43
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA DAN GADAI 2.1. Sewa-menyewa 2.1.1. Pengertian Sewa-menyewa Sewa-menyewa seperti halnya jual-beli, adalah suatu perjanjian yang sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.Sewa- menyewa maupun jual beli adalah merupakan suatu upaya yang sudah biasa dipergunakan oleh para warga masyarakat dalam rangka memenuhi kepentingan-kepentingannya. Sewa-menyewa dan jual-beli adalah sama-sama merupakan suatu perjanjian yang dilakukan untuk menyerahkan barang. Menurut Djoko Prakoso dan Bambang Riyadilany perbedaan antara dua macam persetujuan ini ialah bahwa dalam hal jual beli yang diserahkan oleh pemilik barang adalah hak milik atas barang itu, sedangkan dalam hak sewa menyewa si pemilik barang hanya menyerahkan pemakaian dan pemungutan hasil dari barang, padahal hak milik atas barang itu berada di tangan yang menyewakan. 1 Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa sewa-menyewa adalah hubungan hukum yang terjadi dikarenakan satu pihak memberikan 1 Djoko Prakoso dan Bambang Riyadilany, op.cit , h.56. 23

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA … 2.pdf · 9Mashudi dan Moch Chidur Ali,2001, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, h. 110

  • Upload
    vanhanh

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

23

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA

DAN GADAI

2.1. Sewa-menyewa

2.1.1. Pengertian Sewa-menyewa

Sewa-menyewa seperti halnya jual-beli, adalah suatu perjanjian

yang sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.Sewa-

menyewa maupun jual beli adalah merupakan suatu upaya yang sudah

biasa dipergunakan oleh para warga masyarakat dalam rangka memenuhi

kepentingan-kepentingannya.

Sewa-menyewa dan jual-beli adalah sama-sama merupakan suatu

perjanjian yang dilakukan untuk menyerahkan barang. Menurut Djoko

Prakoso dan Bambang Riyadilany perbedaan antara dua macam

persetujuan ini ialah bahwa dalam hal jual beli yang diserahkan oleh

pemilik barang adalah hak milik atas barang itu, sedangkan dalam hak

sewa menyewa si pemilik barang hanya menyerahkan pemakaian dan

pemungutan hasil dari barang, padahal hak milik atas barang itu berada

di tangan yang menyewakan.1

Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa sewa-menyewa adalah

hubungan hukum yang terjadi dikarenakan satu pihak memberikan

1Djoko Prakoso dan Bambang Riyadilany, op.cit, h.56.

23

24

satukenikmatan atas sesuatu (benda) kepada pihak lainnya membayar

harga kenikmatan itu.2

Untuk lebih memahami pengertian perjanjian sewa menyewa maka

dikemukakan beberapa pendapat sarjana yang dianggap perlu guna

memberikan gambaran lebih jelas. Menurut Kansil, bahwa sewa

menyewa adalah suatu perjanjianuntuk menyerahkan suatu barang untuk

digunakan dalam waktu yang tertentu dan dengan sewa t ertentu.3

Demikian juga Subekti mengetangahkan bahwa:

Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu

menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama

jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggugpi akan

membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada

waktu-waktu yang ditentukan.4

Menurut pasal 1548 KUHPer memberi pengertian yaitu:

Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya utnuk memberikan kepada pihak yang lainnya

kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan

sesuatu harga yang oleh pihak tersebut berakhir ini disanggupi

pembayarannya.

Dari uraian definisi-definisi tersebut di atas, maka dikemukakan

bahwa pengertian sewa-menyewa meliputi unsur-unsur berikut:

a. Sewa menyewa ialah suatu perjanjian antara dua pihak, maksudnya

bahwa di dalam perjanjian sewa menyewa itu ada dua pihak yang

2Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perjanjian Adat , Alumni Bandung,

Bandung, h.97.

3C.S.T Kansil, 1985, Modul Hukum Perdata , PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h.

241.

4Subekti 1, op. cit, h. 139.

25

saling berhadap-hadapan. Pihak yang satu disebut sebagai pihak

penyewa, sedangkan pihak yang lainnya disebut pihak yang

menyewakan (pemilik). Dalam perjanjian sewa-menyewa ini, kedua

pihak yaitu pemilik maupun pihak penyewa diebani suatu kewajiban-

kewajiban pokok yang harus dilaksanakan;

b. Pihak yang satu menyerahkan pemakaian atau penggunaan sesuatu

barang kepada pihak yang lainnya, maksudnya ialah bahwa pihak

yang menyewakan (pemilik) menyerahkan barangnya kepada si

penyewa, hanya untuk dipakai atau dipergunakan oleh si penyewa dan

bukan untuk dimiliki. Dengan kata lain yang menyewakan (si

pemilik) hanyalah menyerahkan penggunaan atau pemakaian atas

sesuatu barang kepada penyewa dan hak milik atas barang tersebut

tetap berada pada tangan di pemilik barang;

c. Selain itu suatu waktu tertentu, maksudnya ialah: bahwa perjanjian

sewa-menyewa itu tidaklah dimaksudkan untuk berlangsung selama-

lamanya artinya dalam sewa menyewa itu selalu ada tenggang waktu

tertentu untuk berakhirnya sewa-menyewa.

Pasal 772 KUHPer menyebutkan bahwa:

Tiap-tiap pemakai hasil diperbolehkan menikmati haknya atau

menggadaikannya, bahkan bolehlah ia menjualnya, membebaninya

atau menghibahkannya. Sementara itu baik dalam hal bilamana ia

menikmatinya dengan diri sendiri, maupun ia menyewakannya,

menggadaikannya atau menghibahkannya haruslah ia terhadap

penikmatan akan hak itu, bertindak menurut adat kelaziman

setempat dan kebiasaan para pemilik tanah, dengan tak berubah

tujuan untuk mana tanah itu diperuntukkannya.

26

Dari bunyi pasal tersebut tampaklah bahwa yang dapat

menyewakan barang itu tidaklah selalu pemilik barang itu.

Apabila seseorang diserahi suatu barang untuk dipakai tanpa

membayar suatu apapun, maka yang terjadi adalah suatu perjanjian

pinjam pakai. Menurut Subekti, jika si pemakai barang itu diwajibkan

membayar maka bukan lagi perjanjian pinjam pakai yang terjadi tetapi

perjanjian sewa-menyewa.5

Hal tersebut berarti bahwa pihak yang menyewakan tidak

diwajibkan menjamin hak penyewa terhadap gangguan-gangguan yang

dilakukan oleh pihak ketiga dengan tidak menunjukkan suatu hak atas

barang yang disewa, maka pihak penyewa dapat menuntut send iri orang

tersebut.

Pasal 1556 KUHPer menyebutkan bahwa apabila pihak ketiga

mengganggu pemakaian barang yang disewakan dengan didasarkan atas

suatu hak dari orang ketiga itu maka pihak yang menyewakan tidak

bertanggung jawab atas perbutan tersebut.Adanya kewajiban pokok

dalam perjanjian sewa menyewa baik bagi pihak penyewa maupun yang

menyewakan, maka bagi pihak penyewa salah satu kewajiban adalah

mengembalikan barang yang disewanya sesuai dengan jangka waktu yang

telah diperjanjikan oleh karena maksud dari perjanjian sewa-menyewa

ialah untuk di kemudian hari mengembalikan barang kepada pihak lain

yang menyewakan, maka tidak mungkin ada perjanjian sewa-menyewa

5Subekti 1, op.cit, h. 52.

27

yang pemakaiannya mengakibatkan musnahnya barang itu, misalnya

barang-barang makanan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro:

Adakalanya barang-barang makanan dapat disewa juga, kalau

yang dimaksud itu adalah suatu pemakaian istimewa yang berakibat

musnahnya barang makanan yaitu untuk dimakan melainkan hanya

untuk diperlihatkan pada orang banyak seperti perjanjian sewa-

menyewa barang untuk diperlihatkan pada pameran, dalam hal mana

buah-buahan itu akan dikembalikan setelah pameran.6

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa yang penting dalam

perjanjian sewa-menyewa adalah obyek perjanjian tersebut tidak musnah

karena pemakaian. Jadi semua benda atau barang baik yang bertubuh

maupun yang tidak bertubuh misalnya hak-hak tertentu dapat dijadikan

obyek perjanjian sewa-menyewa asal tidak dilarang oleh undang-undang.

Hal ini karena pengertian perjanjian sewa-menyewa dalam KUHPer tidak

memberikan perincian barang apa saja yang dapat dijadikan obyek sewa-

menyewa.

Dengan pembayaran sesuatu harga, maksudnya ialah bahwa dalam

sewa-menyewa itu selalu disertai dengan adanya harga sewa.

Pembayaran harga sewa tersebut dilakukan oleh penyewa yang ditujukan

kepada pihak yang menyewakan (si pemilik) barang, guna sebagai

pengganti atas penggunaan atau pemakaian barang sewa. Pembayaran

harga sewa adalah merupakan salah satu dari kewajiban utama bagi si

penyewa dalam hal hubungan sewa-menyewa.

6Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h. 50.

28

2.1.2. Syarat sahnya Perjanjian Sewa-menyewa

Untuk sahnya perjanjian, agar mempunyai kekuatan mengikat

maka diperlukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Demikian

juga dengan perjanjian sewa-menyewa seperti halnya perjanjian lain-lain

harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dalam pasal 1320 KUHPer menentukan empat syarat yang harus

ada pada setiap perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Satrio J. mengemukakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus

terpenuhi syarat yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat suatu perikatan.

3. Ada suatu hal tertentu.

4. Ada suatu sebab yang halal.7

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat -syarat tersebut tidak akan

diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya.

Selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi syarat-syarat, perjanjian itu

7Satrio, J. 2001, Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, PT.

Citra Aditya Bhakti, Bandung, h.163.

29

berlaku antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak

mengakuinya, sehingga menimbulkan sengketa, maka Hakim akan

membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

Untuk lebih jelasnya agar apa yang diuraikan di atas yaitu

mengenai syarat sahnya perjanjian sewa menyewa, maka saya uraikan

mengenai empat syarat tersebut.

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Menurut Abdulkadir Muhammad, persetujuan kehendak adalah

kesepakatan, seia sekata pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa

yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak

yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam

perundingan.8

Menurut Mashudi dan Chidur Ali bahwa persetujuan dalam

Pasal 1320 KUHPer mengatakan harus bebas kehendak yang bebas itu

tak ada bila terdapat hal-hal seperti Dwaling, Wang, Bedrog.9

Menurut Budiono Kusumoharmidjojo bahwa akibatnya apabila

pihak yang tidak sepakat dengan suatu kontrak dan (karenanya) tidak

menandatanganinya, tidak terikat oleh kontrak tersebut. Karena itu,

8Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia , PT. Citra Aditya

Bhakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad IV) h.229.

9Mashudi dan Moch Chidur Ali,2001, Pengertian-Pengertian Elementer

Hukum Perjanjian Perdata , Mandar Maju, Bandung, h. 110.

30

pihak tersebut juga tidak mengemban suatu kewajiban yang

ditetapkan oleh kontrak itu.10

Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan

perundingan (negotiation), pihak yang satu memberitahukan kepada

pihak yang lain mengenai objek perjanjian dan syarat -syaratnya.

Pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya, sehingga tercapai

persetujuan yang mantap. Kadang-kadang kehendak itu dinyatakan

secara tegas dan kadang-kadang secara diam-diam, tetapi maksudnya

menyetujui apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak itu.

Menurut Abdulakadir Muhammad bahwa persetujuan kehendak

itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak

manapun juga, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak.11

Dalam pengertian persetujuan kehendak termasuk juga tidak

ada kehilafan dan tidak ada penipuan.

Menurut ketentuan Pasal 1324 KUHPer dikatakan:

Tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu

tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani

maupun dengan upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka

rahasia, sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui

perjanjian.

Dikatakan tidak ada kehilafan atau kesesatan atau kekeliruan

apabila salah satu pihak tidak keliru mengenai pokok perjanjian atau

10

Budiono Kusumoharmidjojo, 2001, Panduan untuk Merancang Kontrak , PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.16.

11

Abdulkadir Muhammad III, op.cit, h.229.

31

sifat-sifat penting objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa

diadakan perjanjian itu.

Menurut ketentuan Pasal 1322 KUHPer,

Kekeliruan atau kehilafan tidak mengakibatkan batal suatu

perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kehilafan itu terjadi

mengenai hakekat benda yang menjadi pokok perjanjian, atau

mengenai sifat khusus atau keahlian khusus diri orang dengan siapa

diadakan perjanjian.

Pasal 378 KUHP menyebutkan bahwa tidak ada penipuan

apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti undang-undang.

Penipuan menurut arti undang-undang ialah dengan sengaja

melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan palsu dan

tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.

Menurut ketentuan Pasal 1328 KUHPer:

Apabila tipu muslihat itu dipakai oleh salah satu pihak

sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata satu pihak membuat

pihak lainnya tertarik untuk membuat perjanjian. Sedangkan jika

tidak dilakukan tipu muslihat itu, pihak lainnya itu tidak akan

membuat perjanjian itu. Penipuan ini merupakan alasan untuk

membatalkan perjanjian.

Akibat hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena

kehilafan, paksaan, penipuan) ialah bahwa perjanjian itu dapat

dimintakan pembatalannya kepada Hakim (vernietigbaar, voidable).

Menurut ketentuan Pasal 1454 KUHPer, pembatalan dapat dimintakan

dalam tenggang waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung

sejak hari paksaan itu berhenti dalam hal ada kehilafan dan penipuan

dihitung sejak hari diketahuinya kehilafan dan penipuan itu.

32

2. Kecakapan pihak-pihak

Menurut CST. Kansil seseorang yang dikatakan cakap hukum

apabila seseorang laki-laki atau wanita telah berumur minimal 21

tahun, atau bagi seorang laki-laki bila belum berumur 21 tahun telah

melangsungkan pernikahan.12

Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPer, dikatakan tidak cakap

membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang yang

ditaruh di bawah pengampunan, dan wanita bersuami. Mereka ini

apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka,

dan bagi istri ada izin suami.Menurut hukum nasional Indonesia

sekarang, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan

perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin suami.Perbuatan hukum

yang dilakukan istri sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan

pembatalannya kepada Hakim.

Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa

perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya

kepada hakim.Jika pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang

berkepentingan, sepanjang tidak dimungkiri oleh pihak yang

berkepentingan, perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak.

12

CST Kansil, op. cit, h. 225.

33

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, obyek

perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi.

Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat

ditentukan. Kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek

perjanjian ialah untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban

pihak-pihak jika pokok perjanjian, atau objek perjanjian, atau prestasi

itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin dilaksanakan, maka

perjanjian itu batal (nietig, coid).

Menurut Satrio J, untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan

“hal tertentu”, perlu dilihat kepada Pasal 1333 dan 1334 KUHPer,

yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 1320 sub. 2

KUHPer.

Dalam Pasal 1333 KUHPer dikatakan bahwa:

Suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu benda

(zaak) yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Yang dimaksud di

sini adalah bahwa objek perjanjian tidak harus sejak semula secara

individual tertentu, tetapi cukup kalau ada saat perjanjian ditutup

jenisnya tertentu. Hal itu tidak berarti,bahwa perjanjian sudah

memenuhi syarat, kalau jenis objek perjanjiannya saja yang sudah

ditentukan.13

Menurut Setiawan R. :

Obyek perikatan atau prestasi berupa memberikan sesuatu,

berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk

memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu

barang atau memberikan kenikmatan atas sesuatu barang misalnya,

penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang

13

Satrio J, op.cit, h.31.

34

menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang

yang disewakan.14

4. Suatu sebab yang halal (causa)

Abdulkadir Muhammad mengemukakan jenis-jenis perjanjian

tertentu yang dengan jelas bertentangan dengan ketertiban umum

(Public policy) tidak dibenarkan sama sekali oleh hukum.15

Menurut Ketentuan Pasal 1337 KUHPer bahwa:

Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab

orang mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau yang diawas i

oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu”, yang

menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak,

apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah

bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.

Dalam perjanjian jual beli, isi perjanjian ialah pihak

pembeli menghendaki hak milik atas benda dan pihak penjual

menghendaki sejumlah uang.Tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-

pihak itu ialah hak milik berpindah dan sejumlah uang

diserahkan.Dalam perjanjian sewa-menyewa, isi perjanjian ialah

pihak penyewa menghendaki kenikmatan atas suatu benda, dan pihak

yang menyewakan menghendaki sejumlah uang.Tujuan yang hendak

dicapai oleh pihak-pihak ialah kenikmatan dengan menguasai benda

dan sejumlah uang dibayar.

14

R.Setiawan, op.cit, h.4.

15

Abdulkadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung,

Bandung (selanjutnya disingkat abdulkadir Muhammad V) h.95.

35

Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal

ialah “batal” (nietig, void).Dengan demikian tidak ada dasar untuk

menuntut pemenuhan perjanjian di muka Hakim, karena sejak semula

dianggap tidak pernah ada perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1335

KUHPer bahwa demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu

tanpa causa (sebab), ia dianggap tidak pernah ada.

Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHPer disebut syarat

subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek

perjanjian.Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan.

Pasal 1545 KUHPer menyebutkan bahwa tetapi jika tidak dimintakan

pembatalan kepada hakim, perjanjian itu tetap mengikat pihak -pihak,

walaupun diancam pembatalan sebelum lampau waktu lima tahun.

Syarat ketiga dan keempat Pasal 1320 KUHPer tersebut syarat

obyektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian.Jika

syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal.Kebatalan ini dapat

diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu

pihak tidak memenuhi kewajibannya.Kemudian diperkarakan ke muka

Hakim, dan Hakim menyatakan perjanjian batal, karena tidak

memenuhi syarat objektif.

Di samping syarat-syarat tersebut di atas, setiap orang yang

membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, demikian

juga dengan perjanjian sewa menyewa harus ada itikad baik yang

dalam hal ini diartikan sebagai kejujuran.

36

Apabila itikad baik dalam membuat perjanjian sewa-menyewa

berarti kejujuran, maka itikad baik dalam hal pelaksanaan perjanjian

adalah kepatutan yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk

suatu pihak dalam melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, apabila

diperhatikan pasal-pasal 1338, 1339 KUHPer adalah yang dipakai

sebagai ukuran apakah keputusan yang telah dijatuhkan oleh para

wasit dalam arbitrase atas sengketa para pihak sudah adil dan sesuai

dengan itikad baik dan kepatutan. Dalam pasal-pasal tersebut itikad

baik, kepatutan dan kebiasaan mulai muncul untuk menafsirkan

perjanjian dalam sengketa para pihak.

Dalam Pasal 1338 KUHPer:

Memerintahkan semua perjanjian dilaksanakan dengan itikad

baik, dengan demikian kewajiban kedua belah pihak ialah

melaksanakan perjanjian dengan itikad baik memberi kepastian

hukum mengenai isi perjanjian yang tidak selalu dinyatakan dengan

tegas.Kalau undang-undang menetapkan barang siapa berdasarkan

suatu perjanjian diwajibkan merawat sebaik-baiknya seperti barang

miliknya sendiri sampai terlaksananya penyerahan barang tersebut,

maka hal ini berarti merupakn suatu ketentuan yang ditujukan kepada

itikad baik dalam melaksanakan suatu kewajiban hukum.Maksud

daripada perintah supaya perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik

adalah untuk mencega kelakuan yang tidak patut atau sewenang-

wenang dalam pelaksanaan tersebut.

Sebagaimana diketahui kepatutan dalam penemuan hukum

dapat dipergunakan untuk menyampingkan undang-undang tetapi

dapat pula melengkapi undang-undang. Hal ini akan lebih jelas

apabila diperhatikan pernyataan Pasal 1339 KUHPer yang

menyatakan sebagai berikut: “Persetujuan-persetujuan tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya,

37

tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan,

diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

Sedangkan dalam Pasal 1347 KUHPer menyebutkan sebagai

berikut: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan,

dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun

tidak dengan tegas dinyatakan.”

Berpegang pada ketentuan tersebut di atas bahwa kedua belah

pihak dalam mengadakan perjanjian tidak hanya terikat oleh apa yang

secara tegas disebutkan dalam perjanjian melainkan juga apa yang

diharuskan menurut sifat perjanjian kepatutan adat kebiasaan dan

undang-undang. Apabila pada sebuah perjanjian ada tersangkut janji-

janji yang memang lazim dipakai dalam masalah yaitu menurut adat

kebiasaan, maka janji-janji tersebut dianggap termuat di dalam

perjanjian meskipun perjanjian sama sekali tidak menyebutkan.

Pasal 1339 KUHPer mengenai adat kebiasaan dalam perjanjian

dan yang dipakai dalam Pasal 1347 KUHPer, maka tampak sedikit

adanya suatu pertentangan antara kedua pasal tersebut. Dalam Pasal

1339 KUHPer menghendaki di samping apa yang termuat dalam

perjanjian harus diperhatikan pula adat kebiasaan dan undang-undang

mengenai soal yang termaktub dalam perjanjian tersebut. Sedangkan

menurut Pasal 1347 KUHPer bahwa janji-janji yang menurut kebiasan

melekat pada perjanjian yang bersangkutan dianggap termuat dalam

isi perjanjian.

38

Dilihat dari kata-kata yang dipakai tampak dengan jelas

perbedaan dari dua pasal tersebut, dalam Pasal 1339 KUHPer

mengatakan adat kebiasaan yang tidak termuat dalam isi perjanjian

tdiak dapat mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang

bersifat menambah isi perjanjian. Namun, tidak demikian halnya

dengan Pasal 1347 KUHPer, peraturan yang bersifat tambahan ini

malahan dianggap dikesampingkan oleh adat kebiasaan.

Berpijak pada peraturan tersebut, maka dalam membuat

perjanjian hubungannya dengan Pasal 1339 KUHPer dengan Pasal

1347 KUHPer yang menyangkut adat kebiasaan dalam perjanjian,

maka titik beratnya harus dikatakan pada maksud para pihak pada

waktu membuat perjanjian. Maksud para pihak inilah yang

menentukan apakah dalam suatu perjanjian tertentu adat kebiasaan

yang termuat secara tegas dalam perjanjian dapat menyampingkan

peraturan perundang-undangan yang bersifat menambah isi perjanjian

atau tidak.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, kalau diperhatian Pasal 1339

KUHPer bahwa adat kebiasaan telah ditunjuk sebagai sumber norma

di samping undang-undang ikut menentukan hak dan kewajiban para

pihak dalam suatu perjanjian.16

16

Wirjono Prodjodikoro, 1987, Azas Hukum Perdata , Sumur Bandung,

Bandung, (selanjutnya disingkat Wirjono Prodjodikoro II) h .97

39

2.1.3. Tujuan Sewa-menyewa

Dalam praktek sering dijumpai antara pihak penyewa dengan

pihak yang menyewakan dapat membuat perjanjian sewa menyewa

seluas-luasnya asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan

sehingga dengan demikian apa yang menjadi isi dari perjanjian

tergantung dari para pihak yang membuat perjanjian. Karena para pihak

bebas menentukan isi daripada perjanjian, maka apa yang menjadi

maksud atau tujuan perjanjian sewa-menyewa juga bermacam-macam,

tergantung dari kehendak para pihak.

Apabila diperhatikan dari peralihan atau penyerahan barang yang

disewakan dari pihak yang menyewakan kepada pihak penyewa, maka

tujuan perjanjian sewa-menyewa adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan hak pemakaian saja kepada penyewa terhadap

barang yang disewakan tidak diberikan hak untuk memiliki.

Dari batasan tersebut dapat dikemukakan bahwa yang

dimaksud sewa-beli adalah suatu penyerahan barang yang dilakukan

oleh penjual kepada pembeli tidak disertai penyerahan hak milik

sebelum pembayaran lunas.Kalau diperhatikan sewa-beli tersebut di

atas maka hak milik atas barang itu tidak ikut diserahkan sebelum

pembayaran lunas.Disini kedudukan pembeli seolah-olah seperti

seorang penyewa hanya saja ditetapkan setelah penyewa sekian lama

batas batas waktu yang ditentukan baru menjadi

milik.Konsekuensinya apabila pihak pembeli memindahtangankan

40

barang tersebut, maka pihak pembeli dapat dituntut melakukan

penggelapan berdasarkan Pasal 373 KUHP.Jadi, angsuran tersebut

sekaligus mempunyai dua fungsi yaitu sebagai harga sewa dan

sebagai angsuran harga barang.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa yang

membedakan sewa-menyewa dengan sewa-beli tersebut adalah:

a. Sejak semula para pihak dalam perjanjian sewa-beli bermaksud

untuk melakukan perjanjian jual-beli, bukan perjanjian sewa-

menyewa.

b. Ditangguhkannya penyerahan hak milik dalam perjanjian sewa-

beli yang menimbulkan keadaan bahwa dalam tenggang waktu

tertentu pembeli wajib membayar angsuran sebagai imbalan atas

penggunaan barang yang dinikmatinya itu.

2. Untuk memberikan hak perseorangan. Artinya perjanjian ini hanya

memberikan suatu hak perseorangan terhadap orang yang

menyewakan barang. Karena hak sewa bukan suatu hak kebendaan,

makajika si penyewa diganggu oleh seorang pihak ketiga dalam

melakukan haknya itu, ia tidak secara langsung menuntut orang yang

mengganggu itu, tetapi ia harus memajukan tuntutannya terhadap

orang yang menyewakannya.

2.1.4. Bentuk-bentuk Sewa-menyewa

Tentang bentuk-bentuk perjanjian secara garis besarnya

mempunyai dua bentuk, yaitu:

41

a. Perjanjian dengan bentuk tertulis.

b. Perjanjian dengan bentuk lisan.

Perjanjian yang dengan bentuk secara tertulis, ini sudah pasti

mempunyai bentuk tertentus seperti misalnya akta. Dengan adanya

bentuk tertulis dari suatu perjanjian seperti akta ini, sudah tentu akan

memberikan lebih kepastian hukum bagi para pihak yang mengadakan

perjanjian, oleh karena dengan bentuk tertulis dari perjanjian para pihak

tidak merasa canggung-canggung atau tidak merasa khawatir dalam

pelaksanaan nanti. Begitu pula halnya dalam perjanjian yang dibuat

secara lisan, dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang

dipahami oleh pihak-pihak itu sudah cukup. Kecuali jika pihak-pihak

yang menghendaki supaya dibuat dengan secara tertulis (akta).

Pendapat keduanya adalah sama-sama mempunyai kekuatan

hukum, hanya saja adalah perjanjian yang dilakukan secara tertulis lebih

mempunyai kekuatan hukum karena ada bukti autentik kalau

dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat secara lisan. Namun

walaupun begitu dalam perjanjian yang dibuat secara lisan bukan berarti

tidak mempunyai kekuatan hukum, oleh karena semua hal ini didasarkan

kepada bahwa setiap orang yang mengadakan perjanjian sudah tentu

didasarkan pada itikad baik, sangat kecil kemungkinan perjanjian itu

tidak ditepati, itikad baik inilah yang merupakan kunci untuk dapat

berlakunya suatu perjanjian.

42

Dengan melihat kedua bentuk perjanjian tersebut di atas suatuhal

yang tidak dapat dilepaskan adalah akibat hukum dari kedua bentuk

perjanjian tersebut yang menurut Subekti menyatakan bahwa:

Jika sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis maka sewa itu

berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan

sudah habis, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan

pemberhentian untuk itu. Sedangkan apabila sewa-menyewa itu tidak

secara tertulis atau secara lisan maka sewa itu tidak berakhir pada

waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan

memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak menghentikan

sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan mengindahkan jangka

waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat, jika tidak ada

pemberitahuan seperti itu maka dianggaplah bahwa sewa itu

diperpanjang untuk waktu yang sama.17

2.1.5. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Sewa-

menyewa

Hubungan hukum para pihak dalam perjanjian sewa menyewa

adalah adanya hak dan kewajiban dari para pihak yaitu :

a. Hak dan Kewajiban Pihak Penyewa

Untuk diketahui bersama bahwa setiap orang yang saling

mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, maka orang tersebut

sudah tentu tidak akan bisa terlepas dari suatu hak dan kewajiban

dalam perjanjian yang mereka buat, oleh karena itu merupakan

suatu keharusan bagi mereka-mereka yang saling mengikatkan diri

dalam perjanjian. Sebab antara hak dan kewajiban tidak bisa

terlepaskan, oleh karena antara hak dan kewajiban tersebut

merupakan dua rangkaian yang saling berkaitan.Dan mustahil

17

Subekti III, op. cit, h.47.

43

dalam suatu perjanjian orang hanya mempunyai hak saja tanpa

dibebani suatu kewajiban. Berkaitan dengan hak dan kewajiban

dalam perjanjian sewa-menyewa pada penyewa dapat diuraikan

sebagai berikut:

I. Mengenai hak dari penyewa

1) Pihak penyewa berhak meminta barang yang disewanya

sehingga barang itu dapat dipergunakan untuk keperluan

yang diperlukan.

2) Pihak penyewa berhak untuk mendapatkan perlindungan

hukum dari pihak yang menyewakan, agar pihak penyewa

dalam mempergunakan barang yang disewanya dapat

dengan tentram dan damai serta tidak adanya akibat yang

merintangi pemakaian barang yang disewanya.

II. Sedangkan kewajiban si penyewa ada 2 yang utama yaitu:

1) Memakai barang yang disewa sesuai dengan tujuan yang

sesuai dengan isi perjanjian.

2) Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah

ditentukan sesuai dengan perjanjian yang dibuat.

Berikut ini akan diuraikan secara lebih rinci mengenai

kewajiban dari penyewa adalah sebagai berikut:

1. Kewajiban pertama dari pihak penyewa adalah memakai barang

yang disewa secara patut sesuai dengan tujuan yang ditentukan

dalam perjanjian. Sehubungan dengan cara pemakaian yang

44

sepatutnya dari Pasal 1560 KUHPer menjelaskan: Pemakaian

barang yang disewa harus dilakukan si penyewa sebagai

seorang bapak yang berbudi, bagaimana menyatakan seorang

penyewa telah memakai dan memperlakukan barang yang

disewa sebagai seorang bapak yang berbudi, tentu hal ini dapat

dilihat dari cara pemakaian barang, apakah penyewa benar-

benar memakai barang tadi menurut kepatutan yang pantas

sesuai dengan sopan santun perjanjian sewa-menyewa.

Mempergunakan dan memakai barang yang disewa

secara tidak sepatutnya dapat dijadikan alasan wanprestasi.

Tentang menentukan tujuan pemakaian barang yang disewa,

harus berpedoman kepada Pasal 1560 KUHPer, dimana

dinyatakan pemakaian barang sewa harus disesuaikan dengan

tujuan yang ditetapkan dalam persetujuan sewa-menyewa.

b. Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan

Seperti apa yang telah dikemukakan bahwa antara hak dan

kewajiban tiak bisa dilepaskan, oleh karena kedua hal tersebut

adalah dimata rantai yang saling berkaitan. Jadi kalau orang yang

sudah terikat pada suatu perjanjian, haruslah orang itu patuh dan

taat pada isi perjanjian yang dibuatnya.

Hal mana sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPer

yang menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat tidak

bertentangan dengan undang-undang, berlaku mengikat pada yang

45

membuatnya. Dan pada umumnya perjanjian tidak dapat dicatat

tanpa persetujuan pihak yang lainnya. Dan berdasarkan dari Pasal

1317 KUHPer bahwa perjanjian juga dapat diperlakukan bagi

pihak ketiga namun untuk dapat berlakunya harus ada pernyataan

secara tegas oleh yang membuat perjanjian tersebut yang

dinamakan janji untuk kepentingan pihak ketiga.

I. Mengenai hak yang menyewakan adalah sebagai berikut:

1) Menuntut uang sewa yang harus dibayar oleh penyewa pada

waktu tertentu sesuai dengan perjanjian sewa menyewa.

Hak pertama dari pihak yang menyewakan ini jika dikaitkan

dengan praktek adalah hak mutlak yang harus diterima oleh

pihak yang menyewakan.

2) Yang menyewakan berhak untuk menegor pihak penyewa

apakah si penyewa tidak menjalankan kewajibannya

memelihara kendaraan yang disewa sesuai dengan sikap

bapak yang baik.

II. Mengenai kewajiban pihak yang menyewakan adalah:

1) Menyerahkan barang yang disewakan kepada pihak

penyewa.

2) Memelihara barang yang disewakan sedemikian hingga itu

dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.

3) Memberikan kepada si penyewa kenikmatan tentram dari

barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.

46

Berikut akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai

kewajiban-kewajiban dari pihak yang menyewakan yaitu:

1) Kewajiban untuk menyerahkan barang yang disewa kepada

pihak penyewa

Menguasai kewajiban yang pertama yakni menyerahkan

barang yang disewa. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal

1551 KUHPer menyatakan bahwa:

Yang menyewakan harus menyerahkan barang yang

disewakan dalam keadaan yang sebaik-baiknya.

Mengenai penyerahan benda pada persetujuan sewa-

menyewa, adalah penyerahan secara nyata dan bukan

merupakan penerahan yuridis karena si penyewa bukan

sebagai pemilik barang, karena itu cukup dengan jalan

menyerahkan barang penguasaan atau penikmatan saja.

Kewajiban yang pertama dari pihak yang menyewakan ini

jika dikaitkan dengan praktek biasanya dilakukan setelah

perjanjian sewa menyewa ini selesai dilaksanakan.

2) Kewajiban pihak yang menyewakan untuk memelihara

barang yang disewa selang waktu yang diperjanjikan,

sehingga barang yang disewa tadi tetap dapat dipergunakan

dan dinikmati sesuai dengan keinginan yang dimaksud si

penyewa.

Tentang kewajiban yang kedua ini pihak yang menyewakan

wajib memelihara dan melakukan perbaikan selama

perjanjian sewa-menyewa masih berjalan.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1555 KUHPer:

47

Selama perjanjian sewa menyewa masih berlangsung,

pemeliharaan dan perbaikan menjadi kewajiban pihak

yang menyewakan garis besarnya dapat dikatakan

bahwa perbaikan kecil sebagai akibat kerusakan

pemakaian normal dari barang yang disewa, dibebankan

pada si penyewa, sedangkan perhatian dan pemeliharan

berat menjadi kewajiban pihak yang menyewakan.

Lebih lanjut perbaikan kecil diatur dalam Pasal 1583

KUHPer yang menekankan tanggung jawab di penyewa

untuk memperbaiki, akan tetapi kalau kerusakan kecil yang

terjadi itu karena akibat barang yang disewa sudah tua dan

kerusakan yang terjadi akibat overmatch perbaikan

demikian dibebankan pada pihak yang menyewakan.

Suatu hak yang sangat penting menjadi tanggung

jawab ditentukan dalam Pasal 1552 KUHPer yang

menyatakan:

Pihak yang menyewakan harus menanggung si penyewa

terhadap semua cacat dari barang yang disewakan yang

merintangi pemakaian barang itu, biarpun pihak yang

menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada

waktu dibuatnya persetujuan sewa.Jika cacat itu telah

mengakibatkan sesuatu kerugian bagi si penyewa maka

kepada pihak yang menyewakan diwajibkan

memberikan ganti rugi.

Kewajiban pemeliharaan perbaikan atas barang yang

disewa, harus benar-benar membawa ketentraman bagi

pihak penyewa untuk menikmatinya, kewajiban ini

berlangsung selama perjanjian sewa-menyewa masih

berjalan.

48

Kewajiban kedua dari pihak yang menyewakan jika

dikaitkan dengan praktek di lapangan, biasanya dilakukan

sebelum diadakannya perjanjian sewa menyewa. Hal ini

dimaksudkan agar kendaraan yang akan disewakan tersebut

tidak mengalami suatu kerusakan jika telah dipergunakan

oleh pihak penyewa.

3) Pihak yang menyewakan wajib memberi ketentraman

kepada si penyewa menikmati barang yang disewa, selama

perjanjian sewa berlangsung.

Pihak yang menyewakan bertanggung jawab atas cacat

barang yang disewa, apabila cacat tadi menghalangi

pemakaian dan penikmatan barang.

Sedangkan tanggung jawab yang menyewakan atas

gangguan pihak ketiga sesuai dengan ketntuan Pasal 1556 KUHPer

yang menyatakan sebagai berikut:

Pihak yang menyerahkan tidaklah diwajibkan menjamin si

penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam kenikmatannya, yang

dilakukan oleh orang-orang pihak ketiga dengan peristiwa-

peristiwa dengan tidak memajukan sesuatu hak atas barang yang

disewa dengan tidak mengurangi hak si penyewa untuk menuntut

sendiri orang itu.

Kewajiban yang ketiga ini jika dikaitkan dengan praktek di

lapangan adalah suatu kewajiban dari pihak yang menyewakan

49

yang harus dilakukan pada saat perjanjian sewa-menyewa

berlangsung.Hal ini dimaksudkan agar pihak peyewa merasa

nyaman dalam mempergunakan kendaraan yang disewanya.

Tidaklah seluruh gangguan pihak ketiga terlepas dari

tanggung jawab pihak yang menyewakan, karena gangguan pihak

ketiga bisa dibedakan antara gangguan atas dasar hak atau

kenyataan.Pada gangguan yang didasar pada hak yang ada pada

pihak ketiga, sudah sewajarnya untuk mewajibkan pihak yang

menyewakan bertangung jawab atas gangguan tersebut.Dan

gangguan pihak ketiga yang tidak bisa ditanggung oleh pihak yang

menyewakan adalah gangguan pihak ketiga, yang bersifat

melanggar hukum.

Sebagaimana telah diuraikan di atas tentang hak dan

kewajiban antara pihak penyewa dan menyerahkan, maka akan

dilanjutkan dengan pembahasan pada wanprestasi dari para pihak

dalam sewa-menyewa khususnya sewa-menyewa kendaraan

bermotor.

Wanprestasi itu terjadi karena perjanjian yang mereka buat

dalam sewa-menyewa tidak ditepati oleh salah satu pihak, baik

pihak penyewa maupun pihak yang menyewakan.

Secara umum yang dimaksud dengan wanprestasi adalah

apabila seorang tidak melakukan sama sekali atau melakukan

50

prestasi yang keliru, maka dalam hal-hal yang demikian inilah

seseorang melakukan wanprestasi.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bentuk-bentuk

wanprestasi yaitu:

- Tidak melakukan prestasi sama sekali.

- Melakukan prestasi yang keliru

- Terlambat melakukan prestasi

- Melakukan prestasi sebagian

Wanprestasi atau cidera janji itu ada kalau seorang debitur

itu tidak dapat membuktikan, bahwa ia tidak dapat melakukan

prestasi adalah di luar kelakuannya atau dengan kata lain debitur

tidak dapat membuktikan adanya overmatch. Jadi, dalam hal ini

debitur jelas diangap bermasalah.

Dalam sewa-menyewa kendaraan bermotor wanprestasi

yang dilakukan oleh pihak penyewa, apabila terjadi keterlambatan

dalam menyerahkan kendaraan bermotor, serta dapat menghalangi

kekuatan dari penyewa pada saat barang atau kendaraan bermotor

itu diserahkan.

Karena dalam sewa menyewa kendaraan bermotor, sebelum

barang diserahkan kepada phak yang menyewakan adalah menjadi

tangung jawab dari pihak yang menyewakan, kewajiban

pemeliharaan dan reparasi atas barang yang disewakan harus

benar-benar membawa ketentraman bagi pihak penyewa untuk

51

menikmatinya. Kewajiban ini berlangsung selama perjanjian sewa-

menyewa masih berjalan, kecuali diperjanjikan sebelumnya. Pihak

yang menyewakan yang tidak memenuhi kewajiban ini, ini dapat

dianggap melakukan wanprestasi.Dengan demikian tentu pihak

yang menyewakan harus diberi kesempatan yang baik untuk

melaksanakan kewajiban reparasi tersebut.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa sebagaimana penelitian

yang dilakukan, wanprestasi dari pihak yang menyewakan itu

jarang terjadi karena sebelumnya pihak yang menyewakan

meneliti barang-barang tersebut sehingga pada saat diserahkan,

barang tersebut sudah siap pakai.

Namun apabila barang itu dianggap rusak maka akan

diganti dengan kendaraan yang lain yang jenisnya sama

sebagaimana permintaan dari penyewa. Jadi , wanprestasi dari

pihak yang menyewakan kendaraan bermotor itu tidak akan

menimbulkan suatu permasalahan.

Sedangkan kalau penyewa yang mengalami wanprestasi

dalam artian terlambat mengembalikan kendaraan bermotor

sebagaimana perjanjian yang mereka buat, maka pihak penyewa

wajib membayar ganti rugi atas keterlambatan tersebut.

52

2.2. Gadai

2.2.1. Pengertian Gadai

Perum Pegadaian dalam menjalankan kegiatan usahanya dinaungi

oleh Undang-Undang yang khusus mengatur tentang gadai yaitu pada

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), buku kedua Bab XX,

dan secara khusus diatur dalam Pasal 1150 KUHPer sampai dengan pasal

1160 KUHPer.

Adapun yang dimaksud dengan gadai adalah :

Suatu hak kebendaan yang bersifat assessoir, yang diberikan pihak

pemberi gadai (debitur) kepada pemegang gadai (kreditor) sebagai

jaminan atas pembayaran utang-utangnya, dengan menyerahkan

benda objek gadai tersebut ke dalam kekuasaan pemegang gadai

(kreditor) atau ke dalam kekuasaan seseorang pihak ketiga yang

disetujui oleh kedua belah pihak, yang berobjekan benda bergerak,

bertubuh maupun tidak bertubuh, dengan memberikan hak kepada

pemegang gadai (kreditor) atau kepada pihak ketiga yang disetujui

oleh kedua belah pihak, untuk memakai dan atau menikmati hasil

atas benda objek gadai tersebut, dan memberikan juga prioritas bagi

pemegang gadai (kreditor) untuk mendapat pembayaran terlebih

dahulu daripada kreditor lainnya, atas tagihan-tagihan dari kreditor

pemegang gadai, khususnya yang bersangkutan dengan hasil eksekusi

objek gadai tersebut, dengan kekecualian biaya untuk melelang

barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk

menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana

harus lebih didahulukan.18

Adapun unsur terjadinya hak gadai yaitu :

Unsur ke - 1: Perjanjian pinjam uang

Unsur ke - 2: Penyerahan barang gadai

Unsur ke - 3: Berakhirnya hak gadai

18

Munir Faudy, 2014, Konsep Hukum Perdata, PT.Raja Grapindo Persada,

Jakarta, h. 128.

53

Dalam hal gadai biasanya sering terjadi kepada petani dan

masyarakat berpenghasilan rendah yang kurang memperhitungkan

persiapan modal/dana untuk modal kerja yang akan datang, sehingga

keadaannya sangat memprihatinkan dan menderita. Untuk menghindari

masyarakat kembali ke sistem ijo maka pemerintah melalui Perum

Pegadaian melaksanakan kredit dengan sistem gadai barang-barang yang

rata-rata dimiliki oleh petani dan pegawai rendahan/buruh, contohnya

kain, sepeda, alat-alat dapur, TV, radio, tustel, kulkas, dan lain-lainnya,

tidak termasuk barang pemerintah, TNI, ternak calon nasabah ke Perum

Pegadaian dengan membawa dan menyerahkan barang bergerak yang

akan dijadikan jaminan atas hutangnya. Setelah terjadi penilaian harga

barang maka, terjadilah kesepakatan antara nasabah dan pegawai

pegadaian berapa besatnya nilai taksiran dan berapa uang yang bisa

dipinjamkan oleh Perum Pegadaian atas barang tersebut.

Pegawai Perum Pegadaian memberikan SBK (Surat Bukti Kredit)

kepada nasabah untuk dibaca dan ditandatangani sebagai tanda

persetujuan telah menyetujui jumlah uang/hutang yang dipinjamkan

kepada nasabah, dan nasabah mengambil uang di kasir.

2.2.2. Unsur-unsur Gadai

Gadai sebagaimana ketentuan Pasal 1150 KUHPer adalah, ”Suatu hak

yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan

kepadanya oleh seseorang berutang atau seorang lain atas namanya dan

memberikan kekuasaan kepada kreditur (si berpiutang) untuk mengambil

54

pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang

berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan

biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu

digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”19

Dari ketentuan tersebut di atas secara umum dapat dikatakan bahwa unsur-

unsur gadai dari Pasal 1150 KUHPer adalah sebagai berikut :

1. Gadai adalah merupakan suatu hak yang diberikan atas suatu benda

bergerak kepada kreditur / penerima gadai.

2. Benda bergerak sebagai jaminan gadai dari pemberi gadai diserahkan

kepada kreditur / penerima gadai secara nyata / fisik (levering).

3. Penerima gadai mempunyai hak untuk memperoleh pelunasan dari benda

tersebut secara didahulukan dari pada kreditur lainnya (droit de

preference), dalam hal pelunasan hutang-hutang debitur / pemberi gadai.

4. Pelunasan hutang-hutang debitur ini sebelumnya dikurangi terlebih dahulu

dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melelang barang tersebut dan

biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan barang selama

digadaikan. Biaya-biaya yang harus didahulukan sebelum pelunasan

hutang debitur / pemberi gadai kepada kreditur / penerima gadai.

Atas dasar itulah dapat dikatakan bahwa gadai merupakan hak kebendaan

yang timbul dari suatu perjanjian gadai, yang merupakan perjanjian ikutan atau

accesoir dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang piutang antara penerima

19

Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta, h. 175

55

gadai (kreditur) dan pemberi gadai (debitur).Suatu perjanjian hutang piutang,

debitur sebagai pihak yang berutang meminjam uang dari kreditur sebagai pihak

yang berpiutang. Agar kreditur memperoleh rasa aman dan terjamin terhadap

uang yang dipinjamkannya, kreditur meminta agunan atas uang yang

dipinjamkannya, kreditur meminta agunan atas uang yang dipinjamkan pada

debitur.

Agunan tersebut berupa benda-benda bergerak yang dimiliki debitur

sebagai jaminan atas hutang-hutangnya yang dibebankan dengan gadai yang

diserahkan kepada kreditur sebagai penerima gadai. Di dalam gadai barang yang

dapat dibebani dengan gadai adalah barangbarang bergerak, baik barang bergerak

berwujud maupun barang-barang bergerak tidak berwujud seperti saham-saham.

Tata Hukum Indonesia, jenis-jenis lembaga jaminan dikelompokkan menjadi 3

(tiga) hal yaitu :

1. Menurut cara terjadinya, yaitu jaminan yang lahir karena Undang-Undang

dan perjanjian.

2. Menurut sifatnya, yaitu jaminan yang bersifat kebendaan dan bersifat

perorangan.

3. Menurut kewenangan menguasainya, yaitu jaminan yang menguasai

bendanya dan tanpa menguasai bendanya.

4. Menurut bentuk golongannya, yaitu jaminan yang tergolong jaminan

umum dan jaminan khusus.20

20

H.S. Salim, 2006, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, h.

112.

56

Namun dalam praktik Perbankan menurut Salim H.S, jenis jaminan dapat

dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu : (1) jaminan immateriil (perorangan),

dan (2) jaminan materiil (kebendaan).Jaminan perorangan adalah jaminan yang

menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat

dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur

umumnya.Jaminan perorangan memberikan hak verbal kepada kreditur, terhadap

benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya.

Oleh sebab itu, yang termasuk ke dalam jaminan perorangan adalah :

1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih.

2. Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggun renteng.

3. Perjanjian garansi

Dari kriteria jaminan perorangan tersebut di atas dalam perjanjian

pinjammeminjam uang atau dalam perjanjian hutang piutang antar debitur dengan

kreditur, yang dalam hal ini antara pemberi gadai dengan penerima gadai, orang

perseorangan di samping debitur sebagai pemberi gadai juga terdapat pihak lain

yang bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur atau

pemberi gadai. Begitu juga halnya dengan tanggung-menanggung, bilamana

debitur dalam perjanjian hutang piutang tersebut melakukan wanprestasi dalam

pemenuhan kewajibannya, maka ada pihak lain yang ikut bertanggung jawab atas

perbuatan debitur dan bertanggung jawab secara bersama-sama untuk pemenuhan

kewajiban debitur kepada kreditur.

Sedangkan perjanjian garansi di sini maksudnya adalah apabila dalam

perjanjian hutang piutang antara debitur dengan kreditur di kemudian hari terjadi

57

wanprestasi / tidak dipenuhinya kewajiban sesuai dengan perjanjian disepakati,

maka pihak lain yang di dalam perjanjian tersebut akan memberikan garansi

bahwa hutangnya akan dilunasi sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dalam

perjanjian tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan jaminan kebendaan adalah

jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai hubungan

langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu

mengikuti bendanya dan dapat dialihkan.Adapun maksud dari jaminan yang

bersifat kebendaan ini adalah bermaksud memberikan hak verbal (hak untuk

meminta pemenuhan piutangnya) kepada si kreditur, terhadap hasil penjualan

benda-benda tertentu dari debitur untuk pemenuhan piutangnya.

2.2.3. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Setiap perjanjian yang diadakan oleh para pihak pada umumnya

selalu menimbulkan hak dan kewajiban diantara mereka, demikian juga

dalam perjanjian hutang piutang dengan jaminan benda bergerak atau

gadai, menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang

mengadakan perjanjian. Para pihak yang saling berhadapan mengadakan

perjanjian, yaitu si pemberi gadai sebagai pihak yang menyerahkan

barang sebagai jaminan dengan maksud untuk mendapatkan uang

pinjaman.Sedangkan si penerima gadai adalah pihak yang mempunyai

hak gadai terhadap uang jaminan sampai diserahkan dan ditebus kembali

oleh si pegadai. Dengan adanya perjanjian gadai tersebut menimbulkan

hak dan kewajiban bagi para pihak, yang mana telah diatur dalam

KUHPeryaitu :

58

1. Hak penerima gadai :

a. Si penerima gadai dalam hal si pemberi gadai melakukan

wanpretasi yaitu tidak memenuhi kewajiban, maka setelah

jangka waktu yang ditentukan itu lampau, si penerima gadai

berhak menjual benda yang digadaikan itu atas kekuasaan

sendiri. Kemudian hasil dari penjualan itu diambil sebagian

untuk melunasi hutang pemberi gadai dan sisanya

dikembalikan kepada kreditur. Penjualan itu dilakukan di muka

umum berdasarkan syarat-syarat yang berlaku.

b. Si penerima gadai berhak untuk mendapatkan pengembalian

ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan untuk keselamatan

barangnya.

c. Si penerima gadai berhak untuk menahan barang tersebut, itu

terjadi jika setelah adanya perjanjian hutang yang kedua antara

pihak dan hutang yang kedua ini sudah dapat ditagih sebelum

pembayaran hutang yang pertama, maka dalam keadaan yang

demikian itu si penerima gadai wenang untuk menahan benda

itu sampai kedua hutang tersebut dilunasi.

2. Kewajiban penerima gadai

a. Si penerima bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya

harga barang yang digadaikan.

b. Kewajiban untuk memberikan pemberi gadai jika barang gadai

dijual.

59

c. Bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai.

3. Hak pemberi gadai

a. Berhak untuk menuntut ganti rugi atas barang gadai yang

hulang atau rusak.

b. Berhak menerima uang kelebihan atas hasil penjualan lelang

barang gadai.

4. Kewajiban pemberi gadai

a. Membayar kembali sejumlah uang pinjaman.

b. Mengganti kepada si penerima gadai segala biaya yang berguna

dan diperlukan untuk keselamatan barang gadai.

c. Membayar ongkos lelang atau barang-barangnya yang dilelang.

Biaya atau ongkos tersebut dipotong dari hasil penjualan

barang jaminan.

2.2.4. Benda Gadai Bukan Hak MilikPemberi Gadai

Saat ini meningkatnya kebutuhan hidup masyarakt bagi sebagian

warga masyarakat berarti semakin sulit pula kemampuan untuk

memenuhi kebutuhan itu. Banyak masyarakat yang kekurangan dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya menggunakan jasa Perum Pegadaian

dalam mencari dana atau kredit dengan menyerahkan barang sebagai

jaminan kepada penerima gadai.

Contoh : B telah mencuri sebuah televisi dari A kemudian menjual dan

menyerahkan kepada C.

60

Pada kasus ini, kewenangan berhak yang nampak pada B terjadi

sama sekali diluar kehendak dan perbuatan A. Hilangnya kekuasaan A

atas televisi tersebut tidak terjadi secara sukarela, maka ia diberikan

kesempatan tiga tahun untuk menuntut kembali televisi tersebut dari

penerima ketiga yang beritikad baik. Perlindungan terhadap A sebagai

pemilik barang dapat dilihat dalam pasal 1977 ayat (2) KUHPer yang

berbunyi :

Siapa yang kehilangan atau kecurian suatu barang, didalam jangka

waktu tiga tahun, terhitung sejak hari hilangnya atau dicurinya

barang itu, dapatlah ia menuntut kembali barangnya yang hilang

atau dicuri itu sebagai miliknya, dari siapa yang dalam tangannya

ia ketemukan barangnya, dengan tak mengurangi hak si yang

tersebut belakangan ini untuk minta ganti rugi kepada orang dar i

siapa ia memperoleh barangnya, lagi pula dengan siapa dengan tak

mengurangi ketentuan-ketentuan dalam pasal 582.

Dalam hal pemilik barang menuntut kembali haknya maka ia tidak

diwajibkan mengganti sejumlah uang atau barang sebagai kompensasi

pengambilan barang miliknya ditangan orang tersebut. Hal ini disbutkan

pada pasal 582 KUHPer sebagai berikut :

Barangsiapa menuntut kembalinya sesuatu kebendaan yang telah

dicuri atau dihilangkan, tak diwajibkan memberi pergantian

kepada si yang memegangnya, untuk uang yang telah

dibayarkannya guna membelinya, kecuali kebendaan itu dibelinya

di pasar tahunan atau pasar lainnya, di lelangan umum, atau dari

seorang pedagang yang terkenal sebagai seorang yang biasanya

memperdagangkan barang-barang sejenis itu. 21

21

Ibid, h. 173.

61

Bilamana kemungkianan untuk menuntut kembali barangnya

selama jangka waktu 3 tahun ini dibiarkan berlalu maka C berkuasa

mutlak atas benda tersebut.

Pegadaian dalam menerima barang tersebut berdansar pada

ketentuan pasal 1977 ayat (1) KUHPer yang berbunyi :

Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun

piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang

siapa yang menguasainya dianggap pemiliknya.22

Arti pasal tersebut bahwa penerima gadai dalam menerima barang

gadai dari pembawa barang, tiak perlu mengetahui bahwa pemegang

benda tersebut adalah tidak berhak atas benda yang dibawanya. Di

samping ketidak tahuan, sebagai bagian nyata yang menjadi persyaratan

adalah adanya itikad baik dengan kata lain penerima gadai berkewajiban

untuk mendapatkan kepastian tentang adanya kewenangan berhak

daripada orang yang lebih dahulu berhak, sehingga meskipun penerima

gadai menerima barang dari orang yang tidak berhak atas barang

tersebut, ia tidak dapat disalahkan.

Untuk mengetahui apakah seseorang berhak atas suatu barang,

penerima gadai perlu mengetahui dengan menyelidiki tiga hal sebagai

berikut :

1. Adanya suatu persetujuan kebendaan dengan mana hak atas benda

itu dipindahkan.

2. Kewenangan berhak dari orang yang memindahkan.

22Ibid, h. 493.

62

3. Adanya suatu alas hak yang sah artinya adanya hubungan hukum

untuk menyerahkan hak atas barangnya dari pemilik pertama

kepada pemegang barang. 23

Dari ketentuan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa

pegadaian akan menganggap si pembawa barang gadai sebagai pemilik.

Pihak berwajib dapat mengambil barang gadai tersebut bila membawa

surat keterangan dari Pengadilan yang menyatakan bahwa barang gadai

tersebut diperlukan sebagai bukti dalam persidangan. Untuk menjaga

keamanan dan menghindari kerusakan barang gadai, yang biasanya

diserahkan oleh pihak pegadaian kepada Pengadilan hanya berupa foto

dari barang gadai tersebut.Hal itu dilakukan agar pegadaian sebagai

penerima gadai dapat memelihara, menjaga dan mengamankan barang

gadai sesuai dengan kewajiban dari pegadaian.

Apabila pengadilan memaksa barang tersebut menjadi bukti dan

dihadirkan didepan sidang, maka pegadaian akan menyerahkan barang

gadai tersebut dan pegadaian akan terus memantau keberadaan barang

gadai tersebut. Pegadaian akan menunggu keputusan yang akan diberikan

oleh pengadilan. Apabila pengadilan memutuskan si pemberi gadai

adalah terbukti bersalah tidak berhak atas barang yang digadaikan

tersebut, maka ia akan dikenakan hukuman penjara dan barang hasil

curian dikembalikan kepada barang yang sebenarnya. Pegadaian akan

23

Soetijo Prawirohamidjojo R dan Marthalena Pohan, 1980, Bab-Bab tentang

Hukum Benda , PT. Bina Ilmu, Surabaya, h. 76.

63

melepaskan barang gadai tersebut dengan syarat, pegadaian harus

mendapatkan kembali uang pinjaman dari sewa modal yang diberikan

kepada pemberi gadai yang tidak berhak tadi atau diberikan ganti

kerugian kepada pegadaian atas pinjaman dari sewa modal oleh pemilik

barang yang terbukti berhak dalam putusan persidangan.

Dalam prakteknya di Perum Pegadaian seseorang nasabah yang

meminjamkan uang dengan jaminan gadai, pihak pegadaian menilai

dengan baik dan jujur pemberi gadai, disamping itu meminta pula surat

barang tersebut hilang, maka untuk membuktikan bahwa barang itu

miliknya harus ada surat keterangan yang menunjukkan kepemilikan atas

barangnya. Namun tidak menghilangkan juga kemungkinan bahwa

perjanjian gadai terjadi didasarkan keyakinan penerima gadai atas

kepemilikan suatu barang.24

2.2.5. Berakhirnya Gadai

Sebelum berbicara masalah berakhirnya gadai terlebih dahulu

diuraikan tentang berakhirnya perjanjian, karena gadai terjadi didasari

atas perjanjian konsensuil sebelum perjanjian kebebasan berkontrak

ditanda tangani. Berakhirnya masa berlaku suatu perjanjian atas hak

gadai akan dapat dilihat berdasarkan pasal -pasal yang menganut asas-

asas dari perjanjian.

Dari pasal-pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa

berakhirnya suatu perjanjian adalah :

24

Wirjono Prodjodikoro II, op.cit,h.37.

64

1. Telah berakhirnya jangka waktu yang telah ditentukan dalam

perjanjian yaitu selesainya batas waktu yang telah ditentukan.

2. Debitur telah menyesuaikan jumlah nilai uang yang diwajibkan

untuk mengembalikannya.

3. Perwujudan dari pelaksanaan hak bank untuk secara sepihak

mengakhiri jangka waktu kredit.25

Demikianlah beberapa aspek hukum yang dapat lahir akibat dari

tidak ditaati perjanjian, baik yang menyangkut pihak debitur maupun

pihak nasabah.

Terhadap hak gadai dikatakan berakhir apabila :

a. Tanggal yang telah ditentukan telah lewat, maka Perum Pegadaian

melelang barang tersebut dan jika ada sisa/uang kelebihan dari

hasil lelang maka akan diterima kembali olrh pihak nasabah;

b. Apabila belum tiba jatuh tempo yang telah ditentukan nasabah

telah melunasi haknya, sehingga pada saat itu juga hak gadainya

dinyatakan telah selesai.

Dalam menentukan batas waktu pelunasan gadai yang dilakukan

oleh Perum Pegadaian, itu tergantung dari jenis dan bentuk SBKnya.

Jadi antara jangka waktu pinjaman yang satu dengan yang lain tidak

sama tentang batas waktu pelunasannya. Untuk SBK golongan A dan B

25

M.Yahya Harahap, 1986, Segi Segi Hukum Perjanjian , Alumni Bandung,

Bandung, hal 212.

65

lamanya pinjaman atau batas waktu pelunasannya adalah 80 hari 6

(enam) bulan dan baru dilelang pada awal bulan ke-8.

Sedangkan untuk SBK untuk golongan C dan D lama pinjamannya

atas batas waktu pelunasannya adalah 90 hari 3 (tiga) bulan, dan akan

dilelang pada awal bulan ke-5. Jadi dalam hal ini ada tenggang waktu

kurang lebih 1,5 bulan, yang mana dalam tenggang waktu tersebut

terlepas dari perhitungan bunga, inilah merupakan suatu keringanan bagi

nasabah.

Apabila ada nasabah yang mau melunasi hutangnya tadi dalam

tenggang waktu tersebut maka bunganya hanya dihitung sebatas jangka

waktu dari pinjaman itu.Hal inilah yang menunjukkan bahwa Perusahaan

Umum Pegadaian lebih mengutamakan pelayanan pada masyarakat

daripada mencari untung semata, karena perusahaan tersebut berbadan

Perum.

Dengan berpedoman pada ketentuan tersebut di atas diharapkan

dapat mendorong masyarakat untuk menggunakan jasa pelayanan

Perusahaan Umum Pegadaian daripada menggunakan jasa lembaga lain

yang tak resmi seperti lintah darat, rentenir atau para pelepas uang yang

tak wajar yang nantinya menyusahkan bagi dirinya sendiri.