33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Tagih
Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl2) menggunakan
konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari terhadap struktur
mikroanatomi hati ikan tagih (Mystus nemurus) mengindikasikan bahwa semakin
tinggi konsentrasi merkuri klorida yang diberikan menyebabkan kerusakan organ
semakin berat. Terjadinya suatu perubahan dalam struktur mikroanatomi hati pada
ikan tagih merupakan suatu indikator bahwa ikan tersebut telah terkena dampak
toksisitas merkuri klorida.
Reessang (1984) dan Sudiono (2003) menyatakan kerusakan hati dapat
diketahui berdasarkan tingkatan ringan hingga berat. Kerusakan ringan ditandai
dengan pembengkakan sel atau degenerasi vakuola, kerusakan sedang meliputi
hemoragi dan kongesti, sedangkan tingkat kerusakan berat adalah kematian sel
atau nekrosis. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan preparat struktur
mikroanatomi hati bahwa semakin tinggi konsentrasi merkuri klorida yang
diberikan maka tingkat kerusakannya semakin berat berupa kongesti, hemoragi
dan nekrosis. Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
34
Tabel 2. Hasil pengamatan struktur mikroanatomi hati ikan tagih
Konsentrasi
HgCl2
Kerusakan
Yang Terjadi
Tingkat
Kerusakan
Keterangan
0 ppm Tidak
ditemukan
- - Vena sentralis tampak
kosong dan berbentuk bulat
- Sinusoid terlihat jelas
- Sel hepatosit berbentuk
polihedral dengan inti
berbentuk bulat hingga oval
- Sitoplasma berwarna merah
muda
0,02 ppm Kongesti Sedang - Adanya pembengkakan sel
- Sinusoid mengalami
penyempitan
- Terjadi pembendungan darah
0,04 ppm
Kongesti
Hemoragi
Sedang - Adanya pembengkakan sel
- Sinusoid mengalami
penyempitan
- Terjadi pembendungan darah
- Pecahnya pembuluh darah
- Darah keluar dari sinusoid
0,08 ppm Kongesti
Hemoragi
Nekrosis
Berat - Adanya pembengkakan sel
- Sinusoid mengalami
penyempitan
- Terjadi pembendungan darah
- Pecahnya pembuluh darah
- Darah keluar dari sinusoid
- Dinding sel lisis
- Inti sel mengkerut dan ada
sebagian yang mati
Gambaran struktur mikroanatomi hati pada berbagai uji toksisitas dengan
perbesaran mikroskop 10x40 dapat dilihat pada Gambar 4.
35
A1 Normal A2 Vena sentralis A3 Hepatosit A4 Sinusoid
B1 Kongesti B2 Pembesaran
C1 Kongesti C2 Pembesaran
C3 Hemoragi C4 Pembesaran D1 Kongesti D2 Pembesaran
D3 Hemoragi D4 Pembesaran D5 Nekrosis D6 Pembesaran
Gambar 4. Struktur mikroanatomi hati ikan tagih pada berbagai uji toksisitas
Keterangan :
A
B
C
D
V
S
H
K
H
: HgCl2 0 ppm
: HgCl2 0,02 ppm
: HgCl2 0,04 ppm
: HgCl2 0,08 ppm
: Vena sentralis
: Sinusoid
: Hepatosit
: Kongesti
: Hemoragi
N
E
D
Si
Ps
Sp
In
Id
: Nekrosis
: Eritrosit
: Dinding sel
: Sitoplasma
: Pembengkakan Sel
: Sinusoid pecah
: Inti sel normal
: Inti sel degenerasi
36
Struktur mikroanatomi hati ikan tagih tanpa pemberian merkuri klorida
tampak normal seperti yang terlihat pada Gambar 4 A1,2,3,4 ditandai dengan sel
hepatosit berbentuk polihedral, sitoplasma setelah dilakukan pewarnaan
menunjukan warna merah muda dan terlihat jelas, memiliki inti berbentuk bulat
hingga oval terletak di tengah sitoplasma, sinusoid terlihat jelas, dan vena
sentralis sebagai pusat lobulus tampak kosong dan berbentuk bulat.
Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,02 ppm (Gambar 4 B1,2)
mengakibatkan kerusakan struktur mikroanatomi hati berupa kongesti. Kongesti
adalah pembendungan darah yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi darah
pada sinusoid (Sudiono 2003). Kongesti terjadi akibat adanya pembengkakan sel.
Anderson (1995) menyatakan bahwa sel melakukan kestabilan lingkungan
eksternal dengan cara mengeluarkan energi metabolik untuk memompa ion
natrium keluar dari sel. Terakumulasinya bahan beracun merkuri klorida di dalam
sel hati menyebabkan terganggunya proses metabolisme sehingga sel tidak
mampu memompa ion natrium keluar cukup banyak, akibatnya konsentrasi ion
natrium di dalam sel lebih tinggi dan air dapat masuk kedalam sel. Masuknya air
berlebih ke dalam sel menyebabkan terjadinya pembengkakan sel, sehingga
ukuran bertambah yang mengakibatkan sinusoid menyempit. Sinusoid
merupakan suatu rongga yang terdapat pada jaringan hati yang memungkinkan
terjadinya pertukaran nutrisi dan zat lainnya antara darah dan hepatosit. Apabila
sinusoid menyempit akibat pembengkakan sel, maka darah akan terbendung di
dalam jaringan hati sehingga proses pertukaran nutrisi maupun zat lain antara
darah dan hepatosit terganggu.
Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,04 ppm (Gambar 4 C1,2,3,4)
mengakibatkan kerusakan berupa kongesti dan hemoragi. Terjadinya kongesti
pada konsentrasi 0,04 ppm lebih banyak ditemukan bila dibandingkan dengan
konsentrasi 0,02 ppm, hal ini dikarenakan konsentrasi merkuri korida yang
digunakan lebih tinggi sehingga pembengkakan sel pun lebih cepat terjadi. Selain
kongesti ditemukan juga kerusakan lain yaitu hemoragi. Menurut Ressang (1984)
hemoragi merupakan kerusakan pada jaringan hati berupa keluarnya darah dari
sistem sirkulasi kardiovaskuler karena terjadinya kerusakan pada susunan
37
kardiovaskuler (arteri, vena dan kapiler). Hemoragi merupakan tahap kerusakan
selanjutnya dari kongesti, karena sinusoid sudah tidak mampu untuk membendung
darah dan pada akhirnya pembuluh-pembuluh darah yang ada di sinusoid pecah.
Apabila terjadi kerusakan berupa hemoragi maka asupan nutrisi dan zat lain ke
hati akan terhenti sehingga sel-sel akan kekurangan nutrisi, dan apabila kerusakan
ini berangsur dalam jangka waktu yang lebih lama maka akan menyebabkan sel
hati mengalami degradasi atau nekrosis akibatnya hati tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,08 ppm (Gambar 4
D1,2,3,4,5,6) mengakibatkan kerusakan berupa kongesti, hemoragi, dan nekrosis.
Pada konsentrasi ini kerusakan lebih sering ditemukan daripada konsentrasi 0,04
ppm, karena konsentrasi merkuri klorida yang diberikan lebih besar. Pada
perlakuan ini ditemukan juga kerusakan hati yang sudah memasuki tingkat berat
yaitu nekrosis atau degenerasi sel. Nekrosis pada perlakuan ini diduga akibat
pembendungan darah atau kongesti yang semakin parah. Kerusakan ini
disebabkan karena darah yang mengalir dari perifer lobulus hati ke pusat (vena
sentralis) kebanyakan sudah kehilangan nutrien saat sampai di pertengahan
lobulus, sehingga sel hati akan kekurangan nutrien dan lama kelamaan akan
terjadi degenerasi (Ressang 1984). Selain itu nekrosis diduga disebabkan oleh
pembengkakan sel dalam jangka waktu yang lama. Pembengkakan sel ini akan
menyebabkan sel kehilangan intergitas membrannya yang berakibat keluarnya
materi sel dan mengalami kematian (nekrosis).
Pembengkakan sel atau degenerasi vakuola bersifat reversibel sehingga
apabila bahan beracun tidak terdapat dalam sel maka sel dapat kembali normal,
tetapi jika pengaruh bahan beracun berlangsung lama maka sel tidak dapat
mentolerir kerusakan yang diakibatkan oleh bahan beracun tersebut. Pemberian
merkuri klorida 0,08 ppm (perlakuan D) dengan lama waktu pemaparan 28 hari
ikan uji tidak mengalami kematian, hal ini diduga bahwa sel hati masih dapat
melakukan proses regenerasi, tetapi apabila dilakukan dengan waktu yang lebih
lama diduga ikan akan mengalami kematian. Hal ini sesuai dengan pernyataan
38
Destiany (2007) yang melakukan uji toksisitas merkuri klorida 0,08 ppm pada
minggu ke 5 ikan mengalami kematian.
Kerusakan hati akibat logam berat merkuri klorida disebabkan aktifitas
logam tersebut dalam mempengaruhi kerja enzim/hormon proteolitik (Lu 1995).
Enzim dan hormon terdiri dari protein kompleks yang sistem kerjanya
memerlukan adanya aktivator atau kofaktor. Logam berat yang masuk ke dalam
tubuh dapat menonaktifkan aktivator (berikatan dengan enzim menggantikan
aktivator/kofaktor) sehingga enzim atau hormon tidak dapat bekerja dan akan
menghambat kerja sel yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
Hal ini sesuai pernyataan Ochiai dalam Connel dan Miller (1995), bahwa salah
satu mekanisme toksisitas ion logam adalah menahan gugus fungsi biologi yang
essensial dalam biomolekul, misalnya protein dan enzim.
4.2 Struktur Mikroanatomi Insang Ikan Tagih
Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl2) menggunakan
konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari terhadap struktur
mikroanatomi insang ikan tagih (Mystus nemurus) mengindikasikan bahwa
semakin tinggi konsentrasi merkuri klorida yang diberikan menyebabkan
kerusakan insang semakin parah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
39
Tabel 3. Hasil pengamatan struktur mikroanatomi insang ikan tagih
Konsentrasi
HgCl2
Kerusakan Yang
Terjadi
Tingkat
Kerusakan
Keterangan
0 ppm Tidak
ditemukan
- - Pada lamela primer terlihat
jelas tulang rawan penopang,
sel mukus, dan sel-sel
interlamela
- Pada lamela sekunder terlihat
jelas butiran eritrosit, sel
pillar, epithelium, dan lumen
kapiler
0,02 ppm Edema Ringan - Adanya pembengkakan sel
akibat penimbunan cairan
- Eritrosit terlihat pecah
0,04 ppm Edema
Hiperplasia
Teleangiotaksis
Sedang - Adanya pembengkakan sel
akibat penimbunan cairan
- Eritrosit terlihat pecah
- Penambahan jumlah sel pada
lamela primer
- Penyempitan pembuluh
darah
- Terjadi pembendungan darah
pada pangkal lamela
sekunder
0,08 ppm Edema
Hiperplasia
Teleangiotaksis
Fusi lamela
Berat - Adanya pembengkakan sel
akibat penimbunan cairan
- Eritrosit terlihat pecah
- Penambahan jumlah sel pada
lamela primer
- Penyempitan pembuluh
- Terjadi pembendungan darah
pada pangkal lamela
sekunder
- Lamela sekunder saling
menempel
Gambaran struktur mikroanatomi insang pada berbagai uji toksisitas
dengan perbesaran mikroskop 10x40 dapat dilihat pada Gambar 5.
40
A1 Lamela primer A2 Lamela sekunder
B1 Edema B2 Pembesaran
C1 Teleangiotaksis dan
edema C2 Pembesaran C3 Pembesaran
C4 Hiperplasia
C5 Pembesaran
D1 Fusi lamela D2 Pembesaran
D3 Hiperplasia dan
edema
D4 Pembesaran D5 Pembesaran D6 Teleangiotaksis D7 Pembesaran
Gambar 5. Struktur mikroanatomi insang ikan tagih pada berbagai uji
toksisitas
Keterangan :
A
B
C
D
TP
Si
Sm
L
: HgCl2 0 ppm
: HgCl2 0,02 ppm
: HgCl2 0,04 ppm
: HgCl2 0,08 ppm
: Tulang rawan
penopang
: Sel interlamela
: Sel mukus
: Lamela
Ep
E
T
H
F
IE
Pc
Er
Sp
: Epithelium
: Edema
: Teleangiotaksis
: Hiperplasia
: Fusi Lamela
: Investasi ektoparasit
: Penimbunan cairan
: Eritrosit
: Sel Pilar
Ps
Pe
Pj
: Penyempitan
sinusoid
: Pembendungan
eritrosit
: Penambahan
jumlah sel
41
Berdasarkan pengamatan struktur mikroanatomi insang ditemukan
berbagai kerusakan yang terjadi meliputi edema, hiperplasia, teleangiotaksis, dan
fusi lamela. Kerusakan ini disebabkan karena permukaan insang bersifat
permeable terhadap senyawa kimia seperti merkuri klorida, sehingga senyawa ini
akan mudah masuk melalui insang dan terakumulasi (Darmono 1995). Pada
insang ikan yang normal, dalam satu lengkung insang terdiri dari beberapa lamela
primer, satu lamela primer terdiri dari beberapa lamela sekunder. Insang ikan yang
normal hanya terdiri dari dua atau tiga lapis sel epitel yang rata dan terletak di
membran basal. Jika lebih atau kurang maka insang tersebut dapat dikatakan
abnormal. Lapisan epitel insang yang tipis dan berhubungan langsung dengan
lingkungan luar menyebabkan berpeluang besar terpapar bahan beracun. Di antara
sel-sel epitel insang terdapat sel-sel klorid. Sel-sel tersebut berbentuk bulat dan
berperan penting dalam osmoregulasi.
Gambaran struktur mikroanatomi insang tanpa pemberian merkuri klorida
dengan perbesaran mikroskop 10x40 tampak normal (Gambar 5 A1,2). Insang
yang normal memiliki bagian-bagian lamela primer dan lamela sekunder masih
lengkap dan belum mengalami kerusakan. Pada lamela primer terdapat tulang
rawan penopang yang berfungsi sebagai penegak lamela primer. Pada lamela
sekunder terdapat selubung epithelium pipih dan sub epithelium yang kaya akan
eritrosit. Sel pillar pada lamela sekunder berfungsi sebagai penegak (Lagler et al.,
1977). Apabila terjadi kerusakan berupa hyperlasia maka sel pillar ini akan
terdorong menyentuh bagian lamela sekunder lain sehingga akan terlipat, tentu hal
ini akan mengganggu dalam proses respirasi pada ikan.
Gambaran struktur mikroanatomi insang pada konsentrasi 0,02 ppm
(Gambar 5 B1,2) terdapat kerusakan berupa edema dan masih dalam kriteria ringan
(Tandjung 1982). Edema merupakan suatu gejala awal apabila insang telah
terkena suatu bahan toksik berupa merkuri klorida. Edema adalah pembengkakan
sel atau penimbunan cairan secara berlebih di dalam jaringan tubuh (Laksman
2003). Edema yang terjadi pada penelitian ini diduga oleh dua hal, pertama yaitu
masuknya zat toksik merkuri klorida ke dalam insang yang menyebabkan sel
mengalami iritasi sehingga sel membengkak. Proses masuknya merkuri klorida ke
42
dalam insang menurut Palar (1994) yaitu merkuri bersama-sama dengan ion
logam lain membentuk ion-ion yang dapat larut dalam lemak. Ion-ion logam yang
dapat larut dalam lemak akan mampu melakukan penetrasi pada membran sel
insang sehingga akhirnya ion-ion logam tersebut akan terakumulasi di dalam
insang. Dugaan kedua yaitu karena hilangnya pengaturan volume pada bagian sel
yang menyebabkan terhambatnya pertukaran ion natrium. Hal ini akan
mengakibatkan meningkatnya konsentrasi natrium dan masuknya air ke dalam sel
(Anderson 1995).
Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,04 ppm (Gambar 5
C1,2,3,4,5) mengakibatkan kerusakan struktur mikroanatomi insang berupa edema,
hiperplasia dan teleangiotaksis. Pada konsentrasi ini terdapat peningkatan
kerusakan dari konsentrasi 0,02 ppm, hal ini sesuai dengan pernyataan Lu (1995)
yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu bahan beracun di
perairan maka kerusakan yang terjadi pun akan semakin banyak. Edema yang
terjadi pada bagian lamela primer terlihat hampir pada seluruh tulang rawan
penopang yang mengakibatkan eritrosit beresiko pecah karena terdesak oleh
cairan di dalam sel. Apabila Hal ini terjadi maka dapat menyebabkan asphyxia
yaitu kesulitan bernafas karena kekurangan oksigen, sehingga apabila ikan
terpapar dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan kematian. Pengaruh
lain yang diakibatkan edema pada konsentrasi 0,04 ppm menyebabkan lamela
primer membesar dan lamela sekunder terdorong hingga menabrak lamela yang
lainnya sehingga sel pilar sebagai penegak lamela primer patah.
Kerusakan lain yang terlihat pada konsentrasi 0,04 ppm yaitu hiperplasia.
Laksman (2003) menyatakan bahwa hiperplasia adalah pembentukan jaringan
secara berlebih karena bertambahnya jumlah sel. Dengan adanya penambahan
jumlah sel menyebabkan tertutupnya sebagian lamela sekunder sehingga proses
pertukaran oksigen dalam insang akan terganggu. Selain edema dan hiperplasia
ditemukan juga kerusakan berupa teleangiotaksis. Teleangiotaksis adalah
pembendungan atau penggumpalan darah akibat terjadinya edema dan hiperplasia.
Teleangiotaksis pada Gambar 5 C3 terlihat menggelembung dan didalamnya
terjadi pembendungan eritrosit. Kerusakan ini mengakibatkan gangguan fungsi
43
insang dalam proses respirasi karena aliran darah yang membawa oksigen
terhambat. Teleangiotaksis akan berakibat fatal jika ikan berada pada kondisi
lingkungan yang bersuhu tinggi, karena oksigen terlarut dalam air akan menjadi
rendah, sedangkan kebutuhan oksigen metabolik pada ikan akan tinggi.
Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,08 ppm (Gambar 5
D1,2,3,4,5,6,7) mengakibatkan kerusakan berupa edema, hyperplasia, teleangiotaksis,
dan fusi lamela. Pada konsentrasi ini ditemukan kerusakan struktur mikroanatomi
insang yang lebih banyak dari konsentrasi 0,02 ppm dan 0,04 ppm. Menurut
Robert (2001) edema pada lamela dapat diakibatkan karena terpaparnya limbah
bahan-bahan kimia diantaranya logam berat. Pada gambar juga terlihat lamela
primer membesar dan menghimpit lamela sekunder, apabila hal ini terjadi lebih
lama maka sel-sel epitel akan mengalami nekrosis atau kematian sel. Hyperplasia
dan edema yang berlebih pada konsentrasi 0,08 ppm menyebabkan fusi lamela.
Fusi lamela adalah penempelan 2 bagian lamela sekunder. Selain itu fusi lamela
juga diakibatkan oleh adanya lendir yang berlebih pada insang sehingga akan
menutup lamela sekunder. Lendir yang berlebih ini merupakan salah satu respon
kelenjar mukus untuk melindungi insang dari merkuri klorida, namun apabila
lendir yang dihasilkan berlebihan tentu akan bersifat negatif sehingga
pengambilan oksigen dari air akan terhambat. Pada konsentrasi 0,08 ppm,
kerusakan teleangiotaksis yang terjadi sudah cukup parah karena pembendungan
darah terlihat lebih banyak jika dibandingkan dengan konsentrasi 0,04 ppm.
Selain itu lamela sekunder yang berada di sekitar lamela yang mengalami
teleangiotaksis telah menghilang, hal ini disebabkan karena lamela sekunder
tersebut telah rusak akibat teleangiotaksis sehingga terlepas dan mati.
Lagler (1977) menyebutkan bahwa sebagian besar kematian ikan yang
disebabkan oleh bahan pencemar atau bahan beracun terjadi karena kerusakan
pada bagian insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Lamela
insang merupakan organ yang paling lembut diantara struktur insang ikan dan
merupakan alat utama bagi kelangsungan proses pernafasan. Insang sebagai organ
pernafasan merupakan tempat pertukaran gas oksigen dengan karbondioksida
melalui proses infiltrasi air, sehingga ikan dapat berhubungan langsung dengan
44
media hidupnya. Kerusakan insang akibat merkuri klorida adalah adanya
degradasi sel atau bahkan kerusakan jaringan insang. Sandi (1994) menyatakan
bahwa secara langsung bahan anorganik terlarut menyebabkan iritasi pada insang
dan lamella insang menjadi tertutup. Hal ini menyebabkan fungsi insang menjadi
tidak normal dan mengganggu proses pernafasan karena insang merupakan organ
utama yang terkena langsung oleh merkuri.
4.3 Struktur Misai Ikan Tagih
Gambaran Kerusakan misai pada ikan tagih didapat dengan cara
dokumentasi langsung menggunakan kamera. Pengamatan tidak dilakukan pada
tingkat struktrur mikroanatomi, melainkan pengamatan langsung secara kasat
mata. Hasil pengamatan kerusakan yang terjadi pada misai ikan tagih setelah
dilakukan pemaparan merkuri klorida selama 28 hari dapat terlihat pada gambar 6.
Gambar 6. Perbandingan misai normal dan rusak akibat pemberian merkuri
klorida
Supyan (2011) menyatakan bahwa ikan tagih memiliki 3-4 pasang misai
peraba yang panjang dan secara fisik dapat terihat. Misai atau yang biasa disebut
sungut ini memiliki peran penting bagi ikan yang biasa hidup di dasar perairan
berlumpur dan sedikit cahaya matahari yang masuk. Misai merupakan organ
indera khusus bagi ikan sejenis catfish karena berperan penting dalam mendeteksi
makanan yang ada di badan perairan. Hasil pengamatan secara fisik, terlihat
dengan jelas bahwa misai ikan tagih yang tidak diberi merkuri klorida tampak
terlihat normal, ukuran panjang misai sama dan berwarna keabu-abuan. Hal ini
Normal Rusak
45
menunjukan bahwa misai ikan tagih pada perlakuan kontrol masih berfungsi
dengan baik dalam mencari makan.
Pada konsentrasi merkuri klorida 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm
terdapat kerusakan pada misai. Pada gambar 6 terlihat ada bagian misai yang
hilang, terputusnya misai menunjukan bahwa ikan tersebut telah terkena dampak
dari merkuri klorida. Terputusnya bagian misai disebabkan karena misai sering
terkena merkuri klorida yang mengendap di dasar wadah pemeliharaan, akibatnya
sel-sel yang terdapat pada misai ini mengalami nekrosis atau kematian, hal ini
sesuai dengan pernyataan Robert (2001) bahwa semakin lama suatu organ terkena
dampak dari zat toksik maka sel-sel yang membentuk organ tersebut akan
mengalami degenerasi dan lama-kelamaan akan mati atau nekrosis.
4.4 Kualitas Air
Hasil penelitian kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kisaran parameter kualitas air pada setiap perlakuan
Parameter Perlakuan Standar
A
(0 ppm)
B
(0,02 ppm)
C
(0,04 ppm)
D
(0,08 ppm)
Suhu (oC) 25,5 – 26,5 25,5 – 26 25 – 26,5 25,5 – 26,5 24 – 27*
Oksigen
terlarut
(ppm)
6,7 – 7,3 6,2 – 7,1 6,8 – 7,2 6,3 – 7,2 Minimal 4
ppm*
pH 7 – 7,3 7,4 – 7,6 7,1 – 7,5 7,4 – 7,6 Normal*
* Supyan 2011
Pada tabel 4 terlihat bahwa kualitas air selama penelitian yang meliputi
suhu (oC), oksigen terlarut (ppm), dan pH masih berada dalam kisaran normal
bagi pertumbuhan ikan tagih.
Suhu selama masa pemeliharaan berkisar antara 25oC – 26,5
oC pada
semua perlakuan dan kontrol, kisaran suhu tersebut berada pada kisaran suhu
normal untuk ikan tagih, hal ini sesuai dengan peryataan supyan (2011) yang
menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan ikan tagih berkisar antara
24oC - 27
oC. Suhu air memiliki peranan penting dalam kecepatan laju
metabolisme dan respirasi. Apabila suhu meningkat diluar kisaran toleransi ikan
46
tagih, maka respirasi akan semakin cepat dan akan berpengaruh terhadap uptake
rate logam berat di perairan (Connel 1995).
Menurut Connel (1995) kenaikan pH di perairan lebih dari 7 cenderung
akan menurunkan kelarutan logam berat sehingga logam berat akan mengendap.
Logam berat yang mengendap akan lebih cepat terserap oleh ikan tagih, karena
ikan ini hidup di dasar perairan. Pada penelitian ini kisaran pH masih berada pada
nilai normal yaitu 7,0 – 7,3. Dengan kisaran pH yang normal maka logam berat
tidak akan mudah larut dan mengendap.
Sama halnya dengan suhu, apabila perairan memiliki konsentrasi oksigen
terlarut yang rendah maka organisme perairan akan melakukan respirasi lebih
cepat dari biasanya sehingga mengakibatkan masuknya logam berat ke insang
akan lebih cepat (Connel 1995). Kisaran oksigen terlarut selama penelitian ini
berkisar antara 6,2 – 7,3 ppm dan masih dalam kisaran yang aman bagi ikan tagih
yaitu minimal 4 ppm (Supyan 2011). Apabila dilihat dari ketiga parameter
kualitas air ini maka tidak ada yang berpengaruh terhadap uptake rate logam berat
pada ikan tagih, sehingga akumulasi logam berat lebih cenderung disebabkan oleh
konsentrasi merkuri klorida yang diberikan.