Transcript
Page 1: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

97

BAB III

LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA

3.1. Pendahuluan

Istilah Liturgi Gereja Kristen Jawa (GKJ) di dalam Bab I telah

dijelaskan sebagai tatanan dalam ibadah yang dimiliki oleh GKJ dengan

berbagai unsur pokok beserta dengan susunan dan pengertiannya sebagai

suatu rumusan yang berlaku. Adapun GKJ itu sendiri adalah merupakan

kehidupan bersama religius yang berpusat pada penyelamatan Allah di

dalam Yesus Kristus Tuhan yang ada di suatu tempat tertentu, yang

dipimpin oleh majelis gereja, dan yang telah mampu mengatur diri sendiri,

mengembangkan diri sendiri, serta membiayai diri sendiri berdasarkan

Alkitab, Pokok-Pokok Ajaran dan Tata Gereja serta Tata Laksana yang

disusunnya.

Sehubungan dengan tujuan kajian pada tulisan ini, ada berbagai sisi

yang dapat dicermati dari rumusan tata peribadahan GKJ. Selain meng-

ungkapkan isi maupun susunan yang terdapat di dalamnya, awal mula

keberadaan liturgi GKJ dengan berbagai latar belakang dan tindakan-

tindakan pengembangan di waktu kemudian di tengah tantangan dan

pergumulan kebutuhan jaman, juga merupakan sisi penting lain yang perlu

dikemukakan. Karena itu dalam bagian kajian data ini akan disampaikan

berturut-turut tentang gambaran liturgi umat Kristen Jawa sebelum GKJ,

Page 2: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

98

kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ, beserta

tantangan dan pegumulan di dalam pengembangannya.

3.2. Liturgi Umat Kristen Jawa Pra-GKJ

Yang dimaksudkan dengan Umat Kristen Jawa Pra-GKJ di sini adalah

umat Kristen yang sebelum menjadi GKJ sebagai buah asuhan GKN

(Gerefor-meerde Kerken in Nederland) pernah menjadi umat Kristen di

bawah asuhan penginjil bernama Sadrach. Dalam tulisan Sigit Heru

Soekotjo, sang penginjil itu memberi nama jemaat asuhannya dengan

sebutan Gôlôngane Wông Kristên Kang Mārdikâ (Ind. Golongannya Orang

Kristen Yang Merdeka).142

Alasan penting untuk mengungkap gambaran liturgi umat Kristen

Jawa pada masa waktu sebelum keberadaan GKJ di bagian ini adalah karena

meskipun intinya mengarah pada tujuan keselamatan atas iman yang sama

di dalam Yesus Kristus Tuhan, tetapi bentuk pengungkapannya berbeda

dengan liturgi GKJ yang dikenal pada masa kini. Dalam tulisan sejarah yang

disusun oleh Soekotjo tadi, sewaktu kumpulan umat Kristen Jawa di daerah

Jawa Tengah (bahkan ada juga yang di wilayah Yogyakarta) dikelola oleh

pendiri yang sekaligus seorang penginjil pribumi yang bernama Sadrach,

ibadah mereka menampakkan adanya nuansa sentuhan kebudayaan Jawa

yang cukup kuat. Bukan hanya penggunaan bahasa Jawa, pakaian adat,

142

S. H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1: Di Bawah Bayang-

Bayang Zending 1858-1948 (Salatiga, Yogyakarta: LSP GKJ, TPK, 2009), 179, 184, 204-

205.

Page 3: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

99

ataupun bangunan peribadahan berbentuk joglo dengan puncak atap ter-

pasang senjata anak panah dan senjata cakra yang lekat dengan lambang

filosofi kepercayaan hidup orang Jawa, tetapi ada sisi perilaku maupun sisi

seni Jawanya pula.

Gambaran yang demikian itu jelas di dalam keterangan lanjut dari

Soekotjo yang digali dari versi Pendeta Heyting dan Pendeta Adriaanse.

Menurut versi pertama, pada waktu ibadah umat duduk lesehan beralas

klâsâ (tikar pandan) maupun blékêtepe (anyaman daun kelapa). Kaum

wanita mengenakan kerudung dan duduknya terpisah dengan kaum laki-

laki. Saat pelayan ibadah datang menempatkan diri, para laki-laki berdiri.

Selanjutnya umat mengucapkan Doa Bapa Kami yang diteruskan dengan

doa syukur oleh imam. Setelah itu dilantunkan kidûng pujian bersama, dan

setelah itu dibacakan Alkitab serta dilayankan khotbah atau disaksian.

Akhirnya, ibadah ditutup dengan kidûng pula. Adapun versi kedua yang

ditulis 15 tahun kemudian, dinyatakan bahwa sebelum ibadah dimulai umat

duduk-duduk sambil menikmati hidangan minum di pêndâpâ. Selanjutnya

ketika ibadah akan dimulai mereka berdiri di depan pintu sambil mengucap-

kan doa pendek secara pelan, dan berjalan ke arah mimbar yang disusul

persembahan serta doa syukur. Setelah itu mereka kemudian mengambil

tempat duduk. Berikutnya umat melakukan doa pribadi atau pelayanan Doa

Bapa Kami yang dibacakan oleh imam, diteruskan nyanyian jemaat dan

pembacaan Sepuluh Hukum Tuhan atau ringkasannya, pengucapan

Page 4: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

100

Pengakuan Iman Rasuli, pembacaan Alkitab dan khotbah, doa syukur, dan

penyampaian berkat.143

Formasi duduk umat pada peibadahan itu pun mirip dengan pola

padepôkan (sekolahan ala Jawa). Seperti diungkapkan oleh Soetarman

Soediman Partanadi, dalam peribadahan itu umat duduk dengan formasi

setengah lingkaran di depan pengkotbah atau sang pemimpin ibadah yang

menghadap Alkitab di atas meja kecil sebagai mimbar.144

Dari penjelasan-

nya pula, nuansa Jawa dalam liturgi para pengikut Sadrach itu terlihat jelas

dengan adanya nyanyian yang disebut sêkar (têmbang atau kidûng) yang

dilantunkan tidak hanya sebagai pujian kepada Tuhan, tetapi juga untuk doa

maupun pengakuan iman mereka. Nyanyian-nyanyian itu dikenal dengan

istilah “Rêrêpénìng Tiyang Kristên” (Nyanyiannya Orang Kristen), yang

meliputi Sêkar Kinanthi Pêpakên Sādâsâ Prākawìs (Nyanyian Kinanthi

Sepuluh Hukum), Sêkar Sinôm Pāngakênìng Pitadôs Rasuli (Nyanyian

Sinom Pengakuan Iman Rasuli), Sêkar Pucûng Dongâ Râmâ Kawulâ

(Nyanyian Pucung Doa Bapa Kami), Sêkar Dhandhang Gulâ Pandongâ

Badhe Nampéni Piwulang (Nyanyian Dhandhang Gula Doa Hendak

Menerima Pengajaran), Sêkar Mas Kumambang Rêrêpén Pandongâ Íng

Wanci Enjang (Nyanyian Mas Kumambang Lantunan Doa Di Waktu Pagi),

Sêkar Mijìl Rêrêpén Pandongâ Badhe Nêdhâ (Nyanyian Mijil Lantunan

143

Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 226-229. 144

Soetarman Soedirman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstual:

Suatu Eskpresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 151-162.

Page 5: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

101

Doa Hendak Makan), Sêkar Gambûh Rêrêpén Pamuji Íng Wanci Sôntên

(Nyanyian Gambuh Lantunan Pujian Di Waktu Sore atau Petang).145

Data di atas memiliki kesesuaian dengan penuturan Petrus dan

Soegeng Soegiarto yang merupakan para generasi penerus Jotham

Martoredjo, satu-satunya pewaris Sadrach. Dalam wawancara dengan

mereka, jalannya peribadahan umat Kristen Jawa pada waktu itu, dijelaskan

sebagai berikut:

“Sewaktu warga Gereja memasuki gerbang yang ada di sebelah

Utara itu, kemudian duduk istirahat bersama beberapa saat sambil

berbincang di pendapa sini. Lalu ketika hendak masuk ke Gereja

atau dulu yang disebut masjid, semua membasuh diri bersama. ...

Ada padasan dekat gerbang sebelah dalam sana untuk berbasuh.

... Setelah itu bersama menuju pintu Gereja dengan tenang.

Sampai di depan pintu itu kemudian membungkung, berjalan

masuk dengan jongkok dan tertunduk, hingga duduk dengan

batin hening. ... Semua tidak boleh ngobrol lagi dan harus berdoa

dalam hati. ... Karena di dalam semuanya harus sudah siap meng-

hadap Tuhan. ... Formasi yang bersama duduk tersebut ber-

keliling di depan dan di kiri kanan pengajar duduk. ... Ketika

pendeta atau pengajar telah duduk dan siap di depan meja

mimbar kecil untuk menempatkan Alkitab, kebaktian dimulai

dengan mengajak warga persembahan bersama. ... setelah

terkumpul, persembahan dihaturkan dengan doa. ... Disertai juga

Doa Bapa Kami. Tetapi Doa Bapa Kaminya berupa nyanyian,

seperti pengakuan Sahadat Rasuli setelah Doa Bapa Kami

tersebut. ... Membaca Alkitab dan khotbah dilakukan setelah

sahadat. ... Terkadang khotbahnya uraian, tetapi ada juga

145

Soetarman, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstual, 159-163, 295-302.

Page 6: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

102

nyanyian yang isinya petunjuk. ... Selesai khotbah diteruskan doa

maupun pujian dengan nyanyian. ... akhirnya, sebelum ditutup

dan dibubarkan, pendeta atau pengajar menghantarkan berkat.”146

Disayangkan bahwa liturgi peribadahan Gôlôngane Wông Kristên

Kang Mārdikâ di atas hanya untuk Ibadah Hari Minggu biasa. Untuk

pelaksanaan Sakramen Perjamuan yang menjadi pusat atau inti peribadahan

Kristen itu sendiri tidak mereka singgung. Dimungkinkan hanyalah C.

Guillot yang menyinggungnya, dan hal itu pun singkat sekali. Dinyatakan-

nya bahwa pada tanggal 30 April 1899, untuk pertama kalinya di Gereja

Karangjoso, Sadrach menyelenggarakan ekaristi.147

Selain pernyataan itu,

tidak ada penjelasan lain secara khusus ataupun lanjutan. Artinya seperti apa

wujud sakramen tersebut tidak jelas. Unsur-unsur pokok apa saja yang

menjadi susunannya, piranti apa saja yang dipergunakan, dan bagaimana

tatacara pelaksanaan serta maknanya, semuanya itu belum dapat diketahui.

Yang pasti, secara umum liturgi peribadahan yang dilaksanakan umat

Kristen Jawa pra-GKJ itu punya perbedaan khas. Sebagaimana telah

diungkapkan, bila awalnya memiliki wujud yang kental dengan nuansa

budaya pribumi, maka ketika telah menjadi GKJ wujudnya cenderung

menonjol dalam nuansa budaya Eropa yang khas dengan gaya resmi ala

sidang pengadilan pemerintah Hindia-Belanda. Misalnya dari segi penam-

pilan seperti pakaian, cara penyampaian ajaran, kebiasaan persiapan masuk

146

Lampiran 6. 147

C. Guillot, Kyai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: Grafiti Pers,

1985), 166.

Page 7: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

103

peribadahan, formasi tempat duduk, dan lain sebagainya. Selain penampilan

ada juga sisi dari dalam dasar pemikiran dan makna yang dapat dirumuskan

dari apa yang ada pada sisi kelihatan itu. Misalnya gagasan teologis sebagai

dasar ajaran maupun tradisi gereja yang lebih banyak dipengaruhi

pandangan luar, yaitu ajaran Calvinis dari GKN yang pada tahun 1933

menjadi Gereja mitra resmi semenjak penerus Sadrach, yaitu Jotham

Martoredjo membuat pendekatan terbuka bagi kehidupan jemaat terhadap

kenyataan suasana perkembangan dan kemajuan yang terus berlanjut hingga

sekarang sebagai GKJ.148

Tentunya bukan hanya hubungan pengaruh langsung dari sejarah

ajaran itu saja sehingga bisa dibedakan wujud liturgi peribadahan umat

Kristen Jawa di masa lalu dengan sekarang yang disebut GKJ. Ada sisi

penting lain yang ikut mewarnai perkembangan dan perbedaan liturgi GKJ

dengan masa sebelumnya, yaitu berbagai perubahan kehidupan masyarakat

Jawa dalam kesatuan Negera Republik Indonesia, seperti berikut ini.

3.3. Kelahiran Liturgi GKJ

Keberadaan liturgi GKJ tidak lepas dari status kedewasaannya yang

ditandai dengan wadah kesatuan gereja-gereja seasas dalam ikatan sinode

pada tanggal 17 Februari 1931 di Kebumen. Dilihat dari waktu kedewasaan

tersebut liturgi yang berlaku secara umum di tengah umat GKJ memang

dapat dikatakan unik. Sebab, liturgi GKJ yang masih berlaku hingga hari ini

148

Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 238-252.

Page 8: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

104

adalah liturgi awal yang secara resmi ada pada tahun 1961.149

Padahal, bila

dilihat dari rumusan ajaran iman (dogma) yang dimiliki GKJ sendiri sebagai

sumber untuk merumuskan liturginya, baru ada pada tahun 1996.

Dalam artikel 65, Akta Sinode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa, butir

1-4 dinyatakan bahwa: “Setelah mendengarkan laporan Seksi III mengenai

Laporan Deputat Liturgie yang ditambah penjelasan lisan oleh Mr. Dr. D.

C. Mulder tentang Liturgi Persekutuan Ibadah Pagi150

: (1) Menerima

Susunan Liturgi Ibadah Pagi secara utuh setelah diadakan perubahan-

perubahan secukupnya. (2) Pelaksanaan liturgi ini direncanakan besuk Hari

Raya Pentakosta, tanggal 21 Mei 1961. (3) Sebelum liturgi ini dilaksanakan/

dimulai, jemaat-jemaat berkenan mempelajari terlebih dulu rancangan tata

peribadatan tadi. (4) Menugasi Deputat Liturgie memperbanyak susunan

liturgi dengan keterangannya dan menyebarluaskan kepada jemaat-jemaat

secepatnya.”151

Meskipun liturgi GKJ yang berlaku umum di tengah umatnya muncul

tigapuluh tahun semenjak kelahirannya sebagai gereja dewasa, bukan berarti

bahwa sebelum masa itu tidak ada liturgi di dalam kehidupan peribadatan

mereka. Kenyataan ini nampak tersirat dengan jelas dalam bahan per-

cakapan sidang sinode GKJ nomor 33 pada tahun 1938, di kota Kebumen.

149

Acta Synode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa, tanggal 20-24 Februari 1961 ing

Magelang. 150

Ibadah Pagi yang dimaksud adalah Ibadah Minggu. Disebut Ibadah Pagi, karena

Peribadahan umat GKJ pada hari Minggu pada waktu itu memang diselenggarakan hanya

satu kali dengan waktu pagi hari. Adapun kegiatan persekutuan umat di gedung Gereja

pada waktu sore harinya tidak dimaksudkan peribadatan tetapi menjadi kesempatan untuk

mengadakan pelayanan pengajaran (katekisasi) bagi para warga anggota majelis dan warga

persiapan baptis maupun sidhi. 151

Acta Synode VII Geredja-Geredja Kristen Djawa Artikel 65.

Page 9: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

105

Dalam bahan tersebut dinyatakan bahwa, Klasis Ngayogyakarta usul supaya

ada panitia untuk meneliti dan mengumpulkan serta mengkaji tentang tata

peribadatan yang ada di tengah Jemaat Kristen Jawa.152

Dari akta sidang tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan

peribadatan umatnya, di lingkup GKJ ada jemaat-jemaat yang telah mem-

punyai dan menggunakan liturgi milik mereka masing-masing. Pengertian

itu sekaligus menunjukkan pula bahwa liturgi yang dimiliki oleh masing-

masing jemaat dilingkup GKJ dimungkinkan berbeda-beda. Formula liturgi

yang dimiliki oleh jemaat GKJ yang satu berbeda dengan formula liturgi

jemaat GKJ yang lainnya. Karena kemungkinan itulah, liturgi mereka

pandang penting untuk diangkat menjadi percakapan bersama di lingkup

sinode pada usia tujuh tahun setelah lahir menjadi Gereja dewasa.

Adapun percakapan-percakapan lain berkaitan dengan tata peribadatan

umat di dalam persidangan-persidangan sinode sebelum maupun sesudah

tahun 1938 tersebut lebih mengarah pada persoalan perlengkapan maupun

pengembangan yang dibutuhkan untuk peristiwa-peristiwa penting gerejawi.

Misalnya, seperti nyanyian-nyanyian jemaat, musik untuk peribadatan,

Baptisan dan Perjamuan Kudus beserta dengan rumusan yang digunakan

dalam peribadatan maupun surat keterangan pelayanan baptis, pengakuan

iman GKJ, tata cara atau teknis pelaksanaan liturgi, dan lain sebagainya.153

152

Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetoesanipoen Pasamoewan-

Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 4-7 Juli 1938, Wonten

ing Keboemen, no. 33. 153

Lih., Akta persidangan Sinode GKJ tahun 1931-1936, 1964, dan seterusnya.

Page 10: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

106

Seperti dijelaskan dalam petunjuk pelaksanaan liturgi yang dicontoh-

kan dari hasil penelitian yang terdapat pada akta persidangan berikutnya154

setelah tahun 1938, persidangan sinode GKJ pada tahun 1940 di Magelang,

Jawa Tengah, disampaikan sebagai berikut:155

“(1) Gereja diharapkan ke-

tenangannya. (2) Masuknya warga jemaat ke gereja jangan terlambat.

Sebab, persekutuan pada waktu itu tadi hendak menghadap kepada Tuhan

yang diharap-harapkan berkatnya. (3) Selama duduk menanti keluarnya

pendeta, bersama-sama perlu keheningan supaya khidmat. Sewaktu pendeta

tampak keluar, jemaat bersama-sama berdiri, layaknya seperti orang meng-

hormati datangnya utusannya raja yang menjunjung perintah, yang akan

dicurahkan. Berdirinya jemaat tadi hingga sampai selesainya pendeta

mencurahkan berkat pembukaan persekutuan (Ibadah). (4) Pendeta keluar

dari ruang belakang diiring anggota majelis. Pendeta naik mimbar, anggota

majelis dan jemaat berdoa pribadi sesaat. Pendeta kemudian mengajak

jemaat dengan kalimat, “Marilah kita berbuat dalam hati demikian.

Pertolonganku itu berasal dari kuasa Nama TUHAN yang menciptakan

154

Acta Kakantjingan-Kakantjingan Rembag-Rembag Synode (Rapat Agoeng)

Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel kala tanggal 29-31

Juli 1940 ing Magelang Artikel 9, menyatakan: “Panitia telah membuat rancangan liturgi

sementara, tetapi hanya memberikan satu Tata Ibadah Minggu ini. Percakapan tentang isi

dan urutannya telah disepakati semua. Namun karena tempatnya berbeda-beda, maka

membuat keputusan: Diserahkan kepada jemaat-jemaat supaya kemudian dicoba, kelak

kemudian bisa melihat kekurangannya, sehingga kemudian bisa membuat tatanan yang

baku, dengan mengingat penerapan dan tempat.” (Terjemahan). 155

Acta Kakantjingan-Kakantjingan Rembag-Rembag Synode (Rapat Agoeng)

Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 29-31

Juli 1940 ing Magelang, Artikel 9.

Page 11: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

107

langit dan bumi. Amin.” (5) Setelah mengucapkan votum156

tadi, pendeta

kemudian berkata kepada jemaat dengan kalimat, “Saudara-saudara, silakan

saudara terima berkat Tuhan Allah. Kasih karunia dan damai sejahtera dari

Allah, Bapa kita dan Tuhan Yesus Kristus kiranya ada pada saudara. Amin.”

(6) Setelah bersama-sama menyanyi, pendeta kemudian berkata kepada

jemaat dengan kalimat, “Saudara-saudara. Silakan saudara terima hukum

perintahnya Tuhan Allah.” Dengan suara lantang dan pelan, “Akulah

TUHAN, Allahmu ...,” seterusnya hingga sampai hukum yang kesepuluh.

Sehabis pembacaan hukum-hukum, anggota majelis (yang duduk di depan)

membaca nyanyian yang dipakai untuk memberikan jawabannya jemaat

terhadap perintah tadi, kemudian mengajak jemaat menyanyikan nyanyian

tadi. (7) Apabila pendeta mengambil pengakuan iman, demikian, “Marilah

bersama-sama mengakui iman kita di tengah dunia. Aku ...,” seterusnya.

Sehabis pengakuan iman, dilanjutkan menyanyi nyanyian yang ber-

hubungan dengan kepercayaan iman. (8) Setelah menyanyi, pendeta mem-

baca ayat Alkitab. Kemudian mengajak jemaat berdoa. Sebelum berdoa,

kalau perlu, pendeta menyatakan ringkasan yang akan diberikan di dalam

doa tadi. (9) Setelah berdoa, jemaat diajak menyanyi. Selama jemaat

menyanyi, kantong persembahan diedarkan. (10) Sehabis itu, pedeta mulai

khotbah. Setelah khotbah, pendeta menutup ajaran dengan Doa Bapa Kami

atau doa lainnya. Setelah berdoa, jemaat diajak menyanyi penutup.

156

Votum, artinya janji yang khidmat atau ikrar., Sinode GKJ, Liturgi GKJ,

(Salatiga: Percetakan Sinode GKJ, 1994), hal. 10. Bnd., Dr. J. L. Ch. Abineno, Unsur-

Unsur Liturgia yang Dipakai Gereja-Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2011), 2-6.

Page 12: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

108

(11) Selesai menyanyi, jemaat diajak berdiri kembali untuk menerima

berkat. Kalimatnya pendeta, “Saudara-saudara. Saudara terimalah berkat

Tuhan Allah. Kasih karunia dari Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah, dan

persekutuan Roh Kudus kiranya ada pada saudara sekalian. Amin. (12)

Bubarnya para anggota jemaat menunggu turunnya pendeta dari mimbar.”

Dari uraian kelahiran liturgi GKJ di atas ada persoalan menarik.

Sewaktu rancangan liturgi peribadahan GKJ hendak disahkan, selain

laporan dari Deputat Liturgie yang beranggotakan para teolog Jawa ada

sebuah sumber lain yang berkaitan dengan keputusan itu, yaitu penjelasan

lisan dari D. C. Mulder yang ditugaskan GKN untuk berpelayanan di GKJ.

Nampaknya pembentukan liturgi GKJ belum memiliki hubungan dengan

konteks Jawa sebagai kebudayaan tradisi maupun masyarakat yang ber-

kembang di tengah perubahan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi

nasional, melainkan terdapat pengaruh konteks Belanda sebagai bangsa

yang berbudaya Barat.

Persoalan tersebut dapat dibandingkan dengan liturgi umat Kristen

pra-GKJ yang menurut keterangan dari Soetarman157

dan Soekotjo158

bukan

saja dirumuskan oleh Sadrach karena dirinya beserta umat asuhannya adalah

orang Jawa, tetapi juga dikarenakan adanya kepentingan penyetaraan jati

diri budaya dan pribadi masyarakatnya terhadap berbagai pengaruh asing,

khususnya budaya bangsa Arab melalui Islam dan budaya bangsa Eropa

melalui Belanda.

157

Soetarman, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, 252-254, 158

Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 204-206.

Page 13: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

109

3.4. Penyebab Lahirnya Liturgi GKJ

Sesuai dengan pilahan dokumen liturgi yang terekam pada akta-akta

persidangan sinode GKJ sejak awal hingga sekarang, ada dua butir

penyebab penting yang dapat ditemukan secara langsung dalam kelahiran

liturgi GKJ.

3.4.1. Penyebab pertama: dorongan dari semangat kedewasaan di

dalam diri GKJ sendiri

Tujuh tahun setelah lahir menjadi Gereja dewasa, semangat yang

nampak pada persidangan sinode GKJ tahun 1938 memperlihatkan adanya

kesadaran bersama tentang kebutuhan liturgi yang penting di dalam

peribadatan umatnya. Karena itu pada persidangan sinode tahun 1938 ini

dicetuskan gagasan untuk mengadakan penelitian, penghimpunan, serta

pengkajian aneka liturgi yang sebelumnya telah ada dan digunakan oleh

beberapa jemaat GKJ pada waktu itu (misalnya: Ngayogyakarta, Kebumen,

Kedu). Artinya, upaya yang dilakukan melalui persidangan sinode oleh GKJ

pada waktu itu menunjukkan adanya semangat kemandirian di dalam ikatan

kehidupan bersama mereka sebagai Gereja yang merasa memiliki jati diri.

Dorongan itu tercermin pula dalam percakapan-percakapan per-

sidangan sinode yang dilakukan oleh GKJ sejak awal pada tahun 1931,

terkait dengan perlengkapan penting di dalam peribadatan. Contohnya, salah

satu perlengkapan penting yang dibutuhkan pada peribadatan waktu itu

adalah nyanyian yang digunakan oleh jemaat. Walaupun tidak bisa seketika

Page 14: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

110

terwujud, namun upaya mandiri berikutnya untuk memenuhi kebutuhan itu

dinyatakan secara jelas dengan serangkaian tindakan secara bertahap untuk

menyusun Nyanyian Mazmur 150 dan Nyanyian Kidung dalam bahasa Jawa

maupun bahasa Indonesia, serta Nyanyian Pelengkap (Kidung Suplemen).

Bahkan, dikemudian waktu berkembang juga wacana untuk nyanyian-

nyanyian rohani populer.159

3.4.2. Penyebab kedua: dorongan dari semangat kesatuan para jemaat

(oikumene) di kalangan GKJ itu sendiri

Terlepas dari bentuk kepemimpinan GKJ yang bersifat presbiterial

sinodal, atau yang akhirnya ditegaskan hanya presbiterial saja, keinginan

untuk memiliki satu liturgi yang sama dan berlaku untuk semua umat di

kalangan jemaat-jemaat GKJ terasa begitu kuat. Kenyataan ini nampak dari

kecenderungan bahan percakapan maupun keputusan yang diambil dalam

percakapan-percakapan persidangan sinode oleh GKJ itu sendiri sejak awal

kelahirannya sebagai Gereja dewasa hingga waktu-waktu selanjutnya.

Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetosanipoen Rembag-

Rembaging Synodenipoen Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing

Djawi Tengah Kidoel tahun 1939 di Kebumen, nomor 33, dalam hal ini

menjadi pijakan untuk dilakukannya perumusan satu liturgi yang sama dan

159

Lih., Akta sidang: Synode Keboemen 1931, Synode Ngajogjokarta 1932, Synode

Soerakarta 1934, Synode Magelang 1935, Synode Poerwakerta 1936, Synode Keboemen

1938, Synode Magelang 1940, Synode Poerworedja 1942, Synode Ngajogjakarta 1946,

Synode Magelang 1948, Sinode GKD III 1951, Sinode GKD IV 1954, Sinode GKD V

1956, Sinode GKD VI 1958, Sinode GKD X 1967, Sinode GKD XI 1969, Sinode GKJ XIII

1974, Sinode GKJ XIV 1975, Sinode GKJ XV 1978, Sinode GKJ XVI 1981, Sinode GKJ

XVII 1984, Sinode GKJ XIX 1989, Sinode GKJ XX 1991, Sinode GKJ XXII 1998, Sinode

GKJ XIII 2002, Sinode GKJ Antara 2004, Sinode GKJ XXIV 2006, Sinode XXV 2009.

Page 15: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

111

berlaku untuk semua umat di kalangan jemaat-jemaat GKJ.160

Sebab akta ini

kemudian ditindaklanjuti dengan munculnya susunan liturgi sementara

untuk peribadatan hari Minggu pada persidangan sinode oleh GKJ pada

tahun 1940 di Kebumen, dengan pokok-pokok bagian liturgi yang berurutan

sebagai berikut: (1) Pendeta keluar dari ruang belakang diiringi oleh warga

majelis. (2) Pendeta berdiri di mimbar, berdoa pribadi, mengucapkan votum

dan membagi berkat. (3) Bernyanyi bersama. (4) Pembacaan hukum-hukum,

atau mengucapkan pengakuan iman rasuli 12. (5) Bernyanyi bersama.

(6) Pendeta membacakan ayat Alkitab. (8) Bernyanyi bersama bersamaan

beredarnya kantong persembahan. (9) Khotbah. (10) Doa Bapa Kami, atau

yang lainnya. (11) Bernyanyi bersama. (12) Membagikan berkat.

Supaya liturgi sementara untuk hari Minggu ini dapat dijalankan

secara seragam oleh semua umat di kalangan jemaat-jemaat GKJ, maka

susunan liturgi yang sudah tersusun dengan pokok-pokok bagian di atas

juga diberikan penjelasan tentang petunjuk pelaksanaannya pula.161

Bahkan

pada persidangan sinodenya yang dilakukan kembali di Magelang pada

tahun 1948, petunjuk pelaksanaan liturgi GKJ ini semakin ditekankan dalam

artikel 48 nomor 4, butir a-h. Dalam artikel tersebut dinyatakan usulan

160

Isi dari Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetoesanipoen Pasamoewan-

Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 4-7 Juli 1938, di

Kebumen, no 33 adalah: “Klasis Ngayogyakarta usul supaya ada panitia untuk meneliti

dan mengumpulkan serta mengkaji tentang tata peribadatan yang ada di tengah-tengah

Jemaat Kristen Jawa. Utusan kepada persidangan Majelis Zending menambahkan pen-

jelasan bahwa di dalam persidangan Majelis Zending yang baru terlaksana juga membahas

persoalan ini dan sekarang belum ada penyelesaiannya. Putusan: Sinode menugasi Majelis

Gereja Kristen Jawa di Gandakusuman Ngayogyakarta supaya meneliti dan mengkaji, serta

menghimpun tentang adanya tata peribadatan di tengah Jemaat Kristen Jawa, serta mem-

pertimbangkan persoalan ini dengan sebaik-baiknya.” (Terjemahan). 161

Lih., bagian lahirnya liturgi GKJ.

Page 16: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

112

bahwa, sinode menentukan liturgi untuk daerah yang masuk dalam lingkup

Sinode Jawa Tengah sebelah Selatan. Keputusannya, Sinode menerima

usulan ini. Sedang alasannya, karena setelah Sinode 1940 hingga sekarang

tata peribadatan berjalan belum sama dan berulang-ulang selalu menimbul-

kan kekisruhan,162

maka Sinode XII memutuskan menentukan pelaksanaan-

nya seperti di berikut ini: “(a) Yang membuka pintu ialah penatua yang

memimpin doa. (b) Sebelum pendeta naik mimbar, diadakan acara meng-

angguk. (c) Di dalam menerima hukum, umat duduk. (d) Kemudian diterima

dengan menyanyi bersama dengan berdiri atas ajakan salah satu penatua.

(e) Bila menyatakan pengakuan iman, umat berdiri. (f) Nyanyian setelah

pengakuan iman dinyanyikan dengan berdiri atas ajakan pendeta. (g) Per-

sembahan dihaturkan setelah khotbah bersama dengan bernyanyi. (h) Peng-

umuman warta jemaat dilakukan setelah tata peribadatan oleh salah seorang

penatua.”

Upaya untuk kesamaan tata cara pelaksanaan liturgi itu pun ternyata

belum selesai. Sebab Dalam persidangan sinode berikutnya pada tahun

1950, kembali muncul penambahan-penambahan aturan, khususnya yang

terkait tindakan yang dilakukan oleh pendeta dan yang bukan pendeta.

Dalam Akta Sinode GKD II 1950 artikel 52 dinyatakan bahwa, setelah

membahas dan mengadakan perubahan secukupnya, uruturutan liturgi

menjadi seperti yang disebutkan di bawah (berikut) ini.163

“(1) Votum

(krama). (2) Berkat; Bunyi-nya seperti II Korintus 1:2. Apabila yang

162

Lih., Akta Synode Poerworedja 1942, Synode Ngajogjakarta 1946 no. 34. 163

Akta Sinode GKD 1950 Artikel 52.

Page 17: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

113

mengucapkan bukan pendeta, bunyi berkat lalu, “... ada pada kita sekalian.”

(3) Memuji. (4) Pembacaan hukum atau pengucapan pengakuan iman.

(5) Memuji sesuai dengan no. 4. (6) Pembacaan Alkitab. (7) Berdoa.

(8) Memuji dan menghaturkan persembahan. (9) Khotbah. (10) Berdoa.

(11) Memuji. (12) Kepyakan. (13) Berkat; Apabila bukan pendeta,

bunyinya, “... kita sekalian.” Liturgi ini sebagai contoh yang disarankan oleh

Sinode.”

Kedua penyebab penting lahirnya liturgi GKJ itu selalu memberi

warna dalam perkembangan yang ada hingga sekarang. Selain tampak

dalam nyanyian pujian umat maupun tata aturan dalam petunjuk pe-

laksanaan liturgi, kenyataan ini tampak pula dalam persoalan pengakuan

iman yang terkait dengan meningkatnya kesadaran akan keberadaan dan jati

diri GKJ dalam pergumulan di tengah ladang dunianya,164

pelayanan Baptis

dan Perjamuan Kudus dengan piranti dan rumusan-rumusannya,165

pe-

numpangan tangan,166

pakaian liturgi dan simbol-simbol liturgi,167

bahasa

Indonesia sebagai pengantar pelayanan peribadatan ataupun dalam liturgi,168

dan lain sebagainya.

164

Lih., Synode Keboemen 1931, Synode Ngajogjakarta 1945, Sinode GKD II 1950,

Sinode GKJ XVIII 1987 Artikel 137, Sinode GKJ XIX 1989 Artikel 148. 165

Lih., Synode Magelang 1935 no. 22., Sinode GKD IV 1954 Artikel 101., Sinode

GKD VII 1961 Artikel 66. 166

Akta Sinode GKD VI 1958 Artikel 103. 167

Akta Sinode GKJ XXIV 2006 Artikel 26. 168

Akta Sinode GKD IX 1964 Artikel 69, Akta Sinode GKD XI 1969 Artikel 133.

Page 18: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

114

Kesadaran oikumenis dalam berjemaat maupun sebagai gereja dewasa

yang ingin tidak tergantung pihak lain di dalam memiliki liturgi peribadahan

umat merupakan kewajaran yang baik. Namun, gagasan liturgi GKJ yang

oikumenis itu bukan tidak ada persoalan bila di dalam pelaksanaannya tidak

berakar pada konteks kehidupan umat. Demikian pula dengan ketidak-

tergantungan pada pihak lain untuk melengkapi pelaksanaan liturgi per-

ibadahan yang masih hanya sebatas bisa membuat sendiri barang-barang

yang sama dengan pihak lain namun dengan gagasan dan pola-pola mereka

tentu belum menuntaskan masalah. Sebab untuk kepentingan kemandirian

maupun kebersamaan yang berdaya guna bagi umat harus berpijak pada

gagasan dan pola-pola dari konteksnya sendiri.

Perbandingan terhadap masalah di atas dapat disandingkan dengan

liturgi umat Kristen pra-GKJ dalam peribadahan beserta tata cara maupun

nyanyian-nyanyian pujian mereka sendiri yang didasarkan pada gagasan-

gagasan serta pola-pola yang mengakar pada kehidupan mereka sebagai

orang Jawa sehingga dapat berdaya guna dalam perkembangan kehidupan

umat karena mudah diterima dan dihayati secara lebih sesuai.

3.5. Pokok-Pokok Bagian Liturgi GKJ

Bentuk liturgi GKJ yang disahkan pada tahun 1961 untuk berlaku

umum di kalangan umat GKJ itu tersusun dari pokok-pokok bagian,

sebagaimana berikut ini:

Page 19: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

115

Pokok bagian yang pertama adalah adiutorium169

dan salam. Pada

bagian adiutorium digunakan rumusan kalimat yang diambil dari Kitab

Mazmur 124:8, yaitu: Pertolongan kita ada di dalam nama TUHAN, yang

menciptakan langit dan bumi. Sedangkan untuk salam, digunakan rumusan

kalimat yang diambil dari Kitab Surat I Korintus 1:3 ataupun Kitab Wahyu

1:4b-5

a, yang demikian: Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah,

Bapa kita dan Tuhan Yesus Kristus kiranya ada pada saudara. Setelah

duduk, dilanjutkan dengan pokok bagian yang kedua, yaitu nyanyian pujian

yang dilakukan oleh umat secara bersama-sama.

Setelah umat menyanyikan pujian, pokok bagian yang ketiga adalah

perintah-perintah menurut ringkasan Kitab Injil Matius 22:37-40. Pada

bagian ini, umat melakukan pengakuan dosa dengan nyanyian, yang

kemudian disusul dengan berita anugerah dan petunjuk hidup baru yang

dibacakan dari ayat-ayat Alkitab yang dirujuk. Bacaan-bacaan tersebut

kemudian disanggupi oleh umat melalui nyanyian.

Usai umat menyanyikan nyanyian kesanggupan kemudian diteruskan

dengan pokok bagian yang keempat, yaitu pelayanan doa. Pelayanan doa ini

terdiri dari ucapan syukur dan syafaat. Setelah selesai, pokok bagian

keempat ini disambung dengan pokok bagian yang kelima, yaitu pelayanan

per-sembahan. Pelayanan persembahan ini diawali dengan pembacaan ayat-

ayat Alkitab yang memberikan ajakan kepada umat untuk mengumpulkan

persembahan beserta dengan tujuannya. Ketika persembahan telah dilaku-

169

Adiutorium, artinya pertolongan. Lih., Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 10. Bnd.,

Abineno, Unsur-Unsur Liturgia yang Dipakai Gereja-Gereja di Indonesia, 1-2.

Page 20: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

116

kan, kemudian menghaturkannya kepada Tuhan dengan doa, sekaligus

pemanjatan doa untuk pelayanan Sabda Tuhan itu.

Pokok bagian yang keenam adalah pelayanan Sabda Tuhan. Pelayanan

Sabda Tuhan di sini terdiri dari pembacaan Alkitab dan nats, kemudian

khot-bah. Selesai pelayanan Sabda Tuhan, kemudian dilanjutkan dengan

pokok bagian ketujuh, yaitu doa dan nyanyian penutup. Dan sebelum ibadah

ber-akhir, ada pokok bagian yang kedelapan, yaitu pengakuan iman yang

dilaku-kan oleh umat secara bersama-sama. Pada akhirnya, ibadah ditutup

dengan pokok bagian yang kesembilan, yaitu berkat. Di dalam pokok bagian

ini dipergunakan rumusan kalimat yang diambil dari Kitab Bilangan 6:24-

26, atau Kitab Surat II Korintus 13:13. “TUHAN memberkati saudara dan

melindungi saudara. TUHAN menyinari saudara dengan wajahNya dan

memberi saudara kasih karunia. TUHAN menghadapkan wajahNya kepada

saudara dan memberi saudara damai sejahtera”. Atau, “Kasih karunia

Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus

menyertai saudara”.

Yang penting di dalam tata peribadatan tersebut, keutuhan liturgi GKJ

bukan hanya persoalan terlaksananya seluruh urut-urutan pokok-pokok

bagian yang telah disebutkan tadi. Di dalam peribadatan GKJ, yang disebut

dengan liturgi juga mencakup tindakan penting pada bagian awal dan pada

bagian akhir peribadatan. Tindakan yang dianggap penting itu adalah

penyerahan Alkitab oleh pejabat penatua kepada pejabat pendeta atau

pemimpin yang akan mengajar dan menuntun seluruh jalannya peribadatan

Page 21: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

117

sebelum adiutorium; demikian pula sebaliknya, ketika pejabat pendeta atau

pemimpin peribadatan hendak undur dari tempat peribadatan setelah

berkat.170

Inilah liturgi formula I, atau liturgi baku awal yang berlaku di

kalangan umat GKJ.

3.6. Tantangan-Tantangan Terhadap Pelaksanaan Liturgi GKJ

Keberadaan liturgi formula I yang berlaku bagi seluruh umat di

kalangan jemaat GKJ tersebut nampaknya secara umum diterima dengan

baik. Hanya saja, di dalam perjalanan liturgi tersebut di waktu-waktu

kemudian bukannya tidak ada masalah. Paling tidak, adanya masalah di

dalam perjalanan liturgi formula I dari tahun 1961 itu diberlakukan adalah

nampak dengan adanya pengembangan yang dilakukan di kemudian hari,

hingga akhirnya muncullah liturgi-liturgi variatif yang diterbitkan pada

tahun 1993.171

Berdasarkan penggalian data yang tercatat pada dokumen akta-akta

persidangan sinode yang dilakukan semenjak tahun 1961 hingga sekarang,

ada beberapa persoalan yang dapat diistilahkan sebagai tantangan dari

dalam maupun tantangan dari luar.

170

Artikel 65, Acta Synode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa (Terjemahan). 171

Liturgi-liturgi variatif ini merupakan sebutan untuk Liturgi Kebaktian Minggu II

dan Liturgi Kebaktian Minggu III.

Page 22: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

118

3.6.1. Tantangan Liturgi GKJ dari dalam

Pada awalnya, tantangan dari dalam atas liturgi formula I adalah ber-

kaitan dengan persoalan keterlibatan umat untuk mengambil bagian di

dalam liturgi dipandang kurang, karena hanya diterima sebatas pemahanan

lahiriah saja. Sementara para petugas yang memimpin peibadatan juga

dipandang belum memberi penjelasan liturgi maupun tata cara pelaksanaan-

nya. Karena itu di dalam butir-butir keputusan yang terdapat pada artikel 69

akta persidangan sinode GKJ IX tahun 1964, dinyatakan bahwa supaya

jemaat berpartisipasi di dalam liturgi dan tidak menerima liturgi sebagai tata

cara lahiriah saja, dan para liturgos (yang memimpin ibadah) supaya

memberi keterangan dalam melakukan liturgi.

Persoalan selanjutnya di waktu-waktu awal berlakunya liturgi formula

I tersebut adalah kejenuhan. Untuk itu, dalam artikel yang sama terdapat

butir keempat yang isinya menyatakan keputusan bahwa persidangan

menyetujui liturgi tambahan sebagai variasi yang dapat digunakan berganti-

ganti. Adapun pokok-pokok bagian di dalam liturgi variasi tersebut adalah

sebagai berikut: (a) Votum/Salam Berkat. (b) Njanjian. (c) Sahadat.

(d) Sepuluh Hukum Tuhan (atau ringkasannja). (e) Njanjian Pengakuan

Dosa. (f) Berita Anugerah. (g) Persembahan. (h) Pembacaan Kitab Suci.

(i) Doa Sjafaat. (j) Khotbah. (k) Saat Teduh. (l) Doa Penutup. (m) Berkat.

Page 23: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

119

Persoalan kejenuhan ini semakin menonjol, karena beberapa waktu

kemudian, di dalam kesempatan sidang berikutnya kembali diangkat.172

Puncak pergumulan terhadap persoalan ini muncul usulan agar ada ibadah

atau liturgi Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Kenyataan ini nampak

tersirat dengan jelas dalam pernyataan Artikel 86 Akta Sidang Sinode GKJ

XVIII 1987. Dalam pembahasan usul dari Sinode Wilayah II tentang

Kebaktian Kebangunan Rohani, dan nampaknya ada gejala kejenuhan di

kalangan Warga Gereja mengenai penyelenggaraan liturgi GKJ, sidang

memutuskan menugasi Deputat Studi untuk meninjau ulang liturgi yang

sudah dibakukan dengan mencari kemungkinan bentuk liturgi yang bersifat

variatif. Pada akhirnya, tanggapan GKJ tentang KKR ini, dalam Sidang

Sinode GKJ Antara yang dilaksanakan pada tahun 1992 cukup sederhana.

Dalam persidangan tersebut, keputusan dari usulan Deputat Kesaksian

Pelayanan dan Pembinaan tentang KKR versi GKJ adalah bahwa KKR tidak

perlu ada. Untuk melaksanakan KKR sebagai sarana menampung aspirasi

anggota gereja, tetap dapat memberlakukan Akta XVIII GKJ artikel 95.

Selaras dengan persoalan kejenuhan di atas, terdapat persoalan lain

yang terkait dengan keberadaan pemuda di kalangan umat GKJ. Keterkaitan

ini terletak pada keinginan akan kebutuhan bahasa pengantar yang mudah

dimengerti penggunaannya atau praktis di dalam liturgi.173

Kecenderungan

akan kebutuhan bahasa pengantar yang dipandang mudah bagi pemuda di

172

Lih., Akta Sidang Sinode GKJ XV tahun 1978 Artikel 81 173

Sejak awal, penggunaan bahasa pengantar liturgi yang berlaku di tengah jemaat-

jemaat kalangan umat GKJ adalah bahasa Jawa.

Page 24: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

120

kalangan umat GKJ itu adalah bahasa Indonesia. Petunjuk adanya per-

masalahan pemuda di kalangan umat GKJ tersebut tersirat secara langsung

dalam usulan-usulan adanya KKR seperti keterangan di atas, dan pen-

terjemahan nyanyian pujian yang telah dimiliki GKJ ke dalam bahasa

Indonesia,174

sekaligus pengadaan pujian populer berbahasa Indonesia pula

untuk petemuan-pertemuan kaum pemuda dan kaum lainnya dalam akta

persidangan-persidangan sinode GKJ hingga saat ini.

Untuk permasalahan itu, pada tahun 1964 terdapat artikel persidangan

sinode dari GKJ yang menyatakan bahwa: “(d) ... di mana mungkin dan

perlu supaja diadakan ibadah dalam bahasa Indonesia, di samping bahasa

daerah. Maka djemaat-djemaat di kota-kota besar diandjurkan untuk

menjelenggarakan ibadah dalam bahasa Indonesia. (e) Memberi tugas

kepada Deputat jang bersangkutan untuk selekas mungkin menjalin

formulir-formulir dan liturgi dalam bahasa Indonesia, supaja salinan-salinan

tersebut diperbanjak dan dikirimkan kepada djemaat-djemaat jang

membutuhkannja. ...”175

Hanya saja, kebutuhan nyanyian pujian milik GKJ berbahasa Indo-

nesia maupun nyanyian populer yang diwacanakan dan diusulkan di atas

dipandang masih berat dalam pelaksanaan liturgi GKJ. Seperti dalam artikel

yang sama dengan di atas, pada butir selanjutnya dinyatakan: “(f) bahwa

Njanjian Mazmur/Rohani didjadikan njanjian resmi dalam ibadah dalam

174

Nyanyian pujian yang dimiliki oleh GKJ yaitu Mazmur 150 dan Kidung Pujian

dalam bahasa Jawa. 175

Akta sidang Sinode GKD IX 1964 Artikel 72 butir d-e.

Page 25: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

121

bahasa Indonesia.” Selanjutnya, dalam Artikel 133 Akta Sidang Sinode

GKD XI 1969 nampak bahwa ada usul dari Klasis Surakarta Timur untuk

menterjemahkan Kidung Pasamuwan Kristen Djawi dalam bahasa Indonesia

yang ditanggapi dengan keputusan: “(a) Terdjemahan tersebut di atas

dipandang tidak perlu. (b) Mengandjurkan kepada djemaat-djemaat agar

untuk sementara menggunakan buku Njanjian Mazmur dan Njanjian Rohani

dari Perbendaharaan Djemaat Segala Abad—karangan I. L. Kijne, terbitan

Stichting Geestelijke Liederen uit de Schat van de Kerk der eeuwen—

s’Gravenhage.” Masalah penterjemahan itu nampak berat untuk piranti

kelengkapan peribadatan dengan bahasa Indonesia, apalagi dengan wacana

pengadaan nyanyian populer untuk kebutuhan pemuda GKJ itu sendiri. Dari

Artikel 56 Akta Sidang Sinode XXII 2002, keputusan atas usulan dari

Klasis Salatiga terhadap hasil studi Deputat Pembinaan Warga Gereja

(PWG) tentang identitas dan lagu-lagu pujian populer yang digunakan kaum

pemuda Gereja, dinyatakan bahwa: “(1) Klasis-Klasis melakukan kajian-

kajian nyanyian pemuda sesuai kebutuhannya. (2) Menugasi Deputat PWG

untuk membentuk Tim Musik dan Liturgi, yang bertugas mengkaji nyanyian

populer pemuda.”

Persoalan terakhir yang menjadi tantangan yang berasal dari dalam

atas liturgi formula I itu sendiri adalah tekat kemauan yang sungguh-

sungguh para jemaat di kalangan umat GKJ secara menyeluruh untuk

mempergunakan liturgi formula I tersebut di dalam peribadatan umat.

Ternyata seiring dengan wacana liturgi variasi maupun KKR di atas terdapat

Page 26: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

122

pula jemaat-jemaat yang tidak, ataupun yang masih belum menggunakan

liturgi yang sudah ditetapkan serta diberlakukan bagi umat di kalangan GKJ.

Seperti ditemukan dalam Artikel 136 Akta Sidang Sinode GKJ XII tahun

1974 yang membahas adanya pemakaian liturgi yang tidak seragam dengan

liturgi hasil keputusan sidang Sinode. Keputusan artikel sidang tersebut

menyatakan: “(1) Menganjurkan kepada jemaat-jemaat GKJ untuk tetap

menggunakan liturgie yang telah diputuskan Sinode, demi memelihara per-

sekutuan. (2) Hanya dalam kebaktian-kebaktian istimewa dapat diperguna-

kan liturgie lain.”

3.6.2. Tantangan Liturgi GKJ dari luar

Sebagai bahasa pengantar percakapan yang mudah dimengerti peng-

gunaannya, pengaruh bahasa Indonesia ke dalam tata kebiasaan percakapan

di kalangan umat GKJ telah merasuk ke dalam kehidupan Gereja. Secara

sederhana, kenyataan itu dapat dikenali melalui pembahasan di dalam

sidang sinode GKJ tahun 1964 tentang penggunaan bahasa Indonesia. Pada

artikel 72 Akta Sidang GKD IX 1964 dinyatakan: “(1) Bahwa untuk

melajani Pemerintah dan masjarakat perlu mempergunakan bahasa resmi,

jalah bahasa Indonesia. (2) Bahwa dalam lapangan kebudajaan bahasa

Indonesia mendjadi media jang utama. (3) Bahwa gerakan oikumenis

mendorong Gredja-Gredja kita membuka pintu bagi saudara-saudara Kristen

dari suku lain, lagi pula mengingat pembentukan Gredja-Gredja Kristen

Indonesia Jang Esa j.a.d., maka penggunaan bahasa Indonesia merupakan

Page 27: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

123

media jang penting sekali. (4) Bahwa dipandang dari sudut praktis, banjak

para pemuda jang makin hari makin biasa mempergunakan bahasa Indo-

nesia, sehingga khotbah dalam bahasa tersebut lebih mudah diterimanja.”

Dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai sarana percakapan yang

praktis di kalangan umat GKJ, maka Artinya pada dirinya menjadi terbuka

terhadap berbagai hal, dan dimungkinkan pula bisa berdampak pada

berbagai tata jalinan dan pola-pola kehidupan yang dimiliki; termasuk di

dalamnya adalah liturgi sebagai bagian dari kehidupan peribadatan umatnya.

Dari sudut pengalaman lapangan, tantangan liturgi GKJ dari luar di

sini adalah adanya gerakan kharismatik. Kenyataan adanya gerakan

kharismatik yang menjadi tantangan liturgi GKJ tersebut diungkapkan

dalam persidangan Sinode GKJ pada tahun 1984. Dalam persidangan

tersebut dinyatakan bahwa, “Menanggapi usulan Sinode Wilayah II tentang

perlunya GKJ mengambil sikap terhadap Gerakan Kharismatik, sidang

memutuskan: (1) Menganjurkan agar Gereja-Gereja mengambil sikap hati-

hati terhadap Gerakan Kharismatik. (2) Agar Gereja-Gereja meningkatkan

penggembalaannya kepada warga gerejanya dan meningkatkan kegiatan-

kegiatan yang dapat menampung aspirasi warga, sehingga warga tidak ter-

pengaruh untuk memasuki Gerakan Kharismatik.”176

Sebagai pengaruh dari luar, nampaknya gerakan kharismatik tersebut

cukup kuat sehingga memunculkan penegasan sikap, seperti yang di-

nyatakan dalam Artikel 9 Akta Sidang Sinode GKJ Kontrakta 1992:

176

Akta Sidang Sinode GKJ XVII 1984 Artikel 42.

Page 28: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

124

“Menanggapi usulan Deputat Kesaksian, Pelayanan, dan Pembinaan Sinode

GKJ XIX tentang penentuan sikap GKJ terhadap kelompok kharismatik,

sidang memutuskan, (1) GKJ tidak perlu bersikap konfrontatif terhadap

kelompok kharismatik, tetapi hati-hati dan bijaksana, namun tegas.

(2) Gereja perlu meningkatkan pembinaan dan penggembalaan anggota

gerejanya agar tidak terpengaruh akibat negatif kelompok kharismatik,

bahkan kalau perlu diberlakukan pamerdi.”

Kedua keputusan di atas memiliki keselarasan dengan persoalan yang

menjadi tantangan dari dalam terhadap liturgi GKJ, seperti telah diungkap-

kan pada bagian di atas. Keselarasan itu adalah mengenai kejenuhan yang

pada akhirnya memunculkan usul maupun wacana adanya liturgi variatif

serta KKR. Tujuan usulan dan wacana diadakannya liturgi variatif maupun

KKR tersebut adalah untuk menampung aspirasi warga gereja. Karena itu,

di dalam serangkaian upaya untuk pengembangan hingga terwujudnya

liturgi yang ada sekarang ini, tantangan-tantangan berbagai persoalan di atas

menjadi bagian sumber pergumulan yang penting. Seperti dinyatakan oleh

Novembri Choeldahono, salah seorang pendeta GKJ yang ditunjuk Deputat

Studi dan Penelitian Sinode XX GKJ, menyatakan:

“Jadi kebutuhan awalnya itu bukan dari tantangan realitas dan

transformasi kultural. Tantangannya adalah ... dari kehidupan

internal; kejenuhan, kejenuhan liturgi! Maka Cuma ditambahkan

Page 29: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

125

liturgi alternatif I, II, III; Minggu Pertama, Minggu Kedua,

Minggu Ketiga, dan lebih partisipatif. Begitu, itu saja!”177

Pernyataan Novembri itu diperkuat oleh Siman Widyatmanta, salah

seorang pendeta GKJ yang ditunjuk sebelumnya oleh Deputat Studi dan

Penelitian Sinode XVIII GKJ. Dalam wawancara dengan beliau, diungkap-

kan bahwa:

“... tetapi sejak pemuda merasa bosan dengan liturgi yang selama

ini berjalan—coba itu dari ’61 sampai ... hampir’ 2000, itu

liturgi-nya itu-itu saja. Lalu Sinode membentuk komisi liturgi

variasi, muncul liturgi variasi Minggu Pertama, Minggu Kedua,

Minggu Keempat (maksudnya: Ketiga). Tetapi itu sifatnya

fakultatif. Artinya, bagi yang merasa bosan bisa mengunakan

variasi itu, bagi yang lain itu ya mânggâ, terserah. ..., liturgi ini

dalam kebaktian hari Minggu. ...”178

Singkatnya, berbagai tantangan terhadap pelaksanaan liturgi GKJ di

atas dapat dikatakan masih bersifat subjektif. Kurangnya penjelasan dan

petunjuk pelaksanaan liturgi di tengah peribadahan umat GKJ memungkin-

kan terjadinya penggunaan yang kurang bersungguh-sungguh, maupun

pengertian akan keterlibatan warga jemaat yang kurang, bahkan menimbul-

kan kejenuhan; walaupun kejenuhan atas liturgi GKJ di sini dimungkinkan

pula terkait adanya pengaruh gerakan kharismatik yang menggejala.

Sementara kejelasan persoalan, khususnya terkait dengan budaya yang dapat

menjadi objek penting pembentuk jati diri umat di dalam berliturgi baru

177

Lampiran 7. 178

Lampiran 8.

Page 30: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

126

nampak melalui sisi bahasa yang itu pun terbatas sebagai kebutuhan praktis

berkomunikasi.

3.7. Upaya Pengembangan Liturgi GKJ

Penanganan atas berbagai persoalan yang menjadi tantangan-tantangan

liturgi GKJ tersebut, sejak semula ada tindak lanjutnya, yaitu upaya untuk

pengembangan liturgi GKJ itu sendiri. Dasar dari langkah tindak lanjut itu

tersurat di dalam artikel-artikel akta persidangan sinode yang telah di-

lakukan. Seperti telah disebutkan dalam paparan data di atas, paling tidak

terdapat dua buah persoalan penting yang menjadi dasar tindak lanjut

pengembangan liturgi GKJ. Pertama adalah keinginan warga gereja supaya

bisa ikut berperan serta di dalam jalannya pelaksanaan liturgi. Kedua adalah

gerakan kharismatik yang perlu ditanggulangi dalam kehidupan peribadatan

umat GKJ.179

Kesempatan langkah tindak lanjut yang tegas mengenai upaya

pengembangan liturgi GKJ tersebut terjadi pada Sidang Sinode GKJ

Kontrakta tahun 1992. Dalam artikel 13 dinyatakan: “Setelah sidang mem-

bahas konsep Deputat Ketenagaan dan Studi Sinode GKJ XIX tentang

liturgi/tata ibadah GKJ, dengan mempertimbangkan usul klasis-klasis dan

pokok-pokok pikiran peserta sidang, sidang memutuskan: (1) Secara

prinsipial menyetujui liturgi GKJ. (2) Penyempurnaan secara redaksional

diserahkan kepada tim, ... (3) Jika penyempurnaan secara redaksional telah

179

Akta Sidang Sinode GKJ XVII 1984 Artikel 42.

Page 31: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

127

selesai dan dicetak, Aktuarius harap memberitahukan kepada gereja-gereja

tentang pemberlakuannya. (4) Liturgi yang diterima secara prinsipial

tersebut tidak dilampirkan dalam akta ini, demi efisiensi akan langsung

dibukukan dalam bentuk jadi setelah dikerjakan.”

Keputusan tentang liturgi dalam persidangan tersebut tidak terlepas

dari liturgi GKJ yang telah dihasilkan sebelumnya, yaitu liturgi baku yang

diresmikan pada tahun 1961, dan contoh liturgi tambahan sebagai variasi

yang dapat digunakan secara bergantian, seperti yang telah dijelaskan dalam

bagian tantangan dari dalam mengenai kejenuhan warga gereja dengan

liturgi GKJ dan upaya menanggulanginya. Artinya, bahwa langkah tindak

lanjut persidangan sinode tahun 1992 tersebut menjadi perangkum dari hasil

kerja beberapa tim penyempurna liturgi sebelumnya setelah pemberlakuan

liturgi baku tahun 1961 itu, yaitu: tim pertama yang bentuk di dalam Sidang

Sinode GKJ XVIII 1987, tim kedua yang dibentuk dalam Sidang Sinode

GKJ XIX 1989, dan tim ketiga yang dibentuk dalam Sidang Sinode GKJ

XX 1991.180

Usaha tentang penyempurnaan atau pengembangan liturgi GKJ itu

pada akhirnya menghasilkan buku liturgi yang diterbitkan pada tahun 1993,

dengan isi yang dapat dibilang memadahi dibandingkan dengan terbitan

liturgi tahun-tahun sebelumnya. Buku liturgi terbitan tahun 1993 itu berisi:

(1) Pengantar. (2) Penjelasan liturgi secara umum. (3) Penjelasan khusus

mengenai liturgi GKJ (4) Tata urutan pokok-pokok bagian liturgi (ibadah

180

Sinode GKJ, Liturgi GKJ, i-ii.

Page 32: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

128

Minggu) yang berlaku bagi kalangan umat GKJ dalam bahasa daerah (Jawa)

maupun bahasa nasional (Indonesia), (5) Liturgi khusus untuk: sakramen

penjamuan, sakramen baptis, mengakuan percaya (sidhi), peneguhan dan

pemberkatan nikah, peneguhan dan pelerehan majelis gereja, pentahbisan

pendeta, pendewasaan jemaat, peresmian gedung gereja, bahkan untuk

penerimaan kembali (warga yang dikucilkan).

Isi buku liturgi GKJ di atas terdapat beberapa pokok penting dalam

perkembangan liturgi GKJ. Pokok-pokok penting yang tercakup dalam buku

liturgi GKJ itu adalah sebagai berikut.

3.7.1. Penjelasan Pandangan GKJ tentang Liturgi181

3.7.1.1. Tata Ibadah

Menurut GKJ, liturgi adalah tata ibadah dan bahkan ibadah itu sendiri.

Karena, ibadah dengan tata ibadah itu menjadi satu. Di sini yang hidup dan

berdaulat adalah ibadah. Tata ibadah itu keluar atau timbul dari ibadah, dan

bukan sebaliknya; jangan sampai “tata” yang mati menguasai “ibadah” yang

hidup. Tatanya sangat tergantung kepada ibadahnya. Karena tata itu me-

rupakan pernyataan atau perwujudan ibadah. Tidak dapat mengadakan tata

lebih dahulu untuk mengatur ibadah, tetapi ibadah ada dulu lalu diwujudkan

dalam tata cara. Ibadah yang diwujudnyatakan tentu harus teratur (I Korin-

tus 14:40). Ibadah pribadi juga dilaksanakan dengan teratur, demikian juga

181

Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 1-9.

Page 33: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

129

ibadah keluarga. Apalagi ibadah dalam perkumpulan jemaat. Oleh karena

yang utama adalah ibadah, maka perlu diterangkan dulu tentang ibadah.

3.7.1.2. Arti Liturgi

Penjelasan tentang arti kata liturgi pada buku liturgi GKJ ini merunut

etimologi di dalam penggunaannya yang berasal dari pengertian umum

hingga penerapannya di dalam Alkitab. Intinya bahwa liturgi adalah kata

dari bahasa Yunani, yaitu leitourgia yang artinya pekerjaan atau pelayanan

untuk berbakti kepada negara atau pemerintahan, maupun masyarakat;

khususnya bagi masalah politik yang di dalamnya juga bisa mengandung

tindakan pelayanan pengorbanan bagi negara ataupun bangsa.

Liturgi dalam Perjanjian Lama berkaitan dengan tindakan pelayanan

kaum Lewi di Bait Allah. Arti kata ini juga ditemukan di dalam Perjanjian

Baru. Meskipun demikian makna liturgi atau ibadah di dalam Perjanjian

Lama berbeda dengan makna yang ada pada Perjanjian Baru. Liturgi di

dalam Perjanjian Lama telah digenapi di dalam Yesus Kristus, Tuhan.

Karena itu di dalam Tuhan Yesus Kristus liturgi atau ibadah bermakna baru.

Tidak ada pengurbanan berulang-ulang lagi seperti pada Perjanjian Lama,

melainkan lebih mengarah kepada makna mendasar yang menyeluruh,

seperti: masalah pemerintahan, penyembahan kepada Allah, kehidupan

kudus di dalam karya Tuhan Yesus Kristus, pelayanan pelayanan di antara

umat.

Page 34: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

130

Intinya, liturgi yang berarti kebaktian atau ibadah tidak dapat dipisah-

kan dengan perbuatan sehari-hari. Ibadah yang benar adalah ibadah yang

merupakan perwujudan dari apa yang hidup di dalam hati (Yohanes 4:23-

24) dan juga terwujud di dalam perbuatan sehari-hari.

3.7.1.3. Isi Liturgi

Liturgi berguna untuk mewujudkan bentuk ibadah tertentu, yang di

dalamnya menunjukkan persatuan jemaat, baik dengan Tuhan maupun

dengan anggota-anggota jemaat dan sesamanya. Dengan demikian di dalam

liturgi berlaku asas: Tindakan dari pihak Tuhan bersama dengan tindakan

dari umat (actus aparte Dei, actus aparte populi). Dengan kata lain di dalam

liturgi menunjukkan adanya perwujudan pertemuan antara Tuhan dan umat-

Nya. Isi dalam pertemuan antara umat dengan Tuhan tersebut secara pokok

berisi: (1) memecah-mecahkan roti dan perjamuan malam Tuhan, (2) peng-

ajaran, (3) doa, (4) memuji Allah, maupun (5) berkat. Pokok-pokok isi di

dalam peribadatan tersebut didasarkan pada adat kebiasaan umat Kristen

mula-mula maupun para bapa gereja di masa awal.

3.7.1.4. Kebebasan Pernyataan Roh dan Ikatan Liturgi

Terkait dengan masalah ini, liturgi GKJ memberi penjelasan sangat

mendasar. Ada dua segi yang perlu diperhatikan dalam peribadatan, yaitu

kebebasan mengatakan karunia Roh dan ikatan liturgi. Menurut Paulus,

yang penting untuk dipegang teguh ialah tujuan ibadah. Segala sesuatu

Page 35: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

131

harus dilihat dan diuji dalam terang tujuan itu, yaitu oikumene dalam makna

pembangunan jemaat. Karena itu karunia lidah juga harus digunakan untuk

membangun jemaat, sehingga harus diterangkan. Sebaliknya, kekakuan

ikatan liturgi jangan mematikan karunia Roh. Kedua unsur itu harus di-

kombinasikan secara harmonis, sebagaimana jemaat purba. Akan tetapi

Paulus tidak memotong atau mengurangi kehidupan dalam ibadah oleh tata

cara ibadah, dan juga tidak jatuh ke dalam kebebasan tanpa tujuan seperti

sektarianisme. Di sini harus dijelaskan akan tujuan ibadah, yaitu untuk

membangun persekutuan sebagai tubuh Kristus, Tuhan. Gereja sebagai

tubuh Kristus dibangun dalam kedatangan para anggota yang berkumpul.

Sebagai tubuh Kristus, Gereja mesti saling melayani satu dengan lainnya,

seperti umat Kristen purba disatukan dalam satu peristiwa perjamuan malam

dan satu Roh yang hidup dalam semua umat percaya (Yohanes 4:23).

3.7.1.5. Penyusunan Liturgi

Pada akhirnya, liturgi yang tersusun di dalam peribadatan mesti mem-

perhatikan asas dialogis. Sebab sebagai pewujudan pertemuan Tuhan

dengan umatNya itu, ada keyakinan iman bahwa di dalamnya terdapat sabda

Allah, sekaligus juga ditanggapi oleh umatNya. Misalnya: pernyataan

Sepuluh Hukum Tuhan, berita anugerah, pengajaran, berkat, yang di-

tanggapi dengan penyesalan dosa, kesanggupan, pengakuan iman pujian

syukur, persembahan, doa, dan lain sebagainya.

Page 36: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

132

3.7.2. Formula Pengembangan Liturgi GKJ

Selain penjelasan dasar, pengembangan liturgi GKJ terlihat juga

dengan adanya dua buah liturgi baru yang digunakan sebagai variasi pada

peribadatan hari Minggu, selain formula I. Kedua liturgi baru GKJ tersebut

pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan liturgi formula I. Sebab, asas

pengakuan prinsipial liturgi GKJ tidak bisa ditinggalkan. Yang membeda-

kan kedua liturgi baru itu dengan liturgi formula I adalah terdapatnya

rumusan-rumusan kalimat yang diucapkan secara bergantian oleh jemaat

dan pemimpin peribadatan (litani) dan peran jemaat di dalam pelaksanaan

liturgi.

3.7.2.1. Liturgi GKJ Formula I (Kebaktian Minggu I)

Sebagaimana dapat disimak di dalam Lampiran 1, asas dialogis dalam

peran Tuhan dan peran umat, serta kebebasan bagi penyataan kuasa Roh dan

ikatan liturgi bagi bangunan tubuh Kristus dijabarkan menjadi beberapa

pokok. Pertama, pengakuan dan dasar pelaksanaan ibadah dalam rumusan

votum, maupun penyampaian salam yang didasarkan pada kasih karunia

Tuhan bagi umat. Rangkaian adiutorium yang dilakukan sambil berdiri itu

kemudian ditanggapi umat dengan seruan “Amin”, pemuliaan atau pujian

umat kepada Tuhan sambil duduk. Kedua, pengakuan dosa umat kepada

Tuhan yang dijawab dengan penyampaian pengampunan melalui berita

anugerah serta perintah hidup baru dari Tuhan kepada umat. Jawaban Tuhan

itu lalu ditanggapi umat dengan kesanggupan, doa syukur umat bagi Tuhan

Page 37: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

133

dan syafaat agar umat secara umum maupun khusus dapat hidup setia dalam

pimpinan Tuhan untuk melaksanakan segenap perintahNya, demikian pula

dengan penyerahan persembahan syukur dari umat kepada Tuhan. Ketiga,

penyampaian firman Tuhan dengan pembacaan Alkitab yang disambut oleh

umat dengan seruan “Haleluya”, penjabaran dalam khotbah atau pengajaran

firman Tuhan yang ditanggapi umat dengan perenungan (saat teduh). Yang

keempat, mengakhiri ibadah dengan doa dan nyanyian akhir ibadah oleh

umat sambil berdiri untuk menyiapkan diri menerima perutusan dan berkat

Tuhan. Namun sebelum penyampaian berkat Tuhan, ada pengakuan iman

percaya umat kepada Tuhan.182

Jabaran asas-asas yang menjadi pandangan

GKJ atas liturginya itu memperlihatkan bentuk yang sederhana.

3.7.2.2. Liturgi GKJ Formula II (Kebaktian Minggu II)

Asas-asas yang menjadi pandang GKJ pada liturgi formula II tetap

sama dengan liturgi formula I. Meskipun demikian, bila diperhatikan

terdapat perbedaan bentuk, yaitu ada litani yang menjadi variasi untuk

memperlihatkan peran umat dan pemimpin, maupun dialog di dalam

peribadahan. Seperti nampak dalam lampiran 4, pada bagian adiutorium,

votum tidak hanya diserukan oleh pemimpin, tetapi juga oleh umat secara

bersama-sama melalui ajakan pemimpin. Setelah itu penyampaian salam

atas kasih karunia Tuhan dan tanggapan umat yang sama dengan liturgi

formula I. Selanjutnya, litani ditonjolkan pada waktu sebelum pemuliaan

182

Lampiran 1.

Page 38: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

134

atau pujian umat kepada Tuhan dengan petikan ayat dari Kitab Mazmur

100:3; 95:6; 100:4-5, demikian pula pada bagian pengakuan dosa umat

kepada Tuhan dengan petikan Mazmur 51:3-15 yang dijawab sama persis

dengan pengampunan melalui berita anugerah dan perintah hidup baru dari

Tuhan, maupun tanggapan umat dengan kesanggupan, doa syukur dan

syafaat sebagai-mana liturgi formula sebelum-nya. Sampai tahap ini muncul

variasi lagi, yaitu tidak dilanjutkan dengan penyerahan persembahan seperti

dalam liturgi formula I, melainkan diteruskan dengan penyampaian firman

Tuhan beserta dengan tangapan umat melalui perenungan. Demikian pula

usai penyampaian firman Tuhan tidak langsung masuk ke bagian penutup,

tetapi pengakuan iman percaya umat kepada Tuhan dan penyerahan

persembahan. Setelah semua itu barulah masuk akhir ibadah dengan

nyanyian akhir dan berkat Tuhan bagi perutusan umat, yang disambut

dengan kata “Amin”.183

3.7.2.3. Liturgi GKJ Formula III (Kebaktian Minggu III)

Pada liturgi formula III ini, asas-asasnya juga sama dengan formula-

formula sebelumnya. Meskipun memiliki variasi litani seperti liturgi

formula II, tetapi urutan unsur-unsur pokok di dalam rangkaian liturginya

persis seperti liturgi formula I. Namun demikian bentuk liturgi formula III

ini tetap memiliki perbedaan dibandingkan dengan liturgi formula I. Apabila

liturgi formula I berbentuk sederhana, maka di dalam liturgi formula III

183

Lampiran 2.

Page 39: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

135

terdapat pembagian peran antara para pelayan bersama dengan umat. Hal itu

dapat dicermati dalam lampiran Liturgi Kebaktian Minggu III. Dimulai

dengan litani ringkas pada bagian pertama dalam adiutorium oleh pemimpin

yang mengajak umat mengucapkan votum dan disusul dengan penyampaian

salam atas kasih karunia Tuhan kepada umat beserta tanggapan mereka

dengan kata “Amin”, kemudian salah seorang petugas (kantor) sebagai

wakil umat mengajak semua hadirin untuk memuliakan Tuhan dengan

nyanyian pujian. Pengakuan dosa umat kepada Tuhan dipimpin secara

khusus oleh seorang majelis dengan litani pendek yang mengajak hadirin

mengucapkan pengakuan dosa secara bersama-sama. Pengakuan itu dijawab

dengan penyampaian pengampunan melalui berita anugerah dan perintah

hidup baru dari Tuhan kepada umat, yang disambut dengan kesanggupan

oleh umat dengan litani pendek melalui panduan pemimpin ibadah maupun

melalui nyanyian yang dipimpin oleh seorang kantor, dilanjutkan doa

syukur dan syafaat, serta penyerahan persembahan umat kepada Tuhan.

Setelah itu disampaikan firman Tuhan dengan pembacaan Alkitab yang

disambut oleh umat dengan seruan “Haleluya”, dan diteruskan penjabaran

dalam khotbah atau pengajaran firman Tuhan yang ditanggapi umat dengan

perenungan, persis liturgi formula I. Akhirnya, ibadah ditutup dengan doa

akhir ibadah dan pengucapan Doa Bapa Kami bersama-sama, nyanyian

akhir umat sambil berdiri untuk persiapan menerima perutusan dan berkat

Page 40: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

136

Tuhan yang disisipi penyataan pengakuan iman percaya umat kepada

Tuhan. Ketika berkat disampaikan umat menerima dengan “Amin”.184

3.7.3. Prinsip liturgi GKJ Terkait Liturgi Variasi maupun Liturgi

Pelayanan Khusus.

Adanya pokok-pokok bagian yang terangkai menjadi perwujudan

makna pertemuan antara Tuhan dan umatNya dengan dialog yang merupa-

kan bentuk keterlibatan umat di dalam kedua liturgi baru tersebut me-

nunjukkan adanya persamaan-persamaan yang mengacu pada pengakuan

prinsipial liturgi seperti penjelasan ringkas pokok-pokok bagian liturgi GKJ

berikut ini.185

Votum (Adiutorium), berarti janji yang khidmat atau ikrar.

Pelaksanaan bagian ini selalu ada di awal peribadatan. Sebab votum

berisikan rumusan untuk meneguhkan pengabsahan peribadatan yang

dilaksanakan. Sumber yang diambil untuk rumusan votum adalah Mazmur

124:8, maupun Mazmur 138, atau Mazmur 146:6. Akan tetapi, yang diguna-

kan biasanya adalah Mazmur 124:8 saja, seperti yang diwajibkan oleh

Sinode Dordrecht (1574) dari kebiasaan Calvin. Rumusan votum itu ialah,

“Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan yang menjadikan langit dan

bumi.” Karena peneguhan di sini menyatakan pengakuan adanya per-

tolongan, maka votum disebut juga adiutorium, yang artinya pertolongan.

184

Lampiran 3. 185

Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 10-14.

Page 41: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

137

Pelaksanaan votum di dalam bahasa Jawa dapat diucapkan dengan “ngoko”

ataupun “krâmâ”.

Salam. Sumber untuk rumusan salam GKJ adalah salam rasuli (Roma

1:7b; I Korintus 1:3, dst.), yang diambil dari adat kebiasaan peribadatan

Yahudi (Immamat 19:20; I Samuel 25:6). Bagian ini terangkai dengan

votum. Pelaksanaan salam dilakukan oleh pemimpin peribadatan setelah

votum, dengan mengangkat tangan kanan lurus ke atas. Sesuai keputusan

Sinode GKJ, salam disampaikan dengan mengangkat tangan hanya apabila

yang melayankan pendeta. Apabila yang melayankan bukan pendeta, tidak

dengan mengangkat tangan.

Pujian, yaitu pemuliaan Tuhan dengan nyanyian atau dibarengi dengan

bacaan Mazmur; Bagian ini sebenarnya biasa disebut introitus, yang terdiri

dari nyanyian masuk dengan, atau tanpa nats pendahuluan sebagai pem-

bimbing. Nats pembimbing harus sesuai dengan khotbah. Nyanyian pujian

sebagai jawab jemaat.

Pengakuan Dosa. Pengakuan dosa terdiri lima bagian. (1) Pembacaan

Hukum Kasih. (2) Setelah menerima Hukum Kasih, jemaat mengakui dan

menyesali dosanya dengan doa atau nyanyian penyesalan, bahkan keduanya.

(3) Sesudah itu, jemaat menerima berita anugerah pengampunan dari

Alkitab. (4) Setelah menerima pengampunan dosa, jemaat masuk ke dalam

persekutuan hidup baru di dalam Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu,

jemaat diberi petunjuk atau perintah hidup baru dari Alkitab. Kalau menurut

Calvin tahap ini dibacakan Sepuluh Hukum. Itu bukan untuk cermin

Page 42: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

138

mengetahui dosa, tetapi berisi petunjuk-petunjuk menurut perintah Tuhan,

agar orang yang telah diperbaharui hidupnya menjadi anak-anak Tuhan,

yang dapat mengetahui dan mentaati kehendak Tuhan. (5) Kesanggupan,

yang menjadi wujud jemaat yang sudah bergembira di dalam persekutuan

Tuhan Yesus Kristus dengan seruan tekat berwujud komitmen dan nyanyian

yang tepat.

Doa. Doa di sini adalah doa syukur dan doa syafaat. Supaya tidak

terlalu panjang, berputar-putar, dan diulang-ulang, maka di dalam doa ini

pelayan harus menentukan apa saja yang didoakan. Boleh juga ada orang-

orang sakit tertentu yang disebutkan dalam doa. Demikian juga hal-hal lain.

Dalam doa ini tidak dimasukkan doa untuk pengampunan dosa, sebab sudah

dilakukan sebelumnya di dalam bagian pengakuan dosa. Doa ini juga bisa

dilakukan oleh pelayan dan jemaat. Misalnya: Doa syukur untuk permulaan

doa itu disampaikan oleh pemimpin lalu disambung dengan syafaat yang

dilakukan oleh beberapa anggota jemaat atau penatua. Tentu saja ditunjuk

lebih dulu siapa yang berdoa untuk hal ini, dan seterusnya. Kemudian

ditutup oleh pelayan.

Persembahan. Bagian ini terdiri dari tiga bagian. (1) Pembacaan ayat-

ayat dari Alkitab untuk mendorong, atau dasar dan tujuan persembahan.

(2) Pengumpulan persembahan. Tentang banyak dan macam kantong, harus

dijelaskan kepada jemaat tentang apa perlunya, supaya jemaat dengan

kesadaran penuh menghaturkan persembahannya. Tentu saja tidak tiap-tiap

kali diterangkan. Tetapi jangan terlalu lama tidak pernah diterangkan. Ada-

Page 43: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

139

pun yang mengumpulkan persembahan dengan kantong itu tidak harus

majelis. (3) Doa untuk menghaturkan persembahan yang sudah terkumpul

kepada Tuhan. Hal ini boleh juga dilakukan oleh anggota majelis. Dan

dalam doa itu disambung juga dengan doa untuk pelayanan Firman yang

segera akan dilakukan.

Pelayanan Firman. Pokok bagian ini terdiri dari tiga bagian. (1) Pem-

bacaan Firman dari Alkitab. (2) Pembacaan nats Khotbah. (3) Khotbah.

Setelah pelayanan Firman, selanjutnya adalah pokok bagian Penutup. Dalam

pokok bagian penutup, ada dua hal. (1) Doa penutup, dan lebih baik bila doa

ini diakhiri dengan Doa Bapa kami. (2) Nyanyian penutup.

Sebelum pelayanan berkat ada pokok bagian lain, yaitu Pengakuan

Iman. Pokok bagian ini diucapkan bersama-sama oleh seluruh jemaat, bukan

hanya pelayan sendiri, dengan cara berdiri. Selesai pelaksanaan Pengakuan

Iman, yang terakhir adalah pokok bagian Berkat. Sumber yang diambil

untuk rumusan berkat adalah Bilangan 6:24-26, atau dapat juga dari II

Korintus 13:13. Oleh karena rumus berkat ini diambil dari ayat Alkitab,

maka sebaiknya tidak tambahi atau diubah menurut selera sendiri, yang

kadang-kadang malah isinya salah (tidak sesuai dengan kepercayaan yang

diimani melalui Gereja). Penyampaian berkat pelayan mengedangkan kedua

tangan setinggi pundak.

Hal yang tidak kurang penting ialah bahwa pada permulaan ibadah,

wakil majelis jemaat menyerahkan Alkitab kepada pelayan, dan pada akhir

ibadah, wakil majelis yang tadi menyerahkan Alkitab kepada pelayan

Page 44: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

140

kemudian menerima kembali Alkitab tadi dari pelayan. Ini melambangkan

pemberian mandat untuk melayani ibadah (termasuk di dalamnya penyam-

paian ajaran) sesuai dengan Firman Tuhan dan pada akhir ibadah mandat

tersebut dikembalikan lagi.

Jadi, penanganan persoalan yang berasal dari tantangan-tantangan

pelaksanaan liturgi GKJ di atas adalah berupa pemberian pengertian mau-

pun teknis pelaksanaan agar mudah disampaikan kepada umat, sekaligus

dapat dipelajari dan dipraktikan oleh mereka. Bisa jadi persoalan ini mirip

dengan apa yang dilakukan oleh umat Kristen pra-GKJ dengan serangkaian

ritual persiapan saat hendak hingga memasuki peribadahan menurut cara

yang mereka terima dan hayati sebagai orang Jawa. Itu artinya, persoalan

liturgi sebagai cara penghayatan iman umat bukanlah pekerjaan sambil lalu,

melainkan harus ada tanggung jawab penyampaian yang dikerjakan khusus.

3.8. Perkembangan Pergumulan Liturgi GKJ Baru

Terbitnya buku Liturgi GKJ dengan muatan yang memadai tersebut

menjadi awalan baru bagi kehidupan peribadatan umat GKJ. Hingga kini,

kiranya secara berangsur-angsur formula-formula liturgi yang terhimpun di

dalam buku Liturgi GKJ itu mampu mendorong umat GKJ semakin dapat

terbuka untuk menyadari dan mengerti akan inti penghayatan iman yang

harus diwujudkan melalui dan sekaligus sebagai ibadah kepada Tuhan di

tengah kenyataan kehidupan dunia di mana dia berada.

Page 45: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

141

Menurut data yang dapat dicermati, terdapat dua sisi kenyataan

kehidupan dunia yang mendorong perkembangan di dalam pergumulan

pelaksanaan liturgi GKJ lebih lanjut. Sisi-sisi itu adalah kesadaran akan

kebutuhan yang berasal dari pergumulan kehidupan umat GKJ di aras

jemaat setempat (lokal) dan sinodal (oikumenikal), terkait dengan kenyataan

ke-masyarakatan yang bersifat majemuk beserta dengan berbagai macam

kebudayaan yang ada di dalamnya.

Kesadaran-kesadaran akan kebutuhan yang berasal dari pergumulan

kehidupan umat GKJ di aras lokal maupun sinodal tersebut sebetulnya

bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Tetapi seiring dengan proses

waktu, jaman, maupun kenyataan kemasyarakatan yang terus berubah dan

sungguh berbeda, secara pasti GKJ mulai melepaskan diri dari keter-

gantungannya terhadap faham-faham yang dimiliki oleh Gereja inangnya,

yaitu Heidelbergsche Catechismus. GKJ mulai berusaha memandang ber-

bagai kenyataan yang ada di tengah keberadaannya sebagai pijakan

sekaligus tempat untuk mewujudkan iman yang membumi.186

3.8.1. Kesadaran Akan Kebutuhan dari Pergumulan Umat GKJ di

Aras Jemaat Lokal

Semenjak diberlakukannya Liturgi GKJ baru, pada tahun 1996 mulai

nampak adanya pergumulan atas perjumpaan iman umat GKJ yang senan-

tiasa diresapi melalui liturgi dengan kenyataan budaya yang setiap hari ada

186

Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2005, (Salatiga:

Percetakan Sinode GKJ, 2009), vii-x.

Page 46: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

142

di tengah kehidupan masyarakatnya. Perjumpaan itu makin menyadarkan

umat akan kebutuhan budaya sebagai ruang bagi mereka bertumbuh

sekaligus mewujudkan imannya di dalam kehidupan nyata. Karena itu, pada

Sidang Sinode Terbatas GKJ 1996 dinyatakan bahwa: “Setelah membahas

rekomendasi Aktuarius tentang perlunya setiap keluarga warga GKJ ikut

memelihara dan melestarikan budaya serta bahasa Jawa, sidang memutus-

kan agar warga GKJ terlibat secara kritis dalam kegiatan pelestarian budaya

dan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun dalam

kebaktian, dengan cara antara lain menggunakan renungan harian dalam

bahasa Jawa.”187

Keputusan sidang sinode tersebut menjadi pintu bagi umat GKJ di

dalam menembus penghalang kerinduan mereka untuk memijakkan kaki di

atas dunia nyata yang menjadi kehidupannya sendiri secara utuh. Misalnya,

pada masa kelahirannya penggunaan bahasa Jawa sedikit atau banyak telah

memberi topangan bagi keberadaan GKJ. Bahkan, sempat dipegang kuat,

khususnya di dalam acara-acara resmi, seperti bahasa pengantar yang sah

untuk persidangan gereja.188

Namun seiring dengan perubahan yang ada di

tengah masyarakatnya, seakan bahasa Jawa mulai terpinggirkan oleh bahasa

Indonesia. Karena tetap dipandang penting, maka keputusan Sidang Sinode

Terbatas GKJ 1996 itu menjadi penggiat bagi umat GKJ menumbuhkan dan

187

Akta Sidang Sinode GKJ Terbatas 1996 Artikel 41. 188

Bnd., Acta Synode Magelang 1948 Artikel 11. Ada usulan oleh tamu persidangan

dari kalangan gereja di luar GKJ supaya dalam sidang sinode yang senantiasa diselenggara-

kan diijinkan pula menggunakan bahasa Indonesia, tetapi usulan itu ditolak oleh peserta

sidang.

Page 47: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

143

mempergunakannya kembali. Demikian juga dengan gamelan yang dulu

dikesampingkan dari peribadatan karena belum bisa dianggap punya nilai

kristiani,189

maka dengan keputusan Sidang Sinode Terbatas GKJ 1996 ter-

sebut memiliki peluang besar untuk dipergunakan sebagai mana mestinya.

Secara mendasar, contoh-contoh di atas memberikan pengertian pula

bahwa sisi-sisi budaya lainnya di dalam kemajemukan masyarakat yang ada

di tengah kehidupan umat GKJ memiliki peluang juga untuk dijadikan

pijakan sekaligus tempat bagi pewujudan iman yang mengakar; termasuk

ungkapan iman melalui liturgi. Karena itulah, di dalam proses pergumulan

lanjutan tentang Liturgi GKJ baru, selain diadakan upaya sosialisasi hasil

kajian liturgi dan nyanyian gerejawi pada persidangan Sinode Antara GKJ

2004 diadakan sarana penunjang bagi kebutuhan yang dipergumulkan di

aras lokal itu, yaitu: Pelatihan Bahasa Jawa, pembentukan Wadah Konsul-

tasi Bahasa dan Budaya Jawa.190

Kebutuhan dari pergumulan aras lokal umat GKJ tersebut nyata

dengan adanya berbagai upaya tindak lanjut yang (secara langsung ataupun

tidak langsung dapat dikaitkan dengan liturgi) menjangkau banyak segi

yang berasal dari keberadaan masyarakat beserta dengan budaya yang ada di

dalamnya. Perluasan jangkauan segi-segi keberadaan masyarakat beserta

dengan budayanya itu meliputi pembentukan Tim Liturgi dan Musik Gereja-

wi maupun Komisi Liturgi, Lembaga Kajian Budaya Jawa (LEMKABUJA),

mengadakan kajian teologi kontekstual dan berteologi lokal serta teologi

189

Lih., Acta Synode Poerwokerto 1936, no. 13. 190

Akta Sidang Sinode GKJ Antara 2004 Artikel 25, 26, 27.

Page 48: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

144

bencana, kajian agama-agama maupun hubungan dialogis dan kerja sama

dengan penganut agama lain, teologi lintas iman, Studi Intensif Tentang

Islam (SITI), kajian Pancasila sebagai asas bernegara dan berbangsa di

Indonesia, kajian jender, kajian lingkungan hidup,191

dan lain sebagainya.

Sebelum perluasan segi-segi pemahaman sekaligus pengungkapan

iman umat GKJ atas pijakannya sendiri pada masa-sama tersebut di atas

hingga kini, jauh sebelum Liturgi GKJ baru disusun dan diterbitkan sebetul-

nya sudah ada upaya yang dilakukan bersamaan dengan lahirnya liturgi GKJ

formula I. Salah satu keputusan dari Sindang Sinode GKJ VII tahun 1961

dinyatakan bahwa: “Membahas usulnya Klasis Banyumas Utara tentang

Seminar Kebudayaan Nasional, sinode memutuskan mengangkat suatu

panitia pemerhati kebudayaan nasional dipandang dari iman Kristen. ...”192

Keputusan itu kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan Sidang Sinode

GKJ IX tahun 1964.

Terkait dengan perluasan pemahaman dan pengungkapan iman di awal

sebelum adanya Liturgi GKJ Baru tersebut, terdapat dua keputusan penting

dari Sidang Sinode GKJ IX tahun 1964 ini. Yang pertama dinyatakan

bahwa: “Setelah membahas laporan Komisi Kebudajaan Nasional yang

berisi (1) Ang-gauta Komisi terdiri dari 7 orang, (2) Susunan organisasi

191

Akta Sindang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel 110, 111, 112., Akta Sindang

Sinode GKJ Terbatas 1996 Artikel 41, 49, 63., Akta Sindang Sinode GKJ Antara 2000

Artikel 11., Akta Sindang Sinode GKJ XXIII 2002 Artikel 22, 35., Akta Sindang Sinode

GKJ Antara 2004 Artikel 67., Akta Sindang Sinode GKJ XXIV 2006 Artikel 11, 18, 44,

67., Akta Sindang Sinode GKJ XXV 2009 Artikel 15, 16, 17, 43, 56., Akta Sindang Sinode

GKJ XXVI 2012 Artikel 18, 48, 55, 62. 192

Acta Sidang Synode VII 1961 Artikel 92.

Page 49: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

145

komisi jang lalu terdiri dari ketua, penulis, anggauta, ditambah Seksi Tata

Panembah, Seksi Mazmur/Kidung, Seksi Karawitan/Beksan/Pedalangan,

(3) Hasil pekerdjaan seksi, antara lain: tjeramah, ekspresi kebudajaan nasio-

nal, dan lain sebagainja, sinode memutuskan menerima baik laporan-laporan

tersebut, serta usul-usulnya dengan ketentuan (1) Membentuk Deputat

Kebudajaan jang tetap dengan seksi-seksi penelitian dan penggiat. Deputat

diberi tugas: a) Mengadakan penelitian terhadap perkembangan di bidang

kebudajaan, b) Memberikan pandangan-pandangan tentang kebudajaan,

c) Menggiatkan lembaga-lembaga kebudajaan Kristen jang ada agar dapat

dipimpin kepada pertobatan dan kemurnian kebudajaan nasional jang

menuju kepada ethos dan escathos Keradjaan Surga, d) Membentuk Panitia

Kebudajaan di tiap djemaat, e) Berusaha menjediakan anggaran belandja

jang tjukup untuk melaksanakan tugas tersebut.”193

Yang kedua dinyatakan bahwa: “Dalam membitjarakan usul Klasis

Sala Timur mengenai penindjauan kembali Pengadjaran Agama Kristen

(Heidelbergsche Catechismus), mengingat (1) Kebutuhan menjelaraskan

pengadjaran agama dengan keadaan jang terdapat di Indonesia pada

umumnja, dan suku Djawa pada chususnja jang menganut aliran Islam dan

Kedjawen (mistik), (2) Bahwa Heidelbergsche Catechismus diterima

sebagai keterangan tentang Firman Tuhan dalam Perdjanjian Lama dan Baru

dalam lingkungan GKD, (3) Memandang penting bahwa Pengadjaran

Agama Kristen perlu diberikan dengan mengingat latar belakang keagamaan

193

Acta Sindang Sinode GKD IX 1964 Artikel 83.

Page 50: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

146

masyarakat, sinode memutuskan memberi tugas kepada Deputat

Penjelidikan untuk: a) Mempeladjari Heidelbergsche Catechismus, apakah

membutuhkan perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan berhubung

dengan kepentingan di atas, b) Mengusulkan perobahan dan tambahan-

tambahan kepada Sinode, bilamana dipandang perlu, c) Melaporkan hasil

penjelidikan tersebut kepada sindang Sinode jang akan datang.”194

Disayangkan, semenjak ada LEMKABUJA upaya kajian kebudayaan

Jawa yang sudah dilakukan dari waktu-waktu awal keberadaan GKJ dalam

wadah Adat-Recht menjadi semakin tidak dikenal lagi dan tidak diketahui

juga hubungannya dengan sarana penunjang yang baru itu. Bahkan pada

Akta Sidang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel 105, diputuskan bahwa Adat-

Recht tidak perlu dilestarikan dan tidak dilanjutkan, dengan anggapan

sebagian isinya sudah dimasukkan dalam Tata Gereja yang tengah disusun.

3.8.2. Kesadaran Akan Kebutuhan dari Pergumulan Umat GKJ di

Aras Sinodal

Apabila wujud sisi kesadaran akan kebutuhan dari pergumulan umat

GKJ di aras lokal di atas bersifat gagasan-gagasan mendasar berlandaskan

budaya sebagai cara pandang di dalam kehidupan peribadatan, maka pada

kesadaran akan kebutuhan dari pergumulan umat GKJ di aras sinodal di sini

cenderung lebih bersifat atributif dan teknis dalam menyampaikan sumber

yang digunakan sebagai wahana untuk menghantarkan gagasan-gagasan

194

Acta Sindang Sinode GKD IX 1964 Artikel 87.

Page 51: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

147

dasar beserta nilai-nilainya bagi kehidupan umat melalui pengajaran

(khotbah). Demikian pula, bahwa kesadaran akan kebutuhan dari per-

gumulan umat GKJ pada aras sinodal di sini juga memiliki sifat pastoral.

Yang dimaksudkan dengan kebutuhan dari pergumulan di aras sinodal

dalam liturgi di atas adalah kelengkapan yang berupa lambang-lambang.

Misalnya seperti benda-benda atau barang-barang aksesori dan warna-warna

liturgis, hingga gerakan-gerakan isyarat (gesture) yang digunakan pada

liturgi. Pergumulan tersebut dapat dilihat dalam hasil-hasil persidangan-

persidangan Sinode GKJ pasca dimulainya pemberlakuan Liturgi GKJ baru.

Seperti dinyatakan dalam Akta Sidang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel

30 bahwa: “Setelah membahas laporan Deputat Keesaan Sinode GKJ XX

tentang pemakaian toga bagi para pendeta GKJ, dengan memperhatikan dan

mempertimbangkan bahwa pendeta mempunyai pakaian jabatan yaitu toga

dan clerical colar, sidang memutuskan untuk upacara-upacara khusus antara

lain pelayanan sakramen, peneguhan, diseyogyakan para pendeta mengena-

kan toga, sedangkan untuk acara/keperluan lain menyesuaikan.” Dari per-

nyataan tersebut jelas sekali bahwa pakaian pendeta merupakan lambang

liturgis yang dianggap penting dan dibutuhkan umat di dalam pelaksanaan

pelayanan peribadatan.

Untuk menegaskan kebutuhan ini, pergumulan pakaian pendeta

sebagai lambang liturgis tersebut ditindaklanjuti pada Sidang Sinode GKJ

Non Reguler tahun 2005. Dalam Artikel 14 dinyatakan bahwa: “Setelah

membahas Draft Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ tentang pakaian liturgis

Page 52: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

148

pendeta GKJ dan kelengkapannya, antara lain berupa toga dan stola, sidang

memutuskan (1) Menugasi Lembaga Studi dan Pengembangan (LSP) GKJ

melalui Deputat Keesaan untuk: a) Melakukan studi tentang pakaian liturgis

yang mencakup i) Sejarah penggunaan pakaian liturgis, ii) Dasar teologis

dan makna. b) Melaporkan hasil studi tersebut ke Sidang Sinode GKJ

XXIV. (2) Menugasi Deputat Penatalayanan untuk menganggarkan biaya

studi tersebut.”

Hasil dari kerja LSP GKJ yang diputuskan dalam Sidang Sinode GKJ

Non Reguler 2005 tersebut tertuang pada Akta Sidang Sinode GKJ XXIV

2006 Artikel 26 yang menyatakan bahwa: “Setelah membahas materi dari

Klasis Sragen dan laporan LSP Sinode GKJ tentang penggunaan simbol-

simbol dan pakaian liturgi, sidang memutuskan (1) Menerima laporan LSP.

(2) Tetap memberikan kebebasan Majelis Gereja untuk memutuskan peng-

gunaan simbol-simbol lokal serta pakaian lokal dalam ibadah. (3) Menugasi

BAPELSIN untuk menyusun pedoman penggunaan simbol-simbol dan

pakaian liturgi beserta maknanya serta menjemaatkan ke Gereja-Gereja.”

Masih berhubungan dengan pergumulan lambang liturgis di dalam

peribadatan umat GKJ yang lainnya adalah pengangkatan tangan. Setelah

pemberlakuan Liturgi GKJ baru, pergumulan tentang pengangkatan tangan

di dalam salah satu pokok bagian yang terdapat pada awal dan akhir liturgi

terungkap pada Akta Sidang Sinode GKJ XXIV 2006 Artikel 22. Pada

artikel itu dinyatakan bahwa: “Setelah membahas materi dari Klasis Salatiga

tentang pengangkatan tangan oleh pejabat gerejawi selain Pendeta dalam

Page 53: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

149

ibadah ketika salam dan berkat, sidang memutuskan menugasi BAPELSIN

untuk melakukan pengkajian tentang hal ini, dengan memperhatikan Akta

Sidang Sinode GKJ XIII tahap II/1974 Artikel 153.”195

Selanjutnya karena

dianggap belum tuntas dan penting bagi peribadatan umat GKJ pada

umumnya, maka muncul lagi dalam Akta Sidang Sinode GKJ XXVI 2012

Artikel 91, yang menyatakan bahwa: “Setelah membahas materi dari Klasis

Salatiga Utara tentang pernah adanya penugasan kepada LSP untuk meng-

kaji pengangkatan tangan non Pendeta dalam ibadah namun belum pernah

ada publikasinya; sidang memper-timbangkan Akta Sidang Sinode XXIV

2006 Artikel 22 tentang pengangkatan tangan dalam ibadah, sidang

memutuskan menugasi BAPELSIN GKJ XXVI melakukan kajian dikaitkan

dengan teologi jabatan serta menjemaatkan.”

Sedangkan sebagai sifat teknis dalam menyampaikan sumber yang

digunakan untuk menghantarkan gagasan-gagasan mendasar beserta nilai-

nilainya bagi kehidupan umat melalui pengajaran sebagaimana juga disebut-

kan di atas adalah tata cara dalam rupa penataan bacaan ayat-ayat Alkitab

dengan pola daftar (leksionari) yang disesuaikan pula dengan penataan masa

penghayatan iman umat disepanjang tahunnya (kalender gerejawi).

195

Akta Sidang Sinode GKJ XIII 1974 Artikel 153, menyatakan: “Setelah sidang

membahas laporan seksi E yang telah menggumuli usul Klasis Yogyakarta Timur tentang:

mengangkat tangan dalam mengucapkan I Kor 1:3 dalam liturgie kebaktian, maka sinode

memutuskan: Dalam mengucapkan Firman yang tersebut dalam I Kor. 1:3 (“Kasih karunia

dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu

…”) tidak dibenarkan dengan mengangkat tangan selain Pendeta, mengingat bahwa Firman

tersebut adalah salam berkat.”

Page 54: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

150

Sebelum menggunakan leksionari, penyampaian pengajaran dalam

rangkaian liturgi di tengah umat GKJ dilakukan dengan cara membacakan

ayat-ayat Alkitab yang dipilih menurut masing-masing pengkhotbah sendiri

(lectio colecta) dan cenderung kurang memperhatikan masa-masa peng-

hayatan iman yang bisa dilihat sepanjang tahun. Namun semenjak pember-

lakuan Liturgi GKJ baru, bacaan ayat-ayat Alkitab sebagai sumber peng-

ajaran bagi umat pada akhirnya menjadi semakin tertata menurut kalender

gerejawi secara urut dan menyeluruh (lectio continua) yang meliputi kitab-

kitab Injil, Perjanjian Lama (termasuk Mazmur), dan Surat-Surat Rasuli

(epistel).

Kebutuhan dari pergumulan umat akan persoalan itu nyata seperti ter-

gambar dalam pernyataan Akta Sidang Sinode GKJ XXV 2009 Artikel 75

yang menyatakan bahwa: “Setelah membahas usul dari (1) Klasis Banyumas

Utara tentang revisi liturgi ibadah. (2) Purworejo agar sinode mengkaji

secara serius penggunaan bacaan leksionari. (3) Yogyakarta Selatan tentang

penjelasan penggunaan bacaan leksionari di dalam liturgi. (4) Pekalongan

Barat agar sinode menetapkan penggunaan bacaan leksionari dalam ibadah.

(5) Semarang Timur tentang dasar penggunaan bacaan leksionari dan

kaitannya dengan liturgi I, II, III. (6) Semarang Selatan tentang pengkajian

ulang penggunaan leksionari. (7) Kartasura agar sinode menyusun Tata

Ibadah berdasarkan bacaan leksionari dan menetapkan penggunaan simbol,

warna, dan pakaian liturgi. (8) Boyolali agar sinode mempersiapkan liturgi

yang mengarah kepada bacaan leksionari. (9) Klaten Barat tentang meng-

Page 55: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

151

gunaan liturgi secara sinodal yang menggunakan bacaan leksionari dan

tambahan dokumen gereja pada kalender gerejawi. (10) Pertanyaan dari

Klasis Semarang Timur tentang kalender gerejawi; sidang mempertimbang-

kan (1) Keterlibatan GKJ dalam Gerakan Oikumene melalui keesaan

bacaan, (2) Sejarah keselamatan yang utuh diharapkan mampu dihayati oleh

jemaat, maka sidang memutuskan: (1) Menetapkan penggunaan bacaan

leksionari (Revised Commond Lectionary) dalam ibadah GKJ. (2) Menugasi

tim liturgi sinode untuk menyelenggarakan kajian tentang bacaan leksionari

dan menyusun tata ibadah yang sesuai bagi penggunaan bacaan leksionari

dalam tata ibadah GKJ dengan mempertimbangkan kalender gerejawi,

kekayaan budaya, dan pergumulan lokal. (3) Memberikan kesempatan

kepada tim selama 12 bulan untuk menyelesaikan kajian dan liturgi, dan

disosialisasikan. (4) Hasil kajian disosialisasikan kepada jemaat oleh gereja

masing-masing.”

Ada beberapa hasil yang sudah bisa diwujudkan dari keputusan Sidang

Sinode GKJ XXV 2009 di atas. Pertama adalah pendistribusian leksionari

setiap tahun ke seluruh jemaat GKJ. Kedua, tulisan-tulisan khotbah untuk

setiap peribadatan hari Minggu maupun renungan harian yang disusun oleh

Sinode GKJ telah dibuat sesuai dengan bahan leksionari yang diambil dari

Revised Commond Leksionary (RCL). Ketiga adalah dibuatnya dua buah

Page 56: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

152

ragam bentuk rancangan liturgi untuk penggunaan leksionari dengan

penjelasan ringkas dan lengkap.196

Akhirnya, yang dimaksudkan dengan kesadaran akan kebutuhan dari

pergumulan umat GKJ pada aras sinodal yang juga memiliki sifat pastoral

adalah berupa nyanyian-nyanyian pujian umat, yang sesungguhnya sangat

berhubungan erat dengan persoalan tantangan-tantangan dalam per-

kembangan liturgi sekaligus tanggung jawab keberadaan umat GKJ sebagai

Gereja yang dewasa, sebagimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya.

Yang pasti, kesadaran akan kebutuhan dari pergumulan umat GKJ

pada aras sinodal yang bersifat penggembalaan itu semakin jelas semenjak

proses kehidupan peribadatan pasca pemberlakuan Liturgi GKJ baru. Tanpa

harus kehilangan kekhasannya sebagai Gereja Jawa yang harus berkembang

dan dapat menampung aspirasi umatnya, maka ditetapkanlah keputusan

dalam beberapa Sidang Sinode GKJ untuk memperkuat peribadatan umat

yang di-lakukan dengan liturgi GKJ baru tersebut.

Pada Akta Sidang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel 98, 99, 100, ditegas-

kan bahwa Mazmur dan Kidung yang diubah menjadi Kidung Pasamuwan

Kristen (KPK) ditetapkan sebagai nyanyian resmi di GKJ.197

Demikian pula

dengan Kidung Pujian yang telah disusun dan waktu itu tengah diadakan

perbaikan sebagai nyanyian tambahan (suplemen) bagi umat ditetapkan

196

Sinode GKJ, Menuju Pembaruan Liturgi Gereja Kristen Jawa, (Salatiga:

Percetakan Sinode GKJ, 2011), 23-24. 197

Bahkan, ketika KPK di kemudian waktu juga mengalami pembaruan, maka

muncul pula Akta Sidang Sinode GKJ XXIII 2002 Artikel 23 yang menyatakan bahwa:

“Menanggapi usulan Klasis Salatiga untuk memberlakukan KPK lama dan baru karena

keduanya sama-sama memiliki kelebihan, sidang memutuskan memberlakukan keduanya.”

Page 57: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

153

sebagai nyanyian resmi di GKJ. Adapun Kidung Jemaat juga boleh di-

pergunakan dalam peribadatan Minggu dengan pertimbangan untuk me-

numbuhkan semangat oikumene seperti anjuran Sidang Raya PGI X 1984.

Seluruh pergumulan yang berkembang atas pelaksanaan liturgi GKJ

yang baru tersebut, selaras pula dengan upaya perumusan PPAGKJ yang

semestinya menjadi dasar liturgi bagi umat GKJ itu sendiri. PPAGKJ yang

memiliki benih jauh sebelum waktu proses perumusan yang secara pasti

dilakukan setelah tersusunnya liturgi GKJ baru tersebut,198

pada akhirnya

selain berusaha mempertahankan warisan ajaran iman yang dipandang

masih memiliki relevansi dengan konteks kehidupan umat,199

juga mampu

memperlihatkan pandangan imannya yang khas.

Kekhasan pandangan iman yang pada akhirnya dapat dimiliki oleh

GKJ tersebut adalah: (1) Acuan PPAGKJ hanya Alkitab. Karena itu literatur

acuan disendirikan pada Buku Penjelasan Pokok-Pokok Ajaran Gereja

Kristen Jawa. (2) Titik tolak PPAGKJ berasal dari pendekatan soteriologi,

di mana keselamatan dikerjakan oleh Allah. Karena itu Kristologi dipandang

198

Lih., Acta Synode GKD XI 1969 Artikel 78 butir (1) dan (3). Dalam artikel ini

dinyatakan bahwa: “Setelah mendengar dari Seksi I jang membahas laporan dari Deptutat

Penjelidikan hal pemindjauan kembali Pengadhajaran Agama Kristen (Heidelbergsche

Catechismus), sidang menerima dan memutuskan: Mengingat bahwa jang disebut Heidel-

bergsche Catechismus jalah suatu document dan bahwa jang berhak merubah/

merubah/mengurangi hanjalah penulisnja sendiri, sinode berpendapat bahwa sinode GKD

tidak mungkin merubah/mengurangi, baik isi maupun sistem dan bentuknja. ... Untuk

menjusun buku pegangan akatekisasi jang sesuai dengan keadaan di sini dengan ketentuan:

(a) memuat peladjaran mengenai pokok-pokok kepertjajaan Kristen, (b) memasukkan lebih

banjak lagi pengertian mengenai etika Kristen (kemasjarakatan dan politik), (c)

memperhati-kan konfrontasi Indjil dengan isme-isme dan aliran-aliran kepertjajaan lain... .” 199

Warisan ajaran iman yang masih dipertahankan oleh GKJ dalam pembaruan

rumusan yang tersusun di dalam PPAGKJ adalah: (1) Dasa Titah. (2) Doa. (3) Pengakuan

Iman Rasuli. Lih., Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, (Salatiga:

Percetakan Sinode GKJ, 1997), 6, 102-125.

Page 58: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

154

sebagai salah satu dari kesatuan dan puncak dari cara kerja Allah untuk

menyelamatkan manusia di dalam wujud Trinitas. (3) Pandangan iman

tentang Alkitab sebagai firman Tuhan. (4) Panggilan Kristen ataupun Gereja

yang sesungguhnya terletak pada kegunaannya sebagai pemberitaan

keselamatan dan memeliharaannya. (5) Pandangan sikap dan tangung jawab

orang percaya di tengah dunia dengan berbagai macam kenyataan bentuk

dan perkembangan kehidupan manusia, yang meliputi sikap terhadap: a) Ke-

hidupan di dunia. b) Etika. c) Alam. d) Kebudayaan. e) Ilmu pengetahuan

teknologi dan teknik. f) Sekularisme. g) Negara. h) Agama-agama.200

3.9. Penutup

Kesimpulan dari paparan dan analisa himpunan data di atas adalah

bahwa liturgi GKJ lahir tidak berasal dari benih pergumulan budaya beserta

perubahan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakatnya sendiri,

melainkan oleh sejarah ekspansi missionaris Gereja Calvinis Belanda

(GKN) bagi jemaat Jawa. Karena itu, liturgi GKJ adalah liturgi yang

benihnya diturunkan dari pandangan dan tradisi Gereja Calvinis Belanda.

Liturgi GKJ lahir oleh dorongan kenyataan umat sebagai jemaat

dewasa, sekaligus tuntutan oikumenis gereja-gereja seasas yang tersebar dan

berkembang di daerah-daerah Jawa pada khususnya. Meskipun benih liturgi

GKJ berasal dari warisan faham Gereja Calvinis Belanda, namun keberada-

200

Bnd., Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, 7-125., Sinode

GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2005, (Salatiga: Percetakan Sinode

GKJ, 2009), 1-101., Akta Sidang Sinode GKJ Terbatas 1996 Artikel 24.

Page 59: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

155

annya belum dikembangkan secara kreatif dengan berbagai wacana dan

kajian sejarah dan budaya yang telah banyak dilakukan sesuai konteks

masyarakatnya. Bahkan sebagai keputusan sidang, hasilnya belum mampu

diwujudkan dengan sepenuh hati, sehingga liturgi GKJ terkesan terkoloni.

Walaupun pada akhirnya GKJ memiliki pandangan iman sendiri yang

ditumbuhkan dari konteks masyarakatnya, tetapi teologi GKJ itu kurang

teresap dalam liturgi GKJ. Sebab liturgi GKJ terlanjur kuat mengakar secara

mapan dalam pandangan dan tradisi yang diwarisi sebelumnya, yaitu GKN.

Kenyataan itu nampak pada pendekatan yang dilakukan sebagai jalan keluar

persoalan yang dihadapi, maupun pada pengembangannya hingga sekarang.

Pendekatan tersebut adalah pendekatan teknis dan praktis yang cenderung

berkiblat pada warisan GKN, daripada pandangan dari PPAGKJ maupun

dari khazanah tradisi budaya yang menjadi akar serta jiwa perikehidupan

umat sehari-hari di tengah masyarakatnya. Misalnya masalah dan pengem-

bangan nyanyian umat, musik peribadahan, pakaian liturgis, lambang-

lambang peribadahan, tata cara peribadahan dan keikutsertaan umat di

dalam pelaksanaannya, dan lainnya.

Secara teologis, liturgi dipahami oleh GKJ sebagai sarana mewujud-

kan ibadah dalam perbuatan sehari-hari, sekaligus untuk menyatakan

pertemuan umat dengan Allah yang memberi anugerah penyelamatan dan

manusia menanggapinya. Di dalam penerapan dan pengembangannya,

pengertian liturgi GKJ itu belum menampakkan langkah membumi, melain-

kan masih cenderung menekankan pendekatan prakmatik.

Page 60: BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA 3.1. Pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/3/T2_752011044_BAB...98 kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ,

156


Recommended