14
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV 193 Denpasar, 13-14 Oktober 2017 PATHOGENESIS ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK I Wayan Sudhana Divisi Ginjal dan Hipertensi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar PENDAHULUAN Anemia merupakan salah satu komplikasi yang hampir selalu terjadi pada penyakit ginjal kronis(PGK). Sebelum adanya recombinant human erythropoietin (rHuEPO) atau erythropoietin (EPO) -stimulatign agents (ESA), pasien dengan dialisis seringkali membutuhkan transfusi darah. Kemampuan untuk mengkoreksi anemia menunjukkan bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dapat ditangani, yaitu kelemahan kondisi umum dan penurunan kapasitas fisik yang diakibatkan gangguan fungsi fisiologi secara umum. Oleh karena itu, terdapat pertimbangan rasional yang kuat dalam tatalaksana anemia pada pasien dengan PGK, meskipun strategi terapi yang optimal masih belum sepenuhnya dipahami. Di samping terapi dengan ESA, pengembalian zat besi yang terpakai penting dalam manajemen anemia. Biaya manajemen anemia, dampak negatif koreksi total anemia bagi pasien, memerlukan pertimbangan yang rasionalterhadap keuntungan dan kerugian terapi ini. Diperlukan pengetahuan tentang pathogenesis anemia pada pasien PGK dan peranan zat besi dalam pengelolaan anemia pada pasien PGK. Epidemiologi dan Perjalanan Alamiah Terjadi peningkatan secara progresif angka kejadian dan derajat keparahan anemia yng dihubungkan dengan penurunan fungsi ginjal. Berdasarkan data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa distribusi kadar Hb mulai mengalami penurunan pada estimated glomerular

PATHOGENESIS ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK I …

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

193 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

PATHOGENESIS ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK

I Wayan Sudhana

Divisi Ginjal dan Hipertensi

Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

PENDAHULUAN

Anemia merupakan salah satu komplikasi yang hampir selalu terjadi pada

penyakit ginjal kronis(PGK). Sebelum adanya recombinant human erythropoietin

(rHuEPO) atau erythropoietin (EPO) -stimulatign agents (ESA), pasien dengan

dialisis seringkali membutuhkan transfusi darah.

Kemampuan untuk mengkoreksi anemia menunjukkan bahwa konsekuensi

yang ditimbulkan dapat ditangani, yaitu kelemahan kondisi umum dan penurunan

kapasitas fisik yang diakibatkan gangguan fungsi fisiologi secara umum. Oleh

karena itu, terdapat pertimbangan rasional yang kuat dalam tatalaksana anemia

pada pasien dengan PGK, meskipun strategi terapi yang optimal masih belum

sepenuhnya dipahami.

Di samping terapi dengan ESA, pengembalian zat besi yang terpakai penting

dalam manajemen anemia. Biaya manajemen anemia, dampak negatif koreksi

total anemia bagi pasien, memerlukan pertimbangan yang rasionalterhadap

keuntungan dan kerugian terapi ini.

Diperlukan pengetahuan tentang pathogenesis anemia pada pasien PGK dan

peranan zat besi dalam pengelolaan anemia pada pasien PGK.

Epidemiologi dan Perjalanan Alamiah

Terjadi peningkatan secara progresif angka kejadian dan derajat keparahan

anemia yng dihubungkan dengan penurunan fungsi ginjal. Berdasarkan data dari

National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa

distribusi kadar Hb mulai mengalami penurunan pada estimated glomerular

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

194 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

filtration rate (eGFR) kurang dari 75 ml/menit/1,73 m2 pada pria dan kurang dari 45

ml/menit/1,73 m2 pada wanita Dengan terapi ESA dan derivatnya, nilai Hb pada

pasien PGK telah berubah. Biasanya pada pasiendialisis, rata-rata kadar Hb

meningkat secara stabil selama bertahun-tahun, dan kemudian mengalami

penurunan kembali sesuai dengan bukti baru yang menyarankan kadar target yang

lebih rendah. Kadar Hb bervariasi pada kondisi terapi yang sama, menunjukkan

bahwa perubahan yang terjadi persisten dan bergantung pada waktu dalam hal

respon terapi.1

Gambar 1. Hubungan antara konsentrasi Hb dan eGFR

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

195 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

Pathogenesis Anemia pada penyakit ginjal kronik

Anemia pada pasien PGK merupakananemia normokromik normositik

terisolasi. Sumsum tulang yang normal memiliki kapasitas untuk mengkompensasi

pemendekan umur eritrosit akibat PGK. Namun, kompensasi peningkatan produksi

eritrosit yang diinduksi ESA terganggu pada pasien PGK. ESA secara normal

diproduksi oleh fibroblas interstisial pada korteks renalis, sel epitel tubulus dan

kapiler peritubuler. Hepatosit dan sel epitel perisinusoidal pada hati juga dapat

memproduksi ESA. Peranan produksi ESA renal pada patogenesis anemia renal

didukung oleh pengamatan bahwa anemia biasanya berat pada pasien anefrik.

Erythropoietin adalah suatu hormon glikoprotein yang terdiri dari 165 asam amino

protein penyangga dan 4 kompleks, rantai karbohidrat yang tersialylasi.

Erythropoietin menstimulasi produksi sel darah merah dengan mengikat reseptor

ESA homodimer, dimana umumnya terletak pada sel progenitor erythroid awal,

burst-forming units erythroid (BFU-e), dan colony-forming units erythroid (CFU-e).

Penghambatan produksi sel darah merah dengan inhibitor uremik eritropoiesis

mungkin berkontribusi dalam pathogenesis anemia renal, meskipun belum

teridentifikasi dengan baik. Dialisis dapat memperbaiki anemia renal dan efektivitas

ESA.1

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

196 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

Gambar 2. Kontrol eritropoieses

Penyebab anemia pada PGK multifaktorial. Gangguan produksi EPO

diperkirakan sebagai penyebab utama pathogenesis anemia pada PGK sehingga

pemberian terapi ESA diharapkan mampu mengatasi anemia. Namun 10-20%

pasien berespon buruk terhadap ESA sehingga diperkirakan selain defisiensi

eritropoietin juga terjadi gangguan hemostasis besi pada penderita PGK.

Pemendekan lama hidup eritrosit dan gangguan eritropoiesis oleh toksin uremik

juga berkontribusi terhadap anemia pada PGK.2

Hemostasis Besi

Besi merupakan unsur terbanyak ke empat pada kerak bumi. Besi

digunakan untuk sintesis DNA, sintesis hemoglobin untuk memproduksi eritrosit

dan proses biokimia lainnya. Besi yang terdapat ditubuh dapat berupa senyawa

besi fungsional (besi yang membentuk senyawa, misalnya hemoglobin, myoglobin,

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

197 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

enzim-enzim), besi cadangan (besi yang disimpan dan dipersiapkan bila masukan

besi berkurang, misalnya feritin serum dan hemosiderin), dan besi transpor (besi

yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi

dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya). Besi dalam tubuh akan selalu

berikatan dan tidak pernah dalam bentuk bebas karena besi bebas akan merusak

jaringan dan mempunyai sifat seperti radikal bebas yang dapat merusak membran

lipid, protein, dan asam nukleat yang mengakibatkan kematian sel.

Besi diabsorpsi di duodenum dan jejunum proksimal, dan proses

absorbsinya dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase luminal, mukosal, dan

korporeal. Proses besi dalam makanan kemudian diolah dan siap untuk diserap

disebut dengan fase luminal. Besi pada makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu

besi heme yang memiliki bioavailabilitas tinggi, absorbsinya tidak dipengaruhi oleh

bahan penghambat seperti misalnya serat, dan terdapat pada daging dan ikan dan

besi non heme yang memiliki bioavailabilitas rendah, absorbsinya dipengaruhi oleh

bahan penghambat, dan terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Asam lambung

melepaskan besi dari ikatannya dengan senyawa lain. Besi mengalami proses

reduksi oleh bantuan enzim ferricreductase yang mengubah Fe3+

menjadi Fe2+

yang siap untuk diserap.

Pada fase mukosal terjadi penyerapan besi dalam mukosa usus. Fe2+

masuk ke enterosit melewati membran apikal melalui divalent metal transporter 1

(DMT1). Dalam sel enterosit, besi dapat disimpan sebagai feritin serum atau

ditranspor ke plasma melalui membran basolateral. Besi yang akan dikeluarkan ke

sirkulasi dari membran basolateral akan melewati protein transmembran

feroportin.3

Fase terakhir adalah fase korporeal yang meliputi proses transportasi,

pengambilan besi untuk digunakan, dan penyimpanan besi. Setelah diabsorbsi,

besi akan beredar di sirkulasi dalam bentuk terikat transferrin dan menuju sistem

porta hepatik, yang merupakan tempat penyimpanan besi yang utama. Sel

hepatosit akan mengikat besi melalui Transferrin Receptor 1 dan 2 (TfR1 dan

TfR2) dan disimpan dalam bentuk ferritin. Selain itu besi yang berikatan dengan

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

198 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

transferin akan dibawa ke sumsum tulang untuk pembentukan sel darah merah.

Sel darah merah yang sudah tua akan difagositosis makrofag pada sistem

retikuloendotelial.4

Gambar 3. Proses absorbsi besi di enterosit (Larson & Coyne, 2013)

Keterangan: DMT1; Divalent Metal Transporter 1.

Jumlah besi normal di dalam tubuh manusia 3-4 gram, paling banyak

dalam bentuk hemoglobin (2,5 gram), protein yang mengandung besi lainnya

seperti mioglobin, sitokrom, katalase (400 mg), terikat pada transferin (3-7 mg),

dan sisanya dalam bentuk cadangan besi feritin serum atau hemosiderin. 1-2

miligram besi diserap usus setiap harinya. Sedangkan 20-25 miligram besi

diperlukan setiap harinya untuk eritropoesis didapatkan dari besi di sistem

retikuloendotelial.5,6

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

199 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

Gambar 4. Penyerapan dan daur ulang besi di dalam tubuh (Janssen &

Swinkles , 2009)

Hepsidin saat ini merupakan kunci hemostasis besi.6 Hepsidin berinteraksi

dengan eksporter besi intraseluler yang disebut ferroportin. Melalui mekanisme

inilah hepsidin dapat mempengaruhi pengaturan besi sistemik. Hepsidin berperan

dalam keseimbangan besi dengan menginduksi internalisasi dan degradasi

feroportin, sebuah kanal ion di enterosit, makrofag, dan hepatosit. Degradasi

feroportin akan mengurangi absorpsi besi di enterosit dan mencegah pelepasan

besi dari sistem retikuloendotelial dan liver.

Pasien PGK yang menjalani HD akan mengalami keseimbangan besi

negatif, akibat hilangnya 1-3 gram besi per tahun akibat tertahannya darah pada

dialiser dan pengambilan darah berulang. Pemberian ESA juga akan mengurangi

kadar besi akibat stimulasi produksi sel darah merah.7 Selain itu, pada pasien PGK

terjadi gangguan penyerapan besi. Uji coba terkontrol acak menunjukkan besi oral

tidak lebih baik dibandingkan placebo dalam mengatasi defisiensi besi pada

penderita yang menjalani HD.8

Gangguan besi pada penderita PGK dapat disebabkan oleh defisiensi besi

absolut yang ditandai oleh rendahnya saturasi transferin dan feritin serum, yang

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

200 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

dapat diterapi menggunakan besi. Namun pada penderita PGK juga dapat terjadi

defisiensi besi fungsional yang ditandai dengan rendahnya kadar besi di sirkulasi

walaupun cadangan besi adekuat bahkan meningkat, sehingga terjadi hambatan

proses eritropoiesis. Tertahannya besi di sistem retikuloendotelial adalah

karakteristik dari anemia pada inflamasi atau yang lebih dikenal dengan nama

anemia penyakit kronis yang juga terjadi pada penderita penyakit autoimun, infeksi

kronis, dan keganasan.9 Penelitian terbaru menunjukkan gangguan penyerapan

besi di usus dan gangguan pelepasan cadangan besi pada paien PGK terjadi

karena berlebihnya hormon hepsidin yang mengatur regulasi besi.10,11

Petanda zat besi pada penderita PGK

Anemia merupakan salah satu gejala utama pada pasien PGK. Anemia

pada pasien PGK umumnya disebabkan oleh defisiensi ESA, namun dapat juga

terjadi defisiensi besi pada pasien PGK. Defisiensi besi absolut pada penderita

PGK dapat disebabkan oleh kurangnya diet, berkurangnya penyerapan besi di

usus, dan pendarahan. Pada National Health and Nutrition Examination Survey IV

didapatkan 50% pasien PGK stadium II-V menderita anemia defisiensi besi absolut

atau fungsional. Anemia defisiensi besi absolut pada penderita PGK pradialisis

didefinisikan sebagai saturasi transferin <20% atau serum feritin <100 ng/ml,

sedangkan anemia defisiensi besi fungsional didefinisikan sebagai saturasi

transferin <20% atau serum feritin ≥100 ng/ml. Menentukan defisiensi besi pada

penderita PGK dialisis lebih sulit dibandingkan dengan populasi orang sehat.

Pemeriksaan feritin serum penting dilakukan untuk memonitor defisiensi besi.

Berkurangnya besi serum akan mengakibatkan kelelahan, penurunan kualitas

hidup, dan gangguan kardiovaskular seperti hipertropi ventrikel kiri, penurunan

fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan gagal jantung kongestif.

Hepsidin

Hepsidin merupakan peptida kation berukuran kecil yang mengandung

banyak cystein. Park dkk tahun 2001 menemukan peptida ini di dalam urine dan

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

201 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

diberi nama hepsidin (hepatic bactericidal protein).12

Hepsidin diproduksi di liver

dan dalam jumlah kecil di berbagai organ seperti ginjal, jantung, otot lurik, otak,

paru, lambung, dan pancreas.13. Produksi hepsidin dipengaruhi oleh kadar besi,

kebutuhan eritropoiesis, hipoksia, dan inflamasi. Pemberian besi meningkatkan

produksi hepsidin dan memberikan efek berupa penurunan absorpsi besi pada

usus. Sedangkan kondisi anemia dan hipoksia menurunkan ekspresi hepsidin

sehingga meningkatkan penyerapan besi pada enterosit.12,13

Hepsidin disintesis di liver dalam bentuk 84-asam amino preprohepsidin,

yang kemudian dipotong oleh peptidase menjadi 60-asam amino prohepsidin yang

kemudian dipecah menjadi 25-asam amino hepsidin. Hepsidin 25 merupakan

bentuk bioaktif hepsidin. Fraksi ekskresi dari hepsidin adalah 3-5%. Hepsidin

difiltrasi oleh ginjal dan kemudian direabsorpsi kembali. Di sirkulasi hepsidin

berikatan dengan α-2 makroglobulin. Diperkirakan 89% dari hepsidin berikatan

dengan protein.13,14

Regulasi hepsidin dalam tubuh manusia ternyata mengalami berbagai

proses fisiologis dan patologis mempengaruhi sintesis hepsidin. Penurunan kadar

hepsidin akan menyebakan peningkatan pelepasan besi ke sirkulasi dan

peningkatan absorpsi besi di usus.15

Infeksi dan inflamasi akan menyababkan

peningkatan sintesis hepsidin yang akan menyebabkan penurunan penyerapan

besi di usus dan penurunan pelepasan besi ke sirkulasi yang merupakan

karakteristik dari anemia penyakit kronis. Kadar hepsidin dipegaruhi oleh status

besi, aktivitas eritropoiesis, hipoksia, dan inflamasi.9

Regulasi hepsidin oleh hipoksia pada penelitian in vivo menunjukkan

penurunan kadar hepsidin akibat hipoksia.16

Penurunan kadar hepsidin ini

merupakan efek dari hipoksia terhadap ekspresi eritropoietin melalui reseptor

hepsidin di hepatosit.17

Selain itu penurunan konsentrasi hepsidin sebagai respon

terhadap hipoksia juga dikaitkan dengan hipoxia inducible factor-1 (HIF-1) yang

merupakan efek dari sinyal BMP/SMAD.18

Regulasi hepsidin oleh inflamasi terjadi peningkatan kadar hepsidin

sehingga besi terperangkap di sistem retikuloendotelial, khas pada anemia akibat

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

202 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

penyakit kronis.19. Regulasi hepsidin oleh sinyal eritropoiesis dapat dilihat

padapemberian ESA akan menurunkan produksi hepsidin di liver pada murine,

manusia, dan secara in vitro. Proses eritropoiesis akan memerlukan besi sehingga

akan terjadi penekanan produksi hepsidin oleh liver. 10,11

Gambar 5. Jalur molekular sintesis hepsidin oleh hepatosit (Swinkles &

Fleming, 2011)

Keterangan: BMP/SMAD, bone morphogenic protein/SMAD; BMP6, bone

morphogenic protein 6; MAPK, mitogen-activated protein kinase; Fe, ferrous;

HAMP, Hepcidin Antimicrobial Peptide; HFE, hemochromatosis iron protein; HJV,

hemojuvelin; TfR, Transferrin receptor

Dua sinyal besi yang berpengaruh terhadap produksi hepsidin adalah besi

intraseluler (Fe) dan besi di sirkulasi (Tf-Fe2). Cadangan besi intraseluler akan

meningkatkan ekspresi BMP6 yang akan berperan secara autokrin dengan cara

berinteraksi dengan bone morphogenic protein 6 receptor (BMPR) di permukaan

sel.

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

203 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

3. Kadar hepsidin dan anemia pada PGK

Ginjal terlibat dalam metabolisme besi. Hepsidin dapat ditemukan dalam

urine dan darah. Penelitian Kulaksiz dkk tahun 2004 menunjukkan selain liver,

ginjal juga berperan dalam produksi hepsidin dan merupakan tempat eksresi

hepsidin. Ginjal merupakan rute utama dalam klirens hepsidin. Hepsidin serum

ditemukan meningkat pada penderita gagal ginjal dibandingkan dengan orang

sehat.9,10

Berdasarkan pemeriksaan imunnoassay, diketahui bahwa kadar hepsidin

meningkat pada penderita PGK dan berkorelasi terbalik dengan LFG sehingga

menunjukkan bahwa bersihan ginjal berperan dalam peningkatan hepsidin.10,11

Jumlah cadangan besi yang adekuat merupakan hal yang mendasar untuk

mendapatkan hasil yang maksimal dari terapi ESA. Kebutuhan akan besi akan

semakin meningkat seiring dengan diberikannya terapi ESA. Sebelum

ditemukannya ESA, terapi anemia pada penderita PGK diberikan melalui transfusi

darah yang menyebabkan kelebihan besi akibat transfusi berulang. Namun seiring

dengan terapi ESA, kelebihan besi menjadi hal yang jarang terjadi dibandingkan

dengan kekurangan besi. Kekurangan besi menyebabkan gangguan terhadap

respon ESA.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penderita PGK juga mengalami

defisiensi besi fungsional dimana saturasi transferin < 20 %, namun feritin serum

dalam batas normal atau meningkat (antara 100-800 ng/ml). Hal ini menunjukkan

terdapat hambatan dalam penggunaan besi akibat inflamasi. Menegakkan

diagnosis defisiensi besi absolut dan fungsional pada penderita dengan inflamasi

akut dan kronik merupakan hal yang menarik karena marker biokimia metabolisme

besi dipengaruhi oleh acute phase reaction.

Anemia pada pasien PGK mengalami perburukan seiring dengan

penurunan progresif fungsi ginjal dan berkurangnya ESA. Penyebab anemia

lainnya adalah menurunnya lama hidup eritrosit, pendarahan, defisiensi besi dan

nutrisi lainnya, hemolisis, dan peningkatan stres oksidatif. Pasien PGK mengalami

inflamasi kronik akibat peningkatan insiden infeksi, uremia, peningkatan sitokin pro

inflamasi, dan aterosklerosis luas. Dialisat yang tidak murni, bioinkompabilitas

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

204 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

membran dialisis, dan infeksi adalah faktor lain yang berperan dalam inflamasi

kronis pada pasiena PGK. Penurunan fungsi ginjal memperburuk respon inflamasi

akibat berkurangnya ekskresi faktor-faktor yang berhubungan dengan inflamasi.

Serum C-reactive protein (CRP) dan IL-6 berkorelasi negatif terhadap LFG.

Interaksi antara sitokin pro inflamasi dan hepsidin yang menyebabkan defisiensi

besi fungsional menjelaskan tingginya feritin serum, ganguan absorpsi besi, dan

gangguan pelepasan besi oleh makrofag pada pasien PGK.7

Gambar 6. Peranan hepsidin pada anemia PGK (Malyszko & Mysliwiec, 2007)

Keterangan: PGK,penyakit ginjal kronis; IL-6, interleukin-6; IFN-γ, interferon-

γ; TNF-α, interferon-α; EPO, eritropoietin

Penelitian oleh Ali dkk tahun 2014 menunjukkan hepsidin serum dan feritin

serum secara signifikan lebih tinggi pada penderita PGK dibandingkan kontrol, dan

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

205 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

pasien PGK yang telah menjalani dialisis memiliki kadar hepsidin yang juga lebih

tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pasien PGK tanpa hemodialisis.20

Hepsidin merupakan acute phase reactan yang kadarnya meningkat pada

kondisi inflamasi. Beberapa petanda inflamasi lain yang juga meningkat pada

pasien PGK adalah high sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) dan laju endap

darah (LED). Terdapat peningkatan hs-CRP dan LED seiring dengan peningkatan

stadium PGK. hs-CRP meningkat dari 0,46 pada PGK stadium I menjadi 2,46 pada

stadium IV dan LED meningkat dari 16 pada PGK stadium I menjadi 49,5 pada

PGK stadium IV.21

Ringkasan

Etiopatogenesis anemia pada PGK adalah multifaktorial. Penyebab utama

patogenesis anemia pada PGK adalah defisiensi ESA akibat dari berkurangnya

massa ginjal. Faktor penyebab lain yang juga berperanan adalah defisiensi zat

besi, pemendekan lama hidup eritrosit, hemolysis, intake yang menurun, gangguan

eritropoiesis oleh toksin uremik, perdarahan kronis termasuk akibat proses

hemodialysis dan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.

Defisiensi zat besi dapat berupa defisiensi besi absolut dan defisiensi besi

fungsional, yang dalam hal ini sangat berperan hormon hepcidin terutama akibat

inflamasi.

Daftar Pustaka 1. Macdougal, IC dan Eckardt, KI. 2015. Anemia in Chronic Kidney Disease. In:

Jhonson RJ, Feehellly J, Floege J. editors. Comprehensive Clinical Nephrology, 5h ed. Elseiver Saunders; China: p. 967-974.

2. Szczech, L., Barnhart, HX., Inrig, JK., Reddan, DN., Sapp, S., Califf, RM., Patel, UD., Singh, AK. 2008. Secondary analysis of the CHOIR trial epoetin-a dose and achieved hemoglobin outcomes. Kidney International, 74, 791–798.

3. Larson, DS., Coyne, DW. 2013. Understanding and exploiting hepcidin as an indicator of anemia due to chronic kidney disease. Kidney Res Clin Pract, 32(1),11–5.

PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV

206 Denpasar, 13-14 Oktober 2017

4. Peslova, G., Petrak, J., Kuzelova, K., Hrdy, I.,Halada, P., Kuchel PW., Shan, SL., Ponka, P., Sutak, R., Becker, E., Huang, ML., Rahmanto, YS., Richardson, DR., Vyoral, D. 2009. Hepcidin, the hormone of iron metabolism, is bound specifically to alpha-2-macroglobulin in blood. Blood, 113(24),6225–6236.

5. Roy CN. 2010. Anemia of Inflammation. Am Soc Hematol, 1, 276–80. 6. Hentze, MW., Muckenthaler, MU., Andrews, NC. 2004. Balancing acts,

molecular control of mammalian iron metabolism. Cell, 117(3),285–97. 7. Andrews NC. 2008. Forging a field, the golden age of iron biology. Blood,

112(2), 219–30. 8. Malyszko, J., Mysliwiec, M. 2007. Hepcidin in Anemia and Inflammation in

Chronic Kidney Disease. Kidney Blood Pres Res, 30, 15-30. 9. Macdougall, IC., Tucker, B., Thompson, J., Tomson, CRV., Baker, LRI., Raine,

AEG. 1996. A randomized controlled study of iron supplementation in patients treated with erythropoietin. Kidney International, 50, 1694—1699.

10. Weiss, G., Goodnough, LT. 2005. Anemia of Chronic Disease. The New England Journal of Medicine, 352(10), 1011-23.

11. Ashby, DR., Gale, DP., Busbridge, M., Murphy, KG., Duncan, ND., Cairns, TD., Taube, DH., Bloom, SR., Tam, FWK., Chapman, RS., Maxwell, PH., Choi, P. 2009. Plasma hepcidin levels are elevated but responsive to erythropoietin therapy in renal disease. Kidney Int, 75, 976–81.

12. Zaritsky, J., Young, B., Wang, HJ., Westerman, M., Olbina, G., Nemeth, E, Ganz, T., Rivera, S., Nissenson, AR., Salusky, IB. 2009. Hepcidin--a potential novel biomarker for iron status in chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol, 4, 1051–1056.

13. Pietrangelo, A., Dierssen, U., Valli, L., Garuti, C., Rump. A., Corradini, E., Ernst, M., Klein, C., Trautwein, C. 2007. STAT3 is required for IL-6-gp130-dependent activation of hepcidin in vivo. Gastroenterology, 132(1),294–300.

14. Kulaksiz, H., Gehrke SG., Janetzko, A., Rost, D., Bruckner, T., Kallinowski, B., Stremmel, W. 2004. Pro-hepcidin, expression and cell specific localisation in the liver and its regulation in hereditary haemochromatosis, chronic renal insufficiency, and renal anaemia.Gut, 53, 735-743.

15. Peslova, G., Petrak, J., Kuzelova, K., Hrdy, I.,Halada, P., Kuchel PW., Shan, SL., Ponka, P., Sutak, R., Becker, E., Huang, ML., Rahmanto, YS., Richardson, DR., Vyoral, D. 2009. Hepcidin, the hormone of iron metabolism, is bound specifically to alpha-2-macroglobulin in blood. Blood, 113(24),6225–6236

16. Young B, Zaritsky J. 2009. Hepcidin for clinicians. Clin J Am SocNephrol, 4,1384–7.

17. Nicolas, G., Chauvet, C., Viatte, L., Danan, JL., Bigard, X., Devaux I., Beaumont, C., Kahn, A., Vaulont, S. 2002. The gene encoding the iron regulatory peptide hepcidin is regulated by anemia, hypoxia, and inflammation. J Clin Invest, 110,1037–44.