6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei)
Udang vannamei termasuk genus Penaeus dan subgenus Litopenaeus.
Berikut merupakan taksonomi dari udang vannamei:
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Infraordo : Penaeidea
Superfamili : Penaeioidea
Famili : Panaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei Boone.
(Haliman dan Adijaya, 2005).
Udang vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti
kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh digunakan
7
untuk makan, bergerak, membenamkan diri ke dalam lumpur, menopang insang,
dan organ sensor. Morfologi tubuh udang vannamei dapat ditunjukkan pada
gambar 2.1.
Gambar 2.1. Morfologi Udang Vannamei (Haliman dan Adijaya, 2005)
Kepala udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan
dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang
maxillipied untuk makan dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki
sepuluh (decapoda). Endopodit kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang
dihubugkan oleh coxa. Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut
disebut basis, 6 ischium, merus, carpus, dan cropus. Genus penaeus ditandai
dengan adanya gigi pada bagian atas dan bawah rostrum serta hilangnya bulu
cambuk (setae) pada tubuhnya. Secara khusus udang ini memiliki 2 gigi pada tepi
rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal (Haliman dan
Adijaya, 2005).
Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) berasal dari daerah subtropis
pantai barat Amerika, mulai dari Teluk California di Mexico bagian utara sampai
pantai barat Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah
hingga ke Peru di Amerika Selatan yang kemudian resmi diizinkan masuk ke
8
Indonesia melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI. No. 41/2001, dimana
produksi udang windu menurun sejak 1996 akibat serangan penyakit dan
penurunan kualitas lingkungan (Tim Perikanan WWF, 2014).
Udang vannamei mulai banyak di budidayakan di Indonesia dan
dijadikan sebagai pengganti dari udang windu. Hal ini disebabkan udang windu
sering mengalami kematian massal akibat virus. Udang vannamei banyak
dibudidayakan karena udang vannamei banyak mempunyai keunggulan
diantaranya yaitu dapat mencapai ukuran besar, dapat tumbuh secepat udang
windu (3 g/minggu), dapat dibudidayakan pada kisaran salinitas yang lebar (0,5-
45 ppt), kebutuhan protein yang lebih rendah (20-35%) dibanding udang windu
dan dapat ditebar dengan kepadatan tinggi hingga lebih dari 150 ekor/m2.Selain
itu udang ini mempunyai toleransi terhadap penurunan salinitas, resisten terhadap
penyakit sehingga cocok untuk dibudidayakan di tambak serta harga udang
vannamei cukup mahal membuat permintaan udang vannamei meningkat setiap
tahunnya (Briggs et al., 2004).
Udang vannamei merupakan salah satu komoditas perikanan andalan
Indonesia yang jumlah produksinya meningkat setiap tahunnya. Data produksi
dan data ekspor udang dari tahun 2010 hingga September 2014 ditunjukkan pada
tabel 2.1.
9
Tabel 2.1. Data Volume Produksi dan Ekspor Udang 2010 hingga September 2014
(Dirjen Perikanan Budidaya, 2014).
Bali merupakan provinsi yang mampu memproduksi 2.932 ton udang
vannamei pada tahun 2013 dan 3.104 ton hingga September 2014. Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan produksi komoditas udang di
Indonesia pada tahun 2015 akan naik 32 persen dibandingkan tahun sebelumnya
dengan target produksi sebesar 785.900 ton (Dirjen Perikanan Budidaya, 2014).
Meningkatnya angka produksi juga diiringi dengan peningkatan jumlah
limbah udang. Udang diekspor 90% berada dalam bentuk beku tanpa kulit dan
kepala sehingga dari proses pembekuan tersebut dihasilkan limbah berupa kulit
dan kepala udang (Natsir et al., 2007; Arif dkk., 2013). Limbah ini selanjutnya
disebut bio-waste dengan perolehan rata rata 45-55% dari bobot udang
keseluruhan (Lertsutthiwong et al., 2002). Knorr (1984) dalam Hossain (2013)
menyatakan bahwa limbah kulit udang mengandung 30-40% protein, 30-50%
kalsium karbonat, dan 20-30% kitin.
10
2.2. Kitin (Poli β-(1,4)-2-Asetamida-2-Deoksi-D-Glukosa)
Kitin merupakan senyawa organik kedua yang paling melimpah di bumi
setelah selulosa. Sejarah penemuan kitin dimulai pada tahun 1811 oleh Henry
Broconnot sebagai hasil isolasi dari jamur, sedangkan kitin dari kulit serangga
diisolasi pertama kali pada tahun 1820-an (Brine, 1984). Kitin berasal dari bahasa
Yunani yaitu Kiton yang berarti baju rantai dan besi. Hal ini sesuai dengan
fungsinya sebagai pelindung untuk hewan hewan golongan invertebrata.
Secara struktural kitin sama seperti selulosa, perbedaannya adalah kitin
merupakan polisakarida amino yang memiliki gugus asetamida (-NHCOCH3)
pada karbon no.2 dan terdiri dari β-(1,4)-2-asetamida-2-deoksi- β-D-glukosa atau
merupakan senyawa poli β-(1,4)-N-asetil-D-glukosamin dengan struktur seperti
pada gambar 2.2.
Gambar 2.2. Struktur Kimia Kitin (Dutta, et al., 2004)
Kitin berada dalam bentuk terikat secara kovalen dengan protein serta
dilapisi mineral kalsium karbonat sehingga menjadi matriks yang keras. Kitin
terdapat melimpah pada kulit kepiting, kulit udang, dan dinding sel jamur serta
pada serangga. Kandungan kitin pada crustacean berkisar 20-30% (Knorr, 1984).
Berdasarkan sumber biosintesisnya kitin ditemukan pada lebih dari 106 spesies
11
yang dibedakan dalam bentuk 3 polimorfisme yaitu α-kitin, β-kitin, dan γ-kitin
(Tolaimate et al., 2003). Kecenderungan polimorfisme digambarkan seperti
gambar 2.3.
Gambar 2.3. Bentuk Polimorfisme dari Kitin (Kumirska, 2011)
Menurut gambar 2.3 dapat dijelskan bahwa β-kitin yang dihasilkan dari
cumi-cumi dan γ-kitin dari golongan fungi sangat mudah dikonversi menjadi α-
kitin dengan perlakuan basa sehingga α-kitin yang dihasilkan oleh Crustacean
lebih banyak digunakan dalam bidang bidang industri (Noishiki et al., 2003).
Kitin merupakan molekul yang stabil terhadap asam dan basa
dibandingkan komponen kulit crustacean yang lain sehingga untuk memisahkan
kitin dari komponen yang lain dapat digunakan dengan asam dan basa. Kitin
berwarna putih, keras, tidak elastis, polisakarida yang mengandung nitrogen. Kitin
mempunyai sifat utama sangat sulit larut dalam air dan beberapa pelarut organik
sehingga reaktifitas kimianya rendah. Menurut Dutta et al. (2004), kitin dapat
larut dalam Hexafluoroisopropanol, Hexafluoroaseton, dan Kloroalkohol dengan
konjugasi asam mineral dan Dimetilasetamida (DMAc) yang mengandung 5%
Litium klorida (LiCl). Kitin dimanfaatkan sebagai prekursor kitosan dengan
produk yang lebih applicable (Jayakumar et al., 2010).
12
2.3. Kitosan (Poli β-(1,4)-Amino-2-Deoksi-D-Glukosa)
Kitosan adalah polisakarida alam yang diperoleh dari deasetilasi kitin
dengan penambahan larutan basa kuat berkonsentrasi tinggi sehingga
menimbulkan substitusi gugus asetil dengan hidrogen menjadi gugus amino
(Bastaman, 1989). Berikut merupakan struktur dari kitosan:
Gambar 2.4. Struktur Kimia Kitosan (Dutta et al., 2004)
Kitosan memiliki bentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktur
kristal yang tidak berubah dari bentuk kitin mula-mula (Prasetyaningrum dkk.,
2007). Kitosan merupakan produk deasetilasi dari kitin. Penggantian struktur
asetil menjadi amina membuat kitosan lebih aktif bereaksi sehingga lebih mudah
melarutkan kitosan dalam pelarut yang lebih aman seperti asam asetat. Adanya
gugus amino juga memberi sifat polikationik sehingga kitosan dapat digunakan
untuk mengikat lemak (antikolesterol), mengkelat logam (penanganan limbah),
mengikat zat warna (Dutta et al., 2004).
Kitosan merupakan senyawa dengan harga pKa 6,5. Kelarutan kitosan
bergantung pada pH. Jika pH dibawah 6,5 maka kitosan akan mengalami
protonasi gugus amino sehingga akan meningkatkan kelarutannya (Kumirska et
al., 2011) Spesifikasi kitosan seperti yang tertera pada tabel 2.2.
13
Tabel 2.2. Spesifikasi Kitosan Spesifikasi Keterangan
Warna Putih Bentuk Kristal Berat Molekul 1-5.105 Dalton
Derajat Deasetilasi 60% secara umum; 90-100% deasetilasi penuh.
Kadar Air 2-10% Kadar Abu <2% Nitrogen 7-8,4% Viskositas
Rendah Medium Tinggi Sangat Tinggi
<200 Cps 200-800 Cps 800-2000 Cps >2000 Cps
(Jamaludin, 1994; Suhardi, 1993 dalam Mastuti, 2005).
2.4. Metode Ekstraksi Kitin dan Kitosan
Ekstraksi kitin dan sintesis kitosan terdiri dari 3 tahapan utama
demineralisasi, deproteinisasi, dan deasetilasi, serta tahapan penunjang yaitu
dekolorisasi (Hossain, 2013; Sofia dkk., 2010). Tahapan ekstraksi ini bersifat
tidak mutlak karena kualitas produk yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh
metode yang digunakan dalam mengekstraksi kitin dan kitosan. Pada penelitian
Sofia dkk. (2010) proses dengan urutan demineralisasi, deproteinisasi, deasetilasi,
dan dekolorisasi memberikan hasil rendemen kitosan tertinggi yaitu 19,3% dari
bobot kulit udang windu yang digunakan.
Menurut agen yang digunakan untuk mengektraksi kitin, metode
ekstraksi dibedakan menjadi 2 yaitu ekstraksi secara kimia dan biologi (Arbia et
al., 2013). Pada tahap preparasi kitin (demineralisasi dan deproteinisasi), secara
biologi dapat digunakan fermentasi jamur (contoh: Aspergillus), fermentasi
bakteri (contoh: Lactobacillus), atau dengan menggunakan enzim protease
14
(contoh: Alkalase). Akan tetapi semua metode tersebut memerlukan kondisi yang
spesifik dan mahal. Secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan HCl
untuk demineralisasi dan NaOH sebagai deproteinisasi. Metode kimia ini penuh
dengan pengembangan metode karena sangat mudah untuk dilakukan (Khan et al.,
2001). Selain itu menurut penelitian Beaney et al. (2005) dalam Xu et al. (2013),
ditemukan bahwa kualitas kitin yang diekstraksi dengan metode kimia lebih
mendekati kitosan standar jika dibandingkan dengan metode biologi dengan
proses fermentasi menggunakan bakteri asam laktat terhadap cangkang Neprhrops
norvegicus ditinjau dari segi viskositas yang berhubungan linier dengan
kemudahan produk untuk diaplikasikan (applicable).
a. Demineralisasi
Merupakan proses penghilangan mineral dari cangkang udang. Secara
kimia dapat dilakukan dengan perendaman menggunakan reagen asam seperti
HCl, HNO3, H2SO4, CH3COOH, dan HCOOH akan tetapi HCl merupakan reagen
yang paling sering digunakan (Percot et al., 2003). Menurut penelitian Mahmoud
et al. (2007), asam mineral (HCl) memberikan hasil penghilangan mineral terbaik
jika dibandingkan dengan asam laktat dan asam asetat dalam proses
demineralisasi ditinjau dari penurunan jumlah mineral setelah proses
demineralisasi dari 13,44% menjadi 0,12%. Sedangkan pada penelitian Hendri
dkk. (2007), HCl juga merupakan agen demineralisasi terbaik dibandingkan
HNO3 dan H2SO4 ditnjau dari recovery kitin tertinggi mencapai 53,4% dari 62,5%
bobot sampel yang digunakan.
15
b. Deproteinisasi
Merupakan proses untuk memisahkan ikatan kitin dengan protein yang
terdapat di dalam kulit udang. Kitin berada dalam bentuk terikat secara kovalen
dengan protein serta dilapisi mineral kalsium karbonat sehingga menjadi matriks
yang keras (Younes and Rinaudo, 2015). Untuk mengekstraksi protein dilakukan
dengan perendaman dengan larutan alkali encer yang akan memutus ikatan kitin
dan protein serta melarutkan protein sehingga kitin dapat dipisahkan dengan cara
filtrasi (Peniston and Johnson, 1975).
Secara kimia deproteinisasi dapat dilakukan dengan perendaman dengan
larutan basa seperti NaOH, KOH, dan Ca(OH)2 (Younes and Rinaudo, 2015).
NaOH merupakan basa yang paling sering dan murah untuk digunakan. Sebagian
besar penelitian menerapkan proses ini dengan melakukannya pada suhu 60-70°C
dengan menggunakan larutan NaOH 1 M dengan perbandingan serbuk udang
dengan NaOH = 1:10 (gram serbuk/ml NaOH) sambil diaduk selama 120 menit.
Kemudian campuran dipisahkan dengan disaring untuk diambil endapannya
Pencucian endapan dilakukan dengan menggunakan aquadest sampai pH netral.
Selanjutnya disaring untuk diambil endapannya dan dikeringkan (Hargono dkk.,
2008).
c. Deasetilasi
Deasetilasi merupakan penghilangan gugus asetil (-NHCOCH3) kitin
untuk digantikan dengan gugus amina (-NH2) dengan menggunakan basa kuat
berkonsentrasi tinggi. Reagen yang biasa digunakan adalah NaOH (Mastuti,
2005). Transformasi kitin menjadi kitosan mengakibatkan berkurangnya massa
16
awal. Pada percobaan Arifin (2012), pengurangan massa berkisar 9-26% pada
penaikan konsentrasi 55% hingga 70% NaOH.
Faktor yang mempengaruhi deasetilasi pada penelitian yang dilakukan
Arifin (2012) adalah konsentrasi NaOH, suhu reaksi dan waktu reaksi. Semakin
tinggi konsentrasi NaOH, suhu reaksi ataupun waktu reaksi yang semakin lama
akan memperbanyak gugus asetil yang digantikan oleh gugus amina. Pada
penelitian Purwanti dan Yusuf (2013), penggunaan NaOH 55% tidak memberikan
perbedaan nilai kelarutan kitosan dalam asam asetat yang bermakna dengan
penggunaan NaOH 50% dalam proses deasetilasi yaitu dari 95,8 dan 94,53%
sehingga NaOH 50% merupakan konsentrasi optimum yang digunakan untuk
deasetilasi kitin.
2.5. Asam Salisilat (Asam-O-Hidroksi Benzoat)
Asam salisilat (C7H6O3) mengandung tidak kurang dari 99,5% dengan
bobot molekul (BM) 138,12 gram/mol. Pemerian hablur ringan tidak berwarna
atau serbuk berwarna putih, hampir tidak berbau, rasa agak manis dan tajam.
Kelarutan larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (95%), mudah
larut dalam kloroform dan dalam eter, larut dalam larutan ammonium asetat,
dinatrium hidrogenfosfat, kalium sitrat dan natrium sitrat. Khasiat dan
penggunaan keratolitikum, anti fungi (Depkes RI,1979).
17
Struktur asam salisilat ditunjukkan pada gambar 2.5.
Gambar 2.5. Struktur Kimia Asam Salisilat (Foye, 1995).
Asam salisilat merupakan salah satu asam organik yang pertama kali
diisolasi dari pohon dedalu (Salix sp.). Asam organik ini memiliki kemampuan
untuk menembus sel epidermis dan menyebabkan pembengkakan sel yang disebut
dengan mekanisme keratolitik. Oleh karena itu asam salisilat sering digunakan
untuk meningkatkan penetrasi obat topikal untuk memberikan efek yang
maksimal (Merrinville et.al., 2009).
Kemampuan ini selanjutnya dimanfaatkan Toan (2011) dalam
mengisolasi kitin dan dari limbah cangkang udang windu (Black Tiger Shrimp)
untuk memperoleh kitosan yang dapat membentuk membran plastis yang kuat dan
meningkatkan recovery karena dapat melunakkan cangkang udang sehingga
memaksimalkan penetrasi agen demineralisasi dan deproteinisasi dalam mengikat
mineral dan protein pada cangkang udang (Toan, 2011).
2.6. Derajat Deasetilisasi (DD)
Derajat deasetilasi (DD) merupakan banyaknya gugus amino bebas
dalam polisakarida kitosan yang secara langsung akan mempengaruhi
karakteristik kitosan yang dihasilkan. Kitin yang memiliki DD lebih dari 75%
18
disebut dengan kitosan. Derajat deasetilisasi yang tinggi akan memberikan
viskositas, kelarutan dan biokompatibilitas yang tinggi sehingga produk menjadi
lebih apllicable dan stabil (Kumirska et al., 2011).
Penentuan DD dapat dilakukan dengan titrasi asam basa (Hossain and
Iqbal, 2014; Purwanti, 2014). Titrasi ini memiliki prinsip penetralan larutan asam
dan gugus amina dari kitosan dengan menggunakan larutan basa yang telah
distandarisasi sehingga indikator yang digunakan adalah metilen jingga (Puvvada
et al., 2012). Kitosan dilarutkan dalam HCl akan menghasilkan warna merah
ketika ditetesi indikator metilen jingga dan selanjutnya dititrasi dengan NaOH
hingga berubah warna menjadi jingga (Hossain and Iqbal, 2014).
Menurut Kusumaningsih (2004) dalam Mastuti (2005), kualitas kitosan
secara umum memiliki DD 60% sedangkan pada Hossain and Iqbal (2014)
minimal dikatakan kitosan jika DD 75%. Untuk kualitas teknis kitosan yang
digunakan harus memiliki DD minimal 85%, untuk kualitas makanan, kitosan
yang digunakan memiliki DD 90% sedangkan dalam kualitas kitosan yang
dimanfaatkan dalam bidang farmasetis harus memiliki DD minimal 95% (Mastuti,
2005).
2.7. Viskositas
Viskositas merupakan parameter yang berhubungan dengan kekentalan
suatu bahan yang akan mempengaruhi stabilitas fisiknya. Dalam penelitiannya
Ridwan dkk (2008) menyatakan bahwa viskositas adalah suatu sifat yang
menentukan besarnya daya tahan terhadap gaya geser atau dapat didefinisikan
19
sebagai ketahanan terhadap aliran. Viskositas dari sutau fluida dihubungkan
dengan tahanan terhadap gaya yang menggeserkan fluida pada lapisan yang satu
dengan yang lain. Alat yang digunakan untuk mengukur viskositas disebut dengan
viskometer yang terdiri dari berbagai macam contoh yaitu Viskometer Ostwald
untuk mengukur waktu yang diperlukan suatu fluida untuk mengalir melalui pipa
kapiler, Viskometer Lehman untuk membandingkan kecepatan aliran fluida
dengan cairan pembanding yaitu air, Viskometer Bola Jatuh-Stoke untuk
mengukur kecepatan bola jatuh dalam suatu fluida akibat gaya gravitasi (Bird,
1993).
Viskometer yang digunakan pada penelitian ini adalah viskometer
brookfield tipe DV-E yang dilengkapi dengan spindel yang akan berputar sesuai
dengan kecepatan Rad per Minute (rpm) yang telah diatur. Keunggulan
menggunakan viskometer ini adalah praktis dan cepat untuk dilakukan jika
terdapat pustaka yang mendukung dalam penentuan nomor spindel dan kecepatan
putar spindel.
2.7. Spektrofotometri UV-Visibel
Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara
suatu radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia (Depkes
RI, 1995). Spektrofotometri visibel menggunakan teknik analisis spektroskopik
yang memakai sumber radiasi elektromagnetik sinar tampak (380 nm-780 nm)
dengan memakai instrumen spektrofotometer (Gandjar dan Rohman, 2007).
20
Prinsip penentuan spektrofotometer UV-Vis adalah aplikasi dari Hukum
Lambert-Beer yang perhitungannya sesuai dengan persamaan 2.1.
...................................................... (2.1)
Dimana :
A = Absorbansi dari sampel yang akan diukur
T = Transmitansi
Io = Intensitas sinar masuk
It = Intensitas sinar yang diteruskan
ε = Koefisien ekstingsi
b = Tebal kuvet yang digunakan
C = Konsentrasi dari sampel
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah
panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Dalam menghitung
konsentrasi larutan uji maka terlebih dahulu dibuat kurva hubungan antara
absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi
tertentu seperti pada gambar 2.6.
Gambar 2.6. Kurva Kalibrasi Spektrofotometri UV-Vis (Gandjar dan Rohman,
2007)
A = - log T = - log It / Io = ε . b . C
21
Menurut hukum Lambert-Beer absorban berbanding lurus dengan
konsentrasi. Pada kurva kalibrasi akan diperoleh suatu persamaan regresi yang
menyatakan hubungan linier antara absorbansi dan konsentrasi larutan (Gandjar
dan Rohman, 2007).
Salah satu pemanfaatan spektrofotometri yang dilakukan oleh Henri dkk.
(2007) adalah dapat digunakan dalam penetapan kadar protein dalam sampel.
Metode penetapan protein ini disebut dengan metode kolorimetri yang dapat
dilakukan dengan metode biuret. Prinsip penetapan kadar protein ini adalah
dengan mereaksikan sampel yang mengandung protein dengan reagen biuret yang
salah satu komponennya yaitu CuSO4. Adanya ion Cu2+ akan bereaksi dengan
gugus amina pada protein sehingga menghasilkan warna ungu yang kemudian
dianalisis absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm. Kadar protein pada
sampel dapat dihitung berdasarkan kurva kalibrasi yang dihasilkan pada
pengukuran absorbansi standar protein (Henri dkk., 2007).