BAB IV
ANALISIS TERHADAP TEORI EVOLUSI AGAMA PRIMITIF
MENURUT E.B. TYLOR
A. Analisis Terhadap Pendapat E.B. Tylor Tentang Teori Evolusi Agama
E.B.Tylor menyelidiki agama-agama bangsa primitif, serta bagaimana
perkembagannyasecara evolusionir. Pembahasannya dalam masalah agama
disusun dalam bukunya yang terkenal primitive culture (1871). Menurut teori
evolusi, yang ia terapkan dalam perkembagan keagamaan, yang disebut agama
itu adalah kepercayaan pada hal-hal gaib. Hal gaib itu menurut pendapatnya
adalah kepercayaan terhadap animisme dan snimisme inilah dipandang
sebagai dasar filsafat manusia dari sejak masih primitif sampai dengan
manusia beradab sekarang ini. Animisme itu, menurut pendapatnya terdiri dari
dua macam dogma yakni kepercayaan kepada roh-roh makhluk hidup yang
tetap dapat hidup terus meskipun telah meninggal dunia atau telah rusak
badan jasmaniahnya, sedangkan dogma yang kedua adalah kepada kepada
roh-roh yang meningkat kepada tingkat dewa-dewa yang berkuasa. Hal-hal
gaib, menurut pandangan orang primitif, dianggap mempengaruhi dan
menguasai kejadian-kejadian duniakebendaan, kehidupan manusia di dunia
dan di akhirat. Hal gaib atau roh tersebut dipercayai selalu bergaul dengan
manusai serta mendapatkan kesenangan dan kesusahan akibat perbuatan
manusia. Kepercayaan animisme itu kemudian berkembang secara evolusioner
ke arah polyteisme dan akhirnya menjadi monotheisme.
51
52
Menurut Mariasusai Dhavamoni, Animisme sebagaimana digunakan
dan dipahami oleh E.B.Tylor mempunyai dua arti. Pertama, dia dapat
dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan manusia religius, khususnya
orang primitif, membubuhkan jiwa pada manusia dan juga pada semua
makhluk hidup dan benda mati. Kedua, dapat berarti juga bahwa animisme
dapat dianggap sebagai teori yang dipertahankan oleh Tylor dan pengikut-
pengikutnya, bahwa ide tentang jiwa manusia merupakan akibat dari
pemikiran mengenai beberapa pengalaman psikis, terutama mimpi, dan ide
tentang makhluk-makhluk berjiwa diturunkan dari ide tentang jiwa manusia
ini, oleh karena itu merupakan bagian dari tahap berikutnya dalam
perkembangan kebudayaan.1 Animisme berasal dari kata anima, animae; dari
bahasa latin “animus, dan bahasa yunani “Avepos”, dalam bahasa sansekerta
disebut”prana”, dalam bahasa Ibrani “ruah” yang artinya “nafas”, atau
“jiwa”.2 Dalam biologi atau psikologi, animisme adalah pandangan bahwa
pikiran atau jiwa adalah suatu elemen immaterial yang bekerja sama dalam
tubuh melalui otak dan sistem saraf. Dalam filsafat, animisme adalah doktrin
yang menempatkan asal mula kehidupan mental dan fisik dalam suatu energi
yang lepas atau sekurang-kurangnya berbeda dari jasad. Atau, animisme
adalah teori bahwa segala obyek alami ini bernyawa atau berjiwa, mempunyai
“spirit” dan bahwa kehidupan mental serta fisik bersumber pada nyawa, jiwa,
atau “spirit” tadi.
1 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, terj.A.Sudiarja, et al, Kanisius Anggota
IKAPI, Yogyakarta,1995, hlm.66.
2 Ibid,hlm.24. Moh.Rifai, Perbandingan Agama, Wicaksana Semarang,1983, hlm.118..
53
Dari pandangan sejarah agama, istilah tersebut digunakan dan
diterapkan dalam suatu pengertian yang lebih luas untuk menunjukkakn
kepercayaan terhadap adanya makhluk spiritual yang erat sekali hubungannya
dengan tubuh atau jasad. Makhluk spiritual tadi merupakan suatu unsur yang
kemudian membentuk jiwa dan kepribadian yang tidak lagi dengan suatu
jasad yang membatasinya.3
Dalam studi tentang sejarah agama primitif, dikenal “necrolatry”,
“spiritisme”, “naturisme”, dan animisme. Necrolatry adalah pemujaan
terhadap roh-roh atau jiwa manusia dan binatang, terutama pemujaan
terhadap roh orang yang telah meninggal. Spiritisme adalah pemujaan
terhadap makhluk spiritual yang tidak dihubungkan dalam suatu cara yang
mapan dengan jasad-jasad tertentu dan obyek-obyek tertentu. Naturisme
adalah pemujaan terhadap mahluk spiritual yang dikaitkan dengan fenomena
alam dan kekuatan kosmos yang besar seperti angin, sungai, bintang-bintang,
langit dan juga obyek-obyek yang menyelimuti bumi ini, yaitu tanaman-
tanaman dan binatang. Sedangkan pada animisme tekanan pemujaannya
adalah pada makhluk spiritual yang obyeknya tidak dapat dilihat oleh mata
manusia.
Animisme juga memberi pengertian yang merupakan suatu usaha
untuk menjelaskan fakta-fakta alam semesta dalam suatu cara yang bersifat
rasional. Karenanya lalu sering dikatakan “kepercayaan” atau agama” dan
“filsafat” masyarakat yang belum berperadaban. Karena obyek-obyek tadi
3 Ibid.
54
sangat berkuasa dan memnentukan keselamanatan manusia, maka manusia
lalu menghormatinya, memuja, dan menyembahnya. Tingkatan pemujaan dan
penyembahan ini berdasarkan atas tingkatan rasa takut, penghargaan, rasa
ketergantungan dan kebutuhan terhadapnya. Animisme sangat populer
dikalangan masyarakat primitif sehingga memberi kesan sebagai “agama
primitif”.
Obyek-obyek yang bergerak dan dipercayai mampu bergerak memberi
kesan manusia primitif apakah pada seperangkat jasad tersebut terdapat
makhluk yang tersembunyi?, atau apakah pada jasad tersebut ada yang
membantu, menopang dan menggerakkan dengan keinginan, kehendak,
seperti yang ada pada dirinya sendiri? Ini kemudian membawa masyarakat
primitif pada suatu kondisi mental untuk menciptakan perlambang kehidupan
seperti “keperibadian” pada beberapa kekuatan alam.4
Menurut teori animisme, ide tentang roh mula-mula dikemukakan
dengan pemahaman sederhana tentang adanya kehidupan ganda yaitu pada
waktu terjaga dan pada waktu tidur. Sebenarnya, menurut para sarjana, orang-
orang yang belum berperadaban (Tylor menyebut ini dengan “savage”,
orang-orang biadab) pengalaman pada waktu tidur dan pada waktu terjaga
sama saja. Karena itu memberikan suatu pengertian kalau mereka mengalami
4 Suatu konsepsi yang sama terdapat dikalangan orang-orang yang sudah berperadaban.
Orang Ashivis dan zuni, tulis Mr.Frank Cushing, menganggap matahari, bulan, bintang, langit,
bumi, lautan dalam segala fenomena dan elemennya, serta segala obyek lainnya adalah termasuk
sistem kesadaran dan kehidupan. Lihat Zakiah Daradjat, Perbandingan agama, bagian I, Bumi
Aksara, Jakarta,1996, hlm.90.
55
sesuatu dia melihat langsung gambaran-gambaran lahiriyah dari obyek-obyek
tersebut. Mereka beranggapan bahwa kalau mereka bermimpi mengunjungi
suatu tempat tertentu, mereka yakin benar bahwa mereka sungguh-sungguh
berada dan berkunjung ke tempat tersebut. Namun mereka tidak dapat
berkunjung ke sana lagi kalau dua hal tidak ada pada mereka yaitu jasad yang
tetap ada di bumi ini, dan benar-benar terjaga (tidak mimpi). Mereka
beranggapan bahwa selama waktu tertidur, mereka berpergian menembus
angkasa. Demikian juga halnya kalau mereka berbicara dengan seseorang
yang sungguh-sungguh dikenalnya.
Membicarakan teori animisme tidak dapat dilepaskan dari adanya dua
keyakinan kepercayaan pada orang-orang primitif yaitu keyakinan
kepercayaan akan adanya jiwa pada setiap makhluk yang dapat terus berada
sekalipun makhluk tadi sudah meninggal, atau tubuhnya sudah hancur, dan
keyakinan adanya banyak roh yang berpangkat-pangkat dari yang terendah
sampai yang tertinggi.
Dalam animisme terdapat suatu susunan keagamaan dengan suatu
rangkaian upacara-upacara dan bentuk-bentuk sesembahan yang melukiskan
adanya makhluk –makhluk halus, roh-roh dan jiwa-jiwa yang mempunyai
keinginann dan mempunyai kehendak. Selain itu, dalam animisme
didapatkan juga adanya daya kekuatan yang bekerja dalam manusia karena
keinginan dan kehendak tadi.5Juga dalam animisme kita dapatkan
kepercayaan bahwa makhluk-makhluk halus atau roh-roh tadi ada disekitar
5 Ibid., hlm.24-26
56
manusia, baik di hutan, ladang, di kebun, di air, di pepohonan, gunung-
gunung, rumah-rumah, di jalan-jalan, dan makhluk atau roh tadi, kadang-
kadang bersikap baik terhadap manusia, kadang-kadang sebaliknya, sehingga
manusia dikuasai oleh rasa takut. Roh-roh ini bersifat supramanusiawi yang
sangat mempengaruhi dan menentukan kehidupan manusia. Karenanya
masyarakat primitif menyadari bahwa pada keinginan manusia sendiri ada
keinginan yang lain; pada kehendakknya sendiri juga ada kehendak lain; pada
suaranya sendiri ada suara lain; pada perbuatan sendiri ada perbuatan lain;
dan seterusnya.
Politeisme merupakan bentuk religi yang dapat dikatakan sebagai
perkembangan yang lebih jauh dan mengarah kepada suatu sistem banyak
dewa-dewa. Dalam masyarakat demikian, mereka percaya kepada banyak
dewa-dewa. Hal demikian mungkin pula merupakan perkembangan dari
Theisme cosmis.6Politeisme mengandung kepercayaan kepada dewa-dewa.
Dalam agama ini hal-hal yang menimbulkan perasaan takjub dan dahsat
bukan lagi dikuasai oleh roh-roh tetapi oleh dewa-dewa. Kalau roh-roh dalam
animisme tidak diketahui tugas-tugasnya yang sebenarnya, dewa-dewa dalam
politeisme telah mempunyai tugas tertentu. Demikian lah, ada dewa yang
bertugas menyinarkan cahaya dan panas ke permukaan bumi. Dewa ini dalam
agama Mesir kuno disebut Ra, dalam agama India kuno syuria dan dalam
agama Persia kuno mithra. Adapula dewa yang tugasnya menurunkan hujan,
yang diberi nama Indra dalam agama India kuno dan donnar dalam agama
6 Ibid., hlm.158. Bandingkan H.Dadang Kahmad, op. Cit, hlm.33.
57
Jerman kuno. Selanjutnya adapula dewa angin yang disebut wata dalam India
kuno dan wotan dalam agama Jerman kuno.7
Berlainan dengan roh-roh, dewa-dewa diyakini lebih berkuasa. Oleh
karena itu tujuan hidup beragama di sini bukanlah hanya memberi sesajen
dan persembahan-persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga
menyembah dan berdoa pada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari
masyarakat yang bersangkutan. Tetapi dalam politeisme terdapat faham
pertentangan tugas antara dewa-dewa yang banyak itu. Dewa kemarau dan
dewa hujan mempunyai tugas yang bertentangan. Demikian juga dewa musim
dingin dengan dewa musim panas, dewa pembangunan dengan dewa
penghancuran dan sebagainya. Kalau berdoa, seorang politeis dengan
demikian tidak memanjatkan doa hanya kepada satu dewa, tetapi juga kepada
dewa lawannya. Kepada dewa hujan umpamanya diminta supaya menurunkan
hujan dan kepada dewa kemarau dipanjatkan doa supaya jangan menghalang-
halangi kerja dewa hujan. Dengan jalan demikian masyarakat politeisme
berusaha menyelamatkan diri dari bahaya-bahaya yang mengancam mereka.8
Oleh sebab itu, adakalanya tiga dari dewa-dewa yang banyak dalam
politeisme meningkat ke atas dan mendapatkan perhatian serta pujaan yang
lebih besar dari yang lain. Disini timbullah faham dewa tiga. Dalam ajaran
agama Hindu, dewa tiga itu mengambil bentuk Brahma, Wisnu, Syiwa, dalam
7 Harun Nasution, Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1,
Universitas Indonesia (UI. Pres), 1985, hlm.14.
8 Ibid.
58
agama Veda Indra, Vithra dan Varuna, dalam agama Mesir kuno Osiris
dengan istrinya Isis dan anak mereka Herus dan dalam agama Arab Jahiliyyah
al-Latta, al-Uzza, dan Manata.
Ada kalanya satu dari dewa-dewa itu yang meningkat di atas segala
dewa lain seperti Zeus dalam agama Yunani kuno, Zupiter dalam agama
Romawi dan Ammon dari agama Mesir kuno. Ini belum berarti pengakuan
pada satu Tuhan, tapi baru pada pengakuan dewa terbesar diantara dewa yang
banyak. Faham ini belum meningkat pada faham henoteisme atau
monoteisme, tetapi masih berada dalam tingkat politeisme.
Tetapi kalau dewa yang terbesar itu saja kemudian yang dihormati dan
dipuja, sedang dewa-dewa lain ditinggalkan, faham demikian telah keluar dari
politeisme dan meningkat kepada henoteisme. Henoteisme mengakui satu
Tuhan untuk satu bangsa, dan bangsa-bangsa lain mempunyai Tuhannya
sendiri-sendiri. Henoteisme mengandung faham Tuhan nasional. Faham yang
serupa ini terdapat dalam perkembangan faham keagamaan masyarakat
Yahudi. Yahweh pada akhirnya mengalahkan dan menghancurkan semua
dewa suku bangsa Yahudi lain, sehingga yahweh menjadi Tuhan nasional
bangsa Yahudi.
Dalam masyarakat yang sudah maju, agama yang dianut bukan lagi
dinamisme, animisme, politeisme atau henoteisme, tetapi agama monoteisme,
agama tauhid. Dasar ajaran monoteisme adalah Tuhan satu, Tuhan Maha Esa,
pencipta alam semesta. Dengan demikian perbedaan antara henoteisme dan
monoteisme ialah bahwa dalam agama terakhir ini Tuhan tidak lagi
59
merupakan Tuhan nasional tetapi Tuhan internasional, Tuhan semua bangsa
di dunia ini bahkan Tuhan alam semesta.9
Monoteisme, yaitu bentuk religi (agama) yang berdasarkan pada
kepercayaan terhadap satu Tuhan dan terdiri atas upacara-upacara guna
memuja Tuhan. Contohnya, agama Islam dengan inti ajaran imannya yang
berbentuk pengakuan, “Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad itu
utusan Allah”. Juga dalam Yudaisme (Agama Yahudi) disebutkan,
“Dengarlah orang Israel, Tuhan kita adalah Tuhan Yang Satu”. Dan dalam
sikhism disebutkan, “Tidak ada Tuhan kecuali Tuhan Yang Satu”.10 Kalau
dalam agama-agama sebelumnya asal-usul manusia belum memperoleh
perhatian, dalam agama monoteisme manusia telah diyakini berasal dari
Tuhan dan akhirnya akan kembali ke Tuhan. Oleh karena itu kesadaran
bahwa hidup manusia tidak terbatas hanya pada hidup dunia, tetapi disebalik
hidup materi ini masih ada hidup lain sebagai lanjutan dari hidup pertama,
menonjol dengan jelas ke atas. Seterusnya menjadi keyakinan pula dalam
agama monoteisme bahwa diantara kedua hidup itu, hidup kedualah yang
lebih penting dari hidup yang pertama. Hidup pertama hanya mempunyai sifat
sementara. Sedangkan hidup yang kedua bersifat kekal. Senang atau sengsara
hidup seseorang di hidup kedua nanti tergantung pada baik dan buruknya
9 Ibid., hlm.14-15
10 H. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, Perspektif Ilmu Perbandingan Agama,
Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 32. Bandingkan dengan Koentjaraningrat, Beberapa Pokok
Antropologi Sosial, Dian Rakyat Jakarta,1974, hlm. 268-269., dan Y.W.M.Bakker S.Y., Umat
Katolik Berdialog Dengan Umat Beragama, Kanisius, Yogyakarta, 1976, hlm. 29.
60
hidup yang dijalaninya di hidup yang pertama ini. Kalau ia hidup disini
sebagai orang-orang baik ia akan memperoleh kesenangan disisi Tuhan kelak,
tetapi kalau ia hidup dalam keadaan jahat, ia akan mengalami kesengsaraan
diakherat nanti. Faham serupa ini belum jelas kelihatan dalam agama
politeisme apalagi dalam agama-agama dinamisme dan animisme.11
Tujuan hidup dalam agama monoteisme bukan lagi mencari
keselamatan hidup material saja, tetapi juga keselamatan hidup kedua atau
hidup spiritual. Dalam istilah agama disebut keselamatan dunia dan
keselamatan akherat. Jalan mencari keselamatan itu bukan lagi dengan
memperoleh sebanyak mungkin mana, sebagai halnya dalam masyarakat
dinamisme, dan tidak pula dengan membujuk dan menyogok roh-roh dan
dewa-dewa, sebagaimana halnya dalam masyarakat animisme dan politeisme.
Dalam monoteisme kekuatan gaib atau supernatural itu dipandang sebagai
suatu zat yang berkuasa mutlak dan bukan lagi sebagai suatu zat yang
menguasai sesuatu fenomena natur seperti halnya dalam faham animisme dan
politeisme. Oleh karena itu Tuhan dalam monoteisme tidak dapat dibujuk-
bujuk dengan saji-sajian. Kepada Tuhan sebagai pencipta yang mutlak orang
tak bisa kecuali menyerahkan diri, menyerahkan diri kepada kehendak-Nya.
Dan sebenarnya inilah arti kata Islam yang menjadi nama agama yang
diturunkan kepada nabi Muhammad. Islam ialah menyerahkan diri sebulat-
bulatnya kepada kehendak Tuhan. Dengan menyerahkan diri ini, yaitu dengan
11 Harun Nasution, op. cit, hlm.15-16.
61
patuh kepada perintah dan larangan-larangan Tuhanlah, orang dalam
Monotheisme mencoba mencari keselamatan.
Di sinilah letaknya perbedaan besar antara agama-agama primitif dan
agama monoteisme. Dalam agama-agama primitif manusia mencoba
menyogok dan membujuk kekuasaan supernaturil dengan penyembahan dan
saji-sajian supaya mengikuti kemauan manusia, sedang dalam agama
monoteisme manusia sebaliknya tunduk kepada kemauan Tuhan. Tuhan
dalam faham monoteisme adalah Maha Suci dan Tuhan menghendaki supaya
manusia tetap suci. Manusia akan kembali kepada Tuhan, dan yang dapat
kembali ke sisi Tuhan Maha Suci adalah orang-orang yang suci. Orang-orang
yang kotor tidak akan diterima kembali ke sisi Yang Maha Suci. Orang-orang
yang serupa ini akan berada dalam neraka, jauh dari Tuhan. Orang-orang
yang suci akan berada dekat dekat Tuhan dalam surga.
Jalan untuk tetap menjadi suci adalah senantiasa berusaha supaya
dekat pada Tuhan, ingat dan tidak lupa pada Tuhan. Dengan senantiasa dekat
dan teringat pada Tuhan, manusia tidak akan mudah terpedaya oleh
kesenangan materi yang akan membawa kejahatan. Dengan senantiasa dekat
dan teringat pada Tuhan manusia akan teringat bahwa kesenangan sebenarnya
bukanlah kesenangan sementara di dunia ini, tetapi kesenangan abadi di
akherat. Dengan jalan demikian manusia diharapkan senantiasa akan berusaha
supaya tetap mempunyai jiwa bersih dan suci dan berusaha untuk menjauhi
perbuatan-perbuatan yang tidak baik dan jahat.
62
Jalan untuk tetap berada dekat Tuhan ditentukan oleh tiap-tiap agama.
Dalam agama Kresten, berhubung dengan ajarannya tentang dosa warisan
yang melekat pada diri manusia, seseorang tidak akan dapat menjadi suci
selama ia tidak menerima Jesus Kristus sebagai juru selamat yang
mengorbankan diri di atas salib untuk menebus dosa manusia. hanya setelah
mengakui inilah baru seseorang baru dapat menuju kepada pembersihan diri
yang sebenarnya, dan akhirnya menjadi orang baik dan suci. Untuk itu
seseorang harus berusaha mengadakan kontak spirituil dengan Jesus Kristus.
Dengan ini roh manusia akan mendapat limpahan dari roh Jesus Kristus yang
dalam ajaran agama Kristen, penuh dengan rahmat, kebaikan dan kasih
sayang. Jalan untuk memupuk dan memelihara kontak itu adalah dengan
berdoa, membaca Al-Kitab, pergi ke Gereja, merayakan hari-hari suci dan
lain-lain yang merupakan jalan untuk senantiasa berada dekat dan teringat
pada Tuhan.
Agama Hindu atau Hindu Dharma dengan ajaran nya tentang Tuhan
Yang Maha Esa memandang bahwa roh manusia adalah percikan dari Sang
Hyang Widhi. Persatuan roh dengan badan menimbulkan kegelapan. Badan
akan hancur tetapi roh atau atma akan kekal. Kebahagiaan manusia adalah
bersatu dengan Sang Hyang Widhi yang disebut moksa. Dan moksa akan
tercapai hanya kalau atma telah menjadi suci kembali dari kegelapan yang
timbul dari persatuannya dengan badan. Cara mengadakan hubungan dengan
63
Tuhan untuk mencapai kesucian jiwa adalah sembahyang di Pura atau di
rumah, merayakan hari-hari suci dan sebagainnya.12
Islam juga mengajarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan
kembali ke Tuhan. Orang yang rohnya bersih lagi suci dan tidak berbuat jahat
di hidup dunia akan masuk surga, dekat dengan Tuhan. Orang yang rohnya
kotor dan berbuat jahat di hidup pertama akan masuk neraka, jauh dari Tuhan.
Agar dalam hidup kekal di akherat nanti orang hidup dala kesenangan, jauh
dari kesengsaraan, orang haruslah berusaha supaya mempunyai roh bersih
lagi suci dan senantiasa berbuat baik dan menjauhi perbuatan-perbuatan jahat
di dunia.
Jalan untuk membersihkan dan mensucikan roh adalah ibadat yang
diajarkan Islam yaitu salat, puasa, zakat dan haji. Tujuan dari ibadat selain
dari membersihkan dan mensucikan diri, ialah juga untuk menjauhkan diri
dari perbuatan-perbuatan jahat.
Jelaslah kiranya bahwa tujuan hidup beragama dalam agama
monoteisme adalah membersihkan diri dan mensucikan jiwa dan roh. Tujuan
agama memanglah membina manusia baik-baik, manusia yang jauh dari
kejahatan. Oleh sebab itu agama monoteisme erat pula hubungannya dengan
pendidikan moral. Agama-agama monoteisme mempunyai ajaran-ajaran
tentang norma-norma akhlak tinggi. Kebersihan jiwa, tidak mementingkan
diri sendiri, cinta kebenaran, suka membantu manusia, kebesaran jiwa, suka
damai, rendah hati dan sebagainya adalah norma-norma yang diajarkan
12 Ibid., hlm.17-18.
64
agama-agama besar. Agama tanpa ajaran moral tidak akan berarti dan tidak
akan dapat merubah kehidupan manusia. Tidak mengherankan kalau agama
selalu diidentifikasikan dengan moralitas.
Karena agama mempunyai sifat mengikat pada para pemeluknya,
maka ajaran –ajaran moral agama lebih besar dan dalam pengaruhnya dari
ajaran-ajaran moral yang dihasilkan falsafat dan pemikiran manusia. Ajaran-
ajaran yang berasal dari Tuhan Pencipta Alam Semesta mempunyai sifat
kekudusan dan absolut yang tidak dapat di tolak oleh manusia. Perintah
manusia masih dapat dilawan tetapi perintah Tuhan tidak dapat ditentang,
Faham inilah yang membuat norma-norma akhlak yang diajarkan agama
mempunyai pengaruh besar dalam membina manusia yang berakhlak mulia
dan berbudi pekerti luhur.13
Tegasnya tujuan hidup beragama dalam agama monoteisme atau
agama tauhid adalah menyerahkan diri seluruhnya kepada Tuhan Pencipta
Semesta Alam dengan patuh pada perintah dan larangannya, agar dengan
demikian manusia mempunyai roh dan jiwa bersih dan budi perkeri luhur.
Manusia serupa inilah yang akan memperoleh hidup senang sekarang di dunia
dan kebahagiaan abadi kelak di hidup akherat. Orang yang tidak patuh pada
Tuhan, dan dengan demikian mempunyai roh yang tidak bersih dan akhlak
yang tidak baik di dunia akan mengalami hidup sengsara di akherat. Dengan
kata lain agama monoteisme atau agama tauhid dengan ajaran-ajarannya
bermaksud untuk membina manusia yang berjiwa bersih dan berbudi pekerti
13 Ibid., hlm.18.
65
luhur. Di sinilah letak salah satu arti penting dari agama monoteisme bagi
hidup kemasyarakatan manusia. Dari individu-individu yang berjiwa bersih
dan berbudi pekerti luhurlah masyarakat manusia baik dapat dibina.
Agama-agama yang dimasukkan ke dalam kelompok agama
monoteisme, sebagai disebut dalam Ilmu Perbandingan Agama adalah Islam,
Yahudi, Kristen dengan kedua golongan Protestan dan Katholik yang terdapat
di dalamnya, dan Hindu. Ketiga agama tersebut pertama merupakan satu
rumpun. Agama Hindu tidak ternasuk rumpun ini. Di antara ketiga agama
serumpun ini yang pertama datang adalah agama Yahudi dengan Nabi-nabi
Ibrahim, Ismail, Ishak, Yusuf dan lain-lain; kemudian agama Kristen dengan
Nabi Isa, yang datang untuk mengadakan reformasi dalam agama Yahudi.
Dan terakhir sekali datang agama Islam dengan Nabi Muhammad s.a.w.
Ajaran yang beliau bawa adalah ajaran yang diberikan kepada Nabi-nabi
Ibrahim, Musa, Isa dan lain-lain dalam bentuk murninya.14
Sebagai diterangkan dalam Al- Qur’an, ajaran murni itu adalah Islam,
menyerahkan diri seluruhnya kepada kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Mengenai hal ini Surat Al-Imran ayat 19 mengatakan :
Artinya : Agama (yang benar) dalam pandangan Tuhan adalah Islam
(menyerahkan diri kepada-Nya). Dan mereka yang diberi Kitab
14Ibid., hlm.19-20.
66
bertikai hanya setelah pengetahuan datang kepada mereka ; (dan
mereka bertikai )karena dipengaruhi perasaan dengki.15
Apa yang dimaksud dengan Islam dijelaskan oleh Surat An-Nisa’ ayat
125 :
Artinya : Siapa mempunyai agama yang lebih baik dari orang yang
menyerahkan diri seluruhnya kepada Tuhan dan berbuat baik serta
mengikuti agama Ibrahim, (agama) yang sebenarnya ?16
Bahwa Nabi Ibrahim menyerahkan diri kepada Tuhan dan beragama
Islam disebut dalam Surat Al-Baqarah ayat 131 :
Artinya : Ketika Tuhan-Nya berkata kepadanya (Ibrahim) : “Serahkan
dirimu”, dan ia menjawab :”aku menyerahkan diriku kepada
Tuhan Semesta Alam”.17
Dan Surat Al- Imran ayat 67 :
15Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Penafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Depag, 1986, hlm. 76.
16Ibid., hlm130.
17Ibid., hlm. 20
67
Artinya : Bukanlah Ibrahim seorang Yahudi, bukan pula seorang Kristen,
tetapi adalah seorang yang benar (dalam keyakinannya), seorang
muslim. Dan bukanlah ia masuk dalam golongan kaum polities.18
Ayat 84 dari Surat Al-Imran lebih lanjut mengatakan bahwa bukan
hanya agama yang didatangkan kepada Nabi Ibrahim tetapi juga agama yang
didatangkan kepada Nabi-nabi lain adalah sama dengan agama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad :
Artinya : Katakanlah :”Kami percaya kepada apa yang diturunkan kepada
kami, kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail serta
suku-suku bangsa lain dan kepada apa yang diturunkan kepada
Musa, Isa serta Nabi-nabi lain dari Tuhan mereka. Kami tidak
mengadakan perbedaan antara mereka dan kami menyerahkan diri
kepada-Nya”.19
Dari ayat-ayat di atas jelaslah kelihatan bahwa agama-agama Yahudi,
Kristen dan Islam adalah satu asal. Sejarah juga menunjukkan bahwa ketiga
agama itu memang mempunyai asal yang satu. Tetapi perkembangan masing-
18Ibid., hlm. 82.
19Ibid., hlm 90
68
masing dalam sejarah mengambil jurusan berlainan, sehingga timbullah
perbedaan antara ketiga-tiganya. Pada mulanya, Yahudi, Kristen dan Islam
berdasarkan atas keyakinan atau tauhid atau keesaan Tuhan yang serupa.
Dalam istilah modern keyakinan ini disebut monoteisme. Tetapi dalam pada
itu kemurnian tauhid dipelihara hanya oleh Islam dan Yahudi. Dalam Islam
satu dari kedua syahadatnya menegaskan : “Tiada Tuhan selain dari Allah”.
Dan dalam agama Yahudi Syema atau syahadatnya mengatakan :”Dengarlah
Israel, Tuhan kita satu”. Tetapi kemurnian tauhid dalam agama Kristen
dengan adanya faham Trinitas, sebagai diakui oleh ahli-ahli perbandingan
agama, sudah tidak terpelihara lagi.
Agama Hindu, sungguhpun banyak dianggap termasuk dalam agama
politeisme mengandung faham monoteisme. Tri murti yang terdiri dari
Brahma, Wisnu dan Syiwa mengandung faham tiga sifat atau aspek dari suatu
zat Yang Maha Tinggi. Brahma menggambarkan sifat mencipta, Wisnu sifat
memelihara, dan Syiwa sifat menghancurkan ; tiga sifat atau aspek yang
terdapat dalam kehidupan di dunia, kejadian, kelangsungan wujud dan
kehancuran. Benda-benda didunia terjadi, berwujud untuk waktu tertentu dan
kemudian hancur. Ini adalah perbuatan zat Yang Maha Tinggi itu. Dengan
demikian diantara agama besar yang ada sekarang, Islam dan Yahudilah yang
memelihara faham monoteisme yang murni. Monoteisme Kristen dengan
faham Trinitasnya dan monoteisme Hindu dengan faham politeisme yang
banyak terdapat di dalamnya tidak dapat dikatakan monoteisme murni.
69
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa menurut E.B.Tylor bahwa
manusia dalam beragama melalui sebuah proses yang berubah dan
berkembang secara lambat laun yaitu melalui apa yang dinamakan animisme
kemudian begerak menuju dinamisme, selanjutnya berubah pada politeisme
dan puncaknya monoteisme. Menurut E.B.Tylor Animisme adalah
kepercayaan bahwa tiap-tiap benda yang ada di sekeliling manusia
mempunyai roh. Roh dari benda-benda tertentu mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan manusia. Roh dari hal-hal yang menimbulkan perasaan dahsyat
itulah yang dihormati dan ditakuti. Dalam animisme, kekuatan supernatural itu
mengambil bentuk mana.
Jika peneliti kaji pendapat E.B. Tylor bahwa dalam masyarakat
animisme, roh dipandang banyak mempengaruhi perjalanan hidup manusia.
Hal-hal yang menimbulkan perasaan dahsyat seperti gunung berapi, sungai
yang arusnya deras, laut yang ombaknya besar, danau yang airnya tenang
tetapi selalu memakan korban manusia, pohon besar, gua yang dalam lagi
gelap dan lain-lain, dianggap mempunyai roh. Ketika masing-masing itu
menimbulkan bahaya bagi hidup manusia, dianggap rohnya sedang dalam
keadaan marah.20
Keselamatan hidup manusia dalam masyarakat seperti itu bergantung
pada hasil usaha manusia menjauhi timbulnya amarah roh-roh itu. Hal ini
diusahakan dengan memberikan persembahan dalam bentuk makanan,
sembelihan-sembelihan, hewan hidup, bahkan juga manusia hidup, dalam
20 Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Mizan, Jakarta, 2000, hlm.
81.
70
waktu-waktu tertentu kepada roh-roh yang ditakuti itu. Persembahan-
persembahan serupa itu diberikan karena masyarakat animisme berkeyakinan
bahwa roh itu tersusun dari dzat materi yang halus. Dengan memberikan
makanan-makanan dan sembelihan-sembelihan kepada roh-roh atau orang
halus itu, maka amarahnya dalam paham masyarakat animisme dapat
dijauhkan dan dengan demikian bahaya yang akan mengancam keselamatan
hidup manusia dapat dielakkan. Tujuan hidup beragama dalam masyarakat
serupa ini ialah membujuk roh-roh supaya jangan marah, dan dengan
demikian tidak merupakan bahaya bagi kelanjutan hidup manusia, tetapi
senantiasa dalam keadaan senang dan dengan demikian mau menolong
manusia dalam mencari kesejahteraan dan keselamatan hidupnya.21
Jika kita cermati pendapat E.B. Tylor yang masuk dalam kelompok
penganut teori jiwa bahwa pada dasarnya para sarjana penganut teori ini
berpendapat bahwa keberadaan agama yang paling awal adalah bersamaan
dengan pertama kali manusia menyadari bahwa dunia ini tidak hanya dihuni
oleh makhluk materi, tetapi juga dihuni oleh manusia immateri yang disebut
jiwa (anima). Pendapat inilah dipelopori oleh seorang sarjana Inggris bernama
E.B. Tylor. Ia mengenalkan teori animisme. Karenanya ia mengatakan bahwa
asal mula agama adalah bersamaan dengan adanya kesadaran pada manusia
akan adanya roh atau jiwa. Mereka memahami adanya mimpi dan kematian,
yang mengantarkan mereka sampai pada pengertian bahwa kedua peristiwa
21 Ibid.
71
itu, mimpi dan kematian, adalah bentuk pemisahan antara roh dan tubuh
kasar.22
Apabila orang meninggal dunia, rohnya mampu hidup terus walaupun
jasadnya memburuk. Dari sanalah asal mula kepercayaan bahwa orang yang
telah mati itu akan kekal abadi. Untuk selanjutnya roh orang mati itu diyakini
dapat mengunjungi manusia menolong manusia, mengganggu kehidupan
manusia, dan juga menjaga manusia yang masih hidup, terutama anak cucunya
atau keluarga serta teman sekampungnya.
Alam semesta ini dipercayai penuh dengan jiwa-jiwa yang bebas
merdeka. E.B. Tylor tidak menyebut soul atau jiwa lagi, tetapi menyebutnya
spirit atau makhluk halus. Biels dan Hoijer mengatakan bahwa ada perbedaan
antara pengertian roh dengan makhluk halus. Roh adalah bagian halus dari
setiap makhluk yang mampu hidup terus sekalipun jasadnya telah mati,
sedangkan makhluk halus sejak terjadinya adalah seperti itu, contohnya peri,
mambang, dewa-dewi yang dianggap berkuasa. Demikian pikiran manusia
telah mentransformasikan kesadaran akan adanya jiwa menjadi kepercayaan
kepada makhluk-makhluk halus.
Pada tingkat yang paling dasar dari evolusi agama, manusia percaya
bahwa makhluk-makhluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat
tinggal manusia. Mereka bertubuh halus sehingga manusia tidak dapat
menangkap dengan pancainderanya. Makhluk halus tersebut mampu berbuat
hal yang tak dapat diperbuat oleh manusia. Dari kepercayaan semacam itu,
22 Honig, Ilmu Agama Bagian I, di Indonesiakan Oleh Soesastro dan Soegiarto, Gunung
Mulai, Jakarta, 1992, hlm. 53-54.
72
maka makhluk halus menjadi obyek penghormatan dan penyembahan manusia
dengan berbagai upacara keagamaan berupa doa, sajian atau pemberian
korban. Kepercayaan seperti itulah oleh E.B. Tylor disebut animisme.
Pada tingkat selanjutnya dalam evolusi agama, manusia percaya bahwa
gerak alam ini disebabkan oleh jiwa yang berada di belakang peristiwa gerak
alam itu. Sungai-sungai yang mengalir, gunung yang meletus, angin topan
yang menderu, pergerakan matahari, bulan dan tumbuh-tumbuhan, semuanya
disebabkan oleh jiwa alam ini. Kemudian jiwa alam tersebut
dipersonifikasikan, dianggap sebagai makhluk-makhluk suatu pribadi, dan
mempunyai kemauan dan pikiran. Makhluk halus yang ada di belakang gerak
alam seperti itu disebut dewa-dewa alam. Tingkat kedua inilah disebut
politeisme (Poli berarti banyak dan Theos berarti Tuhan) dan tingkat
sebelumnya adalah manisme atau pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Tingkat ketiga atau tingkat terakhir dari evolusi agama menurut E.B.
Tylor, yaitu bersamaan dengan timbulnya susunan kenegaraan di dalam
masyarakat manusia, serta timbulnya kepercayaan bahwa alam dewa-dewa itu
juga hidup dalam susunan kenegaraan yang serupa dengan susunan
kenegaraan manusia. Pada kehidupan para dewa pun dikenal susunan pangkat
dewa-dewa, dimulai dari dewa yang tertinggi yaitu raja dewa sampai kepada
dewa yang terendah.
Susunan masyarakat dewa serupa itu lambat laun akan menimbulkan
kesadaran baru bahwa semua dewa itu pada hakikatnya merupakan
penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi itu. Akibat dari kepercayaan itu,
73
berkembanglah kepercayaan kepada satu Tuhan yaitu Tuhan Yang Maha Esa,
maka dari sinilah mulai timbul agama-agama ber-Tuhan satu atau monoteisme.
Roh atau jiwa timbul dikalangan orang primitif dari pengalaman
mimpi, bernafas dan mati. Dalam hubungannya dengan roh nenek moyang
atau roh leluhur, di Indonesia kita dapatkan beberapa kepercayaan yang ada
pada beberapa suku. Seperti misalnya pada suku Toraja, mereka mempercayai
bahwa roh nenek moyang adalah penjaga serta pelindung adat; doa restu
mereka sangat diharapakan dan tanpa restu mereka maka hidup akan ditimpa
musibah serta bencana lain yang menimpa masyarakat. Restu mereka sangat
menentukan dalam kehidupan. Manusia yang masih hidup harus selalu
menghubungi roh nenek moyang dengan cara mempersembahkan korban
sesajian baik berupa makanan maupun berupa minuman.23 Pada suku Ngaju di
Kalimantan, roh nenek moyang dianggap yang menjaga kelestarian kampung,
sungai, sawah dan lain-lainnya sehingga tetap berfungsi sebagaimana
mestinya. Para roh ini dianggap masih tetap tinggal di sekitar mereka dahulu.
Karena itu mereka perlu makanan dan minuman yang harus disediakan oleh
anak cucunya atau keluarganya.
Di pulau Nias terdapat suatu pesta yang merupakan puncak pemujaan
yang disebut pesta ‘Baro N’ adu. Pesta ini berhubungan erat dengan asal mula
penciptaan suku Nias, dan diselenggarakan di tempat-tempat tertentu yang
dianggap sebagai tempat nenek moyang turun sebagai nenek moyang masing-
masing kelompok. Di tempat-tempat tersebut lalu didirikan semacam kuil
23 R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, terj. MR A. Soehardi, Sumur,
Bandung, 1962, hlm. 53.
74
kecil sebentuk patung mereka. Karena ini diyakini sebagai pencipta suku
Nias, maka tempat tinggalnya dalam lingkungan yang luas pula. Tidak hanya
di tempat dengan kediaman semula saja dia berada tetapi hampir disemua
kawasan suku. Di gunung-gunung, di sungai-sungai, di kampung-kampung
harus disediakan makanan dan minuman untuknya. Pada suku Maggarai di
Flores Barat terdapat kepercayaan terhadap adanya roh-roh yang menguasai
dunia ini.24
B. Kritik Terhadap Teori E.B. Tylor
Animisme sebagaimana digunakan dan dipahami oleh E.B. Tylor
mempunyai dua arti. Pertama, ia dapat dipahami sebagai suatu sistem
kepercayaan di mana manusia religius, khususnya orang-orang primitif
membubuhkan jiwa pada manusia dan juga pada semua makhluk hidup dan
benda mati. Yang kedua, animisme dapat dianggap sebagai teori yang
dipertahankan oleh E.B. Tylor dan pengikut-pengikutnya bahwa ide tentang
jiwa manusia merupakan akibat dari pemikiran mengenai beberapa
pengalaman psikis, terutama mimpi, dan ide tentang makhluk-makhluk
berjiwa diturunkan dari ide tentang jiwa manusia ini, oleh karena itu
merupakan bagian dari tahap berikutnya dalam perkembangan kebudayaan.
Dalam mencari definisi minimum dari agama, E.B. Tylor
memperkenalkan istilah animisme untuk menyebut semua bentuk kepercayaan
dalam makhluk-makhluk berjiwa. Kepercayaan akan makhluk-makhluk
berjiwa meliputi dua bentuk: kepercayaan bahwa manusia mempunyai jiwa
24 Harun Hadi Wiyono, Religi Suku Murba di Indonesia, PBK, Jakarta, 1977, hlm. 92.
75
yang tetap bertahan sesudah kematiannya dan kepercayaan bahwa ada
makhluk-makhluk berjiwa lainnya (makhluk-makhluk yang di pribadikan).
Animisme menerima asal-usulnya dari usaha-usaha awal untuk menjelaskan
beberapa keadaan lahir dan batin, tidur, terjaga, trance atau keadaan tidak
sadar lainnya, penyakit, hidup dan mati, bentuk-bentuk manusiawi yang
muncul dalam mimpi dan penglihatan. Kalau seseorang meninggal, sesuatu
tampaknya meninggalkan tubuhnya. Di samping itu, selain kematian, kadang-
kadang orang berada dalam keadaan tidak sadar, trance atau tidur. Dalam
mimpi seseorang melihat orang lain dan mendapatkan mereka dalam keadaan-
keadaan yang aneh. Semua pengalaman-pengalaman ini dapat diterangkan
kalau orang mengandaikan bahwa ada jiwa yang dapat meninggalkan
tubuhnya untuk sementara atau selamanya dan pergi ke tempat lain. Maka
muncullah ide tentang jiwa yang terpisah dari tubuh sebagai sumber
kehidupan serta penyebab tidur dan keadaan tak sadar. Ide tentang kekelan
jiwa memunculkan upacara untuk orang mati, terutama dalam bentuk
pemujaan leluhur. Sesudah manusia sampai pada ide tentang jiwa yang
terpisah sebagai kekuatan vital yang membuatnya menjadi makhluk perasa, ia
memperkembangkan ide tentang jiwa itu pada makhluk perasa lainnya dan
juga pada obyek-obyek tak berjiwa. Konsep mengenai jiwa manusia bagi E.B.
Tylor, tampaknya mempunyai arti sebagai suatu tipe atau model di atas mana
manusia primitf menaruh kerangka, tidak saja untuk idenya mengenai jiwa
lain atau yang lebih rendah, tetapi juga untuk idenya mengenai makhluk
76
berjiwa pada umumnya, dari jin paling kecil yang bermain di rumput panjang
hingga sang pencipta di surga dan penguasa dunia, roh yang agung.25
Teori-teori ini jelas mempunyai kekurangan dalam hal evidensi dan
bukti, apabila bermaksud mendasarkan diri secara histori dan tidak akan
diterima dalam verifikasi. Mengenai deskripsi tentang cara berpikir orang
primitif, teori ini keliru, meski bukan berarti tidak memuat kebenaran. Sebagai
fenomena religius, animisme tampaknya bersifat universal, terdapat dalam
semua agama, bukan pada orang-orang primitif saja, meskipun penggunaan
populer dari istilah itu sering dikaitkan dengan agama-agama “primitif” atau
masyarakat kesukuan. Animisme dapat kita definisikan sebagai kepercayaan
pada makhluk-makhluk adikodrati yang dipersonalisasikan. Manifestasinya
adalah dari roh yang Mahatinggi hingga pada roh halus yang tak terhitung
banyaknya, roh leluhur, roh dalam obyek-obyek alam. Dari antaranya,
termasuk berbagai macam roh: (1) roh yang berhubungan dengan manusia,
yakni jiwa-jiwa manusia sebagai daya vital, roh leluhur, roh jahat dari orang-
orang yang meninggal dalam kondisi-kondisi tak wajar; (2) roh yang
berhubungan dengan obyek-obyek alamiah baukan manusiawi, seperti air
terjun, batu yang menonjol ke permukaan bumi, pohon-pohon berbentuk aneh,
roh dari tempat-tempat yang berbahaya, roh binatang, roh dari benda-benda
angkasa; (3) roh yang berhubungan dengan kekuatan alam, seperti angin, kilat,
25 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 66-
67.
77
banjir; (4) roh yang berhubungan dengan kelompok-kelompok sosial, dewa-
dewa, setan-setan dan para malaikat.26
Kepercayaan pada roh biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan akan
suatu bentuk komunikasi dengan mereka untuk menangkal kejahatan,
menghilangkan musibah atau menjamin kesejahteraan. Dalam beberapa
bentuk pemujaan roh, komunikasi dengan yang adikodrati menjadi suatu nilai
pada dirinya sendiri. Komunikasi dengan roh mengambil bentuk pemujaan
roh-roh individual atau kelompok-kelompok roh. Untuk itu, mungkin ada
upacara sederhana yang dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga di
hadapan tempat suci keluarga ataupun upacara buatan dari seorang shaman
yang mencoba mengetahui kehendak roh yang dirugikan agar dapat
ditenangkan, atau sesuatu “barang milik” seseorang yang menyalurkan pesan
dari roh itu.27
Kepercayaan pada jiwa manusia juga terdapat dalam agama-agama
yang lebih tinggi, namun yang membedakan adalah kepercayaan adanya jiwa
dalam benda-benda mati. Di sini fenomenolog harus berhati-hati untuk tidak
menambahkan ide-ide yang cocok untuk kebudayaan dan cara berpikirnya
sendiri. Kalau benda mati dianggap sebagai mempunyai jiwa, barangkali
dalam banyak kasus mereka bermaksud mengatakan bahwa benda itu
berhubungan dengan roh yang dianggap ada di dalam atau di belakang
mereka, tetapi dibubuhkan lewat tindakan-tindakan ritual di mana keutamaan
itu berada. Kata-kata seperti “jiwa”, “pribadi” adalah istilah-istilah Barat dan
26 Ibid. 27 Ibid, hlm. 68.
78
orang harus memastikan apakah istilah-istilah itu mempunyai arti dalam
konteks pribumi.
Suatu kenyataan yang diketahui umum bahwa dalam banyak suku
bangsa, obyek material, seperti dahan-dahan yang diikat dan akar-akaran atau
representasi makhluk-makhluk dalam wujud ukiran, diperlakukan dengan
sangat hormat dan keutamaan religius ada pada mereka. Obyek-obyek tersebut
dikenal sebagai jimat (fetishes). Benda-benda itu menjadi suci karena
dianggap sebagai tempat tinggal para dewa atau obyek di mana para dewa
menyatakan diri. Berkat E.B. Tylor, kita menyadari bahwa tak seorang pun
memuja obyek-obyek material tersebut semata sebagai obyek material dan
memperlihatkan minatnya dalam membedakan antara simbol material dan
kenyataan illahi yang disimbolkannya. 28
Anggapan, bahwa dewa dan roh para suku bangsa bisa dipikirkan
seolah-olah mempunyai watak yang secara hakiki menurut model manusia
atau kepribadaian manusia atau seolah-olah makhluk-makhluk rohani bisa
dipikirkan mempunyai kodrat yang sama dengan jiwa manusia adalah keliru.
Pada kenyataannya, cukup sering kuasa dewa-dewa dari suku bangsa itu
bergantung pada seberapa jauh mereka berbeda dari manusia dalam hal
kodratnya, yakni super manusiawi adikodrati. Perbedaaan ini merupakan basis
komunikasi religius yang dibangun antara manusia religius dan roh. Dalam
pemahaman mengenai hal yang illahi seperti ini, orang-orang primitif rupanya
malah mengandaikan transendensi sebagai sesuatu yang juga perlu untuk
28 Ibid.
79
ukuran manusia dan mengecualikan antropomorfisme yang mentah. Beberapa
dewa pernah dipikirkan dengan istilah-istilah manusiawi atau dengan
gambaran manusia atau sebagai manusia yang didewankan. Namun tidak
berarti makhluk-makhluk illahi lantas mempunyai kesamaan dengan
manusia.29
Menurut E.B. Tylor tiga macam kepercayaan umum yang berkaitan
dengan adanya jiwa sesudah kematian diambil dari animisme dalam tahap
awalnya. Yang pertama adalah kepercayaan bahwa jiwa melayang-layang di
atas bumi dan mempunyai kepentingan dengan yang hidup, terkadang malah
mengunjungi rumahnya dahulu. Kedua, kepercayaan pada metapesikosis dari
jiwa ke dalam makhluk-makhluk lain manusia, hewan, dan tumbuhan. Ketiga,
konsep mengenai tempat kediaman istimewa di dunia lain, seperti kepulauan
di Barat, dunia bawah tanah, gunung dan surga. Jiwa-jiwa itu melanjutkan
kehidupan yang mirip dengan kehidupan duniawi, atau diganjar atau dihukum
menurut perbuatan-perbuatan mereka ketika hidup di dunia. Gagasan umum
mengenai jiwa roh halus ini, menurut E.B. Tylor, mengantarkan secara wajar
pada kepercayaan akan suatu tatanan yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk
rohani, yang disebut “manes” yakni jiwa-jiwa dalam bentuk aslinya, tetapi
telah ditingkatkan ketahap iblis atau dewa-dewa. Kemudian muncullah
pemujaan manes.
Kritik yang paling jelas dari evolusi animistis sebagaimana diusulkan
E.B. Tylor, berpusat pada interpretasinya yang kelewat rasionalistis terhadap
29 Lih. R. Godfrey Lienhardt, “Religion”, dalam Man, Culture and Society, disunting
oleh H.L. Shapiro New Yor, 1960, hlm. 314.
80
data etnologis. Dalam penyajian teori animismenya, ia begitu berlebihan
menekankan sisi inelektual daripada sisi emosional pada agama. Memang E.B.
Tylor sangat menekankan aspek-aspek kognitif dari agama dan mengabaikan
unsur-unsur emosional non rasional, yang menampilkan isi yang penting
dalam inti agama.
Meskipun teori E.B. Tylor sangat berpengaruh pada saat itu, namun
tidak sedikit sarjana lain yang menentangnya. Di antara yang tidak setuju
dengan teorinya mempersoalkan bahwa apakah mungkin manusia primitif
yang tingkat berpikirnya masih sangat sederhana itu, mampu merasionalkan
kebutuhannya akan ketentraman hidup, mempersoalkan masalah mati, mimpi,
sehingga kemudian berkembang kepada adanya makhluk-makhluk halus, yang
kemudian diangkat menjadi suatu teori? Juga, dalam agama sebenarnya
terdapat suatu aspek yang tidak kalah penting, yaitu aspek intuisi dan emosi.30
E. Pritchard menentang teori E.B. Tylor, menurutnya, teori E.B. Tylor
merupakan bentuk logika pikiran sarjana yang dipindahkan kepada orang
primitif dan dikemukakan sebagai penjelasan terhadap kepercayaannya. Ide
tentang spirit atau jiwa mungkin telah timbul, namun tidak ada bukti
kebenarannya. Betulkah impian itu sebagai bukti adanya jiwa dan jiwa sebagai
bukti adanya spirit.31
Pemujaan terhadap roh nenek moyang ini sulit untuk diterima, karena
pada kenyataannya tidak berlaku untuk setiap masa. Di berbagai tempat,
30 Romdhon, et.al, Agama-Agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm. 39. 31 E. Pritchard, Theories of Primitive Religion, Clarendon, Press, Oxpord, 1989, hlm. 33.
81
faktor-faktor penggandrungan diri akan berbeda pula. Ketakutan atau
kekhawatiran tidak berarti menjerumuskan dirinya dalam bentuk perhambaan.
Kepercayaan juga bisa timbul pada orang-orang yang lemah. Atas dasar itulah
sekalipun teori E.B. Tylor sangat berpengaruh terutama dikalangan para
sarjana antropologi, namun teori tersebut mendapat kritik juga. Di antaranya
adalah apakah orang-orang primitif itu ahli filsafat, ahli pikir, sehingga
kemudian merasakan adanya suatu kebutuhan rasional untuk menjelaskan
tentang masalah mati, mimpi, yang kemudian berkembang menjadi suatu
teori? Sebenarnya, dalam agama ada aspek yang lebih intuitif dan yang lebih
emosional. Lebih lanjut lagi, E.B. Tylor memang menghubungkan,
mengaitkan dan mempertalikan orang primitif dengan kecenderungannya
untuk memperteorikan bahwa alam secara universal adalah bernyawa,
dikuasai dan dipenuhi oleh makhluk-makhluk spiritual, karena itu sudah
selayaknya dipertimbangkan kembali interpretasi bahwa orang-orang primitif
menganggap semua obyek adalah hidup.32
Jika konsep Tylor dihubungkan dengan agama samawi dapat
dijelaskan bahwa dalam agama samawi, seperti Islam, teori evolusi Tylor ada
benarnya juga karena dalam sejarah atau tarikh Islam diketahui bahwa
sebelum penduduk Arab beriman kepada ajaran yang dibawa Rasulullah
SAW, mereka banyak yang melakukan penyembahan berhala. Misalnya
dikenal adanya Tuhan La’ta, Ma’nata dan Uzza. Ketiga patung itu dipuja dan
dijadikan tempat bergantung.
32 Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama, Jilid I, Bumi Aksara, Jakartam, 1996, hlm. 28.
82
Dalam tarikh Islam sebagaimana diketahui Umar bin Khattab sebelum
masuk Islam, ia menyembah berhala, melalui sebuah poroses waktu yang
panjang dan dengan hidayah serta taufik Allah SWT ia masuk Islam.
Demikian pula yang lainnya. Di sini jelas bahwa langsung atau tidak langsung
proses evolusi dalam beragama merupakan sebuah kenyataan.