LIMFOMA MALIGNUM HODGKIN
Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem
limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan
umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan
kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodul yaitu diluar
sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit dan organ
lain.
Di negara maju limfoma malignum relatif jarang yaitu kira-kira 2 % dari
kanker yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia,
tumor ini merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara dan kulit.
Pada sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan
penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih
merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis
kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini angka harapan kehidupan 5 tahun
meningkat dan bahkan sembuh (kuratif) berkat manajemen tumor yang tepat dan
tersedianya kemoterapi dan radioterapi.1
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di Indonesia
belum ada. Pada KOPAPDI II di Surabaya tahun 1973 dilaporkan bahwa di bagian
penyakit dalam RS. Dr.Sutomo Surabaya antara tahun 1963-1972 (9 tahun) telah
dirawat 26.815 pasien, dimana 81 diantaranya adalah limfoma malignum dan 12
orang adalah penyakit Hodgkin. Pada KOPAPDI VIII tahun 1990 di Yogya
dilaporkan bahwa selama 1 tahun di bagian penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito
dirawat 2246 pasien, 32 di antaranya adalah limfoma malignum dan semuanya adalah
limfoma Non Hodgkin. Dari laporan-laporan tersebut di atas terlihat bahwa di
Indonesia limfoma non-Hodgkin lebih banyak dari penyakit Hodgkin, dan pria selalu
lebih banyak daripada wanita.1
1
Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang linear seiring
dengan usia. Sebaliknya, pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan di negara-
negara barat yang telah berkembang, kurva insidensi spesifik umur berbentuk
bimodal dengan puncak awal pada orang dewasa muda (15-35 tahun). Dan puncak
kedua setelah 50 tahun. Penyakit Hodgkin lebih prevalen pada laki-laki dan bila
kurva insidensi spesifik umur dibandingkan dengan distribusi jenis kelamin pasien,
maka peningkatan prevalensi laki-laki lebih nyata pada dewasa muda. Pada penyakit
Hodgkin anak, predominasi laki-laki ini lebih mencolok dengan lebih dari 80%
pasien adalah laki-laki. Hal ini menyebabkan beberapa peneliti beranggapan bahwa
terdapat peningkatan kerentanan yang berhubungan dengan faktor genetik terkait seks
dan hormonal.2
PATOLOGI
Penyakit Hodgkin merupakan suatu tumor ganas yang berhubungan erat
dengan limfoma malignum. Oleh karena itu untuk membahas mengenai patologi dari
penyakit Hodgkin ada baiknya kita mengetahui tentang klasifikasi dari penyakit-
penyakit tersebut3. Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah
menurut Lukas dan Butler sesuai keputusan symposium penyakit Hodgkin dan Ann
Arbor. Menurut klasifikasi ini penyakit Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu :
1. Tipe Lymphocyte Predominant
2. Tipe Mixed Cellularity
3. Tipe Lymphocyte Depleted
4. Tipe Nodular Sclerosis
Namun ada bentuk-bentuk yang tumpang tindih (campuran), misalnya
golongan Nodular Sclerosis (NS) ada yang limfositnya banyak (Lymphocyte
Predominant NS=LP- NS), ada yang limfositnya sedikit (Lymphocyte-Depleted
NS=LD-NS) dan sebagainya. Demikian pula golongan Mixed Cellularity (MC), ada
yang limfositnya banyak (LP-MC), ada yang sedikit (LD-MC).1
Penyakit ini mula-mula terlokalisasi pada daerah limfonodus perifer tunggal
dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran di dalam sistem limfatik. Mungkin
2
bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebih kecil, abnormal, bersifat neoplastik
dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan
respon.hipersensitivitas untuk hospes. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk
jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar
ke jaringan non limfatik3
PATOGENESIS
Asal-usul penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa
penyakit Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen
infeksi) yang berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa
penyakit Hodgkin merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg
merupakan sel transformasi. Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-
teki. Sel Reed- Sternberg tidak membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak
seperti monosit, tidak memiliki komplemen dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah
menentukan berdasarkan dari penderita dengan jalur sel penyakit Hodgkin, yang
agaknya berasal dari sel Reed- Sternberg.4
Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan
antigen permukaan dengan sejumlah kecil sel “dendrit” pada daerah parafolikel nodus
limfatik. Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit positif, yang aktif dalam
pengenalan antigen oleh sel T. Berkurangnya kapasitas “memberitahukan” antigen
berkaitan dengan transformasi neoplasi sel “dendritik”, mungkin menjelaskan adanya
gangguan imunitas sel-T, yang begitu umum terjadi pada penyakit Hodgkin.
Meskipun demikian, saran-saran tentang asal-usul sel Reed-Sternberg ini kini harus
dianggap belum memadai, sampai ada bukti yang lebih meyakinkan.
Diketahui bahwa sel Reed-Sternberg mewakili komponen maligna penyakit
Hodgkin. Apakah yang menyebabkan transformasi ini. Selama bertahun-tahun
etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diduga. Beberapa laporan telah
menghubungkan infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dengan penyakit Hodgkin. Tetapi
tidak ada rangkaian asam nukleat EBV pada sel RS yang dibiakkan, tidak mendukung
peran EBV sebagai penyebab penyakit Hodgkin. Perhatian terhadap etiologi infeksi
3
penyakit Hodgkin telah diperhatikan akibat laporan yang menunjukkan kemungkinan
adanya suatu “pengelompokan” penyakit Hodgkin diantara pelajar sekolah menengah
tertentu.5 Tetapi penelitian lain telah gagal memastikan dugaan penyebaran horizontal
penyakit Hodgkin.6
Pada banyak pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah
limfonodus perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran didalam
sistem lmfatik. Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas, abnormal yang
menyertai (sekarang diduga berasal dari histiosit) bersifat neoplastik dan mungkin
bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon hipersensitivitas oleh
hospes, manfaat yang menentukan pola evolusi. Setelah tersimpan dalam limfonodus
untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah
menyebar untuk mengikutsertakan jaringan non-limfatik.6
ETIOLOGI
Banyak kemajuan telah dicapai dalam bidang biologi penyakit ini. Meskipun
masih banyak yang belum mapan. Seperti pada keganasan yang lain penyebab
penyakit Hodgkin ini multifaktorial dan belum jelas benar. Perubahan genetik,
disregulasi gen-gen faktor pertumbuhan, virus dan efek imunologis, semuanya dapat
merupakan faktor tumorigenik penyakit ini.
Tentang asal usul sel datia Reed-Sternberg masih ada silang pendapat sampai
sekarang. Limfoma Hodgkin ataupun limfoma non Hodgkin kemungkinan ada
kaitannya dengan keluarga. Apabila salah satu anggota keluarga menderita limfoma
Hodgkin, maka resiko anggota lain terjangkit tumor ini lebih besar dibanding dengan
orang lain yang tidak termasuk keluarga itu. Pada orang hidup berkelompok insiden
limfoma Hodgkin cenderung lebih banyak.1
GAMBARAN KLINIS
Penyakit Hodgkin biasanya timbul sebagai penyakit lokal dan kemudian
menyebar ke struktur limfoid didekatnya dan akhirnya meluas ke jaringan non
limfoid dengan kemungkinan kematian pasien. Pasien penyakit Hodgkin umumnya
4
datang dengan adanya massa atau kelompok kelenjar limfe yang padat, mudah
digerakkan dan biasanya tidak nyeri tekan. Sekitar separuh pasien datang dengan
adenopati di leher atau daerah supraklavikula dan lebih dari 70 persen pasien datang
dengan pembesaran kelenjar getah bening superfisial. Karena kelenjar tersebut
umumnya tidak nyeri, maka deteksi oleh pasien mungkin terlambat sampai kelenjar
limfe cukup besar. Sekitar 60 persen pasien datang dengan adenopati mediastinum.
Hal ini kadang-kadang pertama kali dideteksi pada pemeriksaan sinar-x toraks rutin.
Kelenjar limfe yang terkena pada penyakit Hodgkin cenderung sentripetal atau aksial
dan berlainan dengan yang terkena pada limfoma non Hodgkin yang memperlihatkan
kecenderungan sentrifugal mengenai kelenjar limfe epitroklear, cincin waldeyer dan
abdomen.
Pada 2-5 persen pasien, kelenjar limfe atau jaringan lain yang terkena
penyakit Hodgkin dapat tersa nyeri setelah minum minuman beralkohol.
Pertumbuhan kelenjar limfe cukup bervariasi, beberapa lesi dapat menetap dalam
jangka lama, sedangkan pada kelenjar yang lain terjadi regresi spontan dan temporer.
Sebagian besar pasien penyakit Hodgkin tidak atau sedikit mengalami gejala
yang berkaitan dengan penyakitnya. Gejala terssering adalah demam ringan yang
mungkin disertai keringat malam. Untuk sebagian pasien, keringat malam mungkin
merupakan satu-satunya keluhan. Beberapa pasien mungkin mengalami demam naik
turun disertai banyak keringat malam (demam Pel-Epstein). Demam ini dapat
menetap selama beberapa minggu, diikuti oleh interval afebris. Demam dan keringat
malam lebih sering ditemukan pada pasien tua dan pada pasien dengan penyakit
stadium lanjut.
Gejala awal penting lainnya adalah penurunan berat badan lebih dari 10
persen dalam 6 bulan atau kurang tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang sering
ditemukan adalah rasa lemah, malaise dan cepat lelah. Pruritus terdapat pada sekitar
10 persen pasien pada saat diagnosis, gejala ini biasanya generalisata dan mungkin
berkaitan dengan ruam kulit atau walaupun jarang merupakan satu-satunya gejala
penyakit.
5
Kelainan mediastinum, paru, pleura atau perikardium mungkin disertai batuk,
nyeri dada, sesak napas atau osteoartropi hipertrofik, keterlibatan tulang mungkin
disertai nyeri tulang. Kadang-kadang pasien datang dengan gejala sumbatan vena
kava superior sebagai gejala awal. Kompresi mendadak korda spinalis dapat
merupakan gejala awal tetapi biasanya merupakan penyulit penyakit progresif
stadium lanjut. Nyeri kepala atau gangguan penglihatan dapat ditemukan pada pasien
dengan penyakit Hodgkin intrakranium dan keterlibatan abdomen menimbulkan nyeri
abdomen, gangguan usus dan bahkan asites.1
STADIUM PENYAKIT.
Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging :
• Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.
• Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada
jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi
organ, yaitu : hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit.
Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di
modifikasi sesuai konferensi Cotswald.1 Staging menurut sistem Ann Arbor
modifikasi Costwald.
Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur
limfoid (misal : limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi diafragma,
jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip angka, misal : II2,
II3, dsb.
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah
diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
6
Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang tergolong E
(E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).
A : bila tanpa gejala sistemik
B : bila disertai gejala sistemik yaitu: panas badan ≥ 38˚C yang tak jelas sebabnya;
penurunan berat badan 10 % atau berkeringat malam atau setiap kombinasi dari
3 gejala itu selama 6 bulan terakhir penyakit ini.
X : bila ada bulky mass (≥ 1/3 lebar thorax dan ≥ 10 cm untuk ukuran kelenjar).
S : bila limpa (spleen) terkena
Untuk menentukan luasnya penyakit diperlukan prosedur staging tertentu.
Prosedur yang diperlukan untuk menentukan tingkat (stadium) penyakit Hodgkin.1
I. Riwayat dan pemeriksaan :
Identifikasi gejala-gejala sistemik
II. Prosedur-prosedur radiologis :
• Foto dada biasa
• CT-Scan dada (bila foto dada abnormal)
• CT-Scan abdomen dan pelvis
• Limfografi bipedal
III. Prosedur-prosedur hematologis :
• Darah lengkap dan hitung jenis
• LED
• Aspirasi dan biopsy sumsum tulang
IV. Prosedur biokimiawi
• Tes faal hati
• Serum albumin, LDH, Ca
V. Prosedur untuk hal-hal khusus :
• Laparatomi (diagnostic dan staging)
• USG abdomen
• MRI
• Gallium scanning
• Technetium bone scan
7
• Scan hati dan limpa
DIAGNOSIS KLINIS 1,4
1. KLINIS (ANAMNESIS)
Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di
leher, aksila ataupun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-
kadang disertai demam, keringat dan gatal
2. PEMERIKSAAN FISIK
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikular,
aksiler dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT
perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin waldeyer ikut terlibat.
Apabila area ini terlihat perlu diperiksa gastrointestinal sebab sering terlihat
bersama-sama.
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan
bagian penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang
luas penyakit. atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta
pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia
normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar
besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau
meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat,
terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan.
Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada
pasien yang menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolute limfositopenia
absolut (<1000 sel per milimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan
penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan
sebagai indikator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi
pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih
terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar
8
tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif
dan reaktan fase akut lain dalam serum.1
SITOLOGI BIOPSI ASPIRASI
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis
pendahuluan limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti
reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma
malignum.
Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsy aspirasi LH ataupun LNH adalah
adanya negatif palsu dianjurkan melakukan biopsy aspirasi multiple hole di beberapa
tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai
dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
HISTOPATOLOGI
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtype
histopatologi walaupun sitologi biopsy aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi
dilakukan bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah
jaringan biopsy tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya
dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian
belakang dan submandibular tidak dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar
biopsy dilakukan dibawah anestesi umum untuk mencegah pengaruh cairan obat
suntik local terhadap arsitektur jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan
jaringan
RADIOLOGI
Termasuk didalamnya :
1. foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan pasca
aortal
9
3. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus
menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.
4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH
LAPAROTOMI
Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka
para aotal dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan
teknologi radiologi misalnya USG dan CT Scan ditambah sitologi biopsy aspirasi
jarum halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurang-kurangnya
diminimalisasi.
DIAGNOSIS BANDING4,5
Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non
Hodgkin pada pasien dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis
bakteri atau virus, mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan.
Keganasan lain, misalnya limfoma non Hodgkin, kanker nasofaring dan kanker tiroid
dapat menimbulkan adenopati leher local. Adenopati ketiak harus dibedakan dengan
limfoma non Hodgkin dan kanker payudara.
Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor
lain. Pada pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum,
terutama karsinoma sel kecil dan non sel kecil. Medistinitis reaktif dan adenopati
hilus akibat histoplasmosis dapat mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut
timbul pada pasien asimtomatik. Penyakit abdomen primer dengan hepatomegali,
splenomegali dan adenopati massif jarang ditemukan, dan penyakit neoplastik lain,
terutama limfoma non Hodgkin harus disingkirkan dalam keadaan ini.
PENATALAKSANAAN1
Terapi dapat dilihat dari beberapa aspek:
a. Penyakit yang sudah atau belum pernah diobati.
10
b. Penyakit yang dini (st I+II) atau yang sudah lanjut (st III+IV)
c. Akan memakai sarana-terapi-tunggal (radioterapi atau kemoterapi saja) atau
sarana terapi kombinasi (sarana terapi kombinasi bukan kemoterapi-
kombinasi)
Kemoterapi penyakit ini dapat kemoterapi tunggal (memakai satu obat),
kemoterapi kombinasi (memakai banyak obat) dan akhir-akhir ini dikembangkan
kemoterapi dosis tinggi plus pencangkokan Stem Cell Autologus untuk rescue
(penyelamatan) aplasi sistem darah yang diakibatkan oleh kemoterapi dosis tinggi
tadi. (KDT + rPSC autologus).
I. Kasus-kasus yang sebelumnya belum pernah diobati (terapi awal)
I.1. Radioterapi saja.
Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin dini (st
I+II) A. kurabilitasnya menurun bila ada penyakit dibawah diafragma, karena itu
untuk stadium IA dan IIA yang direncanakan akan diberi terapi radiasi kuratif
saja perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan ada tidaknya lesi
dibawah diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja tidak
cukup perlu ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda prognosis
yang buruk seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi radioterapi +
kemoterapi (kombinasi sarana pengobatan = combined modality therapy) karena
radioterapi saja tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya MOPP 6x
dianggap cukup sebagai adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila tidak ada lesi
dibawah diafragma (dibuktikan denganstaging-laparotomy) untuk stadium IA
diberikan radioterapi extended field, untuk stadium IIA diberikan total nodal
irradiation (TNI), dianggap cukup kuratif.
I.2. Kombinasi radioterapi + kemoterapi.
Untuk semua keadaan dimana ada penyakit dibawah diafragma radioterapi
harus ditambah dengan kemoterapi adjuvant, baru dianggap kuratif. Terapi
dengan kombinasi modalitas ini juga diindikasikan bila penyakitnya stadium IIA
tetapi pasien menolak laparotomi atau memang tidak akan dilakukan laparotomi
karena ada kontraindikasi.
11
Untuk stadium yang lanjut (st III dan IV) terapi kuratif utama adalah
kemoterapi. Kalau ada lesi yang besar (bulky mass) dengan tambahan huruf X
pada stadiumnya, maka pada tempat ini ditambahkan radioterapi adjuvant dosis
kuratif, sesudah kemoterapi.
Kombinasi radio + kemoterapi ini juga dianjurkan pada mereka yang
menunjukkan tanda-tanda prognosis yang buruk, yaitu :
1. Massa mediastinum yang besar.
2. B-symtoms.
3. kelainan dihilus paru.
4. histologinya bukan Lymphocytic predominant dan
5. Stadium ≥ III.
I.3. Kemoterapi
Semula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium III dan IV
saja, namun sering terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass karena itu untuk
tempat-tempat yang lesinya bulky sesudah kemoterapi perlu radioterapi adjuvant
pada tempat yang semula ada bulky mass tadi. Dengan cara ini angka
kesembuhan nya cukup tinggi. Banyak ahli Onkologi Medis memberi
kemoterapi sebagai terapi utama sejak stadium II ditambah dengan radioterapi
adjuvant pada bulky mass, dengan demikian keperluan staging laparotomy
makin sedikit, bahkan tidak diperlukan lagi karena tindakan ini terlalu invasif,
sedangkan hasilnya sama saja, namun masih ada silang pendapat terutama antara
ahli radioterapi dengan ahli onkologi medis.
Banyak regimen kemoterapi yang dibuat untuk penyakit Hodgkin. Ada yang
mengunakan alkylating agent, ada yang tidak. Alkylating agent dicurigai sebagai
penyebab timbulnya kanker sekunder dan sterilitas. Adrianisin menyebabkan
kelainan jantung; Bleomisin kelainan paru; terutama bila dikombinasikan dengan
radioterapi mediastinum. Regimen-regimen yang kuratif selalu menggunakan
kombinasi obat. Regimen yang menggunakan alkylating agent, misalnya MOPP :
- M = Mustard nitrogen 6mg/sqm i.v. hari ke 1,8
- O = Onkovin = Vinkristin 1,2 mg/sqm i.v. hari ke 1,8
12
- P = Prokarbazin 100 mg/sqm p.o hari ke 1-14
- P = Prednison 40 mg/sqm p.o. hari ke 1-14 diulang selang 28 hari bila
memenuhi syarat.
Modifikasi regimen MOPP ini juga ada yaitu COPP dan LOPP.
Pada COPP M diganti dengan C + Cyclophosphamide 800 mg/sqm i.v. hari ke
1,8 atau 3x50 mg/sqm p.o. dd hari ke 1-14. sedangkan pada LOPP M diganti
dengan L + Leukeren = Chlorambucil 8 mg/sm dd p.o. hari ke1-14. Regimen
yang tanpa alkylating agent misalnya ABVD atau ABV saja.
A = Adriamisin 25 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
B = Bleomisin 10 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
(D)= Dacarbazine 150 mg/sqm i.v. hari ke 1-5 diulang selang 4 minggu
Jadi kedua regimen itu dipakai sebagai terapi awal. Kedua regimen itu tidak
cross resistant. Sesuai dengan hipotesis dari Goldie dan Coldman dapat dipakai
MOPP dulu, atau ABV(D) dulu atau begantian MOPP-ABVD-MOPP- ABVD dst
atau regimen hibrida MOPP-ABV(D), hasilnya sama baik, namun masih ada
silang pendapat.
II. Terapi kasus yang telah diobati sebelumnya
Disini dimaksudkan terapi untuk kasus yang relaps, refrakter sejak terapi
awal, atau setelah diobati beberapa kali. Kadang-kadang MOPP atau ABVD
masih dapat dipakai untuk mendapatkan remisi karena dua regimen ini non-cross-
resistant, namun angka remisinya kecil dan cepat kambuh lagi. Kalau kedua
regimen baku itu tidak dapat menolong lagi dipakai regimen-regimen lain yang
digolongkan dalam salvage-therapy (terapi penyelamatan).
EFUSI PLEURA MALIGNA
Definisi
Penumpukan cairan di rongga pleura lebih dari normal di sebut dengan efusi
pleura. Banyak keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya penumpukan cairan
13
tersebut seperti infeksi paru, kelainan jantung, sirosis hepatis, SLE, dan keganasan.
Keganasan dapat di sebabkan oleh keganasan di pleura yaitu mesetelioma, paru dan
ekstra paru seperti Ca mamae, keganasan di gynekologi, lymphoma malignum dll.
Efusi pleura malignan adalah penumpukan cairan pleura yang di sebabkan oleh
langsung oleh proses keganasan yang menyebar sampai ke pleura di mana di temukan
sel-sel ganas dalam cairan ataupun biopsy pleura.7
Efusi pleura malignan (EPM) sering di sebabkan oleh tumor paru 37.5%,
ca mamae 16.8%, limpoma 11.5%, traktus urinarius 9.4%, abdomen 6.9%, tidak di
ketahui 10.7% dan lain-lainnya 7.3%.8 Waren dkk medapatkan tumor mamae
penyebab terbanyak yaitu 50%, paru 25%, ginekologi 12% dan lain lain 13%.9
Diagnosis EPM
1. Gejala klinis
Gejala klinis dapat berasal dari gejala tumor primernya di tambah dengan
gejala efusi pleura. Gejala klinis EPM yang sering di temukan pada pasien adalah
sesak nafas, batuk-batuk, nyeri dada dan penurunan berat badan. Sesak nafas akan
berkurang saat istirahat dan tidur miring kearah yang sakit dan bertambah berat
saat aktivitas.7,8 Pemeriksaan fisis sangat membantu dalam menegakan diagnosis
efusi pleura sebelum melakukan pemeriksaan penunjang yang lain.
2. Rontgen torak dan USG
Pemeriksaan rontgen torak PA sangat penting dalam membantu menegakan
diagnosis efusi pleura. Rontgen torak PA akan tampak kelainan bila cairan telah
berjumlah lebih kurang 300 cc dengan gambaran secara radiologis sudut
kostoprenicusnya tumpul. Untuk memastikan apakah gambaran dengan sudut
kosto prenicus merupakan cairan dapat di lakukan ro lateral decubitus.
Pemeriksaan dengan CT Scan akan memberikan hasil yang lebih sensitif
dimana dengan jumlah cairan lebih kurang 50 cc akan terdeteksi. Keuntungan
lainnya dengan melakukan CT scan torak akan kelihatan massa tumor kalau tumor
primernya berasal dari paru. Dengan CT Scan dapat juga di curigai suatu
gambaran tumor mesotelioma yang merupakan tumor primer dari pleura berupa
gambaran permukaan dari pleura bergerigi seperti mata gergaji.
14
3. Analisa cairan pleura
Gambaran analisa cairan pleura curiga terhadap proses keganasan adalah
secara makroskopis cairan serohemoragis atau hemoragis. Cairan bersifat eksudat
dengan criteria light positif. Gambaran mikroskopis di dapatkan sel erytrosit,
limposit dan eosinofil meningkat. Glukosa dan pH yang menurun juga merupakan
prognosis yang jelek7,8
4. Sitologi dan histopatologi
Sitologi cairan pleura adalah pemeriksaaan yang dilakukan terhadap cairan
pleura. Cairan pleura akan memberikan hasil lebih positif bila cairannya lebih
banyak dan yang di kirim ke bagian patologi anatomi cairan yang bagian bawah /
endapan. Beberapa laporan seperti kepositifan hanya sekitar 40%, Pemeriksaan
histopatologi dengan melakukan biopsy pleura merupakan pemeriksaan yang lebih
spesifik di bandingkan pemeriksaan sitologi. Sensitifitasnya lebih rendah di
bandingkan sitologi karena pemeriksaan yang di lakukan secara blind dalam
membiopsi pleura hanya sekitar 20%.
Penatalaksanaan EPM
Penatalaksanaan EPM ada dua permasalahan yang di hadapi yaitu terhadap
tumor primer dan kedua terhadap efusi pleuranya sebagai tindakan suportif.
Penatalaksanaan terhadap tumor primernya / kausal, apabila dapat ditemukan atau di
tentukan jenis tumor primernya maka dilakukan penatalaksanaan terhadap tumor
primernya. Pemberian kemoterapi terhadap tumor primernya secara otomatis efusi
pleura akan berkurang sesuai dengan respon terhadap tumor primernya. Apabila tidak
di temukannya tumor primer atau tidak dapat di lakukan penatalaksanan terhadap
tumor primernya maka tindakan selanjutnya adalah tindakan terhadap EPM.9
Banyak pilihan dalam penatalaksanaan EPM seperti :
1. Punksi pleura (torakosintesis) berulang
2. Thorak tube,
3. Pleurodesis, pleuroperitoneum shunt dan Pleurektomi
15
ILUSTRASI KASUS
Telah di rawat seorang pasien laki-laki berumur 23 tahun di Bangsal Penyakit
Dalam sejak tanggal 27 Maret 2012 dengan:
Keluhan Utama:
Sesak nafas meningkat sejak 2 minggu sebelum masuk Rumah Sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas meningkat sejak 2 minggu sebelum masuk Rumah Sakit, sesak
sudah dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Sesak tidak menciut, tidak
dipengaruhi oleh cuaca, makanan dan aktivitas. Riwayat terbangun malam
hari karena sesak tidak ada. Pasien sudah berobat ke BP4 karena keluhannya
ini dan sudah diperiksa dahak dengan hasil negatif.
Benjolan di ketiak, sela paha dan leher sejak 1 tahun yang lalu. Benjolan
awalnya di ketiak kiri sebesar biji kacang hijau. Benjolan makin lama makin
banyak. Benjolan kemudian menyebar ke ketiak kanan, sela paha, kemudian
ke leher.
Bengkak di dada kiri sejak 8 bulan yang lalu. Bengkak makin lama makin
besar dan sampai ke bahu. Nyeri tidak ada.
Batuk-batuk meningkat sejak 1 bulan ini. Batuk kadang-kadang berdahak,
berwarna putih. Batuk darah tidak ada. Batuk ini sudah dirasakan sejak 8
bulan yang lalu, hilang timbul. Riwayat batuk darah tidak ada.
Demam dirasakan hilang timbul, tidak tinggi, tidak menggigil, berkeringat
sejak 6 bulan yang lalu.
Letih dan lesu dirasakan sejak 5 bulan yang lalu
Kulit gatal-gatal sejak 5 bulan lalu.
Nafsu makan biasa
Penurunan berat badan + 4 Kg dalam 4 bulan ini.
Nyeri dada tidak ada.
BAB biasa.
BAK biasa.
16
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mendapat radiasi tidak ada.
Riwayat mendapat obat TB tidak ada.
Riwayat sakit jantung tidak ada.
Riwayat sakit asma tidak ada.
Riwayat sakit kuning tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tak ada keluarga yang menderita sakit tumor.
Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, kebiasaan
Pasien tidak bekerja
Belum menikah
Pasien adalah anak pertama dari sembilan bersaudara.
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 98x/ menit, reguler, pengisian cukup
Nafas : 30x/menit
Suhu : 36,9 °C
Keadaan umum : sedang
Keadaan gizi : sedang
Berat badan : 53 Kg
Tinggi badan : 170 cm
BMI : 18,33 (normoweight)
Edema : (+)
Ikterus : (-)
Anemis : (+)
Sianosis : (-)
Kulit : tampak krusta bekas garukan di punggung
Kelenjar getah bening :
17
Regio submandibularis: teraba 3 buah massa dengan ukuran 0,5x0,5x0,5cm,
permukaan rata,konsistensi kenyal padat,tidak terfixir, NT (-),tanda radang (-).
Regio coli dextra: teraba massa multiple dengan berbagai ukuran. 1 buah
massa ukuran 2x1x1cm permukaan rata, konsistensi kenyal padat, tidak
terfixir, NT (-) , tanda radang (-) dan 5 buah massa dengan ukuran
0,5x0,5x0,5cm, permukaan rata, konsistensi kenyal padat,tidak terfixir, NT(-),
tanda radang (-).
Regio coli sinistra: teraba massa multiple dengan berbagai ukuran. 1 buah
massa dengan ukuran 2x1x1cm permukaan rata, konsistensi kenyal padat,
tidak terfixir, NT (-), tanda radang (-) dan 4 buah massa dengan ukuran
0,5x0,5x0,5cm, permukaan rata,konsistensi kenyal padat, tidak terfixir, NT(-)
tanda radang (-)
Regio axilla dextra: teraba massa multiple dengan berbagai ukuran. 1 buah
massa dengan ukuran 1x0,5x0,5cm, permukaan rata, konsistensi kenyal padat,
tidak terfixir, NT (-), tanda radang (-) dan 3 buah massa dengan ukuran
0,5x0,5x0,5cm, permukaan rata,konsistensi kenyal padat, tidak terfixir, NT(-),
tanda radang (-).
Regio axilla sinistra: teraba massa dengan ukuran 6x5x4cm, permukaan rata,
konsistensi kenyal padat, tidak terfixir, NT (-), tanda radang (-).
Regio inguinal dextra: teraba massa multiple dengan berbagai ukuran. 1 buah
massa dengan ukuran 1x1x1cm, permukaan rata, konsistensi kenyal padat,
tidak terfixir, NT (-), tanda radang (-) dan 1 buah massa dengan ukuran
0,5x0,5x0,5cm, permukaan rata,konsistensi kenyal padat, tidak terfixir, NT (-)
tanda radang (-).
Regio inguinal sinistra: teraba massa multiple dengan berbagai ukuran. 1 buah
massa dengan ukuran 3x2x1cm, permukaan rata, konsistensi kenyal padat,
tidak terfixir, NT (-), tanda radang (-) dan teraba 1 buah massa dengan ukuran
2x1x1cm, permukaan rata,konsistensi kenyal padat,tidak terfixir, NT (-),tanda
radang (-).
Kepala : tak ada kelainan
18
Rambut : rontok (+)
Mata : konjunctiva anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : tak ada kelainan
Hidung : tak ada kelainan
Tenggorokan : tak ada kelainan
Gigi dan mulut : caries (+), gigi lengkap
Leher : JVP 5 - 2 cmH2O
kelenjar tiroid tak teraba
Paru Depan
Inspeksi : Stasis : asimetris, kiri lebih cembung dari kanan.
Dinamis : pergerakan kiri tertinggal dari kanan.
Palpasi : Fremitus kiri melemah dibanding kanan.
Perkusi : Kiri : pekak
Kanan : sonor, redup setinggi RIC V kebawah
Batas pekak hepar setinggi RIC IV
Auskultasi :Kiri :suara nafas lemah sampai menghilang,ronchi(-)
wheezing (-).
Kanan : bronchovesikuler, ronchi (+) basah halus
nyaring dibasal paru, wheezing (-).
Paru Belakang
Inspeksi : Statis : asimetris, kiri lebih cembung dari kanan
Dinamis : pergerakan kiri tertinggal dari kanan.
Palpasi : Fremitus kiri melemah dibanding kanan
Perkusi : Kiri : pekak
Kanan : sonor, redup setinggi Thorakal VII kebawah
Auskultasi : Kiri : suara nafas lemah sampai menghilang,ronchi(-)
wheezing (-).
Kanan : bronchovesikuler, ronchi (+) basah halus
nyaring dibasal paru, wheezing (-).
Jantung :
19
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus tidak teraba
Perkusi : batas jantung sukar dinilai, Thrill (-), pinggang jantung sukar
dinilai
Auskultasi : bunyi jantung menjauh, irama jantung reguler, M1 > M2,
P2 <A2,bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : tampak membuncit
Palpasi : hepar teraba 2 jari bac, 3 jari bpx, pinggir tumpul, permukaan
rata, konsistensi kenyal, nyeri tekan (-), lien tidak teraba
Perkusi : timpani, shiffting dullness (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : nyeri tekan, nyeri ketok sudut CVA (-)
Alat kelamin : tak ada kelainan
Anus : tak ada kelainan
Anggota gerak : reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-, edema +/+
Hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang :
Darah :
Hemoglobin : 7.1 gr/dl
Hematokrit : 22,9 %
Trombosit : 838.000/mm3
LED : 36 mm/jam
Leukosit : 26.200 / mm3
Hitung jenis : 0/1/1/90/6/2
GDS : 81 mg/dl
Ureum : 78 mg/dl
20
Kreatinin : 1 mg/dl
Na/K/Cl : 140/3,5/109 mmol/L
Gambaran darah tepi : hipokrom, anisositosis, normokrom, polikromasi
Urinalisis :
Leukosit: 1-2 /LPB Eritrosit/silinder/kristal: (-)
Epitel : (+) gepeng Urobilinogen (+)
Protein (-), Glukosa (-), Bilirubin (-)
Feses :
Makroskopik : warna coklat, konsistensi lunak, darah (-), lendir (-)
Makroskopik : eritrosit (-), leukosit (-), amuba (-), cacing (-).
EKG :
- Irama : sinus - ST elevasi (-)
- HR : 98 x /1’ - ST depresi (-)
- Aksis : normal - Q patologis (-)
- Gel P : normal - SV1 + RV6 : 7 mm
- PR interval : 0,2 detik - R/S di V1 < 1
- QRS komplek : 0,08 detik - T inverted (-)
Kesan : Sinus Rythm dengan Low Voltage
Analisa Gas Darah :
pH : 7,44
pCO2 : 40 mmHg
pO2 : 64 mmHg
HCO3- : 27,2 mmol/L
BEecf : 3,0 mmol/L
SO2c : 93 %
21
Kesan : Hipoksia sedang
Daftar Masalah :
- Limfoma Malignum
-Bronkopneumonia dextra
- Anemia
- Trombositosis reaktif
- Efusi pericardial
Diagnosis Kerja :
Limfoma Malignum
Bronkopneumonia dextra
Anemia sedang mikrositik hipokrom ec penyakit kronik
Trombositosis reaktif
Efusi pericardial ec metastase
Diagnosis Banding :
Limfadenitis TB
Tumor paru sinistra
Anemia sedang mikrositik hipokrom ec defisiensi besi
Terapi :
Istirahat / MB TKTP / O2 4l/1’
IVFD NaCl 0,9% 8 jam/kolf
Ceftriaxon injeksi 1 x 2 gram
Paracetamol 3 x 500 mg
Ascardia 1 x 80 mg
Ambroxol syr 3 x 15 ml
Interhistin 3 x 1tablet
NTR 3 x 1 tablet
Pemeriksaan Anjuran :
22
Darah perifer lengkap (hematokrit, jumlah eritrosit, MCV, MCH, MCHC,
retikulosit), SI ,TIBC, Feritin
SGOT, SGPT, Albumin, Globulin
Kultur sputum
Sitologi sputum
Exp.Rontgen Thorak PA dan lateral
BAJAH
USG Abdomen
CT scan thorak
Echocardiografi
Follow Up
28 Maret 2012
S/Batuk (+), demam (-), sesak nafas (+)
O/ KU sedang Kesadaran: CMC TD: 130/80mmHg
HR 88x /1’ reguler Nafas : 30 x/1’ Suhu : 36,9oC
Laboratorium :
- Hemoglobin : 7,8 g/dl
- Leukosit : 26.100/mm3
- Hitung jenis : 0/0/3/93/3/1
- Trombosit : 908.000/mm3
- Eritrosit : 3,5 juta/mm3
- MCV/MCH/MCHC : 71 fL/22,6 pg/31,7 %
- Hematokrit : 25 %
23
- Retikulosit : 150/00
- SI : 14ug/dL
- TIBC : 79mg/dL
- Saturasi transferin : 17,7%
- Gambaran darah tepi
Eritrosit : normokrom, anisositosis, hipokrom, polikromasi,
Fragmentosit (+)
Leukosit : Jumlah meningkat dengan neutrofilia shift to the right,
limfopenia
Trombosit : Jumlah meningkat
- Protein total : 4,9 g/dL
- Albumin : 1,9 g/dL
- Globulin : 3 g/dL
- SGOT : 23 u/l
- SGPT : 16 u/l
Analisa Gas Darah Ulang :
pH : 7,40
pCO2 : 38 mmHg
pO2 : 105 mmHg
HCO3- : 26 mmol/L
BEecf : 2,8 mmol/L
SO2c : 98 %
Kesan : normo AGD
Ekspertise Rontgen Thorak :
Pulmo : Perselubungan in homogen masif di hemithorak kiri lebih padat di
hemithorak atas
24
Cor : Tidak valid dinilai
Kesan : Effusi Pleura Sinistra
Susp. Massa paru sinistra
DD/ Massa di mediastinum
A/ Hipoalbuminemia ec keganasan ec metastase Limfoma Malignum
P/ Tranfusi Albumin 20% 100cc
Konsul Konsultan Hematologi Onkologi Medik :
Kesan : Limfoma Malignum
Anemia sedang mikrositik hipokrom ec penyakit kronis
Advis : - BAJAH
- CT scan Thorak
Konsul Konsultan Kardiologi :
Kesan : Efusi Pericardial
Advis : Echocardiography
29 Maret 2012
S/Batuk (+), demam (-), sesak nafas (+)
O/ KU sedang Kesadaran: CMC TD: 120/80 mmHg
HR 92x /1’ reguler Nafas : 28 x/1’ Suhu : 36,6oC
Keluar Hasil BAJAH :
I. Sediaan hapus BAJAH KGB axilla tampak sebaran sel-sel limfosit, epiteloid,
makrofag dan adanya datia.
Diagnosa : Limadenitis chronic spesifik ( mycobacterial process )
II. Sediaan hapus BAJAH di regio pectoral tampak latar belakang eritrosit, sebaran
makrofag, limfosit dan debris, seluler serta beberapa epiteloid.
Diagnosa : Sesuai untuk suatu Radang chronic spesifik
Konsul Konsultan Pulmonologi :
25
Kesan : Limadenitis TB DD/ Limfadenitis proses non spesifik
Advis : Biopsi
31 Maret 2012
S/Batuk (+), demam (-), sesak nafas (+)
O/ KU sedang Kesadaran: CMC TD: 130/80 mmHg
HR 92x /1’ reguler Nafas : 28 x/1’ Suhu : 36,6oC
Keluar hasil laboratorium :
- Protein total : 4,9 g/dL
- Albumin : 1,9 g/dL
- Globulin : 3 g/dL
Kesan : hipoalbuminemia
Sikap : tranfusi albumin 20% 100cc
2 April 2012
S/Batuk (+), demam (-), sesak nafas (+)
O/ KU sedang Kesadaran: CMC TD: 120/80 mmHg
HR 88x /1’ regular Nafas : 28 x/1’ Suhu : 36,6oC
Paru Depan
Inspeksi : Stasis : asimetris, kiri lebih cembung dari kanan.
Dinamis : pergerakan kiri tertinggal dari kanan.
Palpasi : Fremitus kiri melemah dibanding kanan
Perkusi : Kiri : pekak
Kanan : pekak setinggi RIC V kebawah
Auskultasi :Kiri :suara nafas lemah sampai menghilang, ronchi(-),
wheezing (-).
Kanan : bronchovesikuler, lemah sampai menghilang
setinggi RIC V kebawah, ronchi (+) basah halus
nyaring, wheezing (-).
26
Paru Belakang
Inspeksi : Statis : asimetris, kiri lebih cembung dari kanan
Dinamis : pergerakan kiri tertinggal dari kanan.
Palpasi : Fremitus kiri melemah dibanding kanan
Perkusi : Kiri : pekak
Kanan : pekak setinggi Thorakal VII kebawah
Auskultasi : Kiri : lemah sampai menghilang, ronchi (-),wheezing
(-).
Kanan : bronchovesikuler, lemah sampai menghilang
setinggi Thorakal VII kebawah,ronchi (+) basah halus
nyaring, wheezing(-).
Kesan : Efusi pleura dextra ec keganasan ec metastase limfoma malignum
Sikap : Analisa cairan pleura
Sitologi cairan pleura
Rontgen ulang thorak PA
Keluar hasil Kultur sputum :
Candida Spp
Sikap : Fluconazol 1 x 150 mg
Keluar hasil Sitologi sputum :
Dalam sediaan hapus sputum mikroskopik, tampak sebaran ringan sel-sel epitel
gepeng superfisial, tak tampak alveolar macrophage dalam sediaan ini. Tak tampak
sel-sel lainnya dalam sediaan ini.
Keluar hasil laboratorium :
- Protein total : 4,8 g/dL
- Albumin : 1,9 g/dL
- Globulin : 2,9 g/dL
Kesan : hipoalbuminemia
27
Sikap : tranfusi albumin 20% 100cc
Hasil Analisa Cairan Pleura :
- LDH : 341 u/L
- Jumlah sel : 900/mmu
- PMN : 0 %
- MN : 0 %
- Glukosa : 123 mg/ dL
- Protein : 2,2 g/dL
- Rivalta : (+)
Kesan : Transudat ( berdasarkan kriteria Light )
Konsul Konsultan Pulmonologi :
Kesan : Transudat
Advis : Biopsi
Expertise Rontgen Thorak PA :
Pulmo : tampak gambaran perselubungan in homogen di hemithorak kiri setinggi
RIC I dan setinggi RIC VIII dan XI di hemithorak kanan
Cor : tidak valid dinilai
Kesan : Efusi pleura bilateral
CT scan Thorak :
Tampak gambaran pericardial efusi.
Tampak gambaran efusi pleura dextra dan sinistra ( tu.dextra ).
Tampak gambaran penebalan pleura dengan noduler di hemithorak sinistra.
Tampak gambaran massa dengan densitas isodens, in homogen, batas tidak
tegas, di mediastinum anterior sinistra.
Trakhea, main bronkhus kanan dan kiri terbuka.
Pembesaran KGB perihiler, sub carina sulit dinilai.
Tampak gambaran soft tissue mass yang meluas di regio colli, dinding
thorak dan axilla sinistra.
28
Kesan : Tumor mediastinum anterior sinistra ( susp.malignant thymoma ) dengan
asites, pericardial efusi, metastase pleura sinistra, dan susp. Lympadenitis
DD/ Lymphoma Malignum ?
Konsul Konsultan hematologi Onkologi Medik :
Kesan : Limfoma Malignum
Advis : Biopsi KGB
3 April 2012
S/Batuk (+), demam (-), sesak nafas (+)
O/ KU sedang Kesadaran: CMC TD: 130/80 mmHg
HR 84x /1’ reguler Nafas : 30 x/1’ Suhu : 36,5oC
USG Abdomen :
Hepar : tampak membesar, tepi rata, sudut tumpul, parenkim homogen, asites (+).
Lien : besar dan bentuk normal
Aorta : tidak tampak pembesaran KGB para aorta
Ginjal : parenkim hiper echoid,rasio korteks medula tidak jelas, batu (-)
Kesan : hepatomegali ( non spesifik ) dan asites dengan efusi pleura dextra dengan
susp.CKD
Hasil Sitologi Cairan Pleura :
Sediaan hapus cairan pleura tampak latar belakang debris, sebaran sel-sel limfosit,
makrofag mesothel reaktif, plasma. Tampak beberapa sel dengan inti besar dan
khromatin kasar.
Diagnosa : Pleuritis Chronic non spesifik dengan beberapa sel yang mencurigakan
keganasannya.
29
Konsul Konsultan Pulmonologi :
Kesan : Efusi pleura ec metastase Limfoma Malignum
Advis : Atasi penyakit dasar
4 April 2012
S/Batuk (+), demam (-), sesak nafas (+)
O/ KU sedang Kesadaran: CMC TD: 130/80 mmHg
HR 96x /1’ reguler Nafas : 28 x/1’ Suhu : 36,6oC
Echocardiography :
Dimensi ruang jantung LV dilatasi
Kontraktilitas LV EF 70%, TAPSE 2,55 cm
Normokinetik Global
Katup-katup struktur dan fungsi baik
Regurgitasi (-)
Tampak effusi pericard diseluruh segmen jantung ( posterior, apex ,
anterior septal, lateral ) dengan diameter 0,85 cm.
Kesimpulan : LV dilatasi
Pericardial effusion minimal
Disfungsi diastolik grade II
Konsul Konsultan Kardiologi :
Kesan : Efusi pericardial minimal
Advis : Terapi konservatif
7 April 2012
S/ Batuk (+),demam (-), sesak nafas (+)
O/ KU sedang Kesadaran: CMC TD: 130/80 mmHg
30
HR 88x /1’ reguler Nafas : 28 x/1’ Suhu : 36,8oC
Keluar hasil biopsi :
Tampak jaringan kelenjer getah bening yang fibrotik mengandung proliferasi sel-sel
loimfoid terdiri atas limfosit matur, histiosit dengan inti spindel, eosinofil. Tampak
adanya sel-sel dengan inti vesikuler, khromatin kasar, membran inti nyata
(monokulear hodgkin cell ) serta sel-sel datia dengan inti banyak, popcorn dan sel
lakunar. Sel-sel limfoid inti dipisahkan oleh septa-septa jaringan ikat yang
mengandung sebukan sel-sel plasma, eosinofil, histiosit dan netrofil, tampak pula
daerah nekrotik.
Diagnosa : limfoma malignan hodgkin sub type nodular sclerosis.
Konsul Konsultan Hematologi Onkologi Medik :
Kesan : Limfoma Malignum Hodgkin
Advis : Siapkan Kemoterapi
Coomb Test
9 April 2012
S/ Batuk (+),demam (-), sesak nafas (+)
O/ KU sedang Kesadaran: CMC TD: 130/80 mmHg
HR 90x /1’ reguler Nafas : 32 x/1’ Suhu : 36,6oC
Hasil Coomb Test : ICT (-) , DCT (+)
Konsul Konsultan Hematologi Onkologi Medik :
Kesan : Limfoma Malignum Hodgkin dengan AIHA
Advis : Metilprednisolon 0,8mg/Kg BB/hari dosis terbagi ( 16mg-16mg-12mg ).
Siapkan kemoterapi
Tranfusi WRC post dexamethason 1 ampul s/d Hb > 10
12 April 2012
31
S/ Batuk (+),demam (-), sesak nafas (+)
O/ KU sedang Kesadaran: CMC TD: 130/80 mmHg
HR 88x /1’ reguler Nafas : 30 x/1’ Suhu : 36,5oC `
Hasil laboratorium :
Hemoglobin : 10,2 g/dL
Leukosit : 28.700/mm3
Hematokrit : 26 %
Trombosit : 684.000/mm3s
Dilakukan kemoterapi dengan protokol Sitostatik ABVD
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki-laki berumur 23 tahun di Bangsal Penyakit Dalam
dengan diagnosa akhir :
- Limfoma Malignum Hodgkin stadium IV subtype nodulas sklerotik
- Efusi pleura dextra ec metastase limfoma malignum hodgkin
- Auto imun Hemolitik anemia
32
- Trombositosis reaktif
- Pericadrial efusion
Limfoma malignum Hodgkin ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik
dan dibuktikan dengan pemeriksaan BAJAH & biopsi. Stadium limfoma malignum
hodgkin pada pasien ini adalah stadium IV dimana menurut literatur, staging
Limfoma Malignum berdasarkan Sistem Ann Arbor modifikasi Costwald, suatu
limfoma dikatakan stadium IV jika penyakit menyerang organ-organ extra nodul atau
jaringan dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening, yang pada pasien ini
sudah menyerang pleura.
Masalah pada pasien ini adalah terdapatnya efusi pleura dextra yang diduga
merupakan metastase dari Limfoma Malignum Hodgkin. Hal ini sesuai dengan
literatur yang mengatakan bahwa efusi pleura sering disebabkan tumor paru 37,5%,
ca mammae 16,8%, dan limfoma dengan angka kejadian 11,5 %.
Dalam penatalaksanaannya yang terpenting adalah penatalaksanaan terhadap
penyakit dasarnya yaitu Limfoma Malignum Hodgkin dengan memberikan
kemoterapi dalam hal ini pasien diberi kemoterapi sitostatik protokol ABVD
(Adriamycin, Bleomycin, Vinblastine, Dacarbazine ). Hal ini sesuai dengan guideline
yang dikeluarkan oleh National Comprehensive Cancer Network tahun 2004,
kemoterapi yang direkomendasikan adalah ABVD sebagai kemoterapi terpilih.
Untuk memprediksi masa bebas progresi penyakit FFR ( Freedom From
Progression ) pada pasien ini yaitu 42%, dimana pada pasien ini terdapat enam faktor
risiko independen yaitu jenis kelamin, stadium IV, Hemoglobin < 10 gr%, leukosit >
15.000/, limfosit < 8% leukosit, serum albumin < 4%.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, dkk. Penyakit hodgkin dalam Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi IV. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2007
2. Isselbacher K.J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip- prinsip
Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, 2000.
34
3. Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis
Kanker Terbanyak di Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, 1995.
4. Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi
(Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, 1996.
5. Diehl V, et al : Characteristic of Hodgkin’s disease derived cell lines cancer treat.
Rep. 66: 615, 1982
6. Vianna N J, and Polan, A K : Epidemiologic evidence for transmission of
Hodgkin’s disease N. Engl J. Med. 289-499, 1973.
7. Light RW. Pleural Diseases, 5th ed. Philadelphia: Lippincoot Williams & Wilkins,
2007
8. Halim, H., Penyakit-penyakit pleura dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II, Edisi IV. Editor Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I dkk. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta, 2007
9. Heffner JE, Klein JS. Recent Advances in the Diagnosis and Management of
Malignant Pleural Effusions. Mayo Clin Proc. 2008
35
sPROTOKOL PEMBERIAN SITOTASTIK ABVD
PADA PENDERITA LIMFOMA MALIGNUM HODGKIN
Nama : Yudi Zarman BB : 56 kg
sUmur : 23 Tahun TB : 170 cm
No. RM : 73-90-21 BSA : 1,65 m2
A A A A A A
B B Istirahat B B B B
D D D D D D
V V V V V V
1 15 28 1 15 28 1 15
1 Siklus 1 Siklus 1 Siklus
Prosedur pemberian kemoterapi
1. IVFD NaCL 0,9 % 8 jam/kolf
2. Premedikasi :
a. Injeksi Ondansentron 32 mg IV
b. Ranitidin inj 1 amp IV
c. Dexametason 2 ampul IV
d. Injeksi Dipenhidramin 50 mg IV
3. 30 menit kemudian pastikan infuse tidak ada kebocoran
4. Bolus pelan-pelan Doxorubin 25 mg/m2 ( 41,25 mg ) dalam NaCl 0,9 %
selama 30 menit
5. Lancarkan NaCl 0,9 % selama 5 menit
36
6. Injeksi Bleomycin 10 mg/m2 (16,5mg) bolus IV (pelan)
7. Lancarkan NaCl 0,9 % selama 5 menit
8. Injeksi Vincristin 6 mg/m2 (10mg) bolus IV (pelan)
9. Lancarkan NaCl 0,9 % selama 5 menit
10. Injeksi Dacarbazin 375 mg/m2 (618 mg) bolus IV (pelan)
11. Pengobatan dilakukan selama 6 siklus dengan jarak 28 hari (3 minggu)
37