6
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Penyakit Ginjal Kronik
1. Pengertian
Penyakit Ginjal Kronik adalah destruksi stuktur ginjal yang
progesif dan terus menerus (Corwin, 2009). Menurut Sibuea, Panggabean,
& Gultom (2005) Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan faal
ginjal yang hampir selalu tak dapat pulih dan dapat disebabkan berbagai
hal.
Penyakit Ginjal Kronik merupakan gejala yang muncul secara
bertahap dan biasanya tidak menimbulkan gejala awal yang jelas, sehingga
penurunan fungsi ginjal sering tidak dirasakan, namun tiba - tiba telah
pada tahap yang sulit diobati (Alam & Hadibroto, 2007).
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan sindroma klinis karena
penurunan fungsi ginjal secara menetap akibat kerusakan nefron. Proses
penurunan ginjal ini berjalan secara kronis dan progesif sehingga pada
akhirnya akan terjadi gagal ginjal terminal (GGT) (Tjokoprawiro, dkk.,
2007). Penyakit ginjal kronik (PGK) disebut juga sebagai penyakit renal
tahap akhir yang merupakan gangguan fungsi renal yang progesif dan
irreversibel dimana terjadinya kegagalan kemampuan tubuh dalam
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga menyebabkan uremia (retensi urea) dan sampah nitrogen lain
dalam darah (Smeltzer & Bare, 2002).
Penyakit ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal secara
bertahap tanpa gejala yang dapat mengakibatkan kegagalan fungsi tubuh
dalam mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga menimbulkan uremia dan penumpukan nitrogen dalam
darah.
7
Penyakit ginjal kronik adalah kelainan fungsi ginjal dengan atau
tanpa penurunan GFR < 60 ml/men/1,73 m² lebih dari 3 bulan (DOQI,
2002).
2. Etiologi
Menurut Morton & Fontaine (2009) penyebab penyakit ginjal
kronik adalah diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonephritis, nefritis
interstitial (alerginefritis interstitial, pyelonefritis), penyakit vakuler
mikroangiopati (penyakit atheroembolic, skleroderma), penyakit bawaan,
penyakit genetik, obstruktif uropathi, penolakan transplantasi, neoplasma
atau tumor, sindrom hepatorenal.
3. Patofisiologi
Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting dalam
mempertahankan kestabilan tubuh. Ginjal bertugas untuk menyaring zat-
zat buangan yang dibawa oleh darah, dan membuang sampah metabolik
agar sel-sel tubuh tidak mengalami keracunan. Organ ginjal mengatur
keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit serta asam basa dengan cara
menyaring darah, reabsorbsi air, elektrolit dan elektrolit. Dari fungsinya
tersebut ginjal merupakan salah satu sistem detoksifikasi utama setelah
hati, dengan membuang racun tubuh yang telah dilarutkan dalam air oleh
hati agar dapat dibawa oleh darah, kemudian dibuang bersama kelebihan
cairan tubuh melalui urine (Smeltzer & Bare, 2002).
Penyakit ginjal terjadi ketika ginjal sudah tidak dapat melakukan
fungsi regulernya. Kegagalan ginjal dalam melaksanakan fungsi-fungsi
vital tersebut akan menimbulkan keadaan uremia atau penyakit ginjal
stadium akhir (Smeltzer & Bare, 2002). Sedangkan penyakit ginjal kronik
merupakan perkembangan dari penyakit ginjal yang progresif dan lambat,
dan biasanya berlangsung beberapa tahun. Penyakit ginjal kronik terjadi
setelah berbagai macam penyakit merusak nefron ginjal. Umumnya
penyakit ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal intrinsik difus dan
8
menahun. Biasanya penyakit di luar ginjal, misalnya nefropati obstruktif
dapat menyebabkan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan penyakit
ginjal kronik. Glomerulonefritis, hipertensi essensial dan pielonefritis
merupakan penyebab paling sering dari penyakit ginjal kronik, kira-kira
60%. Sedangkan penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan
penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15% hingga 20%
(Sukandar, 2006).
Penyakit ginjal kronik pada awalnya memang tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya
proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa sebagai suatu upaya kompensasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, dan diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses
ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun
penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi. Peningkatan aktivitas
renin, angiotensin-aldosteron ikut memberikan kontribusi terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas. Beberapa hal yang juga dianggap
berperan pada terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Pada stadium paling
dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada
keadaan dimana laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau justru
meningkat. Kemudian secara perlahan, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin
serum dan urea (Suwitra, 2009).
9
4. Manifestasi
Beberapa gejala penyakit ginjal kronik menurut Alam & Hadibroto
(2007) sebagai berikut :
a. Perubahan frekuensi kencing, sering ingin berkemih pada malam hari
b. Pembengkakan pada bagian pergelangan kaki
c. Kram otot pada malam hari
d. Lemah dan lesu, kurang berenergi
e. Nafsu makan turun, mual dan muntah
f. Sulit tidur
g. Bengkak seputar mata pada waktu bangun pagi hari atau mata merah
dan berair (uremic red eye) karena deposit garam kalsium fosfat yang
dapat menyebabkan iritasi hebat pada selaput lendir mata
h. Kulit gatal dan kering
5. Gambaran klinis penyakit ginjal kronik
Menurut Wilson (1995) dalam Suwitra (2009), gambaran klinis
perjalanan penyakit ginjal kronik dapat dilihat melalui hubungan antara
bersihan kreatinin dan laju filtrasi glomerulus (LFG) terhadap kreatinin
serum dan kadar urea darah dengan rusaknya massa nefron secara
progresif oleh penyakit ginjal kronik. Perjalanan klinis penyakit ginjal
kronik dapat dibagi menjadi 5 stadium, yaitu:
a. Stadium I
Stadium I dinamakan penurunan cadangan ginjal. Secara
perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG ≥ 90 %, pasien masih belum merasakan keluhan, tetapi telah
terjadi peningkatan urea dan kreatinin serum.
10
b. Stadium II
Pada derajat ini pasien akan mengalami kerusakan ginjal
dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) mengalami penurunan ringan,
dimana LFG sebesar 60% sampai 89%.
c. Stadium III
Pada derajat ini pasien akan mengalami kerusakan ginjal
dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) mengalami penurunan sedang,
dengan LFG 30% sampai 59%.
d. Stadium IV
Stadium IV atau pasien mengalami kerusakan ginjal dengan
laju filtrasi glomerulus (LFG) mengalami penurunan berat, pada
stadium ini LFG sebesar 15% sampai 29%.
e. Stadium V
Pada stadium akhir LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius yaitu gagal jantung, dan pada tahap ini
pasien sangat memerlukan terapi pengganti ginjal, seperti dialisis
ataupun tranplantasi ginjal.
6. Penatalaksanaan
Menurut Tjokoprawiro, dkk. (2007) dalam praktek sehari – hari
penatalaksanaan pada penyakit ginjal adalah sebagai berikut :
a. Pengobatan penyakit dasar
b. Pengendalian keseimbangan air dan garam
c. Diet rendah protein, tinggi kalori
d. Pengendalian tekanan darah
e. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa
f. Pencegahan dan pengobatan osteodistrofi renal (ODR)
g. Pengobatan gejala uremi spesifik
h. Deteksi dini dan pengobatan infeksi
11
i. Penyesuaian pemberian obat
j. Deteksi dan pengobatan komplikasi
k. Persiapan dialisis dan transplantasi
B. Hemodialisa
1. Pengertian
Dialisis adalah proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan
dan produk limbah didalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut (Smeltzer & Bare, 2002). Hemodialisa
adalah suatu proses mengeluarkan produk sisa metabolisme berupa larutan
(ureun dan kreatinin) dan air pada darah melalui membran semipermeabel
atau yang disebut dengan dialyzer (Thomas, 2002 dalam syamsiah, 2011).
2. Fungsi hemodialisa
Hemodialisa berfungsi untuk mengambil zat-zat nitrogen dan
toksin dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada
hemodialisa, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialirkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan
dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien (Smeltzer & Bare, 2002).
3. Komplikasi pada hemodialisa
Komplikasi terapi hemodialisa menurut Smeltzer & Bare (2002)
mencakup hal – hal sebagai berikut :
a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan
b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja
terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien
c. Nyeri dada dapat terjadi karena PCo2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh
d. Pruritas dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit
12
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini
memungkinkan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang
berat
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel
g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi
C. Keseimbangan Cairan
1. Komposisi cairan tubuh
Berat badan orang dewasa pada umumnya terdiri dari 60 %
cairan. Faktor – faktor yang mempengaruhi cairan tubuh adalah umur,
jenis kelamin, dan kandungan lemak didalam tubuh (Smeltzer & Bare,
2002). Cairan tubuh dibagi menjadi dua yaitu : cairan ekstrasel (CES)
dan cairan intrasel (CIS). Cairan ekstrasel 20 % atau 1/3 berat tubuh
terdiri dari intersitial ¾ cairan ekstraseluler, plasma ¼ cairan
ekstraseluler, transeluler. Cairan intrasel adalah cairan didalam
membrane sel yang berisi substansi terlarut atau solute yang penting
untuk keseimbangan cairan dan elektrolit serta untuk metabolisme.
Cairan intrasel membentuk 40 % atau 2/3 berat tubuh (Morton &
Fontaine, 2009). Misal berat badan orang dewasa 70 kg cara
menghitungnya sebagai berikut :
Berat padat : 70 kg x 0,40 = 28 kg
Berat cairan : 70 kg x 0,60 = 42 kg
Cairan intrasel : 42 L x 2/3 = 28 L
Cairan ekstrasel : 42 L x 1/3 = 14 L
Cairan intersitial : 14 L x 3/4 = 10,5 L
Plasma : 14 L x 1/4 = 3,6 L
13
2. Ketidaksembangan cairan
Pasien penyakit ginjal sering mengalami gangguan keseimbangan
cairan sehingga memerlukan pemantauan ketat untuk mendeteksi setiap
tanda yang akan terjadi. Pada pasien penyakit ginjal kronik, ginjal
kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu memekatkan urin
(hipothenuria) dan kehilangan cairan secara berlebihan (poliuria).
Hipothenuria disebabkan karena keutuhan nefron yang membawa zat
tersebut dan kelebihan air untuk nefron – nefron tersebut tidak dapat
berfungsi lama. Terjadi osmotik diuretik yang dapat menyebabkan
dehidrasi.
Peningkatan jumlah nefron yang tidak berfungsi akan
menyebabkan ketidakmampuan ginjal dalam menyaring urin
(isothenuria). Tahap ini akan terjadi kekakuan glomerulus dan plasma
tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus, sehingga
menyebabkan kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium. Tanda
ketidakseimbangan ringan memiliki tanda seperti sakit kepala, pusing,
mual, dan muntah. Sedangkan ketidakseimbangan yang berat tandanya
seperti penyakit saraf, koma, dan potensi kematian (syamsiah, 2011).
Menurut Smeltzer & Bare (2002) tanda – tanda gangguan cairan
pada kelainan renal adalah sebagai berikut :
a. Kelebihan volume cairan ditunjukan dengan kenaikan berat badan
yang cepat (melebihi 5%), edema, ronchi basah dalam paru- paru,
kelopak mata bengkak dan sesak nafas.
b. Kurangnya volume cairan ditunjukan dengan penurunan berat badan
yang cepat (melebihi 5%), penurunan suhu tubuh, kulit serta
membran mukosa kering , lipatan atau garis – garis alur longitudinal
pada lidah, dan oliguria atau anuria.
c. Kekurangan cairan ditunjukan dengan kram perut, pasien tampak
khawatir, kejang – kejang, oliguria atau anuria.
14
3. Pengaturan cairan tubuh
a. Asupan cairan
Hipotalamus di otak adalah suatu pusat pengendali rasa haus.
Stimulus fisiologi utama terhadap pusat rasa haus adalah
peningkatan konsentrasi plasma dan penurunan volume darah. Sel-
sel reseptor yang disebut osmoreseptor secara terus-menerus
memantau osmolalitas. Pusat rasa haus diaktifkan dan dideteksi oleh
osmoreseptor saat tubuh kehilangan cairan terlalu banyak. Faktor
lain yang mempengaruhi pusat rasa haus adalah keringnya membran
mukosa faring dan mulut, angiotensin II, kehilangan kalium, dan
faktor-faktor psikologis (Sari, 2009).
Asupan cairan pasien penyakit ginjal kronik harus
disesuaikan dengan batas asupan cairan yang sudah ditentukan, rasa
haus yang dialami pasien menyebabkan terjadinya fenomena
kelebihan cairan pada klien yang menjalani terapi hemodialisis.
Berat badan harian merupakan parameter penting yang dipantau,
selain catatan yang akurat mengenai asupan dan keluaran. Kenaikan
BB diantara waktu HD (IDWG) < 5% BB kering (Almatsier, 2006).
Sebelum dan sesudah hemodialisis berat badan pasien ditimbang
secara rutin dan IDWG diukur dengan cara menghitung selisih antara
berat badan setelah HD pada periode hemodialisis pertama dikurangi
berat badan pasien sebelum pre HD kedua dibagi berat badan setelah
HD pada periode hemodialisis pertama dikalikan 100%. Misalnya
BB pasien post HD ke 1 adalah 54 kg, BB pasien pre HD ke 2 adalah
58 kg, prosentase IDWG (58 -54) : 58 x 100% = 6,8 % (Istanti,
2009).
Mempertahankan keseimbangan cairan yaitu dengan
mengukur masukan dan haluaran cairan. Asupan cairan diberikan
sesuai dengan pengukuran yang kebutuhan dalam 24 jam. Kebutuhan
pasien akan air dapat dilakukan melalui pengukuran urin yang
dikeluarkan dalam 24 jam menggunakan gelas silinder dan ditambah
15
air 500 ml. Jumlah ini akan mengganti jumlah air yang hilang dari
dalam tubuh (volume urin + 500 cc) (Tjokoprawiro, dkk., 2007).
Kegiatan yang dilakukan dalam upaya mengatur keseimbangan
cairan, dilakukan kegiatan memonitor penambahan berat badan
setiap hari, mencatat asupan dan keluaran cairan secara akurat;
memonitor distensi vena leher, bunyi ronkhi pada paru, adanya
edema perifer, membatasi dan mengatur asupan cairan dan
melakukan dialisis (Syamsiyah, 2011).
Pembatasan asupan cairan bisa menjadi hal yang sulit bagi
klien penyakit ginjal kronik untuk dipertahankan, khususnya jika
klien mengalami kehausan. Menurut Kozier (1995) dan Crisp &
Tailor (2001) dalam Sari (2009) terdapat beberapa intervensi
keperawatan yang dapat dilakukan perawat untuk mengurangi rasa
haus pada klien dengan pembatasan asupan cairan yaitu:
1. Menjelaskan alasan pembatasan cairan, berapa banyak cairan
yang dibatasi dan jenis cairan apa yang diperbolehkan untuk
diminum.
2. Mengatur alokasi waktu dan interval minum untuk 24 jam.
3. Alternative pengganti air untuk mengurangi rasa haus dengan
memberikan kepingan atau potongan es.
4. Menyediakan wadah atau tempat air minum yang berukuran
kecil untuk minum.
5. Bantu klien untuk membilas mulut mereka dengan air tanpa
menelannya bila klien merasa haus.
6. Melakukan perawatan mulut.
7. Menginstruksikan klien untuk menghindari menelan atau
mengunyah makanan yang terlalu asin atau manis, karena
makanan tersebut cenderung menyebabkan sensasi haus.
8. Jika memungkinkan instruksikan klien mencatat cairan yang
masuk pada buku catatan untuk memantau jumlah cairan yang
masuk.
16
b. Haluaran cairan
Menurut Kozier, dkk. (2011) terdapat 4 rute haluaran cairan:
1. Urine
2. Kehilangan cairan yang tidak dirasakan dari kulit sebagai keringat
dan melalui paru sebagai uap air dalam udara yang diekspirasikan
3. Kehilangan cairan yang terlihat jelas melalui kulit
4. Kehilangan cairan melalui usus lewat feses
Tabel 2.1 Haluaran Urin
Rute Jumlah (mL)
Urine 1.400 sampai 1.500
Kehilangan yang tidak dirasakan
Paru 350 sampai 400
Kulit 350 sampai 400
Keringat 100
Feses 100 sampai 200
Total 2.300 sampai 2.600
Menurut Smeltzer & Bare (2002) Cairan terutama dikeluarkan
oleh organ – organ tubuh sebagai berikut :
1. Ginjal
Ginjal memiliki peran utama dalam mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit. Ginjal mengekskresikan urin
1,5 liter, selain itu ginjal berfungsi untuk mempertahankan
keseimbangan cairan sebagai berikut :
a. Pengaturan volume dan osmolaritas CES melalui retensi dan
ekskresi selektif cairan tubuh.
b. Pengaturan kadar elektrolit dalam CES dengan retensi selektif
substansi yang dibutuhkan dan ekskresi selektif substansi yang
tidak dibutuhkan.
17
c. Ekskresi sampah metabolik dan substansi toksik.
Dari hal diatas dapat diketahui bahwa penyakit ginjal akan
mengakibatkan permasalahan dalam keseimbangan cairan dan
elektrolit.
2. Paru – paru
Paru – paru merupakan salah satu organ yang juga
mempertahankan homeostasis. Melalui ekshalasi, paru – paru
membuang kira – kira 300 ml air setiap hari.
3. Kelenjar pituitari
Hormon anti diuretik (ADH) yang dihasilkan oleh
hipotalamus yang disimpan dalam kelenjar pituitari posterior dan
dilepaskan jika diperlukan. ADH disebut sebagai hormon
penyimpanan air, mempertahankan tekanan osmotik sel dengan
mengendalikan retensi atau ekskresi air oleh ginjal dan mengatur
volume darah.
4. Kelenjar adrenal
Aldosteron, suatu mineralokortikoid yang disekresikan oleh
zona glomerulosa dari korteks adrenal. Mempunyai pengaruh
dalam keseimbangan cairan. Peningkatan aldosteron menyebabkan
retensi natrium dan kehilangan kalium.
5. Kelenjar paratiroid
Kelenjar ini memiliki fungsi mengatur keseimbangan
kalsium dan fosfat melalui hormon paratiroid (PTH). PTH
mempengaruhi resorpsi tulang, absorpsi kalsium dari usus halus,
dan reabsorpsi kalsium dari tubulus ginjal.
D. Pembatasan Asupan Cairan
Pembatasan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik sangat perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular.
Air yang masuk kedalam tubuh harus seimbang dengan air yang keluar, baik
melalui urin maupun insensible water loss. Pembatasan asupan cairan
18
bergantung pada haluaran urine. Berasal dari insensible water loss ditambah
dengan haluaran urin per 24 jam yang diperbolehkan untuk pasien dengan
penyakit ginjal kronik yang menjalani dialisis (Almatsier, 2006; Smeltzer &
Bare, 2002).
Kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lama tanpa asupan
cairan dibandingkan dengan makanan. Namun pasien dengan penyakit
penyakit ginjal kronik harus melakukan pembatasan asupan cairan untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Mengontrol asupan cairan merupakan salah
satu masalah utama bagi pasien dialisis. Ginjal sehat melakukan tugasnya
menyaring dan membuang limbah dan racun di tubuh kita dalam bentuk urin
24 jam sehari. Apabila fungsi ginjal berhenti maka terapi dialisis yang
menggantikan tugas dari ginjal tersebut. Mayoritas klien yang menjalani
terapi hemodialisis di Indonesia menjalani terapi 2 kali seminggu antara 4 – 5
jam pertindakan, itu artinya tubuh harus menanggung kelebihan cairan
diantara dua waktu terapi (Sari, 2009).
Apabila pasien tidak membatasi jumlah asupan cairan maka cairan
akan menumpuk di dalam tubuh dan akan menimbulkan edema di sekitar
tubuh seperti tangan, kaki dan muka. Banyak juga penumpukan cairan terjadi
di rongga perut yang membuat perut disebut ascites . Kondisi ini akan
membuat tekanan darah meningkat dan memperberat kerja jantung.
Penumpukan cairan juga akan masuk ke paru – paru sehingga membuat
pasien mengalami sesak nafas, karena itulah pasien perlu mengontrol dan
membatasi jumlah asupan cairan yang masuk dalam tubuh. Pembatasan
tersebut penting agar pasien tetap merasa nyaman pada saat sebelum, selama
dan sesudah terapi hemodialisis (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Sari, 2009).
Penilaian umum mengenai berat badan bersih adalah penting untuk
mempermudah perawat dan pasien dalam mengurangi kelebihan cairan
selama pelaksanaan dialisis. 1 kg BB sebanding dengan 1 L cairan, artinya
berat badan pasien adalah metode yang sederhana dan akurat untuk menilai
pertambahan maupun pengurangan cairan (Morton & Fontaine, 2009).
19
E. Kepatuhan
1. Pengertian
Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap
intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang
ditentukan, diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan
dokter (Stanley, 2007 dalam maryati, 2011). Kepatuhan adalah tingkat
seseorang dalam melaksanakan suatu aturan dan perilaku yang disarankan.
Kepatuhan ini dibedakan menjadi dua yaitu kepatuhan penuh (total
compliance) dimana pada kondisi ini penderita penyakit ginjal kronik
patuh secara sungguh – sungguh terhadap diet asupan cairan dan penderita
yang tidak patuh (non compliance) dimana pada keadaan ini penderita
tidak melakukan diet terhadap asupan cairannya.
2. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Carpenito (2002) dalam Maryati (2011) berpendapat bahwa faktor
yang dapat meningkatkan kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat
berpegaruh positif sehingga penderita tidak mau lagi mempertahankan
kepatuhannya. Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan antara lain
sebagai berikut:
a. Pemahaman tentang instruksi
Kesalahpahaman dalam pemberian instruksi menyebabkan
tidak seorangpun mematuhi instruksi tersebut. Ley dan Spelman
tahun 1967 menemukan bahwa lebih dari 60% responden yang di
wawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang
instruksi yang diberikan kepada mereka. Kadang hal ini disebabkan
oleh kegagalan dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan
istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus
diingat oleh penderita.
20
b. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan,
jika pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang
diperoleh secara mandiri atau lewat tahapan tertentu.
c. Kesakitan dan pengobatan
Penderita penyakit kronis memiliki perilaku kepatuhan lebih
rendah (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau
resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama,
pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping,
perilaku yang tidak pantas sering terabaikan.
d. Keyakinan, sikap dan kepribadian
Kepribadian antara orang yang patuh dengan orang yang
tidak patuh tentu berbeda. Orang yang tidak patuh adalah orang yang
mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan kesehatannya,
memiliki sosial yang lebih, memusatkan perhatian kepada dirinya
sendiri. Kekuatan ego yang lebih ditandai dengan kurangnya
penguasaan terhadap lingkungannya.
e. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang dapat
berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan
individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka
terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan
mengenai perawatan anggota keluarga yang sakit.
f. Tingkat ekonomi
Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk
memenuhi segala kebutuhan hidup, tetapi ada kalanya seseorang
yang sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber
keuangan lain yang bisa digunakan untuk membiayai semua program
pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi
menengah kebawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya
tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan.
21
g. Dukungan sosial
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari
anggota keluarga, teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting
dalam kepatuhan. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi
ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat
menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka seringkali
dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.
F. Dukungan Sosial
1. Pengertian
Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasihat, adanya bantuan
dan tindakan yang diberikan dimana kehadiran mereka mempunyai
manfaat emosional atau perilaku bagi pihak penerimanya (Nursalam &
Kurniawati, 2007). Dukungan sosial yaitu mengacu pada kenyamanan,
perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau
kelompok kepada individu (Gentry & Kobasa, 1984; Wallston dkk., 1983;
Wills & Fegan, 2001 dalam Sarafino, 2006). Neergaard, Shaw, dan Carter
dalam Suhita (2005) mengartikan dukungan sosial sebagai sumber yang
tersedia terdiri dari jaringan teman dan kenalan (jaringan sosial) yang
membantu seseorang untuk mengatasi masalah sehari-hari atau krisis yang
serius.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
dukungan sosial adalah adanya bantuan atau dukungan yang diterima
individu dari orang lain dalam kehidupannya sehingga individu tersebut
merasa bahwa orang lain memperhatikan, menghargai, dan mencintainya.
Pada penderita penyakit ginjal kronik adanya dukungan dari orang
disekelilingnya akan memperkuat kemauan untuk selalu patuh dalam
membatasi cairannya.
22
2. Bentuk Dukungan Sosial
Bentuk dukungan sosial menurut Sarafino (2006) yaitu:
a. Dukungan emosional
Dukungan emosional dapat berupa ungkapan empati,
perhatian, maupun kepedulian terhadap individu yang bersangkutan.
Dukungan emosi memberikan rasa nyaman, jaminan, kepemilikan dan
dicintai ketika seseorang dalam situasi stres, misalnya memberikan
dukungan emosi pada seseorang yang kehilangan pasangan hidupnya.
b. Dukungan penghargaan
Dukungan berupa ungkapan hormat (penghargaan) untuk
orang lain atau individu yang bersangkutan, dorongan atau
persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan
positif individu tersebut dengan orang lain.
c. Dukungan instrumental
Dukungan ini mencakup bantuan langsung misal berupa
bantuan uang bisa juga berupa bantuan dalam pekerjaan sehari-hari.
d. Dukungan informasi
Dukungan berupa nasihat, saran, pengetahuan, informasi serta
petunjuk mengenai apa yang dilakukan individu yang bersangkutan,
contohnya seseorang yang sedang sakit mendapat informasi dari
keluarga atau dokter bagaimana mengatasi penyakit.
e. Dukungan persahabatan
Dukungan berupa adanya kebersamaan, kesediaan dan
aktivitas sosial yang sama mengacu pada ketersediaan orang lain
untuk menghabiskan waktu bersama orang tersebut, dengan demikian
memberikan perasaan keanggotaan dalam kelompok untuk berbagi
ketertarikan dan aktivitas sosial.
23
3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial
Menurut Reis dalam Suhita (2005) ada tiga faktor yang
mempengaruhi penerimaan dukungan sosial pada individu yaitu:
a. Keintiman
Dukungan sosial lebih banyak diperoleh dari keintiman dari
pada aspek-aspek lain dalam interaksi sosial, semakin intim
seseorang maka dukungan yang diperoleh seseorang semakin besar.
b. Harga Diri
Individu dengan harga diri memandang bantuan dari orang lain
merupakan suatu bentuk dalam penurunan harga diri karena dengan
menerima bantuan orang lain diartikan bahwa individu yang
bersangkutan tidak mampu dalam berusaha mencapai sesuatu.
c. Keterampilan Sosial
Individu dengan pergaulan yang luas akan memiliki
keterampilan sosial yang tinggi, sehingga akan memiliki jaringan
sosial yang luas pula, sedangkan individu yang memiliki jaringan
individu yang kurang luas memiliki keterampilan sosial rendah.
4. Mekanisme Dukungan Sosial
Menurut Pearlin dan Anelshensel, 1986 dalam dalam Nursalam &
Kurniawati (2007) ada tiga mekanisme social support yang secara
langsung atau tidak berpengaruh terhadap kesehatan seseorang, yaitu:
a. Mediator perilaku
Mengajak individu untuk mengubah perilaku yang jelek dan
meniru perilaku yang baik (misalnya, berhenti merokok).
b. Psikologis
Meningkatkan harga diri dan menjembatani suatu interaksi
yang bermakna.
24
c. Fisiologis
Membantu relaksasi terhadap sesuatu yang mengancam dalam
upaya meningkatkan sistem imun seseorang.
G. Kerangka Teori
Skema 1.1 kerangka teori
(Maryati, 2011; Sarafino, 2006; Smeltzer & Bare, 2002)
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
kepatuhan:
a. Pemahaman tentang
instruksi
b. Tingkat pendidikan
c. Kesakitan dan
pengobatan
d. Keyakinan, sikap dan
kepribadian
e. Dukungan Keluarga
f. Tingkat ekonomi
g. Dukungan sosial:
1) Dukungan
emosional
2) Dukungan
penghargaan
3) Dukungan
instrumental
4) Dukungan
informasi
5) Dukungan
persahabatan
Kepatuhan pembatasan
asupan cairan Kelebihan cairan
Hemodialisa Penyakit ginjal
kronik
25
H. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Skema 2.2 Kerangka Konsep
I. Variabel Penelitian
Variabel - variabel yang diteliti meliputi :
1. Variabel Independen (bebas)
Variabel Independen dalam penelitian ini adalah dukungan sosial
yang meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental, dukungan informasi dan dukungan persahabatan.
2. Variabel Dependen (terikat)
Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan
pembatasan asupan cairan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa di RSUD Kota Semarang.
J. Hipotesis
Hipotesis awal (Ha) dalam penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan dukungan sosial terhadap kepatuhan pembatasan asupan
cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di
RSUD Kota Semarang
2. Ada hubungan dukungan emosional terhadap kepatuhan pembatasan
asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa di RSUD Kota Semarang
Dukungan Sosial :
a. Dukungan emosional
b. Dukungan penghargaan
c. Dukungan instrumental
d. Dukungan informasi
e. Dukungan persahabatan
Kepatuhan pembatasan
asupan cairan
26
3. Ada hubungan dukungan penghargaan terhadap kepatuhan pembatasan
asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa di RSUD Kota Semarang.
4. Ada hubungan dukungan instrumental terhadap kepatuhan pembatasan
asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa di RSUD Kota Semarang.
5. Ada hubungan dukungan informasi terhadap kepatuhan pembatasan
asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa di RSUD Kota Semarang.
6. Ada hubungan dukungan persahabatan terhadap kepatuhan pembatasan
asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa di RSUD Kota Semarang.