KASUS
CEDERA KEPALA
PEMBIMBING : dr. Ibnu Benhadi, Sp.BS
DISUSUN OLEH :
ARISTA STHAVIRA
030.08.042
KEPANITERAAN KLINIK BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 3 SEPTEMBER – 10 NOVEMBER 2012
STATUS PASIEN BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
Nama Mahasiswa : Arista Sthavira Tanda Tangan:
NIM : 030.08.042
Dokter Pembimbing : dr. Ibnu Benhadi, Sp.BS
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : An. I Jenis kelamin : Laki-Laki
Umur : 16 tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Belum Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar Pendidikan : SMK
Alamat : Kalibata Tanggal masuk RS : 21 September 2012
Tanggal Keluar RS : 28 September 2012
A. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis, tanggal 22 September 2012, Pukul 06.30 WIB
Keluhan Utama
Jatuh dari motor sejak 5 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
OS datang ke Poli Bedah Saraf RSUD Budhi Asih dengan keluhan jatuh dari
motor sejak 5 hari SMRS. OS terjatuh dari motor setelah tertabrak mobil. Posisi
terjatuh terlentang dengan kepala terlebih dahulu menyentuh aspal dan OS memakai
helm. Setelah terjatuh OS mengaku sempat pingsan kurang dari 15 menit dan segera
dibawa ke RS Bogor. Setelah kecelakaan OS sempat muntah beberapa kali. Tidak ada
cairan yang keluar dari hidung maupun telinga. Pengelihatan tidak bertambah buram
dan berbicara tidak pelo. Terdapat luka-luka lecet pada lengan dan kaki. Tidak ada
luka pada bagian kepala. BAK dan BAB normal. Tidak ada keluhan kesemutan dan
kelumpuhan. Setelah dilakukan foto rontgen kepala OS pulang dari RS Bogor dan
menjalani rawat jalan di rumah. Setelah beberapa hari OS merasa nyeri kepala
2
semakin hebat dan benjolan di kepala sisi kanan atas semakin membesar, maka OS
dan keluarga memutuskan untuk berobat ke Poli Bedah Saraf RSUD Budhi Asih.
Riwayat Penyakit Dahulu
OS tidak pernah mengalami kecelakaan sebelumnya. OS tidak merokok, tidak
minum alcohol dan tidak mengkonsumsi narkoba. OS tidak memiliki riwayat alergi
makanan dan alergi obat-obatan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat darah tinggi, kencing manis dan penyakit jantung dalam
keluarga.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 50 kg
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 92 kali/menit
Suhu : 36,5 C
Pernafasan : 25 kali/menit
Keadaan Gizi : Kurang (IMT = 18,3)
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Sianosis : -
Edema Umum : -
Habitus : Astenikus
Cara Berjalan : Wajar
Mobilitas : Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai Umur
Kulit
Warna : Sawo Matang
Effloresensi : Tidak ada Ptekie : Tidak Ada
Jaringan Parut : Tidak ada Pigmentasi : Merata
Pertumbuhan rambut : Merata Lembab/Kering : Lembab
3
Suhu Raba : Hangat Pembuluh darah : Tidak
melebar
Keringat : Ada
Turgor : Baik
Lapisan Lemak : Merata Ikterus : Tidak ada
Oedem : Tidak ada Lain-lain : Tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar
Lipat paha : tidak teraba membesar
Leher : tidak teraba membesar
Ketiak : tidak teraba membesar
Kepala
Normocephali, tidak terdapat luka maupun bekas jahitan. Terdapat benjolan pada
parietal kanan berukuran 9x4 cm, lunak, mobilitas -, fluktuasi +, nyeri tekan -.
Wajah
Kerutan dahi simetris. Saat berbicara mulut tidak tertarik ke salah satu sisi.
Lipatan nasolabial simetris
Mata
Pupil isokor, CA -/- , SI -/- , RCL +/+ , RCTL +/+ .
Hidung
Tidak tampak adanya deformitas
Tidak tampak adanya secret dan darah
Telinga
Tuli : -/- Selaput pendengaran : intak
Lubang : lapang Penyumbatan : -/-
Serumen : -/- Perdarahan : -/-
Cairan : -/-
Mulut
4
Bibir : kering Tonsil : T1 –T1 tenang
Langit-langit : tidak ada tonjolan Bau pernapasan : tidak ada
Gigi geligi : OH baik Trismus : tidak ada
Faring : tidak hiperemis Selaput lendir : tidak ada
Lidah : licin, atrofi papil (-)
Leher
Terpasang Collar Neck
Dada
Bentuk : Normal, simetris
Pembuluh darah : tidak tampak
Buah dada : simetris
Paru – Paru
Pemeriksaan Depan Belakang
Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi Kiri - Tidak ada benjolan
- Fremitus taktil simetris
- Tidak ada benjolan
- Fremitus taktil simetris
Kanan - Tidak ada benjolan
- Fremitus taktil simetris
- Tidak ada benjolan
- Fremitus taktil simetris
Perkusi Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Kiri - Suara vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
- Suara vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
Kanan - Suara vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
- Suara vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Teraba iktus cordis pada sela iga V, 1 cm medial linea midklavikula kiri,
tidak kuat angkat
5
Perkusi :
Batas kanan : sela iga V linea parasternalis kanan.
Batas kiri : sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula kiri.
Batas atas : sela iga II linea parasternal kiri.
Auskultasi: Bunyi jantung I-II murni reguler, Gallop (-), Murmur (-).
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis : teraba pulsasi
Arteri Karotis : teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : teraba pulsasi
Arteri Radialis : teraba pulsasi
Arteri Femoralis : teraba pulsasi
Arteri Poplitea : teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : teraba pulsasi
Perut
Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada bekas operasi, datar, simetris, smiling umbilicus
(-), dilatasi vena (-)
Palpasi Dinding perut : supel, tidak ada defens muskular, tidak teraba adanya
massa / benjolan, tidak ada nyeri tekan maupun nyerilepas.
Hati : tidak teraba
Limpa : tidak teraba
Ginjal : ballotement (-), nyeri ketok costovertebral (-)
Nyeri tekan : negatif
Murphy sign : negatif
Nyeri lepas : negatif
Shifting dullness : negatif
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
6
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : normotoni normotoni
Massa : tidak ada tidak ada
Sendi : bebas bebas
Gerakan : aktif aktif
Kekuatan : +5 +5
Oedem : tidak ada tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka : tidak ada tidak ada
Varises : tidak ada tidak ada
Otot
Tonus : normotoni normotoni
Massa : tidak ada tidak ada
Sendi : bebas bebas
Gerakan : aktif aktif
Kekuatan : +5 +5
Oedem : tidak ada tidak ada
Refleks
7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM RUTIN
Hasil Pemeriksaan Lab dari RSUD Budhi Asih tanggal 21 September 2012
Hematologi
Hb : 15,7 g/dL (13.7-17.5g/dL)
Leukosit : 11.200/uL (4.200-9.100/uL)
Hematokrit : 47 % (40-51%)
Trombosit : 342.000/uL (163.000-337.000/uL)
LED : 5 (<10)
Kimia
Fungsi Hati
SGOT/ASAT : 12 U/L (13-33)
SGPT/ALAT : 7 U/L (6-30)
Fungsi Ginjal
Kreatinin : 0,71 mg/dL (0,6-1,1)
Ureum : 32 mg/dL (17-43)
Diabetes
8
Pemeriksaan Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Patologis Negatif Negatif
Glukosa Sewaktu : 70 mg/dL (60-110)
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Hasil Pemeriksaan CT-Scan tanggal 25 September 2012 di RSUD Budhi Asih
Dilakukan CT-Scan kepala potongan aksial tanpa kontras dengan tebal irisan 5 dan 10
mm.
Tampak lesi hipodens di parietal sinistra.
Sistem ventrikel lateralis III dan IV baik.
Basal ganglia baik.
Fissura, sulci dan Gyrus baik.
Pons dan cerebellum baik.
Soft tissue swelling di parietal dextra.
Kesan : Perdarahan intracerebri di parietal sinistra.
Subgaleal hematom.
RINGKASAN
9
Seorang laki-laki bernama An. I, berumur 16 tahun, datang ke poliklinik Bedah
Saraf RSUD Budhi Asih dengan keluhan jatuh dari motor 5 hari sebelum masuk rumah
sakit. Dari anamnesis didapatkan bahwa beberapa saat setelah kecelakaan OS sempat
pingsan kurang dari 15 menit dan sempat muntah beberapa kali dan segera dilarikan ke
RS Bogor. Setelah keadaan membaik OS menjalani rawat jalan. Dalam 4 hari nyeri
kepala yang dirasakan OS semakin hebat dan benjolan di kepala juga makin membesar.
Setelah melakukan konsultasi dengan ahli bedah saraf maka OS setuju untuk dirawat
inap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis. Terdapat benjolan
pada parietal kanan dengan ukuran 9x2 cm, fluktuasi +, mobilitas -, nyeri tekan -. Pada
pemeriksaan laboratorium tidak didapatkan hasil yang abnormal. Pada pemeriksaan CT-
Scan kepala didapatkan kesan : perdarahan intracerebri di parietal sinistra dan subgaleal
hematoma.
DIAGNOSIS KERJA
Contusio cerebri di parietal sinistra dan subgaleal hematoma.
DIAGNOSIS BANDING
Commotio cerebri
PENATALAKSANAAN
1. Tirah baring
2. IVFD Asering/12 jam
3. Rantin 2x1
4. Nonflamin 3x1
5. Cefixime 2x100
6. Fenitoin
7. Novalgin 3x1
8. Ketopain 2x1
9. Citicoline 125 mg 1x1
10. Ketesse 3x1
11. Manitol
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
10
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal Subjektif Objektif Analisis Perencanaan
22/09/12 - Nyeri kepala
hebat
- Sulit tidur
TD : 120/80
N : 92x
RR : 28x
S : 36,5
Collar neck
terpasang
Status neurologis
CM (E4V5M6)
Pupil bulat isokor
RCL +/+ RCTL +/+
Refleks Fisiologis
++/++
Refleks Patologis
-/-
Motorik
555/555
555/555
CKR - Rantin 2x1
Nonflamin 3x1
Cefixime 2x1
Fenitoin 3x100
Citicoline 1x500
Ketesse 3x1
Novalgin 3x1
- Saran untuk
dilakukan CT-Scan
24/09/12 - Nyeri kepala hebat TD : 110/70
N : 72x
RR : 19x
S : 36,1
Collar neck masih
terpasang
Status neurologis
CM (E4V5M6)
Pupil bulat isokor
RCL +/+ RCTL +/+
Refleks Fisiologis
++/++
Refleks Patologis
-/-
CKR Rantin 2x1
Nonflamin 3x1
Cefixime 2x1
Fenitoin 3x100
Citicoline 1x500
Novalgin
Ketesse 3x1
Manitol
Neulin
- Saran untuk
dilakukan CT-Scan
11
Motorik
555/555
555/555
26/09/12 - Nyeri kepala
sudah
berkurang
- Telinga
kanan
berdenging
TD : 110/70
N : 64x
RR : 18x
S : 36,3
Collar neck sudah
dilepas
Status neurologis
CM (E4V5M6)
Pupil bulat isokor
RCL +/+ RCTL +/+
Refleks Fisiologis
++/++
Refleks Patologis
-/-
Motorik
555/555
555/555
Status lokalis telinga
kanan
Liang telinga lapang,
tidak edema, tidak
hiperemis, serimen
prob -
CKB Rantin 2x1
Nonflamin 3x1
Cefixime 2x1
Fenitoin 3x100
Citicoline 1x500
Ketesse 3x1
Novalgin 3x1
- Hasil CT-Scan
sudah ada
28/09/12 - nyeri kepala
sudah tidak
dirasakan
- telinga sudah
tidak
berdenging
TD : 120/80
N : 92x
RR : 28x
S : 36,5
Status neurologis
CM (E4V5M6)
Pupil bulat isokor
RCL +/+ RCTL +/+
Refleks Fisiologis
++/++
Refleks Patologis
CKB Rantin 2x1
Nonflamin 3x1
Cefixime 2x1
Fenitoin 3x100
Citicoline 1x500
Ketesse 3x1
Novalgin 3x1
12
-/-
Motorik
555/555
555/555
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer
ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepalaa
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
II. Anatomi Kepala
a. Kulit
Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari line nuchalis superior pada os
occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Kulit kepala terdiri dari lima
lapis jaringan :
Kulit yang tipis kecuali didaerah occipitale, mengandung banyak kelenjar
keringat serta folikel rambut.
Jaringan ikat (connective tissue) yang merupakan lapis subkutan , memiliki
banyak pembuluh darah dan saraf.
Aponeusis atau galea aponeurotica adalah selembar jaringan ikat yang kuat
dan merupakan lembar tendo dari muskulus occipitalis dan muskulus
13
frontalis.
Loose areolar tissue jaringan ikat jarang yang menyerupai spons.
Pericranium adalah periosteum dari tulang tengkorak. Sepanjang garis
sutura pericranium berlanjut menjadi endosteum. Karena itu, subperiosteal
hematom terbentuk pada tulang tengkorak.
b. Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum.6
c. Meninges
Selaput meninges membungkus seluruh bagian otak dan terdiri atas 3 lapisan
yaitu:
14
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam
cranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
duramater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.5
Pada cedera otak pembuluh – pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus – sinus tersebut dapat
menimbulkan perdarahan hebat.5
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepalaa dapat
menyebabkan laserasi pada arteri – arteri tersebut dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera arteri meningea
media yang terletak di fossa temporalis (fossa media).5
2) Selaput arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan selaput yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
sub arakhnoid yang terisi liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan oleh cedera kepala.7
3) Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah
membrana vaskuler yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyrus dan
masuk kedalam sulcus yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumya. Arteri – arteri yang masuk
kedalam subtansi otak juga diliputi oleh piamater. 5
15
d. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa 14 kg.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon (bagian terbesar yang terdiri dari thalamus dan
hypothalamus) merupakn bagian sentral otak. Mesensefalon (midbrain) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla oblongata dan
serebelum.
III.Aspek Fisiologis Cedera Kepala
a. Tekanan intrakranial
Tekanan intrakranial dapat meningkat oleh beberapa proses patologi yang
selanjutnya dapat menggangu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap
penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang
menggangu fungsi otak. Tekanan intrakranial normal kira – kira 10 mmHg,
Tekanan intrakranial lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal. Semakin
tinggi tekanan intrakranial setelah cedera kepalaa, semakin buruk prognosisnya.7
b. Hukum Monroe – Kellie
Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari
tulang tengkorak yang tidak elastis. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan
jumlah total volume komponen – komponennya yaitu volume jaringan otak (V br),
volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (V bl).
Vic = V br + V csf + V bl.
Volume tekanan intrakranial pada dewasa 1500 mL, karena volume intrakranial
tetap, tekanan dalam kompartemen tersebut karena beberapi tindakan kompensasi
terjadi, seperti penurunan komponen intrakranial.4
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakn selisih antara tekanan arteri rata – rata (mean
arteral pressure) dengan tekanan intrakranial. Pada otak manusia normal tekanan
perfusi otak adalah konstan dikisaran 50 – 150 mmHg, hal ini dipengaruhi karena
autoregulasi arteiol. Apabila tekanan perfusi otak kurang dari 50 mmHg atau lebih
besar dari 150 mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.4
d. Aliran darah otak
16
Aliran darah otak normal kira –
kira 50 ml/100 gr jaringan otak
permenit. Bila aliran darah otak
menurun sampai 20 – 25 ml/100
gr/menit EEG (sebagai alat
pemantau fungsi otak melalui sinyal
yang dipancarkan) akan
menghilang. Apabila aliran
darah otak sebesar 5 ml/100 gr/menit
maka sel – sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.4
IV. Patofisiologi Cedera Kepala
Kerusakan otak pada penderita cedera kepalaa dapat terjadi dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan awal cedera otak sebagai
akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan langsung kepalaa dengan
suatu benda keras.
Mekanisme cedera kepalaa dapat terjadi peristiwa coup dan countercoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak pada daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan
akan terjadi lesi countercoup. Akselarasi-deselarasi terjadi akibat kepalaa bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tualng tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
17
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countercoup).5
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
V. Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanisme cedera kepalaa dibagi atas cedera kepala tertutup dan
cedera kepala terbuka. Cedera kepala tertutup biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.
Sedangkan untuk cedera kepala terbuka disebabkan oleh peluru atau tusukan.10
b. Beratnya cedera kepala
Derajat kesadaran secara kuantitatif dapat diukur dengan metode GCS.
Glasgow Coma Scale merupakan salah satu komponen yang digunakan sebagai
acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien
serta memiliki peranan penting untuk memprediksi resiko kematian diawal
trauma.3 Glasgow Coma Scale yang digunakan meliputi 3 kategori yaitu respon
membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor ditentukan oleh jumlah
skor dimasing – masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor minimum
3, adalah sebagai berikut:
1. Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepalaa berat. (Koma –
sopor)
2. Cedera kepalaa sedang memiliki nilai GCS 9 – 13. (Somnolen)
3. Cedera kepalaa ringan dengan nilai GCS 14 – 15. (Composmentis)
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
18
intrakranial.
1. Fraktur tulang tengkorak
Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak
(basis cranii), dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup
a. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang
meliputi seluruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan radiologi akan
terlihat sebagai garis radiolusen.5
b. Fraktur Distase
Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi pemisahan sutura
kranial. Fraktur ini sering terjadi pada anak usia 3 tahun.5
c. Fraktur Comminuted
Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur. Ketiga fraktur di atas
tidak memerlukan tindakan khusus, kecuali jika disertai lesi intrakranial
seperti epidural hematoma, subdural hematoma, dll. Jika disertai dengan
laserasi SCALP, maka perlu dilakukan debrimen yang baik dan luka
dapat segera ditutup dengan penjahitan.5
d. Fraktur Depressed
Fraktur tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur terletak di
bawah level anatomi normal dari tabula interna tulang tengkorak
sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur ini terjadi jika energi benturan
relatif besar terhadap area yang relatif kecil. Misalnya benturan oleh
martil, kayu, batu, pipa besi.
e. Fraktur Konveksitas
Fraktur yang terjadi pada tulang – tulang yang membentuk koveksitas
(kubah) tengkorak seperti os. Frontalis, os. Temporalis, os. Parietalis, dan
os. Occipitalis.
f. Fraktur Basis Cranii
Fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar tengkorak.
Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian yaitu:
19
1. Fossa anterior.
2. Fossa media.
3. Fossa posterior
Fraktur pada masing – masing fossa akan memberikan manifestasi yang
berbeda.
a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os. Sphenoid,
processus clinoidalis anterior dan jugum sphenoidalis.
Manifestasi klinis:
Ecchymosis periorbita, bisa bilateral dan disebut ‘brill hematoma’
atau ‘racoon eyes’.
Eccymosis ini kadang – kadang sulit dibedakan dengan ecchymosis yang
timbul karena cedera langsung.5
b. Fraktur Basis Cranii Fossa Media
Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan
bagian posterior dibatasi oleh pyramida petrosus os. Temporalis,
processus clinoidalis posterior dan dorsum sella. Manifestasi klinis:
Ecchymosis pada mastoid (battle’s sign).
Otorrhea, pembuktiannya sama dengan rhinorahea.
Hemotympanum; jika membran tympani robek maka dijumpai
darah pada kanalis auricularis eksterna.
Kelumpuhan nervus fasialis (N. VII) dan atau nervus
vestibulococlearis (N. VIII), hal ini terjasi bila garis frakturnya
transversal terhadap aksis pyramida petrosus. Jenis ini hanya 25 %,
sedangkan sisanya longitudinal terhadap aksis pyramida petrosus.
Carotid – Cavernosus Fistula (CCF) yang ditandai dengan
chymosis, sakit kepalaa, adanya bruit, exopthalmus yang berdenyut
mengikuti irama jantung, gangguan visus dan gangguan gerakan
bola mata.
c. Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior
20
Merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Adanya fraktur
pada daerah ini harus waspada terhadap kemungkinan timbulnya
hematoma. Sering tidak disertai dengan gejala dan tanda yang jelas,
tetapi dapat segera menimbulkan kematian karena penekanan terhadap
batang otak. Fraktur ini kadang – kadang juga menyebabkan memar
pada mastoid (battle’s sign).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penanganan
fraktur basis cranii antara lain:
1. Lakukan observasi terhadap adanya kebocoran LCS, biasanya
membaik secara spontan.
2. Tidak perlu memberikan antibiotika profilaksis karena:
a. Biasanya antibiotika tidak efektif mencegah terjadinya
meningitis.
b. Akan menseleksi organisme yang resisten terhadap
antibiotika yang diberikan, jika terjadi meningitis atau infeksi
intrakranial lainnya, akan sulit diatasi.
3. Jika setelah 2 minggu kebocoran CSS tidak berhenti atau
berkurang serta dinilai bahwa usaha atau penatalaksanaan secara
konservatif gagal, maka dilakukan operasi untuk memperbaiki
dura yang bocor tersebut oleh ahli bedah saraf.5
2. Lesi intrakranial
Lesi intrakranial dapat duiklasifikasikan sebagai fokal atau difus, walau
kedua bentuk cedera tersebut sering terjadi secara bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusio (hematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difus menunjukan koma di
klinis.12
a. Hematoma epidural
Hematoma epidural terjadi akibat fraktur tulang kepalaa yang dapat
merobek pembuluh darah terutama arteri meningea media yang masuk
kedalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara
duramater dan tulang di permukaan os. Temporal. Pada bayi hematom
21
epidural ini dapat dilihat bila ubun – ubun bayi mengembung setelah
trauma terjadi.12 Robeknya arteri meningea media menimbulkan
hematom epidural dan desakan oleh hematom memisahkan duramater
dari tulang kepalaa sehingga hematom dapat bertambah besar dan dapat
menekan batang otak hingga terjadi kematian.12 Penderita akan
mengalami sakit kepalaa, mual dan muntah diikuti dengan penurunan
kesadaran setelah trauma. Gejala neurologik yang terpenting adalah
pupil mata anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar, terjadi pula
kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran
menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami
pelebaran sampai ahkirnya kedua pupil tidak menunjukan reaksi
terhadap cahaya.9
Ciri khas hematom epidural murni adalah terdapatnya jarak waktu
antara saat terjadinya trauma dan munculnya tanda hematom epidural.
Jeda waktu yang terjadi selama beberapa menit hingga jam. Diagnosis
didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto
Roentgen kepalaa. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis hematom
epidural bila sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar,
garis fraktur dapat menunjukan lokasi hematom.9
b. Hematom subdural (SDH)
Hematom subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara
duramater dan arakhnoid. Sekitar 30 % hematom subdural terjadi pada
kasus cedera kepalaa berat. Hematom tesebut terjadi akibat robeknya
vena penghubung (bridging veins) antara korteks serebri dan sinus
dura. Hematom tersebut biasanya terjadi pada kasus cedera karena
pukulan. Hematom subdural terbagi menjadi kaut dan kronis.12
1). Hematom subdural akut
Hematom subdural akut biasanya berkaitan dengan riwayat trauma
yang jelas dan yang paling sering terjadi pada regio frontoparietal.12
2). Hematom subdural kronis
22
Terjadi pada riwayat trauma yang tidak jelas, hematom tersebut
sering berkaitan dengan atrofi otak, yang pada akhirnya
meningkatkan mobilitas otak di dalam kubah tengkorak sehingga
vena penghubung menjadi semakin mudah robek.12
c. Hematom intraserebral.
Hematom intraserebral adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jariagan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh
darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya (countercoup).
Defisit neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi dan luas perdarahan.9
Penyebab yang paling sering dari hematom intraserebral adalah
penyakit hipertensi vaskuler, perdarahan paling sering terjadi pada
ganglia basalis (80% kasus), batang otak, serebelum dan korteks
serebral. Hematom yang mengisi ruang menyebabkan kenaikan
intrakranial. Sebagian besar perdarahan intraserebral yang terjadi pada
penderita hipertensi, akibat dari ruptur pada arteriol kecil, terutama
pada cabang lentikulostriata dari arteri serebral media.13
23
Kontusi serebral murni biasanya jarang terjadi. Selanjutnya kontusi
otak hampir selalu berkaitan dengan hematom subdural akut. Sebagian
besar kontusi terjadi pada lobus frontal dan temporal, walau dapat
terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.
Perbedaan antar kontusi dan hematom intarserebral traumatika tidak
jelas batasnya. Bagaimana pun, terjadi zona peralihan, dan kontusi
dapat secara lambat laun menjadi hematom intraserebral dalam
beberapa hari.
d. Kontusio Serebral
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak
yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam
jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis
dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup)
atau pada sisi lainya `(countercoup). Defisit neurologis yang didapatkan
sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.14
e. Edema Serebral
Edema serebral traumatika merupakan keadaan dan gejala patologis
pada penderita cedera kepalaa dan terjadi akibat pergeseran otak (brain
shift) dan peningkatan intrakranial. Terdapat dua terminologi yaitu
edema dan swelling yang sering diartikan sama yaitu bengkak. Edema
otak menadakan adanya penambahan kandungan air didalam jariungan
otak, sedangkan brain swelling merupakan keadaan yang diakibatkan
hiperemia dan dilatasi sistem serebrovaskular.14
f. Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI)
Cedera ini terjadi karena terputusnya dan tertariknya prosesus
neuron akibat dari gerak putar otak di dalam tengkorak kepalaa.
Keadaan ini sering terjadi tanpa adanya fraktur tulang tengkorak dan
kontusio serebral. Cedera aksonal difus terjadi pada hampir keseluruhan
24
cedera kepalaa fatal. Cedera aksonal difus terjadi pada hampir
keseluruhan cedera kepalaa berat, dua komponen penting yang
ditemukan , yaitu
Lesi perdarahan kecil dalam korpus kalosum dan kuadran
dorsolateral batang otak.
Kerusakan difus pada akson, yang hanya dapat dideteksi dengan
pemeriksaan mikroskopis yang berbentuk bola retraksi aksonal.13
VI. Pemeriksaan Neurologis Cedera Kepala
Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap penderita cedera
kepalaa setelah resusitasi meliputi:
1. Tingkat kesadaran.
25
2. Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf kranial.
3. Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar.
4. Reaksi motorik terbaik.
5. Pola pernapasan.
Terapi harus diingat bahwa hasil penilaian yang paling prediktif dalam perkiraan
prognosis adalah penilaian yang dilakukan setelah 24 jam post resusitasi, karena
penilaian sebelumnya masih banyak dipengaruhi oleh keadaan sistemik yang belum
begitu stabil.
1. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS. Penilaian tersebut harus dilakukan
secara periodik untuk menilai apakah keadaan penderita membaik atau
memburuk. Dari ketiga komponen GCS tersebut, motorik merupakan komponen
yang paling objektif. Komponen yang menjadi tolak ukur penilaian adalah reaksi
(respons) terbaik. Tingkat kesadaran tidak akan terganggu jika cedera hanya
terbatas pada satu hemisfer otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua
hemisfer mulai terlibat, atau juka ada proses patologis akibat penekanan atau
cedera pada batang otak.
2. Pupil dan Pergerakan bola mata , termasuk saraf kranial.
Reaksi pupil, konstriksi, dan dilatasi diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu
simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis mulai dari hipotalamus , melalui
batang otak terutama yang ipsilateral sampai ke thorakal medula spinalis pada
bagian intermediolateral. Sedangkan aferen parasimpatis berawal dari sel
ganglion retina, mengikuti nervus dan traktus optikus hingga mencapai
pretektum. Bagian eferen akan mengikuti saraf okulomotorius ke orbita. Dua
alasan penting penilaian pupil pada cedera kepalaa:
Karena batang otak yang mengendalikan kesadaran secara anatomis
terletak berdekatan dengan pusat yang mengendalikan reaksi pupil.
Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap gangguan
metabolik, sehingga ada tidaknya refleks cahaya merupakan tanda penting
untuk membedakan koma metabolik dan koma struktural.
26
Reflek cahaya menunjukan fungsi mesensefalon. Lakukan juga penilaian
langsung dan tidak langsung. Reaksi langsung terjadi pada mata yang langsung
diberi rangsang cahaya, sedangkan reaksi tidak langsung pada mata kontralateral dari
mata yang diberi rangsang cahaya. Bandingkan antara yang kanan dengan kiri isokor
atau tidak.5
3. Reaksi Terhahadap berbagai rangsangan dari luar
Rangsangan dari luar merupakan mekanisme penting untuk menilai tingkat
kesadaran . Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu reaksi dari
penderita berbanding lurus dengan dalamnya penurunan kesadaran. Pada tahap
awal dapat dicoba dengan rangsangan suara pada berbagai tingkat intensitas, jika
tidak memberikan reaksi, dilanjutkan dengan goncangan ringan (light shaking),
kemudian dengan rangsang nyeri yang semakin progresif. Rangsang nyeri yang
diberikan antara lain:
- Dengan menggunakan batangan pensil, pulpen, gagang ‘refleks hammer’, atau
benda tumpul yang lain, melakukan penekanan pada kuku bagian proksimal
- Dengan melakukan penekanan tumpul pada sternum
- Dengan melakukan penekanan tumpul pada ‘supraorbita ridge’
4. Reaksi motorik terbaik
Pada keadaan normal, respons motorik diatur oleh korteks serebri yang bekerja
sama dengan berbagai pusat pengatur subkortikal lainnya. Penilaian reaksi
motorik terbaik sangat penting, karena memiliki nilai objektif yang tinggi.
Tingkat reaksi motorik dibagi atas:
a. Gerakan bertujuian jelas (puposeful movement)
b. Gerakana bertujuan tidak adekuat (semipurposeful movement)
c. Postur fleksor (dekortisasi)
d. Postur ekstensor (deserebrasi)
e. Diffuse musle flaccidity
Reaksi okulosefalik (Doll’s head eye phenomenon). Pemeriksaan nervus
trigeminus dan fasialis dapat dilakukan dengan dengan tes kapas pada kornea,
dilakukan dari samping.5
27
VII. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepalaa tidak semua penderita dengan cedera kepalaa
diindikasikan untuk pemeriksaan kepalaa karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,
luka tembus(tembak/tajam), deformasi kepalaa (dari inspeksi dan palpasi), nyeri
kepalaa yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.
b. CT – Scan
Indikasi CT Scan adalah :
1. Nyeri kepalaa menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat – obatan analgesia/antimuntah.
2. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih dari 1 point dimana faktor – faktor ekstrakranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal syok,
febris, dll).
4. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
5. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
6. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
c. MRI : digunakan sama seperti CT – Scan dengan atau tanpa kontas radioaktif.
d. Cereral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi serebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi oedem, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
f. X – Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
VIII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedera kepalaa pada dasarnya memiliki tujuan
yang memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepalaa sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
28
penyembuhan sel – sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepalaa tergantung
pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepalaa ringan, sedang, berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal – hal yang diprioristaskan antara lain airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepalaa berat survei primer sangatlah penting untuk
mencegah cedera otak sekunder. 15
Tidak semua pasien cedera kepalaa perlu dirawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat
antara lain:
a. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam).
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).
c. Penurunan tingkat kesadaran.
d. Nyeri kepalaa sedang hingga berat.
e. Fraktur tengkorak.
f. Kebocoran CSS, rhinorrhea.
g. Cedera penyerta yang jelas.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepalaa dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal – hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian
manitol, dan antikonvulsan.
a. Penggunaan Manitol pada cedera kepalaa.
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial. Efek
tersebut diperoleh melalui peningkatan volume darah sirkulasi dan
pengenceran viskositas darah. Manitol diperkirakan memiliki tiga mekanisme
kerja yang saling melengkapi yaitu meningkatkan tekanan darah,
memperbaiki aspek rheologik sirkulasi, dan dehidrasi serebral. Manitol dapat
menurunkan kandungan air pada jaringan otak yang edema. Dosis manitol,
sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20 persen. Manitol diberikan
bolus 0,25-0,5/kgBB dalam 10-20 menit, dilakukan setip 6 jam.
29
Indikasi pemberian, manitol dapat diberikan sebelum dilakukan
pengukuran ICP, yaitu jika terdapat tanda- tanda herniasi transtentorial atau
adanya perburukan pada keadaan neurologis yang disebakan oleh keadaan
sistemik seperti hipovolemia, dll. Pilihan utama untuk resusitasi awal pasien
cedera kepalaa yang disertai dengan hipotensi, dikenal dengan ‘small volume
resuscitation fluid’.5
Pada penanganan beberapa kasus cedera kepalaa memerlukan tindakan operatif.
Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor,
mengurangi tekanan intrakranial, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan
perdarahan. Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah
sebaga berikut :
Pengankatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
Mengurangi tekanan intrakranial
Mengevakuasi bekuan darah
Mengontrol bekuan darah, dan
Pembenahan organ – organ intrakranial.
Tumor otak.
Perdarahan (hemorrhage)
Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysm)
Peradangan dalam otak
Trauma pada tengkorak
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai
berikut:
a. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial
atau lebih 20 ml di daerah infratentorial.
b. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis.
c. Tanda fokal neurologis semakin berat.
d. Terjadi sakit kepalaa, mual dan muntah yang semakin berat.
IX. Prognosis
30
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepalaa sudah mendapat
terapi yang agresif, terutama pada anak – anak biasanya memiliki daya pemulihan
yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempuyai kemungkinan yang lebih
rendah untuk pemulihan dari cedera kepalaa. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada
bagian kepalaa pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi
penderita.
KESIMPULAN
Cedera kepala merupakan masalah yang serius karena merupakan penyebab
kematian yang paling sering terutama pada kecelakaan kendaraan. Jenis dan beratnya
kelainan akibat cedera kepalaa tergantung pada lokasi dan beratnya kerusakan otak.
Terjadinya cedera kepalaa, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
yang merupakan akibat langsung dari benturan, dan cedera sekunder yang terjadi akibat
proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak.
Aspek – aspek terjadinya cedera kepalaa dikelompokan menjadi beberapa
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepalaa, beratnya cedera kepalaa dan
morfologinya. Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,
yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir)
atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang ditimbulkan juga tergantung pada
bagian otak mana yang terkena. Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam
gerakan, sensasi, berbicara, pengelihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang
difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, daan bisa menyebabkan
kebingunan dan koma. Untuk menentukan tingkat keparahan pada penderita cedera
kepalaa digunakan pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan skala koma glasgow
(GCS). Dengan jumlah yang paling kecil 3 dan paling besar 15 yang meliputi respon
verbal, respon motorik, respon membuka mata. Semakin kecil poin GCS maka semakin
berat cedera yang diderita.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,
Anugrah P. EGC, Jakarta, 1995, 1014-10
2. Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2006, 359-366
3. Hafid A, Epidural Hemoatoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D.
EGC, Jakarta, 2004, 818-819
4. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,
Gajah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005, 314
5. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Klinis
Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
32
Recommended