BAB I
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. Linda
Umur : 36 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Rt. 03 Desa Suka Damai Tebing Tinggi
1.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Penglihatan silau dan sering berair pada mata sebelah kanan sejak ± 2 bulan
yang lalu.
Riwayat Perjalanan Penyakit :
± 2 bulan yang lalu, pasien mengaku mata sebelah kanan awalnya merah.
Menurut pasien, keluhan dimulai saat pasien sedang bekerja di sebuah pabrik
pupuk, matanya seperti ada sesuatu yang masuk, dan pasien mulai mengkucek
untuk berusaha mengeluarkan sesuatu yang masuk itu. Setelah itu pasien
merasa sakit pada mata kanannya, sakit yang dirasakan terus menerus.
± 1,5 bulan yang lalu pasien mengaku mulai timbul silau pada mata
kanannya bila melihat arah cahaya misalnya saat menonton TV. Pasien sering
mengeluh sering berair pada mata sebelah kanan, tetapi tidak terdapat kotoran
pada mata. Pasien mengaku sudah pergi ke klinik kesehatan dan diberi obat
salep gentamisin, sudah digunakan selama 2 minggu, tetapi pasien merasa
tidak ada perubahan.
± 1 bulan yang lalu pasien mengaku pada mata kanan silau semakin
bertambah berat dan selalu berair maka pasien memutuskan untuk datang ke
poliklinik RSUD Raden Mattaher untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya.
1
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat penggunaan kacamata (-)
- Riwayat operasi mata (-)
- Riwayat trauma mata: (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit yang sama dikeluarga disangkal.
Keadaan Sosial Ekonomi:
Cukup
Penyakit Sistemik
Tractus respiratorius : Tidak ada keluhan
Traktus digestivus : Tidak ada keluhan
Cardio vaskuler : Tidak ada keluhan
Endokrin : Tidak ada keluhan
Neurologi : Tidak ada keluhan
Kulit : Tidak ada keluhan
THT : Tidak ada keluhan
Gigi dan mulut : Tidak ada keluhan
Lain-lain : Tidak ada keluhan
1.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan umum : Baik, tampak sakit ringan
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : Afebris
2
Pemeriksaan Oftalmologi
OD OS
Visus dasar 6/6 6/6
Pergerakan
bola mata
Versi : Baik
Duksi : Baik
Versi : Baik
Duksi : Baik
Pemeriksaan Eksternal
Supercilia Normal Normal
Cilia Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Palpebra
superior
Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
Palpebra
inferior
Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
Aparatus
lakrimalis
Sumbatan (-) Sumbatan (-)
Conj. Tarsalis
superior
Papil (-), Folikel (-)
hiperemis (-)
Papil (-), Folikel (-)
hiperemis (-)
Conj. Tarsalis
inferior
Papil (-), Folikel (-)
hiperemis (-)
Papil (-), Folikel (-)
hiperemis (-)
Conj. Bulbi Hiperemis (-), Injeksi siliar
(-), Injeksi konjungtiva (-)
Hiperemis (-), Injeksi siliar
(-), Injeksi konjungtiva (-)
Kornea Jernih, infiltrate (+) Jernih
COA Sedang Sedang
3
Pupil
Bentuk
Diameter
Reflex
cahaya
Bulat
3 mm
(+)
Bulat
3 mm
(+)
Iris
Warna
Kripta
Sinekia
Coklat
Kripta jelas
(-)
Coklat
Kripta jelas
(-)
Lensa Jernih Jernih
Pemeriksaan Slitlamp
Palpebra
superior
Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
Palpebra
inferior
Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
Cilia Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Aparatus
lakrimalis
Sumbatan (-) Sumbatan (-)
Conj. Tarsalis
superior
Papil (-), Folikel (-) hiperemis
(-)
Papil (-), Folikel (-) hiperemis
(-)
Conj. Tarsalis
inferior
Papil (-), Folikel (-) hiperemis
(-)
Papil (-), Folikel (-) hiperemis
(-)
Conj. Bulbi Hiperemis (-), Injeksi siliar
(-), Injeksi konjungtiva (-)
Hiperemis (-), Injeksi siliar
(-), Injeksi konjungtiva (-)
Kornea Infiltrat multiple bulat
berbatas tegas diameter +
0.5mm, bagian tengahnya
lebih jernih
Jernih
COA Sedang Sedang
4
Iris
Warna
Kripta
Sinekia
Coklat
Kripta jelas
(-)
Coklat
Kripta jelas
(-)
Lensa Jernih Jernih
Tonometri
Digital Normal Normal
Schiots Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diagnosa Keratitis Numularis OD
Anjuran
pemeriksaan
Tes Flouresensi
Tes Sensibilitas Kornea
Pengobatan Antibiotik : Neomysin sulfat 0,5 % 1 tetes, 3x/hari (OD)
Antiradang : Deksamethason 0,1%, 1 tetes, 3x/hari (OD)
Sikloplegika : Sulfas Atropin 1 % 1 tetes, 3x/hari (OD)
Antivirus : Asiklovir 3% 1 tetes, 2x/hari (OD)
1.4 Resume
Berdasarkan autoanamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan pada pasien
Ny. Linda (36th) datang ke Poli Mata RSUD Raden Mattaher dengan keluhan
penglihatan silau dan sering berair pada mata sebelah kanan sejak ± 2 bulan yang
lalu. Keluhan-keluhan tersebut dirasakan semakin memberat sejak ± 1 bulan
belakangan ini. Dari pemeriksaan visus yang diperoleh VOD 6/6 dan VOS 6/6.
Dan pada pemeriksaan eksternal didapatkan gambaran infiltrate pada kornea mata 5
kanan. Hasil ini juga ditemukan pada saat pemeriksaan dengan menggunakan slit
lamp dimana terdapat nfiltrat multiple bulat berbatas tegas diameter + 0.5mm dan
bagian tengahnya lebih jernih pada kornea mata sebelah kanan.
1.5 Diagnosa Kerja
Keratitis Numularis OD
1.6 Diagnosa Banding
- Keratitis Numularis
- Ulkus Kornea
- Uveitis Anterior
1.7 Tata Laksana
Antibiotik : Neomysin sulfat 0,5 % 1 tetes, 3x/hari (OD)
Antiradang : Deksamethason 0,1%, 1 tetes, 3x/hari (OD)
Sikloplegika : Sulfas Atropin 1 % 1 tetes, 3x/hari (OD)
Antivirus : Asiklovir 3 % 1 tetes, 2x/hari (OD)
1.8 Prognosis
Dubia ad bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Kornea
Gambar 1. Kornea
Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya. Kornea transparan (jernih), bentuknya hampir
sebagian lingkaran dengan diameter vertikal 10-11mm dan horizontal 11-12mm,
tebal 0,6-1mm terdiri dari 5 lapis .Kemudian indeks bias 1,375 dengan kekutan
pembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh
struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi
relative jaringan kornea, yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada
7
epitel dalam mencegah dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh
lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh
menyebabkan sifat transparan hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan
epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat karena akan menghilang seiring
dengan regenerasi epitel.1,2,3
Kornea dipersarafi oleh banyak serat saraf sensoris terutama saraf siliaris
longus, saraf nasosiliaris, saraf ke V saraf siliaris longus berjalan supra koroid ,
masuk kedalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.2
8
Gambar 2. Lapisan Kornea
Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan
terdiri atas lapis:²,3
1. Epitel
Bentuk epitel gepeng berlapis tanpa tanduk. Bersifat fat soluble substance.
Ujung saraf kornea berakhir di epitel oleh karena itu kelaianan pada epitel
akan menyebabkan gangguan sensibilatas korena dan rasa sakit dan
mengganjal. Daya regenerasi cukup besar, perbaikan dalam beberapa hari
tanpa membentuk jaringan parut. Tebalnya 50um, terdiri atas sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan
sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi
sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel
poligonal didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan menjadi erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm
permukaan.2,3
2. Membrana Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma. Mempertahankan bentuk kornea Lapis ini tidak mempunyai daya
regenerasi. Kerusakan akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut.2,3
3. Stroma
Lapisan yang paling tebal dari kornea. Bersifat water soluble substance.
Terdiri atas jaringan kolagen yang tersusun atas lamel-lamel, pada permukaan
terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian perifer serat kolagen
bercabang. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air, kadar air diatur oleh
fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh sel epitel. Gangguan dari
susunan serat kornea terlihat keruh. Terbentuknya kembali serat kolagen
9
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak di antara
serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.2,3
4. Membran Descemet
Lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat dan tidak berstruktur dan bening
terletak dibawah stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya
pembuluh darah. Merupakan membrane selular dan merupakan batas belakang
stroma kornea dihasilkan. sel endotel dan merupakan membrane basalnya.
Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40um.2,3
5. Endotel
Satu lapis sel terpenting untuk mempertahankan kejernihan kornea, mengatur
cairan didalam stroma kornea, tidak mempunyai daya regenerasi, pada
kerusakan bagian ini tidak akan normal lagi. Dapat rusak atau terganggu
fungsinya akibat trauma bedah, penyakit intra okuler dan usia lanjut jumlah
mulai berkurang. Berasal dari mesotalium, berlapis satu bentuk heksagonal
besar 20-40um. Endotel melekat pada mebran descemet melalui hemi
desmosom dan zonula okluden.2,3
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel di persyarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir syaraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di
daerah limbus. Daya regenerasi syaraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan. Kornea bersifat avaskular, mendapat nutrisi secara difusa
dari humor aquos dan dari tepi kapiler. Bagian sentral kornea menerima oksigen
secara tidak langsung dari udara, melalui oksigen yang larut dalam lapisan air
10
mata, sedangkan bagian perifer, menerima oksigen secara difusa dari pembuluh
darah siliaris anterior. 4
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak memiliki daya regenerasi.4 Pembiasan sinar terkuat
dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk
kornea dilakukan oleh kornea. Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya
yang seragam, avaskularitas dan detrugensi.4
Lapisan epitel merupakan sawar yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea. Cedera pada epitel mengakibatkan stroma dan
membran bowman mudah terkena infeksi, seperti bakteri, amuba dan jamur.
Kortikosteroid lokal maupun sistemik akan mengubah reaksi imun hospes dengan
berbagai cara dan memungkinkan terjadi infeksi oportunistik.2
Kornea memiliki banyak serabut nyeri sehingga lesi kornea dapat
menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperhebat oleh gesekan
palpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.
Lesi kornea pada umumnya dapat mengaburkan penglihatan terutama pada lesi di
tengah kornea.2
Fotofobia kornea terjadi akibat kontraksi dari iris yang meradang. Dilatasi
pembuluh darah iris merupakan fenomena refleks yang disebabkan oleh iritasi
pada ujung saraf kornea. Meskipun mata berair dan fotofobia umumnya menyertai
penyakit kornea namun kotoran mata hanya terjadi pada ulkus bakteri purulenta.
Karena kornea merupakan bangunan yang avaskuler, maka pertahanan
pada waktu peradangan tidak bereaksi dengan cepat, seperti jaringan lain yang
mengandung banyak vaskularisasi. Sehingga badan kornea, wandering cells dan
sel-sel lainnya yang terdapat di dalam stroma kornea akan segera bekerja sebagai
makrofag yang kemudian akan disusul dengan terjadinya dilatasi dari pembuluh
darah yang terdapat di limbus dan akan tampak sebagai injeksi perikornea.
Kemudian akan terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel plasma dan sel
polimorfonuklear yang akan mengakibatkan timbulnya infiltrat yang selanjutnya
dapat berkembang dengan terjadinya kerusakan epitel dan timbullah ulkus (tukak)
11
kornea. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan
pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan
leukoma.2,3
2.2 Keratitis
2.2.1 Definisi
Keratitis adalah suatu kondisi dimana kornea bagian depan mata
mengalami inflamasi. Kondisi ini sering ditandai dengan rasa nyeri,kemudian
berkembang menjadi photofobia atau rasa silau bila terkena cahaya dan dapat
terjadi gangguan penglihatan.2,3,5
Keratitis dapat terjadi pada setiap kelompok usia dan tidak dipengaruhi
oleh jenis kelamin.
Gambar 3. Keratitis 8
2.2.2 Etiologi
Penyebab keratitis bermacam-macam, seperti infeksi bakteri, virus
maupun jamur (virus herpes simpleks merupakan penyebab tersering), kekeringan
kornea, pajanan cahaya yang terlalu terang, benda asing, reaksi alergi terhadap
kosmetik, debu, polusi atau bahan iritan lainnya, kekurangan vitamin A dan
penggunaan lensa kontak yang kurang baik.2
12
2.2.3 Gejala dan Tanda Keratitis
a. Gejala keratitis 1,2,4
Mata terasa sakit
Gangguan penglihatan
Trias keratitis (lakrimasi, fotofobia dan blefarospasme)
b. Tanda keratitis 1,2,4
Infiltrat (berisi infiltrat sel radang, kejernihan kornea berkurang,
terjadi supurasi dan ulkus)
Neovaskularisasi (superfisial bentuk bercabang-cabang, profunda
berbentuk lurus seperti sisir)
Injeksi perikornea dilimbus kornea
Kongesti jaringan yang lebih dalam (iridosiklitis yang dapat
disertai hipopion)
2.2.4 Stadium Perjalanan Keratitis
Stadium infiltrasi. Infiltrasi epitel stroma, sel epitel rusak, edema,
nekrosis lokal. Hanya stadium 1 yang terjadi pada keratitis, sedangkan
stadium 2 dan 3 terjadi pada keratitis lanjut seperti pada ulkus kornea.
Gejala objektif pada stadium ini selalu ada dengan batas kabur, disertai
tanda radang, warna keabu-abuan dan injeksi perikorneal.9
Stadium regresi. Ulkus disertai infiltrasi di sekitarnya,
vaskularisasi meningkat dengan tes flouresensi positif.9
Stadium sikatrik. Pada stadium ini terjadi epitelisasi, ulkus
menutup, terdapat jaringan sikatrik dengan warna kornea kabur. Tanpa
disertai tanda keratitis, batas jelas, tanpa tanda radang, warna keputihan
dan tanpa injeksi perikorneal.9
2.3. Patofisiologi
Karena kornea avaskular, maka pertahanan sewaktu peradangan tidak
dapat segera datang. Maka badan kornea, sel-sel yang terdapat di dalam stroma
13
segera bekerja sebagai makrofag baru kemudian disusul oleh pembuluh darah
yang terdapat di limbus dan tampak sebagi Injeksi perikornea. Sesudahnya baru
terjadi infiltrat, yang tampak sebagai bercak bewarna kelabu, keruh, dan
permukaan yang licin. Kemudian dapat terjadi kerusakan epitel kornea dan timbul
ulkus yang dapat menyebar ke permukaan dalam stroma. Pada peradangan yang
hebat, toksin dari kornea dapat menyebar ke iris dan badan siliar dengan melalui
membran descemet dan endotel kornea. Baru demikian iris dan Badan siliar
meradang dan timbullah kekeruhan dicairan COA, disusul dengan terbentuknya
hipopion. Bila peradangan terus mendalam, tetapi tidak mengenai membran
descemet dapat timbul tonjolan membran descement yang disebut mata lalat atau
descementocele. Pada peradangan dipermukaan kornea, penyembuhan dapat
berlangsung tanpa pembentukan jaringan parut. Pada peradangan yang lebih
dalam, penyembuhan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut yang dapat
berupa nebula, makula, atau leukoma. Bila ulkusnya lebih mendalam lagi dapat
timbul perforasi yang dapat mengakibatkan endoftalmitis, panoftalmitis, dan
berakhir dengan ptisis bulbi.2
2.4. Klasifikasi Keratitis
Keratitis diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis
superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau Bowman dan keratitis profunda
atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai
lapisan stroma. Pada keratitis epitelial dan keratitis stromal, tes fluoresin (+),
sedangkan pada keratitis subepitelial dan keratitis profunda, tes fluoresin (-).
Menurut tempatnya, keratitis diklasifikasikan sebagai berikut:1
I. Keratitis Superfisial
1. Keratitis epitelial
a. Keratitis punctata superfisialis
b. Herpes simpleks
c. Herpes zoster
2. Keratitis subepitelial
a. Keratitis nummularis
b. Keratitis disiformis14
3. Keratitis stromal
a. Keratitis neuroparalitik
b. Keratitis et lagoftalmus
II. Keratitis Profunda
1. Keratitis interstisial
2. Keratitis sklerotikans
3. Keratitis disiformis
2.5. Keratitis Superfisial
Keratitis superfisial dapat dibagi menjadi keratitis superfisial nonulseratif dan
keratitis superfisial ulseratif.
2.5.1 Keratitis Superfisial nonulseratif
a. Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs
Merupakan suatu peradangan akut, yang mengenai satu, kadang-kadang
dua mata, mulai dengan konjungitivitis kataral, disertai dengan infeksi dari
traktus respiratorius bagian atas. Disusul dengan pembentukan infiltrat yang
berupa titik-titik pada kedua permukaan membran Bowman. Infiltrat tersebut
dapat besar atau kecil dan dapat timbul hingga berratus-ratus. Infiltrat ini di
dapatkan di bagian superfisial dari stroma, sedang epitel di atasnya tetap licin
sehingga tes fluoresin (-) oleh karena letaknya di subepitelial. 1
Gambar 5. Keratitis pungtata superfisial
Penyebabnya adalah infeksi virus, bakteri, parasit, neurotropik, dan nutrisial.
15
b. Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer
Gambar 6. Keratitis Numularis
Keratitis numularis disebut juga keratitis sawahica atau keratitis punctata
tropica. Keratitis numularis diduga diakibatkan oleh virus. Diduga virus yang
masuk ke dalam epitel kornea melalui luka setelah trauma. Replikasi virus pada
sel epitel diikuti penyebaran toksin pada stroma kornea sehingga menimbulkan
kekeruhan atau infiltrat berbentuk bulat seperti mata uang. Pada kornea terdapat
infiltrat bulat-bulat subepitelial dan di tengahnya lebih jernih, seperti halo. Tes
fluoresinnya (-).1,2,3,7
Untuk melihat adanya defek pada epitel kornea dapat dilakukan uji
fluoresin. Caranya, kertas fluoresin dibasahi terlebih dahulu dengan garam
fisiologis kemudian diletakkan pada saccus konjungtiva inferior setelah terlebih
dahulu penderita diberi anestesi lokal. Penderita diminta menutup matanya selama
20 detik, kemudian kertas diangkat. Defek kornea akan terlihat berwarna hijau dan
disebut sebagai uji fluoresin positif.1
c. Keratitis Disiformis dari Westhoff
Gambar 7. Keratitis disiformis
16
Disebut juga sebagai keratitis sawah, karena merupakan peradangan kornea
yang banyak di negeri persawahan basah. Penyebabnya adalah virus yang berasal
dari sayuran dan binatang. Pada anamnesa umumnya ada riwayat trauma dari
lumpur sawah. Pada mata tanda radang tidak jelas, mungkin terdapat injeksi silier.
Apabila disertai dengan infeksi sekunder, mungkin timbul tanda-tanda
konjungtivitis. Pada kornea tampak infiltrat yang bulat-bulat, di tengahnya lebih
padat dari pada di tepi dan terletak subepitelial. Tes Fluoresin (-). Terletak
terutama dibagian tengah kornea. Umumnya menyerang orang-orang berumur 15-
30 tahun.1,3
d. Keratokonjungtivitis Epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada
satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Kekeruhan subepitel bulat.
Sensasi kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema
palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan
perdarahan konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk
pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau pembentukan simbelfaron. 2,4
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel
terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepi, dan menetap berbulan-bulan
namun tidak meninggalkan jaringan parut ketika sembuh. Keratokonjungtivitis
epidemika pada orang dewasa terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anak-
anak mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit
tenggorokan, otitis media, dan diare. Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan
oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia).
Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes
netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear
primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil. 2,4
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi melalui
jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang steril, atau
17
pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anastetika topikal,
mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari
konjungtiva atau silia. Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi
sumber penyebaran. 2,4
Kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan memakai penetes steril
pribadi atau memakai tetes mata dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara
teratur di antara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang
menyentuh mata khususnya tonometer. Tonometer aplanasi harus dibersihkan
dengan alkohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan
dengan hati-hati. 4
2.5.2. Keratitis Superfisial Ulseratif
a. Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa
Penyakit ini didahului oleh konjungtivitis kataral, akibat stafilokok
ataupun pneumokok. Tes fluoresin (+).4
b. Keratokonjungtivitis Flikten
Gambar 8. Keratokonjungtivitis flikten
Merupakan radang kornea dan konjungtiva akibat dari reaksi imun yang
mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Pada
mata terdapat flikten yaitu berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan
yang terdapat pada lapisan superfisial kornea dan menonjol di atas permukaan
kornea. 2,5
18
Bentuk keratitis dengan gambaran bermacam-macam, dengan
ditemukannya infiltrat dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran
karakteristiknya adalah dengan terbentuknya papul dan pustula pada kornea
ataupun konjungtiva. Pada mata terdapat flikten pada kornea berupa benjolan
berbatas tegas berwarna putih keabuan, dengan atau tanpa neovaskularisasi yang
menuju kearah benjolan tersebut. Biasanya bersifat bilateral yang dimulai dari
daerah limbus.
Pada gambaran klinis akan terlihat suatu keadaan sebagai hiperemia
konjungtiva, kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan panas
disertai gatal dan tajam penglihatan yang berkurang. Pada limbus di dapatkan
benjolan putih kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva yang hyperemia. Bila
terjadi penyembuhan akan terjadi jaringan parut dengan noevaskularisasi pada
kornea.
Pada anak-anak keratitis flikten disertai gizi buruk dapat berkembang
menjadi tukak kornea karena infeksi sekunder. Tukak flikten sering ditemukan
berbentuk sebagai benjolan abu-abu, yang pada kornea terlihat sebagai:
- Ulkus fasikular, berbentuk ulkus yang menjalar melintas kornea dengan
pembuluh darah jelas dibelakangnya.
- Flikten multipel di sekitar limbus
- Ulkus cincin, yang merupakan gabungan ulkus.
c. Keratitis Herpetika
Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh
infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Kelainan mata akibat infeksi
herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh
adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans,
bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kebanyakan kasus bersifat
unilateral, walaupun dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopi.
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
19
pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering,
pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik
pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu paska infeksi
primer dengan mekanisme yang tidak jelas. Virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,
ganglion nervus trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan
virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan
sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks.6
Gambar 9. Keratitis dendritik
Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik.
Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang
diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian
sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat
berkembang menjadi keratitis geografika, hal ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian
gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi
ulkus.
Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis
herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel
yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.
20
Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik, dalam
hal ini terjadi perobekan membrana basalis. Ulkus metaherpetik bersifat steril,
deepitelisasi meluas sampai stroma. Ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong
dengan ukuran beberapa milimeter dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat
dijumpai adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana descemet.
Reaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek
lakrimasi berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup.
Ulkus metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6
minggu.
Klasifikasi Diagnosis:
Hogan dkk. (1964) membuat klasifikasi diagnosis keratitis herpes
simpleks sebagai berikut:
1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma,
geografika.
2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan,
stroma dan ulserasi.
3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini
keratouveitis dibedakan atas bentuk ulserasi dan non ulserasi.
Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis
pungtata yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak dimasukkan. Selain itu,
pada beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang
diakibatkan oleh radang jaringan trabekulum.
Untuk membuat diagnosis, sekarang ini dianut kiasifikasi yang dibuat
oleh Pavan-Langston (1983) sebagai berikut:
1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika,
dendrogeografika, geografika.
2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.
3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
4. Uveitis anterior dan trabekulitis.
21
Klasifikasi menurut Pavan-Langston inipun belum sempurna, mengingat
sangat jarang ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang berdiri
sendiri tanpa melibatkan adanya keratitis.
d. Keratokonjungtivitis Sika
Gambar 10. Keratokonjungtivitis sika
Keratokonjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan
kornea dan konjungtiva. Kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan :
1. Defisiensi komponen lemak air mata. Misalnya: blefaritis menahun,
distikiasis dan akibat pembedahan kelopak mata.
2. Defisiensi kelenjar air mata: sindrom Sjogren, sindrom Riley Day,
alakrimia congenital, aplasi congenital saraf trigeminus, sarkoidosis
limfoma kelenjar air mata, obat-obat diuretik kimia, atropin dan usia tua.
3. Defisiensi komponen musin: benign ocular pemphigoid, defisiensi vitamin
A, trauma kimia, sindrom Stevens Johnson, penyakit-penyakit yang
mengakibatkan cacatnya konjungtiva.
4. Akibat penguapan yang berlebihan seperti pada keratitis neroparalitik,
hidup di gurun pasir, keratitis lagoftalmus.
5. Karena parut pada kornea atau menghilangnya mikrovili kornea.
Pada keratokonjungtivitis sika terdapat rasa gatal pada mata. Pada mata
didapatkan sekresi mukus yang berlebihan. Sukar menggerakkan kelopak mata.
Mata kering karena dengan erosi kornea.
22
Pada pemeriksaan lama celah didapatkan miniskus air mata pada tepi kelopak
mata bawah hilang, edema konjungtiva bulbi, filamen (benang-benang) melekat di
kornea.1
2.6. Penatalaksanaan
2.6.1 Keratitis Superfisial nonulseratif
a. Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs
Pengobatan yang dapat diberikan pada keratitis pungtata superfisial
dari Fuchs adalah pengobatan lokal, yaitu salep antibiotik atau sulfa untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder, dan dapat dikombinasi dengan
kortikosteroid.1
b. Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer
Tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap penyakit ini. Obat-obatan
hanya diberikan untuk mencegah infeksi sekunder. Untuk terapi lokal
diberikan sulfas atropine 1% 3 kali sehari satu tetes, disertai salep antibiotika
yang dapat dikombinasi dengan kortikosteroid dengan pengelolaan yang
seksama. Mata ditutup dengan perban.1
c. Keratitis Disiformis dari Westhoff
Untuk keratitis Disiformis dari Westhoff dapat diberikan salep mata
antibiotik yang dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid. Pada keratitis
ini, biasanya perjalanan penyakit lama hingga berbulan-bulan.3
d. Keratokonjungtivitis Epidemika
Pengobatan pada keadaan akut sebaiknya diberikan kompres dingin
dan pengobatan penunjang lainnya. Lebih baik diobati secara konservatif.
Bila terjadi kekeruhan pada kornea yang menyebabkan penurunan visus yang
berat dapat diberikan steroid tetes mata 3 kali sehari.2 Antibiotik sebaiknya
diberikan apabila terdapat superinfeksi bakteri.
23
2.6.2. Keratitis Superfisial Ulseratif
a. Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa
Salep antibiotika atau sulfa yang sesuai dengan kumannya yang
didapatkan atau memakai obat antibiotika yang berspektrum luas.
b. Keratokonjungtivitis Flikten
Pengobatan keratokonjungtivitis flikten adalah dengan memberi
steroid lokal maupun sistemik. Flikten kornea dapat menghilang tanpa
bekas namun apabila telah terjadi ulkus akibat infeksi sekunder dapat
terjadi parut kornea. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi perforasi
kornea.
c. Keratitis Herpetika
Pengobatan kadang-kadang tidak diperlukan karena dapat sembuh
spontan atau dapat sembuh dengan melakukan debridement. Dapat juga
dengan memberikan obat antivirus topikal dan antibiotika topikal.
Antivirus seperti IDU 0.1% diberikan setiap 1 jam atau asiklovir.
Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement
sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk
pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar
epitelial sehingga antiviral lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga
untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti
keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi
kandungan virus epithelial sehingga reaksi radang akan cepat berkurang.
d. Keratokonjungtivitis Sika
Pengobatan harus langsung bertujuan untuk mempertahankan
lapisan air mata dengan menggantinya dengan air mata buatan. Pada
keratokonjungtivitis yang berhubungan dengan Sjogren sindrom
pemberian kortikosteroid dosis rendah dan topikal siklosporin
menunjukkan keefektifan.
24
2.7. Prognosis
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk
luas dan dalamnya lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidaknya perluasan ke
jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised),
virulensi patogen,ada atau tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada
jaringan tersebut, waktu penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan penunjang seperti kultur pathogen di laboratorium. Pasien
dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki
prognosis yang baik; bagaimana pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas
didalam sklera atau struktur intraokular sangat sulit. Diagnosis awal dan terapi
tepat dapat membantu mengurangi kejadian hilangnya penglihatan. Imunitas
tubuh merupakan hal yang penting dalam kasus ini karena diketahui reaksi
imunologik tubuh pasien sendiri yang memberikan respon terhadap virus ataupun
bakteri. Pada keratitis superfisialis pungtata penyembuhan biasanya berlangsung
baik meskipun tanpa pengobatan
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan autoanamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan pada pasien
Ny. Linda (36th) datang ke Poli Mata RSUD Raden Mattaher dengan keluhan
penglihatan silau dan sering berair pada mata sebelah kanan. Dan pada
pemeriksaan eksternal didapatkan gambaran infiltrat pada kornea mata kanan.
Hasil ini juga ditemukan pada saat pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp
25
dimana terdapat nfiltrat multiple bulat berbatas tegas diameter + 0.5mm dan
bagian tengahnya lebih jernih pada kornea mata sebelah kanan.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa gejala keratitis
diantaranya : mata terasa sakit, gangguan penglihatan, dan trias keratitis
(lakrimasi, fotofobia dan blefarospasme). Terdapat tanda keratitis salah satunya
adanya infiltrat (berisi infiltrat sel radang, kejernihan kornea berkurang, terjadi
supurasi dan ulkus) di kornea.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan pasien ini
didiagnosis Keratitis Numularis OD. Keratitis numularis diduga diakibatkan oleh
virus. Diduga virus yang masuk ke dalam epitel kornea melalui luka setelah
trauma. Replikasi virus pada sel epitel diikuti penyebaran toksin pada stroma
kornea sehingga menimbulkan kekeruhan atau infiltrat berbentuk bulat seperti
mata uang. Pada kornea terdapat infiltrat bulat-bulat subepitelial dan di tengahnya
lebih jernih, seperti halo.
Dan penatalaksaan pada kasus ini yaitu dengan pemberian tetes mata
antibiotic, antiradang, sikloplegika dan antivirus. Hal ini sesusai dengan teori
penatalaksanaan keratitis numulari, yaitu obat-obatan hanya diberikan untuk
mencegah infeksi sekunder. Untuk terapi lokal diberikan sulfas atropine 1% 3
kali sehari satu tetes, disertai salep antibiotika yang dapat dikombinasi dengan
kortikosteroid dengan pengelolaan yang seksama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wijana, Nana S.D. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Revisi. Abadi Tegal, Jakarta:
1993. 83-100
2. Vaughan, Daniel G et al. 2010. Oftalmologi Umum edisi-14. Jakarta: Widya
Medika. Hal: 129 – 152
26
3. ILyas S. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. Dalam : Ilyas S.
Ilmu Penyakit Mata edisi 3; 2004. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal ; 149
4. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis.
Indian Journal of Opthalmology. 2006. 56:3; 50-56
5. Radjiman T, dkk. Ilmu Penyakit Mata. Airlangga. Surabaya, 1984
6. Zorab R A, Straus H,Dondrea, et.al. Fundamental and Principles of
Ophtalmology. Section 2. International ophtalmology american academy of
ophtalmology. The Eye M.D;2008-2009. p.43
7. Lang G.Infectious Keratitis dalam Opthamology.A textbook Atlas.2nd Edition
2006.
8. Kaye SB, Lynas C, Patterson A, Risk JM, McCarthy K, Hart CA. Evidence
for herpes simplex viral latency in the human cornea, Bri Ophthalmol 1991;
75: 195200
9. Anonym. 2010. Keratitis. Faculty of Harvard Medical School, National Eye
Institute. Diakses tanggal 29 Maret 2013
27