tidak ada orang yang merasakannya. Tercatat pada alat seismograf.
2 Terasa oleh sedikit sekali orang, terutama yang ada di gedung tinggi dan sebagian besar orang tidak dapat merasakan.
3 Terasa oleh sedikit orang, khususnya yang berada di gedung tinggi. Mobil yang parkir sedikit bergetar, getaran seperti akibat truk yang lewat.
4 Pada siang hari akan terasa oleh banyak orang dalam ruangan, di luar ruangan hanya sedikit yang dapat merasakan. Pada malam hari sebagian orang dapat terbangun. Piring, jendela, pintu, dinding, mengeluarkan bunyi retakan dan lampu gantung bergoyang.
5 Dirasakan hampir oleh semua orang, pada malam hari sebagian besar orang tidur akan terbangun, barang-barang di atas meja terjatuh, plesteran tembok retak, barang-barang yang tidak stabil akan roboh dan pundulum jam dinding akan berhenti.
6 Dirasakan oleh semua orang, banyak orang ketakutan/panik, berhamburan keluar ruangan, banyak perabotan yang besar bergeser, plesteran dinding retak dan terkelupas, serta cerobong asap pabrik rusak.
7 Setiap orang berhamburan keluar ruangan, kerusakan terjadi pada bangunan yang desain konstruksinya jelek dan kerusakan sedikit sampai sedang terjadi pada bangunan dengan desain konstruksi biasa. Bangunan yang baik tidak mengalami kerusakan berarti.
8 Kerusakan luas pada bangunan dengan desain konstruksi jelek, kerusakan berarti pada bangunan dengan desain biasa dan sedikit kerusakan pada bangunan dengan desain baik. Dinding panel akan pecah dan terlepas dari frame, cerobong asap pabrik runtuh, perabotan yang berat akan terguling dan pengendara mobil terganggu.
9 Kerusakan berarti pada bangunan dengan desain konstruksi yang baik, pipa-pipa bawah tanah putus dan timbul retakan pada tanah.
10 Sejumlah bangunan kayu dengan desain yang baik rusak dan sebagian besar bangunan tembok rusak termasuk pondasinya. Retakan pada tanah akan semakin banyak, tanah longsor pada tebing-tebing sungai dan bukit, serta air sungai akan melimpas di atas tanggul.
11 Sangat sedikit bangunan tembok yang masih berdiri, jembatan putus, rekahan pada tanah sangat banyak/luas, jaringan pipa bawah tanah hancur dan tidak berfungsi, rel kereta api bengkok dan bergeser.
12 Kerusakan total, gerakan gempa terlihat bergelombang di atas tanah, benda-benda beterbangan ke udara.
Sumber: Bakornas PBP, 2005.
28
2.5.6. Tsunami
Tsunami adalah gelombang besar yang diakibatkan oleh pergeseran bumi di
dasar laut. Kata tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang
pelabuhan, karena bencana ini hanya terjadi di daerah pesisir. Tsunami dapat
terjadi kapan saja dengan gejala antara lain (1) Biasanya diawali dengan gempa
bumi yang sangat kuat, (2) Permukaan laut turun secara tiba-tiba yang merupakan
awal kemunculan gelombang besar dan (3) Tsunami merupakan rangkaian
gelombang sehingga bukan gelombang pertama yang membahayakan tetapi
gelombang berikutnya yang jauh lebih besar. Penyebab terjadinya tsunami antara
lain (1) Gempa bumi yang diikuti dengan dislokasi/perpindahan masa
tanah/batuan yang sangat besar di bawah air, (2) Tanah longsor di dalam laut dan
(3) Letusan gunung api di bawah laut atau gunung api pulau (IDEP, 2005:62).
2.6. Manajemen Bencana
Manajemen bencana adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan-keputusan
administratif dan aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan
berbagai tahapan dari semua tingkatan bencana. Prasetyo (2004:1) mengatakan
pemulihan (recovery) kondisi masyarakat pasca bencana akan lebih solid, bila
mencoba membangun manajemen bencana (disaster management), agar siklus
normalisasi kehidupan termasuk rehabilitasi tercapai dengan rentang waktu yang
lebih pendek. Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah kepentingan
publik, diharapkan berkurangnya korban nyawa dan kerugian harta benda. Yang
terpenting dari manajemen bencana adalah adanya suatu langkah konkrit dalam
mengendalikan bencana, sehingga korban yang tidak diharapkan dapat
terselamatkan dan upaya untuk pemulihan pasca bencana dapat dilakukan dengan
cepat. Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis publik dan
pemerintah atas masalah bencana alam, menciptakan proses perbaikan total atas
pengelolaan bencana, penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu
pada kearifan lokal berbentuk peraturan daerah atas manajemen bencana. Yang
tak kalah pentingnya dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatian-
hatian, terutama pada daerah rawan bencana.
29
Pengkajian bencana adalah proses dari penentuan dampak dari suatu bencana
pada suatu masyarakat. Prioritas pertama adalah menetapkan kebutuhan untuk
tindakan-tindakan emergensi yang bersifat segera guna menyelamatkan dan
melanjutkan kehidupan dari yang selamat. Prioritas kedua adalah untuk
mengidentifikasikan kemungkinan-kemungkinan pemberian fasilitas dan
mempercepat pemulihan dan pembangunan. Beberapa pengkajian secara khusus
dilakukan seperti pengkajian kerusakan. Pengkajian-pengkajian ini mencakup
persiapan khusus, estimasi yang dapat diukur dari kerusakan fisik sebagai akibat
dari bencana. Pengkajian kerusakan mungkin juga mencakup rekomendasi yang
mencakup perbaikan, rekonstruksi atau pemindahan dari bangunan, dan
perlengkapan, maupun pemulihan kembali aktivitas-aktivitas ekonomi (UNDP,
1992: 95).
Menurut Sphere (2006:30), penduduk yang terkena dampak bencana secara
aktif berpartisipasi dalam pengkajian, perancangan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi program bantuan. Partisipasi orang-orang yang terkena dampak bencana
dalam pembuatan keputusan di semua tahapan siklus proyek (pengkajian,
perancangan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program bantuan) membantu
untuk memastikan pelaksanaan program-program yang berkeadilan dan efektif.
Untuk itu harus dilakukan upaya khusus memastikan keikutsertaan perwakilan
orang-orang secara seimbang dalam program bantuan, termasuk kelompok rentan
dan kelompok terpinggirkan. Partisipasi harus memastikan bahwa program-
program didasarkan pada kerelaan orang-orang yang terkena dampak bencana
untuk bekerjasama bahwa program-program tersebut menghargai budaya
setempat, selama hal ini tidak mengabaikan hak-hak individu.
Bencana-bencana dapat dipandang sebagai fase-fase kontinum waktu.
Mengidentifikasi dan memahami fase-fase ini membantu untuk menggambarkan
kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan bencana dan memberi konsep tentang
aktivitas-aktivitas manajemen bencana yang memadai.
30
Dampak bencana Fase pengurangan resiko pra-bencana
Fase pemulihan pasca bencana
Bantuan
Rehabilitasi
Rekonstruksi
Mitigasi
Kesiapan
Gambar 4. Manajemen bencana (UNDP, 1992:21)
Fase pemulihan adalah periode yang munculnya mengikuti suatu bencana
yang tiba-tiba (atau penemuan yang sudah terlambat dari situasi serangan yang
lamban yang diabaikan), jika tindakan-tindakan pengecualian diambil untuk
mencari dan menemukan yang bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasar untuk tempat berteduh, air, makanan dan perawatan medis.
Dalam fase pemulihan ini terhadat tiga tahap yaitu bantuan (tanggap darurat),
rehabilitasi dan rekonstruksi (pemulihan kembali) (UNDP, 1992:21). Tujuan-
tujuan menyeluruh dari emergensi pasca bencana ini adalah :
1. Menjamin jumlah korban yang mungkin diselamatkan. Secara maksimal,
menjaga kesehatan dalam segala kondisi dengan kemungkinan yang lebih
baik.
2. Menetapkan kembali kemandirian dan pelayanan-pelayanan yang penting
secepat mungkin untuk semua kelompok populasi, dengan perhatian khusus
terhadap kebutuhannya yang paling banyak, yang paling rentan dan kurang
mampu.
31
3. Memperbaiki kembali atau mengganti infrastruktur yang rusak dan
menggerakkan kembali aktivitas-aktivitas ekonomi yang aktif. Melakukan ini
dengan sikap yang dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan jangka
panjang dan mengurangi kerentanan terhadap munculnya kembali bahaya-
bahaya yang dapat merusak (UNDP, 1992:91).
2.6.1. Tanggap Darurat
Dalam kamus bencana bantuan darurat (relief) disebut sebagai upaya untuk
memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa
pangan, sandang, tempat tinggal sementara, perlindungan, kesehatan, sanitasi dan
air bersih. Menurut UNDP (1992: 91-93) beberapa hal yang termasuk pada masa
tanggap darurat berkaitan dengan bencana alam mendadak adalah :
1. Evakuasi termasuk relokasi dari zona-zona beresiko ke lokasi yang lebih
aman.
2. Mencari dan menyelamatkan (SAR), yaitu proses pengidentifikasian lokasi
korban bencana yang mungkin terjebak atau terisolasi dan membawanya ke
tempat aman, serta memberikan perawatan medis.
3. Pengkajian pasca bencana yang bertujuan untuk memberikan gambaran
singkat dan jelas dari situasi pasca bencana, untuk mengidentifikasikan
keperluan-keperluan bantuan dan mengembangkan strategi-strategi pemulihan.
4. Bantuan emergensi, yaitu penyediaan bantuan materi dan bantuan medis
emergensi berdasarkan peri kemanusiaan yang diperlukan untuk
menyelamatkan dan mengamankan kehidupan manusia. Bantuan ini
memungkinkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk perawatan
kesehatan dan obat-obatan, tempat berlindung, pakaian, air dan makanan
(termasuk sarana untuk menyiapkan makanan).
5. Kapasitas dan fasilitas logistik untuk pengiriman bantuan. Pelayanan suplai
yang terorganisir dengan baik penting untuk menangani pembelian atau
penerimaan, penyimpanan, dan pengiriman suplai bantuan untuk
didistribusikan kepada korban bencana.
6. Komunikasi dan manajemen informasi. Ada dua aspek komunikasi dalam
bencana. Pertama adalah perlengkapan yang penting untuk arus informasi,
32
seperti radio, telepon dan sistem pendukung, satelit dan jalur-jalur transmisi.
Kedua, manajemen informasi : protokol untuk mengenali siapa yang
berkomunikasi, informasi apa dan untuk siapa, prioritas apa yang harus
diberikan untuk informasi itu, dan bagaimana informasi itu disebarkan dan
ditafsirkan.
7. Respons terhadap yang selamat dan penanganannya. Pengkajiannya harus
memperhatikan mekanisme penanganan sosial yang ada yang meniadakan
perlunya bantuan dari luar. Yang selamat dari bencana mungkin memiliki
kebutuhan baru dan khusus akan pelayanan-pelayanan sosial untuk membantu
menyesuaikan diri dengan trauma dan gangguan yang disebabkan oleh
bencana.
2.6.2. Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Rehabilitasi dan rekonstruksi terdiri sebagian besar dari fase pemulihan
bencana. Periode yang mengikuti fase emergensi ini memfokuskan pada aktivitas-
aktivitas yang memungkinkan para korban untuk memulai lagi kehidupan yang
dapat berjalan secara normal dan sarana-sarana kehidupan. Hal ini mencakup
rehabilitasi infrastruktur, pelayanan-pelayanan dan ekonomi dalam cara yang
cocok dengan kebutuhan jangka panjang dan tujuan-tujuan pembangunan yang
terbatas. Secara spesifik, rehabilitasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan
setelah terjadi satu bencana untuk memungkinkan pelayanan-pelayanan dasar
guna memfungsikan kembali, membantu para korban dengan usaha mandiri untuk
memperbaiki tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas komunitas, serta memberikan
fasilitas terhadap bangkitnya kembali aktivitas-aktivitas ekonomi. Sedangkan
rekonstruksi adalah konstruksi permanen atau penggantian bangunan-bangunan
fisik yang rusak parah, pembangunan kembali secara total dari semua pelayanan-
pelayanan dan infrastruktur lokal, serta penguatan ekonomi (UNDP, 1992:106).
Tujuan rehabilitasi dan rekonstruksi adalah untuk mendorong dan membantu
pemulihan bantuan selama fase pasca bencana. Tujuan itu harus direncanakan dan
dilaksanakan dengan pemahaman seperti itu dalam pikiran. Pelayanan dan
bantuan vital yang rusak harus diperbaiki atau diganti, sebagaimana hal ini bisa
melindungi dari risiko-risiko di masa mendatang. Pada waktu yang sama, dan
33
tidak kalah pentingnya, harus ditemukan cara-cara untuk membantu orang-orang
pulih kembali, khususnya mempunyai sumber daya paling sedikit (UNDP,
1992:108).
Trauma psikologis dari kehilangan sanak saudara dan teman, serta goncangan
jiwa akibat bencana yang mengejutkan, dapat lebih lama lagi penyembuhannya,
daripada pemulihan fisik. Maka dari itu, penting bahwa program kesejahteraan
sosial dan dukungan psikologis pasca bencana, untuk segera dilakukan setelah
bencana terjadi, sebagai bagian dari program pemulihan menyeluruh (Mataair,
2006:6). Menurut Poerwandari (2005:46) cukup banyak penelitian dilakukan
untuk mencoba memahami dampak pengalaman traumatik pada individu yang
mengalami, yang paling sering dibahas adalah stress pasca trauma post traumatic
stress dissorder (PTSD). Secara sederhana, stress dapat didefinisikan sebagai
suatu keadaan di mana individu terganggu keseimbangannya akibat situasi
eksternal ataupun internal. Sementara itu, secara sederhana trauma bermakna
pukulan atau luka. Secara psikologis trauma, mengacu pada pengalaman-
pengalaman mengagetkan dan menyakitkan, bahkan mengancam nyawa, yang
memukul dan menimbulkan luka, yang situasinya melebihi situasi sulit yang
dialami manusia sehari-hari dalam kondisi wajar. Dengan pengertian demikian,
stress pasca trauma menunjuk pada keadaan tertekan, tidak nyaman, hilangnya
keseimbangan yang kemudian menyusul kejadian traumatik.
Berkaitan dengan manajemen bencana tersebut, Paripurno (2001:4)
mengatakan bahwa manajemen bencana perlu dilakukan dengan mekanisme
internal, yaitu mendudukkan masyarakat sebagai subyek. Manajemen ini tidak
menempatkan masyarakat pada posisi lemah, bodoh dan salah, nampaknya
menjadi suatu kebutuhan. Tantangannya adalah bagaimana memulai melakukan
pengalihan keterampilan penelitian dan perencanaan itu ? Metode partisipatif
merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung
mekanisme internal. Asas yang melandasi mekanisme ini adalah
“pemberdayaan”, yaitu memperhatikan kapasitas awal masyarakat dan kegiatan
dibangun untuk masyarakat agar dapat mengembangkan kapasitasnya sendiri.
Wujud nyata dari asas ini adalah perlunya lembaga-lembaga pemerintah, lembaga
swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendukung proses peningkatan
34
kapasitas (sekaligus merupakan upaya mengurangi kerentanan) yang ada dengan
sepenuh hati. Namun, setelah masyarakat mempunyai kapasitas yang cukup,
dibiarkan masyarakat menentukan.
Konflik perbedaan opini dan persepsi mengenai apa yang diperlukan dan
yang harus diprioritaskan sangat biasa terjadi. Untuk menyusun gambaran jelas
dari situasi yang terjadi, sebagai dasar pembuatan keputusan yang tepat,
diperlukan pengumpulan informasi yang dapat dipercaya dari setiap sektor, yang
harus dilakukan staf yang berpengalaman. Hal tersebut juga membutuhkan
konsultasi dengan masyarakat yang terkena dampak bencana dan para
pemimpinnya, dalam menyusun persepsi dan prioritas (Mataair, 2006:8).
Pertukaran informasi dan pengetahuan antar semua yang terlibat merupakan
hal yang sangat mendasar untuk dapat mencapai pemahaman masalah yang lebih
baik dan untuk memberikan bantuan secara terkoordinir. Hasil pengkajian harus
secara aktif disampaikan kepada semua organisasi dan individu yang terkait.
Harus disusun mekanisme untuk memungkinkan orang-orang memberikan
masukan terhadap program, misalnya pertemuan-pertemuan umum atau melalui
lembaga-lembaga berbasis komunitas. Partisipasi dalam program harus
memperkuat rasa bermartabat dan harapan orang-orang pada waktu krisis, dan
orang-orang harus didorong untuk ikut serta dalam program melalui berbagai cara.
Program-program harus dirancang untuk memperkuat kapasitas setempat dan
untuk menghindarkan diabaikannya strategi-strategi penanganan masalah yang
dimiliki oleh masyarakat sendiri (Sphere, 2006:31).