69
BAB II
TINJAUAN UMUM PENGATURAN SISTEM DAN TAHAPAN
PEMILIHAN KEPALA DAERAH
2.1 Pengertian Pengaturan Sistem dan Tahapan Pemilihan Kepala Daerah
2.1.1 Pengaturan.
Kata “pengaturan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 76
berarti “proses, cara, perbuatan mengatur”. Apabila dikaitkan dengan kalimat
“Pengaturan Sistem dan Tahapan dalam Pemilihan Kepala Daerah”, kata
“pengaturan” dalam konteks ini, dapat diartikan sebagai proses, cara atau
perbuatan mengatur melalui norma-norma hukum tertentu yang melahirkan sistem
dan tahapan pemilihan kepala daerah (yang selanjutnya disebut Pilkada). Oleh
karena sistem dan tahapan Pilkada tersebut diatur dalam peraturan perundang-
undangan, maka pengaturan tersebut sangat erat kaitannya dengan proses
pembentukan atau penyusunan peraturan perundang-undangan tentang Pilkada.
Menurut Jimly Asshiddiqie, norma-norma yang bersifat mengatur
(regeling) dengan isi norma yang bersifat umum dan abstrak (general and
abstract norms) itu, dituangkan dalam bentuk tertulis tertentu yang disebut
sebagai peraturan perundang-undangan. Disebut peraturan (regels) karena produk
hukum tersebut memang merupakan hasil atau “outcome” dari suatu rangkaian
aktifitas pengaturan (regeling).77
76 Departemen Pendidian Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-4, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, h. 99.
77
Jimly Asshiddiqie I, op.cit, h.19-20.
70
Pada hakikatnya, penyusunan peraturan perundang-undangan
dimaksudkan untuk mengatur kepentingan manusia dan peraturan perundang-
undangan itu harus dapat dilaksanakan, baik oleh penegak hukum maupun
masyarakat.78
Oleh karena itu, dalam menyusun dan merancang peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan asas-asas hukum pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, serta landasan filosofis, sosiologis, dan
yuridis. Hal ini sangat penting mengingat kualitas produk peraturan perundang-
undangan sangat ditentukan oleh asas-asas, landasan, proses, serta tata cara
pengaturan baik aspek formil maupun materiil materi muatan yang dituangkan di
dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1, 2, 3, dan 4 Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur pengertian
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Perundang-
undangan, Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
sebagai berikut:
1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan.
2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa.
78 Salim dan Erlies Septiana Nurbani, 2013,“Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi”, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,. 2013, h. 4.
71
Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu “Pengaturan Sistem dan Tahapan
Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang”, maka aspek “pengaturan” sistem dan tahapan Pilkada yang akan diteliti
adalah pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (yang
selanjutnya disebut Perppu) No.1 Tahun 2014 yang kemudian ditetapkan menjadi
Undang-Undang No. 1 Tahun 2015. Di samping itu, juga akan diteliti ketentuan-
ketentuan terkait dengan perubahan secara terbatas terhadap Undang-Undang No.
1 Tahun 2015 yang pengaturannya dituangkan dan ditetapkan dalam Undang-
Undang No. 8 Tahun 2015.
Dalam penelitian ini, jenis peraturan perundang-undangan yang diteliti
adalah undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(Perppu). Untuk dapat lebih memahami kedua jenis peraturan perundang-
undangan dimaksud, diperlukan gambaran umum mengenai jenis, hierarki, serta
proses pengaturan atau penyusunan kedua jenis peraturan perundang-undangan
tersebut.
2.1.1.1 Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangangan.
Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dinyatakan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
72
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Mengenai kedudukan jenis peraturan perundang-undangan lainnya selain
yang diatur dalam Pasal 7 di atas, diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 sebagai berikut:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Berdasarkan Pasal 119 Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu, untuk penyelenggaraan Pemilu KPU membentuk
peraturan KPU dan keputusan KPU. Jika ketentuan ini dikaitkan dengan jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan KPU dan keputusan KPU
tersebut termasuk dalam kategori jenis peraturan perundang-undangan lainnya
selain yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.
73
Pengaturan mengenai peraturan KPU dan keputusan KPU mengikuti Pasal
8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. Dengan demikian, peraturan perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), termasuk di dalamnya
peraturan KPU dan Keputusan KPU diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
2.1.1.2 Pembentukan Undang-Undang.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dimaksud dengan
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan
perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Salah satu jenis peraturan perundang-undangan adalah undang-undang.
Tahapan perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas merupakan skala prioritas program
pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.
Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah dan ditetapkan
dengan keputusan DPR.
Menurut Pasal 18 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penyusunan daftar Rancangan
Undang-Undang didasarkan atas:
a. Perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Perintah Undang-Undang lainnya;
74
d. Sistem perencanaan pembangunan nasional; e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional; f. Rencana pembangunan jangka menengah; g. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan h. Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur mengenai isi Prolegnas
berupa daftar kumulatif terbuka tentang pembentukan undang-undang yang sudah
direncanakan. Juga diatur bahwa dalam keadaan tertentu, baik DPR maupun
Presiden dalam mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas apabila
sangat dibutuhkan. Adapun rincian ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 dimaksud yaitu:
(1) Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. Pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. Akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; d. Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi
dan/atau Kabupaten/Kota; dan
e. Penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan
Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:
a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana
alam; dan
b. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi
nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat
disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.
Tahapan selanjutnya adalah penyusunan undang-undang. Ketentuan
tentang penyusunan undang-undang diantaranya diatur berdasarkan Pasal 43 dan
Pasal 44 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagai berikut:
75
Ketentuan dalam Pasal 43 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011:
(1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. (2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD.
(3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi
Undang-Undang; atau
c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai
dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang
diatur.
Ketentuan Pasal 44 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011:
a. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik;
b. Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) dilakukan oleh DPR
bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan RUU dilakukan
melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat 1 (satu) dalam
rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan
Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dan pembicaraan tingkat 2 (dua) dalam rapat
paripurna. RUU dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan
Presiden. Sedangkan untuk rancangan undang-undang yang sedang dibahas,
hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.
Mekanisme pengesahan RUU diatur berdasarkan Pasal 72 dan Pasal 73
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, yaitu:
76
Pasal 72 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011:
(1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk
disahkan menjadi Undang-Undang.
(2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Pasal 73 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011:
(1) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden.
(2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang
tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah
menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini
dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat
(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(5) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum
pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
2.1.1.3 Pembentukan Perppu.
Mengenai penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011:
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk
pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
77
(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-
Undang.
(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan
harus dinyatakan tidak berlaku.
(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-
Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang.
(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Sedangkan untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) daitur dalam Pasal 73
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagai berikut:
(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui
mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-
Undang.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui
mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan
Rancangan Undang-Undang.
(3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau
Presiden;
78
b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR
tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan
c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-
Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b
dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat
paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.
2.1.2 Sistem.
Menurut Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete Edition), yang
dimaksud sistem adalah:79
Tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau
unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yaitu kaedah atau
pernyataan tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum
merupakan sistem normatif.
Sedangkan menurut B.N Marbun dalam Kamus Hukum Indonesia, sistem
diartikan sebagai “perangkat unsur yang secara tertentu saling berkaitan sehingga
membentuk satu totalitas”, sistem juga diartikan sebagai “susunan yang teratur
dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya”.80
Menurut Soebekti sebagaimana dikutip oleh Rusli Muhammad dalam
bukunya berjudul Sistem Peradilan Pidana Indonesia, pengertian tentang sistem
yaitu:
Sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan
yang terdiri atas bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut
suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai tujuan.
Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terjadi suatu pertentangan atau
perbenturan antara bagian-bagian tersebut, dan juga tidak boleh terjadi
79 M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete Edition),
Reality Publisher, Surabaya, h. 569.
80
B. N. Marbun, 2009, Kamus Hukum Indonesia, Edisi ke-2, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
h. 316.
79
suatu duplikasi atau tumpang tindih (overlapping) diantara bagaian-bagian
itu.81
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani yang disebut “systema”, artinya
keseluruhan yang terdiri atas bermacam-macam bagian. Istilah sistem adalah
susunan yang teratur dari suatu teori, asas suatu mekanisme pemerintahan.
Bellefroid mengemukakan bahwa sistem hukum adalah keseluruhan aturan hukum
yang diatur secara terpadu berdasarkan asas-asas tertentu.82
Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman, sistem hukum berada di
atas bagian tertib hukum. Asas-asas ini diperoleh melalui konstruksi yuridis,
dengan cara menganalisis atau mengolah data-data yang sifatnya nyata (konkret)
untuk kemudian mengambil sifat-sifatnya yang umum (abstrak). Aturan-turan
hukum membentuk dirinya dalam sistem hukum dan mempunyai akar, batang,
cabang, dahan, ranting, tangkai, daun, bunga, buah, dan sebagainya.83
Dalam penelitian ini, pengertian sistem dikaitkan dengan sistem Pemilu,
termasuk didalamnya sistem Pilkada. Sistem Pemilu dapat dikatakan sebagai
suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas
bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola
untuk mencapai tujuan penyelenggaraan Pemilu.
Sistem Pemilu diantaranya terdiri dari sub sistem berupa aturan Pemilu
(electoral law), proses Pemilu (electoral process), badan penyelenggara (electoral
body), dan penyelesaian sengketa Pemilu (electoral dispute). Menurut standar-
standar internasional untuk Pemilu, tidak ada sistem Pemilu yang terbaik yang
81 Rusli Muhammad, 2011, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h.13.
82
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2012, Ilmu Perundang-Undangan, Bandung, CV.
Pustaka Setia, h.65
83
Ibid, h. 66.
80
cocok untuk semua dan tidak ada standar yang diakui secara universal. Pilihan
sistem Pemilu perlu dibuat dengan mengingat tujuan yang diinginkan. Pengaruh
yang dapat diakibatkan oleh sistem Pemilu yang berbeda pada akhirnya bersifat
kontekstual dan tergantung pemisahan dan pembagian tertentu dalam masyarakat.
Oleh karena itu pemilihan sistem Pemilu merupakan keputusan kelembagaan yang
paling penting untuk negara demokrasi manapun.84
Adapun uraian dari masing-masing sub sistem Pemilu di atas adalah
sebagai berikut:85
1. Aturan Pemilu (electoral law), yaitu aturan dan prosedur yang memungkinkan suara yang telah dipungut dalam suatu pemilihan
diterjemahkan menjadi kursi yang dimenangkan dalam badan
legislatif dan badan lainnya.
2. Proses Pemilu (electoral process), yaitu tahapan Pemilu dari persiapan, pelaksanaan, sampai pada penyelesaian Pemilu.
3. Badan penyelenggara (electoral body), yaitu KPU dan Bawaslu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu
4. Sengketa Pemilu (electoral dispute), yaitu tahap penyelesaian yang juga sering disebut sengketa Pemilu.
Secara konseptual, jika dilihat dari sistem penyelenggaraan Pilkada,
terdapat varian pilihan yang bisa dijadikan pijakan untuk penyelenggaraan
Pilkada. Pilihan terhadap masing-msing varian tersebut, didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan filosofis, sosiologis, ekonomis, politis, demokratis
dan sebagainya. Pilihan terhadap sistem itu antara lain adalah:86
1. First Past the Post System. Sistem ini merupakan sistem yang sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara
terbanyak, otomatis memenangkan Pilkada dan menjadi kepala daerah.
84 Standar-Standar Internasional Untuk Pemilihan Umum Pedoman Peninjauan Kembali
Kerangka Hukum, The International IDEA, Seri Buku Panduan, Sweden, 2001, h. 25.
85
Ketut Sukawati Lanang P. Perbawa, 2013, Eksistensi KPU dalam Sistem Pemilu di
Indonesia, Panakom Publishing, Denpasar, h.47-48.
86
Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin, 2009, Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pilkada di
Indonesia, Ed., IPD, Yogyakarta, h. 6.
81
Sistem ini dikenal juga dengan sebutan sistem mayoritas sederhana
(Simple majority). Walaupun seorang calon kepala daerah memperoleh
suara di bawah 50%, asalkan suaranya lebih dan calon yang lain, dia
otomatis menjadi kepala daerah.
2. Preferential Voting System atau Approval Voting System. Pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap
calon-calon kepala daerah pada saat pemilihan. Seorang calon akan
memenangkan Pilkada langsung, jika perolehan suaranya mencapai
peringkat pertama yang terbesar. Sistem mi disebut juga dengan istilah
simple majority.
3. Two round system atau run-off system. Pemilihan dilakukan dua putaran, dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh
mayoritas absolut atau tidak ada calon yang memperoleh lebih dan 50
%, maka akan diselenggarakan pemilihan putaran kedua yang hanya
diikuti dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak dalam
putaran pertama.
4. Sistem electoral college. Setiap daerah pemilihan diberikan bobot suara sesuai dengan jumlah penduduk. Pemenang di setiap daerah
pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara Dewan Pemilih.
Calon yang memperoleh Dewan Pemilih terbesar akan memenangkan
Pilkada langsung.
5. Sistem Nigeria. Seorang calon akan memenangkan Pilkada langsung apabila memperoleh mayoritas suara sederhana dan mengumpulkan
sedikitnya 25 % dan 2/3 suara dan daerah pemilihan yang ada.
Dalam penyelenggaraan Pilkada di Indonesia, pengaturan sistem dan
tahapan Pilkada seringkali mengalami perubahan-perubahan dalam jangka waktu
relatif singkat dan bahkan di tengah tahapan penyelenggaraan yang tengah
berlangsung, sehingga terlihat tidak konsisten dan menimbulkan berbagai dampak
yang luas. Di samping itu, sistem yang diterapkan tidak jarang menimbulkan
kontroversi sehingga berpengaruh terhadap proses persiapan, pelaksanaan,
maupun hasil pemilihan kepala daerah itu sendiri. Oleh karena itu, evaluasi dan
kajian mendalam tentang sistem mana yang akan diterapkan pada masa yang akan
datang sangat penting dan strategis.
Menurut Janedjri M. Gaffar, pada era reformasi terjadi perubahan dalam
pemilihan kepala daerah. Pertama-tama pemilihan kepala daerah dilakukan oleh
82
DPRD secara penuh, bukan mengusulkan nama kepada presiden seperti pada
masa Orde Baru. Dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilipih oleh DPRD. Selanjutnya
dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
ditentukan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung
oleh rakyat.87
Perubahan cara pemilihan kepala daerah dimaksudkan agar sesuai dan
dapat mencapai tujuan otonomi daerah. Kepala daerah yang dipilih diharapkan
benar-benar sesuai dengan aspirasi dan mampu memenuhi harapan rakyat di
daerah. Kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat diharapkan benar-
benar berpihak kepada rakyat, tidak hanya mementingkan elit politik saja.88
Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud sistem dalam penelitan
ini adalah sistem Pilkada, yang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu
sistem Pikada secara langsung oleh rakyat dan secara tidak langsung melalui
DPRD dengan sub-sub sistem yang menyertainya seperti aturan Pemilu (electoral
law), proses Pemilu (electoral process), badan penyelenggara (electoral body),
dan penyelesaian sengketa Pemilu (electoral dispute) sesuai dengan pilihan sistem
yang diambil.
2.1.3 Tahapan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “tahapan” berarti
“tingkatan” atau “jenjang”89
. Apabila dikaitkan dengan judul dalam penelitian ini,
87 Janedjri M. Gaffar, 2013, Politik Hukum Pemilu, Konpress, Jakarta, (selanjutnya disingkat
Janedjri M. Gaffar II), h. 121.
88
Ibid.
89
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit, h. 1376.
83
yaitu “Pengaturan Sistem dan Tahapan dalam Pemilihan Kepala Daerah”, maka
pengertian kata “tahapan” adalah “tingkatan” atau “jenjang” dalam hal
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Pengaturan tahapan Pilkada sangat dipengaruhi oleh dinamika politik dan
hukum, hubungan pusat dan daerah, sistem Pilkada (sistem langsung atau tidak
langsung/melalui DPRD) serta peraturan perundang-undangan yang dijadikan
sebagai dasar penyelenggaraan Pilkada. Di Indonesia hingga saat ini dikenal dua
sistem Pilkada yaitu secara langsung oleh rakyat pemilih maupun secara tidak
langsung melalui DPRD. Pengaturan sistem Pilakda yang berbeda jelas akan
melahirkan tahapan Pilkada yang berbeda pula. Namun demikian, meskipun
sistem Pilkadanya sama, pengaturan maupun praktek pelaksanaan tahapan Pilkada
seringkali berbeda-beda. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya berbagai faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan Pilkada itu sendiri.
Dalam penyelenggaraan Pilkada, regulasi yang dijadikan acuan
diantaranya adalah undang-undang tentang Pilkada dan peraturan KPU tentang
tahapan atau jadwal Pilkada. Berdasarkan peraturan perudang-undangan tersebut
disusun tahapan penyelenggaraan Pilkada yang pada umumnya dibagi menjadi
dua tahapan pokok, yaitu tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan atau
pelaksanaan.
Sebagai gambaran umum tentang pengaturan tahapan Pilkada, berikut
diuraikan pengaturan tahapan Pilkada berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 (sistem langsung) dan berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2014
84
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (sistem tidak langsung/
melalui DPRD).
Pengaturan tahapan Pilkada berdasarkan Pasal 65 Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah sebagai berikut:
(1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan.
(2) Masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya
masa jabatan;
b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah;
c. Perencanaam penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;
d. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS; e. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.
(3) Tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penetapan daftar pemilih; b. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/wakil kepala
daerah;
c. Kampanye; d. Pemungutan suara; e. Penghitungan suara; dan f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah
terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
(4) Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan perubahannya mengatur sistem
Pilkada secara langsung. Artinya bahwa pemilihan dilakukan secara langsung oleh
warga negara yang dinyatakan memiliki hak pilih. Pemilihan dilakukan secara
Luber dan Jurdil di TPS-TPS yang telah disediakan.
Sedangkan pengaturan tahapan Pilkada berdasarkan Pasal 6 Undang-
Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
sebagai berikut :
85
(1) Pemilihan diselenggarakan melalui tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaan.
(2) Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. penyusunan program, kegiatan, dan jadwal Pemilihan; b. pengumuman pendaftaran bakal calon gubernur, bakal calon
bupati, dan bakal calon walikota;
c. pendaftaran bakal calon gubernur, bakal calon bupati, dan bakal calon walikota;
d. penelitian persyaratan administratif bakal calon gubernur, bakal calon bupati, dan bakal calon walikota; dan
e. uji publik. (3) Tahapan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyampaian visi dan misi; b. pemungutan dan penghitungan suara; dan c. penetapan hasil pemilihan.
Jika Pasal 65 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menganut sistem Pilkada secara langsung, maka berbeda halnya dengan
Pasal 6 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota yang mengadut sistem Pilkada secara tidak langsung yaitu melalui
anggota DPRD.
Berdasarkan uraian dan gambaran umum di atas, dalam penelitian ini,
yang dimaksud dengan tahapan Pilkada adalah tingkatan atau jenjang pemilihan
kepala daerah yang terdiri tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan.
Masing–masing tahapan tersebut dirinci lebih lanjut berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara umum tahapan untuk Pilkada dengan sistem langsung pada
prinsipnya terdiri dari:
a. Perencanaan Program, Tahapan, dan Anggaran;
b. Pembentukan Badan Penyelenggara Ad Hoc;
c. Pemutakhiran Data Pemilih;
86
d. Tahap Pencalonan;
e. Tahap Kampanye;
f. Tahap Pemungutan, Penghitungan dan Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara;
g. Tahap Pengusulan Pengesahan Pengangkatan Calon Terpilih.
Dalam praktik penyelenggaraan Pilkada dari masa ke masa, rincian
mengenai tahapan Pilkada ini seringkali mengalami perubahan sesuai dengan
peraturan perundang-udangan yang dijadikan dasar dalam penyusunan dan
pelaksanaannya.
2.1.4 Pemilihan Kepala Daerah.
2.1.4.1 Dalam Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilu.
Pengaturan pengertian tentang Pilkada dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia terus mengalami perkembangan dan perubahan. Hal ini
tidak terlepas dari sistem dan tahapan Pilkada yang diterapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang dijadikan sebagai dasar dalam pengaturannya.
Pengertian tentang Pilkada sebagaimana diatur berdasarkan Undang-
Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu adalah sebagai berikut:
a. Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
b. Dalam Pasal 1 angka 4 dinyatakan bahwa” Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
87
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu dan dicabutnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2007,
pengertian tentang Pemilu masih tetap sama dengan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang No. 22 Tahun 2007, sedangkan untuk pengertian Pilkada mengalami
perubahan.
Pengertian Pilkada menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu menjadi “Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota adalah pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota
secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dalam undang-undang ini, penggunaan kata “ langsung” diganti dengan kata
“demokratis”. Namun demikian, meskipun telah terjadi perubahan, dalam
praktiknya penyelenggaraan Pemilukada bedasarkan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 beserta perubahannya dan Undang-Undang No 15 Tahun 2011
sampai dengan tahun 2014 tetap diselenggarakan secara langsung.
2.1.4.2 Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Pilkada.
a. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004:
(1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(2) Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik.
Dalam Pasa1 57 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004:
(1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh
KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD.
88
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
kepada DPRD.
b. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2014.
Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota diatur bahwa Pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan
kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati,
dan walikota secara demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat.
Berdasarkan undang-undang ini, pemilihan kepala daerah dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas bebas, terbuka, jujur, dan adil. Gubernur
dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar asas bebas,
terbuka, jujur, dan adil dan Bupati dan walikota dipilih oleh anggota DPRD
kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil.
c. Dalam Perppu No. 1 Tahun 2014.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Pepu No. 1 Tahun 2014 yang telah ditetapkan
menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 dinyatakan bahwa Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah
pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih
Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.
d. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2015.
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015
diatur bahwa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah
89
pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.
Dalam penelitian ini, digunakan pengertian Pilkada sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015. Hal ini didasari
pemikiran bahwa pengertian tersebut merupakan pengertian terbaru yang berlaku
secara sah sejalan dengan perubahan terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 2015
sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tersebut.
2.2 Sejarah Perkembangan Sistem Pemerintahan dan Otonomi Daerah
Sejarah perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia
mengalami pasang surut sejak jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang
sampai Indonesia merdeka. Perkembangan tersebut sesuai dengan dinamika
administrasi pemerintahan juga terus berkembang.
Menurut Samsul Wahidin , perkembangan itu tidak terlepas dari dinamika
politik serta tarik ulur kepentingan antara pusat dan daerah, serta pemerintahan
negara secara urnum. Pada perspektif waktu, dalam arti periodisasi berlakunya
kebijakan negara tentang otonomi daerah ini bisa diklarifikasi berdasarkan rezim
pemegang kendali pemerintahan negara yang juga terus berganti.90
Pengaruh kebijakan politik dan kekuasaaan rezim menjadi salah satu
elemen yang mempengaruhi, bahkan menentukan pasang surutnya perjalanan
otonomi daerah di Indonesia. Pola hubungan pusat dan daerah yang
90 Samsul Wahidin, 2013, Hukum Pemerintahan Daerah Pendulum Otonomi Daerah Dari
Masa ke Masa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.7.
90
mencerminkan otonorni daerah ini berkembang dinamis seiring berjalannya
waktu, sesuai dengan keinginan rejim yang berkuasa, yang mencerminkan
orientasi dan kepentingannya.
Samsul Wahidin membagi dimensi kesejarahaan perkembangan otonomi
daerah di Indonesia berdasakan periodisasi sebagai berikut:91
1. Masa Penjajahan (Belanda dan Jepang) 2. Masa Setelah Kemerdekaan (tahun 1945 — 1959) 3. Masa Orde Lama (1959 — 1965) 4. Masa Orde Baru (1965 — 1998) 5. Masa Reformasi (1999 — sekarang)
Pada masing-masing periode tersebut, dikeluarkan peraturan perundang-
undangan yang dijadikan acuan normatif dalam penerapan kebijakan pengelolaan
pemerintahan daerah. Adapun uraian ringkas dari masing-masing periode adalah
sebagai berikut:
2.2.1 Masa Penjajahan (Belanda dan Jepang).
Pada saat Indonesia dijajah oleh Belanda, ditetapkan sejumlah produk
hukum yang berkaitan dengan pengelolaan pemerintahan daerah. Produk hukum
dimaksud adalah Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie
(Staatsblad 1885 No. 2). Produk hukum setingkat undang-undang ini dipandang
sebagai acuan normatif yang secara operasional dijadikan sebagai dasar
pengelolaaan pemerintahan daerah di Indonesia.
Substansi dalam produk hukum (disingkat RBR) tersebut terdiri dari dua
hal pokok, yaitu: Pertama, muatan pengelolaan yang secara internal lebih
mengarah pada mekanisme desentralisasi, meskipun dalam tataran praktis yang
91
Ibid.
91
lebih ditekankan dan dilaksanakan adalah dekonsentrasi. Kedua, secara geografis
telah ditetapkan kawasan yang merujuk pada kondisi wilayah geografis tersebut.
Wilayah administratif dibagi menjadi tingkatan yang jika dikaitkan dengan
wilayah administratif, dikenal dengan sebutan sebagai berikut: 92
a. gewest (yang kemudian disebut residentie), setara dengan Karesidenan
b. afdeeling district, setara dengan Kabupaten/Kota
c. onderdistrict, setara dengan Kawedanan (di atas Kecamatan)
Beberapa tahun kemudian, pemerintahan kolonial merubah tatanan
administrasi pemerintahan daerah tersebut dengan dikeluarkannya Decentralisatie
Wet (Staastblaad Tahun 1903 No. 329). Makna otonomi daerah dalam ketentuan
yang diatur dalam produk hukum tersebut pada prinsipnya lebih terinci. Pada
periode ini dibentuk satuan pemerintahan (gewest) yang punya kewenangan lebih
besar dan bahkan ada yang mandiri dalam pengelolaan keuangan daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh sebuah raad atau dewan
di masing-masing daerah. Dewan inilah yang menjadi cikal bakal perwakilan
daerah dalam mekanisme pemerintahan lokal.
Kendatipun secara administratif pelaksanaan pemerintahan daerah bersifat
struktural, namun di daerah darah tersebut diakomodasikan sistem pemerintahan
lokal. Selain pembentukan pemerintahan dengan mekanisme pemerintahan
formal, juga diakomodir sistem pemerintahan yang merupakan persekutuan asli
rakyat daerah setempat yang dilegitimasi dengan dasar hukum berupa
zelfbestuurende lanschappen, atau persekutuan masyarakat adat. Misalnya ada
92 Ibid, h.18.
92
masyarakat adat di Jawa, Nagori di Rantau Kuatan (Riau), Nagari di
Minangkabau, Ratin dan Penghulu di Siak, Subak di Bali, Marga di Sumatera
Selatan, Lembang di Toraja, dan sebagainya.
Setelah Belanda dikalahkan oleh Jepang, Indonesia beralih dan
pemerintahan Belanda ke pemerintahan Jepang. Konsekuensinya pun terjadi
perubahan mekanisme pemerintahan daerah yang kemudian dikelola berdasarkan
mekanisme pemerintahan Jepang.
Perubahan tersebut secara mendasar terjadi pada struktur pemerintahan.
Jika masa pemerintahan sebelumnya terdiri atas gubernur jenderal, gubernur,
residen dan controleur, kasunan, bupati, wedana dan asisten wedana, diadakan
perubahan. Struktur disesuaikan dan mengacu pada struktur pemerintahan Jepang
dan style pemerintahan militer yang represif dan sepenuhnya berdasarkan
komando.
Struktur lebih disederhanakan, berdasarkan penguasaan yang didasarkan
pada kawasan yang berbasis militer. Pengaturan kekuasaan militer ini dipimpin
oleh komando di bawah komando angkatan darat dan kawasan yang dipimpin
komando angkatan laut, khususnya yang ada di Kawasan Timur Indonesia
(Katimin). Dengan demikian sifatnya struktur kewilayahan atau teritorial yang
dibagi ke dalam tiga komando oleh pasukan angkatan perang Jepang yang
selanjutnya berubah menjadi Pasukan Beladiri Jepang yang merupakan
representasi pemerintahan Jepang.
Masa pemerintahan penjajah Jepang di Indonesia relatif singkat jika
dibandingkan dengan penjajahan Belanda, yaitu sekitar 3,5 (tiga setengah) tahun.
93
Hal ini mengakibatkan belum sepenuhnya struktur yang dibangun itu mapan
dalam pelaksanaannya. Struktur pemerintahan belum tersosialisasi dan
menemukan bentuknya sesuai keinginan pemerintahan Jepang, sampai kemudian
sejarah mencatat Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu.
2.2.2 Masa Setelah Kemerdekaan (1945 — 1959).
Kemerdekaan yang ditandai dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
tahun 1945 adalah titik balik sejarah Indonesia. Pada masa ini pemerintahan di
Indonesia belum dapat dijalankan secara efektif karena berbagai upaya
konsolidasi sebagai negara yang baru merdeka sangat diperlukan dan
mendesaknya pengakuan kedaulatan dari negara lain. Di samping itu, mekanisme
pemerintahan daerah masih mencari bentuk.
Sejarah pelaksanaan desentralisasi dalam sistem pemerintahan di
Indonesia dimulai sejak berdirinya Negara Republik Indonesia pada tahun 1945,
yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite
Nasional Daerah. Undang-Undang ini bermaksud mengatur mengenai Komite
Nasional Daerah (KND) menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD), yang
berlaku untuk semua daerah, kecuali daerah kesultanan Yogyakarta dan
kesultanan Surakarta. Dalam pelaksanaan tugas pemerintahan sehari-hari dibentuk
badan eksekutif yang dipilih oleh kepala daerah. Dengan demikian, kepala daerah
berfungsi sebagai ketua BPRD juga sebagai ketua badan eksekutif daerah. Bentuk
daerah otonom yang dikenal adalah kabupaten, karesidenan, dan daerah istimewa.
Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah,
wilayah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat, yakni provinsi, kabupaten (kota
94
besar), dan desa (kota kecil, negara, dan marga) yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah istimewa tetap dikenal dalam undang-
undang ini. Pemerintahan daerah terdiri dari DPRD dan Dewan pemerintahan
Daerah (DPD). DPD dipilih oleh dan dari DPRD atas dasar perwakilan
berimbang.
Selain kedua undang-undang tersebut di atas, pada periode ini juga
diberlakukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 yang mengacu pada Pasal 89,
Pasal 131, dan Pasal 132 UUDS Tahun 1950. Berdasarkan Undang-Undang No. 1
Tahun 1957 daerah otonom yang dimaksudkan sebagai daerah yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang disebut daerah swatantra
dan daerah istimewa. Wilayah Negara Indonesia dibagi dalam daerah besar dan
daerah kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, terdiri atas daerah
tingkat I, daerah tingkat II, dan daerah tingkat III. Pemerintah daerah terdiri dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintah Daerah
(DPD). Kepala daerah karena jabatannya adalah ketua serta anggota Dewan
Pemerintah Daerah. Anggota-anggota Dewan Pemerintahan Daerah dipilih oleh
dan dari anggota DPRD.
Pada periode tersebut daerah sudah diberikan keleluasaan untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan asas otonomi daerah yang seluas-
luasnya. DPRD merupakan penanggung jawab utama dalam pelaksanaan
desentralisasi, sementara dewan pemerintahan daerah lebih banyak menangani
tugas pembantuan selain urusan yang diserahkan oleh DPRD.
95
2.2.3 Masa Orde Lama (1959 — 1965).
Masa Orde Lama disebut dengan masa demokrasi terpimpin. Masa ini
diawali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri kemelut dan
ketidakpastian ketatanegaraan di Indonesia dan kembali berlakunya UUD yang
disahkan tanggal 18 Agustus 1945, yang populer dengan nama UUD 1945. Hal ini
menandai kembalinya era pemerintahan presidensial dengan kewenangan besar
ada di tangan presiden.
Pengelolaan pemerintahan daerah diatur berdasarkan produk yang dibuat
pada masa itu yaitu Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 dan
Penetapan Presiden (Penpres) No. 5 Tahun 1960. Pada periode 1959-1966,
dikeluarkan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah
dengan dasar Pasal 18 UUD 1945 dan sekaligus sebagai implementasi Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959. Berdasarkan penetapan presiden (Penpres) tersebut,
Pemerintahan daerah terdiri atas kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Kepala daerah adalah alat pemerintah daerah dan alat pemerintah
pusat. Dalam menjalankan tugas, kepala daerah dibantu oleh Badan Pemerintah
Harian (BPH) dengan tugas membantu kepala daerah dalam urusan di bidang
rumah tangga daerah otonom dan tugas pembantuan dalam pemerintahan.
Dalam Penpres tersebut, DPRD hanya berwenang dalam bidang legislatif
dan penetapan APBD. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1966
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, wilayah Negara RI terbagi habis
dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan, yakni Provinsi atau Kota Raya sebagai
96
daerah tingkat I, Kabupaten atau Kotamadya sebagai daerah tingkat II, dan
Kecamatan atau Kota Praja sebagai daerah tingkat III. Pemerintah daerah terdini
atas kepala daerah dan DPRD. Kepala daerah dibantu wakil kepala daerah dan
Badan Pemerintah Harian (BPH). Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugas
mempertanggungjawabkan kepada kepala daerah. Pada era ini struktur
pemerintahan sangat sentralistis atau mekanisme pengendalian pusat terhadap
daerah sangat ketat. Istilah otonomi nyata dan seluas-luasnya secara formal tetap
disebutkan, tetapi tidak dijabarkan. Undang-undang pemerintahan daerah dalam
periode ini, dan Penpres No. 6 Tahun 1959 menupakan produk hukum yang
konservatif.
2.2.4 Masa Orde Baru (1965 — 1998).
Rezim berikutnya yang berkuasa adalah Orde Baru. Orde Baru dimulai
ketika dikeluarkan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) yang secara
formal memberikan kekuasaan penuh kepada penguasa Orde Baru. Pada periode
itu, politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima
digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya. Pengelolaan pemerintahan
daerah dari pola sentralistik yang menjadi tema Orde Lama diganti. Otonomi
daerah mengalami dinamika kembali, ditandai dengan diberlakukannya Undang-
Undang baru yaitu UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di
Daerah.
Berdasarkan undang-undang ini, desentralisasi ditekankan sebagai
penyerahan urusan pemerintahan dan pemerintah atau daerah tingkat atasnya
kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah
97
didefinisikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rurnah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, dibentuk dan disusun
daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1974 tersebut, istilah otonomi nyata dan seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan
dan diganti dengan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Dominasi pusat
atas daerah terlihat pada ketentuan yang memberikan keleluasaan kepada pusat
untuk menentukan kepala daerah/wilayah tanpa terikat pada peringkat hasil
pemilihan oleh DPRD.
Dengan kata lain, DPRD adalah mesin politik pemerintah pusat untuk
mencalonkan kepala daerah/wilayah. Kepala daerah selain sebagai organ
daerah juga sebagai aparat pusat dan kedudukannya sebagai penguasa tunggal di
daerah. Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme pengawasan
preventif, represif, dan pengawasan umum. Dengan demikian, desentralisasi
diwujudkan dengan implementasi peran pusat yang sangat dominan dalam
berbagai aspek.
Dalam pemerintahan Orde Baru, stabilitas politik sebagai prasyarat utama
dalam pelaksanaan pembangunan. Kekuatan rezim Orde Baru yang bersumber
pada sistem politik otoriter birokratik menempatkan militer sebagai kekuatan
utama dalam menciptakan stabilitas politik. Dalam menjaga stabilitas politik
inilah, pemerintahan Orde Baru menjalankan berbagai strategi politik dan
menempatkan militer dalam birokrasi politik.
98
2.2.5 Masa Reformasi (1999 — sekarang).
Pemerintahan Orde Baru yang sentralistik dan otoriter tidak mampu
membendung arus tuntutan perubahan yang menginginkan demokratisasi dan
keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pada masa reformasi, terjadi perubahan besar dalam sistem pemerintahan
terutama dalam hal hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah yang ditandai
dengan penggantian Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dengan Undang-Undang
No. 32 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, serta Undang-Undang No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
yang kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004.
Perubahan yang sangat fundamental yaitu amandemen terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 sampai empat kali (1999, 2000, 2001, 2002) terjadi pada
masa ini. Dalam amandemen tersebut, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
mengalami perubahan dan penambahan sejumlah ayat baru, yang pada intinya
memperjelas sistem pemerintahan daerah. Pasca amandemen, pemerintah daerah
menjalankan ekonomi seluas-luasnya, kecuali urusan-urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Kemudian
pemerintah daerah juga berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan
lainnya untuk melaksanakan ekonomi dan tugas pembantuan. Selain itu, juga
diatur bahwa Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum. Hal ini merupakan perkembangan baru dan jauh lebih terinci
99
jika dibandingkan dengan Pasal 18 sebelum amandemen.
Perubahan terhadap materi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
jelas dimaksudkan untuk proses pembentukan sistem pemerintahan demokrasi
yang sesuai dengan karakteristik Bangsa Indonesia, dimana pemerintah daerah
dan kepala daerah selaku pimpinan tertinggi pemerintahan di daerah lebih
dioptimalkan tugas dan fungsinya untuk kepentingan rakyatnya.
Pada periode ini lahir dua undang-undang tentang pemerintahan daerah
yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip-prinsip demokrasi dalam
sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Kedua undang-undang tersebut adalah
Undang-Undang No. Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan yang
berkembang di Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan jaman, Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang No.
23 Tahun 2014. Pertimbangan penggantian undang-undang tersebut antara lain
adalah:93
a. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat,
serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
93 Lihat bagian menimbang Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
100
a. Bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan
antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antar daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan
global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara;
b. Bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah
sehingga perlu diganti.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, yang dimaksud dengan
pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah kepala
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, dibagi atas daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota. Daerah kabupaten/kota
dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa.
Daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan daerah dan masing-masing
mempunyai pemerintahan daerah. Daerah provinsi selain berstatus sebagai daerah
juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat dan wilayah kerja bagi gubernur dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah daerah provinsi.
101
Daerah kabupaten/kota selain berstatus sebagai daerah juga merupakan wilayah
administratif yang menjadi wilayah kerja bagi bupati/wali kota dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah Daerah
kabupaten/kota.
Mengenai kekuasaan pemerintahan diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang
No. 23 Tahun 2014 sebagai berikut:
(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
(2) Kekuasaan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diuraikan dalam berbagai Urusan Pemerintahan.
(3) Dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Presiden dibantu oleh menteri yang
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan tertentu.
(4) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.
2.3 Perkembangan Pengaturan Sistem Pengisian Jabatan Kepala Daerah
Pengaturan hukum yang melandasi keberlakuan undang-undang
pemerintahan daerah di Indonesia, tidak terlepas dan adanya dinamika
keberlakuan konstitusi negara RI, baik itu UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS
1950, kembali ke UUD 1945 sampai pasca amandemen UUD NRI 1945.
Menurut Wendy Melfa, dinamika keberlakuan konstitusi negara, dalam
kaitannya dengan cita-cita membentuk satuan pemerintah tingkat daerah yang
otonom sesungguhnya telah secara mantap diperjuangkan oleh para pejuang
kemerdekaan dan dituangkan dalam UUD 1945 sebagai salah satu tujuan negara
untuk mewujudkan cita-cita otonomi daerah, hal tersebut bukan sekedar tuntutan
102
efisiensi dan efektifitas pemerintahan semata, melainkan sebagai tuntutan
konstitusional yang berkaitan dengan prinsipp rinsip demokrasi dan negara
berdasarkan atas hukum.94
Dinamika keberlakuan konstitusi negara membawa pengaruh pada
dinamika keberlakuan undang-undang pemerintahan daerah, dan untuk
selanjutnya juga menyebabkan dinamika model pengisian jabatan kepala daerah.
Menurut Wendy Melfa, dari kajian terhadap perkembangan sistem atau
model pengisian jabatan kepala daerah, dapat disimpulkan ada lima periode
tahapan dinamika model pengisian jabatan kepala daerah, yaitu:95
a. Periode UUD NRI 1945 b. Periode Konstitusi RIS c. Periode UUDS 1950
Periode kembali ke UUD NRI 1945
d. UUD NRI 1945 setelah diamandemen
Adapun uraian singkat atau tinjauan umum dari masing-masing
periode dimaksud adalah sebagai berikut:
2.3.1 Periode UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949).
Pengaturan ketentuan tentang pemilihan kepala daerah, terdapat di dalam
ketentuan peraturan tentang pemerintahan daerah di Indonesia. Pemikiran dasar
tersebut dirumuskan di dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu:
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil denganbentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa.
94 Wendy Melfa, 2013, op. cit., h.77.
95
Ibid. h.78.
103
Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut mengatur pemerintahan daerah
sangat singkat, sehingga tidak mudah untuk mendapatkan arahan bagi pengaturan
pemerintahan daerah pada umumnya. Pada masa ini belum terdapat undang-
undang yang mengatur pemerintahan daerah secara khusus. Aturan yang
digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan UU No.
1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah dan Undang-undang No. 22
Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah.
Mekanisme rekruitmen pengisian jabatan kepala daerah menurut Undang-
Undang No. 1 Tahun 1945 adalah melalui pemilihan oleh Komite Nasional
Daerah (KND) semacam badan legislatif, dimana komite ini memilih 5 (lima)
orang diantara anggotanya untuk duduk di badan eksekutif yang salah satunya
menjadi kepala daerah yang bertindak sebagai ketua merangkap anggota.
Sedangkan status kepala daerah didalam badan legislatif hanya sebagai ketua,
tetapi tidak memiliki hak suara. Untuk wakil kepala daerah berasal dari ketua
KND yang sebelumnya, yang secara otomatis menjadi wakil ketua KND pada saat
kepala daerah terpilih. Dalam hal kepala daerah berhalangan, maka Wakil Ketua
KND menggantikan posisi kepala daerah.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 yang hanya terdiri dari enam pasal
tidak mengatur semua aspek pemerintahan daerah yang berlaku sebagai hukum
positif. Oleh karena itu, pemerintah rnenyempurnakannya dengan menerbitkan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok
Pemerintahan Daerah yang dianggap dapat lebih memenuhi harapan rakyat.
Undang-undang ini memuat beberapa aspek penting, antara lain bahwa
104
penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada asas desentralisasi dan
azas tugas pembantuan (medebewind). Udang-undang ini adalah undang-undang
yang pertama kalinya mengatur susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di
Indonesia.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 lahir setelah sistem pemerintahan
yang dianut pada saat itu sudah berubah dari sistem pemerintahan presidensiil ke
sistem pemerintahan parlementer, dengan satu indikasi bahwa menteri-menteri
tidak lagi bertanggungjawab kepada Presiden, tetapi kepada Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Perkembangan ketatanegaraan (sistem pemerintahan)
ditingkat pemerintah pusat tersebut mempengaruhi penyelenggaraan
pernerintahan di daerah, yang secara tidak langsung harus memperbaharui
landasan hukurn pelaksanaan pemerintahan di daerah sebagai dasar
pelaksanaannya.
Pada periode ini, berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, kepala
daerahnya diangkat, masing-masing sebagai berikut:
1. Gubernur (Provinsi) diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang
diajukan oleh DPRD Provinsi
2. Bupati/Walikota diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon yang
diajukan oleh DPRD Kabupaten/ Kota
3. Kepala Desa diangkat oleh Gubernur dari calon yang diajukan oleh
DPRD desa (kota kecil)
105
4. Kepala daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan
keluarga yang berkuasa di daerah itu di jaman sebelum Republik
Indonesia dengan syarat tertentu
Kepala daerah dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkat atas usul
DPRD yang bersangkutan. Di dalam undang-undang ini juga tidak ditegaskan
keberadaanWakil KDH. Untuk mewakili KDH jika berhalangan oleh Dewan
Pemerintah Daerah ditunjuk seorang diantara anggotanya.
2.3.2 Periode UUD RIS 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950).
Pada periode ini walaupun Indonesia sudah merdeka Belanda belum
mengakui kedaulatan NKRI dan ingin menguasai kembali melalui agresi militer.
Balanda berusaha rnenguasai kembali Indonesia dengan membentuk negara
federal, sehingga pada saat itu diberlakukan UUD Republik Indonesia Serikat
(RIS) Tahun 1949. Negara bagian pertama terbentuk adalah Negara Indonesia
Timur (NIT), dimana undang-undang pemerintahan daerah yang sempat dibentuk
untuk NIT yaitu Undang-Undang No. 44 Tahun 1950 yang materinya sebagian
besar diambil dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1948. Negara serikat hasil
bentukan Belanda tidak bertahan lama, karena keinginan negara-negara bagian
untuk bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga
pada akhirnya negara kesatuan terbentuk kembali dan konstitusi RIS 1949
diadakan perbaikan dan penyesuaian seperlunya menjadi UUDS 1950.
2.3.3 Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).
Pada masa ini berlaku Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun
1950. Pasal 131 ayat (2) UUDS 1950 menganut prinsip otonomi seluas-luasnya,
106
yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Pemerintahan Daerah didasarkan pada asas desentralisasi dan tugas
pembantuan (medebewind). Asas dekonsentrasi tidak diatur, karena
penyelenggaraan pemerintahan pusat di daerah dilakukan oleh pamong praja
secara terpisah. Prinsip otonomi yang dianut yaitu otonomi riil dan seluas-luasnya
sesuai dengan kemampuan dan potensi tiap-tiap daerah. Urusan pemerintahan
sebagai urusan rumah tangga daerah tidak dirinci dalam undang-undang
pemenintah daerah, melainkan ditentukan dalam peraturan pembentukan tiap-tiap
daerah.
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 telah ada wacana untuk
mengadakan pemilihan kepala daerah secara langsung, tetapi karena pertimbangan
kondisi politik, sosial dan budaya, maka oleh pembentuk undang-undang tersebut
untuk sementara ditunda. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah terdiri dari
DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah. Terkait dengan mekanisme pengisian
jabatan kepala daerah, pada prinsipnya terkait dengan pengaturan pemilihan, cara
pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah, Undang-Undang No. 1 Tahun
1957 mengamanatkan untuk diatur secara khusus di dalam undang-undang lain
tersendiri.
Untuk mengisi kekosongan hukum karena belum ada undang-undang
yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah, untuk sementara kepala daerah
dipilih oleh DPRD dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan
107
pengetahuan yang diperlukan bagi jabatan tersebut. Dan hasil pemilihan oleh
DPRD memerlukan pengesahan lebih dahulu dari:
a. Presiden apabila mengenai kepala daerah di tingkat ke I
b. Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya apabila
mengenai kepala daerah di tingkat II dan ke III
Kepala daerah dipilih untuk satu masa pemilihan DPRD atau bagi yang
dipilih antar waktu guna mengisi lowongan kepala daerah, untuk sisa masa
pemilihan tersebut. Kemudian terkait dengan pengaturan secara umum mengenai
syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan, serta cara pemilihan maupun
pengesahan kepala daerah akan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah.
2.3.4 Periode Kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959-18 Agustus 2000).
Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku
lagi dimana substansinya tidak mengalami perubahan. Pada masa ini kemudian
dilakukan pembaharuan dengan maksud untuk merombak politik ketatanegaraan
dengan membentuk pemerintahan daerah yang bersifat gotong-royong.
Perombakan itu dilakukan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang
Pemerintahan Daerah dan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960 tentang DPRD-
GR dan sekretariat daerah.
Undang-undang pemerintahan daerah yang pertama dikeluarkan
berdasarkan Pasal 18 UUD 1945, yaitu Undang-Undang No. 18 Tahun 1965
tentang Pemerintahan Daerah. Didalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1965,
paradigma kedudukan dan fungsi kepala daerah diarahkan untuk menjamin
kelangsungan kesatuan negara serta adanya pimpinan nasional.
108
Kepala daerah merupakan unsur terpenting dalam daerahnya. Untuk
menjamin kepercayaan rakyat daerah kepada seorang kepala daerah, haruslah
diangkat oleh pemerintah pusat dari calon yang jumlahnya sedikit-dikitnya dua
dan sebanyak-banyaknya empat, yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.
Dengan adanya Wakil Kepala Daerah, hal itu tidak berarti bahwa pimpinan
pemerintahan daerah berada dalam dua tangan, yang mempunyai kewenangan dan
tanggungjawab penuh adalah tetap kepala daerah.
Mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
diatur didalam Pasal 11 yang berbunyi:
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh:
a. Presiden bagi Daerah tingkat I b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi daerah
tingkat II
c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I
Ketentuan mengenai pengangkatan kepala daerah berdasarkan Undang-
Undang No. 18 Tahun 1965 diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
a. Pasal 12 ayat (1) mengatur bahwa: Kepala Daerah tingkat I diangkat oleh Presiden dari sedikitnya dua dan
sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
b. Pasal 13 ayat (1) mengatur bahwa: Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dengan
persetujuan Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-
banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang bersangkutan.
c. Pasal 14 ayat (1) mengatur bahwa: Kepala Daerah tingkat III diangkat oleh oleh Kepala Daerah tingkat I
dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya dua
atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
109
2.3.5 Periode UUD NRI 1945 Pasca Amandemen (18 Agustus 2000-sekarang).
Amandemen kedua terhadap UUD 1945 mengakibatkan perubahan yang
prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebelum amandemen
pemerintahan daerah diatur sangat singkat hanya dalam satu pasal yaitu Pasal 18,
pasca amandemen menjadi tiga pasal yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B.
Menurut Wendy Melfa, pasca amandemen terdapat prinsip-prinsip
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diatur dalam pasal-pasal tersebut,
yaitu:96
a. Prinsip teritorial berdasarkan Pasal 18 ayat (1) b. Prinsip demokrasi berdasarkan Pasal 18 ayat (3) dan (4) c. Prinsip otonomi yang seluas-luasnya berdasarkan Pasal 18 ayat (5) d. Prinsip kekhususan dan keragaman berdasarkan Pasal 18 ayat (1) e. Prinsip pengakuan dan penghormatan satuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus, serta satuan-satuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya, berdasarkan Pasal 18 B ayat (1) dan (2).
Sehubungan dengan prinsip-prinsip tersebut, maka Undang-Undang No.
22 Tahun 1999 tidak sesuai lagi dengan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga dirubah dengan Undang undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2.3.5.1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
Penyelengaraan pemerintahan daerah didasarkan pada proses
desentralisasi dan dekonsentrasi (secara terbatas). Di samping itu, juga
dimungkinkan pelaksanaan asas tugas pembantuan. Dekonsentrasi hanya
diterapkan pada wilayah provinsi, sedangkan kabupaten/kota hanya diterapkan
asas desentralisasi dan tugas tugas pembantuan. Berbeda dengan Undang-Undang
96 Ibid, h. 107.
110
No. 22 Tahun 1999 yang memberikan otonomi luas kepada kabupaten/ kota dan
otonomi terbatas pada provinsi, maka Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tidak
membedakan prinsip otonomi yang dianut provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini
berarti bahwa baik provinsi maupun kabupaten/kota menganut prinsip otonomi
seluas-luasnya seperti yang digariskan dalam UUD 1945 setelah amandemen
kedua.
Kepala daerahnya berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004,
dipilih secara langsung oleh rakyat, yang calonnya diusulkan oleh Partai Politik
atau gabungan Partai Politik serta dapat juga melalui jalur perseorangan
(independent), setelah Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 dihapus/diubah melalui keputusan MK No. 5/PUU-V/2007.
Wilayah NKRI dibagi atas provinsi, kabupaten dan kota. Untuk kabupaten/kota
hanya berstatus sebagai daerah otonom, sedang provinsi selain daerah otonom,
juga berstatus sebagai wilayah administratif.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh
rakyat, yang persyaratan dan tata caranya ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan. Melalui undang-undang ini, KPUD Provinsi, KPUD Kabupaten/Kota
diberikan kewenangan sebagai penyelenggara Pilkada. KPUD yang dimaskud
dalam undang-undang ini adalah KPUD sebagaima dimaksud dalam Undang-
Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPRD. Oleh karena itu tidak
diperlukan untuk membentuk dan menetapkan KPUD dan keanggotaanya yang
baru.
111
Mekanisme pengisian jabatan kepala daerah menurut undang-undang ini,
secara tegas dilaksanakan melalui pemilihan kepala daerah secara langsung,
sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 56 ayat (1) dan (2):
(1) Kepala daerah dan Wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(2) Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Setelah calon kepala daerah ditetapkan sebagai pemenang di dalam
Pemilukada sebagaimana yang tertuang dan diatur didalam undang-undang ini,
maka sebelum menduduki jabatannya terlebih dahulu dilantik. Gubernur dan
Wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, Bupati
dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota dilantik oleh Gubernur atas
nama Presiden dalam suatu rapat paripurna istimewa DPRD.
Kepala daerah dan wakil kepala memegang jabatan selama 5 (lima) tahun
terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Adapun biaya penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibebankan pada APBD daerah
yang bersangkutan.
Dalam kurun waktu perjalanan keberlakuan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 mengalami perubahan dan penyempurnaan sebagian bunyi isi
ketentuan undang-undang tersebut dengan diberlakukannya Undang-Undang No.
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini dibentuk bukan hanya
untuk menjawab sekaligus menjadi dasar hukum bagi keputusan Mahkamah
112
Konstitusi (MK) mengenai diperbolehkannya calon perseorangan (independen)
untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah langsung, tetapi juga untuk
menutupi beberapa kelemahan di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004,
terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pengisian kekosongan jabatan
wakil kepala yang menggantikan kepala daerah yang meninggal dunia,
mengundurkan diri, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama
enam bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya.
Secara prinsip, tidak ada perbedaan substansial dalam hal pengaturan
mekanisme pengisian jabatan kepala daerah. Akan tetapi didalam Undang-Undang
No. 12 Tahun 2008, diakomodasi ketentuan mengenai calon perseorangan.
Ketentuan mengenai mekanisme pengisian jabatan kepala daerah secara jelas
diatur dalam Pasal 56 yang menyatakan:
(1) Kepala daerah dan Wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarka asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(2) Pasangan calaon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai po1itik, atau perseorangan yang
didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan
sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pengaturan mengenai peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara tegas diatur didalam Pasal 59 ayat (1). Juga yang berkaitan dengan
ketentuan persyaratan dan mekanisme keikutsertaan pasangan calon perseorangan,
diatur dalam Pasal 59 ayat (2a) dan (2b) Undang-Undang No. 12 Tahun 2008.
113
2.3.5.2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dan Pilkada yang didasarkan pada
norma hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan
perubahannya, yang telah berlangsung selama sekitar sepuluh tahun atau setara
dengan dua kali periode penyelenggaraan Pilkada, dalam perkembangannya
dipandang banyak kelemahan dan tidak lagi mampu menjawab kebutuhan dan
perkembangan jaman. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, DPR bersama-
sama pemerintah kemudian membentuk undang-undang baru sebagai
penggantinya.
Setelah melalui proses dan perdebatan hukum yang panjang, Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya diganti
dengan diundangkannya dua undang-undang baru yaitu Undang-Undang No. 22
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Undang-
Undang No. 23 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pembentukan kedua
undang-undang tersebut, memisahkan pengaturan antara urusan Pilkada dengan
urusan pemerintahan daerah. Jika dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
kedua urusan tersebut pengaturannya masih digabung dalam satu undang-undang,
maka selanjutnya dipisahkan ke dalam undang-undang tersendiri.
Ketentuan mengenai pengisian jabatan kepala daerah berdasarkan Undang-
Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
diatur dalam sejumlah pasal, yaitu:
1. Pasal 1 angka 5: Pemilihan gubernur, bupati, dan wakilota yang selanjutnya disebut
Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan
114
kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara
demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat.
2. Pasal 1 angka 13: Pemilih untuk pemilihan gubernur adalah anggota DPRD provinsi atau
sebutan lainnya.
3. Pasal 1 angka 14: Pemilih untuk pemilihan bupati dan walikota adalah DPRD
kabupaten/kota.
Ketentuan Pasal 1 angka 5, angka 13, dan angka 14 Undang-Undang No.
22 Tahun 2014 tersebut mengatur bahwa sistem Pilkada menurut undang-undang
ini adalah sistem Pilkada tidak langsung, yaitu melalui DPRD. Hal ini berbeda
dengan pengaturan sistem Pilkada berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 yang menganut sistem pemilihan secara langsung.
Penegasan mengenai pengisian jabatan kepala daerah, dalam hal ini
Gubernur dan Bupati/Walikota, melalui sistem Pilkada tidak langsung diatur
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 sebagai berikut:
1. Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014: Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas bebas,
terbuka, jujur, dan adil.
2. Pasal 3 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014: (1) Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis
berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil.
(2) Bupati dan Walikota dipilih oleh anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil.
Selain diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2014, ketentuan
mengenai pengisian jabatan kepala daerah juga diatur dalam Undang-Undang No.
23 Tahun 2014, diantaranya yaitu:
1. Pasal 101 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa DPRD provinsi
mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih Gubernur.
115
2. Pasal 154 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa DPRD kabupaten/kota
mempunyai tugas dan wewenang memilih bupati/walikota.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, pengisian jabatan Gubernur, Bupati, dan
Walikota dilakukan melalui pemilihan oleh anggota DPRD, sedangkan untuk
pengisian jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan
oleh Gubernur, Bupati, dan Walikota terpilih dan dilakukan setelah Gubernur,
Bupati, dan Walikota tersebut dilantik. Adapun ketentuan mengenai jumlah Wakil
Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2014.
2.3.5.3 Perppu No. 1 Tahun 2014.
Sejalan dengan dikeluarkannya Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mencabut dan menyatakan tidak
berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 sejak tanggal 2 Oktober 2014,
Presiden juga mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang pada intinya menghapus tugas dan wewenang DPRD Provinsi dalam
pemilihan Gubernur dan DPRD Kabupaten/Kota dalam pemilihan
Bupati/Walikota. Kedua Perppu tersebut mengembalikan sistem Pilkada ke sistem
pemilihan secara langsung oleh rakyat, khususnya warga negara yang memiliki
hak pilih.