20
BAB III
Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra
3.1 Data Catatan Sejarah Gempa Besar di Zona Subduksi Sumatra
Data catatan sejarah gempa besar pada masa lalu yang pernah terjadi di suatu
daerah dapat diperoleh dari cerita masyarakat serta penelitian-penelitian kebumian.
Salah satu penelitian gempa bumi paling tua yang dikenal oleh manusia adalah
penelitian pertumbuhan pada terumbu karang. Berdasarkan data penelitian
pertumbuhan terumbu karang di sekitar kepulauan Mentawai dan kepulauan Batu
yang dilakukan oleh LIPI bekerjasama dengan California Technology, gempa bumi
dengan kekuatan yang cukup besar pernah terjadi di sekitar daerah tersebut, yaitu
tahun 1381, 1608, 1797, 1833, dan terakhir tahun 1861 [Natawidjaja, 2004].
Gempa bumi yang terjadi di sekitar Sumatra sangat dipengaruhi oleh aktifitas
tektonik zona subduksi Sumatra. Sebagian besar gempa bumi yang terjadi di sekitar
Sumatra, baik gempa kecil maupun gempa besar, berasal dari zona subduksi tersebut.
Sejarah mencatat gempa bumi berkekuatan cukup besar pernah terjadi di zona
subduksi Sumatra, antara lain di sekitar kepulauan Mentawai dan kepulauan Batu
tahun 1797 (8,3 Mw), 1833 (9 Mw), dan 1935 (7,7 Mw), di sekitar Nias-Simeuleu
tahun 1861 (8,5 Mw) dan 1907 (8,5 Mw), hingga gempa Aceh-Andaman tahun 2004
(9,2 Mw) dan gempa Nias tahun 2005 (8,7 Mw), dengan bidang patah masing-masing
gempa seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.
21
Gambar 3.1 Catatan sejarah gempa besar yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra
[Natawidjaja, 2004].
Berikut catatan sejarah gempa besar yang terjadi di sekitar zona subduksi
Sumatra, yang dirangkum dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Catatan sejarah gempa besar yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra.
Lokasi Tahun Kekuatan (Mw)
Mentawai 1381 ?
Mentawai 1608 ?
Siberut 1797 8,3
Mentawai 1833 9
Nias-Simeuleu 1861 8,5
Aceh-Andaman 1881 7,9
Nias-Simeuleu 1907 8,5
Siberut-Kep. Batu 1935 7,7
Enggano 2000 7,9
Aceh-Andaman 2004 9,2
Nias-Simeuleu 2005 8,7
22
3.2 Tektonik Setting Zona Subduksi Sumatra
Sejarah tektonik setting di sekitar pulau Sumatra erat kaitannya dengan
peristiwa tumbukan antar lempeng yang terjadi antara lempeng Indo-Australia dan
lempeng Eurasia pada masa lalu. Peristiwa tumbukan tersebut mengakibatkan
rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai
dengan perubahan kecepatan relatif antar lempeng, yang sebelumnya bergerak bebas.
Manifestasi dari tumbukan lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia tersebut
membentuk zona subduksi di sepanjang pantai barat Sumatra serta patahan (sesar)
yang membentang dari utara hingga selatan Sumatra, yang dinamakan dengan Sesar
Semangko atau Sumatra Fault Zone (SFZ).
Lempeng tektonik bergerak relatif terhadap lempeng tektonik lain secara tidak
beraturan. Ketidak teraturan tersebut terutama dipengaruhi oleh pergerakan lempeng
tektonik disekitarnya yang berlainan pula, dan tentunya konfigurasi material batuan
lempeng yang tidak homogen itu sendiri. Suatu lempeng tektonik dapat terbagi lagi
kedalam blok-blok lempeng regionalnya, yang bergerak relatif satu sama lain.
Contohnya lempeng Eurasia yang terbagi lagi menjadi blok-blok lempeng regional,
yang salah satunya untuk wilayah Sumatra dan Indonesia bagian barat dinamakan
Sunda block.
Dalam kaitannya dengan studi potensi gempa bumi, deformasi yang terjadi
idealnya hanya dipengaruhi oleh fenomena yang diamati, tanpa pengaruh yang lain.
Deformasi yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra tentu saja dipengaruhi pula
oleh pergerakan lempeng regionalnya atau Sunda block. Sehingga untuk memperoleh
fenomena deformasi interseismic yang terjadi si sekitar zona subduksi Sumatra,
tentunya efek pergerakan Sunda block harus diekstrak terlebih dahulu. Berdasarkan
hasil pengamatan GPS yang terdapat di wilayah Sumatra dan sekitarnya, vektor
pergeseran Sunda block adalah ±2 cm/tahun yang bergerak relatif ke arah timur
[Calais, 2006].
23
Gambar 3.2 Pergerakan blok-blok tektonik pada lempeng regional Eurasia di Asia Tenggara.
Garis berwarna hijau menunjukkan lempeng regional Sunda block [Calais, 2006].
Tektonik setting di sekitar Sumatra menunjukkan bahwa aktifitas tektonik
disekitarnya telah mengakibatkan kemiringan penunjaman terhadap pulau Sumatra
telah terfragmentasi menjadi segmen-segmen akibat proses yang terjadi. Dari hasil
data GPS, deformasi interseismic dari vektor pergerakan segmen Bengkulu-Mentawai
cenderung searah dengan pergerakan lempengnya, sedangkan segmen Aceh-Nias
cenderung sejajar dengan garis sesar Sumatra, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
3.2. Hal ini menunjukkan bidang kontak (coupling zone) di segmen selatan relatif
lebih kuat daripada segmen utara. Sehingga dihipotesa bahwa coupling zone segmen
utara selain dipengaruhi aktifitas dari zona subduksi, dipengaruhi juga oleh aktifitas
tektonik lainnya seperti sesar besar Sumatra [Prawirodirdjo, 1997].
Sunda block
24
Gambar 3.3 Tektonik setting di zona subduksi Sumatra berdasarkan pola deformasi
interseismic, yang membagi zona subduksi Sumatra menjadi segmen utara-selatan. Panah
berwarna biru diperoleh dari data hasil pengamatan GPS, sedangkan panah berwarna coklat
diperoleh dari hasil pemodelan [Prawirodirdjo, 1997].
Perbedaan kecepatan pergerakan lempeng di masing-masing lokasinya
mengakibatkan perbedaan pula terhadap kecepatan penunjaman yang terjadi di zona
subduksi Sumatra. Dimana velocity rate per tahunnya yang diperoleh dari data GPS,
menunjukkan bahwa kecepatan penunjaman semakin besar menuju selatan di
sepanjang zona subduksi Sumatra bahkan hingga selatan Jawa. Seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.4, bahwa velocity rate di segmen Bengkulu-Mentawai
dari utara ke selatan adalah sekitar 57 mm/tahun hingga 60 mm/tahun.
25
Gambar 3.4 Tektonik setting di zona subduksi Sumatra berdasarkan velocity rate
penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Semakin ke selatan, velocity
rate penunjamannya semakin besar [Lasitha, 2006].
Selain itu, kemiringan (dip slip) penunjaman zona subduksi Sumatra juga
berbeda-beda. Dip slip dapat diketahui dari trend linier kedalaman sebaran gempanya,
dimana kedalaman sebaran gempa menunjukkan kedalaman dari coupling zone antar
kedua lempeng yang bersubduksi. Berdasarkan data sebaran gempa yang pernah
terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra, bahwa dip slip penunjaman menunjukkan
semakin ke selatan semakin besar atau dalam. Dari data kedalaman sebaran gempa
baik akibat gempa Aceh 2004 maupun gempa Nias 2005 menunjukkan dip slip
segmen Aceh-Nias ± 8o. Sedangkan dari data kedalaman sebaran gempa baik akibat
gempa maupun gempa susulan (aftershock) menunjukkan dip slip segmen Bengkulu-
Mentawai ± 12o.
Gambar 3.5 Menentukan dip slip dari data kedalaman sebaran gempa [Chlieh, 2008].
26
3.3 Gempa Bengkulu 2007
Wilayah Bengkulu-Mentawai telah sejak lama diketahui memiliki potensi
gempa bumi dengan skala besar. Data catatan sejarah gempa terbesar yang pernah
terjadi yaitu tahun 1797,1833, dan 1861. Berdasarkan penelitian pertumbuhan
terumbu karang yang telah dilakukan di Kepulauan Mentawai dan sekitarnya
[Natawidjaja, 2004], siklus gempa didaerah tersebut menunjukkan periode gempa
sekitar 200 tahun. Sebelum gempa 1797, 1833, dan 1861, dari hasil penelitian
pertumbuhan terumbu karang tersebut, diketahui bahwa gempa besar juga pernah
terjadi pada 1381 dan 1608. Gempa Bengkulu 2007 yang terjadi sebenarnya sudah
diprediksi sebelumnya, bahwa siklus gempa wilayah Bengkulu-Mentawai akan
berulang sekitar tahun 2000. Bahkan kemungkinan gempa akan terjadi lebih awal
diperkuat oleh fakta bahwa gempa Aceh 2004 dan Nias 2005 semakin menambah
tingkat ketegangan di daerah coupling zone. Namun perihal kapan dan dimana
tepatnya gempa akan terjadi, hingga kini teknologi yang ada belum sampai disitu.
Seperti yang telah diprediksi sebelumnya, gempa Bengkulu-Mentawai
akhirnya terjadi juga. Pada September 2007, serangkaian gempa bumi dengan
kekuatan yang cukup besar terjadi di sekitar pantai barat Bengkulu. Gempa bumi
berkekuatan 8,4 Mw terjadi pada 12 September 2007. Tak hanya sampai disitu, sehari
kemudian gempa bumi dengan kekuatan yang tak kalah hebatnya kembali terjadi, kali
ini bahkan hingga dua kali yaitu gempa berkekuatan 7,8 Mw di sekitar pulau Pagai
yang memecah keheningan pagi dan gempa berkekuatan 7,1 Mw di sekitar pulau
Sipora yang terjadi beberapa jam kemudian. Kedua gempa yang terjadi sehari
kemudian tersebut, sulit untuk diklasifikasikan sebagai gempa susulan karena
skalanya terlalu besar. Oleh karena itu, kedua gempa tersebut lebih cocok untuk
disebut sebagai sumber gempa baru yang terpicu oleh hentakan gempa yang pertama
[Meilano, 2007].
27
Berdasarkan bidang yang pecah saat gempa 1833, sebenarnya segmen
Bengkulu-Mentawai dikhawatirkan akan terjadi gempa besar dengan kekuatan hingga
9 Mw jika bidang tersebut pecah kembali secara bersamaan. Namun setelah rentetan
kejadian gempa 12 dan 13 September 2007 tersebut, kekhawatiran akan terjadi gempa
dengan kekuatan hingga 9 Mw menjadi lebih kecil. Seperti yang dapat dilihat pada
gambar 4.1, bahwa bidang gempa 1833 telah terpecah menjadi bidang-bidang yang
lebih kecil. Mekanisme ini disebut dengan stress transfer, yang juga dapat
mempercepat kemungkinan terjadinya gempa di wilayah sekitarnya yang belum
terjadi gempa. Sehingga rangkaian gempa tanggal 12 dan 13 September 2007
diperkirakan tidak berhenti sampai disitu, gempa tersebut juga akan mempercepat
terjadinya gempa di bidang gempa sekitar pulau Siberut yang belum pecah, seperti
pada Gambar 3.3 yang ditunjukkan dengan arsir berwarna merah.
Gambar 3.6 Bidang gempa 1833 dan 1861 yang sudah patah, yang ditunjukkan dengan
garis putus-putus kecil, dan bidang gempa yang belum patah, yag ditunjukkan dengan arsir
berwarna merah [Meilano, 2007].
28
Faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya suatu bidang potensi gempa akan
pecah sangat tergantung dari banyak faktor. Salah satu faktornya adalah tingkat
kuncian coupling zone bidang potensi gempa tersebut. seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa bagian selatan Sumatra tingkat kunciannya lebih kuat
dibandingkan bagian utara yang lebih rapuh [Prawirodirdjo, 1997]. Sehingga semakin
rendah tingkat kunciannya batas lempeng tersebut akan semakin mudah pecah. Hal ini
diperkuat juga dengan peristiwa pecahnya bidang gempa Bengkulu 2007 yang
tersegmen-segmen menjadi lebih kecil. Sedangkan segmen sekitar pulau Siberut yang
belum pecah mengindikasikan kembali bahwa tingkat kuncian didaerah tersebut lebih
kuat dibangkankan dengan bidang yang lain. Faktor yang mempengaruhi tingkat
kuncian juga sangat kompleks, kaitannya dengan struktur material batuan lempeng itu
sendiri yang heterogen.
Dari hipotesa awal data seismik dan geologi, gempa berskala 8.4 tersebut
diperkirakan meluluh lantakkan zona batas lempeng di bawah wilayah antara pulau
Enggano dan Pagai seluas ~300 x 100 km2 dan menggerakkan bumi di atasnya
beberapa meter, lebih kecil dibandingkan dengan gempa Aceh-Andaman yang luas
lempeng pecahnya mencapai 1600 km dan pergerakannya mencapai 30 meter. Bidang
batas lempeng di sekitar Bengkulu-Mentawai memiliki kemiringan yang landai
sekitar 12˚ ke arah timur sehingga pergerakan beberapa meter ke arah barat ini hanya
mengangkat dasar laut beberapa puluh sentimeter saja. Inilah penjelasan logis
mengapa tsunami yang terjadi tidak besar [Natawidjaja, 2007].
3.4 Pola Deformasi Interseismic Gempa Bengkulu 2007 dari Data GPS
Kontinyu SuGAr
Data GPS yang digunakan dalam analisis pola deformasi interseismic sebelum
gempa Bengkulu 2007 adalah data hasil pengolahan stasiun GPS kontinyu SuGAr.
Banyaknya data yang digunakan adalah selama ±120 hari sejak 1 Januari 2007.
Karena alasan ketersediaan data, maka stasiun GPS kontinyu SuGAr yang digunakan
berjumlah 22 stasiun dari 29 stasiun yang ada hingga tahun 2006. Adapun deskripsi
dari 22 stasiun tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.2, dengan sebaran lokasi seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 3.4.
29
Tabel 3.2 Deskripsi 22 stasiun GPS kontinyu SuGAr yang digunakan dalam analisis pola
deformasi interseismic sebelum gempa Bengkulu 2007.
No Nama Lokasi Bujur Lintang Instalasi
1 ABGS Air Bangis E 99° 23' 14'' N 0° 13' 14'' 03-09-2004
2 ACEH Banda Aceh E 95° 22' 6'' N 5° 34' 9"
3 BITI Biouti, Nias E 97° 48' 40'' N 1° 4' 43'' 22-08-2005
4 BSAT Bulasat, Pulau Pagai
Selatan
E 100° 17' 4'' S 3° 4' 36'' 21-09-2002
5 BSIM Bandara Simeuleu E 96° 19' 34'' N 2° 24' 33'' 01-02-2004
6 BTET Betaet E 98° 38' 38'' S 1° 16' 53'' 09-08-2005
7 BTHL Botohilithano E 97° 42' 38'' N 0° 34' 9'' 15-08-2005
8 JMBI Universitas Jambi E 103° 31' 13'' S 1° 36' 56'' 26-08-2004
9 LAIS Lais, Bengkulu E 102° 2' 1'' S 3° 31' 44'' 04-02-2006
10 LHWA Lahewa, Pulau Nias E 97° 10' 18'' N 1° 23' 48'' 14-02-2005
11 LNNG Lunang, Indonesia E 101° 9' 23'' S 2° 17' 7'' 22-08-2004
12 MKMK Bandara Muko-muko E 101° 5' 29'' S 2° 32' 33'' 23-08-2004
13 MLKN Malakoni, Pulau
Enggano
E 102° 16' 35'' S 5° 21' 9'' 02-08-2005
14 MNNA Manna, Bengkulu
Selatan
E 102° 53' 24'' S 4° 27' 1'' 28-02-2006
15 PBLI Pulau Balai E 97° 24' 19'' N 2° 18' 30'' 18-08-2005
16 PPNJ Pulau Panjang,
Tuapejat
E 99° 36' 13'' S 1° 59' 38'' 13-08-2004
17 PRKB Parak Batu, Pulau
Pagai Selatan
E 100° 23' 58'' S 2° 57' 59'' 07-08-2004
18 PSKI Pulau Sikuai E 100° 21' 12'' S 1° 7' 29'' 05-08-2002
19
PSMK Pulau Simuk E 97° 51' 39'' S 0° 5' 21'' 19-08-2002
20 SAMP Sampali, Sumatera
Utara
E 100° 0' 34'' S 2° 45' 58'' 09-08-2004
21 TIKU Tiku E 99° 56' 39'' S 0° 23' 56'' 07-03-2006
22 UMLH Ujung Muloh, Banda
Aceh
E 95° 20' 20'' N 5° 3' 11" 09-02-2005
30
Gambar 3.7 Sebaran stasiun GPS kontinyu SuGAr [http://sopac.ucsd.edu, 2007].
Strategi pengolahan datanya menggunakan data, baik data kode atau
pseudorange maupun data beda fase. Selain itu mengestimasi pula efek atmosfer,
kesalahan orbit satelit, kesalahan jam receiver, dan ambiguitas fase per harinya, yang
dalam software ilmiah Bernesse telah dijadikan satu paket, yang disebut Bernesse
Proccessing Engine (BPE). Setelah itu titik-titik tersebut juga diikatkan ke titik
permanen atau referensi International GNSS Service (IGS), yang tersebar sekitar
Sumatra. Titik-titik IGS yang digunakan adalah titik-titik yang telah dikoreksi
terhadap efek geodinamika, yang direalisasikan dalam kerangka referensi sistem
koordinat International Terrestrial Reference Frame 2005 (ITRF 2005).
aceh
tiku
lais
samp
31
Pola deformasi interseismic gempa Bengkulu 2007 diperoleh dengan
melakukan langkah-langkah pengolahan data sebagai berikut :
• Transformasi koordinat geosentrik hasil pengolahan data GPS ke koordinat
toposentrik, dengan titik pertama pengamatan dijadikan sebagai acuan.
• Plotting timeseries pada masing-masing komponen northing dan easting.
• Estimasi komponen non-linier yang masih terdapat dalam data hasil
pengolahan GPS dengan menggunakan Fourier transform.
• Proses linear fitting untuk memperoleh fungsi liniernya.
• Menghitung velocity rate per tahun dari fungsi liniernya.
• Menghilangkan efek pergerakan lempeng regional Sunda block, dengan
mengkoreksi velocity rate.
• Plotting vektor pergeseran untuk melihat pola deformasi interseismic dari
vektor pergeserannya.
Berikut diagram alur pengolahan datanya ditunjukkan pada Gambar 3.8 :
Gambar 3.8 Diagram alur pengolahan data.
Transformasi koordinat
Plotting timeseries
Fourier transform
Linear fitting
Menghitung velocity rate per tahun
Koreksi Pergerakan Sunda block
Plotting vektor pergeseran
Pemodelan deformasi interseismic
Plotting model deformasi interseismic
Plotting perbandingan vektor pergeseran data GPS dan model
32
3.4.1 Timeseries Sebelum Gempa Bengkulu 2007
Dari data hasil pengolahan harian stasiun GPS kontinyu SuGAr, lalu
dilakukan transformasi koordinat dari geosentrik ke toposenstrik, yang hasilnya dapat
dilihat pada bagian Lampiran 1. Koordinat toposentrik digunakan karena fenomena
yang akan diamati adalah pergerakan titik di permukaan bumi relatif terhadap titik di
permukaan bumi lainnya sebagai acuan. Sehingga perlu dilakukan transformasi pusat
sistem koordinatnya dari pusat bumi ke permukaan bumi.
Hasil plotting koordinat toposentrik tersebut akan membentuk timeseries per
stasiun, dengan sumbu-x sebagai fungsi waktu dan sumbu-y sebagai fungsi dari
komponen baik northing maupun easting. Setelah itu dilakukan linear fitting untuk
memperoleh trend linier pergeserannya. Linear fitting diperoleh dari hasil estimasi
dengan menggunakan Least Square Equation. Alasan penggunaan linear fitting
adalah dikarenakan fenomena deformasi interseismic merupakan fungsi yang linier.
Sehingga faktor-faktor yang non-linier yang terdapat dalam data harus dihilangkan.
Data hasil pengolahan GPS ternyata masih memiliki faktor non-linier. Faktor
non-linier tersebut dapat terlihat pada hasil plotting berupa pola sinusoidal, yang
merupakan variasi musiman yang belum tereduksi ketika pengolahan data GPS.
Sehingga sebelum dilakukan linear fitting dilakukan terleih dahulu estimasi terhadap
pola sinusiodal tersebut dengan menggunakan Fourier transform. Dalam tugas akhir
ini, linear fitting dan Fourier transform diperoleh secara langsung dengan
menggunakan script Matlab, yang dapat dilihat pada bagian Lampiran 2.
Proses yang dilakukan untuk 8 titik di segmen Aceh-Nias, yaitu ACEH, BITI,
BSIM, BTHL, LHWA, PBLI, SAMP, dan UMLH hanya linear fitting saja. Gambar
3.9 dan 3.10 menunjukkan linear fitting titik-titik ACEH dan SAMP untuk masing-
masing komponen northing dan easting. Sedangkan proses linear fitting, untuk
komponen northing, pada 14 titik di segmen Bengkulu-Mentawai diperoleh dari hasil
Fourier transform. Data yang digunakan pada Masing-masing komponen hingga hari
ke-62 saja, karena faktor noise setelah hari ke-62 yang cukup tinggi, seperti dapat
dilihat pada Gambar 3.11, 3.12, 3.13, dan 3.14. Hasil linier fitting dari timeseries titik
yang lain beserta residunya secara lengkap dapat dilihat pada bagian Lampiran 3.
33
Gambar 3.9 Hasil linear fitting dari timeseries titik ACEH, yang ditunjukkan oleh garis lurus
warna merah.
Gambar 3.10 Hasil linear fitting dari timeseries titik SAMP, yang ditunjukkan oleh garis lurus
warna merah.
34
Gambar 3.11 Hasil linear fitting dari timeseries titik JMBI, hingga hari ke-62 (garis tebal
putus-putus), yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Garis warna merah muda
adalah original timeseries dan garis warna biru hasil Fourier transform (gambar bawah).
Gambar 3.12 Hasil linear fitting dari timeseries titik ABGS, hingga hari ke-62 (garis tebal
putus-putus), yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Garis warna merah muda
adalah original timeseries dan garis warna biru hasil Fourier transform (gambar bawah).
35
Gambar 3.13 Hasil linear fitting dari timeseries titik MKMK, hingga hari ke-62 (garis tebal
putus-putus), yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Garis warna merah muda
adalah original timeseries dan garis warna biru hasil Fourier transform (gambar bawah).
Gambar 3.14 Hasil linear fitting dari timeseries titik PRKB, hingga hari ke-62 (garis tebal
putus-putus), yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Garis warna merah muda
adalah original timeseries dan garis warna biru hasil Fourier transform (gambar bawah).
36
3.4.2 Reduksi Efek Pergerakan Sunda Block
Dari hasil linear fitting yang telah dilakukan, diperoleh koefisien liniernya
yang digunakan untuk menghitung velocity rate per tahunnya. Dari perhitungan
koefisien hasil linear fitting, dengan cara memasukkan faktor pengali waktu menjadi
satu tahun (365 hari), maka diperoleh velocity rate per tahunnya dari 22 stasiun GPS
kontinyu SuGAr. Namun hasil perhitungan velocity rate tersebut masih dipengaruhi
pergerakan lempeng regionalnya yang dinamakan Sunda block. Sehingga untuk
memperoleh deformasi interseismic-nya saja, tanpa dipengaruhi deformasi yang lain,
perlu dilakukan pengekstrakan efek pergerakan Sunda block tersebut, yaitu dengan
cara mereduksi velocity rate tersebut dengan model velocity rate Sunda block. Model
velocity rate Sunda block yang digunakan pada tugas akhir ini adalah model yang
dibuat oleh Bock (2000) dengan menggunakan script Matlab, yang dapat dilihat pada
bagian Lampiran 4.
Tabel 3.3 menunjukkan hasil perhitungan velocity rate dari linear fitting,
sebelum dan setelah diekstrak efek pergerakan Sunda block-nya, beserta residunya
pada masing-masing komponen easting dan northing. Dari hasil reduksi yang
dilakukan dapat dilihat bahwa efek pergerakan Sunda block mempengaruhi nilai
pergerakan titik-titik sebesar ±2 cm/tahun relatif ke arah timur. Baris yang ditandai
dengan arsir warna kuning menunjukkan 8 buah stasiun SuGAr segmen Aceh-Nias.
37
Tabel 3.3 Velocity rate per tahun dari stasiun GPS kontinyu SuGAr, sebelum dan setelah
diekstrak efek pergerakan Sunda block-nya.
No Titik
Ve Vn
SdN
Vektor Pergeseran
Setelah diekstrak
(m/th)
Sebelum diekstrak (m/thn)
Setelah diekstrak (m/thn)
SdE Sebelum diekstrak (m/thn)
Setelah diekstrak (m/thn)
1 abgs 0.02973 0.00999 0.04768 0.00687 0.00753 0.02649 0.01251 2 aceh -0.13662 -0.15596 0.06375 -0.13980 -0.14024 0.03168 0.20974 3 biti -0.06272 -0.08224 0.07401 -0.04088 -0.04045 0.03930 0.09165 4 bsat 0.04414 0.02442 0.04855 0.01400 0.01526 0.02817 0.02880 5 bsim -0.07384 -0.09318 0.06853 -0.06112 -0.06098 0.04242 0.11136 6 btet 0.03364 0.01410 0.04952 -0.01040 -0.00953 0.02876 0.01702 7 bthl -0.06009 -0.07957 0.07097 -0.03893 -0.03841 0.04849 0.08836 8 jmbi 0.04626 0.02592 0.04631 -0.00285 -0.00168 0.02937 0.02597 9 lais 0.03587 0.01588 0.04860 0.00420 0.00562 0.03048 0.01685 10 lhwa -0.07822 -0.09764 0.06931 -0.08577 -0.08542 0.04656 0.12973 11 lnng 0.04399 0.02408 0.06182 0.00454 0.00571 0.02501 0.02475 12 mkmk 0.04765 0.02777 0.04470 0.00937 0.01058 0.02630 0.02971 13 mlkn 0.04133 0.02139 0.04416 0.00840 0.01014 0.02667 0.02367 14 mnna 0.03357 0.01348 0.05180 0.00102 0.00264 0.02775 0.01374 15 pbli -0.05158 -0.07110 0.06576 -0.05116 -0.05095 0.04134 0.08747 16 ppnj 0.03859 0.01892 0.04503 0.01010 0.01114 0.02729 0.02196 17 prkb 0.03581 0.01607 0.04882 0.01535 0.01660 0.03027 0.02310 18 pski 0.03623 0.01640 0.04689 -0.00019 0.00075 0.02636 0.01641 19 psmk 0.00584 -0.01362 0.04466 -0.00443 -0.00380 0.02512 0.01414 20 samp -0.04046 -0.06026 0.06405 -0.04976 -0.04970 0.03578 0.07811 21 tiku 0.02436 0.00455 0.04475 0.00016 0.00095 0.02738 0.00465 22 umlh -0.14583 -0.16515 0.06570 -0.14584 -0.14619 0.04263 0.22055
/ residu / residu
38
3.4.3 Vektor Pergeseran Sebelum Gempa Bengkulu 2007
Nilai velocity rate per tahun yang telah diperoleh kemudian diplot dengan
menggunakan software GMT. Gambar 3.15 menunjukkan hasil plotting velocity rate
per tahun dari stasiun GPS kontinyu SuGAr sebelum gempa Bengkulu 2007. Namun
vektor pergeseran tersebut masih dipengaruhi efek pergerakan lempeng regionalnya
atau Sunda block. Sehingga perlu dilakukan pengekstrakan efek pergerakan Sunda
block-nya, untuk memperoleh aktifitas deformasi interseismic-nya saja.
Gambar 3.15 Hasil plotting vektor pergeseran stasiun GPS kontinyu SuGAr sebelum
diekstrak efek pergerakan Sunda block-nya.
Indo-Australia
5 cm/thn
2 cm/thn
Trench
39
Velocity rate pergerakan Sunda block salah satunya diperoleh dari hasil
pengamatan GPS. Titik-titik pengamatan GPS, sedapat mungkin tersebar secara
merata si seluruh bloknya, sehingga model yang didapat merepresentasikan keadaan
sebenarnya. Model pergerakan Sunda block yang dibuat, menggunakan prinsip
interpolasi untuk dapat mengetahui efek pergerakan Sunda block di lokasi yang
diinginkan. Nilai pergeseran Sunda block adalah ±2 cm/tahun yang bergerak relatif ke
arah timur. Efek pergerakan Sunda block di titik-titik GPS kontinyu SuGAr dapat
dilihat pada Gambar 3.16.
Gambar 3.16 Hasil plotting efek pergerakan Sunda block di titik-titik stasiun GPS
kontinyu SuGAr.
Indo-Australia
5 cm/thn
2 cm/thn
Trench