EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN: SKALA USAHATANI DAN PRODUKTIVITAS FAKTOR
PRODUKSI PERTANIAN
Tatiek Koerniawati Andajani, SP.MP. Laboratorium Ekonomi Pertanian, FP-Universitas Brawijaya Email : [email protected]
DESKRIPSI MODUL Sebagaimana telah diketahui masalah ukuran usahatani
mengandung sejumlah permasalahan yang saling terkait, antara
lain efisiensi teknis dan efisiensi harga, struktur kepemilikan
lahan, strata sosial, ketidaksempurnaan pasar faktor produksi,
serta reformasi pertanian. Selain itu dalam konteks analisis
ukuran usahatani juga terkandung berbagai konsep teoritis yang
seringkali membingungkan. Modul ini akan membahas konsep
skala usaha dan ukuran usahatani, keterkaitan antara ukuran
usahatani dengan efisiensi yang didukung oleh kajian teoritis
dan bukti empiris mengenai hubungan negatif antara kedua
variabel tersebut, serta ulasan singkat mengenai argumentasi
dan isu kebijakan dalam upaya pembangunan pertanian
TUJUAN PEMBELAJARAN Kompetensi dasar yang harus dikuasai mahasiswa setelah:
1. Membaca modul dan pustaka yang disarankan
2. Mengerjakan tugas terstruktur mandiri
3. Melaksanakan tutorial online
adalah menjelaskan kembali kata kunci dan definisi serta
memahami konsep-konsep sebagai berikut:
1. Konsep skala ekonomis usahatani
2. Hubungan negatif antara ukuran usahatani dan
produktivitas
11
SELF-PR
OP
AG
ATIN
G EN
TREP
REN
EUR
IAL ED
UC
ATIO
N
DEV
ELOP
MEN
T (SPEED
)
Page 2 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
MATERI PEMBELAJARAN
11.1. Konsep Ekonomis dari Skala dan Ukuran Usahatani.
Perdebatan mengenai ukuran usahatani yang ideal dan aspek ekonomi
ukuran usahatani sering kali membingungkan khususnya yang menggunakan
ukuran ekonomi sebagai satuan produksi. Ukuran usahatani diasosiasikan pada
besaran fisik lahan sedangkan ukuran ekonomi atau skala usaha dihubungkan
dengan produktivitas faktor produksi secara keseluruhan. Sebagaimana telah
diuraikan pada Bab II, perubahan skala usaha (scale) mengacu pada seluruh
perubahan faktor produksi secara proporsional Jika pelipatgandaan input yang
dilakukan secara simultan dapat mengakibatkan meningkatnya output dengan
proporsi yang sama maka perubahan skala ini diistilahkan sebagai constant
return to scale; apabila penggunaan input tersebut menghasilkan output dengan
proporsi yang lebih rendah disebut decreasing return to scale, sedangkan jika
output yang dihasilkan lebih tinggi disebut dengan increasing return to scale.
Konsep skala usaha ini pada dasarnya kurang tepat jika diterapkan pada
analisis usahatani sebab pelipat gandaan seluruh faktor produksi secara
proporsional hampir mustahil dapat dilakukan. Sebagai misal luas lahan dapat
berubah dari satu hektar menjadi satu setengah hektar, tetapi traktor tidak
dapat digunakan satu setengah unit. Oleh karena itu pendekatan ukuran
usahatani yang menunjukkan tingkat produksi per satuan luas lahan menjadi
unit analisis yang lebih sesuai untuk digunakan.
Namun demikian, pendekatan skala usaha dalam beberapa aspek masih
tetap diperlukan. Teori ekonomi produksi klasik menyatakan bahwa kurva total
biaya rata-rata berbentuk ‘U’. Kurva biaya tetap rata-rata menurun seiring
dengan meningkatnya penggunaan faktor produksi tetap hingga penggunaan
faktor produksi tersebut mencapai kapasitas fisiknya. Kurva rata-rata biaya
tetap tersebut jika dikombinasikan dengan kurva rata-rata biaya variabel yang
cenderung meningkat dengan peningkatan yang semakin kecil akan menurunkan
kurva rata-rata total biaya yang berbentuk ‘U’ (lihat gambar 11.1).
Page 3 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
Gambar 11.1. Kurva Biaya dan Skala Optimum
Secara teoritis, persaingan akan memaksa produsen untuk berproduksi
pada tingkat biaya rata-rata minimum. Titik minimum ini kemudian didefinisikan
sebagai skala optimum dari usahatani pada tingkat penggunaan teknologi yang
tetap. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa skala optimum dari suatu
cabang usahatani adalah skala usahatani pada saat biaya produksi rata-rata
jangka panjang minimum. Skala optimum ini dapat terjadi sebagai dampak dari
ekonomisasi dan disekonomisasi biaya pada tingkat penggunaan teknologi
tertentu.
Biaya ekonomis dapat terjadi sebagai akibat dari:
1. sifat biaya tetap yang tidak dapat dibagi (indivisibility of fix capital)
dimana biaya per unit produksi semakin rendah sejalan dengan
meningkatnya output yang dihasilkan
2. spesialisasi dalam pelaksanaan pekerjaan,dan
3. ekonomisasi pasar dalam pembelian faktor produksi dengan jumlah
besar pada satu sisi dan penjualan output dalam jumlah besar di sisi
lain.
Sementara disekonomisasi biaya seringkali dikaitkan dengan:
1. keterbatasan kemampuan managerial dan supervisi tenaga kerja seiring
dengan semakin besarnya skala usaha
2. keterbatasan penguasaan faktor agronomis pada penggunaan lahan
yang semakin luas
P
ATC
AVC
E
AFC
0 Q
Page 4 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
3. perubahan dari penanggungan resiko seiring dengan peningkatan skala
usahatani.
Terminologi lain yang perlu dicermati dalam konteks ukuran usahatani adalah
intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi usahatani adalah penggunaan faktor
produksi yang tinggi pada sebidang lahan yang sempit, sementara ekstensifikasi
adalah penggunaan jumlah faktor produksi yang relatif rendah pada sebidang lahan
yang luas. sekali lagi secara ringkas dapat dikatakan bahwa konsep skala usaha
berbeda dengan ukuran usahatani. Jika skala usahatani merupakan ukuran ekonomi
yang dikaitkan dengan penggunaan seluruh faktor produksi, maka ukuran usahatani
lebih bermakna pada penggunaan satu faktor produksi saja khususnya luas lahan
usahatani.
11.2. Hubungan Negatif antara Ukuran Usahatani dengan
Produktivitas
Kajian mengenai hubungan antara ukuran usahatani dengan produktivitas
dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama difokuskan pada
hubungan antara produktivitas fisik dengan luas lahan yang berarti berkaitan
dengan efisiensi teknis. Pendekatan kedua difokuskan pada ketidaksempurnaan
persaingan pasar yang memiliki dampak berbeda pada usahatani kecil dan
besar. Data empiris dari dua negara yang berbeda ternyata menunjukkan
bahwa semakin luas usahatani yang dimiliki maka semakin rendah produktivitas
per hektar yang diperoleh. (lihat Tabel 11.1 dan 11.2). Enam alasan yang dapat
dikemukakan sebagai penjelasan adanya hubungan terbalik antara luas lahan
dengan produktivitas adalah sebagai berikut:
1. Intensitas penggunaan lahan. Umumnya semakin luas lahan pertanian
yang dimiliki semakin rendah intensitas penggunaan lahannya (lihat Tabel
11.1 dan 11.2).
2. Komposisi hasil. Komoditi yang diusahakan pada usahatani luas
cenderung lebih bersifat usahatani ekstensifikasi ataupun komoditi yang
bernilai lebih rendah dari apa yang diusahakan petani gurem.
3. Tumpang sari. Hasil data empiris menunjukkan bahwa petani gurem lebih
banyak mengusahakan usahataninya dengan pola usahatani tumpang sari
Page 5 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
guna menjamin pendapatan pasti dari usahatani ynag diusahakan.
4. Kesuburan tanah. Petani umumnya akan berlomba untuk bermukim pada
lahan yang subur sehingga konsentrasi petani yang tinggi pada lahan
subur menyebabkan semakin rendahnya penguasaan lahan. Dengan kata
lain petani gurem terkonsentrasi pada lahan yang memang lebih subur.
Di lain pihak petani yang memiliki lahan relatif lebih luas berpeluang
memiliki sebahagian lahan yang kurang subur. Lahan dengan persil yang
relatif luas umumnya dihindari petani gurem sehingga peluang untuk
memiliki lahan luas bagi petani kaya semakin terbuka.
5. Pengairan. Akses petani miskin yang secara implisit adalah petani gurem
terhadap prasarana irigasi umumnya lebih besar. Hal ini menyebabkan
petani gurem lebih berpeluang untuk memperoleh layanan irigasi
dibandingkan dengan petani besar.
6. Intensitas penggunaan tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja memiliki
kecenderungan hubungan negatif dengan luas lahan pertanian. Usahatani
kecil menggunakan faktor produksi tenaga kerja yang lebih besar
persatuan luas dibandingkan usahatani besar.Berdasarkan beberapa pola
kecenderungan diatas maka dapat disimpulkan beberapa hal penting
sebagai berikut:
Pertama: Kondisi yang menunjukkan bahwa usahatani kecil lebih efisien
dibandingkan dengan usahatani yang lebih besar disebabkan oleh intensitas
penggunaan lahan yang lebih efektif dan bukan karena usahatani kecil mampu
menghasilkan komoditas tertentu dengan lebih produktif dibandingkan usahatani
besar. Selain itu ada kecenderungan petani besar membeli lahan pertanian
bukan semata-mata untuk tujuan produksi tetapi juga untuk tujuan investasi,
ataupun tujuan lainnya seperti misalnya status sosial, dan politik.
Kedua: Kurang intensifnya penggunaan lahan oleh petani besar dibandingkan
dengan petani gurem mengakibatkan penggunakan input lain khususnya tenaga
kerja secara proporsional menjadi lebih rendah dibandingkan usahatani kecil.
Ketiga. Penjelasan ketiga yang mungkin dapat diterima berkenaan dengan
skala usaha adalah konsep deminishing return to scale. Semakin tinggi luas
areal usahatani maka produktivitas akan meningkat dengan pertambahan yang
semakin berkurang, yang berarti produksi rata-rata semakin rendah. Namun
Page 6 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
karena dalam usahatani faktor produksi lahan bukanlah satu-satunya input yang
digunakan maka hubungan kedua variabel ini (luas lahan dengan produksi)
kurang dapat diterima sebagai suatu argumen yang bersifat umum.
Terlepas dari kesimpulan diatas, muncul beberapa sanggahan terhadap
kecenderungan hubungan terbalik antara luas lahan dengan produktivitas,
antara lain:
1. Rata-rata ukuran kelas yang dimiliki sebagaimana disajikan pada Tabel
10.1 misalnya dapat menjadi kurang jelas dan dapat mengarah pada
kesimpulan yang menyesatkan. Beberapa hasil penelitian yang
diajukan tidak disertai dengan informasi standar deviasi rata-rata luas
lahan. Jika standar deviasi dari rata rata data yang diperoleh cukup
besar berarti produksi juga bervariasi cukup besar (Barbier, 1984).
Tabel 11.1. Hubungan antara Skala Usahatani dan Produktivitas
Ukuran Kelompok
(ha)
Rata-Rata Skala
Usahatani (ha)
Output kotor per
hektar (Rp)
0-9.9
10-49.9
50-99.9
100-199.9
200-499.9
> 500
3.7
25.5
71.9
138.9
313.2
1178.0
85.92
30.73
16.19
8.80
5.00
2.20
Sumber: Berry dan Cline (1979)
2. Range data untuk kelompok kelas dapat dimanipulasi sedemikian rupa
guna menunjukkan hasil yang semakin menurun. Contoh menarik dari
manipulasi selang kelas dari data yang sama dan dapat memberikan
hubungan yang berbeda antara dua variabel dikemukakan dalam
penelitian Barbier (1984). Barbier menunjukkan bahwa kesimpulan
tentang kecenderungan semakin menurunnya produktivitas seiring
dengan meningkatnya luas areal tanam dapat ditolak dengan
memanipulasi selang kelas yang dilakukan pada suatu kasus usahatani
di India.
3. Skala usahatani menjadi alaternatif penting dibandingkan dengan
analisis yang hanya mengandalkan luas lahan (Patnaik, 1972). Akan
tetapi Patnaik sendiri menemukan kesimpulan yang berbeda dengan
Page 7 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
menggunakan pendekatan analisis skala usahatani, khususnya pada
kelompok usahatani dibawah 10 ha dan di atas 10 ha.
4. Ukuran produktivitas parsial, seperti misalnya produksi per hektar atau
produktivitas tenaga kerja, pada akhirnya dapat memberikan
kesimpulan yang membingungkan. Adakalanya produktivitas lahan
menjadi lebih rendah pada saat produktivitas tenaga kerja tinggi dan
sebaliknya. Dengan demikian maka analisis perbandingan efisiensi
usahatani sebaiknya dilakukan berdasarkan produktivitas dari seluruh
faktor produksi yang digunakan dan bukan hanya berdasarkan
produktivitas per satu satuan luas lahan. Namun hal ini sulit dilakukan
sebab satu-satunya alat ukur yang tersedia adalah nilai moneter
variabel usahatani. Masalah yang timbul kemudian adalah penentuan
tingkat harga serta pengukuran nilai modal tetap yang dimiliki oleh
masing-masing usahatani. Salah satu pendekatan yang dianjurkan
dalam hal ini adalah pendekatan biaya sosial yang dapat merefleksikan
nilai kelangkaan sosial faktor produksi tersebut. Barry dan Cline (1979)
memberikan contoh analisis yang mengguinakan pendekatan total
faktor produksi dan hasilnya memang menunjukkan adanya hubungan
terbalik untuk effisiensi usahatani.
Tabel 11.2. Hubungan antara Skala Usahatani dan Pendapatan
Ukuran Kelompok
(are)
Rata-Rata Skala
Usahatani (are)
Pendapatan per are
(Rp)
0-5
5-15
15-25
>25
2.95
9.3
19.5
42.6
737
607
482
346
Sumber: Bhalla (1979) dalam Berry dan Cline (1979)
11.3. Pasar Faktor Produksi Tak Sempurna dan Efisiensi
Sosial.
Sejauh ini telah dijelaskan bahwa hasil usahatani cenderung menurun
seiring dengan peningkatan luas lahan. Peningkatan hasil yang semakin
menurun tersebut merefleksikan variasi intensitas penggunaan lahan.
Sedangkan intensitas penggunaan faktor produksi tenaga kerja cenderung
Page 8 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
menurun dengan meningkatnya luas lahan pertanian. Dari berbagai temuan
empirik dapat diketahui bahwa petani gurem dan petani besar pada dasarnya
menghadapi harga faktor produksi yang berbeda akibat ketidaksempurnaan
pasar faktor produksi. Sebagai misal, harga faktor produksi tenaga kerja bagi
petani gurem relatif lebih rendah sementara harga input lainnya justru lebih
mahal. Perbedaan relatif harga faktor produksi tersebut berakibat:
a. petani gurem cenderung menggunakan tenaga kerja yang lebih besar
per satu satuan luas dibandingkan dengan petani besar,
b. petani besar menempatkan lahan sebagai sumberdaya yang tersedia
cukup banyak
c. petani besar cenderung mensubsitusi tenaga kerja dengan modal
(mekanisasi pertanian)
d. petani besar cenderung memiliki efisiensi sosial yang lebih rendah
dibandingkan dengan petani gurem.
Konsep harga sosial menjadi penting sebab hal ini dapat memberikan
patokan yang lebih rasional bagi upaya perbandingan harga yang semestinya
maupun dasar kajian mengenai ketidak efisienan petani besar. Harga sosial
berkaitan dengan biaya oportunitas sumber daya yang digunakan. Kondisi
perekonomian dengan sumber daya tenaga kerja yang melimpah di satu sisi dan
sumber daya modal serta lahan yang terbatas di sisi lain menyebabkan harga
sosial tenaga kerja menjadi rendah sementara harga sosial sumberdaya lahan
dan modal menjadi sangat tinggi. Pada persaingan pasar yang sempurna,
kondisi tersebut akan menyebabkan seluruh usahatani dikelola dengan teknologi
padat karya dan menggunakan lahan serta modal dengan jumlah yang lebih
sedikit.
Petani gurem menghadapi harga tenaga kerja yang lebih rendah dari
tingkat upah sosial dan harga lahan serta modal yang lebih tinggi dari harga
sosial. Adapun petani besar berhadapan dengan harga tenaga kerja yang relatif
lebih tinggi dari upah sosial serta harga faktor produksi modal dan lahan yang
lebih rendah dari nilai sosialnya. Hal ini menyebabkan petani gurem cenderung
lebih banyak menggunakan faktor produksi tenaga kerja, sementara petani
besar akan menggantikan tenaga kerja dengan modal. Secara teoritis kondisi
Page 9 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
tersebut dapat di jelaskan dengan menggunakan grafik pada Gambar 10.2.
Gambar 11.2. Proporsi Input Optimal untuk Petani Besar dan Petani Gurem
Pada Gambar 11.2. diasumsikan bahwa baik petani gurem maupun petani
besar memiliki kurva isokuan (QQ’) yang sama; kondisi petani gurem yang
menghadapi harga tenaga kerja yang lebih rendah dari tingkat upah sosial
digambarkan oleh garis isocost ss’; sementara garis isocost petani besar yang
menghadapi harga tenaga kerja yang relatif lebih besar dari nilai upah sosial
adalah bb’. Dengan asumsi diatas maka kombinasi penggunaan input optimal
bagi petani gurem adalah pada titik D, sementara petani besar pada titik F.
Dengan demikian efisiensi harga sosial akan terletak diantara dua kombinasi
penggunaan input tersebut yaitu pada titik E. Perbedaan harga faktor produksi
yang dihadapi oleh masing-masing petani gurem dan besar tersebut pada
dasarnya bersumber dari ketidak sempurnaan pasar faktor produksi yang
dihadapi oleh masing-masing pihak sebagaimana diuraikan berikut ini.
Lahan
Nilai faktor produksi lahan bagi petani besar berbeda dengan petani
gurem. Petani besar umumnya mewarisi lahan dari nenek moyang mereka yang
telah menjadi tuan tanah sejak dahulu kala. Disamping itu petani besar
umumnya menganggap usahatani bukan sebagai mata pencaharian utama
meskipun pada lahan yang dimiliki mereka mengusahakan berbagai cabang
usahatani seperti tanaman pangan, tanaman tahunan, ataupun peternakan.
Petani besar umunmya mengusahakan lahannya dengan menggunakan tenaga
L(tenaga kerja)
s Q
e
D
b E
F Q’
b’
s’ e’
0 K (kapital)
Page 10 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
kerja upahan sebab tenaga kerja yang tersedia di dalam keluarga relatif lebih
kecil dibandingkan lahan yang dimiliki. Kalaupun petani besar terlibat pada
usahatani, umumnya hanya sebagai pemegang kendali usaha. Dengan demikian
faktor produksi tenaga kerja justru dinilai mahal oleh petani besar. Disamping
sebagai lahan usahatani, petani besar umumnya melakukan pemilikan lahan
sebagai standar status sosial meskipun ada beberapa motif lain seperti investasi
untuk mengamankan nilai uang dari deraan inflasi.
Petani gurem hidup dari usahatani dan menempatkan lahan pertaniannya
sebagai sumber pendapatan utama keluarga. Beberapa dari petani gurem
tersebut ada juga yang mewarisi lahan pertanian dari orang tua mereka tetapi
pola pewarisan dengan membagi lahan secara merata justru menyebabkan
pemilikan lahan pertanian semakin kecil dari generasi satu ke generasi
berikutnya. Berbeda dengan petani besar, petani gurem umumnya hanya
memiliki pendapatan subsisten sehingga tidak memiliki cukup uang untuk
membeli lahan baru guna memperluas lahan pertaniannya. Lebih parah lagi
banyak petani gurem justru tidak memiliki lahan sehingga mereka harus
mengusahakan lahan usahatani dengan sistem sewa atau bagi hasil. Lahan
menjadi sangat berharga bagi petani gurem, sementara tenaga kerja keluarga
tersedia cukup banyak.
Modal
Petani gurem relatif tidak memiliki akses terhadap lembaga perkreditan formal.
Satu-satunya sumber modal yang dapat dijangkau oleh petani gurem adalah
lembaga perkreditan informal yang menawarkan modal dengan harga riil yang jauh
lebih mahal dari harga yang ditentukan lembaga formal pada pasar persaingan
sempurna. Jadi bagi petani harga modal dirasakan jauh lebih tinggi dari harga
sosial. Keterbatasan sumberdaya petani serta pasar yang tidak sempurna juga
menyebabkan harga sumberdaya lahan yang dihadapi petani gurem berbeda dengan
apa yang dihadapi petani besar. Petani besar relatif lebih mudah memperoleh lahan
bahkan dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan apa yang dapat
diperoleh oleh petani gurem.
Tenaga Kerja
Tenaga kerja bagi petani besar lebih mahal dari harga harus dibayar oleh petani
gurem. Bagi petani besar, tenaga kerja harus diperoleh dari pasar tenaga kerja
Page 11 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
dengan upah sebesar nilai produksi marginalnya (MVPL). Bagi petani gurem
penilaian upah tenaga kerja keluarga cenderung dualistis. Petani gurem akan
menggunakan faktor tenaga kerja tanpa memperhitungkan nilai produksi
marginal yang dihasilkan. Seringkali penggunaan tenaga kerja dalam keluarga
tersebut memiliki MVPL yang lebih rendah dari tingkat upah atau bahkan telah
mendekati nol. Namun sebaliknya apabila tenaga kerja tersebut hendak
memasuki pasar maka tingkat upah (w) yang diinginkannya cenderung lebih
besar dari MVPL. Hal ini dikarenakan petani menambahkan faktor resiko untuk
mencari pekerjaan dan meninggalkan lahan usahataninya ke dalam tingkat upah
yang diinginkannya. Jika misalnya peluang untuk memperoleh pekerjaan adalah
sebesar p (dimana p < 1) maka tingkat upah pasar yang diharapkan oleh
tenaga kerja adalah sebesar p.w = MVPL. Oleh karena p < 1 maka w > MVPL.
Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa petani besar sebagai pengguna
tenaga kerja tersebut harus membayar upah yang lebih besar dari MVPL. Harga
yang relatif lebih tinggi tersebut menyebabkan petani besar menggunakan lebih
sedikit tenaga kerja per satu satuan luas atau dengan kata lain petani besar
adalah inefisien secara sosial.
11.4. Perspektif Kebijakan
Dasar empiris utama dari argumentasi yang disajikan dalam bab ini adalah
temuan bahwa produktivitas akan semakin rendah sejalan dengan meningkatnya
luas lahan usahatani. Hal ini nampaknya lebih disebabkan oleh penggunaan
lahan yang kurang intensif oleh petani pemilik lahan luas. Sementara itu,
berdasarkan teori ekonomi fenomena tersebut merupakan akibat dari perbedaan
kondisi pasar yang dihadapi oleh petani gurem dan petani besar. Petani besar
menempatkan lahan dan modal sebagai sumber daya yang melimpah sehingga
memilih metode usahatani ekstensifikasi atau dengan alternatif lain yakni
dengan mensubsitusi tenaga kerja dengan modal (mekanisasi). Dua alternatif
keputusan produksi ini menyebabkan bias analisis atas biaya oportunitas.
Berangkat dari perbedaan kondisi pasar yang dihadapi oleh petani gurem
dan besar tersebut strategi pembagunan yang diarahkan pada petani gurem
diduga dapat merealisasi dua tujuan pembangunan sekaligus yakni pencapaian
dan pemerataan efisiensi sosial. Pada beberapa negara hal ini menjadi dasar
reformasi agraria yang cenderung memihak usahatani kecil. Secara umum
Page 12 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
argumen atas kebijakan yang berkaitan dengan ukuran usahatani ini
diantaranya adalah:
a. bahwa pembangunan sumberdaya seharusnya dilakukan pada sektor
usahatani kecil
b. jika ada pilihan investasi, misalkan skema produksi komoditas baru, maka
seyogyanya dilakukan dalam bentuk proyek usahatani kecil
c. bahwa kebijakan harga faktor produksi yang memihak pada metode
usahatani ekstensifikasi dan mekanisasi sebaiknya ditiadakan.
Ketidakjelasan argumentasi teoritis terkait dengan ukuran usahatani yang perlu
dicermati lebih jauh adalah:
a. masalah skala usahatani
b. pembedan antara petani gurem dan besar, serta
c. pengelompokan usahatani kecil dan usahatani keluarga.
Beberapa argumentasi ini jika tidak dicermati lebih jauh dapat mengakibatkan
kesalahan persepsi antara skala dan ukuran usahatani yang pada gilirannya
dapat menyebabkan kesalahan pada proses pembuatan kebijakan yang
berkenaan dengan pembangunan pertanian secara keseluruhan.
11.5. Ringkasan Materi
Bab ini membahas proposisi bahwa produktivitas sumberdaya yang
digunakan memiliki hubungan negatif dengan ukuran usahatani. Proposisi ini
didasarkan pada temuan data empiris yang menunjukkan perbedaan
produktivitas fisik dari luas lahan yang berbeda. Produktivitas fisik tersebut
menunjukkan penurunan seiring dengan meningkatnya ukuran usahatani.
Secara implisit hal ini menunjukkan pengusahaan lahan yang semakin kurang
intensif pada usahatani yang semakin luas.
Aspek harga faktor produksi dapat digunakan untuk menjelaskan
rendahnya intensitas penggunaan lahan oleh petani besar. Perbedaan harga ini
terjadi karena pasar faktor produksi yang tidak sempurna sehingga biaya
oportunitas faktor produksi tersebut berbeda. Selain itu fenomena ini dapat
diartikan sebagai kinerja pasar tenaga kerja yang menyebabkan upah pasar
menjadi lebih tinggi dari biaya oportunitas sosial tenaga kerja.
Page 13 of 13
Mata Kuliah / MateriKuliah 2012 Brawijaya University
TUGAS DAN DISKUSI
Susunlah makalah kelompok tentang konsep skala ekonomi dan disekonomi
usahatani tanaman pangan di Indonesia. Sertakan kasus-kasus empirik yang
datanya terlampir. Dari kasus-kasus relevan yang telah dihimpun, mahasiswa
harus menganalisis sesuai kerangka teoritis yang telah dipelajari pada modul 11.
REFERENSI Debertin, D.L., 1986, Agricultural Production Economics, Macmillan Publishing Company,
New York Ellis, F., 1988, Peasant Economics, Farm Household and Agrarian Development,
Cambridge University Press, Worcester, Great Britain
Samuelson, P.A., 1970, A Foundation of Economics Analysis, Atheneum, New York
RANCANGAN TUGAS
Tujuan Tugas :
Menjelaskan kembali definisi dan memahami konsep teoritis bahan kajian pada modul.
Uraian Tugas:
1. Obyek garapan: tugas dan latihan soal pada modul 11
2. Batasan tugas: a. Tugas yang diberikan pada modul 11 adalah tugas individual dikumpulkan dalam
waktu satu minggu melalui e-learning b. Mahasiswa diperkenankan mendiskusikan jawaban tugas dengan anggota
kelompok yang lain
c. Mahasiswa diwajibkan menghimpun seluruh materi perkuliahan baik print out modul, hand out, catatan kuliah dan tugas-tugas yang diberikan selama satu
semester d. Menghimpun dan mengelola informasi dalam urutan yang logik dan mengelola
informasi agar dapat menjadi sumber pembelajaran yang baik adalah salah satu
learning skill yang harus dimiliki oleh mahasiswa. Oleh karena itu seluruh materi belajar yang telah dihimpun akan dievaluasi oleh tim dosen sebagai indikator
proses belajar Anda. 3. Metodologi dan acuan tugas: a. Tugas individu diketik dengan margin kiri dan kanan masing-masing 3 cm. Tuliskan
nama, NIM pada halaman cover. Berikan nomor halaman pada lembar kerja Anda di sudut kanan bawah. Jangan lupa menuliskan keterangan tugas yang Anda
kerjakan dan pengerjaan harus berurutan dari tugas nomor 1,2 dan seterusnya. b. Tugas individu dikumpulkan tiap minggu, pengaturan jadual pengumpulan tugas
diumumkan secara online pada e-learning
4. Keluaran tugas: satu dokumen tugas individu yang diupload.
Kriteria Penilaian:
1. Kejelasan dan kelengkapan penguasaan konsep-konsep utama modul 11.
2. Kemampuan mengomunikasikan gagasan kreatif dan partisipasi pada diskusi online