11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Antarbudaya
2.1.1 Definisi Komunikasi Antarbudaya
Didalam kehidupan kita komunikasi antarbudaya bukan merupakan hal
yang baru, sejak kita lahir kita sudah diajak untuk berkomunikasi dengan orang
lain bahkan sampai saat ini secara tidak sadar kita sudah berkomunikasi dengan
orang yang beda-beda ras, bahasa, agama, kelas sosial dan lain sebagainya.
Komunikasi dan kebudayaan bukan hanya dua kata saja tetapi merupakan dua
konsep yang tidak dapat dipisahkan. Didalam komunikasi antarbudaya seseorang
berkomunikasi sesuai dengan budaya yang mereka miliki, lalu berinteraksi dengan
budaya yang memiliki latar belakang yang berbeda dari budayanya. Komunikasi
antarbudaya sebenarnya dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan siapa
saja dan hal-hal yang dikomunikasikan tentu saja tergantung dengan kedua budaya
yang sedang berinteraksi tersebut. Seorang manusia tidak dapat dikatakan
berinteraksi jika tidak sedang berkomunikasi dengan lainnya, selain itu dapat
dikatakan juga interaksi yang berhasil tergantung dengan bagaimana komunikasi
yang terjadi diantara kedua budaya yang berbeda tersebut.
12
Komunikasi antarbudaya sendiri memiliki beberapa definisi, Samovar
(2010:13) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya akan terjadi jika terdapat
sebuah perbedaan diantara kedua budaya tersebut. Samovar disini menegaskan
bahwa komunikasi antarbudaya mencakup interaksi antara orang-orang yang
memiliki perbedaan dalam persepsi dan sistem simbol dalam suatu komunikasi.
Sejalan dengan Samovar, Sihabudin (2011:38) mengatakan komunikasi
antarbudaya juga dipahami sebagai sebuah perbedaan, tetapi perbedaan yang ia
maksudkan disini adalah perbedaan didalam menilai suatu objek-objek sosial dan
kejadian-kejadian. Untuk memperkuat kedua pendapat diatas yang menyatakan
bahwa komunikasi antarbudaya akan terjadi melalui sebuah perbedaan, maka
Lustig dan Koester didalam Liliweri (2005:367) menyatakan perbedaan juga tetapi
perbedaan didalam hal kepentingan derajat. Perbedaan kepentingan derajat yang
dimaksudkan disini adalah setiap orang akan melakukan proses komunikasi dan
memberikan interpretasi serta harapan berbeda yang nantinya akan disalurkan
melalui sebuah perilaku sebagai proses pertukaran makna.
Dari ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi
antarbudaya akan terjadi jika pemberi dan penerima pesan berasal dari kebudayaan
yang berbeda. Perbedaan-perbedaan inilah yang akan memunculkan makna dari
suatu pesan dan memunculkan berbagai variasi dalam memahami suatu pesan.
Proses pembagian pesan dalam komunikasi budaya dapat melalui lisan, tertulis
maupun dalam bentuk simbol-simbol yang nantinya akan disalurkan melalui
13
saluran tertentu. Tentu saja proses pembagian pesan ini berasal dari komunikator
dan komunikan yang berbeda latar belakang budayanya agar tercipta suatu efek
tertentu atau berbeda. Dari perbedaan inilah sebuah budaya dapat memiliki ciri
khusus yang dapat membedakan mereka dengan budaya lainnya sehingga akan
memunculkan ikatan yang kuat dalam kelompok masyarakatnya. Kemudian dapat
dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan proses interaksi dalam
menilai atau menginterpretasikan dan pertukaran suatu pesan yang nantinya akan
mempengaruhi perilaku komunikasi mereka.
Pengertian-pengertian diatas secara tidak langsung memberi tahu kita
bahwa semakin besar perbedaan latar belakang budaya maka semakin besar juga
peluang kita untuk tidak mendapatkan komunikasi yang efektif. Hal ini dapat
disebabkan saat kita berkomunikasi dengan budaya yang berbeda kita menemui
sejumlah perbedaan misalnya dalam hal bahasa, cara bicara, pengetahuan,
kebiasaan dan lain sebagainya. Dengan adanya hal tersebut kita akan menjadi
asing dan bingung untuk memaknai setiap pesan yang ada. Maka dapat dikatakan
bahwa budaya juga dapat mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Dengan
demikian sudah seharusnya kita membekali diri kita dengan pengetahuan-
pengetahuan, khususnya mengenai bagaimana budaya dapat berpengaruh pada
komunikasi. Setidaknya jika kita tahu hal-hal tersebut, kita dapat mengetahui cara
atau meminimalisir kemungkinan terjadinya suatu konflik antarbudaya.
2.1.2 Model Komunikasi Antarbudaya
14
Seperti yang telah kita ketahui bahwa komunikasi sangat berhubungan erat
dengan budaya, bahkan setiap fungsi dan hubungan-hubungan antar komponen
komunikasi juga berkaitan dengan budaya. Komunikasi antarbudaya dapat
ditandai dengan adanya sumber dan penerima yang berasal dari budaya yang
berbeda, hal tersebut dapat menjadi ciri dalam menandai sebuah komunikasi
antarbudaya. Didalam komunikasi antarbudaya terdapat model komunikasi
antarbudaya yang dapat digunakan sebagai penyampai suatu peristiwa untuk dapat
melihat beberapa faktor yang terlibat didalam proses komunikasi antarbudaya.
Seperti yang dikatakan Devito dalam Sihabudin (2011:50) yang
mengilustrasikan proses komunikasi antarbudaya dapat digambarkan dengan
lingkaran kecil dan lingkaran besar serta kotak kecil dan kotak besar. Didalam
lingkaran kecil merupakan budaya yang dianut individu, sedangkan lingkaran
besar merupakan lingkungan dimana individu tersebut berada. Sama halnya
dengan kotak kecil dan besar, Devito menggambarkannya sebagai budaya individu
dan lingkungan budaya yang dominan. Berbeda dengan Devito, dalam artikel
berjudul Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi Antarbudaya oleh Samovar dan
Porter yang disebutkan dalam Mulyana (2006:21) menjelaskan mengenai model
komunikasi antarbudaya bahwa dalam setiap budaya ada atau terdapat bentuk lain
yang serupa dengan bentuk sebuah budaya dan budaya tersebut diwakilkan oleh
tiga bentuk geometrik yang berbeda. Dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
15
Gambar 1. Model Komunikasi Antarbudaya
Sumber: Samovar dan Porter dalam Mulyana (2006:21)
Seperti yang bisa lihat pada gambar diatas, budaya A dan budaya B merupakan
budaya yang hampir sama dan masing-masing diwakilkan oleh segi empat dan segi
delapan yang tidak beraturan. Sedangkan budaya C sangat berbeda dengan budaya
A dan budaya B yang dapat dilihat pada bentuk melingkar di budaya C dan budaya
C memiliki jarak yang jauh dari budaya A dan budaya B. Didalam setiap budaya
terdapat bentuk-bentuk yang hampir sama dengan bentuk budaya hal ini
dikarenakan seorang individu telah dibentuk atau dipengaruhi oleh budaya tetapi
bentuk individu tidak serupa dengan budaya yang mempengaruhinya.
Didalam model komunikasi antarbudaya ini penyandian-penyandian pesan
digambarkan oleh panah-panah yang telah terhubung pada budaya A, B dan C.
Panah-panah tersebut berfungsi sebagai pengirim pesan dari budaya satu ke
16
budaya yang lain. Anggap saja saat satu panah yang berasal dari budaya A
meninggalkan sebuah pesan kepada budaya B, pesan tersebut akan memiliki
makna sesuai dengan yang dikehendaki oleh budaya A. Tetapi jika pesan tersebut
diteruskan dari budaya B kepada budaya C maka pesan tersebut akan mengalami
suatu perubahan. Dapat dilihat pada panah mengalami perubahan pola. Perubahan
tersebut berasal dari pengirim pesan sebelumnya yaitu budaya B, artinya budaya
B memiliki pengaruh pada pemaknaan suatu pesan. Dapat dikatakan bahwa
perilaku dan pemaknaan yang dimiliki pengirim pesan pertama tidak memiliki
kesamaan makna budaya dengan pengirim pesan kedua. Selain itu jika dilihat dari
pola didalam panah ketiga budaya tersebut budaya A dan B memiliki perbedaan
lebih kecil dibandingkan budaya A dan budaya C, hal ini disebabkan karena
budaya A dan B memiliki persamaan yang cukup besar dalam perilaku
komunikatif dan pemaknaan pesan. Sebaliknya dengan budaya C terlihat sangat
berbeda dengan budaya A dan B, dalam pola panah tersebut lebih menyerupai
budaya C. Bertolak belakang dengan pendapat Devito dan Samovar, Liliweri
(2013:32) menggambarkan model komunikasi antarbudaya sebagai perbedaan
dalam hal kepribadian dan persepsi terhadap relasi antarpribadi. Dapat dilihat pada
gambar dibawah ini:
Gambar 2. Model Komunikasi Antarbudaya
17
Sumber : Liliweri Alo (2013:32)
Didalam model komunikasi antarbudaya tersebut, Liliweri menjelaskan
perbedaan bahwa A dan B adalah dua orang individu yang memiliki latar belakang
yang berbeda dan keduanya memiliki perbedaan dalam hal kepribadian dan
persepsi terhadap relasi antarpribadi. Komunikasi antarbudaya akan terjadi saat A
dan B melakukan percakapan dan saat percakapan itu terjadi keduanya menerima
perbedaan yang ada diantara mereka sehingga akan bermanfaat untuk menurunkan
tingkat kecemasan dan ketidakpastian didalam hubungan keduanya. Dari
menurunnya ketidakpastian dan kecemasan akan membentuk sebuah strategi
komunikasi yang akomodatif, strategi tersebut memiliki dua unsur yaitu adaptif
dan efektif. Selain itu strategi tersebut terbentuk karena adanya budaya baru yaitu
C, budaya C secara psikologis akan mempengaruhi A dan B. Hasil dari strategi
komunikasi akomodatif tadi juga akan mempengaruhi A dan B, sifat adaptif akan
membuat A dan B saling menyesuaikan diri dan dari menyesuaikan diri tersebut
akan menghasilkan komunikasi antarpribadi-antarbudaya yang efektif juga.
18
Dengan demikian dapat disimpulkan dari ketiga model komunikasi
antarbudaya tersebut bahwa setiap individu atau budaya tidak ada yang memiliki
persamaan yang benar-benar serupa, jika ada pun hanya hampir mirip atau hampir
serupa. Biasanya para pendatang akan berada dalam keadaan dimana ia menjadi
budaya yang minoritas dan akan didominasi oleh budayanya yang baru. Hal
tersebut tentu saja akan memperlihatkan atau menampakkan pola-pola baru yang
berbeda dari budaya yang sebelumnya. Setiap kebudayaan pasti memiliki pola-
pola yang berbeda yang menjadikan sebagai ciri khas mereka. Dalam memaknai
sebuah pesan juga mereka memiliki perilaku komunikatif yang berbeda-beda.
Dapat dikatakan jika semakin mirip satu budaya dengan budaya lainnya maka
pemaknaan pesan akan sesuai yang dikehendaki dan sebaliknya jika semakin jauh
satu budaya dengan budaya lainnya maka pemaknaan pesan tidak akan sesuai yang
dikehendaki sebelumnya. Selain itu, komunikasi antarbudaya akan terjadi jika
budaya yang satu dengan yang lain melakukan interaksi, dari interaksi tersebut
akan terbentuk sebuah kebudayaan baru. Dengan adanya budaya yang baru,
kemudian kedua budaya tersebut dapat beradaptasi dan menerima perbedaan satu
sama yang lain sehingga akan menurunkan tingkat ketidakpastian dan kecemasan
diantara mereka. Selain itu mereka akan menghasilkan sebuah komunikasi
antarbudaya yang efektif.
2.1.3 Pendekatan-pendekatan Komunikasi Antarbudaya
19
Setelah mengetahui model komunikasi antarbudaya, terdapat cara-cara
untuk dapat melihat budaya dan komunikasi khususnya untuk melihat manusia
sebagai objek dan subjek dalam komunikasi antarbudaya. Didalam hal ini terdapat
beberapa pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan. Novinger (2001:22)
menyebutkan terdapat dua pendekatan yaitu etik dan emik. Etik sendiri merupakan
pendekatan yang bersifat umum yang berkaitan dengan bahasa dan perilaku, etik
dapat juga disebut dengan pendekatan fungsionalis. Kemudian emik merupakan
pendekatan yang berbanding terbalik dengan etik. Didalam emik kita memandang
budaya dengan perspektif yang lebih spesifik, emik juga dapat disebut dengan
pendekatan interpretatif. Seperti halnya Novinger, Martin dan Nakayama
(2010:50) menyebutkan bahwa pendekatan fungsionalis dan interpretatif
merupakan pendekatan dalam komunikasi antarbudaya. Selain itu, disini ia
menjelaskan lebih dalam mengenai kedua pendekatan tersebut dan menambahkan
satu pendekatan lagi yaitu pendekatan kritis, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Pendekatan Fungsionalis
Pendekatan fungsionalis mendeskripsikan kebiasaan manusia dapat
dilihat melalui penampilan luarnya. Selain itu kebiasaan tersebut
dapat mempengaruhi proses komunikasinya lalu hal tersebut dapat
diprediksi melalui perbedaan dalam sebuah budaya.
2. Pendekatan Interpretatif
20
Didalam pendekatan ini menjelaskan bahwa tidak hanya realitas
yang mengkontruksi manusia, tetapi manusia juga bisa
mengkontruksi sebuah realitas. Pendekatan ini yakin bahwa
pengalaman manusia dan komunikasi itu bersifat subjektif.
3. Pendekatan Kritis
Pendekatan ini memiliki kesamaan dengan pendekatan interpretatif
yaitu memandang secara subjektif. Tetapi pendekatan ini lebih
memberikan metode dalam sosial dan politik dimana keduanya
memiliki pengaruh terhadap komunikasi. Oleh karena itu pendekatan
ini bukan hanya sekedar mengetahui bagaimana kebiasaan manusia
tetapi juga kekuatan sosial politik dapat berfungsi dalam suatu
budaya.
Tidak berbeda jauh berbeda dengan Novinger serta Martin dan Nakayama,
Liliweri (2013:66) juga memiliki pendapat yang sama mengenai tiga pendekatan
yang sebelumnya telah disebutkan, tetapi disini ia menambahkan tiga pendekatan
lagi dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Pendekatan Dialektikal
Pendekatan ini masih memiliki hubungan dengan tiga pendekatan
diatas, pendekatan dialektikal ini merupakan perpaduan dari ketiga
pendekatan diatas yaitu pendekatan fungsionalis, pendekatan
interpretatif dan pendekatan kritis. Dalam pendekatan ini
21
memandang kenyataan dari luar dan dalam merupakan hal yang lebih
baik, tetapi hal tersebut harus dibangun terlebih dahulu dengan
komunikasi. Selain itu, pendekatan ini juga memandang realitas
secara objektif dan subjektif.
2. Pendekatan Dialog Kultural
Pendekatan ini lebih menekankan pada isu internasionalisme dan
humanisme. Dengan kata lain pendekatan ini lebih kepada
bagaimana peran komunikasi antarbudaya dari suatu organisasi
perdamaian internasional dan lain sebagainya.
3. Pendekatan Kritik Budaya
Pendekatan ini lebih fokus kepada pencarian isu-isu yang terkait
dengan terjadinya konflik dalam suatu budaya. Didalam pendekatan
ini menggabungkan etik dan emik secara bersamaan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kita dapat mendekati sebuah budaya dan
komunikasi melalui berbagai macam cara. Pendekatan-pendekatan tersebut
berasal dari sebuah asumsi-asumsi, kebiasaan, bahasa bahkan dari konsep
mengenai budaya itu sendiri dan juga untuk memandang suatu budaya kita tidak
hanya harus memandang secara subjektif tetapi juga bisa secara objektif. Kita juga
harus mengetahui bahwa budaya bukan hanya mempengaruhi sebuah proses
komunikasi, tetapi budaya juga dapat dipengaruhi oleh proses komunikasi itu
sendiri. Selain itu, kita juga harus mengetahui bahwa didalam budaya terdapat
22
kekuatan sosial, budaya, ekonomi bahkan konflik-konflik antarbudaya.
Pendekatan-pendekatan budaya tersebut dapat memberi kita pengetahuan secara
langsung untuk dapat beradaptasi dan dapat diterima didalam budaya baru, selain
itu dapat mengantisipasi keadaan yang muncul secara tidak terduga.
2.1.4 Hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya
Dalam menjalin komunikasi antarbudaya bagi seseorang bukan sesuatu hal
yang mudah. Permasalahannya terdapat pada titik dimana individu memiliki latar
belakang budaya yang berbeda-beda. Semakin berbeda kedua budaya maka
semakin besar juga perbedaan diantara keduanya dan semakin sedikit juga peluang
untuk memahami satu sama lain. Hal itulah yang dapat memicu berbagai macam
hambatan dalam komunikasi antarbudaya. Tubbs dan Sylvia (2000:254)
menyebutkan ada dua hal yang dapat menjadi hambatan dalam komunikasi
antarbudaya, yaitu :
1. Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan suatu pemahaman dimana seorang
individu menganggap kelompok budayanya sebagai tolak ukur untuk
menilai kelompok budaya yang lain dan menganggap budayanya
paling baik dibandingkan dengan budaya lainnya.
2. Penstereotipan
Stereotip dapat dikatakan sebagai cara untuk menilai sesuatu secara
umum yang didasari oleh pengalaman yang terbatas.
23
Sejalan dengan pendapat Tubss dan Slyvia, Samovar (2010:203) juga
mengatakan bahwa etnosentrisme dan penstereotipan merupakan hambatan-
hambatan yang dapat mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Tetapi selain
etnosentrisme dan penstereotipan, Samovar menambahkan dua hal lagi yang dapat
menjadi hambatan dalam komunikasi antarbudaya yaitu :
1. Prasangka
Prasangka dapat dikatakan sebagai bentuk perasaan negatif terhadap
sesuatu. Prasangka dapat berupa kecemasan, kebencian, ketakutan
dan lain sebagainya.
2. Rasisme
Merupakan sebuah kepercayaan bahwa warisan biologis sebagai
penentu dalam hubungan sosisal. Biasanya rasisme dilakukan dengan
tindakan merendahkan seseorang berdasarkan ras, warna kulit,
agama, orientasi seksual dan lain sebagainya lalu memperlakukannya
secara buruk. Dalam hal ini rasisme menjadi salah satu penghalang
dalam komunikasi antarbudaya.
Berbeda dengan Tubbs dan Slyvia serta Samovar yang memiliki pendapat
yang sama mengenai hambatan komunikasi antarbudaya, Liliweri (2013:30)
menyebutkan bahwa hambatan dalam komunikasi antarbudaya merupakan sesuatu
yang dapat menghambat kecepatan pesan yang ditukar antara komunikator dengan
komunikannya. Hambatan-hambatan tersebut berasal dari unsur-unsur komunikasi
24
yaitu komunikator, komunikan, pesan dan media. Biasanya hambatan yang berasal
dari komunikator dan komunikan terdapat pada perbedaan budaya, status sosial,
latar belakang pendidikan, serta keterampilan berkomunikasinya. Dengan adanya
perbedaan-perbedaan tersebut akan berpengaruh pada pesan-pesan yang
disampaikan dan hal tersebut akan berpengaruh kepada pesan yang diterima.
Selanjutnya adalah hambatan yang berasal dari pesan yang disampaikan secara
verbal dan non verbal, biasanya dalam verbal menggunakan istilah-istilah atau
sinonim, homonim, denotatif dan konotatif. Istilah dari sinonim sendiri merupakan
persamaan sebuah kata, lalu homonim merupakan kata yang pelafalannya sama
tetapi memiliki makna yang berbeda, sedangkan denotatif merupakan makna yang
memang dimiliki oleh suatu kata dan konotatif merupakan kebalikan dari
denotatif. Dari berbagai macam istilah-istilah tersebut tentu saja kita masih merasa
kebingungan untuk membedakannya. Sedangkan dalam non verbal menggunakan
bahasa isyarat tubuh, hal ini dapat mempengaruhi seseorang dalam memaknai
suatu pesan karena pada setiap budaya tentunya memiliki bahasa isyarat yang
berbeda-beda. Lalu yang terakhir adalah hambatan yang berasal dari media atau
saluran, biasanya akan terjadi jika seseorang salah memilih media yang tidak
sesuai dengan konteks komunikasi dan hal tersebut akan mengakibatkan
ketidaksesuaian dalam komunikasi antarbudaya.
Dapat ditarik kesimpulan dari ketiga pendapat tersebut bahwa hambatan-
hambatan didalam komunikasi antarbudaya akan terjadi jika kita salah dalam
25
mempersepsi sesuatu hal tanpa mengetahui kebenarannya. Menurut Tubbs dan
Sylvia serta Samovar yang dapat menghambat komunikasi antarbudaya yaitu
etnosentrisme, stereotip, prasangka dan rasisme. Keempat hal tersebut dapat
berhubungan antara satu sama lain dan akan membahayakan jika sudah mengarah
pada rasisme. Rasisme merupakan hambatan yang paling besar dan sulit untuk
dikendalikan karena berasal dari kepercayaan dari lahir dan akan mendarah daging
pada kehidupan manusia. Tentu saja jika rasisme terjadi dapat memecah belah
suatu suku bangsa. Jika hal tersebut tidak dapat ditangani dengan baik maka akan
menimbulkan konflik-konflik antarbudaya. Kemudian selain etnosentrisme,
stereotip, prasangka dan rasisme, Liliweri berpendapat bahwa hambatan
komunikasi antarbudaya dapat berasal dari unsur-unsur komunikasi itu sendiri
yaitu komunikator, komunikan, pesan dan media. Dapat dikatakan menghambat
jika pesan yang disampaikan berkurang atau tidak sesuai dengan pesan yang
diterima. Hal ini tentu saja akan menciptakan suatu kesalahpahaman dalam
memaknai suatu pesan dan proses dalam komunikasi antarbudaya menjadi tidak
efektif.
2.2 Adaptasi Antarbudaya
2.2.1 Definisi Adaptasi Antarbudaya
Seperti yang kita ketahui mengenai pengertian adaptasi secara umum
merupakan proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, seorang individu akan
menyesuaikan dirinya sesuai perubahan-perubahan yang terjadi didalam hidupnya.
26
Dalam ilmu psikologi menurut Gerungan (2004:59) adaptasi bukan hanya
mengubah diri sesuai dengan lingkungannya tetapi juga mengubah lingkungan
sesuai dengan keinginannya. Adaptasi juga ada yang bersifat pasif yang artinya
setiap kegiatan ditentukan oleh lingkungannya, kemudian juga ada yang bersifat
aktif dimana kita yang akan mempengaruhi lingkungan. Dengan demikian dapat
dikatakan jika individu melakukan perpindahan ke budaya lainnya, mereka akan
beradaptasi dengan budaya baru tersebut dengan kata lain mereka akan melakukan
sebuah adaptasi antarbudaya.
Berbeda dengan Gerungan yang lebih mengarah kepada psikologis
seseorang, maka Kim dalam Martin dan Nakayama (2010:320) lebih menjelaskan
dalam konteks sebuah budaya. Menurutnya adaptasi antarbudaya merupakan
proses panjang untuk menyesuaikan diri pada lingkungan barunya dan akhirnya
merasa nyaman dengan lingkungan barunya. Jadi dapat dikatakan bahwa adaptasi
antarbudaya akan terjadi saat seseorang masuk pada lingkungan baru dan mulai
berinteraksi dengan lingkungan barunya tersebut. Disini setiap orang yang berada
di lingkungan barunya mau tidak mau harus menerima segala tantangan yang ada
di lingkungan barunya tersebut agar dapat memaksimalkan fungsinya dalam
lingkungan barunya. Didalam adaptasi antarbudaya seorang individu mulai
mencari persamaan dan perbedaan di lingkungan barunya tersebut secara bertahap.
Agak berbeda dengan Kim yang lebih menjelaskan tentang adaptasi
antarbudaya lebih ke konteks budaya dan bagaimana proses penyesuaian diri
27
seseorang pada lingkungan barunya, maka dalam artikel yang berjudul Memahami
Perbedaan-Perbedaan Budaya oleh Haris dan Robert dalam Mulyana (2006:55)
menjelaskan bahwa adaptasi antarbudaya dapat diciptakan oleh manusia-manusia
itu sendiri melalui budaya dan lingkungan sosial mereka. Hal tersebut terjadi
melalui sebuah kebiasaan-kebiasaan, praktek dan tradisi yang berkembang seorang
individu dapat melakukan sebuah adaptasi. Dapat diketahui bahwa usia, gender
dan kesiapan seseorang juga berpengaruh terhadap seberapa baik orang tersebut
dapat menyesuaikan diri. Biasanya orang-orang yang usianya muda lebih mudah
dalam menyesuaikan diri di lingkungan barunya dibandingkan dengan orang-
orang yang sudah tua, hal tersebut dikarenakan orang yang berusia muda lebih
mudah menerima sesuatu yang baru dan memiliki pemikiran bahwa kehidupan
akan terus mengalami kemajuan dan mereka harus mengikuti arus tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa adaptasi antarbudaya merupakan proses
penyesuaian diri yang berlangsung lama dengan budaya barunya. Penyesuaian diri
juga bergantung dengan lingkungan, bisa jadi lingkungan yang mengubah kita dan
bisa jadi juga kita yang dapat mengubah lingkungan kita. Jika seseorang masuk
kedalam budaya yang berbeda dari budayanya sebelumnya maka dapat dikatakan
orang tersebut beradaptasi dengan budaya yang baru. Dalam beradaptasi dengan
budaya baru tersebut seseorang harus memahami, mencari persamaan-persamaan
dan perbedaan-perbedaan yang ada kemudian menyesuaikan dirinya agar dapat
diterima didalam lingkungan barunya tersebut. Dengan mempelajari kebiasaan-
28
kebiasaan dan praktek-praktek budaya barunya, seseorang dapat melakukan
adaptasi antarbudaya dengan lebih mudah.
2.2.2 Bentuk-bentuk Adaptasi Antarbudaya
Didalam setiap kebudayaan pasti memberitahu atau mengajarkan
bagaimana cara-cara untuk memproses sebuah informasi yang datang dan diterima
oleh suatu kebudayaan. Cara-cara tersebut biasanya berfungsi untuk menyaring
informasi kemudian melakukan pertukaran informasi. Menjadi sangat penting jika
kita sudah mengetahui apa saja yang dapat kita lakukan saat kita sedang
beradaptasi dengan budaya baru, selain menambah pengetahuan untuk kita sendiri
mengerti tentang kebudayaan yang lain akan memudahkan kita untuk beradaptasi
dalam budaya yang lainnya. Menyesuaikan diri kedalam sebuah budaya
merupakan sesuatu yang sangat penting menurut Sobur (2003:529) bentuk-bentuk
adaptasi dalam psikologi terdapat dua macam yaitu adaptive dan adjustive.
1. Adaptive
Merupakan bentuk adaptasi yang lebih bersifat badani. Proses-proses
adaptasi pada bentuk ini lebih menyesuaikan ke dalam
lingkungannya. Misalnya saja saat pertama kali kita masuk ke
kebudayaan yang baru kita akan beradaptasi dengan cuaca yang baru,
disinilah badan kita akan mulai bereaksi lalu beradaptasi dengan
budaya baru tersebut.
29
2. Adjustive
Dalam bentuk adaptasi ini lebih mengarah ke psikis seseorang.
Dimana seseorang akan menyesuaikan dirinya dan tingkah lakunya
di kebudayaan barunya tersebut. Dalam kata lain seseorang akan
beradaptasi dengan norma-norma yang ada di dalam budaya barunya
tersebut dan mengikuti norma-norma yang ada.
Berbeda dengan Sobur yang menyebutkan dua bentuk adaptasi yang berupa
badani dan psikis, maka Setiadi dan Kholip (2011:77) menjelaskan bahwa suatu
bentuk adaptasi dapat dilihat dari proses-proses sosialnya. Ia menyebutkan proses-
proses sosial tersebut terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Proses sosial asosiatif
Didalam proses ini memiliki aturan yang diikuti oleh anggotanya.
Jika peraturan-peraturan tersebut diikuti dan dijalankan sesuai
dengan realitas yang ada maka akan menciptakan harmoni sosial
yang mengarah pada kerjasama dan akan menciptakan integrasi
sosial.
2. Proses sosial disosiatif
Proses ini berbanding terbalik dengan proses sosial asosiatif. Proses
sosial disosiatif biasanya tercipta karena adanya ketidakteraturan
sosial yang akhirnya akan memunculkan pertentangan antar anggota
budaya dan tidak adanya harmoni sosial.
30
Bertolak belakang dengan pendapat Setiadi dan Kholip serta Sobur yang
memiliki perbedaan pendapat mengenai bentuk adaptasi, Liliweri (2013:154)
mengatakan bahwa untuk menyesuaikan diri dalam kebudayaan yang berbeda kita
harus mengetahui bagaimana memproses informasi, mengemas serta melakukan
pertukaran informasi. Hal tersebut telah diletakkan didalam beberapa bentuk
tingkatan yang berbeda, terdapat dua tingkatan yang biasa disebut High Context
Culture dan Low Context Culture. Budaya HCC biasanya ditandai dengan
pemberian informasi yang susah dimengerti, lebih banyak basa-basi, tidak
mengungkapkan secara terbuka apa yang menjadi masalah. Dengan kata lain
budaya HCC lebih menggunakan komunikasi tidak langsung, pesan-pesannya
lebih didukung oleh non verbal dan lebih suka berkomunikasi secara tatap muka.
Sebaliknya dengan budaya LCC lebih mudah untuk melakukan komunikasi karena
didalam budayanya cukup terbuka dan lebih suka berterus terang. Pertukaran
informasi mereka lebih menggunakan verbal tetapi juga non verbal, selain itu jika
mereka mencari informasi langsung berasal dari sumbernya.
Dari penjelasan diatas maka sangat penting bagi seseorang yang
beradaptasi dengan budaya yang baru untuk mengetahui bentuk-bentuk adaptasi
didalam suatu budaya. Jika menurut Sobur adaptasi bisa dimulai dari adaptasi
badani dan psikis dalam diri terlebih dahulu. Setiadi dan Kholip menambahkan
adaptasi budaya dapat juga dilihat melalui dua proses sosial yaitu asosiatif dan
disosiatif. Selain kedua pendapat diatas, sebagai tambahannya menurut Liliweri
31
untuk beradaptasi seseorang harus dapat membedakan bagaimana orang-orang
dalam sebuah budaya memproses sebuah informasi dan berkomunikasi yaitu
melalu High Context Culture dan Low Context Culture. Setelah kita telah
mengetahui dan dapat mengerti hal-hal diatas maka kita dapat dengan mudah
masuk dalam kebudayaan tersebut tanpa ada permasalahan. Jadi selain memahami
bagaimana budaya yang lain melakukan komunikasi, kita juga harus mengetahui
bagaimana bentuk lingkungan yang ada didalam budaya tersebut.
2.2.3 Tahapan Adaptasi Antarbudaya
Masalah yang dihadapi oleh seseorang dalam beradaptasi dengan budaya
baru tentu beragam. Seseorang pasti akan mengalami ketidaknyamanan dari segi
psikologis dan fisiknya. Sebagai pendatang dalam budaya yang baru biasanya
seseorang takut dan merasa diasingkan oleh sekitarnya, mereka takut tidak disukai
bahkan takut sampai dicurigai. Ketentraman dan ketenangan merupakan sebuah
hal yang dinginkan oleh semua individu tetapi lain halnya jika sebuah gangguan
muncul dan sulit untuk menangkalnya maka akan mempengaruhi nilai-nilai dan
norma yang ada didalam sebuah budaya, hal tersebut akan menimbulkan sebuah
guncangan sosial pada individu. Dalam hal ini individu pasti akan mengalami
kejutan budaya jika beradaptasi dengan budaya baru. Kejutan budaya tersebut akan
menimbulkan rasa gelisah yang berasal dari hilangnya suatu tanda atau simbol
yang biasa kita gunakan dalam hubungan sosial di kebudayaan yang sebelumnya.
Seseorang akan menemui perbedaan dan merasakan keadaan mental yang berbeda
32
jika melakukan perpindahan dari lingkungan yang sebelumnya ia kenal ke
lingkungan yang tidak ia kenal. Didalam kejutan budaya inilah seseorang perlu
penyesuaian sebelum pada akhirnya dapat berinteraksi dengan budaya yang baru
dan didalam penyesuaian tersebut terdapat beberapa tahapan-tahapan yang harus
dilalui individu.
Dalam kajian sosiologi menurut Setiadi dan Kholip (2011:662) terdapat
tiga tahapan penyesuaian terhadap suatu perubahan yaitu adjustment,
maladjustment dan anomi. Adjustment akan terjadi jika guncangan sosial dapat
ditangani dan keadaan dapat kembali seperti semula. Maka sebaliknya jika
guncangan sosial tersebut tidak bisa ditangani maka keadaan ini disebut dengan
maladjustment. Selanjutnya jika keadaan belum kembali normal tetapi telah ada
hal-hal baru yang mengatur dalam keadaan yang telah berubah tersebut maka
disebut anomi. Dari ketiga tahapan tersebut anomi merupakan tahapan yang paling
susah untuk dikembalikan, karena anomi sendiri merupakan bentuk perpecahan
yang prosesnya terjadi begitu cepat.
Berbeda dengan Setiadi dan Kholip yang lebih fokus menjelaskan tahapan
adaptasi dalam kajian sosiologi, maka Martin dan Nakayama (2010:327)
menjelaskan terdapat tiga tahap dalam adaptasi budaya yang disebut dengan
Kurva-U. Ketiga tahap tersebut yaitu anticipation, culture shock dan adjustment.
Sejalan dengan Martin dan Nakayama, Samovar (2010:477) memiliki pendapat
yang sama dengan ketiga tahap tersebut. Akan tetapi Samovar menambahkan satu
33
tahap lagi yang tidak disebutkan Martin dan Nakayama, yaitu tahap resolusi.
Tahapan-tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Fase Kegembiraan
Dalam fase awal ini tentu saja seseorang yang baru masuk ke dalam
budaya baru memiliki semangat, harapan tinggi dan penuh rasa
gembira untuk dapat berinteraksi dengan budayanya yang baru.
2. Fase Kekecewaan
Dalam fase ini beberapa masalah mulai terjadi. Masalah-masalah
yang timbul dari fase ini bisa berasal dari adaptasi yang tidak sesuai
dengan kenyataan dan kesulitan dalam hal berkomunikasi. Disini
mereka akan merasakan frustasi yang membuat mereka menjadi
sensitif.
3. Fase Resolusi
Dalam fase ini seseorang mulai untuk kembali memahami apa yang
ada di kebudayaan barunya. Disini seseorang akan menyesuaikan diri
secara bertahap untuk berhadapan dengan budaya yang baru.
4. Fase Berfungsi dengan Efektif
Dalam fase terakhir ini seseorang sudah mengerti nilai-nilai,
kepercayaan, pola komunikasi dan lain-lain yang ada di budaya
barunya. Jika mereka sudah mengerti hal-hal yang ada dalam budaya
34
barunya maka mereka akan merasakan kegembiraan dan kepuasaan
secara bersamaan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah ketidaknyamanan seorang
pendatang di lingkungan barunya diakibatkan oleh kejutan budaya. Kejutan
budaya tersebut akan muncul saat mereka beradaptasi dengan budaya yang
berbeda dari budaya asli mereka. Disinilah akan muncul fase-fase atau tahap
adaptasi dalam sebuah budaya. Berawal dari kesenangan karena bertemu dengan
budaya yang baru, kesenangan tersebut lama-lama akan berubah menjadi sebuah
permasalahan karena menemui ketidakcocokan dalam budaya barunya tersebut
dan biasanya seseorang akan mengalami frustasi. Tetapi jika ia berhasil melewati
tahap tersebut ia akan mencoba untuk beradaptasi kembali dengan kebudayaan
barunya dan yang terakhir ia akan mengerti bagaimana budaya yang ada dalam
kebudayaan barunya tersebut lalu ia akan merasa nyaman. Setidaknya jika kita
mengetahui tahap-tahap adaptasi budaya diatas, kita dapat menimalisir terjadinya
kejutan budaya apabila kita melakukan perpindahan ke dalam budaya yang baru.
2.2.4 Hambatan Adaptasi Antarbudaya
Didalam kehidupan seringkali banyak kita jumpai pelajaran-pelajaran
mengenai kehidupan yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Pengalaman
baru dapat menjadikan kita sebagai individu yang lebih baik dari sebelumnya,
seiring dengan perjalanan waktu kita dapat belajar dari perubahan-perubahan yang
35
kita alami. Melakukan adaptasi dengan budaya yang baru tentunya bukan sesuatu
yang mudah, pastinya kita akan menemui hambatan-hambatan yang mengganggu
kita dalam beradaptasi. Samovar (2010:479) membahas mengenai isu-isu yang
dapat menjadi hambatan dalam adaptasi antarbudaya, sebagai berikut:
1. Bahasa
Biasanya masalah utama dalam adaptasi antarbudaya adalah harus
menghadapi kesulitan terhadap bahasa. Keterbatasan mengenai hal
bahasa dapat menjadi masalah yang cukup besar dalam adaptasi
antarbudaya. Biasanya pemerolehan bahasa dan cara berbicara yang
berbeda dalam suatu budaya dapat menghambat proses adaptasi.
Perbedaan tersebut nantinya dapat berpengaruh dengan pemaknaan
sebuah pesan.
2. Ketidakseimbangan
Sebuah adaptasi dapat dikatakan sukses jika terdapat keseimbangan
diantara dua budaya yang berinteraksi. Ketidakseimbangan dapat
terjadi jika seseorang kurang mengetahui mengenai budaya tuan
rumah dan tidak bisa membuat pilihan apa yang harus dilakukan
dalam kebudayaan tersebut.
3. Etnosentrisme
Etnosentrisme menjadi hambatan paling besar dalam adaptasi
antarbudaya karena etnosentrisme akan mempengaruhi penilaian
36
seorang pendatang bahkan budaya tuan rumah itu sendiri. Jika
keduanya tidak acuh kepada etnosentrisme maka akan berujung pada
kebencian antara satu sama lain.
Sejalan dengan yang dikatakan oleh Samovar, Sihabudin (2011:127)
mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan hambatan terhadap adaptasi
antarbudaya. Selain etnosentrisme, Sihabudin menambahkan beberapa hambatan
sebagai berikut:
1. Didalam masyarakat yang majemuk kebanyakan dari mereka merasa
lebih efektif berkomunikasi dengan anggota budayanya. Hal itu
dikarenakan lebih mudah untuk memahami satu sama lain dan mereka
memiliki prinsip yang kurang lebih sama.
2. Prasangka sosial, dalam prasangka sosial ini dibagi menjadi tiga yaitu
stereotip, jarak sosial dan sikap diskriminasi. Hal-hal inilah yang
termasuk kedalam hambatan adaptasi antarbudaya dan bisa memicu
timbulnya konflik.
3. Faktor mayoritas, didalam faktor mayoritas ini cenderung
mengutamakan status dimana kaum minoritas memiliki posisi yang
lemah. Adanya hal tersebut akan menghambat sebuah adaptasi karena
jika mereka merasa dirinya minoritas maka mereka akan takut untuk
beradaptasi atau bersosialisasi dengan yang lainnya.
37
Agak berbeda dengan hambatan-hambatan yang telah disebutkan Samovar
dan Sihabudin sebelumnya, Rani Usha (2016:75) mengatakan terdapat
penghambat dalam sebuah kebudayaan, ia mengatakan empati sebagai
penghambat. Didalam kebudayaan kita akan berkomunikasi dengan budaya yang
berbeda-beda hal itu tentu saja akan membuat kita sadar terhadap perbedaan nilai-
nilai, kepercayaan dan sikap. Didalam adaptasi antarbudaya memiliki empati
merupakan sesuatu hal yang sangat penting, karena dari empatilah kita dapat
merasakan perasaan mereka seolah-olah kita sedang mengalaminya. Dengan
begitu kita dapat saling mengormati satu sama lain dan kita menjadi mudah untuk
beradaptasi dengan budaya yang baru.
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang menjadi
hambatan dalam beradaptasi dengan budaya yang baru. Hambatan-hambatan
tersebut berupa bahasa, ketidakseimbangan budaya, etnosentrisme, sikap, tingkah
laku, perbedaan kebudayaan, lingkungan, prasangka sosial, faktor mayoritas dan
empati. Hal-hal tersebut secara tidak sadar sudah sering kita temui saat kita
berinteraksi atau beradaptasi dengan sekitar kita. Jika kita dapat meminimalisir
hambatan-hambatan yang telah disebutkan diatas maka akan memungkinkan kita
dapat dengan mudah beradaptasi dengan budaya yang baru, selain itu kita juga
tahu dapat mencegah adanya konflik yang berasal dari hambatan-hambatan
tersebut.
2.3 Speech Code dalam Komunikasi Antarbudaya
38
2.3.1 Definisi Speech Code dalam Komunikasi Antarbudaya
Seperti yang kita ketahui dalam berkomunikasi antarbudaya kita pasti
menemui banyak perbedaan antara satu budaya dengan budaya yang lain. Tidak
hanya dalam hal bahasa yang berbeda tetapi kode berbicara juga dapat berbeda
antara satu budaya dengan yang lainnya. Sebuah budaya dapat mempengaruhi
seseorang dalam berkomunikasi jika orang tersebut melakukan perpindahan ke
budaya yang baru. Tanpa kita sadari proses komunikasi tersebut akan terus terjadi
seiring dengan terjadinya interaksi dengan budaya yang berbeda. Biasanya speech
code atau kode berbicara tercipta melalui kesepakatan dari sejumlah kelompok
budaya untuk menciptakan makna bersama. Secara umum speech code merupakan
pembahasan mengenai kekhasan kata-kata dari sebuah kebudayaan yang memiliki
perbedaan mencolok.
Menurut Philipsen dalam Gudykunts (2005:57) dan Griffin (2012:421)
speech code merupakan sebuah sistem konstruksi sosial didalam budaya yang
terdiri dari simbol, makna dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perilaku
komunikatif manusia. Agak berbeda dengan Philipsen dan Griffin, Littlejohn
(2009:461) mengatakan speech code sebagai “buku panduan” atau budaya yang
tidak tertulis. Ia mengatakan bahwa didalam buku panduan tersebut memiliki
tujuan untuk mengetahui bagaimana berkomunikasi didalam sebuah budaya.
Misalnya saja seperti bagaimana cara berkomunikasi didalam budaya dan apa saja
yang orang lain katakan.
39
Jadi dapat disimpulkan bahwa speech code atau kode berbicara merupakan
sebuah cara untuk mengetahui hubungan dari komunikasi dan budaya. Dimana
diantara keduanya akan memberitahu bagaimana menafsirkan cara orang berbicara
didalam sebuah budaya, bagaimana mereka dapat ditemukan dan bagaimana
kekuatannya didalam sebuah kebudayaan. Dapat dikatakan bahwa speech code
menekankan tentang kemampuan orang yang berbeda budaya dapat menyesuaikan
gaya bahasa ketika berada didalam kebudayaan yang baru. Selain itu speech code
memiliki peranan yang penting didalam berkomunikasi diantara dua kebudayaan
yang berbeda. Didalam speech code terdapat simbol-simbol, makna dan peraturan
yang berkaitan dengan perilaku komunikatif manusia. Seperti yang kita ketahui
bahwa Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki berbagai macam
suku budaya, tentu saja bahasa yang digunakan setiap budaya berbeda-beda
apalagi dalam hal kode berbicara pastinya setiap budaya menggunakan kode-kode
yang berbeda-beda. Hal inilah yang akan terjadi jika seorang perantau atau
pendatang termasuk mahasiswa Tanjung Selor yang berkuliah di Malang, selama
mereka berada di Malang mereka akan menemukan kode berbicara yang berbeda
dari kebudayaannya yang sebelumnya dan disini mereka akan beradaptasi dengan
kode berbicara yang ada di Malang.
2.3.2 Proposisi Speech Code dalam Komunikasi Antarbudaya
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai beberapa definisi
speech code atau kode berbicara yang mengarah pada bagaimana berkomunikasi
40
diantara dua kebudayaan yang berbeda dan apa saja yang terdapat didalam speech
code. Speech code sendiri dapat dibedakan melalui pernyataan-pernyataan atau
proposisi yang membentuk speech code itu sendiri. Selain itu sebuah proposisi
dapat membangun ciri khas dari speech code didalam sebuah budaya sehingga
sebuah speech code dapat terlihat dengan jelas.
Gudykunts (2015:58), Littlejohn (2009:462) dan Griffin (2012:422)
sependapat bahwa proposisi umum speech code terbagi menjadi enam bagian,
yaitu :
1. Kekhasan
Sebuah speech code dapat ditemukan didalam budaya yang berbeda
dan itu membuat kekhasan dari speech code itu sendiri. Sebuah
speech code di suatu budaya berbeda dengan budaya yang lain. Tentu
saja perbedaan tersebut terdiri dari simbol, makna dan aturan-aturan
perilaku komunikatif lainnya. Kekhasan tersebut dapat dilihat juga
dari beberapa variasi berbahasa, yaitu:
a. Logat
Merupakan suatu variasi bahasa di sebuah daerah. Biasanya
dikenal juga dengan aksen dalam pengucapan kata-kata. Logat
dapat dilihat dari penekanan dalam sebuah ucapan (Liliweri,
2013:135). Contohnya saja mahasiswa Tanjung Selor
mengatakan “udah makan kah?” dengan menggunakan
41
penekanan yang tinggi. Berbeda dengan orang Malang
mengatakan “udah makan ta?” dengan nada yang halus. Kalimat
tersebut memiliki makna yang sama tetapi aksen yang digunakan
cukup berbeda.
b. Dialek
Biasanya dapat dibedakan dari kosakata yang khas dari suatu
daerah (Samovar, 2010:272). Contoh saat mahasiswa Tanjung
Selor mengatakan “jangan marah-marah terus nah”, dalam arti
yang sama dengan orang Malang “jangan marah-marah terus
po’o.”
c. Intonasi
Merupakan tinggi rendahnya penekanan saat berbicara (Liliweri,
2002:170). Jika penekanan digunakan dalam budaya yang
berbeda maka akan cukup berpengaruh dengan pemaknaannya.
Contohnya saja “ih apa bah?” kalimat tersebut sebenarnya
merupakan pertanyaan yang menurut orang Tanjung Selor biasa
saja tetapi karena penekanannya yang agak tinggi biasanya
orang Malang akan memahaminya sebagai bentuk kemarahan.
d. Kecepatan berbicara
Didalam kecepatan berbicara yang paling penting adalah
mengendalikan tingkat kecepatan berbicara saat berkomunikasi
diantara dua budaya yang berbeda (Liliweri, 2002:169).
42
Biasanya jika tempo berbicara terlalu cepat maka budaya yang
mendengarkan kita berbicara kadang tidak mengerti apa yang
kita bicarakan karena biasanya mereka terbiasa dengan tempo
bicara yang pelan. Sebagai contoh kecepatan berbicara
mahasiswa Tanjung Selor terkenal dengan tempo yang cepat,
jika mereka berkomunikasi dengan orang Malang maka harus
menyesuaikan dengan tempo yang pelan karena orang Malang
memiliki kecepatan bicara dengan tempo sedang agar
komunikasi diantara keduanya menjadi efektif.
e. Argot
Dikenal sebagai bahasa khusus yang digunakan suatu budaya
yang bertujuan untuk mengaburkan makna sebenarnya dan
menciptakan ciri khas suatu daerah. (Samovar, 2010:273).
Orang Malang memiliki bahasa khusus Malangan yang dikenal
dengan bahasa walikan. Contoh “ayo ngalup ker” jika diartikan
dalam bahasa Indonesia berarti “ayo pulang rek”.
2. Substansi
Substansi terbagi menjadi tiga bagian dalam kehidupan sosial yaitu
psikologi, sosiologi dan retorika:
a. Psikologi
Dalam konteks psikologi setiap speech code merupakan tanda
dari setiap individu yang diungkapkan dengan cara yang
43
berbeda-beda dan bagaimana cara mereka menjadi seseorang
dalam sebuah budaya. Hal ini berkaitan dengan proses berpikir
dimana setiap tanda akan diartikan dalam speech code asal
perantau.
b. Sosiologi
Dalam konteks sosiologi speech code menyediakan sebuah
sistem berupa jawaban antara diri sendiri dan orang lain yang
dianggap pantas dan mengikuti sumber yang efektif yang dapat
digunakan dalam hubungan tersebut. Dalam hal ini lebih menuju
kepada bagaimana seseorang dapat berhubungan dengan orang
lain.
c. Retorika
Merupakan pengertian ganda mengenai kebenaran dan persuasi.
Retorika tidak memperdulikan budaya tetapi sebuah
pengungkapan struktur diri didalam masyarakat. Sebuah kode
menjadi aturan untuk menghubungkan hal satu dengan yang
lainnya, misalnya saja cara bertindak atau berkomunikasi dalam
kelompok sosial,
3. Makna
Makna merupakan proses pemahaman dari speech code tergantung
dari bagaimana speech code digunakan oleh komunikator dan
membuat komunikan memaknai pesan didalam komunikasi mereka.
44
Jadi dapat dikatakan bahwa speech code menuntun pelaku
komunikasi, ketika mereka sedang berinteraksi kode menuntun apa
yang sebenarnya terjadi dan apa yang dapat dinilai sebagai
komunikasi.
4. Kegunaan
Didalam interaksi antara dua budaya yang berbeda maka akan setiap
dari mereka akan memiliki speech code ganda. Maksudnya adalah
dapat memungkinkan jika setiap orang yang berada di budaya
barunya akan terpengaruh dan menggunakan lebih dari satu kode,
sesuai dengan kode berbicara yang ada didalam budaya barunya.
5. Situs atau lokasi
Dapat dikatakan bahwa makna, aturan dan tempat berada didalam
pembicara itu sendiri. Kita dapat melihat kode berbicara dengan cara
melihat perilaku komunikatif dan mendengarkannya. Jadi jika kita
ingin mengetahui kode berbicara kita sendiri bahkan budaya lain kita
harus bertanya langsung kepada pembicara yang sebenarnya.
6. Kekuatan
Dapat dikatakan bahwa kekuatan speech code dalam sebuah budaya
sangat kuat. Biasanya orang-orang didalamnya menggunakan speech
code untuk menafsirkan, menjelaskan dan juga mengevaluasi. Selain
itu mereka akan membentuk perilaku komunikatif mereka sendiri
dan juga orang lain. Jika sebuah proses komunikasi khususnya dalam
45
penggunaan speech code tidak berjalan dengan baik, maka akan
menghambat proses komunikasi diantara dua budaya tersebut.
Dengan demikian speech code bukan hanya sebuah sistem sosial yang
terdiri dari simbol, makna dan peraturan-peraturan. Tetapi speech code juga
memiliki beberapa proposisi-proposisi yang dapat membentuk speech code itu
sendiri didalam sebuah budaya dan menjadikan speech code berbeda diantara satu
budaya dan budaya lainnya. Proposisi tersebut antara lain adalah kekhasan,
substansi, makna, kegunaan, situs dan kekuatan. Dengan adanya enam proposisi
tersebut kita dapat dengan mudah mengklasifikasikan speech code berdasarkan ciri
khas sebuah budaya ketika kita sedang berinteraksi dengan budaya yang berbeda
dengan budaya kita sebelumnya.
2.3.3 Elemen-elemen Speech Code dalam Komunikasi Antarbudaya
Untuk mengetahui apa saja yang dapat mengkonstruksi speech code dalam
komunikasi antarbudaya, maka dapat dilihat berdasarkan elemen-elemen dasar
yang ada didalam komunikasi dan budaya itu sendiri. Elemen-elemen tersebut
nantinya dapat menjadi landasan didalam pembentukan speech code antarbudaya.
Menurut Samovar (2010:29) mengatakan terdapat lima hal yang termasuk elemen
didalam budaya yaitu:
1. Sejarah
Merupakan informasi yang didalamnya terdapat pentunjuk mengenai
kehidupan yang telah terjadi. Didalam sejarah juga terdapat elemen-
46
elemen penting budaya yang dibagikan dari generasi ke generasi
untuk melestarikan suatu budaya.
2. Agama
Agama memiliki pengaruh yang kuat hal tersebut dapat dilihat dari
hubungan yang terjalin didalam budaya.
3. Nilai
Dapat dikatakan sebagai petunjuk untuk menentukan bagaimana
seseorang dalam bertingkah laku.
4. Organisasi sosial
Organisasi sosial biasanya mewakili kelompok hidup masyarakat
yang didalamnya termasuk keluarga, pemerintah, sekolah dan suku
bangsa.
5. Bahasa
Bahasa merupakan karakteristik yang umum didalam budaya.
Didalam bahasa dapat menyalurkan perasaan, pikiran dan informasi.
Selain itu juga dapat digunakan untuk menyebarkan budaya.
Berbeda dengan Samovar yang lebih fokus menjelaskan elemen didalam
budaya, maka Nasrullah (2012:39) lebih fokus kepada lima elemen yang ada
didalam komunikasi antarbudaya, yaitu :
1. Komunikator
47
Komunikator dapat dikatakan sebagai orang yang memulai sebuah
komunikasi. Didalam komunikasi antarbudaya, komunikan
merupakan orang yang memiliki kebudayaan berbeda dengan
komunikannya.
2. Komunikan
Komunikan merupakan sasaran dari komunikator untuk menerima
pesan. Didalam komunikasi antarbudaya komunikan juga harus
memiliki latar belakang yang berbeda.
3. Pesan
Pesan merupakan pusat antara pengirim pesan dan penerima pesan.
Pesan didalam komunikasi antarbudaya merupakan bentuk
pengalihan dari komunikator ke komunikannya.
4. Media
Media disebut juga sebagai saluran yang membawa pesan. Selain
menggunakan media, didalam komunikasi antarbudaya pesan-pesan
tersebut sebenarnya juga bisa disalurkan melalui tatap muka.
5. Efek
Efek dapat disebut juga tanggapan balik dari penerima pesan.
Sejalan dengan Nasrullah yang menyebutkan lima elemen diatas, Liliweri
(2013:25) juga menyatakan hal yang sama tetapi ia menambahkan dua hal lagi
yang termasuk dalam elemen komunikasi antarbudaya, yaitu :
48
1. Suasana
Suasana menjadi suatu hal memiliki pengaruh penting dalam
komunikasi antarbudaya. Suasana dapat berupa tempat atau ruang,
waktu dan suasana (sosial dan psikologis)
2. Gangguan
Dapat dikatakan mengganggu jika pesan yang sebelumnya
disampaikan oleh komunikator memiliki makna yang berbeda
dengan pesan yang diterima.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengkontruksi sebuah speech
code berasal dari bagian-bagian yang terdapat didalam komunikasi dan budaya itu
sendiri. Bagian-bagian tersebut dapat meliputi sejarah, agama, nilai, organisasi
sosial, dan bahasa. Kemudian elemen-elemen lain yang ada didalam komunikasi
antarbudaya adalah komunikator, pesan, medium, komunikan, efek, suasana dan
gangguan. Elemen-elemen tersebut nantinya tergantung pada budaya yang
diikutinya. Kemungkinan besar elemen yang ada didalam suatu budaya akan
berbeda dengan budaya lainnya. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa elemen-
elemen yang berbeda disetiap budaya dapat membentuk speech code yang berbeda
juga dan hal tersebut yang akan memunculkan keunikan tersendiri didalam suatu
speech code.
2.4 Proses Adaptasi Speech Code dalam Komunikasi Antarbudaya
49
Dalam kenyataannya setiap orang memiliki sikap dan motivasi yang
berbeda-beda dalam hal beradaptasi dengan budaya barunya. Pada dasarnya
sebuah adaptasi budaya merupakan proses untuk penyampaian pesan dan
penerimaan pesan sehingga bisa terjadi proses encoding dan decoding. Dalam hal
ini terdapat kode-kode yang ditukarkan didalam komunikasi antarbudaya yang
berasal dari interaksi dua budaya tersebut, kode-kode itu bisa berupa pola
komunikasi, norma-norma, gaya berbicara dan lain sebagainya. Permasalahan
paling kompleks yang terjadi didalam komunikasi antarbudaya yaitu berasal dari
pendatang dengan tuan rumahnya. Hubungan antara pendatang dan budaya tuan
rumah dapat menimbulkan ketegangan diantara keduanya, seperti seorang
pendatang ingin menghargai dan mempertahankan budayanya sendiri sekaligus
dengan nilai-nilai dalam budaya tuan rumahnya. Sedangkan budaya tuan rumah
bisa saja menerima atau menolak si pendatang tersebut. Tentu saja hal tersebut
dapat berpengaruh kepada cara berkomunikasi mereka khususnya dalam hal
speech code.
Dapat dikatakan saat seorang pendatang khususnya mahasiswa perantau
dalam proses adaptasinya mereka pasti banyak ditemukan perbedaan. Seperti yang
kita ketahui perbedaan-perbedaan tersebut berasal dari latar belakang budaya yang
berbeda-beda, selain itu setiap dari mereka juga memiliki kepribadian yang
berbeda. Dalam hal ini Berry (1994:278), Martin dan Nakayama (2010:314) serta
50
Samovar (2010:481) sependapat bahwa seorang pendatang dapat berinteraksi
dengan empat cara, diantaranya :
1. Asimilasi
Didalam tipe ini seseorang didalam kebudayaan baru tidak ingin
dirinya terisolasi dengan identitas kebudayaan aslinya justru mereka
ingin menjaga hubungan dengan kelompok budaya barunya. Dapat
dikatakan bahwa disini seseorang lebih mengarah untuk mengadopsi
budaya barunya dibandingkan memegang teguh budaya lamanya.
Asimilasi dapat dikatakan sebagai proses untuk mensetarakan kedua
nilai budaya dengan memasukkan nilai-nilai suatu budaya ke dalam
kelompok budaya. Didalam asimilasi ini seorang pendatang akan
mengalami perubahan yang drastis didalam kebudayaan barunya
karena mereka akan menerima nilai budaya yang baru didalam
kehidupannya. Proses asimilasi ini tentu saja akan berpengaruh pada
speech code seorang pendatang, karena mereka akan mencoba untuk
mengadopsi sebuah budaya baru yang tentu saja speech code-nya akan
berbeda dengan budaya mereka sebelumnya. Jadi dalam berinteraksi
dengan budaya barunya untuk dapat mudah diterima, bisa jadi mereka
meniru dan melakukan hal-hal yang sama dengan budaya barunya
serta tidak lagi menggunakan kebudayaannya yang lama.
51
2. Separasi
Didalam separasi terdapat dua jenis yaitu separasi dan segregasi.
Dalam Martin dan Nakayama menjelaskan bahwa terdapat dua tipe
separasi, yaitu separasi dan segregasi. Separasi merupakan tipe
adaptasi budaya yang masih mempertahankan budaya asalnya dan
menghindari interaksi dengan budaya yang lain, sedangkan segregasi
merupakan keadaan yang dipaksakan dengan alasan kultural oleh
penduduk lokal. Didalam separasi proses adaptasi speech code tidak
dipaksakan dalam artian seorang pendatang masih tetap pada
budayanya sendiri, jadi mereka tetap menggunakan budaya mereka
sebelumnya. Beda halnya dengan segregasi, proses adaptasi speech
code dipaksakan oleh penduduk lokal dengan artian mereka harus
menyamakan cara mereka dalam berkomunikasi tetapi dihambat
dengan perbedaan latar belakang yang ada didalamnya.
3. Integrasi
Didalam tipe ini seorang pendatang tertarik untuk mempertahankan
budayanya sendiri dan sekaligus melakukan interaksi dengan
kelompok budaya lainnya. Tipe integrasi dipandang paling cocok
untuk dalam proses adaptasi speech code dikarenakan seorang
perantau dapat tetap mempertahankan budaya aslinya dan tetap dapat
menyeimbangi atau menyatukan budaya yang berbeda dalam interaksi
dengan budaya barunya.
52
4. Marginalisasi
Didalam tipe ini seorang pendatang tidak memiliki ketertarikan untuk
mempertahankan budaya aslinya maupun budaya barunya. Hal ini
dapat disebabkan jika seorang pendatang tidak menemukan kemiripan
diantara budaya aslinya dengan budayanya yang baru. Seorang
pendatang akan sering mengalami keadaan berupa konflik pribadi dan
juga sosial, Misalnya saja dalam pemaknaan speech code diantara
kedua budaya, ketika mereka tidak menemukan persamaannya dan
tidak menemukan titik tengahnya maka seorang pendatang akan
merasa terasingkan didalam kebudayaan barunya tersebut.
Jadi dapat dikatakan melalui paparan diatas saat melakukan proses adaptasi
speech code seorang pendatang akan mengalami empat tahap yaitu asimilasi,
separasi, intergrasi dan marginalisasi. Keempat tahap tersebut tentunya memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini akan berpengaruh juga pada setiap
pendatang, karena setiap dari mereka memiliki kepribadian dan latar belakang
yang berbeda-beda maka setiap dari mereka akan memiliki tahap yang berbeda
juga dalam adaptasinya. Selain itu empat tahap diatas menjelaskan bahwa proses
adaptasi speech code memungkinkan untuk para pendatang untuk meniru,
mengimbangi serta tetap berdiri pada kebudayaan aslinya.