27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a
4.1.1. Suhu Permukaan Laut
Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang
Januari 1997 hingga Desember 2009 mengalami keragaman nilai rata-rata setiap
bulannya (Gambar 12). Berdasarkan standar deviasi SPL tahunan di Selatan Jawa,
diperoleh nilai rata-rata SPL tahunan rendah yakni 25,50-27,92 °C dan nilai rata-
rata SPL tinggi yakni berkisar 27,93-30,21 °C (Lampiran 2) . Sehingga nilai rata-
rata tertinggi ditemukan pada bulan Maret yakni 29,18 °C dan nilai rata-rata
terendah 25,99 °C ditemukan pada bulan September.
Keragaman rata-rata SPL setiap bulannya pada perairan Selatan Jawa ini
tidak terlepas dari pengaruh musim. Pada musim Timur, angin berhembus dari
dari tenggara menuju barat laut. Angin tersebut akan bergesekan dengan
permukaan perairan sehingga terjadi arus laut. Tetapi akibat adanya pengaruh
gaya gesekan dan gaya Coriolis, kecepatan arus yang disebabkan oleh angin
tersebut berkurang secara eksponensial terhadap kedalaman. Arah arus tersebut
menyimpang 45° ke kiri pada Bumi Bagian Selatan (BBS) dari arah angin serta
sudut penyimpangan bertambah dengan bertambahnya kedalaman. Kejadian
tersebut menyebabkan massa air di sepanjang pantai perairan Selatan Jawa
bergerak menjauhi pantai (transpor Ekman).
Adanya pergerakan massa air tersebut menyebabkan kekosongan massa air
di sekitar pantai Selatan Jawa sehingga terjadi kenaikan massa air dari bawah
yang memiliki suhu yang lebih rendah. Naiknya massa air dari bawah tersebut
membutuhkan waktu untuk mengisi kekosongan massa air di permukaan atau
disebut dengan time lag. Adanya time lag dari musim Timur inilah yang
menyebabkan SPL yang lebih rendah ditemukan pada bulan September.
Sementara itu, Wilopo (2005) dalam penelitiannya mengkaji bahwa puncak
kecepatan rata-rata angin yang terjadi pada perairan Selatan Jawa hingga
Sumbawa terjadi pada bulan Agustus (musim Timur) yang berkisar antara 6 m/s
sampai 9.5 m/s. Kecepatan angin seperti ini pada bulan Agustus diduga
28
mengakibatkan upwelling yang sangat intensif di perairan Selatan Jawa (Purba et
al. 1992).
SPL yang cenderung lebih tinggi ditemukan pada musim Barat. Hal
tersebut disebabkan oleh posisi matahari pada musim Barat berada di BBS,
sehingga radiasi matahari yang diterima oleh perairan Selatan Jawa lebih besar
dibandingkan musim Timur. Kemudian, pada musim Barat angin berhembus dari
barat menuju tenggara dan adanya pengaruh gaya gesekan dan gaya Coriolis, arah
arus yang disebabkan angin tersebut menyimpang 45° ke kiri. Penyimpangan
tersebut mengakibatkan massa air bergerak menuju pantai perairan Selatan Jawa
sehingga tidak ditemukan adanya kekosongan dan kenaikan massa air.
Wyrtki (1961) juga menyatakan bahwa tingginya SPL pada musim Barat
di wilayah Barat Sumatera diperkirakan akibat adanya pergerakan massa air dari
perairan Samudera Hindia dekat ekuator menuju perairan Barat Sumatera yang
dikenal dengan Arus Sakal Khatulistiwa Samudera Hindia (AHS). Arus ini
membawa massa air yang hangat akibat penerimaan bahang yang terus-menerus
selama perjalanannya. AHS bergerak menyusuri pantai barat daya Sumatera dan
bertemu dengan Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) dari timur. Kemudian, arus
tersebut terdesak dan mengalir dekat pantai di perairan Selatan Jawa sebagai Arus
Pantai Jawa (APJ). APJ mencapai puncaknya pada bulan Maret (Wyrtki, 1961).
Gambar 12. Rata-rata SPL Januari – Desember pada rentang 1997-2009
24
25
26
27
28
29
30
( C)
(Bulan)
Rata-rata Suhu Permukaan Laut
(1997-2009)
29
Variasi nilai rata-rata dari SPL juga terjadi setiap bulan pada musim yang
sama (musim Barat) dalam rentang tahun 1997 hingga 2009 (Gambar 13). Pada
musim ini SPL rata-rata yakni 28,85 °C dengan kisaran 27,5 °C – 30,5 °C. SPL
terendah terjadi pada Februari tahun 1997 dan tertinggi terjadi pada Februari
1998. Tingginya SPL pada Desember hingga Februari disebabkan oleh radiasi
matahari serta APJ yang membawa massa air yang lebih hangat dari pantai Barat
Sumatera menuju pantai Selatan Jawa. Adanya perbedaan nilai SPL pada bulan
dan musim yang sama pada tahun yang berbeda di perairan Selatan Jawa diduga
diakibatkan oleh perbedaan kekuatan pengaruh musim maupun fenomena IOD
serta ENSO terhadap perairan tersebut setiap tahunnya.
Gambar 13. Rata-rata SPL bulanan musim Barat pada rentang 1997-2009
Musim Timur memiliki variasi SPL yang lebih rendah dibandingkan
musim barat yakni dengan rata-rata 26,93 °C dan berkisar 24,8 °C – 29,85 °C
(Gambar 14). Pada musim Timur, posisi matahari berada pada Bumi Bagian Utara
(BBU), sehingga radiasi matahari yang diterima perairan Selatan Jawa cenderung
lebih lemah dibandingkan pada musim Barat. Serta SPL yang rendah tersebut juga
disebabkan adanya transpor Ekman pada musim Timur yang menyebabkan
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
( C)
(Tahun)
Variasi SPL Musim Barat (1997-2009)
Desember
Januari
Februari
30
adanya kenaikan massa air dari lapisan bawah yang memiliki suhu rendah menuju
permukaan (Wrytki, 1961).
Susanto et al. (2001), mengungkapkan terjadinya kenaikan massa air di
perairan Selatan Jawa sangat dipengaruhi oleh angin Muson Tenggara. Sehingga
adanya perbedaan rata-rata SPL pada musim Timur setiap bulannya pada tahun
yang berbeda (Gambar 14), mengindikasikan bahwa kekuatan tiupan angin Muson
Tenggara juga memiliki variasi setiap tahunnya. Hal ini terlihat jelas dari variasi
SPL yang ditemukan pada musim Barat dan Musim Timur dengan rentang 1997
hingga 2009.
Gambar 14. Rata-rata SPL bulanan musim Timur pada rentang 1997-2009
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, adanya variasi musiman SPL di
perairan Selatan Jawa (Gambar 15) disebabkan oleh posisi dan radiasi matahari,
masuknya massa air hangat dari perairan Barat Sumatera menuju Selatan Jawa
dan juga disebabkan adanya kenaikan massa air laut. Musim peralihan I memiliki
nilai SPL yang paling tinggi daripada musim lainnya yakni 29,06 °C. Hal ini
disebabkan oleh radiasi matahari dan proses terjadinya APJ tidak terjadi dalam
waktu singkat. Radiasi matahari diterima perairan Selatan Jawa secara terus-
menerus selama musim Barat hingga peralihan I serta puncak pergerakan massa
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
( C)
(Tahun)
Variasi SPL Musim Timur (1997-2009)
Juni
Juli
Agustus
31
air hangat yang dibawa oleh APJ ke perairan Selatan Jawa ditemukan pada bulan
Maret (Purba et al. 1992) yang sudah memasuki musim Peralihan I.
Kemudian, nilai SPL yang paling rendah terjadi pada musim Peralihan II
yakni 26,90 °C dan tidak jauh berbeda dengan SPL pada musim Timur yakni
26,93°C. Rendahnya SPL pada musim Timur disebabkan adanya oleh radiasi
matahari pada musim Timur tidak sekuat musim Barat dan ditemukan juga
transpor Ekman yang menyebabkan naiknya massa air di perairan Selatan Jawa.
Demikian halnya dengan musim Peralihan II, walaupun arah angin sudah tidak
menentu di perairan Selatan Jawa tetapi dampak dari transpor Ekman yang
disebabkan oleh angin Muson tenggara masih berkembang pada musim ini.
Kejadian ini terbukti dari Gambar 15 bahwa musim Peralihan II memiliki SPL
yang rendah yang merupakan dampak dari adanya kejadian upwelling. Ketika
dampak dari tiupan angin Muson Tenggara berangsur-angsur berkurang maka
terlihat pada musim Barat dan Peralihan II, SPL di perairan Selatan Jawa
cenderung meningkat.
Gambar 15. Rata-rata SPL musiman pada rentang 1997-2009
28.8529.06
26.93 26.90
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
Musim Barat Peralihan I Musim Timur Peralihan II
( C) Variasi SPL Musiman (1997-2009)
32
4.1.2. Klorofil-a
Kandungan Klorofil-a dalam rentang 1997 hingga 2009 di perairan Selatan
Jawa mengalami variasi nilai rata-rata baik bulanan dan juga musiman.
Berdasarkan variasi bulanan, kandungan klorofil-a tertinggi diperoleh pada bulan
Oktober dengan nilai 0,884 mg/m³ (Gambar 16). Pada variasi bulanan, terlihat
bahwa nilai klorofil-a mulai meningkat sejak bulan Juni dan mulai berkurang pada
bulan November. Adanya variasi ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh
musim, pergerakan massa air, serta fenomena seperti IOD atau ENSO yang
mempengaruhi perairan Selatan Jawa.
Demikian dengan variasi musiman, kandungan klorofil-a musim Barat
memiliki rata-rata 0,195 mg/m³ (Gambar 17). Pada musim Barat kandungan
klorofil-a memiliki nilai yang cenderung rendah. Kandungan Klorofil tertinggi
pada musim ini ditemukan pada Desember 2006 yakni 1,054 mg/m³ dan
kandungan klorofil-a terendah ditemukan pada Desember 1998 yakni 0,093
mg/m³. Terdapat anomali kandungan klorofil-a pada musim Barat yakni pada
Desember 1997 (0,847 mg/m³) dan Desember 2006 (1,054 mg/m³).
Gambar 16. Rata-rata Klorofil-a bulanan pada rentang 1997-2009
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
(mg/m3)
(Bulan)
Rata-rata Klorofil-a
(1997-2009)
33
Gambar 17. Rata-rata Klorofil-a bulanan musim Barat pada rentang 1997-2009
Anomali klorofil-a yang terjadi pada Desember 1997/2006 disebabkan
adanya fenomena IOD positif serta adanya fenomena El Niňo yang kuat pada
tahun-tahun ini. Murtugudde et al. (1999) menyatakan bahwa IOD positif
mempengaruhi produktivitas primer di lepas pantai Barat Sumatera dan Selatan
Jawa dengan cara mengubah pola upwelling. Demikian juga dengan Susanto et al.
(2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa ENSO mempengaruhi penaikan
massa air (upwelling) di Selatan Jawa dan barat daya Sumatera. Dengan adanya
pengaruh dari kedua fenomena ini, intensitas kenaikan massa air laut yang terjadi
pada musim Timur juga semakin tinggi dari biasanya sehingga dampaknya masih
ditemukan pada bulan Desember yang telah memasuki musim Barat.
Variasi kandungan klorofil-a juga ditemukan pada musim Timur di
perairan Selatan Jawa (Gambar 18). Seperti halnya pada musim Barat, adanya
variasi ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh musim, pergerakan massa air,
serta fenomena seperti IOD atau ENSO yang mempengaruhi perairan Selatan
Jawa. Kandungan klorofil-a pada musim Timur memiliki nilai rata-rata yakni 0,52
mg/m³ dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan musim Barat. Kandungan
klorofil-a yang lebih tinggi ini terjadi karena kenaikan massa air pada musim
Timur.
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
(mg/m3)
(Tahun)
Klorofil-a Musim Barat (1997-2009)
Desember
Januari
Februari
34
Massa air dari bawah naik ke permukaan dan membawa nutrient ke
permukaan sehingga memacu pertumbuhan dari fitoplankton. Pada musim Timur,
rata-rata klorofil-a tertinggi terjadi pada Agustus 2006 yakni 1,221 mg/m³ dan
rata-rata klorofil terendah terjadi pada Juli 1998 yakni 0,181 mg/m³. Pada musim
Timur tahun 1998, nilai rata-rata klorofil-a memiliki nilai yang lebih rendah
dibandingkan musim Timur pada tahun lainnya. Hal ini disebabkan pada musim
Timur tahun 1998 terjadi fenomena IOD negatif bersamaan dengan La Niňa.
Kejadian ini kemungkinan mempengaruhi intensitas kenaikan massa air pada
musim Timur.
Begitu juga dengan Agustus 2006 yang memiliki rata-rata kandungan
klorofil tertinggi pada musim Timur. Hal tersebut disebabkan kuatnya intensitas
upwelling yang terjadi pada tahun ini karena dipengaruhi oleh IOD positif dan El
Niňo. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Kunarso dkk. (2012)
bahwa kejadian IOD positif memperkuat adanya transpor Ekman serta El Niňo
mengakibatkan adanya pendangkalan thermoklin.
Gambar 18. Rata-rata Klorofil-a bulanan musim Timur pada rentang 1997-2009
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
(mg/m3)
(Tahun)
Klorofil-a Musim Timur (1997-2009)
Juni
Juli
Agustus
35
Berdasarkan variasi klorofil-a musiman pada rentang 1997 hingga 2009
ditemukan bahwa musim Peralihan I memiliki nilai rata-rata kandungan klorofil-a
terendah yakni 0,189 mg/m³ dan musim Peralihan II memiliki nilai rata-rata
kandungan klorofil-a tertinggi yakni 0,711 mg/m³. Pada musim Barat dan musim
Peralihan II nilai klorofil-a cenderung rendah dan pada musim Timur dan musim
Peralihan II nilai klorofil-a cenderung lebih tinggi (Gambar 19).
Nilai klorofil-a yang rendah pada musim Barat dan Musim Peralihan I
terjadi karena pada musim ini terdapat APJ yang membawa massa air hangat
masuk ke perairan Selatan Jawa serta mengakibatkan semakin dalamnya
thermoklin. Hal ini memperkecil kemungkinan untuk adanya kenaikan massa air
serta pada musim ini juga berkembang angin Muson Barat Laut yang tidak
berdampak adanya kenaikan massa air di perairan Selatan Jawa. Pada musim
Timur dan musim Peralihan II memiliki nilai rata-rata klorofil-a lebih tinggi yakni
0,52 mg/m³ dan 0,711 mg/m³. Hal ini disebabkan berhembusnya angin Muson
Tenggara pada perairan ini yang berdampak terjadinya kenaikan massa air. Massa
air yang naik kepermukaan cenderung kaya akan zat hara, maka dengan naiknya
massa air tersebut akan menyuburkan kawasan perairan permukaanya dan
memacu pertumbuhan fitoplankton.
Gambar 19. Rata-rata kandungan klorofil-a musiman pada rentang 1997-2009
0.195 0.189
0.520
0.711
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0.700
0.800
Musim Barat Peralihan I Musim Timur Peralihan II
(mg/m3) Variasi Klorofil-a Musiman (1997-2009)
36
Variasi nilai klorofil-a musiman ini juga dikaji oleh Fatma (2006) dengan
menemukan konsentrasi klorofil-a pada musim Timur lebih tinggi dibandingkan
musim Barat pada rentang tahun 2004-2005. Tingginya konsentrasi klorofil-a
pada musim Timur dan musim Peralihan di Selatan Jawa juga dibuktikan dengan
data tangkapan ikan Cakalang pada zona WPP-RI 573 (Lampiran 3) yang
diperoleh dari Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) Labuhan Lombok
pada tahun 2008 (Gambar 20).
Tingginya klorofil-a yang bersumber dari fitoplankton dapat mendukung
konsentrasi zooplankton yang sangat besar dan mengakibatkan melimpahnya
keberadaan ikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil tangkapan ikan cakalang pada
musim Barat dan musim Peralihan I yang cenderung lebih rendah dibandingkan
dengan musim Timur dan musim Peralihan II (Gambar 20). Ketika kandungan
klorofil-a tertinggi ditemukan pada musim Peralihan II, hasil tangkapan ikan
cakalang juga menunjukkan nilai yang tertinggi pada musim Peralihan II.
Demikian juga dengan Kusnawan (1999) menemukan bahwa musim penangkapan
tertinggi untuk ikan Cakalang di perairan Pelabuhan Ratu yakni musim Timur dan
Peralihan II karena kondisi perairan yang baik dan dampak kejadian upwelling
ditemukan pada Musim ini.
Gambar 20. Hasil tangkapan Cakalang di zona WPP-RI 573 tahun 2008
(PIPP Labuhan Lombok 2008)
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
Musim Barat Peralihan I Musim Timur Peralihan II
Hasi
l T
an
gk
ap
an
(K
g)
Hasil Tangkapan Cakalang di zona WPP-RI 573
tahun 2008
37
4.2. Upwelling di Perairan Selatan Jawa
Dahuri et al. (1996), menyatakan bahwa SPL perairan Nusantara berkisar
antara 28 – 31 °C. Serta adanya proses upwelling ditandai dengan gradient SPL
yang cukup mencolok atau sekitar >2 °C dengan perairan sekitarnya dan
upwelling juga akan menyuburkan kawasan permukaan perairan yang
menyebabkan tingginya kandungan klorofil-a. Demikian juga dengan Kunarso
dkk. (2005), menyatakan bahwa SPL perairan selatan NTT hingga Barat Sumatera
ketika tidak terjadi upwelling berkisar 29 – 31 °C. Serta selain ditandai dengan
kandungan klorofil yang tinggi, upwelling juga ditandai dengan SPL pada kisaran
25 – 27,5 °C. Hal ini juga didukung dengan standar deviasi SPL tahunan yang
diperoleh di Selatan Jawa pada rentang 1997 hingga 2009 yakni, nilai SPL
tahunan yang rendah yakni 25,50-27,92 °C dan nilai SPL tinggi yakni berkisar
27,93-30,21 °C.
Maka, sesuai dengan teori dari indentifikasi upwelling tersebut diperoleh
variasi kejadian upwelling di Selatan Jawa pada rentang 1997 hingga 2009 yang
dianalisis berdasarkan nilai dan sebaran SPL secara spasial dan juga temporal
(Tabel 4).
Tabel 4. Variasi kejadian upwelling rentang 1997-2009
Tahun
Kejadian Upwelling Rata-rata SPL
(° C)
Klorofil-a
(mg/m³)
1997 Juli - November 25,38 2,794
1998 September 27,68 0,276
1999 Juni - Oktober 26,22 0,771
2000 Juni - November 27,00 0,372
2001 Juni - Oktober 27,33 0,381
2002 Juni - November 26,92 0,536
2003 Juni - November 26,40 0,599
2004 Juli - November 26,71 0,454
2005 Juli - Oktober 26,93 0,404
2006 Juni - November 25,82 1,359
2007 Juni - Oktober 26,31 0,871
2008 Juni - Oktober 26,12 0,716
2009 Juli - Oktober 26,94 0,493
38
Variasi dari kekuatan kejadian upwelling juga dapat dilihat berdasarkan
nilai rata-rata SPL dan juga klorofil-a saat terjadi upwelling (Tabel 4). Tahun 1997
merupakan tahun terjadinya upwelling terkuat dengan SPL terendah yakni
25,38 °C dan kandungan klorofil-a tertinggi yakni 2,794 mg/m³. Sebaliknya,
Tahun 1998 merupakan tahun terjadinya upwelling terlemah dengan nilai SPL
tertinggi yakni 27,68 °C dan kandungan klorofil terendah yakni 0,276 mg/m³.
Tahun 1997, upwelling di perairan Selatan Jawa dimulai dari bulan Juli
dan berakhir pada bulan November (Tabel 4). Pada bulan Juli, daerah upwelling
ditandai dengan adanya SPL yang rendah sekitar 24 - 26 °C di sekitar pantai
Selatan Jawa (Gambar 21). Hal ini terjadi karena pada bulan Juli berhembus angin
Muson Tenggara sehingga ditemukan adanya proses Ekman transpor di perairan
Selatan Jawa. Adanya Ekman transpor tersebut mengakibatkan terjadinya
kekosongan massa air di permukaan sehingga massa air dari bawah dengan suhu
rendah akan naik ke permukaan.
Gambar 21. Sebaran SPL Juli 1997
Puncak dari kejadian upwelling pada tahun ini terjadi pada bulan
September yakni dengan rata-rata SPL terendah 24,74 °C dan rata-rata klorofil-a
1,143 mg/m³. Kejadian upwelling ini dilihat dari sebaran SPL yang rendah
disepanjang perairan Selatan Jawa (Gambar 22a). Sebaran SPL yang cenderung
lebih rendah atau indikasi terjadinya upwelling yang kuat pada bulan ini
ditemukan pada area 8° – 9°LS dan 110° - 113°BT. Upwelling kuat dengan durasi
39
kejadian yang cukup lama pada tahun ini diduga kerena dipengaruhi oleh kejadian
IOD positif terjadi bersamaan dengan fase El Niňo.
Kejadian upwelling pada September 1997 ini juga dibuktikan dengan
kontur sebaran vertikal suhu pada garis 10°LS dengan bujur 90°BT – 115°BT
(Gambar 22b). Berdasarkan kontur sebaran vertikal suhu, terlihat adanya kenaikan
massa air pada kedalaman 0 – 100 m di garis 105°BT – 115°BT yang berada di
sekitar perairan Selatan Jawa. Terjadinya upwelling yang kuat pada tahun 1997 di
lokasi penelitian ini, dikarenakan adanya Ekman transpor yang menyebabkan
kenaikan massa air pada musim Timur serta pada tahun ini ditemukan fase El
Niňo dan IOD positif yang diduga mempengaruhi durasi dan intensitas terjadinya
upwelling.
Gambar 22. a) Sebaran SPL pada September 1997, b) Sebaran vertikal suhu
September 1997 (Dipo dkk. 2011)
40
Tahun 1998, kekuatan serta durasi upwelling di perairan Selatan Jawa
lebih rendah dibanding dengan tahun-tahun lainnya. Hal ini berdasarkan sebaran
SPL yang lebih tinggi secara spasial dan temporal ditemukan pada tahun ini.
Durasi upwelling pada tahun ini juga hanya terjadi pada bulan September (Tabel
4). Area terjadinya upwelling juga lebih sempit apabila dibandingkan dengan area
upwelling pada September 1997.
Wyrtki (1961), menyatakan bahwa pada musim Timur bertiup angin
Muson Tenggara yang dapat menyebabkan kenaikan massa air di perairan Selatan
Jawa. Kemudian kenaikan massa air tersebut akan mengakibatkan SPL yang lebih
rendah pada musim Timur. Tetapi pada hasil olahan data penelitian ditemukan
bahwa pada Juni hingga Agustus 1998, SPL di area penelitian masih cenderung
tinggi. Sebaran SPL yang tinggi pada Juli 1998 disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23. Sebaran SPL pada Juli 1998
Untuk upwelling yang terjadi pada bulan September dapat dilihat
berdasarkan sebaran SPL yang rendah pada area penelitian (Gambar 24a). Area
serta kekuatan upwelling pada September 1998 cenderung lebih kecil dibanding
area serta kekuatan upwelling yang terjadi pada September 1997. Lemahnya
durasi serta intensitas pada tahun ini diduga karena adanya pengaruh dari kejadian
La Niňa pada tahun ini yang menyebabkan semakin dalamnya thermoklin di area
penelitian (Susanto et al. 2001) dan juga terjadi IOD negatif yang menyebabkan
pergerakan AHS dan APJ yang membawa massa air hangat masuk ke area
penelitian semakin kuat.
41
Hal ini juga dibuktikan dengan kontur sebaran suhu vertikal pada bulan
September 1998. Berdasarkan kontur sebaran vertikal suhu, terlihat bahwa pada
bulan ini kenaikan massa air cenderung tidak terlihat pada pada kedalaman
0 – 100 m di garis 105°BT – 115°BT yang berada di sekitar perairan Selatan Jawa
(Gambar 24b). Lapisan termoklin pada kedalaman 100 – 300m cenderung lebih
tebal dan homogen apabila dibandingkan dengan lapisan thermoklin pada kontur
sebaran vertikal suhu September 1997.
Gambar 24. a)Sebaran SPL pada September 1998, b)Kontur sebaran suhu
pada September 1998 (Dipo dkk. 2011)
42
Upwelling di perairan Selatan Jawa pada tahun 1999, terjadi dari pada
bulan Juni hingga Oktober. Pucak upwelling ditemukan pada bulan Agustus
dengan nilai SPL 25,69 °C dengan nilai klorofil-a 0,893 mg/m³ (Gambar 25).
Kejadian upwelling ini ditandai dengan sebaran SPL yang rendah disepanjang
perairan Selatan Jawa. Berdasarkan sebaran SPL pada Gambar 25, kejadian
upwelling pada Agustus 1999 ini memiliki area yang lebih luas dibanding pada
kejadian tahun 1998. Sebaran SPL dengan nilai paling rendah yang
mengindikasikan area terjadinya upwelling kuat ditemukan di sekitar pantai Jawa
Tengah hingga Jawa Timur.
Demikian halnya dengan sebaran klorofil-a yang tinggi sebagai indikasi
terjadinya upwelling, pada bulan ini ditemukan disepanjang pantai Selatan Jawa.
Pola dari sebaran klorofil-a ini juga cenderung mengikuti pola sebaran SPL
sehingga dapat disimpulkan bahwa tingginya klorofil-a pada bulan ini disebabkan
karena adanya kenaikan massa air yang kaya akan nutrien.
Gambar 25. Sebaran SPL dan Klorofil-a Agustus 1999
43
Berbeda dengan upwelling yang terjadi pada tahun 2000. Upwelling pada
tahun ini terjadi dengan durasi yang lebih lama dibanding tahun 1999. Tetapi
kekuatan upwelling yang terjadi cenderung lebih lemah berdasarkan rata-rata
temporal SPL yakni 27,00 °C dan juga rata-rata klorofil-a yang rendah yakni
0,372 mg/m³. Puncak terjadinya upwelling pada tahun ini terjadi pada bulan
Agustus dengan SPL yang paling rendah dibanding bulan lainnya yakni 26,31 °C
dan juga nilai rata-rata klorofil paling tinggi yakni 0,483 mg/m³ (Gambar 26).
Kejadian puncak upwelling pada tahun ini yang disajikan pada Gambar 26,
ditemukan bahwa disepanjang Selatan Jawa ditemukan sebaran SPL yang rendah.
Begitu juga dengan sebaran klorofil-a di sepanjang Selatan Jawa yang tinggi
mengikuti pola sebaran SPL. Berdasarkan sebaran spasial SPL pada pucak
upwelling tahun 2000 ini, dapat disimpulkan bahwa kekuatannya lebih lemah
dibanding tahun 1999.
Gambar 26. Sebaran SPL dan Klorofil-a Agustus 2000
44
Durasi terjadinya upwelling yang lebih cepat dibandingkan pada tahun
2000 yakni terjadi pada bulan Juni hingga Oktober ditemukan pada tahun 2001.
Kekuatannya pada tahun ini juga lemah berdasarkan rata-rata SPL saat kejadian
upwelling yang cenderung tinggi yakni 27,33 °C. Puncak kejadian upwelling pada
tahun ini terjadi pada bulan September dengan nilai SPL paling rendah dibanding
dengan bulan lainnya yakni 26,63 °C serta nilai rata-rata klorofil-a tertinggi yakni
0,599 mg/m³ (Gambar 27).
Nilai rata-rata SPL yang diperoleh pada tahun ini memiliki nilai kedua
tertinggi setelah tahun 1998. Demikian juga dengan rata-rata klorofil-a pada tahun
ini memiliki nilai yang rendah yakni 0,381 mg/m³. Berdasarkan sebaran spasial
SPL dan klorofil-a, area upwelling pada bulan September ditemukan disepanjang
perairan Selatan Jawa dengan kekuatan yang cenderung lebih lemah dari tahun
2000 (Gambar 27).
Gambar 27. Sebaran SPL dan Klorofil-a September 2001
45
Durasi dan kekuatan upwelling yang lebih tinggi daripada tahun
sebelumnya ditemukan pada tahun 2002. Upwelling pada tahun ini terjadi dengan
durasi yang lama dan kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2000 dan
2001. Hal tersebut berdasarkan nilai rata-rata SPL yang lebih rendah saat kejadian
upwelling pada tahun ini yakni 26,92 °C dan dengan nilai rata-rata klorofil-a
0,536 mg/m³. Puncak kejadian upwelling pada tahun ini terjadi pada bulan
September yang memiliki nilai rata-rata SPL terendah yakni 25,48 °C dengan nilai
rata-rata klorofil-a 0,679 mg/m³ (Gambar 28).
Pada bulan ini, sebaran SPL rendah yang mengindikasikan terjadinya
upwelling ditemukan disepanjang perairan Selatan Jawa serta sebaran klorofil-a
yang cenderung tinggi juga ditemukan disepanjang pantai Selatan Jawa (Gambar
28). Berdasarkan sebaran SPL secara spasial, upwelling pada tahun ini lebih lebih
kuat dari kejadian pada tahun 2000 dan 2001.
Gambar 28. Sebaran SPL dan Klorofil-a September 2002
46
Kejadian upwelling di Selatan Jawa yang memiliki durasi yang sama
dengan tahun 2002 yakni terjadi dari Juni hingga November dengan nilai SPL
yang tidak jauh berbeda yakni 26,40 °C dan nilai rata-rata klorofil-a 0,599 mg/m³
ditemukan pada tahun 2003. Tetapi, puncak upwelling terjadi pada bulan yang
berbeda. Pada tahun ini puncak upwelling terjadi pada bulan Agustus dan kejadian
upwelling yang kuat sudah ditemukan sejak bulan Juli dengan nilai rata-rata SPL
25,43 °C (Gambar 29).
Nilai rata-rata SPL Agustus yakni 24,89 °C dengan nilai rata-rata
klorofil-a 0,894 mg/m³. Kejadian upwelling yang kuat pada bulan ini ditemukan di
sepanjang pantai Selatan Jawa. Hal ini berdasarkan sebaran spasial SPL yang
rendah dan juga sebaran klorofil-a yang tinggi (Gambar 29). Setelah kejadian
upwelling yang kuat pada tahun 1997, kejadian upwelling kuat ditemukan lagi
pada puncak upwelling tahun 2003.
Gambar 29. Sebaran SPL dan Klorofil-a Agustus 2003
47
Tahun 2004, upwelling terjadi dari bulan Juli hingga November. Pada
tahun ini, durasi upwelling lebih singkat dibandingkan tahun 2002 dan 2003.
Rata-rata SPL pada kejadian upwelling tahun ini yakni 26,71 °C dengan nilai rata-
rata klorofil-a 0,454 mg/m³ serta puncak kejadian upwelling pada tahun ini terjadi
pada bulan September (Gambar 30).
Nilai rata-rata SPL pada bulan September yakni 25,87 °C dan nilai
klorofil-a 0,471 mg/m³. Tetapi kejadian upwelling yang kuat juga sudah
ditemukan sejak bulan Agustus dengan rata-rata SPL 25,92 °C dan nilai rata-rata
klorofil-a 0,666 mg/m³. Berdasarkan sebaran spasial dari SPL dan klorofil-a bulan
September 2004, upwelling terjadi di sepanjang perairan Selatan Jawa (Gambar
30). Tetapi, kekuatan upwelling yang terjadi cenderung melemah apabila
dibandingkan dengan tahun 2003.
Gambar 30. Sebaran SPL dan Klorofil-a September 2004
48
Durasi kejadian upwelling yang lebih singkat dibandingkan dengan tahun
2004 ditemukan pada tahun 2005. Durasi terjadinya upwelling pada tahun ini,
terjadi dari bulan Juli hingga Oktober dengan nilai rata-rata SPL 26,93 °C dan
klorofil-a 0,404 mg/m³ dengan puncak kejadian upwelling ditemukan pada bulan
Agustus. Nilai SPL rata-rata pada bulan Agustus yakni 26,29 °C dan nilai rata-rata
klorofil-a yakni 0,513 mg/m³.
Berdasarkan sebaran spasial SPL dan klorofil-a pada bulan Agustus,
kejadian upwelling ditemukan di sepanjang perairan Selatan Jawa. Tetapi area
upwelling yang lebih kuat ditemukan pada area 8°-10°LS dan 109°-115°BT
(Gambar 31). Kejadian upwelling pada tahun ini juga cenderung melemah
dibandingkan kejadian tahun 2003 dan 2004.
Gambar 31. Sebaran SPL dan Klorofil-a Agustus 2005
49
Upwelling yang kuat ditemukan lagi pada tahun 2006 dengan SPL
terendah kedua setelah tahun 1997 yakni 25,82 °C dan terjadi dari bulan Juni
hingga November. Nilai rata-rata klorofil-a pada tahun ini juga memiliki nilai
yang tinggi yakni 1,359 mg/m³. Kuatnya kejadian upwelling pada tahun ini
kemungkinan sama halnya dengan kejadian tahun 1997 dengan ditemukannya
kejadian IOD positif dan El Niňo yang memiliki pengaruh terhadap kejadian
upwelling (Murtugudde et al. 1999 dan Susanto et al. 2001).
Upwelling yang kuat pada tahun ini sudah ditemukan pada bulan Juli
hingga Oktober dengan SPL yang rendah di sepanjang Selatan Jawa. Tetapi
puncak upwelling terjadi pada bulan September dengan nilai rata-rata SPL yang
terendah yakni 24,72 °C dan nilai klorofil-a yang tinggi dengan nilai 1,236 mg/m³.
Kejadian upwelling disepanjang perairan Selatan Jawa pada bulan September,
ditandai dengan sebaran SPL dan klorofil-a (Gambar 32).
Gambar 32. Sebaran SPL dan Klorofil-a September 2006
50
Dengan kejadian upwelling yang masih kuat tetapi sudah cenderung
melemah apabila dibandingkan dengan kejadian tahun 2006 dan terjadi dari bulan
Juni hingga Oktober dengan rata-rata SPL 26,31 °C dan nilai rata-rata klorofil-a
0,871 mg/m³ ditemukan pada tahun 2007. Hal tersebut juga terlihat dari sebaran
spasial SPL dan klorofil-a pada puncak upwelling tahun ini yang terjadi pada
bulan September (Gambar 33).
Nilai rata-rata SPL pada bulan September juga lebih tinggi dibandingkan
September 2006 yakni 25,31 °C. Demikian halnya apabila dibandingkan
berdasarkan sebaran spasial SPL dan klorofil-a pada September 2007 (Gambar
33), dapat disimpulkan bahwa kekuatan upwelling yang terjadi pada tahun 2007
cenderung melemah.
Gambar 33. Sebaran SPL dan Klorofil-a September 2007
51
Kejadian upwelling kuat pada tahun 2006 dan 2007 juga dibuktikan
dengan kontur sebaran vertikal suhu September pada garis 10°LS dan 105°-
115°BT (Gambar 34). Pada tahun 2006 dan 2007, ditemukan adanya kenaikan
massa air pada kedalaman 0-200 meter. Pola naiknya massa air pada tahun 2006
dan 2007 tidak terlalu berbeda berdasarkan kontur sebaran vertikal suhu pada
garis ini. Meskipun demikian, berdasarkan nilai rata-rata SPL secara temporal
maupun spasial pada area penelitian, kejadian upwelling yang paling kuat terjadi
pada tahun 2006.
Terjadinya upwelling yang kuat pada bulan ini disebabkan tiupan angin
Muson Tenggara yang mengakibatkan adanya transpor Ekman pada musim Timur
sehingga dampaknya masih terjadi hingga musim Peralihan II. Oleh karena hal
tersebut sehingga puncak upwelling pada tahun 2006 dan 2007 ditemukan pada
bulan September yang sudah memasuki awal musim Peralihan II.
Gambar 34. a) Kontur sebaran suhu vertikal September , a)2006, b)2007
(Dipo dkk. 2001)
52
Tahun 2008, upwelling terjadi dari bulan Juni hingga Oktober dengan nilai
rata-rata SPL 36,12 °C dan nilai rata-rata klorofil-a 0,716 mg/m³. Berdasarkan
nilai rata-rata dan sebaran spasial SPL dan klorofil-a, kekuatan upwelling pada
tahun 2008 tidak jauh berbeda dengan tahun 2007. Tetapi puncak dari upwelling
pada tahun ini terjadi pada bulan Juli.
Puncak upwelling yang pada tahun ini terjadi lebih awal apabila
dibandingkan dengan puncak upwelling tahun-tahun lainnya yang umumnya
terjadi antara Agustus atau September. Hal ini diduga karena kejadian upwelling
yang kuat pada tahun ini sudah ditemukan sejak bulan Juni (Gambar 35a). Hal ini
berarti bahwa, transpor Ekman di Selatan Jawa sudah kuat lebih awal sebelum
memasuki bulan Juli atau puncak upwelling pada tahun ini. Kejadian puncak
upwelling pada bulan ini ditandai dengan sebaran SPL yang rendah di sepanjang
perairan Selatan Jawa (Gambar 35b).
Gambar 35. a) Sebaran SPL Juni 2008, b) Sebaran SPL Juli 2008
53
Durasi kejadian upwelling lebih singkat dibandingan tahun 2007 dan 2008
ditemukan pada tahun 2009. Tahun ini, upwelling terjadi dari bulan Juli hingga
Oktober dengan SPL rata-rata 26,94 °C dan kandungan klorofil-a rata-rata 0,493
mg/m³. Berdasarkan SPL secara temporal maupun spasial, upwelling pada tahun
ini cenderung lebih lemah daripada tahun 2007 dan 2008. Kejadian upwelling
yang kuat pada tahun ini terjadi pada bulan Agustus dan September serta puncak
upwelling ditemukan pada bulan Agustus dengan rata-rata SPL 26,21 °C dan nilai
rata-rata klorofil-a 0,669 mg/m³.
Berdasarkan sebaran SPL yang rendah dan klorofil-a yang tinggi,
upwelling pada bulan September terjadi di sepanjang perairan Selatan Jawa
(Gambar 36) meskipun memiliki kekuatan yang cenderung lebih lemah dari tahun
2007. Area upwelling yang kuat pada bulan ini ditemukan pada area 8°-10°LS dan
110°-115°BT.
Gambar 36. Sebaran SPL dan Klorofil-a Agustus 2009
54
Dari pembahasan kejadian upwelling secara keseluruhan dari tahun 1997
hingga 2009, diperoleh bahwa kejadian upwelling di Selatan Jawa umumnya
memiliki puncak antara bulan Agustus atau September kecuali kejadian pada
tahun 2008 yang memiliki puncak pada bulan Juli. Kejadian ini konsisten dengan
pernyataan Wyrtki (1962), bahwa upwelling di Selatan Jawa terjadi karena adanya
angin Muson Tenggara yang bertiup pada Juli-Agutus sehingga memungkinkan
puncak upwelling terjadi pada bulan Juli maupun Agustus. Demikian juga dengan
Purba (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa puncak upwelling di
perairan Selatan Jawa juga terjadi pada bulan September.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kejadian upwelling terkuat
ditemukan pada tahun 1997 dan 2006 serta kejadian upwelling terlemah
ditemukan pada tahun 1998, 2000 dan 2001. Hal ini dapat dibuktikan dengan
analisis spasial terhadap kecepatan transpor Ekman secara vertikal (Lampiran 7).
Sebaran warna ini memiliki arti berdasarkan skala yang disajikan pada gambar
yakni apabila area penelitian didominasi dengan warna kuning hingga merah, hal
tersebut berarti kecepatan transpor Ekman secara vertikal semakin tinggi (dalam
satuan m/s) sebaliknya apabila area penelitian didominasi oleh warna hijau hingga
ungu, berarti kecepatan transpor Ekman secara vertikal semakin rendah (dalam
satuan m/s).
Pada tahun 2006 puncak upwelling terjadi pada bulan September dengan
SPL yang mencapai 24,72 °C. Hal tersebut juga dibuktikan oleh kuatnya
kecepatan transpor Ekman secara vertikal yang ditampilkan secara horizontal di
area penelitian (Lampiran 7b). Hal tersebut ditandai dengan sebaran warna kuning
dan sebaran warna merah yang mendominasi area penelitian. Sedangkan pada
salah satu kejadian upwelling lemah yakni tahun 2001, Pada bulan September
kecepatan transpor Ekman secara vertikal pada area penelitian memiliki sebaran
yang cenderung lebih lemah. Hal tersebut ditandai dengan sebaran warna hijau
yang mendominasi area penelitian (NOAA 2013) (Lampiran 7a).
55
4.3. Analisis Korelasi IOD dan ENSO Terhadap Kejadian Upwelling
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kejadian upwelling di Selatan Jawa
umumnya terjadi pada musim Timur dan musim Peralihan II serta ditemukan
adanya variasi durasi serta kekuatan upwelling setiap tahunnya. Sementara itu,
fenomena IOD dan ENSO juga memiliki kejadian serta kekuatan yang bervariasi
pada rentang tahun tersebut. Pada penelitian sebelumnya, Murtugudde et al.
(1999) dan Susanto et al. (2001) menemukan adanya pengaruh fenomena IOD dan
juga ENSO terhadap karakteristik oseanografi perairan Selatan Jawa. Atas dasar
hal tersebut, maka dilakukan analisis korelasi Pearson untuk melihat hubungan
antara kejadian IOD dan ENSO dengan SPL rata-rata bulanan sebagai indikasi
terjadinya upwelling di area penelitian.
Data yang digunakan dalam analisis ini berdasarkan adanya kejadian IOD
dan ENSO seperti yang sudah dijelaskan pada metode penelitian. Variasi kejadian
IOD dan ENSO pada setiap tahunnya dan juga hasil dari korelasi antara kejadian
IOD dan ENSO dengan SPL Selatan Jawa disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Hasil korelasi DMI dan Niňo 3.4 dengan SPL
Tahun IOD-SPL ENSO-SPL p-value
1997 -0,691 -0,623 0,00
1998 0,708 0,638 0,00
1999 - -0,270 0,00
2000 - -0,689 0,00
2002 -0,743 -0,587 0,00
2003 -0,758 0,171 0,00
2004 - -0,766 0,00
2005 0,657 - 0,00
2006 -0,803 -0,570 0,00
2007 - 0,424 0,00
2008 -0,928 -0,877 0,00
2009 0,448 -0,344 0,00
*α = 0.05 (95%)
Ket : H0 = Tidak ada pengaruh antara IOD dan ENSO terhadap SPL
H1 = Ada pengaruh antara IOD dan ENSO terhadap SPL
Dasar Pengambilan Keputusan :
- Jika p-value > 0.05,maka H0 diterima
- Jika p-value < 0.05, maka H0 ditolak
56
Berdasarkan nilai korelasi pada Tabel 5, beserta hipotesis dan dasar
pengambilan keputusan yang digunakan, dengan nilai p-value > 0.05 pada setiap
tahunnya, maka H0 ditolak. Hal ini berarti, korelasi antara nilai variabel signifikan
atau terdapat pengaruh antara IOD dan ENSO terhadap SPL. Berdasarkan nilai
korelasi ini juga, interval kekuatan hubungan antara variabel dapat ditentukan
berdasarkan Tabel 3 yakni berkisar pada interval kekuatan sangat lemah sampai
kuat berhubungan positif dan sangat kuat berhubungan negatif.
Tahun 1997, fenomena IOD positif dan El Niňo terjadi bersamaan dan
menunjukkan nilai anomali yang kuat dan memiliki pengaruh pada kondisi
oseanografi di perairan Selatan Jawa seperti yang dikemukakan oleh Murtugudde
et al. (1999) dan Susanto et al. (2001). Kejadian upwelling di Selatan Jawa
merupakan salah satu kondisi oseanografi yang dipengaruhi oleh adanya kejadian
IOD positif dan El Niňo. Pada tahun 1997 merupakan kejadian upwelling yang
paling kuat dan durasi terjadinya dari bulan Juli hingga November dengan
anomali SPL yang paling tinggi.
Berdasarkan nilai korelasi antara IOD dan El Niňo dengan SPL, diperoleh
dengan nilai r= -0.691 untuk IOD dan -0,623 untuk El Niňo atau adanya hubungan
kuat negatif. Hubungan kuat negatif ini berarti pada semakin besar nilai indeks
Niňo 3.4 yang menyatakan hal tersebut sebagai fase El Niňo maka SPL pada
Selatan Jawa memiliki nilai yang semakin rendah. Begitu juga dengan fase IOD,
semakin tinggi nilai dari DMI yang menyatakan hal tersebut sebagai fase IOD
positif maka SPL di Selatan Jawa memiliki nilai yang semakin rendah (Gambar
37).
Dengan nilai r yang tinggi atau nilai hubungan yang kuat antara kejadian
IOD dan El Niňo dengan SPL di Selatan Jawa, maka disimpulkan kejadian ini
memiliki pengaruh yang kuat terhadap kejadian upwelling di Selatan Jawa pada
tahun 1997. Hal ini sesuai dengan pernyataan Susanto et al. (2001), bahwa pada
saat periode El Niňo, angin Muson Tenggara yang berhembus di perairan
Indonesia bagian selatan menguat sehingga terjadi peningkatan upwelling di
Selatan Jawa serta Murtugudde et al. (1999) menyatakan bahwa fase IOD positif
mempengaruhi intensitas upwelling.
57
Gambar 37. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 1997
Tahun 2002 dan 2003 juga terjadi hal yang sama yakni ditemukan fase
IOD positif dan El Niňo terjadi bersamaan. Tetapi pada tahun ini, IOD positif
menunjukkan hubungan yang lebih kuat terhadap SPL Selatan Jawa dibandingkan
dengan El Niňo. Hal ini terlihat dari nilai r antara DMI dengan SPL pada tahun
2002 yakni r= -0,743 dan pada tahun 2003 yakni r= -0,758 yang berarti memiliki
hubungan kuat negatif. Nilai r untuk indeks Niňo 3.4 dengan SPL pada tahun
2002 yakni r= -0,587 yang berarti memiliki kekuatan hubungan yang sedang serta
pada tahun 2003 hanya diperoleh nilai r= 0,171 yang berarti memiliki hubungan
yang sangat lemah.
Lemahnya hubungan antara kejadian El Niňo dengan SPL di Selatan Jawa
ini kemungkinan disebabkan fase El Niňo yang kuat tidak terjadi pada saat musim
Timur sehingga kejadiannya tidak terlalu berpengaruh terhadap kenaikan massa
air. Pada tahun 2002, El Niňo yang kuat terjadi dari bulan September sedangkan
pada tahun 2003, El Niňo yang kuat terjadi dari bulan November. Berbeda dengan
IOD, fase IOD positif pada tahun 2002 dan 2003 terjadi dari musim Timur pada
tahun ini. Grafik hubungan antara IOD dan ENSO pada tahun 2002 dan 2003
terhadap SPL di Selatan Jawa disajikan pada Gambar 38 dan Gambar 39.
-2
-1
0
1
2
3
4
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
Grafik indeks Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 1997
IOD ENSO SPL
58
Gambar 38. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 2002
Gambar 39. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 2003
Tahun 2004, fase El Niňo masih terjadi tetapi kondisi IOD pada tahun ini
dalam kondisi netral. Korelasi antara kejadian El Niňo dengan SPL pada tahun ini
diperoleh nilai r= -0,766 yang berarti memiliki hubungan kuat negatif. Tahun
2006, terjadi juga fase El Niňo, tetapi pada tahun ini terjadi fase IOD negatif dan
IOD positif. Fase IOD negatif terjadi dari Januari – Mei dan fase IOD positif
terjadi dari Agustus hingga Desember. Sedangkan El Niňo terjadi sejak September
hingga Desember.
-2
-1
0
1
2
3
4
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 2002
IOD ENSO SPL
-2
-1
0
1
2
3
4
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 2003
IOD ENSO SPL
59
Pada tahun ini, IOD memiliki hubungan yang lebih kuat dengan SPL
dibanding ENSO. Hal tersebut berdasarkan nilai korelasi antara IOD dengan SPL
dan juga antara ENSO dengan SPL. Nilai r untuk hubungan IOD dengan SPL
adalah r= -0,803 yang berarti memiliki hubungan sangat kuat negatif sedangkan
r untuk Niňo 3.4 dengan SPL adalah r= -0,570 yang berarti memiliki hubungan
yang sedang. Pada Januari – Mei, anomali SPL cenderung meningkat seiring
dengan kejadian IOD negatif dan ketika IOD positif mulai terbentuk dari Juni
hingga November, anomali SPL yang diperoleh semakin rendah (Gambar 40).
Sedangkan kejadian El Niňo pada tahun ini mulai muncul pada bulan September
yang sudah memasuki musim Peralihan II sehingga hubungannya dengan SPL
lebih lemah dibandingkan dengan IOD.
Gambar 40. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 2006
Fenomena IOD negatif dan La Niňa terjadi secara bersamaan ditemukan
pada tahun 1998. Kedua fenomena yang terjadi secara bersamaan ini
mengakibatkan melemahnya upwelling di Selatan Jawa. Hal tersebut terlihat dari
terjadinya upwelling yang lemah pada tahun ini dan hanya terjadi pada bulan
September saja. Nilai korelasi antara IOD negatif dengan SPL rata-rata yakni
r= 0,708 dan La Niňa dengan SPL rata-rata yakni r= 0,638 menunjukkan IOD
negatif dan La Niňa memiliki hubungan kuat positif dengan kejadian upwelling di
Selatan Jawa.
-2
-1
0
1
2
3
4
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 2006
IOD ENSO SPL
60
Hubungan kuat positif berarti dengan kejadian IOD negatif dan La Niňa
yang semakin kuat pada tahun ini, diikuti dengan nilai SPL yang semakin tinggi.
Pengaruh dari kedua fenomena ini terhadap SPL di Selatan Jawa yakni pada fase
La Niňa, massa air hangat bergerak dari Samudera Pasifik dan masuk ke Selatan
Jawa sedangkan pada fase IOD negatif mengakibatkan APJ yang membawa massa
air hangat masuk ke Selatan Jawa semakin kuat. Adanya hubungan kuat positif
antara kejadian IOD negatif dan La Niňa dapat dilihat pada Gambar 41 yakni
dengan nilai DMI yang semakin negatif (IOD negatif) serta dengan nilai indeks
Niňo 3.4 yang semakin negatif (La Niňa) mengakibatkan nilai anomali SPL
semakin tinggi pada tahun ini.
Gambar 41. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 1998
Fase La Niňa juga terjadi pada tahun 1999 hingga 2000, tetapi pada tahun
ini terjadi bersamaan dengan kejadian IOD yang netral. Pada tahun 1999 hingga
2000 diperoleh hubungan antara kejadian La Niňa dengan kondisi SPL memiliki
hubungan yang lemah dan berhubungan kuat negatif. Hal ini berkaitan dengan
fase IOD negatif yang muncul pada tahun 1998 yang mengakibatkan tingginya
SPL tidak terjadi pada tahun 1999. Adanya perubahan fase IOD yang signifikan
pada tahun 1999 dan 2000 mengakibatkan variasi SPL seperti keadaan normal
karena melemahnya APJ yang membawa massa air hangat dari Barat Sumatera.
-2
-1
0
1
2
3
4
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 1998
IOD ENSO SPL
61
Sehingga, SPL yang tinggi ditemukan pada musim Barat dan SPL yang rendah
ditemukan pada musim Timur.
Pada tahun 1998 ditemukan bahwa kejadian fase La Niňa yang kuat terjadi
pada musim Timur. Kejadian yang sama juga ditemukan pada tahun 2007, dengan
fase La Niňa yang terjadi pada musim Timur hingga musim Peralihan II. Serta,
berdasarkan hubungan korelasi antara La Niňa dengan SPL ada tahun ini memiliki
hubungan sedang positif dengan r= 0,424. Hal ini berarti kejadian La Niňa
mengakibatkan SPL yang lebih tinggi dari biasanya dengan kekuatan yang
sedang. Hal ini dapat dilihat dari grafik DMI dan Niňo 3.4 dengan anomali SPL
yang semakin tinggi positif ketika terjadi fase La Niňa yang kuat (Gambar 42).
Gambar 42. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 2007
Tahun 2008 fase La Niňa juga masih ditemukan, tetapi pada tahun ini
terjadi juga fase IOD negatif dan positif. Fase La Niňa pada tahun ini terjadi pada
musim Barat dan musim Peralihan I sedangkan fase IOD negatif terjadi pada
musim Barat dan fase IOD positif terjadi pada musim Timur. Berdasarkan nilai r,
kejadian La Niňa dan juga IOD pada tahun ini memiliki kekuatan hubungan yang
sangat kuat negatif. Hal ini berarti, ketika nilai DMI semakin positif maka SPL
yang ditemukan semakin rendah serta ketika indeks Niňo 3.4 semakin positif,
maka SPL yang ditemukan semakin rendah juga.
-2
-1
0
1
2
3
4
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 2007
IOD ENSO SPL
62
Hal ini dapat dilihat pada grafik antara hubungan DMI, Niňo 3.4 dengan
SPL tahun 2008 dengan nilai anomali SPL negatif yang semakin tinggi. Ketika
fase La Niňa mulai menghilang dan fase IOD positif mulai muncul maka
ditemukan anomali negatif dari SPL pada Mei hingga Agustus (Gambar 43).
Gambar 43. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 2008
Pada tahun 2009, fase La Niňa dan El Niňo dan juga fase IOD positif
terjadi pada tahun ini. Berdasarkan nilai r, kejadian La Niňa dan El Niňo memiliki
hubungan yang lebih kuat dengan SPL di Selatan Jawa dibandingkan dengan
kejadian IOD. Dengan nilai r untuk ENSO dengan SPL yakni r= -0,612.
Sedangkan nilai r untuk IOD positif dengan SPL adalah r= 0,448 yang berarti
memiliki kekuatan hubungan yang sedang positif. Kejadian pada tahun ini
berbeda dengan kejadian tahun 1997 yakni fase IOD positif mengakibatkan
upwelling yang kuat. Hal tersebut diduga karena waktu terjadinya fase IOD positif
tahun ini terjadi pada musim Barat dan bersamaan dengan kejadian La Niňa.
Sehingga fase IOD positif tidak terlalu berpengaruh terhadap kenaikan massa air
yang terjadi pada musim Timur.
-2
-1
0
1
2
3
4
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 2008
IOD ENSO SPL
63
Kejadian upwelling lemah ditentukan berdasarkan SPL yang lebih tinggi
dari biasanya seperti yang ditemukan pada tahun 1998. Kejadian tersebut juga
ditemukan pada tahun 2005, dengan nilai r= 0.657 yang berarti berhubungan kuat
positif. Ketika fase IOD negatif semakin kuat maka ditemukan anomali positif
dari SPL. Kejadian tersebut terjadi pada bulan Juni hingga November dan
mengalami puncak anomali pada bulan Juli. Pada tahun ini, ketika IOD negatif
terjadi pada musim Barat, anomali positif dari SPL juga ditemukan. Hal ini
kemungkinan terjadi karena APJ yang puncaknya pada bulan Maret semakin
menguat karena adanya pengaruh dari fase IOD negatif. Karena fase IOD negatif
terjadi ketika nilai indeks Niňo 3.4 yang cenderung netral maka yang memiliki
pengaruh besar terhadap anomali SPL adalah kejadian IOD.
Berdasarkan rata-rata nilai r antara kejadian IOD dan juga kejadian ENSO
pada tahun 1997 hingga 2009 di Selatan Jawa. Kejadian IOD memiliki pengaruh
yang lebih kuat dibandingkan dengan kejadian ENSO. Hal ini terlihat dengan nilai
rata-rata r antara kejadian IOD dengan SPL adalah r= 0,717 yang berarti memiliki
hubungan yang kuat sedangkan nilai rata-rata r antara kejadian ENSO dengan SPL
adalah r= 0,566 yang berarti memiliki hubungan kekuatan yang sedang. Adanya
pengaruh kejadian IOD dan ENSO terhadap SPL di Selatan Jawa terlihat juga
pada grafik fluktuasi anomali SPL, DMI dan indeks Niňo 3.4 (Lampiran 4).
Fluktuasi dari grafik anomali SPL menunjukkan terjadinya anomali negatif ketika
terjadi anomali positif terhadap DMI dan indeks Niňo 3.4 dan sebaliknya ketika
terjadi anomali negatif pada DMI dan indeks Niňo 3.4, fluktuasi grafik anomali
SPL menunjukkan terjadinya anomali positif.
64
4.4. Analisis Transformasi Wavelet
Terjadinya SPL yang rendah setiap tahun pada bulan-bulan tertentu terjadi
di Selatan Jawa. Umumnya SPL yang rendah ditemukan pada musim Timur dan
musim Peralihan II. Rendahnya SPL ini disebabkan oleh kenaikan massa air
dengan suhu yang lebih rendah menuju permukaan, sehingga ketika ditemukan
SPL yang rendah pada bulan-bulan tertentu maka dapat disimpulkan bahwa pada
bulan tersebut terjadi upwelling. Adanya kejadian upwelling setiap tahun ini dapat
dilihat dari hasil transformasi wavelet dari frekuensi SPL yang menunjukkan
adanya dominansi sinyal pada periode 8 – 14 bulanan sepanjang waktu (Gambar
44a). Pada periode 4-6 bulanan pada waktu ke 72 hingga 84 bulanan juga
ditemukan adanya dominansi sinyal. Hal ini kemungkinan disebabkan terjadinya
fase El Niňo dan IOD positif pada musim Barat pada waktu ke 72 hingga 84
(tahun 2003).
Kaitan antara sinyal kejadian IOD juga dapat dilihat melalui transformasi
wavelet (Gambar 44). Berdasarkan transformasi wavelet pada Gambar 44a dan
Gambar 44b, dapat dilihat bahwa kejadian dominansi sinyal antara IOD memiliki
pengaruh terhadap dominansi sinyal SPL. Hal ini terlihat pada waktu ke 60 hingga
132 (sekitar tahun 2002 – 2007), ketika sinyal IOD kuat pada periode yang sama
dengan SPL yakni periode 8 – 16 bulanan hal tersebut diikuti dengan semakin
kuatnya sinyal dominansi dari SPL pada waktu tersebut.
Begitu juga dengan hubungan SPL dengan ENSO, berdasarkan
transformasi wavelet ditemukan bahwa hubungan antara sinyal Niňo 3.4 dengan
sinyal SPL pada tahun 1997 hingga 2009. Hubungan SPL dengan ENSO dapat
dilihat pada transformasi wavelet (Gambar 45), yakni dominansi sinyal kuat hanya
terjadi bersamaan pada waktu ke 24 hingga 36 (1998-1999) dengan periode 14-16
bulanan, pada waktu ke 72 hingga 84 (2002-2003) dengan periode yang sama
dengan SPL (8 – 16 bulanan). Sedangkan pada pada waktu 84 hingga 135 (2002 –
2008) diperoleh dominansi sinyal yang kuat dari indeks Niňo 3.4 sekitar periode
8-32 bulanan dan memiliki pengaruh yang cukup kuat juga dengan kekuatan
sinyal SPL pada periode dan waktu tersebut. Tetapi, hubungan dari kemunculan
sinyal yang kuat antara ENSO dengan SPL, tidak sekuat hubungan IOD dengan
65
SPL. Hal ini sesuai dengan hasil analisis korelasi pada pembahasan sebelumnya
yakni diperoleh kekuatan hubungan antara IOD dengan SPL yang lebih kuat
dibanding ENSO dengan SPL.
Gambar 44. a) Perbandingan transformasi Wavelet SPL dengan,
b) Transformasi Wavelet DMI
Gambar 45. a) Perbandingan transformasi Wavelet SPL dengan,
b) Transformasi Wavelet Niňo 3.4
66
4.4. Hubungan Kejadian Upwelling Dengan Hasil Tangkapan Ikan
Kejadian upwelling tahunan yang ditemukan di perairan Selatan Jawa
memiliki hubungan dengan hasil tangkapan ikan di Selatan Jawa Barat. Hubungan
tersebut dapat dilihat dari grafik fluktuasi SPL tahunan dengan data tangkapan
ikan yang disajikan pada Gambar 46.
Gambar 46. Fluktuasi SPL tahunan dengan tangkapan Ikan (Dinas Perikanan
Provinsi Jawa Barat dalam Susilo 2009)
Gambar 47. Hubungan antara tangkapan ikan dan upaya penangkapan
(Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat dalam Susilo 2009)
Tahun 1997 diperoleh hasil tangkapan ikan yang paling tinggi yakni
15.190 ton/tahun (Gambar 46). Hasil tangkapan ini erat hubungannya dengan
kejadian upwelling kuat pada tahun ini yang telah dibahas sebelumnya. Demikian
halnya dengan tahun 2003,2004 dan 2006 diperoleh hasil tangkapan yang
25.5
26
26.5
27
27.5
28
28.5
29
29.5
30
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
SP
L (
C)
Tan
gk
ap
an
(T
on
)
tangkapan SPL
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Up
ay
a (
Un
it)
Ta
ng
ka
pa
n (
Ton
)
tangkapan upaya
67
cenderung lebih tinggi dari tahun-tahun lainnya. Sedangkan pada tahun 2000 dan
2001 merupakan tahun upwelling yang lemah setelah tahun 1998. Hal ini sesuai
dengan hasil tangkapan ikan yang paling rendah ditemukan pada tahun tersebut.
Berbeda dengan tahun 1998, pada tahun ini merupakan kejadian upwelling
yang paling lemah baik secara durasi maupun intensitas. Tetapi hasil tangkapan
ikan yang ditemukan pada tahun ini cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun
2000 dan 2001. Hal ini diduga karena upaya penangkapan yang dilakukan pada
tahun ini lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun lainnya (Gambar 47) sehingga
diperoleh hasil tangkapan yang cenderung tinggi. Berdasarkan Gambar 47 juga
dapat dilihat bahwa pada tahun 1997, 2002 hingga 2006 memiliki upaya
penangkapan yang cenderung lebih rendah tetapi diperoleh hasil tangkapan yang
cenderung tinggi. Hal ini diduga karena adanya hubungannya kelimpahan ikan di
perairan Selatan Jawa Barat dengan variasi kekuatan upwelling yang terjadi pada
tahun-tahun tersebut.
Hal yang sama juga ditemukan dengan hasil tangkapan ikan yang
diperoleh dari data produksi ikan laut kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Ketika
SPL rendah ditemukan pada tahun 2003,2004 dan 2006 hasil tangkapan ikan laut
yang diperoleh juga cenderung tinggi (Gambar 48).
Gambar 48. Hubungan antara SPL tahunan dan hasil tangkapan ikan
(Dinas Perikanan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah)
26
26.5
27
27.5
28
28.5
29
0
5000
10000
15000
20000
25000
2001 2002 2003 2004 2005 2006
SP
L (
C)
Ta
ng
ka
pa
n (
ton
)
Tangkapan SPL