I. PENDAHULUAN
Serat pangan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, merupakan
bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang
memiliki sifat resistan terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus
manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar (AACC,
2000). Jadi serat pangan merupakan bagian dari bahan pangan yang tidak dapat
dihirolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan
sumber serat pangan yang sangat mudah ditemukan dalam bahan makanan. Akhir-
akhir ini adanya perubahan pola konsumsi pangan di Indonesia menyebabkan
berkurangnya konsumsi sayuran dan buah-buahan hasil penelitian dan kajian diikuti
juga terjadinya pergeseran atau perubahan pola penyakit penyebab mortalitas dan
morbiditas di kalangan masyarakat, ditandai dengan dengan perubahan pola penyakit-
penyakit infeksi menjadi penyakit-penyakit degeneratif dan metabolik. Secara nyata
dialami masyarakat perkotaan yang sebagian masyarakatnya begitu mobil dan sibuk
cenderung mengkonsumsi makanan siap saji, dan terjadi pergeseran pola makan dari
tinggi karbohidrat, tinggi serat dan rendah lemak ke pola konsumsi rendah
karbohidrat dan rendah serat, tinggi lemak dan tinggi protein. Hal inilah yang
menyebabkan tingginya kasus penyakit-penyakit seperti jantung koroner, kanker
kolon (usus besar), dan penyakit degeneratif lainnya di Indonesia. (Anonim,2001)
Meskipun tidak mengandung zat gizi, serat pangan menguntungkan bagi
kesehatan yaitu berfungsi mengontrol berat badan atau kegemukan (obesitas),
penanggulangan penyakit diabetes, mencegah gangguan gastrointestinal, kanker
kolon, serta mengurangi tingkat kolesterol darah dan penyakit kardiovaskuler.
Meskipun serat pangan memberikan efek positif terhadap kesehatan, namun juga
memberikan efek negatif, sehingga serat pangan tidak boleh dikonsumsi secara
berlebihan, sebagai acuan kebutuhan serat yang dianjurkan yaitu 30 gram/hari.
1
Sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan sumber serat pangan yang
sangat mudah ditemukan dalam bahan makanan. Sayuran merupakan menu yang
hampir selalu terdapat dalam hidangan seharihari masyarakat Indonesia, baik dalam
keadaan mentah (lalapan segar) atau setelah diolah menjadi berbagai macam bentuk
masakan. (Herminingsih, 2010)
Di masyarakat perkotaan yang sebagian masyarakatnya begitu sibuk
cenderung mengkonsumsi makanan siap saji, masyarakat menengah keatas telah
terjadi pergeseran pola makan dari tinggi karbohidrat, tinggi serat dan rendah lemak
ke pola konsumsi rendah karbohidrat dan serat, tinggi lemak dan protein (Sujono,
1993 dalam Olwin Nainggolan dan Cornelis Adimunca, 2005). Hal inilah yang
menyebabkan tingginya kasus penyakit-penyakit seperti jantung koroner, kanker
kolon, dan penyakit degeneratif lainnya di Indonesia. Untuk itu perlu pemahaman
masyarakat akan pentingnya serat pangan dalam pola konsumsi makanan.
2
II. PENGERTIAN SERAT PANGAN
Dietary fiber atau serat pangan adalah bagian dari tanaman yang dapat
dimakan atau karbohidrat analog yang tahan (resisten) terhadap pencernaan atau
absorpsi dalam usus halus manusia, dan sebagian atau seluruhnya dapat mengalami
fermentasi dalam usus besar. (American Association of Cereal Chemists, June 2000)
Komposisi kimia serat pangan bervariasi tergantung dari komposisi
dinding sel tanaman penghasilnya. Pada dasarnya komponen-komponen dinding sel
tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, yang kesemuanya termasuk
dalam serat pangan. Serat pangan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : Serat pangan
larut (soluble dietary fiber), termasuk dalam serat ini adalah pektin dan gum
merupakan bagian dalam dari sel pangan nabati. Serat ini banyak terdapat pada buah
dan sayur, dan serat tidak larut (insoluble dietary fiber), termasuk dalam serat ini
adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang banyak ditemukan pada seralia,
kacang-kacangan dan sayuran. Secara skematis komponen serat pangan dalam
berbagai bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komponen Serat Pangan dalam Berbagai Bahan Pangan
Jenis Bahan Pangan Jenis Jaringan Komponen Serat Pangan yangTerkandung
Buah-buahan dan Sayuran Terutama Jaringan Parenkim
Selulosa, Substansi pektat,hemiselulosa dan beberapaglikoprotein
Beberapa jaringan terlignifikasi
Selulosa, lignin, hemiselulosa danbeberapa jenis glikoprotein
Serealia dan HasilOlahannya
Jaringan Parenkim Hemiselulosa, selulosa, ester – ester fenolik dan glikoprotein.
Jaringan terlignifikasi Selulosa, hemiselulosa, substansipektat dan glikoprotein.
Biji - bijian selain serealia Jaringan Parenkim Selulosa, hemiselulosa, substansipektat dan glikoprotein.
Jaringan dg penebalan dinding endosperma
Galaktomanan, sejumlah sesulosa
Aditif pangan Gum guar, gum arabik, gum alginat, karagenan, selulosa
3
termodifikasi, pati termodifikasi.
Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber serat pangan yang paling
mudah dijumpai dalam menu masyarakat. Sebagai sumber serat sayuran dapat
dikonsumsi dalam bentuk mentah atau telah diproses melalui perebusan. Sedangkan
Indonesia merupakan negara yang kaya akan aneka macam buh-buahan. Akan tetapi
dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi serat masyarakat
Indonesia masih jauh dari kebutuhan serat yang dianjurkan yaitu 30 gram/hari,
konsumsi serat rata-rata antara 9,9 – 10,7 gram/hari (Jahari dan Sumarno, 2002 dalam
Olwin Nainggolan dan Cornelis Adimunca 2005).
Tabel 2. Kadar Serat Pangan dalam Sayuran, Buah-buahan, Kacang-
kacangan dan Produk Olahannya.
Jenis sayuran,
buah – buahan,
kacang - kacangan
Jumlah serat /100
gram
Jenis sayuran,
buah – buahan,
kacang - kacangan
Jumlah serat /
100 gram
a. Sayuran
Wortel rebus
Kangkung
Brokoli rebus
Labu
Jagung manis
Kol kembang
Daun bayam
Kentang rebus
Kubis rebus
Tomat
3,3
3,1
2,9
2,7
2,8
2,2
2,2
1,8
1,7
1,1
Daun pepaya
Daun singkong
Asparagus
Jamur
Terong
Buncis
Nangka muda
Sawi
Brokoli
2,1
1,2
0,6
1,2
0,1
3,2
1,4
2,0
0,5
b. Buah - Buahan
Alpukat
Anggur
Apel
Belimbing
1,4
1,7
0,7
0,9
Nenas
Pepaya
Pisang
Semangka
0,4
0,7
0,6
0,5
4
Jambu biji
Jeruk bali
Jeruk sitrun
Mangga
Melon
5,6
0,4
2,0
0,4
0,3
Sirsat
Srikaya
Strawberi
Pear
2,0
0,7
6,5
3,0
c. Kacang - kacangan dan Produk olahannya
Kacang kedelai
Kacang tanah
Kacang hijau
Kacang panjang
Tauge
4,9
2,0
4,3
3,2
0,7
Kedelai bubuk
Kecap kental
Tahu
Susu kedelai
Tempe kedelai
2,5
0,6
0,1
0,1
1,4
Sumber : 1) Food Facts Asia (1999);
2) Berbagai sumber dalam Olwin Nainggolan dan Cornelis Adimunca (2005)
Mechanisms of action of dietary fibre on colonic transit time
5
III. KLASIFIKASI SERAT PANGAN
Berdasarkan sifat kelarutannya serat pangan dibedakan menjadi serat larut
(soluble fibre) dan serat tidak larut (insoluble fibre) yang ternyata juga memiliki
perbedaan dalam sifat fisiologisnya. Secara kimiawi serat tidak larut terutama terdiri
dari selulosa, hemiselulosa dan lignin, sedang serat larut terdiri dari pektin dan
polisakarida lain misalnya gum (BNF, 1990). Kedua jenis serat ini memiliki sifat
yang berbeda serta memberikan efek fisiologis yang berbeda pula (Marsono, 1995).
1. Serat larut (soluble fibre)
a. Pektin
Pectins ditemukan di dinding sel dan jaringan intraseluler banyak
terdapat pada buah dan berry, terdiri dari unit asam galacturonic dengan
rhamnose diselingi dalam rantai linier. Pectins sering memiliki sisi rantai gula
netral, dan unit galaktosa dengan gugus metil. Sementara buah-buahan dan
sayuran mengandung 5 sampai 10 persen alami pectin.
Pektin merupakan segolongan polimer heterosakarida yang
diperoleh dari dinding sel tumbuhan darat. Pertama kali diisolasi oleh Henri
Braconnot tahun 1825. Wujud pektin yang diekstrak adalah bubuk putih
hingga coklat terang. Pektin banyak dimanfaatkan pada industri pangan
sebagai bahan perekat dan stabilizer (agar tidak terbentuk endapan).
Struktur Pektin
Penggunaan pektin yang paling umum adalah sebagai bahan
perekat/pengental (gelling agent) pada selai dan jelly. Pemanfaatannya
sekarang meluas sebagai bahan pengisi, komponen permen, serta sebagai
6
stabilizer untuk jus buah dan minuman dari susu, juga sebagai sumber serat
dalam makanan.
b. Gum
Gum merupakan polisakarida yang dihasilkan dari getah atau
eksudat tanaman seperti gum arab, gum tragacanth, gum karaya, gum ghatti.
Ada pula gum yang diekstrak dari biji atau cabang tanaman berbatang lunak
dan gum yang berasal dari mikroorganisme seperti gum xhantan. Gum kecuali
gum arab umumnya membentuk gel atau larutan yang kental bila ditambahkan
air. Molekul gum ada yang polisakarida berantai lurus dan ada yang
bercabang. Polisakarida berantai lurus lebih banyak terdapat dan membentuk
larutan yang lebih kental dibandingkan dengan molekul bercabang pada berat
yang sama. Beberapa tipe gum yaitu galaktan, glukoromanan, galaktomanan,
dan xilan .
Komposisi Gum lebih sedikit dibandingkan dengan jenis serat
yang lain. Namun, kegunaannya amat penting, yaitu sebagai penutup dan
pelindung bagian tanaman yang terluka. Oleh karena memiliki molekul
hidrofilik yang berkombinasi dengan air, menyebabkan gum mampu
membentuk gel.
Guar gum dapat membantu mengentalkan, mengikat, dan
menstabilkan bahan dalam makanan. Dalam makanan, tepung guargum dapat
menarik dan mengikat air sehingga terjadi proses pengentalan makanan dan
menguraikan serat pada waktu yang bersamaan.
Guar gum membantu untuk menurunkan kolesterol pada orang yang
memiliki kadar kolesterol tinggi. Guar gum muncul untuk memblokir
penyerapan kolesterol dan juga mempromosikan ekskresi cairan empedu,
yang merupakan zat yang membantu memecah dan menghilangkan asam
lemak kolesterol dan lainnya dalam tubuh. Beberapa studi telah menemukan
bahwa 12 sampai 15gram guar gum sehari dapat membantu menurunkan
kadar kolesterol total serta lipoprotein densitas rendah, atau kadar kolesterol
7
LDL. (Margaret McWilliams, dalam bukunya, "Foods: Perspektif
Eksperimental,")
Struktur gum
c. Polisakarida Rumput Laut
Polisakarida rumput lain yang umum digunakan adalah agar-agar,
alginat dan karagenan yang diekstrak dari ganggang merah (agar-agar dan
karagenan) dan ganggang cokelat (alginat) Penyusun alginat adalah asam
manuronat dan asam guluronat dan dapat membentuk gel bila terdapat ion
kalsium Sementara itu karagenan dan agar-agar merupakan polimer dari
galaktosa dan dapat membentuk gel yang kuat.
d. β- Glukan
Merupakan polimer campuran (1 - 3) , (1 - 4) β – D- glukosa.
Senyawa ini ditemukan pada oat dan barley.
2. Serat tidak larut (insoluble fibre)
a. Selulosa
Selulosa merupakan serat-serat panjang yang terbentuk dari
homopolimer glukosa rantai linier. Rantai molekul pembentuk selulosa akan
semakin panjang seiring dengan meningkatnya umur tanaman.
8
Struktur selulosa
Selulosa merupakan polisakarida yang banyak dijumpai dalam
dinding sel pelindung seperti batang, dahan, daun dari tumbuh-tumbuhan.
Selulosa merupakan polimer yang berantai panjang dan tidak bercabang.
Suatu molekul tunggal selulosa merupakan polimer rantai lurus dari 1,4’-β-D-
glukosa. Hidrolisis selulosa dalam HCl 4% dalam air menghasilkan D-
glukosa.
Di dalam tanaman, fungsi selulosa adalah memperkuat dinding sel
tanaman sedangkan di dalam pencernaan, berperan sebagai pengikat air,
namun jenis serat ini tidak larut dalam air.
b. Hemiselulosa
Hemicelluloses adalah sekelompok polisakarida ditemukan dalam
tanaman dinding sel yang mengelilingi selulosa. Polimer ini dapat linear atau
bercabang dan terdiri dari glukosa, arabinose, mannose, xilosa, dan
galacturonic asam.
Hemiselulosa berfungsi memperkuat dinding sel tanaman dan
sebagai cadangan makanan bagi tanaman. Sifatnya sama dengan selulosa,
yaitu mampu berikatan dengan air. Jenis ini banyak ditemukan pada bahan
makanan serealia, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Perbedaan hemiselulosa dengan selulosa yaitu hemiselulosa mudah
larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedang selulosa adalah
9
sebaliknya. Hasil hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa, sedangkan
hasil hidrolisis hemiselulosa akan menghasilkan D-xilosa dan monosakarida
lainnya. Hemiselulosa tersusun dari gabungan gula – gula sederhana dengan
lima atau enam karbon. Degradasi hemiselulosa dalam asam lebih tinggi
dibandingkan dengan delignifikasi, dan hidrolisis dalam suasana basa tidak
semudah dalam suasana asam menyatakan bahwa adanya hemiselulosa
mengurangi waktu dan tenaga yang diperlukan untuk melunakkan serat dalam
proses mekanis dalam air.
Hemiselulosa memiliki sifat non-kristalin dan bukan serat, mudah
mengembang, larut dalam air, sangat hidrofolik, serta mudah larut dalam
alkali. Kandungan hemiselulosa yang tinggi memberikan kontribusi pada
ikatan antar serat, karena hemiselulsa bertindak sebagai perekat dalam setiap
serat tunggal. Pada saat proses pemasakan berlangsung, hemiselulosa akan
melunak, dan pada saat hemiselulosa melunak, serat yang sudah terpisah akan
lebih mudah menjadi berserabut (Sungai,2009).
10
c. Lignin
Lignin termasuk senyawa aromatik yang tersusun dari polimer
fenil propan. Lignin bersama-sama holoselulosa (merupakan gabungan antara
selulosa dan hemiselulosa) berfungsi membentuk jaringan tanaman, terutama
memperkuat sel-sel kayu. Kandungan lignin tidak sama, tergantung jenis dan
umur tanaman. Serelia dan kacang-kacangan merupakan bahan makanan
sumber serat lignin.
3. Resisten Starch
Pati tinggi amilosa berpotensi untuk menjadi pati resisten. Resisten
Starch (RS) didefinisikan sebagai molekul pati dan hasil pencernaan pati yang
tidak diserap di dalam usus halus individu yang sehat. ( et.al, 2006).
Pati resisten dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu :
- Tipe 1 (RS1): yaitu pati resisten secara fisik karena enkapsulasi dalam
matriks alaminya, terdiri dari granula pati dikelilingi oleh matriks sel-sel
tanaman dan matriks bahan pangan. Contoh nya biji-bijian dan kacang-
kacangan seperti padi yang digiling kasar.
11
- Tipe 2 (RS2): yaitu pati yang resisten terhadap enzim pencernaan seperti
enzim α amilaseRS 2 ditemukan pada pisang biasa yang belum matang,
pati kentang mentah dan pati jagung tinggi amilosa. Pati jagung tinggi
amilosa atau high-amylose maize starch (HAMS) secara komersial
dimasukkan atau digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk
pangan. Bila HAMS ini dicampurkan dalam formulasi bahan pangan maka
produk pangan yang dihasilkan juga dapat menjadi pangan yang bersifat
seperti pati resisten.
- Tipe 3 (RS3): merupakan fraksi pati yang lebih resisten, terutama berupa
amilosa yang terretrogradasi yang terbentuk selama pendinginan pati
tergelatinisasi. RS 3 adalah pati yang termodifikasi secara fisik dan
enzimatis ( misalnya dengan pendinginan atau HMT (heat moisture
treatment). RS 3 dapat mempertahankan sifatnya selama proses
pengolahan pangan.
- Tipe 4 (RS4): RS 4 benar-benar resisten terhadap pencernaan oleh
amylase pankreas. RS 4 adalah pati resisten yang memiliki reaksi kimia
baru selain α (1,4 ) dan α (1,6) akibat perlakuan kimia seperti dengan garam
trimetafosfat yang membentuk jembatan ester fosfat diantara dua molekul
pati (Sajilata,dkk.2006). RS 4 adalah pati yang termodifikasi secara kimia
misalnya dimodifikasi secara esterifikasi, atau ikatan silang
(transglycosylation).
Pati resisten dapat digunakan sebagai makanan penderita diabetes
tipe 2 ( tak tergantung insulin ). Hal ini karena serat dalam proses pencernaan
akan memperlambat absorbs glukosa di usus halus (Alamtsier,2009).
Keuntungan mengkonsumsi serat pangan secara tepat dan seimbang mampu
mengurangi kelebihan glukosa darah dan insulin terutama pada penderita
diabetes, mampu meningkatkan frekuensi buang air besar secara teratur,
mampu menekan bakteri patogen dan meningkatkan metabolisme lemak
12
menjadi asam lemak rantai pendek dalam usus besar, sehingga mencegah
akumulasi lemak yang berlebihan dalam organ dalam (Dewanti,2006).
a. Pengaruh RS terhadap kesehatan saluran pencernaan
Karena sifatnya yang tahan terhadap enzim mamalia, RS dapat
diklasifikasikan sebagai komponen serat berdasar definisi serat pangan
yang diberikan oleh the American Association of Ceral Chemists (2000)
dan the National Academic of Science (2002). Meskipun bukan komponen
dinding sel tanaman tetapi kandungan gizi yang dimiliki RS mirip
polisakarida bukan pati (non starch polysaccharide) dibandingkan dengan
pati tercerna, sehingga efek fisiologisnya mirip serat. Seperti halnya serat
pangan, RS dapat meningkatkan status kesehatan GIT (gastrointestinal
tract) karena mempunyai sifat meruah (fecal bulking), berpotensi
mengencerkan toksin dan meningkatkan produksi SCFA. RS juga dapat
digunakan sebagai prebiotik untuk untuk menstimulasi pertumbuhan
beberapa mikrobia menguntungkan seperti Bifidobacterium karena RS
dapat digunakan sebagai substrat untuk organisme probiotik.
Secara analitis RS bersifat sebagai serat tak larut, tetapi
mempunyai efek fisiologis seperti serat larut. Selain itu, RS tercerna
lambat dan dapat sebagai sarana untuk memperlambat pelepasan glukosa.
Serat larut mempunyai dampak menyehatkan kolon dengan meningkatkan
kecepatan produksi sel crypt, menurunkan atropi epitelial kolon dibanding
makanan yang tidak berserat.
RS dapat digunakan sebagai komponen serat pangan yang dapat
mencegah kanker kolon. Pati yang tidak tercerna di dalam usus halus akan
difermentasi oleh mikrobiota usus besar. Konsumsi RS menghasilkan
jumlah kadar propionat dan butirat yang tinggi dalam digesta. Butirat
digunakan sebagai energi oleh colonocyte dan berperan sebagai growth
factor bagi sel epithel yang sehat dalam usus besar dan menghambat
pembentukan malignant (Bird et al., 2000). Serat pangan seperti
oligosakarida dan RS secara signifikan dapat memodulasi flora usus,
13
menghasilkan SCFA terutama propionat dan butirat yang berpotensi untuk
menurunkan risiko berkembangnya kanker kolon. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya korelasi negatif antara konsumsi pati dengan RS
dengan timbulnya penyakit kanker kolon (Brouns et al., 2002).
Ternyata tidak hanya jumlah RS yang penting, tetapi terutama
komposisi molekuler dan struktur fisik nampaknya yang memberikan efek
prebiotik dan sifat butirogenik dari RS. Beberapa penelitian mendukung
pendapat bahwa RS yang ter-retrogradasi adalah substrat yang paling
berperan dalam produksi butirat. Dewasa ini beberapa publikasi banyak
menyorot sifat fisiologis RS terhadap kesehatan saluran pencernaan,
efeknya terhadap mikrobiota usus dan produk fermentasinya. Potensi RS
pada hewan coba dan manusia adalah sebagai berikut:
Efek pada mikrobia usus dan metabolismenya (Brouns et al., 2002)
• Terfermentasi sempurna.
• Tingkat pembentukan gas yang rendah saat terfermentasi.
• Tingkat pembentukan butirat yang tinggi pada kolon.
• Menurunkan pH.
• Secara selektif digunakan oleh lactobacilli dan bifidobacteria.
• Menstimulasi kolonisasi lactobacilli and bifidobacteria.
• Menurunkan tingkat bakteri pathogen dalam usus.
• Menurunkan asam empedu sekunder.
• Menurunkan toksisitas air fekal.
Efek pada kesehatan dan fungsi fisiologis intestine (Brouns et al.,
2002)
• Menurunkan gejala diare.
• Meningkatkan berat stool.
• Efek laksatif ringan dengan asupan yang tinggi.
• Menurunkan intake energy bila digunakan untuk mengganti pati normal
pada makanan.
• Menurunkan respon insulin bila dibandingkan dengan pati normal.
14
• Meningkatkan absorbsi Ca dan Mg.
• Menstimulasi sistem imun.
• Menurunkan faktor risiko kanker usus besar.
Efek fisiologis secara umum (Sajilata et al., 2006):
• RS berperan sebagai komponen serat pangan.
• Mencegah kanker kolon.
• Mempunyai efek hipoglikemik.
• Sebagai prebiotik.
• Mengurangi pembentukan batu empedu.
• Mempunyai efek hipokolesterolemik.
• Menghambat akumulasi lemak.
• Meningkatkan absorpsi mineral.
Meskipun berbagai keuntungan telah banyak diteliti dan
dibuktikan, efek RS yang kurang menguntungkan juga dilaporkan. Studi
menunjukkan adanya pembesaran cecal pada tikus, namun pada manusia
dikatakan mempunyai relevansi yang kecil karena ukuran dan berat cecum
manusia yang kecil.
b. RS dan aplikasinya dalam industri pangan
Jumlah RS pada kebanyakan produk mentah umumnya sangat
rendah, tetapi pengolahan dan penyimpanan dapat meningkatkan
jumlahnya seperti data yang dilaporkan oleh Marsono dan Topping
(1993). Kandungan RS beras mentah sebesar 0,6%, sedang nasi yang
ditanak dengan rice cooker (RC), nasi RC yang disimpan dalam
refrigerator 24 jam dan nasi RC yang disimpan dalam freezer 7 hari
mengandung pati resisten berturut-turut 2,4%, 5,6% dan 3,9%. Sementara
itu, nasi yang ditanak dengan oven microwave (MW) memiliki kandungan
pati resisten 2%, sedang nasi MW yang disimpan dalam refrigerator 24
jam dan nasi MW yang disimpan dalam freezer 7 hari kandungan pati
resistennya tidak berbeda yaitu 3,8%.
RS dapat ditingkatkan jumlahnya dengan berbagai proses
pengolahan bahan pangan melalui proses tertentu seperti pemanggangan,
15
perebusan dengan suhu tinggi, pendinginan dan pemanasan kembali
sehingga terjadi proses retrogradasi berulang. Teknik pengolahan
berpengaruh pada gelatinisasi dan proses retrogradasi, yang
mempengaruhi pembentukan RS. Pemanggangan, proses ekstrusi, proses
autoclaving, berpengaruh pada hasil RS dalam makanan. Pemanggangan
(baking) meningkatkan kandungan RS. Suhu rendah dan pemanggangan
yang lama memberikan kandungan RS yang lebih tinggi daripada kondisi
panggang biasa (Sajilata et al., 2006).
RS mempunyai sifat fisiko kimia yang dikehendaki seperti
penggelembungan (sweeling), peningkatan viskositas, pembentukan gel,
dan kemampuan mengikat air (WHC), sehingga dapat diaplikasikan untuk
berbagai macam produk pangan. RS dapat digunakan pada pembuatan roti
tawar untuk fortifikasi serat pangan. Fortifikasi dengan RS dapat
memperbaiki sifat yang kurang menguntungkan dari roti dengan
kandungan serat tinggi seperti warna yang gelap, penurunan tingkat
pengembangan, mouthfeel yang kurang enak, RS juga dapat ditambahkan
untuk memodifikasi tekstur pada pembuatan cake, muffins atau brownies.
Selain itu, RS dapat digunakan untuk meningkatkan kerenyahan
(crispness) permukaan produk pangan yang diolah menggunakan suhu
tinggi seperti waffles dan toasts. Selain perbaikan tekstur, RS dilaporkan
dapat meningkatkan ekspansi produk pangan ekstrusi seperti snack dan
sereal (Sajilata et al., 2006).
Bahan yang kaya RS atau RS yang sudah diisolasi dapat dijadikan
sebagai ingridien untuk memperbaiki sifat fisikokimia dan meningkatkan
nilai gizi produk-produk pangan. Bahan pangan yang kaya akan RS
diperlukan untuk memberikan karakter fisik yang baik pada makanan
seperti tekstur, kapasitas penyerapan air, dan lain-lain. RS3 mempunyai
sifat yang sangat menarik karena RS3 stabil terhadap panas. RS3 juga
stabil pada proses pengolahan pangan yang biasa dilakukan sehingga
memungkinkan digunakan sebagai bahan (ingridien) pada bermacam
makanan konvensional. Karena ketahan cernaannya terhadap enzim
16
pencernaan pati maka bahan pangan yang kaya RS dan RS murni dapat
digunakan sebagai bahan prebiotik untuk memperkaya gizi dan sifat
fungsional suatu produk pangan maupun minuman.
RS banyak dilirik oleh industri pangan dan konsumen karena
mempunyai efek yang menguntungkan secara fisiologis bagi kesehatan
maupun secara fungsional pada produk pangan. RS merupakan faktor
penting dalam kesehatan saluran cerna terutama melalui interaksinya
dengan mikrobiota intestine secara fisik maupun hasil metabolismenya.
Penambahan RS dapat memperbaiki kualitas produk pangan seperti
pengembangan, kerenyahan, warna, flavor dan mouthfeel dibandingkan
dengan serat tak larut konvensional sehingga meningkatkan penerimaan
konsumen. Sifat RS sebagai serat pangan serta prebiotik mempunyai
manfaat fisiologis yang menguntungkan bagi kesehatan saluran cerna,
serta manfaat fisiologis terkait lainnya. Berbagai teknik pengolahan
memungkinkan dikembangkan untuk meningkatkan RS pada produk
pangan yang dapat diterima oleh konsumen.
IV. SIFAT FISIK DAN KIMIA SERTA EFEK FISIOLOGIS SERAT PANGAN
Pengetahuan serat pangan menjadi menarik karena efek fisiologis yang
ditimbulkan, maka sebagian besar penelitian mengenai serat pangan diarahkan
untuk menggali efek fisiologisnya. Efek fisiologis berkaitan dengan sifat fisik dan
kimia serat pangan dan fraksi-fraksinya. Sifat-sifat spesifik serat pangan yang
berkaitan dengan efek fisiologisnya meliputi: fermentabilitas, kapasitas
pengikatan air, absorpsi molekul organik, viskositas dan sifat penukar ion.
a. Fermentabilitas
Seperti sudah tersurat dalam definisi, serat pangan tidak dapat dicerna
di dalam usus halus, tetapi akan mengalami degradasi mikrobiologis
(fermentasi) di dalam kolon sebagian atau seluruhnya. Fermentasi tersebut
menghasilkan asam lemak rantai pendek (Short- Chain Fatty Acids = SCFA)
17
terutama asam asetat, propionat dan butirat serta asam valerat, iso valerat, iso
butirat dalam jumlah yang lebih kecil. Di samping itu juga dihasilkan gas
methane (CH4), karbon dioksida (CO2) dan hydrogen (H2).
Fermentabilitas serat pangan mempengaruhi "keruahan feses" karena
jumlah masa bakteri dalam feses tersebut. Dengan kata lain sifat meruah feses
merupakan gabungan dari sifat serat sendiri yang tidak tercerna dan masa
bakteri yang tumbuh pada substrat serat tersebut. Efektivitas fermentasi
tergantung dari jenis serat pangan dan berpengaruh pada sifat laksative yang
ditimbulkan. Polisakarida bukan selulolasa lebih mudah terdegradasi oleh
bakteri dan memberi andil asam lemak rantai pendek yang dipercayai dapat
menyehatkan kolon. Pektin hampir terfermentasi secara komplit dan tidak
mempunyai efek laksative. Sifat fermentabilitas ini sekarang banyak
dimanfaatkan dalam penyediaan makanan prebiotik. Pada prinsipnya makanan
prebiotik adalah makanan yang justru tidak dapat dicerna di dalam usus halus
sehingga lolos ke dalam kolon dan merupakan substrat bagi mikroflora. Agar
efek prebiotik bisa maksimum konsumsi prebiotik sebaiknya juga disertai
dengan konsumsi probiotik yang merupakan mikroflora yang dapat
memfermentasi prebiotik di samping menjaga keseimbangan mikroflora di
dalam kolon.( Marsono, Y., 1995 )
b. Kapasitas pengikatan air
Serat pangan terutama serat tidak larut memiliki sifat mampu menahan
air (water holding capacity =WHC). Sifat ini berkaitan dengan residu gula
dengan gugus polar bebas (Schneeman, 1986). Pektin, gum, mucilages dan
sebagian hemiselulose mempunyai WHC yang tinggi. Hidrasi dari serat akan
menghasilkan pembentukan matrik gel. Hal ini dalam usus halus dapat
menghasilkan viskositas digesta yang tinggi dan dapat memberikan efek
memperlambat pengo10 songan usus, difusi dan absorpsi zat gizi. Pada
umumnya serat yang WHC-nya tinggi lebih mudah difermentasi dari pada
yang WHC-nya rendah.
18
Kapasitas pengikatan air juga dipengaruhi oleh ukuran partikel serat
(Marsono et al., 1993) dan mempunyai pengaruh yang besar pada sifat
laksative serat (Slavin, 1990). Serat dengan ukuran partikel halus mempunyai
WHC yang rendah serta menghasilkan berat feses yang lebih kecil (Marsono &
Topping, 1999, Bird et al., 2000). Kapasitas pengikatan air yang tinggi
dimanifestasikan dengan tingginya kadar air feses pada individu yang asupan
seratnya tinggi, seperti sudah banyak dilaporkan baik pada hewan coba
maupun manusia. Sifat ini penting sebab dapat mengurangi waktu transit di
dalam kolon dan menaikkan berat feses.
c. Absorpsi molekul organik
Serat pangan mempunyai kemampuan mengikat molekul organic
misalnya asam empedu, kolesterol dan toksin. Studi in vitro menunjukkan
bahwa lignin sangat potensial untuk mengabsorpsi asam empedu tetapi
sebaliknya selulosa hanya mimiliki kemampuan yang kecil. Kemampuan
mengikat molekul asam empedu secara in vivo dapat ditelusuri dengan
mengukur ekskresi asam empedu dan steroid di dalam feses. Kemampuan ini
juga dipercaya sebagai salah satu mekanisme penurunan kolesterol oleh serat
pangan. Masih sangat sedikit penelitian yang mengungkap kemampuan serat
pangan mengikat toksin, tetapi telah diketahui bahwa dengan asupan serat yang
tinggi, karsinogen di dalam kolon dan rektum “diencerkan” dan dengan
demikian juga mempunyai waktu kontak dengan mukosa yang lebih pendek.
(Blackburn et al., 1984).
d. Viskositas
Komponen utama serat pangan adalah polisakarida bukan pati (non
starch polysaccharide) yang bersifat kental atau viskus. Sifat tersebut
ditentukan oleh struktur kimianya yaitu kandungan gugus methoxy, rantai
cabang polimer dan sifat hidrofilik atau hidrophobiknya (BNF, 1990). Gum
dan pektin termasuk dalam kelompok serat larut air. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa gum dan pectin menaikkan viskositas isi usus sehingga
19
menunda pengosongan perut, memperpanjang waktu transit (dari mulut sampai
caecum) dan mengurangi kecepatan absorpsi di dalam usus halus, sebagian
antara lain disebabkan oleh kenaikan ketebalan lapisan air dipermukaan usus
halus dan sebagian lagi karena perintangan gerakan zat gizi di dalam lumen.
Sedangkan serat tidak larut (misalnya dalam bekatul) tidak memiliki sifat
tersebut, tetapi serat ini mempercepat pengosongan usus dan transit sepanjang
usus. Serat tidak larut menaikkan jumlah feses sebab tahan terhadap degradasi
bakteri, serat larut lebih mudah difermentasi oleh bakteri sehingga
mengakibatkan kenaikan masa bakteri. Penambahan polisakarida murni dalam
makanan atau minuman dapat menurunkan kecepatan absorpsi gula dan
menurunkan glukosa plasma post prandial (Blackburn et al., 1984).
Serat pangan dapat memodulasi dan mengurangi kecepatan
pencernaan dan absorpsi lewat 3 mekanisme yaitu (i) mengurangi kecepatan
pengisian dan pengosongan usus, (ii) penghambatan aktivitas ensim oleh serat
pangan dan (iii) penghambatan difusi dan absorpsi zat gizi, ensim dan substrat
di dalam usus halus.
e. Potensi sebagai penukar ion
Sifat fisik serat pangan yang tidak kalah pentingnya adalah
kemampuannya sebagai penukar ion. Sifat ini dapat merupakan sifat negatif
serat pangan karena dapat mengurangi availabilitas mineral serta absorpsi
elektrolit. Jumlah gugus karboksil bebas pada residu gula serta kandungan
asam uronat polisakarida mempunyai kaitan yang erat dengan sifat ini.
Polisakarida asam dengan gugus COOH bebas seperti pektin dan lignin dapat
mengikat logam misalnya Fe, dan dapat menghambat absorpsi. Fitat yang
keberadaannya di dalam pangan sering diasosiasikan dengan serat memegang
peran yang penting pada pengikatan mineral. (Schneeman, 1986)
20
V. SERAT PANGAN BAGI KESEHATAN TUBUH
1. Serat Pangan dan Diabetes Mellitus
Salah satu tujuan terapi diet bagi penderita diabetes tipe II atau Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) adalah untuk mempertahankan
level glukosa dan lipid darah sedekat mungkin dengan level normal sehingga
mengurangi risiko komplikasi mikro maupun makrovaskuler. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa suplementasi serat pangan dalam diet tinggi karbohidrat
dapat menurunkan kadar glukosa darah pada penderita NIDDM. Diet yang tinggi
karbohidrat tetapi tidak tinggi serat pangan ternyata tidak menghasilkan efek
serupa, meyakinkan bahwa serat pangan mempunyai peranan yang penting
dalam menghasilkan efek tersebut. Tiap jenis makanan dapat memberikan respon
glukosa yang spesifik dan berbeda satu dengan yang lain. Penambahan serat larut
(soluble fibre) pada makanan telah banyak dilaporkan dapat menyebabkan
penurunan postpandrial glukosa darah dan respon insulin. Akan tetapi gejala
serupa tidak dijumpai pada penambahan serat tidak larut (insoluble fibre) seperti
bekatul gandum atau selulosa. Hal itu disebabkan oleh perbedaan sifat fisiologis
dari kedua serat tersebut. Beberapa mekanisme telah diusulkan oleh para peneliti
antara lain serat pangan larut (soluble fibre) dapat membentuk gel yang viskus
sehingga menghambat absorpsi glukosa (Pastors et al., 1991, Smith et al., 1996),
dan meningkatkan sensitivitas insulin (Anderson et al. 1991, Smith et al., 1996).
Keuntungan yang diharapkan dengan kenaikan asupan serat pangan untuk
individu yang menderita diabetes meliputi: mengurangi postprandial glisemia,
mengurangi konsentrasi glukose basal, menaikkan sensitivitas pada insulin dan
mengurangi konsentrasi kolesterol.
Terkait dengan terapi diet untuk penderita diabetes, pada tahun 80-an
Jenkins mengusulkan bahwa pemilihan makanan untuk penderita diabetes
sebaiknya tidak hanya didasarkan pada jumlah dan kadar karbohidrat makanan,
tetapi juga harus diperhatikan indeks glisemiknya (Jenkins et al., 1981). Indeks
Glisemik (IG) dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara luas kurva
glukosa darah makanan yang diuji yang mengandung karbohidrat total setara 50
21
gram gula, terhadap luas kurva glukosa darah setelah makan 50 gram glukosa,
pada hari yang berbeda dan pada orang yang sama (Truswell, 1992). Jadi nilai
Indeks Glisemik makanan sangat ditentukan oleh respon glukosa makanan yang
bersangkutan. Secara umum respon glukosa makanan dipengaruhi oleh banyak
faktor yaitu; (1) ukuran partikel, (2) kerusakan integritas dinding sel, (3)
ketersediaan pati dan proses pengolahan yang dilakukan (gelatinisasi,
retrogradasi), (4) rasio amilosa dan amilopektin, (5) adanya lemak dan protein
(6) adanya polisakarida (terutama yang bersifat viskus) dan adanya zat antigizi
(inhibitor amilase, fitat, lektin, tannin dan sebagainya) (BNF, 1990).
2. Serat Pangan dan Hiperlipidemia
Salah satu komplikasi metabolik penderita diabetes adalah timbulnya
hiperkolesterolemia, yang dipercayai merupakan salah satu faktor risiko penyakit
jantung koroner. Oleh karena itu kontrol lipida darah merupakan tindakan penting
yang harus dilakukan oleh penderita diabetes. Pengendalian lipida darah dapat
dilakukan dengan mengurangi asupan, mengurangi sintesis atau menaikkan
ekskresi lipida. Diet tinggi serat telah diyakini dapat membantu menurunkan
kolesterol, meskipun tidak semua serat memiliki efektivitas yang sama. Serat larut
air (soluble fiber) telah terbukti dapat menurunkan plasma kolesterol darah
penderita diabetes baik pada orang dengan level kolesterol normal atau pada
orang hiperlipidemia, tetapi efek tersebut tidak dijumpai pada serat tidak larut lair
(insoluble fiber).
Pengaruh serat pangan yang lebih penting dan relevan dengan
hiperlipidemia adalah kemampuan serat pangan untuk mengikat asam empedu.
Serat pangan larut telah terbukti baik dalam penelitian in vitro maupun in vivo,
mempunyai kemampuan untuk mengikat asam empedu. Hal tersebut dapat
memacu ekskresi sterol dan secara tidak langsung dapat menurunkan kolesterol
yang disirkulasi (Malkki,2001). Dukungan dari teori ini telah datang dari studi
yang dilakukan pada pasien ileostomi. Pada pasien tersebut, diet tinggi serat
menaikkan ekskresi sterol secara signifikan dan diikuti dengan penurunan total
dan LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol. Cholestyramine, obat penurun
22
kolersterol pada penderita hiperkolesterolaema bekerja dengan prinsip ini dan
telah menunjukkan dapat menurunkan insiden sakit jantung koroner. Serat pangan
yang bersifat viskus yaitu serat larut (soluble fiber) juga dapat menghambat
absorpsi kolesterol didalam usus halus sehingga menurunkan availabilitas
kolesterol bagi tubuh. Pada saat yang sama sintesis kolesterol di dalam liver juga
dihambat sebagian disebabkan oleh pengurangan sekresi insulin yang
mengaktifkan enzim untuk sintesis kolesterol dan sebagian lain disebabkan oleh
penyimpangan komposisi asam empedu terutama konsentrasi asam deoksi kolik
yang tinggi dapat mencegah sintesis kolesterol (Marlett, 1997). Hal yang tidak
kalah menarik ialah bahwa produk dari fermentasi yaitu asam lemak rantai
pendek atau Short Chain Fatty Acid (SCFA) terutama asam propionat dapat juga
memberikan kontribusi pada efek penurunan kolesterol dari serat. (Hara et
al.1999) melaporkan bahwa pada tikus, SCFA dapat menekan sintesis kolesterol
baik di liver maupun di usus.
Ada lima mekanisme untuk menjelaskan mengapa serat pangan dapat
menurunkan kolesterol yaitu:
1. Serat pangan dapat meningkatkan ekskresi empedu,
2. Serat pangan menghambat absorpsi kolesterol,
3. Serat pangan menurunkan availabilitas kolesterol karena kemampuannya
untuk mengikat senyawa organik,
4. Asam lemak rantai pendek (SCFA) yang dihasilkan dalam fermentasi serat
dapat mencegah sintesis kolesterol, dan
5. Serat pangan dapat menurunkan densitas enersi makanan sehingga
mengurangi sintesis kolesterol.
3. Serat Pangan dan Penyakit Saluran Pencernaan
Beberapa penyakit saluran pencernaan makanan misalnya konstipasi,
divertikulosis, hemoroid dan kanker kolon, berkaitan erat dengan asupan serat
pangan. Kecurigaan bahwa konstipasi merupakan penyakit karena kekurangan
serat pangan, mulai muncul pada tahun tujuh puluhan. Burkitt dan koleganya
mendapati bahwa orang-orang Eropa yang tinggal di Afrika Selatan ternyata lebih
23
banyak menderita konstipasi daripada penduduk asli yang tinggal ditempat yang
sama. Studi mereka akhirnya membuka pemahaman yang sangat berarti dalam
bidang ilmu gizi. Berkat publikasi mereka serat pangan kemudian banyak diteliti
di berbagai belahan dunia. Sifat meruah (bulky) serat pangan merupakan jawaban
mengapa bahan ini dipercayai dapat mencegah konstipasi. Sifat meruah sangat
erat kaitannya dengan sifat laksative, yaitu memudahkan buang air besar. Rasa
sakit atau ketidak nyamanan akibat konstipasi bukanlah akibat akhir dari
kekurangan serat pangan. Bila sakit ini tidak segera diatasi, risiko timbulnya
penyakit lain seperti divertikulosis, hemoroid dan kanker kolon semakin besar.
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa serat pangan tidak larut air
(insoluble fiber) mempunyai sifat mudah menahan air sehingga menyebabkan
feses meruah (bulky) dan mudah dikeluarkan. Sifat meruah juga disebabkan oleh
bertambahnya masa bakteri dalam feses yang kaya akan serat, sebab serat pangan
merupakan substrat yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroflora di dalam
kolon. Akan tetapi sifat laksative tersebut lebih terlihat pada serat tidak larut air
dibanding dengan serat larut air.
Prevalensi kanker kolon dan rektum sangat tinggi di beberapa negara
Eropa, Amerika Utara dan Australia, tetapi relatip rendah di negara-negara
Afrika, Asia dan Amerika Tengah. Banyak studi menyimpulkan bahwa kanker
kolon dan rektum tidak disebabkan oleh faktor genetik, tetapi karena faktor
lingkungan yaitu budaya atau kebiasaan yang berkaitan dengan diet. Studi
mengenai pengaruh serat pangan terhadap kanker kolon dan rektum memberikan
hasil yang tidak seragam, ada yang menunjukkan pengaruh positip tapi juga ada
yang negatip. Beberapa mekanisme yang diusulkan untuk menjelaskan bagaimana
serat pangan dapat mencegah kanker kolon dan rectum telah disampaikan oleh
Kelompok Kerja “The British Nutrition Foundation” yaitu:
(i) sifat meruah feses yang kaya serat pangan menyebabkan pengenceran isi
kolon, mempercepat transit sehingga mengurangi aksi karsinogenik dan
mengurangi substrat untuk produksi karsinogen oleh bakteri,
24
(ii) Asam lemak rantai pendek (SCFA) hasil fermentasi serat memberikan
suasana asam dan dapat menetralkan ammonia, sehingga memberikan
kondisi yang tidak cocok untuk pertumbuhan sel tumor,
(iii) Asam butirat salah satu SCFA dapat menekan pertumbuhan sel kanker (BNF,
1990). Hubungan yang berlawanan antara konsumsi serat pangan dan risiko
terhadap kanker kolon telah banyak dibuktikan pada beberapa penelitian
meskipun juga ada penelitian yang memberikan hasil yang tidak sama
(Jacobs, 1989; Young & Gibson, 1991). Di samping efek-efek kesehatan
tersebut di atas banyak publikasi juga menyatakan bahwa serat pangan dapat
membantu mencegah kegemukan, mencegah batu empedu dan karies gigi
(BNF, 1990).
25
(insufisiensi pankreatik) konsumsi berlebihan
Konsumsi karbohidrat murni tinggi makanan berkalori tinggi Konsumsi lemak tinggi
Dalam usus besar Penurunan kekambaan stimulus Pengurangan Motilitas
Fermentasi lama Transit lambat
Konsentrasi metabolit tinggi Penurunan kadar bahan organic Massa berkurang Penyerapan air max
Kontak dg usus mukosa lama Fesas kental & kering Sulit BAB
Tekanan pada usus meningkat
Garnbar 2. Skema timbulnya berbagai penyakit akibat kurangnya konsumsi serat pangan (Johnson
dan Southgate, 1994)
26
Diabetes Obesitas
Konsumsi serat pangan
rendah
Penyakit
Jantung
Koloner
Kanker Usus
Divertikular Konstipasi
VI. PENUTUP
Uraian secara ringkas ini memberikan gambaran betapa serat pangan
sebagai salah satu zat gizi telah mengalami perkembangan pemahaman. Faktor yang
mendukung kenaikan daya tarik serat pangan adalah sifat-sifat serat, efek fisiologis
serta manfaatnya bagi kesehatan. Begitu besarnya pengaruh serat pangan dalam
kesehatan, sehingga pada awal popularitasnya, serat pangan pernah disebut sebagai
zat gizi ajaib (Flath, 1975). Sifat-sifat fisik serat pangan memberikan efek fisiologis
yang spesifik dengan demikian juga mempunyai pengaruh kesehatan yang spesifik
pula. Sebagai negara yang padat penduduk dengan asupan zat gizi yang sangat
variatip kemungkinan efek negatip karena rendahnya asupan serat pangan mungkin
tidak begitu terasa. Akan tetapi bukan berarti kita harus melupakan atau
mengabaikan. Rekomendasi mengenai kecukupan asupan serat pangan yang
diusulkan oleh WNPG VIII perlu disosialisasikan kepada masyarakat sebagai bahan
pertimbangan perancangan dan pengelolaan diet untuk berbagai keperluan. Sosialisasi
mengenai manfaat dan sumber-sumber serat pangan kepada seluruh lapisan
masyarakat juga perlu di berikan agar masyarakat yang selama ini menerima
informasi serat pangan lewat iklan produk di TV atau radio juga mendapat informasi
yang imbang dari sumber lain yang lebih kompeten. Bagi Institusi Pendidikan yang
mempelajari pangan sudah waktunya tidak hanya mengajarkan serat kasar (crude
fibre) kepada para mahasiswanya, tetapi juga serat pangan (dietary fibre). Sedangkan
bagi awam pengetahuan serat pangan juga sangat diperlukan agar bisa menjaga diri
dan memiliki referensi dalam memilih makanan untuk menu hariannya. Semoga
informasi singkat ini bermanfaat bagi kita semua.
27
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000. AACC report, 2000. The definition of dietary fibre.Cereal Foods World 46: 112-126.
Anonim, 2001. The Definition of Dietary Fibre. Cereal Foods World 46:pp. 89-148.
http://www.aaccnet.org/Dietary Fiber/pdfs/dietfiber.pdf
Anik Herminingsih, 2010. Manfaat Serat dalam Menu Makanan.Universitas Mercu Buana,
Jakarta.
Anderson, J.W., Zeigle, J.A., Deakin, D.A., Floore, T.L., Dillon, D.W., Wood, C.L., Oelgent,
P.R. and Whitley, R.J., 1991. Metabolic effects of high carbohydrate, high fiber
diets for Insuline Dependent Diabetic Individuals. Am. J. Clin. Nutr. 54: 936-943.
Bird, A.R., Brown, I.L., and Topping, D.L. 2000. Starches, Resistant Starches, the Gut
Microflora and Human Health. Curr. Issues Intesty. Microbiol. 2000 1(1):25-37
Blackburn, N.A., Redfern, J.S., Jarjis, M. (1984). The mechanism of action of guar gum in
improving glucose tolerance in man. Clin. Sci., 66: 329-326.
British Nutrition Foundation (BNF), 1990. Complex carbohydrates in foods. The report of the
British Nutrition Foundation's Task Force, Chapman and Hall, London.
Brouns, F., Kettlitz, B. and Arrigoni, E. 2002. Resistant starch and “the butyrate revolution”.
Trends in Food Science & Technology 13: 251–261.
Englyst, H.N., Trowell, H., Southgate, D.A.T. and Cumming, J.H. 1987. Dietary fiber and
resistant starch. Am. J. Clin. Nutr. 46: 873-876.
Jenkins, D.J.A., Wolever, T.M.S., Taylor R., Barker H.M, Fielder H., Baldwin J.M., Bowling
A.C., Newman H.C., Jenkins A.L. and Goff D.F., 1981. Glycemic Index of Foods:
28
Malkki, Y., 2001. Physical Properties of Dietary Fiber as Keys to Physiological Functions.
Cereal Foods World (5) 46: 196-199.a physiological basis for carbohydrate
exchange. Am. J. Clin. Nutr. 34: 362-366.
Marsono, Y. and Topping, D.L., 1993. Complex carbohydrates in Australian rice products-
influence of microwave cooking and food processing. Food Science and
Technology, LWT 26: 364-370.
Marsono, Y., 1995. Fermentation of Dietary Fibre in thew Human Large Intestine: A review.
Indonesian Food and Nutr. Progress, 2: 48-53.
Sajilata, MG, Rekha S. S. and Kulkarni, P.R. 2006. Resistant Starch – A Review.
Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. Vol. 5
Schneeman, B.O., 1986. Dietary fiber: Physical and Chemical Properties, Methods of Analysis,
and Physiological Effects. Food Tech. : 104-110.
Slavin, J.L., 1990. Dietary Fiber: Mechanisms or Magic on Disease Prevention?. Nutr. Today
Nov/Dec: 6-10.
Olwin Nainggolan dan Cornelis Adimunca, 2005. Diet Sehat Dengan Serat. Cermin Dunia
Kedokteran No. 147, 2005 Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Pastors, J.G., Blaisdell, P.W., Balm, T.K., Asplin C.M. and Pohl, S.L., 1991. Psyllium fiber
reduces rise in postprandial glucose and insulin concentration in patients with Non-
Insullin-Dependent Diabetes. Am. J. Clin. Nutr., 53: 1431-1435.
Truswell, A.S. (1992) Glycaemic index of foods. Eur. J. Clin. Nutr. 46 (Suppl;. 2): S91-S101.
29