23
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA
DAN GADAI
2.1. Sewa-menyewa
2.1.1. Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa seperti halnya jual-beli, adalah suatu perjanjian
yang sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.Sewa-
menyewa maupun jual beli adalah merupakan suatu upaya yang sudah
biasa dipergunakan oleh para warga masyarakat dalam rangka memenuhi
kepentingan-kepentingannya.
Sewa-menyewa dan jual-beli adalah sama-sama merupakan suatu
perjanjian yang dilakukan untuk menyerahkan barang. Menurut Djoko
Prakoso dan Bambang Riyadilany perbedaan antara dua macam
persetujuan ini ialah bahwa dalam hal jual beli yang diserahkan oleh
pemilik barang adalah hak milik atas barang itu, sedangkan dalam hak
sewa menyewa si pemilik barang hanya menyerahkan pemakaian dan
pemungutan hasil dari barang, padahal hak milik atas barang itu berada
di tangan yang menyewakan.1
Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa sewa-menyewa adalah
hubungan hukum yang terjadi dikarenakan satu pihak memberikan
1Djoko Prakoso dan Bambang Riyadilany, op.cit, h.56.
23
24
satukenikmatan atas sesuatu (benda) kepada pihak lainnya membayar
harga kenikmatan itu.2
Untuk lebih memahami pengertian perjanjian sewa menyewa maka
dikemukakan beberapa pendapat sarjana yang dianggap perlu guna
memberikan gambaran lebih jelas. Menurut Kansil, bahwa sewa
menyewa adalah suatu perjanjianuntuk menyerahkan suatu barang untuk
digunakan dalam waktu yang tertentu dan dengan sewa t ertentu.3
Demikian juga Subekti mengetangahkan bahwa:
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu
menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama
jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggugpi akan
membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada
waktu-waktu yang ditentukan.4
Menurut pasal 1548 KUHPer memberi pengertian yaitu:
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya utnuk memberikan kepada pihak yang lainnya
kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan
sesuatu harga yang oleh pihak tersebut berakhir ini disanggupi
pembayarannya.
Dari uraian definisi-definisi tersebut di atas, maka dikemukakan
bahwa pengertian sewa-menyewa meliputi unsur-unsur berikut:
a. Sewa menyewa ialah suatu perjanjian antara dua pihak, maksudnya
bahwa di dalam perjanjian sewa menyewa itu ada dua pihak yang
2Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perjanjian Adat , Alumni Bandung,
Bandung, h.97.
3C.S.T Kansil, 1985, Modul Hukum Perdata , PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h.
241.
4Subekti 1, op. cit, h. 139.
25
saling berhadap-hadapan. Pihak yang satu disebut sebagai pihak
penyewa, sedangkan pihak yang lainnya disebut pihak yang
menyewakan (pemilik). Dalam perjanjian sewa-menyewa ini, kedua
pihak yaitu pemilik maupun pihak penyewa diebani suatu kewajiban-
kewajiban pokok yang harus dilaksanakan;
b. Pihak yang satu menyerahkan pemakaian atau penggunaan sesuatu
barang kepada pihak yang lainnya, maksudnya ialah bahwa pihak
yang menyewakan (pemilik) menyerahkan barangnya kepada si
penyewa, hanya untuk dipakai atau dipergunakan oleh si penyewa dan
bukan untuk dimiliki. Dengan kata lain yang menyewakan (si
pemilik) hanyalah menyerahkan penggunaan atau pemakaian atas
sesuatu barang kepada penyewa dan hak milik atas barang tersebut
tetap berada pada tangan di pemilik barang;
c. Selain itu suatu waktu tertentu, maksudnya ialah: bahwa perjanjian
sewa-menyewa itu tidaklah dimaksudkan untuk berlangsung selama-
lamanya artinya dalam sewa menyewa itu selalu ada tenggang waktu
tertentu untuk berakhirnya sewa-menyewa.
Pasal 772 KUHPer menyebutkan bahwa:
Tiap-tiap pemakai hasil diperbolehkan menikmati haknya atau
menggadaikannya, bahkan bolehlah ia menjualnya, membebaninya
atau menghibahkannya. Sementara itu baik dalam hal bilamana ia
menikmatinya dengan diri sendiri, maupun ia menyewakannya,
menggadaikannya atau menghibahkannya haruslah ia terhadap
penikmatan akan hak itu, bertindak menurut adat kelaziman
setempat dan kebiasaan para pemilik tanah, dengan tak berubah
tujuan untuk mana tanah itu diperuntukkannya.
26
Dari bunyi pasal tersebut tampaklah bahwa yang dapat
menyewakan barang itu tidaklah selalu pemilik barang itu.
Apabila seseorang diserahi suatu barang untuk dipakai tanpa
membayar suatu apapun, maka yang terjadi adalah suatu perjanjian
pinjam pakai. Menurut Subekti, jika si pemakai barang itu diwajibkan
membayar maka bukan lagi perjanjian pinjam pakai yang terjadi tetapi
perjanjian sewa-menyewa.5
Hal tersebut berarti bahwa pihak yang menyewakan tidak
diwajibkan menjamin hak penyewa terhadap gangguan-gangguan yang
dilakukan oleh pihak ketiga dengan tidak menunjukkan suatu hak atas
barang yang disewa, maka pihak penyewa dapat menuntut send iri orang
tersebut.
Pasal 1556 KUHPer menyebutkan bahwa apabila pihak ketiga
mengganggu pemakaian barang yang disewakan dengan didasarkan atas
suatu hak dari orang ketiga itu maka pihak yang menyewakan tidak
bertanggung jawab atas perbutan tersebut.Adanya kewajiban pokok
dalam perjanjian sewa menyewa baik bagi pihak penyewa maupun yang
menyewakan, maka bagi pihak penyewa salah satu kewajiban adalah
mengembalikan barang yang disewanya sesuai dengan jangka waktu yang
telah diperjanjikan oleh karena maksud dari perjanjian sewa-menyewa
ialah untuk di kemudian hari mengembalikan barang kepada pihak lain
yang menyewakan, maka tidak mungkin ada perjanjian sewa-menyewa
5Subekti 1, op.cit, h. 52.
27
yang pemakaiannya mengakibatkan musnahnya barang itu, misalnya
barang-barang makanan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro:
Adakalanya barang-barang makanan dapat disewa juga, kalau
yang dimaksud itu adalah suatu pemakaian istimewa yang berakibat
musnahnya barang makanan yaitu untuk dimakan melainkan hanya
untuk diperlihatkan pada orang banyak seperti perjanjian sewa-
menyewa barang untuk diperlihatkan pada pameran, dalam hal mana
buah-buahan itu akan dikembalikan setelah pameran.6
Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa yang penting dalam
perjanjian sewa-menyewa adalah obyek perjanjian tersebut tidak musnah
karena pemakaian. Jadi semua benda atau barang baik yang bertubuh
maupun yang tidak bertubuh misalnya hak-hak tertentu dapat dijadikan
obyek perjanjian sewa-menyewa asal tidak dilarang oleh undang-undang.
Hal ini karena pengertian perjanjian sewa-menyewa dalam KUHPer tidak
memberikan perincian barang apa saja yang dapat dijadikan obyek sewa-
menyewa.
Dengan pembayaran sesuatu harga, maksudnya ialah bahwa dalam
sewa-menyewa itu selalu disertai dengan adanya harga sewa.
Pembayaran harga sewa tersebut dilakukan oleh penyewa yang ditujukan
kepada pihak yang menyewakan (si pemilik) barang, guna sebagai
pengganti atas penggunaan atau pemakaian barang sewa. Pembayaran
harga sewa adalah merupakan salah satu dari kewajiban utama bagi si
penyewa dalam hal hubungan sewa-menyewa.
6Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h. 50.
28
2.1.2. Syarat sahnya Perjanjian Sewa-menyewa
Untuk sahnya perjanjian, agar mempunyai kekuatan mengikat
maka diperlukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Demikian
juga dengan perjanjian sewa-menyewa seperti halnya perjanjian lain-lain
harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dalam pasal 1320 KUHPer menentukan empat syarat yang harus
ada pada setiap perjanjian, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Satrio J. mengemukakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus
terpenuhi syarat yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat suatu perikatan.
3. Ada suatu hal tertentu.
4. Ada suatu sebab yang halal.7
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat -syarat tersebut tidak akan
diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya.
Selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi syarat-syarat, perjanjian itu
7Satrio, J. 2001, Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, PT.
Citra Aditya Bhakti, Bandung, h.163.
29
berlaku antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak
mengakuinya, sehingga menimbulkan sengketa, maka Hakim akan
membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.
Untuk lebih jelasnya agar apa yang diuraikan di atas yaitu
mengenai syarat sahnya perjanjian sewa menyewa, maka saya uraikan
mengenai empat syarat tersebut.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Menurut Abdulkadir Muhammad, persetujuan kehendak adalah
kesepakatan, seia sekata pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa
yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak
yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam
perundingan.8
Menurut Mashudi dan Chidur Ali bahwa persetujuan dalam
Pasal 1320 KUHPer mengatakan harus bebas kehendak yang bebas itu
tak ada bila terdapat hal-hal seperti Dwaling, Wang, Bedrog.9
Menurut Budiono Kusumoharmidjojo bahwa akibatnya apabila
pihak yang tidak sepakat dengan suatu kontrak dan (karenanya) tidak
menandatanganinya, tidak terikat oleh kontrak tersebut. Karena itu,
8Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia , PT. Citra Aditya
Bhakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad IV) h.229.
9Mashudi dan Moch Chidur Ali,2001, Pengertian-Pengertian Elementer
Hukum Perjanjian Perdata , Mandar Maju, Bandung, h. 110.
30
pihak tersebut juga tidak mengemban suatu kewajiban yang
ditetapkan oleh kontrak itu.10
Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan
perundingan (negotiation), pihak yang satu memberitahukan kepada
pihak yang lain mengenai objek perjanjian dan syarat -syaratnya.
Pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya, sehingga tercapai
persetujuan yang mantap. Kadang-kadang kehendak itu dinyatakan
secara tegas dan kadang-kadang secara diam-diam, tetapi maksudnya
menyetujui apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak itu.
Menurut Abdulakadir Muhammad bahwa persetujuan kehendak
itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak
manapun juga, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak.11
Dalam pengertian persetujuan kehendak termasuk juga tidak
ada kehilafan dan tidak ada penipuan.
Menurut ketentuan Pasal 1324 KUHPer dikatakan:
Tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu
tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani
maupun dengan upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka
rahasia, sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui
perjanjian.
Dikatakan tidak ada kehilafan atau kesesatan atau kekeliruan
apabila salah satu pihak tidak keliru mengenai pokok perjanjian atau
10
Budiono Kusumoharmidjojo, 2001, Panduan untuk Merancang Kontrak , PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.16.
11
Abdulkadir Muhammad III, op.cit, h.229.
31
sifat-sifat penting objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa
diadakan perjanjian itu.
Menurut ketentuan Pasal 1322 KUHPer,
Kekeliruan atau kehilafan tidak mengakibatkan batal suatu
perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kehilafan itu terjadi
mengenai hakekat benda yang menjadi pokok perjanjian, atau
mengenai sifat khusus atau keahlian khusus diri orang dengan siapa
diadakan perjanjian.
Pasal 378 KUHP menyebutkan bahwa tidak ada penipuan
apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti undang-undang.
Penipuan menurut arti undang-undang ialah dengan sengaja
melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan palsu dan
tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.
Menurut ketentuan Pasal 1328 KUHPer:
Apabila tipu muslihat itu dipakai oleh salah satu pihak
sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata satu pihak membuat
pihak lainnya tertarik untuk membuat perjanjian. Sedangkan jika
tidak dilakukan tipu muslihat itu, pihak lainnya itu tidak akan
membuat perjanjian itu. Penipuan ini merupakan alasan untuk
membatalkan perjanjian.
Akibat hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena
kehilafan, paksaan, penipuan) ialah bahwa perjanjian itu dapat
dimintakan pembatalannya kepada Hakim (vernietigbaar, voidable).
Menurut ketentuan Pasal 1454 KUHPer, pembatalan dapat dimintakan
dalam tenggang waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung
sejak hari paksaan itu berhenti dalam hal ada kehilafan dan penipuan
dihitung sejak hari diketahuinya kehilafan dan penipuan itu.
32
2. Kecakapan pihak-pihak
Menurut CST. Kansil seseorang yang dikatakan cakap hukum
apabila seseorang laki-laki atau wanita telah berumur minimal 21
tahun, atau bagi seorang laki-laki bila belum berumur 21 tahun telah
melangsungkan pernikahan.12
Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPer, dikatakan tidak cakap
membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang yang
ditaruh di bawah pengampunan, dan wanita bersuami. Mereka ini
apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka,
dan bagi istri ada izin suami.Menurut hukum nasional Indonesia
sekarang, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan
perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin suami.Perbuatan hukum
yang dilakukan istri sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan
pembatalannya kepada Hakim.
Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa
perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya
kepada hakim.Jika pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang
berkepentingan, sepanjang tidak dimungkiri oleh pihak yang
berkepentingan, perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak.
12
CST Kansil, op. cit, h. 225.
33
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, obyek
perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi.
Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat
ditentukan. Kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek
perjanjian ialah untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban
pihak-pihak jika pokok perjanjian, atau objek perjanjian, atau prestasi
itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin dilaksanakan, maka
perjanjian itu batal (nietig, coid).
Menurut Satrio J, untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
“hal tertentu”, perlu dilihat kepada Pasal 1333 dan 1334 KUHPer,
yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 1320 sub. 2
KUHPer.
Dalam Pasal 1333 KUHPer dikatakan bahwa:
Suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu benda
(zaak) yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Yang dimaksud di
sini adalah bahwa objek perjanjian tidak harus sejak semula secara
individual tertentu, tetapi cukup kalau ada saat perjanjian ditutup
jenisnya tertentu. Hal itu tidak berarti,bahwa perjanjian sudah
memenuhi syarat, kalau jenis objek perjanjiannya saja yang sudah
ditentukan.13
Menurut Setiawan R. :
Obyek perikatan atau prestasi berupa memberikan sesuatu,
berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk
memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu
barang atau memberikan kenikmatan atas sesuatu barang misalnya,
penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang
13
Satrio J, op.cit, h.31.
34
menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang
yang disewakan.14
4. Suatu sebab yang halal (causa)
Abdulkadir Muhammad mengemukakan jenis-jenis perjanjian
tertentu yang dengan jelas bertentangan dengan ketertiban umum
(Public policy) tidak dibenarkan sama sekali oleh hukum.15
Menurut Ketentuan Pasal 1337 KUHPer bahwa:
Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab
orang mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau yang diawas i
oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu”, yang
menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak,
apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.
Dalam perjanjian jual beli, isi perjanjian ialah pihak
pembeli menghendaki hak milik atas benda dan pihak penjual
menghendaki sejumlah uang.Tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-
pihak itu ialah hak milik berpindah dan sejumlah uang
diserahkan.Dalam perjanjian sewa-menyewa, isi perjanjian ialah
pihak penyewa menghendaki kenikmatan atas suatu benda, dan pihak
yang menyewakan menghendaki sejumlah uang.Tujuan yang hendak
dicapai oleh pihak-pihak ialah kenikmatan dengan menguasai benda
dan sejumlah uang dibayar.
14
R.Setiawan, op.cit, h.4.
15
Abdulkadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung,
Bandung (selanjutnya disingkat abdulkadir Muhammad V) h.95.
35
Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal
ialah “batal” (nietig, void).Dengan demikian tidak ada dasar untuk
menuntut pemenuhan perjanjian di muka Hakim, karena sejak semula
dianggap tidak pernah ada perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1335
KUHPer bahwa demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu
tanpa causa (sebab), ia dianggap tidak pernah ada.
Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHPer disebut syarat
subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek
perjanjian.Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan.
Pasal 1545 KUHPer menyebutkan bahwa tetapi jika tidak dimintakan
pembatalan kepada hakim, perjanjian itu tetap mengikat pihak -pihak,
walaupun diancam pembatalan sebelum lampau waktu lima tahun.
Syarat ketiga dan keempat Pasal 1320 KUHPer tersebut syarat
obyektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian.Jika
syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal.Kebatalan ini dapat
diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya.Kemudian diperkarakan ke muka
Hakim, dan Hakim menyatakan perjanjian batal, karena tidak
memenuhi syarat objektif.
Di samping syarat-syarat tersebut di atas, setiap orang yang
membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, demikian
juga dengan perjanjian sewa menyewa harus ada itikad baik yang
dalam hal ini diartikan sebagai kejujuran.
36
Apabila itikad baik dalam membuat perjanjian sewa-menyewa
berarti kejujuran, maka itikad baik dalam hal pelaksanaan perjanjian
adalah kepatutan yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk
suatu pihak dalam melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, apabila
diperhatikan pasal-pasal 1338, 1339 KUHPer adalah yang dipakai
sebagai ukuran apakah keputusan yang telah dijatuhkan oleh para
wasit dalam arbitrase atas sengketa para pihak sudah adil dan sesuai
dengan itikad baik dan kepatutan. Dalam pasal-pasal tersebut itikad
baik, kepatutan dan kebiasaan mulai muncul untuk menafsirkan
perjanjian dalam sengketa para pihak.
Dalam Pasal 1338 KUHPer:
Memerintahkan semua perjanjian dilaksanakan dengan itikad
baik, dengan demikian kewajiban kedua belah pihak ialah
melaksanakan perjanjian dengan itikad baik memberi kepastian
hukum mengenai isi perjanjian yang tidak selalu dinyatakan dengan
tegas.Kalau undang-undang menetapkan barang siapa berdasarkan
suatu perjanjian diwajibkan merawat sebaik-baiknya seperti barang
miliknya sendiri sampai terlaksananya penyerahan barang tersebut,
maka hal ini berarti merupakn suatu ketentuan yang ditujukan kepada
itikad baik dalam melaksanakan suatu kewajiban hukum.Maksud
daripada perintah supaya perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik
adalah untuk mencega kelakuan yang tidak patut atau sewenang-
wenang dalam pelaksanaan tersebut.
Sebagaimana diketahui kepatutan dalam penemuan hukum
dapat dipergunakan untuk menyampingkan undang-undang tetapi
dapat pula melengkapi undang-undang. Hal ini akan lebih jelas
apabila diperhatikan pernyataan Pasal 1339 KUHPer yang
menyatakan sebagai berikut: “Persetujuan-persetujuan tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya,
37
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan,
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”
Sedangkan dalam Pasal 1347 KUHPer menyebutkan sebagai
berikut: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan,
dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun
tidak dengan tegas dinyatakan.”
Berpegang pada ketentuan tersebut di atas bahwa kedua belah
pihak dalam mengadakan perjanjian tidak hanya terikat oleh apa yang
secara tegas disebutkan dalam perjanjian melainkan juga apa yang
diharuskan menurut sifat perjanjian kepatutan adat kebiasaan dan
undang-undang. Apabila pada sebuah perjanjian ada tersangkut janji-
janji yang memang lazim dipakai dalam masalah yaitu menurut adat
kebiasaan, maka janji-janji tersebut dianggap termuat di dalam
perjanjian meskipun perjanjian sama sekali tidak menyebutkan.
Pasal 1339 KUHPer mengenai adat kebiasaan dalam perjanjian
dan yang dipakai dalam Pasal 1347 KUHPer, maka tampak sedikit
adanya suatu pertentangan antara kedua pasal tersebut. Dalam Pasal
1339 KUHPer menghendaki di samping apa yang termuat dalam
perjanjian harus diperhatikan pula adat kebiasaan dan undang-undang
mengenai soal yang termaktub dalam perjanjian tersebut. Sedangkan
menurut Pasal 1347 KUHPer bahwa janji-janji yang menurut kebiasan
melekat pada perjanjian yang bersangkutan dianggap termuat dalam
isi perjanjian.
38
Dilihat dari kata-kata yang dipakai tampak dengan jelas
perbedaan dari dua pasal tersebut, dalam Pasal 1339 KUHPer
mengatakan adat kebiasaan yang tidak termuat dalam isi perjanjian
tdiak dapat mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang
bersifat menambah isi perjanjian. Namun, tidak demikian halnya
dengan Pasal 1347 KUHPer, peraturan yang bersifat tambahan ini
malahan dianggap dikesampingkan oleh adat kebiasaan.
Berpijak pada peraturan tersebut, maka dalam membuat
perjanjian hubungannya dengan Pasal 1339 KUHPer dengan Pasal
1347 KUHPer yang menyangkut adat kebiasaan dalam perjanjian,
maka titik beratnya harus dikatakan pada maksud para pihak pada
waktu membuat perjanjian. Maksud para pihak inilah yang
menentukan apakah dalam suatu perjanjian tertentu adat kebiasaan
yang termuat secara tegas dalam perjanjian dapat menyampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat menambah isi perjanjian
atau tidak.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, kalau diperhatian Pasal 1339
KUHPer bahwa adat kebiasaan telah ditunjuk sebagai sumber norma
di samping undang-undang ikut menentukan hak dan kewajiban para
pihak dalam suatu perjanjian.16
16
Wirjono Prodjodikoro, 1987, Azas Hukum Perdata , Sumur Bandung,
Bandung, (selanjutnya disingkat Wirjono Prodjodikoro II) h .97
39
2.1.3. Tujuan Sewa-menyewa
Dalam praktek sering dijumpai antara pihak penyewa dengan
pihak yang menyewakan dapat membuat perjanjian sewa menyewa
seluas-luasnya asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan
sehingga dengan demikian apa yang menjadi isi dari perjanjian
tergantung dari para pihak yang membuat perjanjian. Karena para pihak
bebas menentukan isi daripada perjanjian, maka apa yang menjadi
maksud atau tujuan perjanjian sewa-menyewa juga bermacam-macam,
tergantung dari kehendak para pihak.
Apabila diperhatikan dari peralihan atau penyerahan barang yang
disewakan dari pihak yang menyewakan kepada pihak penyewa, maka
tujuan perjanjian sewa-menyewa adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberikan hak pemakaian saja kepada penyewa terhadap
barang yang disewakan tidak diberikan hak untuk memiliki.
Dari batasan tersebut dapat dikemukakan bahwa yang
dimaksud sewa-beli adalah suatu penyerahan barang yang dilakukan
oleh penjual kepada pembeli tidak disertai penyerahan hak milik
sebelum pembayaran lunas.Kalau diperhatikan sewa-beli tersebut di
atas maka hak milik atas barang itu tidak ikut diserahkan sebelum
pembayaran lunas.Disini kedudukan pembeli seolah-olah seperti
seorang penyewa hanya saja ditetapkan setelah penyewa sekian lama
batas batas waktu yang ditentukan baru menjadi
milik.Konsekuensinya apabila pihak pembeli memindahtangankan
40
barang tersebut, maka pihak pembeli dapat dituntut melakukan
penggelapan berdasarkan Pasal 373 KUHP.Jadi, angsuran tersebut
sekaligus mempunyai dua fungsi yaitu sebagai harga sewa dan
sebagai angsuran harga barang.
Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa yang
membedakan sewa-menyewa dengan sewa-beli tersebut adalah:
a. Sejak semula para pihak dalam perjanjian sewa-beli bermaksud
untuk melakukan perjanjian jual-beli, bukan perjanjian sewa-
menyewa.
b. Ditangguhkannya penyerahan hak milik dalam perjanjian sewa-
beli yang menimbulkan keadaan bahwa dalam tenggang waktu
tertentu pembeli wajib membayar angsuran sebagai imbalan atas
penggunaan barang yang dinikmatinya itu.
2. Untuk memberikan hak perseorangan. Artinya perjanjian ini hanya
memberikan suatu hak perseorangan terhadap orang yang
menyewakan barang. Karena hak sewa bukan suatu hak kebendaan,
makajika si penyewa diganggu oleh seorang pihak ketiga dalam
melakukan haknya itu, ia tidak secara langsung menuntut orang yang
mengganggu itu, tetapi ia harus memajukan tuntutannya terhadap
orang yang menyewakannya.
2.1.4. Bentuk-bentuk Sewa-menyewa
Tentang bentuk-bentuk perjanjian secara garis besarnya
mempunyai dua bentuk, yaitu:
41
a. Perjanjian dengan bentuk tertulis.
b. Perjanjian dengan bentuk lisan.
Perjanjian yang dengan bentuk secara tertulis, ini sudah pasti
mempunyai bentuk tertentus seperti misalnya akta. Dengan adanya
bentuk tertulis dari suatu perjanjian seperti akta ini, sudah tentu akan
memberikan lebih kepastian hukum bagi para pihak yang mengadakan
perjanjian, oleh karena dengan bentuk tertulis dari perjanjian para pihak
tidak merasa canggung-canggung atau tidak merasa khawatir dalam
pelaksanaan nanti. Begitu pula halnya dalam perjanjian yang dibuat
secara lisan, dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang
dipahami oleh pihak-pihak itu sudah cukup. Kecuali jika pihak-pihak
yang menghendaki supaya dibuat dengan secara tertulis (akta).
Pendapat keduanya adalah sama-sama mempunyai kekuatan
hukum, hanya saja adalah perjanjian yang dilakukan secara tertulis lebih
mempunyai kekuatan hukum karena ada bukti autentik kalau
dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat secara lisan. Namun
walaupun begitu dalam perjanjian yang dibuat secara lisan bukan berarti
tidak mempunyai kekuatan hukum, oleh karena semua hal ini didasarkan
kepada bahwa setiap orang yang mengadakan perjanjian sudah tentu
didasarkan pada itikad baik, sangat kecil kemungkinan perjanjian itu
tidak ditepati, itikad baik inilah yang merupakan kunci untuk dapat
berlakunya suatu perjanjian.
42
Dengan melihat kedua bentuk perjanjian tersebut di atas suatuhal
yang tidak dapat dilepaskan adalah akibat hukum dari kedua bentuk
perjanjian tersebut yang menurut Subekti menyatakan bahwa:
Jika sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis maka sewa itu
berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan
sudah habis, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan
pemberhentian untuk itu. Sedangkan apabila sewa-menyewa itu tidak
secara tertulis atau secara lisan maka sewa itu tidak berakhir pada
waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan
memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak menghentikan
sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan mengindahkan jangka
waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat, jika tidak ada
pemberitahuan seperti itu maka dianggaplah bahwa sewa itu
diperpanjang untuk waktu yang sama.17
2.1.5. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Sewa-
menyewa
Hubungan hukum para pihak dalam perjanjian sewa menyewa
adalah adanya hak dan kewajiban dari para pihak yaitu :
a. Hak dan Kewajiban Pihak Penyewa
Untuk diketahui bersama bahwa setiap orang yang saling
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, maka orang tersebut
sudah tentu tidak akan bisa terlepas dari suatu hak dan kewajiban
dalam perjanjian yang mereka buat, oleh karena itu merupakan
suatu keharusan bagi mereka-mereka yang saling mengikatkan diri
dalam perjanjian. Sebab antara hak dan kewajiban tidak bisa
terlepaskan, oleh karena antara hak dan kewajiban tersebut
merupakan dua rangkaian yang saling berkaitan.Dan mustahil
17
Subekti III, op. cit, h.47.
43
dalam suatu perjanjian orang hanya mempunyai hak saja tanpa
dibebani suatu kewajiban. Berkaitan dengan hak dan kewajiban
dalam perjanjian sewa-menyewa pada penyewa dapat diuraikan
sebagai berikut:
I. Mengenai hak dari penyewa
1) Pihak penyewa berhak meminta barang yang disewanya
sehingga barang itu dapat dipergunakan untuk keperluan
yang diperlukan.
2) Pihak penyewa berhak untuk mendapatkan perlindungan
hukum dari pihak yang menyewakan, agar pihak penyewa
dalam mempergunakan barang yang disewanya dapat
dengan tentram dan damai serta tidak adanya akibat yang
merintangi pemakaian barang yang disewanya.
II. Sedangkan kewajiban si penyewa ada 2 yang utama yaitu:
1) Memakai barang yang disewa sesuai dengan tujuan yang
sesuai dengan isi perjanjian.
2) Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan perjanjian yang dibuat.
Berikut ini akan diuraikan secara lebih rinci mengenai
kewajiban dari penyewa adalah sebagai berikut:
1. Kewajiban pertama dari pihak penyewa adalah memakai barang
yang disewa secara patut sesuai dengan tujuan yang ditentukan
dalam perjanjian. Sehubungan dengan cara pemakaian yang
44
sepatutnya dari Pasal 1560 KUHPer menjelaskan: Pemakaian
barang yang disewa harus dilakukan si penyewa sebagai
seorang bapak yang berbudi, bagaimana menyatakan seorang
penyewa telah memakai dan memperlakukan barang yang
disewa sebagai seorang bapak yang berbudi, tentu hal ini dapat
dilihat dari cara pemakaian barang, apakah penyewa benar-
benar memakai barang tadi menurut kepatutan yang pantas
sesuai dengan sopan santun perjanjian sewa-menyewa.
Mempergunakan dan memakai barang yang disewa
secara tidak sepatutnya dapat dijadikan alasan wanprestasi.
Tentang menentukan tujuan pemakaian barang yang disewa,
harus berpedoman kepada Pasal 1560 KUHPer, dimana
dinyatakan pemakaian barang sewa harus disesuaikan dengan
tujuan yang ditetapkan dalam persetujuan sewa-menyewa.
b. Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan
Seperti apa yang telah dikemukakan bahwa antara hak dan
kewajiban tiak bisa dilepaskan, oleh karena kedua hal tersebut
adalah dimata rantai yang saling berkaitan. Jadi kalau orang yang
sudah terikat pada suatu perjanjian, haruslah orang itu patuh dan
taat pada isi perjanjian yang dibuatnya.
Hal mana sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPer
yang menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat tidak
bertentangan dengan undang-undang, berlaku mengikat pada yang
45
membuatnya. Dan pada umumnya perjanjian tidak dapat dicatat
tanpa persetujuan pihak yang lainnya. Dan berdasarkan dari Pasal
1317 KUHPer bahwa perjanjian juga dapat diperlakukan bagi
pihak ketiga namun untuk dapat berlakunya harus ada pernyataan
secara tegas oleh yang membuat perjanjian tersebut yang
dinamakan janji untuk kepentingan pihak ketiga.
I. Mengenai hak yang menyewakan adalah sebagai berikut:
1) Menuntut uang sewa yang harus dibayar oleh penyewa pada
waktu tertentu sesuai dengan perjanjian sewa menyewa.
Hak pertama dari pihak yang menyewakan ini jika dikaitkan
dengan praktek adalah hak mutlak yang harus diterima oleh
pihak yang menyewakan.
2) Yang menyewakan berhak untuk menegor pihak penyewa
apakah si penyewa tidak menjalankan kewajibannya
memelihara kendaraan yang disewa sesuai dengan sikap
bapak yang baik.
II. Mengenai kewajiban pihak yang menyewakan adalah:
1) Menyerahkan barang yang disewakan kepada pihak
penyewa.
2) Memelihara barang yang disewakan sedemikian hingga itu
dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.
3) Memberikan kepada si penyewa kenikmatan tentram dari
barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.
46
Berikut akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai
kewajiban-kewajiban dari pihak yang menyewakan yaitu:
1) Kewajiban untuk menyerahkan barang yang disewa kepada
pihak penyewa
Menguasai kewajiban yang pertama yakni menyerahkan
barang yang disewa. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
1551 KUHPer menyatakan bahwa:
Yang menyewakan harus menyerahkan barang yang
disewakan dalam keadaan yang sebaik-baiknya.
Mengenai penyerahan benda pada persetujuan sewa-
menyewa, adalah penyerahan secara nyata dan bukan
merupakan penerahan yuridis karena si penyewa bukan
sebagai pemilik barang, karena itu cukup dengan jalan
menyerahkan barang penguasaan atau penikmatan saja.
Kewajiban yang pertama dari pihak yang menyewakan ini
jika dikaitkan dengan praktek biasanya dilakukan setelah
perjanjian sewa menyewa ini selesai dilaksanakan.
2) Kewajiban pihak yang menyewakan untuk memelihara
barang yang disewa selang waktu yang diperjanjikan,
sehingga barang yang disewa tadi tetap dapat dipergunakan
dan dinikmati sesuai dengan keinginan yang dimaksud si
penyewa.
Tentang kewajiban yang kedua ini pihak yang menyewakan
wajib memelihara dan melakukan perbaikan selama
perjanjian sewa-menyewa masih berjalan.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1555 KUHPer:
47
Selama perjanjian sewa menyewa masih berlangsung,
pemeliharaan dan perbaikan menjadi kewajiban pihak
yang menyewakan garis besarnya dapat dikatakan
bahwa perbaikan kecil sebagai akibat kerusakan
pemakaian normal dari barang yang disewa, dibebankan
pada si penyewa, sedangkan perhatian dan pemeliharan
berat menjadi kewajiban pihak yang menyewakan.
Lebih lanjut perbaikan kecil diatur dalam Pasal 1583
KUHPer yang menekankan tanggung jawab di penyewa
untuk memperbaiki, akan tetapi kalau kerusakan kecil yang
terjadi itu karena akibat barang yang disewa sudah tua dan
kerusakan yang terjadi akibat overmatch perbaikan
demikian dibebankan pada pihak yang menyewakan.
Suatu hak yang sangat penting menjadi tanggung
jawab ditentukan dalam Pasal 1552 KUHPer yang
menyatakan:
Pihak yang menyewakan harus menanggung si penyewa
terhadap semua cacat dari barang yang disewakan yang
merintangi pemakaian barang itu, biarpun pihak yang
menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada
waktu dibuatnya persetujuan sewa.Jika cacat itu telah
mengakibatkan sesuatu kerugian bagi si penyewa maka
kepada pihak yang menyewakan diwajibkan
memberikan ganti rugi.
Kewajiban pemeliharaan perbaikan atas barang yang
disewa, harus benar-benar membawa ketentraman bagi
pihak penyewa untuk menikmatinya, kewajiban ini
berlangsung selama perjanjian sewa-menyewa masih
berjalan.
48
Kewajiban kedua dari pihak yang menyewakan jika
dikaitkan dengan praktek di lapangan, biasanya dilakukan
sebelum diadakannya perjanjian sewa menyewa. Hal ini
dimaksudkan agar kendaraan yang akan disewakan tersebut
tidak mengalami suatu kerusakan jika telah dipergunakan
oleh pihak penyewa.
3) Pihak yang menyewakan wajib memberi ketentraman
kepada si penyewa menikmati barang yang disewa, selama
perjanjian sewa berlangsung.
Pihak yang menyewakan bertanggung jawab atas cacat
barang yang disewa, apabila cacat tadi menghalangi
pemakaian dan penikmatan barang.
Sedangkan tanggung jawab yang menyewakan atas
gangguan pihak ketiga sesuai dengan ketntuan Pasal 1556 KUHPer
yang menyatakan sebagai berikut:
Pihak yang menyerahkan tidaklah diwajibkan menjamin si
penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam kenikmatannya, yang
dilakukan oleh orang-orang pihak ketiga dengan peristiwa-
peristiwa dengan tidak memajukan sesuatu hak atas barang yang
disewa dengan tidak mengurangi hak si penyewa untuk menuntut
sendiri orang itu.
Kewajiban yang ketiga ini jika dikaitkan dengan praktek di
lapangan adalah suatu kewajiban dari pihak yang menyewakan
49
yang harus dilakukan pada saat perjanjian sewa-menyewa
berlangsung.Hal ini dimaksudkan agar pihak peyewa merasa
nyaman dalam mempergunakan kendaraan yang disewanya.
Tidaklah seluruh gangguan pihak ketiga terlepas dari
tanggung jawab pihak yang menyewakan, karena gangguan pihak
ketiga bisa dibedakan antara gangguan atas dasar hak atau
kenyataan.Pada gangguan yang didasar pada hak yang ada pada
pihak ketiga, sudah sewajarnya untuk mewajibkan pihak yang
menyewakan bertangung jawab atas gangguan tersebut.Dan
gangguan pihak ketiga yang tidak bisa ditanggung oleh pihak yang
menyewakan adalah gangguan pihak ketiga, yang bersifat
melanggar hukum.
Sebagaimana telah diuraikan di atas tentang hak dan
kewajiban antara pihak penyewa dan menyerahkan, maka akan
dilanjutkan dengan pembahasan pada wanprestasi dari para pihak
dalam sewa-menyewa khususnya sewa-menyewa kendaraan
bermotor.
Wanprestasi itu terjadi karena perjanjian yang mereka buat
dalam sewa-menyewa tidak ditepati oleh salah satu pihak, baik
pihak penyewa maupun pihak yang menyewakan.
Secara umum yang dimaksud dengan wanprestasi adalah
apabila seorang tidak melakukan sama sekali atau melakukan
50
prestasi yang keliru, maka dalam hal-hal yang demikian inilah
seseorang melakukan wanprestasi.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bentuk-bentuk
wanprestasi yaitu:
- Tidak melakukan prestasi sama sekali.
- Melakukan prestasi yang keliru
- Terlambat melakukan prestasi
- Melakukan prestasi sebagian
Wanprestasi atau cidera janji itu ada kalau seorang debitur
itu tidak dapat membuktikan, bahwa ia tidak dapat melakukan
prestasi adalah di luar kelakuannya atau dengan kata lain debitur
tidak dapat membuktikan adanya overmatch. Jadi, dalam hal ini
debitur jelas diangap bermasalah.
Dalam sewa-menyewa kendaraan bermotor wanprestasi
yang dilakukan oleh pihak penyewa, apabila terjadi keterlambatan
dalam menyerahkan kendaraan bermotor, serta dapat menghalangi
kekuatan dari penyewa pada saat barang atau kendaraan bermotor
itu diserahkan.
Karena dalam sewa menyewa kendaraan bermotor, sebelum
barang diserahkan kepada phak yang menyewakan adalah menjadi
tangung jawab dari pihak yang menyewakan, kewajiban
pemeliharaan dan reparasi atas barang yang disewakan harus
benar-benar membawa ketentraman bagi pihak penyewa untuk
51
menikmatinya. Kewajiban ini berlangsung selama perjanjian sewa-
menyewa masih berjalan, kecuali diperjanjikan sebelumnya. Pihak
yang menyewakan yang tidak memenuhi kewajiban ini, ini dapat
dianggap melakukan wanprestasi.Dengan demikian tentu pihak
yang menyewakan harus diberi kesempatan yang baik untuk
melaksanakan kewajiban reparasi tersebut.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa sebagaimana penelitian
yang dilakukan, wanprestasi dari pihak yang menyewakan itu
jarang terjadi karena sebelumnya pihak yang menyewakan
meneliti barang-barang tersebut sehingga pada saat diserahkan,
barang tersebut sudah siap pakai.
Namun apabila barang itu dianggap rusak maka akan
diganti dengan kendaraan yang lain yang jenisnya sama
sebagaimana permintaan dari penyewa. Jadi , wanprestasi dari
pihak yang menyewakan kendaraan bermotor itu tidak akan
menimbulkan suatu permasalahan.
Sedangkan kalau penyewa yang mengalami wanprestasi
dalam artian terlambat mengembalikan kendaraan bermotor
sebagaimana perjanjian yang mereka buat, maka pihak penyewa
wajib membayar ganti rugi atas keterlambatan tersebut.
52
2.2. Gadai
2.2.1. Pengertian Gadai
Perum Pegadaian dalam menjalankan kegiatan usahanya dinaungi
oleh Undang-Undang yang khusus mengatur tentang gadai yaitu pada
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), buku kedua Bab XX,
dan secara khusus diatur dalam Pasal 1150 KUHPer sampai dengan pasal
1160 KUHPer.
Adapun yang dimaksud dengan gadai adalah :
Suatu hak kebendaan yang bersifat assessoir, yang diberikan pihak
pemberi gadai (debitur) kepada pemegang gadai (kreditor) sebagai
jaminan atas pembayaran utang-utangnya, dengan menyerahkan
benda objek gadai tersebut ke dalam kekuasaan pemegang gadai
(kreditor) atau ke dalam kekuasaan seseorang pihak ketiga yang
disetujui oleh kedua belah pihak, yang berobjekan benda bergerak,
bertubuh maupun tidak bertubuh, dengan memberikan hak kepada
pemegang gadai (kreditor) atau kepada pihak ketiga yang disetujui
oleh kedua belah pihak, untuk memakai dan atau menikmati hasil
atas benda objek gadai tersebut, dan memberikan juga prioritas bagi
pemegang gadai (kreditor) untuk mendapat pembayaran terlebih
dahulu daripada kreditor lainnya, atas tagihan-tagihan dari kreditor
pemegang gadai, khususnya yang bersangkutan dengan hasil eksekusi
objek gadai tersebut, dengan kekecualian biaya untuk melelang
barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana
harus lebih didahulukan.18
Adapun unsur terjadinya hak gadai yaitu :
Unsur ke - 1: Perjanjian pinjam uang
Unsur ke - 2: Penyerahan barang gadai
Unsur ke - 3: Berakhirnya hak gadai
18
Munir Faudy, 2014, Konsep Hukum Perdata, PT.Raja Grapindo Persada,
Jakarta, h. 128.
53
Dalam hal gadai biasanya sering terjadi kepada petani dan
masyarakat berpenghasilan rendah yang kurang memperhitungkan
persiapan modal/dana untuk modal kerja yang akan datang, sehingga
keadaannya sangat memprihatinkan dan menderita. Untuk menghindari
masyarakat kembali ke sistem ijo maka pemerintah melalui Perum
Pegadaian melaksanakan kredit dengan sistem gadai barang-barang yang
rata-rata dimiliki oleh petani dan pegawai rendahan/buruh, contohnya
kain, sepeda, alat-alat dapur, TV, radio, tustel, kulkas, dan lain-lainnya,
tidak termasuk barang pemerintah, TNI, ternak calon nasabah ke Perum
Pegadaian dengan membawa dan menyerahkan barang bergerak yang
akan dijadikan jaminan atas hutangnya. Setelah terjadi penilaian harga
barang maka, terjadilah kesepakatan antara nasabah dan pegawai
pegadaian berapa besatnya nilai taksiran dan berapa uang yang bisa
dipinjamkan oleh Perum Pegadaian atas barang tersebut.
Pegawai Perum Pegadaian memberikan SBK (Surat Bukti Kredit)
kepada nasabah untuk dibaca dan ditandatangani sebagai tanda
persetujuan telah menyetujui jumlah uang/hutang yang dipinjamkan
kepada nasabah, dan nasabah mengambil uang di kasir.
2.2.2. Unsur-unsur Gadai
Gadai sebagaimana ketentuan Pasal 1150 KUHPer adalah, ”Suatu hak
yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seseorang berutang atau seorang lain atas namanya dan
memberikan kekuasaan kepada kreditur (si berpiutang) untuk mengambil
54
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang
berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”19
Dari ketentuan tersebut di atas secara umum dapat dikatakan bahwa unsur-
unsur gadai dari Pasal 1150 KUHPer adalah sebagai berikut :
1. Gadai adalah merupakan suatu hak yang diberikan atas suatu benda
bergerak kepada kreditur / penerima gadai.
2. Benda bergerak sebagai jaminan gadai dari pemberi gadai diserahkan
kepada kreditur / penerima gadai secara nyata / fisik (levering).
3. Penerima gadai mempunyai hak untuk memperoleh pelunasan dari benda
tersebut secara didahulukan dari pada kreditur lainnya (droit de
preference), dalam hal pelunasan hutang-hutang debitur / pemberi gadai.
4. Pelunasan hutang-hutang debitur ini sebelumnya dikurangi terlebih dahulu
dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melelang barang tersebut dan
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan barang selama
digadaikan. Biaya-biaya yang harus didahulukan sebelum pelunasan
hutang debitur / pemberi gadai kepada kreditur / penerima gadai.
Atas dasar itulah dapat dikatakan bahwa gadai merupakan hak kebendaan
yang timbul dari suatu perjanjian gadai, yang merupakan perjanjian ikutan atau
accesoir dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang piutang antara penerima
19
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, h. 175
55
gadai (kreditur) dan pemberi gadai (debitur).Suatu perjanjian hutang piutang,
debitur sebagai pihak yang berutang meminjam uang dari kreditur sebagai pihak
yang berpiutang. Agar kreditur memperoleh rasa aman dan terjamin terhadap
uang yang dipinjamkannya, kreditur meminta agunan atas uang yang
dipinjamkannya, kreditur meminta agunan atas uang yang dipinjamkan pada
debitur.
Agunan tersebut berupa benda-benda bergerak yang dimiliki debitur
sebagai jaminan atas hutang-hutangnya yang dibebankan dengan gadai yang
diserahkan kepada kreditur sebagai penerima gadai. Di dalam gadai barang yang
dapat dibebani dengan gadai adalah barangbarang bergerak, baik barang bergerak
berwujud maupun barang-barang bergerak tidak berwujud seperti saham-saham.
Tata Hukum Indonesia, jenis-jenis lembaga jaminan dikelompokkan menjadi 3
(tiga) hal yaitu :
1. Menurut cara terjadinya, yaitu jaminan yang lahir karena Undang-Undang
dan perjanjian.
2. Menurut sifatnya, yaitu jaminan yang bersifat kebendaan dan bersifat
perorangan.
3. Menurut kewenangan menguasainya, yaitu jaminan yang menguasai
bendanya dan tanpa menguasai bendanya.
4. Menurut bentuk golongannya, yaitu jaminan yang tergolong jaminan
umum dan jaminan khusus.20
20
H.S. Salim, 2006, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, h.
112.
56
Namun dalam praktik Perbankan menurut Salim H.S, jenis jaminan dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu : (1) jaminan immateriil (perorangan),
dan (2) jaminan materiil (kebendaan).Jaminan perorangan adalah jaminan yang
menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat
dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur
umumnya.Jaminan perorangan memberikan hak verbal kepada kreditur, terhadap
benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya.
Oleh sebab itu, yang termasuk ke dalam jaminan perorangan adalah :
1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih.
2. Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggun renteng.
3. Perjanjian garansi
Dari kriteria jaminan perorangan tersebut di atas dalam perjanjian
pinjammeminjam uang atau dalam perjanjian hutang piutang antar debitur dengan
kreditur, yang dalam hal ini antara pemberi gadai dengan penerima gadai, orang
perseorangan di samping debitur sebagai pemberi gadai juga terdapat pihak lain
yang bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur atau
pemberi gadai. Begitu juga halnya dengan tanggung-menanggung, bilamana
debitur dalam perjanjian hutang piutang tersebut melakukan wanprestasi dalam
pemenuhan kewajibannya, maka ada pihak lain yang ikut bertanggung jawab atas
perbuatan debitur dan bertanggung jawab secara bersama-sama untuk pemenuhan
kewajiban debitur kepada kreditur.
Sedangkan perjanjian garansi di sini maksudnya adalah apabila dalam
perjanjian hutang piutang antara debitur dengan kreditur di kemudian hari terjadi
57
wanprestasi / tidak dipenuhinya kewajiban sesuai dengan perjanjian disepakati,
maka pihak lain yang di dalam perjanjian tersebut akan memberikan garansi
bahwa hutangnya akan dilunasi sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dalam
perjanjian tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan jaminan kebendaan adalah
jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai hubungan
langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu
mengikuti bendanya dan dapat dialihkan.Adapun maksud dari jaminan yang
bersifat kebendaan ini adalah bermaksud memberikan hak verbal (hak untuk
meminta pemenuhan piutangnya) kepada si kreditur, terhadap hasil penjualan
benda-benda tertentu dari debitur untuk pemenuhan piutangnya.
2.2.3. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Setiap perjanjian yang diadakan oleh para pihak pada umumnya
selalu menimbulkan hak dan kewajiban diantara mereka, demikian juga
dalam perjanjian hutang piutang dengan jaminan benda bergerak atau
gadai, menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang
mengadakan perjanjian. Para pihak yang saling berhadapan mengadakan
perjanjian, yaitu si pemberi gadai sebagai pihak yang menyerahkan
barang sebagai jaminan dengan maksud untuk mendapatkan uang
pinjaman.Sedangkan si penerima gadai adalah pihak yang mempunyai
hak gadai terhadap uang jaminan sampai diserahkan dan ditebus kembali
oleh si pegadai. Dengan adanya perjanjian gadai tersebut menimbulkan
hak dan kewajiban bagi para pihak, yang mana telah diatur dalam
KUHPeryaitu :
58
1. Hak penerima gadai :
a. Si penerima gadai dalam hal si pemberi gadai melakukan
wanpretasi yaitu tidak memenuhi kewajiban, maka setelah
jangka waktu yang ditentukan itu lampau, si penerima gadai
berhak menjual benda yang digadaikan itu atas kekuasaan
sendiri. Kemudian hasil dari penjualan itu diambil sebagian
untuk melunasi hutang pemberi gadai dan sisanya
dikembalikan kepada kreditur. Penjualan itu dilakukan di muka
umum berdasarkan syarat-syarat yang berlaku.
b. Si penerima gadai berhak untuk mendapatkan pengembalian
ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan untuk keselamatan
barangnya.
c. Si penerima gadai berhak untuk menahan barang tersebut, itu
terjadi jika setelah adanya perjanjian hutang yang kedua antara
pihak dan hutang yang kedua ini sudah dapat ditagih sebelum
pembayaran hutang yang pertama, maka dalam keadaan yang
demikian itu si penerima gadai wenang untuk menahan benda
itu sampai kedua hutang tersebut dilunasi.
2. Kewajiban penerima gadai
a. Si penerima bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya
harga barang yang digadaikan.
b. Kewajiban untuk memberikan pemberi gadai jika barang gadai
dijual.
59
c. Bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai.
3. Hak pemberi gadai
a. Berhak untuk menuntut ganti rugi atas barang gadai yang
hulang atau rusak.
b. Berhak menerima uang kelebihan atas hasil penjualan lelang
barang gadai.
4. Kewajiban pemberi gadai
a. Membayar kembali sejumlah uang pinjaman.
b. Mengganti kepada si penerima gadai segala biaya yang berguna
dan diperlukan untuk keselamatan barang gadai.
c. Membayar ongkos lelang atau barang-barangnya yang dilelang.
Biaya atau ongkos tersebut dipotong dari hasil penjualan
barang jaminan.
2.2.4. Benda Gadai Bukan Hak MilikPemberi Gadai
Saat ini meningkatnya kebutuhan hidup masyarakt bagi sebagian
warga masyarakat berarti semakin sulit pula kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan itu. Banyak masyarakat yang kekurangan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya menggunakan jasa Perum Pegadaian
dalam mencari dana atau kredit dengan menyerahkan barang sebagai
jaminan kepada penerima gadai.
Contoh : B telah mencuri sebuah televisi dari A kemudian menjual dan
menyerahkan kepada C.
60
Pada kasus ini, kewenangan berhak yang nampak pada B terjadi
sama sekali diluar kehendak dan perbuatan A. Hilangnya kekuasaan A
atas televisi tersebut tidak terjadi secara sukarela, maka ia diberikan
kesempatan tiga tahun untuk menuntut kembali televisi tersebut dari
penerima ketiga yang beritikad baik. Perlindungan terhadap A sebagai
pemilik barang dapat dilihat dalam pasal 1977 ayat (2) KUHPer yang
berbunyi :
Siapa yang kehilangan atau kecurian suatu barang, didalam jangka
waktu tiga tahun, terhitung sejak hari hilangnya atau dicurinya
barang itu, dapatlah ia menuntut kembali barangnya yang hilang
atau dicuri itu sebagai miliknya, dari siapa yang dalam tangannya
ia ketemukan barangnya, dengan tak mengurangi hak si yang
tersebut belakangan ini untuk minta ganti rugi kepada orang dar i
siapa ia memperoleh barangnya, lagi pula dengan siapa dengan tak
mengurangi ketentuan-ketentuan dalam pasal 582.
Dalam hal pemilik barang menuntut kembali haknya maka ia tidak
diwajibkan mengganti sejumlah uang atau barang sebagai kompensasi
pengambilan barang miliknya ditangan orang tersebut. Hal ini disbutkan
pada pasal 582 KUHPer sebagai berikut :
Barangsiapa menuntut kembalinya sesuatu kebendaan yang telah
dicuri atau dihilangkan, tak diwajibkan memberi pergantian
kepada si yang memegangnya, untuk uang yang telah
dibayarkannya guna membelinya, kecuali kebendaan itu dibelinya
di pasar tahunan atau pasar lainnya, di lelangan umum, atau dari
seorang pedagang yang terkenal sebagai seorang yang biasanya
memperdagangkan barang-barang sejenis itu. 21
21
Ibid, h. 173.
61
Bilamana kemungkianan untuk menuntut kembali barangnya
selama jangka waktu 3 tahun ini dibiarkan berlalu maka C berkuasa
mutlak atas benda tersebut.
Pegadaian dalam menerima barang tersebut berdansar pada
ketentuan pasal 1977 ayat (1) KUHPer yang berbunyi :
Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun
piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang
siapa yang menguasainya dianggap pemiliknya.22
Arti pasal tersebut bahwa penerima gadai dalam menerima barang
gadai dari pembawa barang, tiak perlu mengetahui bahwa pemegang
benda tersebut adalah tidak berhak atas benda yang dibawanya. Di
samping ketidak tahuan, sebagai bagian nyata yang menjadi persyaratan
adalah adanya itikad baik dengan kata lain penerima gadai berkewajiban
untuk mendapatkan kepastian tentang adanya kewenangan berhak
daripada orang yang lebih dahulu berhak, sehingga meskipun penerima
gadai menerima barang dari orang yang tidak berhak atas barang
tersebut, ia tidak dapat disalahkan.
Untuk mengetahui apakah seseorang berhak atas suatu barang,
penerima gadai perlu mengetahui dengan menyelidiki tiga hal sebagai
berikut :
1. Adanya suatu persetujuan kebendaan dengan mana hak atas benda
itu dipindahkan.
2. Kewenangan berhak dari orang yang memindahkan.
22Ibid, h. 493.
62
3. Adanya suatu alas hak yang sah artinya adanya hubungan hukum
untuk menyerahkan hak atas barangnya dari pemilik pertama
kepada pemegang barang. 23
Dari ketentuan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pegadaian akan menganggap si pembawa barang gadai sebagai pemilik.
Pihak berwajib dapat mengambil barang gadai tersebut bila membawa
surat keterangan dari Pengadilan yang menyatakan bahwa barang gadai
tersebut diperlukan sebagai bukti dalam persidangan. Untuk menjaga
keamanan dan menghindari kerusakan barang gadai, yang biasanya
diserahkan oleh pihak pegadaian kepada Pengadilan hanya berupa foto
dari barang gadai tersebut.Hal itu dilakukan agar pegadaian sebagai
penerima gadai dapat memelihara, menjaga dan mengamankan barang
gadai sesuai dengan kewajiban dari pegadaian.
Apabila pengadilan memaksa barang tersebut menjadi bukti dan
dihadirkan didepan sidang, maka pegadaian akan menyerahkan barang
gadai tersebut dan pegadaian akan terus memantau keberadaan barang
gadai tersebut. Pegadaian akan menunggu keputusan yang akan diberikan
oleh pengadilan. Apabila pengadilan memutuskan si pemberi gadai
adalah terbukti bersalah tidak berhak atas barang yang digadaikan
tersebut, maka ia akan dikenakan hukuman penjara dan barang hasil
curian dikembalikan kepada barang yang sebenarnya. Pegadaian akan
23
Soetijo Prawirohamidjojo R dan Marthalena Pohan, 1980, Bab-Bab tentang
Hukum Benda , PT. Bina Ilmu, Surabaya, h. 76.
63
melepaskan barang gadai tersebut dengan syarat, pegadaian harus
mendapatkan kembali uang pinjaman dari sewa modal yang diberikan
kepada pemberi gadai yang tidak berhak tadi atau diberikan ganti
kerugian kepada pegadaian atas pinjaman dari sewa modal oleh pemilik
barang yang terbukti berhak dalam putusan persidangan.
Dalam prakteknya di Perum Pegadaian seseorang nasabah yang
meminjamkan uang dengan jaminan gadai, pihak pegadaian menilai
dengan baik dan jujur pemberi gadai, disamping itu meminta pula surat
barang tersebut hilang, maka untuk membuktikan bahwa barang itu
miliknya harus ada surat keterangan yang menunjukkan kepemilikan atas
barangnya. Namun tidak menghilangkan juga kemungkinan bahwa
perjanjian gadai terjadi didasarkan keyakinan penerima gadai atas
kepemilikan suatu barang.24
2.2.5. Berakhirnya Gadai
Sebelum berbicara masalah berakhirnya gadai terlebih dahulu
diuraikan tentang berakhirnya perjanjian, karena gadai terjadi didasari
atas perjanjian konsensuil sebelum perjanjian kebebasan berkontrak
ditanda tangani. Berakhirnya masa berlaku suatu perjanjian atas hak
gadai akan dapat dilihat berdasarkan pasal -pasal yang menganut asas-
asas dari perjanjian.
Dari pasal-pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
berakhirnya suatu perjanjian adalah :
24
Wirjono Prodjodikoro II, op.cit,h.37.
64
1. Telah berakhirnya jangka waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian yaitu selesainya batas waktu yang telah ditentukan.
2. Debitur telah menyesuaikan jumlah nilai uang yang diwajibkan
untuk mengembalikannya.
3. Perwujudan dari pelaksanaan hak bank untuk secara sepihak
mengakhiri jangka waktu kredit.25
Demikianlah beberapa aspek hukum yang dapat lahir akibat dari
tidak ditaati perjanjian, baik yang menyangkut pihak debitur maupun
pihak nasabah.
Terhadap hak gadai dikatakan berakhir apabila :
a. Tanggal yang telah ditentukan telah lewat, maka Perum Pegadaian
melelang barang tersebut dan jika ada sisa/uang kelebihan dari
hasil lelang maka akan diterima kembali olrh pihak nasabah;
b. Apabila belum tiba jatuh tempo yang telah ditentukan nasabah
telah melunasi haknya, sehingga pada saat itu juga hak gadainya
dinyatakan telah selesai.
Dalam menentukan batas waktu pelunasan gadai yang dilakukan
oleh Perum Pegadaian, itu tergantung dari jenis dan bentuk SBKnya.
Jadi antara jangka waktu pinjaman yang satu dengan yang lain tidak
sama tentang batas waktu pelunasannya. Untuk SBK golongan A dan B
25
M.Yahya Harahap, 1986, Segi Segi Hukum Perjanjian , Alumni Bandung,
Bandung, hal 212.
65
lamanya pinjaman atau batas waktu pelunasannya adalah 80 hari 6
(enam) bulan dan baru dilelang pada awal bulan ke-8.
Sedangkan untuk SBK untuk golongan C dan D lama pinjamannya
atas batas waktu pelunasannya adalah 90 hari 3 (tiga) bulan, dan akan
dilelang pada awal bulan ke-5. Jadi dalam hal ini ada tenggang waktu
kurang lebih 1,5 bulan, yang mana dalam tenggang waktu tersebut
terlepas dari perhitungan bunga, inilah merupakan suatu keringanan bagi
nasabah.
Apabila ada nasabah yang mau melunasi hutangnya tadi dalam
tenggang waktu tersebut maka bunganya hanya dihitung sebatas jangka
waktu dari pinjaman itu.Hal inilah yang menunjukkan bahwa Perusahaan
Umum Pegadaian lebih mengutamakan pelayanan pada masyarakat
daripada mencari untung semata, karena perusahaan tersebut berbadan
Perum.
Dengan berpedoman pada ketentuan tersebut di atas diharapkan
dapat mendorong masyarakat untuk menggunakan jasa pelayanan
Perusahaan Umum Pegadaian daripada menggunakan jasa lembaga lain
yang tak resmi seperti lintah darat, rentenir atau para pelepas uang yang
tak wajar yang nantinya menyusahkan bagi dirinya sendiri.