1
LEARNING OBJEKTIF
1. Angka kematian ibu di Indonesia 2011
Angka kematian ibu di indonesia masih amat tinggi, bahkan tergolong
tinggi di dunia. Angka Kematian ibu melahirkan di Indonesia masih
tergolong tinggi. Berdasarkan penelitian Woman Research Institute,
angka kematian ibu melahirkan pada tahun 2011 mencapai 307 per
100.000 kelahiran hidup.
Penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, infeksi,
eklamsi, partus lama, dan komplikasi abortus. Menurut survey kesehatan
rumah tangga (SKRT) selama 10 tahun angka kematian ibu terutama
disebabkan post partum sekitar 67% dan 70% kematian karena
perdarahan dan infeksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu faktor
penolong persalinan, faktor tempat tinggal ibu yang kotor dan luka post
episiotomi yang tidak dirawat sehingga menyebabkan infeksi.
2. Penanganan kasus perdarahan post-partum
Atonia uteri
Atonia uteri terjadi bila miometrium tidak berkontraksi. Uterus menjadi
lunak dan
pembuluh darah pada daerah bekas perlekatan plasenta terbuka lebar.
Atonia
merupakan penyebab tersering perdarahan postpartum, sekurang-
kurangnya 2/3
dari semua perdarahan postpartum disebabkan oleh atonia uteri. Upaya
penanganan
perdarahan postpartum disebabkan atonia uteri harus dimulai dengan
mengenal
ibu yang memiliki kondisi yang berisiko terjadinya atonia uteri.
Kondisi ini mencakup:
a. Hal-hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi
normal seperti
pada:
Polihidramnion
Kehamilan kembar
2
Makrosomi
b. Persalinan lama
c. Persalinan terlalu cepat
d. Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin
e. Infeksi intrapartum
f. Paritas tinggi
Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang berisiko
ini,
maka penting bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi
kemungkinan
terjadinya atoni uteri postpartum. Meskipun demikian, 20% atoni uteri
postpartum
dapat terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor risiko ini. Adalah penting bagi
semua
penolong persalinan untuk mempersiapkan diri dalam melakukan
penatalaksanaan
awal terhadap masalah yang mungkin terjadi selama proses persalinan.
Jika tidak mempunyai kemampuan dan fasilitas, semua keadaan di atas
sebaiknya
segera dirujuk ke dokter spesialis obgyn / Rumah Sakit.
Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan
penanganan kala tiga secara aktif, yaitu:
a. Menyuntikan Oksitosin
Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.
Menyuntikkan Oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian
luar paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih
dahulu untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak mengenai
pembuluh darah.
b. Peregangan Tali Pusat Terkendali
Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5 – 10 cm
dari vulva atau menggulung tali pusat
Meletakkan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah
uterus, sementara tangan kanan memegang tali pusat
3
menggunakan klem atau kain kasa dengan jarak 5 – 10 cm dari
vulva
Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan
kanan sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke
arah dorsokranial
c. Mengeluarkan plasenta
Jika dengan penegangan tali pusat terkendali tali pusat terlihat
bertambah panjang dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta
ibu untuk meneran sedikit sementara tangan kanan menarik tali
pusat ke arah bahwa kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan
lahir hingga plasenta tampak pada vulva.
Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir,
pindahkan kembali klem hingga berjarak ± 5 – 10 dari vulva.
Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut
selama 15 menit
Suntikkan ulang 10 IU Oksitosin i.m
Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh
Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta
manual
d. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta
dengan
hati-hati.
Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput
secara perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput
ketuban.
e. Masase Uterus
Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus
uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan
bagian palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik
(fundus teraba keras)
f. Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan
Kelengkapan plasenta dan ketuban
Kontraksi uterus
Perlukaan jalan lahir
Perlukaan jalan lahir
4
Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan
kontraksi
rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari
perlukaan
jalan lahir. Perlukaan jalan terdiri dari:
a. Robekan perineum
Dibagi atas 4 tingkat :
Tingkat I : robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau
tanpa
mengenai kulit perineum
Tingkat II : robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot
perinei
transversalis, tetapi tidak mengenai sfingter ani
Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter
ani
Tingkat IV : robekan sampai mukosa rektum
b. Hematoma vulva
c. Robekan dinding vagina
Kolporeksis adalah suatu keadaan di mana terjadi robekan di
vagina bagian atas, sehingga sebagian serviks uteri dan sebagian
uterus terlepas dari vagina. Robekan ini memanjang atau
melingkar.
d. Robekan serviks
Robekan serviks dapat terjadi di satu tempat atau lebih. Pada
kasus partus
presipitatus, persalinan sungsang, plasenta manual, terlebih lagi
persalinan operatif pervaginam harus dilakukan pemeriksaan
dengan spekulum keadaan jalan lahir termasuk serviks.
e. Ruptura uteri
Retensio plasenta
Retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah
jam setelah janin lahir. Plasenta yang belum lahir dan masih melekat
di dinding rahim oleh karena kontraksi rahim kurang kuat untuk
melepaskan plasenta disebut plasenta adhesiva. Plasenta yang
belum lahir dan masih melekat di dinding rahim oleh karena villi
5
korialisnya menembus desidua sampai miometrium disebut plasenta
akreta. Plasenta yang sudah lepas dari dinding rahim tetapi belum
lahir karena terhalang oleh lingkaran konstriksi di bagian bawah
rahim disebut plasenta inkarserata.
Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau
seluruhnya telah lepas dari dinding rahim. Banyak atau sedikitnya
perdarahan tergantung luasnya bagian plasenta yang telah lepas dan
dapat timbul perdarahan. Melalui periksa dalam atau tarikan pada
tali pusat dapat diketahui apakah plasenta sudah lepas atau belum
dan bila lebih dari 30 menit maka kita dapat melakukan plasenta
manual.
Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap,
segera dilakukan kompresi bimanual uterus dan disuntikkan
Ergometrin 0.2 mg i.m atau i.v sampai kontraksi uterus baik. Pada
kasus retensio plasenta, risiko atonia uteri tinggi oleh karena itu
harus segera dilakukan tindakan pencegahan perdarahan
postpartum. Apabila kontraksi rahim tetap buruk, dilanjutkan dengan
tindakan sesuai prosedur tindakan pada atonia uteri. Plasenta akreta
ditangani dengan histerektomi oleh karena itu harus dirujuk ke
rumah sakit.
Sisa plasenta
Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim
dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan
pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 6 – 10 hari pasca
persalinan). Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta
ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir
dan kontraksi rahim baik. Pada perdarahan postpartum lambat
gejalanya sama dengan subinvolusi rahim yaitu perdarahan. Untuk
memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan eksplorasi
dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnostik yaitu ultrasonografi.
Pengelolaan
6
Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan
kuretase.
Dalam kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat
dikeluarkan secara manual. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit
dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan
dengan kuretase pada abortus.
Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan
dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.
3. Hubungan jumlah anak dengan peningkatan resiko kematian maternal
Grandemultipara, yaitu ibu dengan jumlah kehamilan dan persalinan
lebih dari 6 kali masih banyak terdapat. Resiko kematian maternal dari
golongan ini adalah 8 kali lebih tinggi dari lainnya.
Penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan, infeksi, eklamsi,
partus lama, dan komplikasi abortus. Menurut survey kesehatan rumah
tangga (SKRT) selama 10 tahun angka kematian ibu terutama
disebabkan post partum sekitar 67% dan 70% kematian karena
perdarahan dan infeksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu faktor
penolong persalinan, faktor tempat tinggal ibu yang kotor dan luka post
episiotomi yang tidak dirawat sehingga menyebabkan infeksi.
4. Derajat-derajat kesadaran
Compos mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
7
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
5. Sistem rujukan pada skenario
Persiapan yang harus diperhatikan dalam melakukan rujukan,
disingkat “BAKSOKU” yang dijabarkan sebagai berikut :
a. B (bidan): pastikan ibu/bayi/klien didampingi oleh tenaga kesehatan
yang kompeten dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan
kegawatdaruratan
b. A (alat) : bawa perlengkapan dan bahan – bahan yang diperlukan,
seperti spuit, infus set, tensimeter, dan stetoskop
c. K (keluarga): beritahu keluarga tentang kondisi terakhir ibu (klien) dan
alasan mengapa dirujuk. Suami dan anggota keluarga yang lain
diusahakan untuk dapat menyetujui Ibu (klien) ke tempat rujukan.
d. S (surat): beri surat ke tempat rujukan yang berisi identifikasi ibu
(klien), alasan rujukan, uraian hasil rujukan, asuhan, atau obat – obat
yang telah diterima ibu (klien)
e. O (obat): bawa obat – obat esensial diperlukan selama perjalanan
merujuk
f. K (kendaraan) : siapkan kendaraan yang cukup baik untuk
memungkinkan ibu (klien) dalam kondisi yang nyaman dan dapat
mencapai tempat rujukan dalam waktu cepat
g. U (uang) : ingatkan keluarga untuk membawa uang dalam jumlah yang
cukup untuk membeli obat dan bahan kesehatan yang di perlukan di
tempat rujukan.
Indikasi perujukan ibu yaitu :
Riwayat seksio sesaria
Perdarahan per vaginam
Persalinan kurang bulan (usia
kehamilan < 37 minggu)
Ketuban pecah dengan mekonium
yang kental
Ketuban pecah lama (lebih kurang 24
jam)
Anemia berat
Tanda/gejala infeksi
Preeklamsia/hipertensi dalam
kehamilan
TInggi fundus uteri 40 cm atau
lebih
Primipara dalam fase aktif
persalinan dengan palpasi kepala
8
Ketuban pecah pada persalinan
kurang bulan
Ikterus
janin masuk 5/5
Presentasi bukan belakang kepala
Presentasi majemuk
Tali pusat menumbung
Syok
6. Jelaskan kasus emergency pada obstetrik
Perdarahan yang mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat
cukup bulan meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu awal kehamilan
(abortus, mola hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik)
dan perdarahan pada minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan
(plasenta previa, solusio plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan per
vagina setelah seksio sesarea, retensio plasentae/ plasenta inkomplet),
perdarahan pasca persalinan, hematoma, dan koagulopati obstetri.
a. Abortus
Pada abortus septik, perdarahan per vagina yang banyak atau
sedang, demam (menggigil), kemungkinan gejala iritasi peritoneum,
dan kemungkinan syok. Terapi untuk perdarahan yang tidak
mengancam nyawa adalah dengan Macrodex, Haemaccel, Periston,
Plasmagel, Plasmafundin (pengekspansi plasma pengganti darah)
dan perawatan di rumah sakit. Terapi untuk perdarahan yang
mengancam nyawa (syok hemoragik) dan memerlukan anestesi,
harus dilakukan dengan sangat hati-hati jika kehilangan darah
banyak. Pada syok berat, lebih dipilih keretase tanpa anestesi
kemudian Methergin. Pada abortus pada demam menggigil, tindakan
utamanya dengan penisilin, ampisilin, sefalotin, rebofasin, dan
pemberian infus.
b. Mola hidatidosa (Kista Vesikular)
Penyebab gangguan ini adalah pembengkakan/ edematosa pada vili
(degenerasi hidrofik) dan proliferasi trofoblast. Diagnosis ditegakkan
melalui anamnesis yang ditemukan amenore, keluhan kehamilan
yang berlebihan, perdarahan tidak teratur, sekret per vagina
berlebihan. Pada hasil pemeriksaan, biasanya uterus lebih besar dari
pada usia kehamilannya Karen ada pengeluaran kista. Kista ovarium
tidak selalu dapat dideteksi. Pada mola kistik, hanya perdarahan
9
mengancam yang boleh dianggap kedaruratan akut, akibatnya
tindakan berikut tidak dapat dilakukan pada kejadian gawat-darurat.
Terapi untuk gangguan ini adalah segera merawat pasien di rumah
sakit, dan pasien diberi terapi oksitosin dosis tinggi, pembersihan
uterus dengan hati-hati, atau histerektomi untuk wanita tua atau
yang tidak menginginkan menambah anak lagi, transfuse darah, dan
antibiotika.
c. Kehamilan Ekstrauteri (Ektopik)
Penyebab gangguan ini adalah terlambatnya transport ovum karena
obstruksi mekanis pada jalan yang melewati tuba uteri. Kehamilan
tuba terutama di ampula, jarang terjadi kehamilan di ovarium.
Diagnosis ditegakkan melalui adanya amenore 3-10 minggu, jarang
lebih lama, perdarahan per vagina tidak teratur (tidak selalu).
Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering unilateral
(abortus tuba), hebat dan akut (rupture tuba), ada nyeri tekan
abdomen yang jelas dan menyebar. Kavum douglas menonjol dan
sensitive terhadap tekanan. Jika ada perdarahan intra-abdominal,
gejalanya sebagai berikut:
Sensitivitas tekanan pada abdomen bagian bawah, lebih jarang
pada abdomen bagian atas.
Abdomen tegang.
Mual.
Nyeri bahu.
Membran mukosa anemis.
Jika terjdi syok, akan ditemukan nadi lemah dan cepat, tekanan
darah di bawah 100 mmHg, wajah tampak kurus dan bentuknya
menonjol-terutama hidung, keringat dingin, ekstremitas pucat, kuku
kebiruan, dan mungkin terjadi gangguan kesadaran.
Terapi untuk gangguan ini adalah dengan infuse ekspander plasma
(Haemaccel, Macrodex) 1000 ml atau merujuk ke rumah sakit
secepatnya.
d. Plasenta previa
10
Plasenta previa adalah tertanamnya bagian plasenta ke dalam
segmen bawah uterus. Penyebab gangguan ini adalah terjadi fase
pergeseran/ tumpang tindihnya plasenta di atas ostium uteri
internum yang menyebabkan pelepasan plasenta.
Tindakan pada plasenta previa
Tindakan dasar umum. Memantau tekanan darah, nadi, dan
hemoglobin, memberi oksigen, memasang infuse, member
ekspander plasma atau serum yang diawetkan. Usahakan pemberian
darah lengkap yang telah diawetkan dalam jumlah mencukupi.
Pada perdarahan yang mengancam nyawa, seksio sesarea segera
dilakukan setelah pengobatan syok dimulai.
Pada perdarahan yang tetap hebat atau meningkat karena plasenta
previa totalis atau parsialis, segera lakukan seksio sesaria; karena
plasenta letak rendah (plasenta tidak terlihat jika lebar mulut serviks
sekitar 4-5 cm), pecahkan selaput ketuban dan berikan infuse
oksitosin; jika perdarahan tidak berhenti, lakukan persalinan
pervagina dengan forsep atau ekstraksi vakum; jika perdarahan tidak
berhenti lakukan seksio sesaria.
Tindakan setelah melahirkan.
Cegah syok (syok hemoragik)
Pantau urin dengan kateter menetap
Pantau sistem koagulasi (koagulopati).
Pada bayi, pantau hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit.
Terapi atau tindakan terhadap gangguan ini dilakukan di tempat
praktik. Pada kasus perdarahn yang banyak, pengobatan syok adalah
dengan infuse Macrodex, Periston, Haemaccel, Plasmagel,
Plasmafudin. Pada kasus pasien gelisah, diberikan 10 mg valium
(diazepam) IM atau IV secara perlahan.
e. Solusio (Abrupsio) Plasenta
Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta yang tertanam normal
pada dinding uterus baik lengkap mauppun parsial, pada usia kehamilan
20 minggu atau lebih. Penyebabnya adalah hematoma retroplasenta
akibat perdarahan dari uteri (perubahan dinding pembuluh darah),
peningkatan tekanan di dalam ruangan intervillus ditingkatkan oleh
hipertensi atau toksemia. Diagnosis ditegakkan melalui temuan nyeri
11
(akibat kontraksi peralinan sering ada sebagai nyeri kontinu, uterus
tetanik), perdarahan per vagina (jarang ada dan dalam kasus berat,
perdarahan eksternal bervariasi), bunyi jantung jani berfluktuasi (hampir
selalu melebihi batas-batas norma, umumnya tidak ada pada kasus
berat), syok (nadi lemah, cepat, tekanan darah rendah, pucat,
berkeringat dingin, ekstremitas dingin, kuku biru).
Penderita yang disangka menderita solusio plasenta dengan pendarahan
genetalia selama kehamilan lanjut, persalinan harus di rumah sakit.
Selama solusio plasenta, dapat terjadi hal-hal berikut:
Perdarahan yang mengancam nyawa dan syok.
Tromboplasti yang diikuti oleh apopleksi uteroplasenta.
Gagal ginjal akut, pada kasus anuria atau oligouria yang lebih ringan,
pada kasus ginjal syok yang berat dan nekrosis korteks ginjal.
Infuse amnion (sangat jarang).
f. Retensio Plasenta (Plasenta Inkompletus)
Penyebab gangguan ini adalah retensio (nyeri lahir yang kurang kuat
atau perlengkapan patologi) dan inkarserasi (spasme pada daerah
isthmus serviks, sering disebabkan oleh kelebihan dosis analgesik).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir
spontan dan tidak yakin apakah plasenta lengkap.
Terapi untuk retensio atau inkarserasi adalah 35 unit Syntocinon
(oksitosin) IV yang diikuti oleh usaha pengeluaran secara hati-hati
dengan tekanan pada fundus. Jika plasenta tidak lahir, usahakan
pengeluaran secara manual setelah 15 menit. Jika ada keraguan
tentang lengkapnya plasenta,lakukan palpasi sekunder.
g. Ruptur Uteri
Penyebab rupture uteri meliputi tindakan obstetric (versi),
ketidakseimbangan fetopelvik, letak lintang yang diabaikan, kelebihan
dosis obat untuk nyeri persalinan atau induksi persalinan, jaringan parut
pada uterus (keadaan setelah seksio sesaria, meomenukleasi, operasi
Strassman, eksisi baji suatu tuba), kecelakaan (kecelakaan lalu lintas),
sangat jarang.
Terapi untuk gangguan ini meliputi hal-hal berikut.
Histerektomi total, umumnya rupture meluas ke segmen bawah uteri,
sering ke dalam serviks.
12
Hesterektomi supra vagina hanya dalam kasus gawat darurat.
Membersihkan uterus dan menjahit rupture, bahaya rupture baru
pada kehamilan berikutnya sangat tinggi.
Pada hematoma parametrium dan angioreksis (ruptur pembuluh
darah). Buang hematoma hingga bersih, jika perlu ikat arteri iliaka
hipogastrikum.
Pengobatan antisyok harus dimulai bahkan sebelum dilakukan
operasi.
h. Perdarahan Pascapersalinan
Penyebab gangguan ini adalah kelainan pelepasan dan kontraksi,
rupture serviks dan vagina (lebih jarang laserasi perineum), retensio sisa
plasenta, dan koagulopati. Perdarahan pascapersalinan tidak lebih dari
500 ml selama 24 jam pertama, kehilangan darah 500 ml atau lebih
berarti bahaya syok.
i. Preeklamsia Berat
Jika salah satu diantara gejala atau tanda berikut ditemukan pada
ibu hamil, dapat diduga ibu tersebut mengalami preeklamsia berat.
Tekanan darah 160/110 mmHg.
Oligouria, urin kurang dari 400 cc/ 24 jam.
Proteinuria, lebih dari 3g/ liter.
Keluhan subyektif (nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri
kepala, edema paru, sianosis, gangguan kesadaran).
Pada pemeriksaan, ditemukan kadar enzim hati meningkat disertai
ikterus, perdarahan pada retina, dan trombosit kurang dari 100.000/
mm.
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang dapat diberikan:
Larutan magnesium sulfat 40% sebanyak 10 ml (4 gram) disuntikkan
intra muskulus pada bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan,
dan dapat diulang 4 gram tiap jam menurut keadaan. Obat tersebut
selain menenangkan juga menurunkan tekanan darah dan
meningkatkan dieresis.
Klorpomazin 50 mg intramuskulus.
Diazepam 20 mg intramuskulus.
13
Penanganan kejang dengan memberi obat anti-konvulsan, menyediakan
perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan napas, masker,dan balon
oksigen), memberi oksigen 6 liter/menit, melindungi pasien dari
kemungkinan trauma tetapi jangan diikat terlalu keras, membaringkan
pasien posisi miring kiri untuk mengurangi resiko respirasi. Setelah
kejang, aspirasi mulut dan tenggorok jika perlu.
Penanganan umum meliputi :
a. Jika setelah penanganan diastolik tetap lebih dari 110 mmHg, beri
obat anti hipertensi sampai tekanan diastolik di antara 90-100mmHg.
b. Pasang infus dengan jarum besar (16G atau lebih besar).
c. Ukur keseimbangan cairan jangan sampai terjadi overload cairan.
d. Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan proteinuria.
e. Jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam, hentikan magnesium sulfat
dan berikan cairan IV NaCl 0,9% atau Ringer laktat 1 L/ 8 jam dan
pantau kemungkinan edema paru.
f. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah
dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
g. Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung tiap jam.
h. Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru.
i. Hentikan pemberian cairan IV dan beri diuretic (mis: furosemid 40 mg
IV sekali saja jika ada edema paru).
j. Nilai pembekuan darah jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit
(kemungkinan terdapat koagulopati).
Referensi:
1. Mansjoer, et al., 2001, Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1, Media
Aesculapius, Jakarta.
2. Norwitz, Errol, R., et al, 2007, Oxford American Handbook of Obstetrics and
Gynecology, Oxford University Press, United States of America.
3. Schorge, dkk, 2008, William’s Gynecology, Mcgraw-Hills Companies, USA.
4. Wiknjosastro, H., Saifuddin, B., Rachimhadi, T., 2009, Ilmu Kebidanan,
Yayasan Bina Pustaka, Sarwono Prawirodihardjo, Jakarta.
14
Recommended