BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya-
upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Perkembangan ekonomi dewasa ini menunjukkan arah yang semakin bergerak cepat
dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu diperlukan berbagai
kebijaksanaan dan penyesuaian dibidang perekonomian termasuk sector Perbankan
sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkokoh perekonomian
nasional. Sektor Perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga
intermediasi dan menunjang system pembayaran merupakan factor yang sangat
menentukan. Sehubungan dengan itu diperlukan penyempurnakan terhadap system
Perbankan nasional dan merupakan tanggung jawab antara pemerintah, bank-bank itu
sendiri dan masyarakat pengguna jasa bank, tangung jawab bersama itu akan
memelihara tingkat kesehatan Perbankan, sehingga dapat berperan secara maksimal
dalam perekonomian nasional.
Perbankan sebagai sektor yang vital dan strategis mendapat kemudahan-
kemudahan yang diberikan oleh pemerintah, antara lain paket kebijaksanaan
1
pemerintah (deregulasi), yang bertujuan untuk memberikan kemudahan mendirikan
bank-bank baru maupun perluasan membuka cabang-cabang di daerah-daerah serta
perubahan status dari Bank pemerintah menjadi bentuk perusahaan perseroan.
Perubahan yang timbul oleh adanya kemudahan tersebut disatu sisi memang
menguntungkan tetapi disisi lain juga menjadikan persaingan antar bank semakin
ketat. Dengan adanya tingkat persaingan antar bank mengakibatkan setiap bank saling
berlomba untuk memberikan kredit kepada nasabah debiturnya, hal ini akan
berdampak semakin tingkat bunga kredit bank semakin kadang-kadang tidak rational
dalam memberikan kredit dengan bunga rendah, disamping itu banyak sekali bank-
bank yang melakukan terobosan tetapi melanggar peraturan Bank Indonesia.
Adanya kebijaksanaan tersebut pemerintah menunjuk agar pembinaan dan
pengawasan bank dapat terlaksana secara efektif maka Bank Indonesia diberikan
kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan perijinan, pembinaan
dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap Bank yang tidak memenuhi
peraturan Perbankan yang berlaku.
Salah satu kebijaksanaan Perbankan yang diterbitkan Pemerintah adalah
tentang Bank Perkreditan Rakyat, penyempurnakan system Perbankan di Indonesia
ditempuh antara lain dengan menyerderhanakan jenis Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat. UU No.7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10
Tahun 1998 tentang Perbankan, Bank Perkreditan Rakyat diharapkan untuk
2
membiayai usaha mikro dan kecil terutama dibidang pertanian dan masyarakat
didaerah pedesaan. Bank Perkreditan Rakyat selama ini telah membiayai usaha mikro
dan kecil disektor pertanian, perdagangan, jasa-jasa, dan lain-lain termasuk
konsumsi.1
Karakteristik kredit Bank Perkreditan Rakyat sebagai lembaga pembiayaan
UMKM (Usaha Menengah Kecil Mikro ) antara lain : Plafon kecil, jangka waktu
singkat, tingkat bunga relatif tinggi. Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat
dijalankan dengan memenuhi tuntutan nasabah antara lain prosedur yang sederhana,
waktu pemrosesan yang singkat.
Masalah dan tantangan yang dihadapi Bank Perkreditan Rakyat antara lain
Permodalan yang terbatas, kualitas SDM yang relaif belum memadai, disamping itu
persaingan bank semakin ketat baik antar Bank Perkreditan Rakyat sendiri maupun
Bank Umum serta lembaga keuangan lain. Sehingga penyebaran Bank Perkreditan
Rakyat terkonsentrasi di Jawa Bali. Kontribusi kredit Bank Perkreditan Rakyat
kepada UMKM relatif kecil (4,1 %) sedangkan untuk penyangga dana likuiditas
sebagai pengayom Bank Perkreditan Rakyat sangat terbatas, kredit yang tersalur pada
sektor pertanian relatif kecil (6,1 %) dari seluruh kredit Bank Perkreditan Rakyat
menurut data Bank Indonesia tahun 2010.2
1 Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR 2 Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR
3
Harapan pemerintah terhadap perkembangan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana perubahan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka Bank
Perkreditan Rakyat dapat berperan sebagai berikut:
1. Berperan sebagai Ujung Tombak Lembaga Keuangan Mikro, serta
Mendukung Pengembangan Ekonomi Pedesaan.
Industri Bank Perkreditan Rakyat diharapkan mampu menjadi lembaga
pembiayaan yang sehat, kuat dan produktif yaitu Industri Bank
Perkreditan Rakyat yang didukung oleh : Permodalan yang kuat, SDM
kompeten dan berintegritas tinggi dan wawasan yang luas, operational
yang efisien.
2. Bank Perkreditan Rakyat dapat memberikan pelayanan kepada usaha
mikro kecil secara merata diseluruh wilayah Indonesia.
Salah satu pokok permasalahan dalam Bank Pekreditan Rakyat agar
menjadi Bank yang sehat adalah sistem pengawasan dalam pemberian
kredit, karena efektifitas pengawasan yang tidak memadai akan
menjadikan industri Bank Perkreditan Rakyat mengalami kegagalan baik
sistem SDM maupun dalam pengawasan kredit yang diberikan kepada
debiturnya. Sehingga menciptakan Bank Perkreditan Rakyat yang tidak
sehat.3
3 Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR 4
Sistem Pengawasan Pemberian Kredit dapat diukur efektivitasnya dan
merupakan komponen penting pengawasan dengan hubungan hukum dalam tata kerja
managemen Bank Perkreditan Rakyat ( BPR) yang sehat dan aman serta membantu
pengurus Bank Perkreditan Rakyat (BPR), menjamin pelaporan keuangan dan
manajerial yang dapat dipercaya, meningkatkan kepatuhan Bank Perkreditan Rakyat (
BPR ) terhadap ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta
mengurangi resiko terjadinya kerugian, penyimpangan dan pelanggaran aspek kehati-
hatian.
Salah satu pihak yang berkepentingan terhadap Sistem Pengendalian Internal
adalah Sistem Pengawasan Intern dimana didalamnya terdapat Pengawasan dan
Pemeriksaan Intern yang lebih dikenal dengan Internal Control / Audit.
Terselenggaranya Sistem Pengendalian Intern yang handal dan efektif
menjadi tanggung jawab dari pengurus dan para pejabat Bank Perkreditan Rakyat,
selain itu pengurus juga berkewajiban untuk meningkatkan risk culture yang efektif
pada organisasi Bank Perkreditan Rakyat dan memastikan hal tersebut melekat di
setiap jenjang organisasi.
Sistem Pengendalian Intern perlu mendapat perhatian mengingat bahwa salah
satu faktor penyebab terjadinya kesulitan usaha Bank Perkreditan Rakyat adalah
adanya berbagai kelemahan dalam pelaksanaan Sistem pengawasan dan
Pengendalian Intern Bank Perkreditan Rakyat antara lain:4
4PT UKABIMA , 2005.Seminar di Jakarta , internal control/audit proseduresby Ukabima Team5
a. Kurangnya efektifitas mekanisme pengawasan, tidak jelasnya
akuntabilitas dari pengurus bank dan kegagalan dalam mengembangkan
budaya pengendalian intern pada seluruh jenjang organisasi.
b. Kurang memadainya pelaksanaan edentifikasi dan penilaian atas resiko
dari kegiatan operasional bank Bank Perkreditan Rakyat..
c. Tidak ada atau gagalnya suatu pengendalian pokok terhadap operasional
bank, seperti pemisahan fungsi, otorisasi, verifikasi, dan kaji ulang atas
resiko dan kinerja bank.
d. Kurangnya komunikasi dan informasi antar jenjang dalam organisasi
bank, khususnya informasi di tingkat pengambilan keputuan tentang
penurunan kualitas risiko dan penerapan tindakan perbaikan.
e. Kurang memadai atau efektifnya program audit intern dan kegiatan
pemantauan lainnya.
f. Kurangnya komitmen manageman bank untuk melakukan proses
pengendalian intend dan penerapkan sanksi yang tegas terhadap
pelanggaran ketentuan yang berlaku, kebijakan dan prosedur yang
ditetapkan oleh Bank Perkreditan Rakyat.
Kebijakan Perkreditan Bank adalah aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang
disusun untuk menentukan arah operational / bisnis perkreditan Bank selain itu
kebijakan juga merupakan:5
5 Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR6
1. Sarana mewujudkan budaya kredit yang akan dikembangkan di Bank pada
prinsipnya juga mengandung makna-makna filosofis sebagai berikut:
a. Sebagai visi yang komprehensif mengenai tata laksana perkreditan
bank serta komitmen bersama bahwa keputusan-keputusan di bidang
perkreditan harus konsisten dengan kepentingan stake holder dan
sasaran strategis Bank secara keseluruhan.
b. Sebagai pedoman untuk mengukur dan menilai resiko yang dapat
dikomunikasikan, mudah dipahami dan akurat.
c. Sebagai sarana menumbuhkan dan membudayakan kebijakan kredit
yang konserfativ atau pruden dengan tetap mengacu pada konsep
keseimbangan di antara resiko, keuntungan dan peluang.
d. Sebagai sarana menumbuhkan rasa tanggungjawab terhadap kualitas
analisa kredit, keputusan di bidang perkreditan dan tanggungjawab
dalam melakukan monitoring kualitas kreditnya.
2. Sarana informasi bagi seluruh jajaran (pegawai dan direksi) dibidang
perkreditan dalam memahami dan melaksanakan keputusan-keputusan
kredit dan relationship management.
3. Sarana untuk memberikan dasar ruang lingkup dan alokasi fasilitas kredit,
tata cara pemberian kredit, pelayanan kredit, dan penggunaan /penarikan
kredit secara umum.
7
Pada pembahasan dimuka telah disimpulkan bahwa perkreditan merupakan
salah satu usaha yang penting bagi dunia perbankan serta dari perkreditan akan
memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar pula, namun dibalik itu
ternyata pengelolaan perkreditan mempunyai berbagai masalah yang cukup rumit
pula antara lain dalam:6
1. Pemahaman masing-masing jenis usaha yang akan dibiayai dengan kredit
hal ini dapat dimengerti bahwa di masyarakat terdapat ribuan jenis usaha
yang mengandung permasalah satu sama lain berbeda, sedangkan di lain
pihak perbankan tetap dituntut untuk selalu akrab dengan permasalahan-
permasalah para nasabahnya.
2. Masalah perkreditan bersifat “ Kasuasistis “ artinya masalah yang ada
pada satu debitur akan berbeda dengan debitur yang lain sehingga aparat
perbankan dituntut harus mempunyai daya analis yang cukup tajam dan
secara cepat dapat pula mengindentifikasi dari permasalah yang dibadapi
para nasabahnya.
3. Pengamanan masalah perkreditan cukup kompleks sehingga untuk
penanganannya sering-sering melibatkan kerja sama berbagai disiplin ilmu
pengatehuan/berbagai disiplin profesi antara lain : ahli hukum, ahli
pemasaran, akuntan, insinyur berbagai bidang lainnya.
6 Teguh Pudjo Mulyono 1987, Management Perkreditan Bagi Bank Komersiil BPFE Yogyakarta Hal.28
4. Untuk dapat melaksanakan kegiatan kredit dengan baik diperlukan
sejumlah dana yang besarnya seimbang dengan biaya yang relatip lebih
rendah dari rata-rata suku bunga kredit. Biaya akan ditekan pada jumlah
paling minim agar jangan terjadi “ idle fund “
5. Dalam kegiatan perkreditan banyak tersangkut dengan ketentuan-
ketentuan perundang-undangan, peraturan pemerintah maupun kebijakan-
kebijakan pemerintah yang sering berubah dari suatu periode ke periode
yang lannya, bahkan kegiatan perkreditan inipun juga sangat terpengaruh
dari arus politik yang sedang berkuasa.
6. Mengingat banyak masalah yang tersangkut dalam kegiatan perkreditan
dan juga mengingat prosesnya yang berlangsung untuk jangka waktu yang
cukup lama. Maka akan menimbulkan pula masalah “ administrasi “ dan
”pengawasan “ yang cukup rumit.
7. Pihak bank akan dituntut profisional dalam melakukan kebijakan bank,
karena tingkat permasalahan yang komplek, harus secara jeli menganalisa
terhadap setiap permohonan kredit oleh debitur. Disamping itu mengingat
jenis-jenis kredit itu mempunyai aneka ragam yang tak terbatas.
Serta lain-lain kesulitan, permasalahan yang masih sangat banyak, yang tidak
mungkin untuk dapat diuraikan satu per satu dalam tulisan ini.
Selanjutnya di samping adanya berbagai kesulitan/masalah-masalah seperti
tersebut diatas. Yang harus dapat diselaikan dengan baik, masih ada pula faktor-
9
faktor yang harus dipertimbangkan serta diperhatikan secara seksama oleh para
pengelola perkreditan agar kredit-kredit yang telah diberikan kepada para debiturnya
dapat diselesaikan dengan baik, baik pokoknya maupun bunga dari kredit itu sendiri.
Adapun faktor yang menyebabkan kegagalan dalam pemberian kredit antara lain :7
1. Faktor Intern Bank
a. Adanya “self dealing“ atau tindak kecurangan dari aparat pengelola
kredit.
b. Adanya kurang pengetahuan / ketrampilan pengelola kredit.
c. Kurang baiknya managemen informasi yang dibangun oleh bank
sendiri.
d. Lemahnya organisasi dan managemen dan tidak adanya kebijakan
perkreditan yang baik pada bank bersangkutan.
e. Kurangnya tingkat pengawasan kredit terhadap para debiturnya.
f. Adanya sikap yang ceroboh, lalai dan menggampangkan dari
pengelola perkreditan.
2. Faktor Extern Bank
a. Kegiatan perekonomian makro / kegiatan politik kebijaksanaan
pemerintah yang di luar jangkauan bank untuk diperkirakan.
b. Adanya itikad baik dari nasabah debitur yang diragukan.
7 Teguh Pudjo Mulyono, 1987. Managemen Perkreditan Bagi Bank Komersial, BPFE,Yogyakarta Hal. 6.
10
c. Adanya persaingan yang cukup tajam di antara perbankan itu sendiri
sehingga bank bersangkutan tidak mampu untuk melakukan seleksi
resiko usahanya di bidang perkreditan.
d. Adanya tekanan-tekanan dari berbagai kekuatan politik di luar bank
sehingga menimbulkan kompromi terhadap prinsip-prinsip yang
sehat.
e. Adanya kesulitan / kegagalan dalam proses likuidasi dari perjanjian
kredit yang telah disepakati antara nasabah dengan baik.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pemberian kredit dan agar
pengawasan berjalan secara efektif, maka kami terdorong untuk mengadakan
penelitian guna menyusun skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS HUKUM
PENGAWASAN INTERNAL BANK TERHADAP PEMBERIAN KREDIT
KEPADA NASABAH DI PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR)
UKABIMA SEJAHTERA CILACAP”. Penelitian ini dilakukan pada BPR di kota
Cilacap salah satu BPR yang cukup berkembang dan pengawasan cukup baik.
11
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank terhadap
Pemberian Kredit kepada Nasabah di PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.
2. Bagaimanakah pengaruh faktor Motivasi Pengawasan, Kepatuhan Hukum
dan Kerjasama Bank dengan Nasabah terhadap Efektivitas Hukum
Pengawasan Internal Bank terhadap Pemberian Kredit kepada Nasabah di
PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui efektivitas hukum pengawasan internal Bank terhadap
pemberian kredit kepada Nasabah di PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.
2. Untuk mengetahui faktor motivasi pengawasan, kepatuhan hukum, dan
kerjasama bank dengan nasabah terhadap efektivitas hukum pengawasan
internal bank dalam pemberian kredit di PT. Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.
D. Kegunaan Penelitian.
1. Kegunaan Teoritis
12
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dibidang Hukum Perdata, khususnya Hukum
Perbankan sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan efektivitas sistem pengawasan internal pada Bank
Perkreditan Rakyat khususnya terhadap PT. Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) UKABIMA SEJAHTERA CILACAP.
2. Kegunaan Praktis
2.1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan untuk
evaluasi terhadap undang-undang perbankan dan undang-undang Bank
Indonesia khususnya Bank Perkreditan Rakyat serta memberikan
informasi bagi pemerintah dan masyarakat pentingnya sistem fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh internal bank dan external Audit dari
BPKP dan Bank Indonesia.
2.2. Bagi peneliti, hasil penelitian merupakan sarana untuk menambah dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan efektivitas
sistem pengawasan dalam pemberian kredit di Bank Perkreditan Rakyat
(BPR), serta menambah perbendaharaan teorisasi dan aplikasi dalam
praktek Perbankan dalam statusnya peneliti sebagai pengawas pada Bank
Perkreditan Rakyat.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN UMUM BANK
1. Pengertian Bank
Pengertian Bank dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, dalam Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa:
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Apabila kita menelusuri sejarah dan termohologi “ bank “ kata bank
berasal dari bahasa Italy “banca“ yang berarti bence yaitu suatu bangku
tempat duduk. Sebab, pada zaman pertengahan, pihak bankir Italy yang
memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk
di bangku-bangku dihalaman pasar ( Abdulrrachman A, 1991 :80).
Dalam suatu kamus, kata “bank“ diartikan sebagai : (webster, Noah
1972 : 146)8
8 Munir Fuady, 1999. Hukum Perbankan Modern, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1314
1. Menerima deposito uang, custody, menerbitkan uang, untuk
memberikan pinjaman dan diskonto, memudahkan penukaran fund-
fund tertentu dengan cek, notes, dan lain-lain, dan juga bank
memperoleh keuntungan dengan meminjamkan uangnya dengan
memungut bunga.
2. Perusahaan yang melaksanakan bisnis bank tersebut.
3. Gedung atau kantor tempat dilakukannya transaksi bank atau tempat
beroperasinya perusahaan perbankan.
Fungsi dan tujuan perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan
Pasal 4 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan :
1. Adalah fungsi utama Perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur
dana dari masyarakat.
2. Perbankan bertujuan menunjang pelaksanakan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan
stabilitas nasional ke arah kesesjahteraan masyarakat banyak.
Menurut pendapat Muhamad Djumhana dalam bukunya hukum
Perbankan Di Indonesia, Bank berfungsi :
a. Pedagang dana (money lender), yaitu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara effektif dan effisien. Bank menjadi tempat untuk menitipkan, dan penyimpanan uang yang dalam prakteknya sebagai tanda penitipan dan penyimpanan uang tersebut, maka kepada penitip dan penyimpan diberikan selembar kertu tanda bukti.
15
Sedangkan dalam fungsinya sebagai penyalur dana, maka bank memberikan kredit, atau membelikannya kedalam surat-surat berharga.
b. Lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran uang Bank bertindak sebagai penghubung antara nasabah yang satu dengan yang lainnya jika keduanya melakukan transaksi. Dalam hal ini kedua orang tersebut tidak langsung melakukan pembayaran tetapi cukup memerintahkan pada bank untuk menyelesaikan 9
Oleh karena itu bank dalam melaksanakan fungsinya harus menghindari hal-hal berikut :
1) Sistem free fight liberalisme (kebebasan yang menimbulkan eksploitasi (terhadap manusia dan bangsa).
2) Sistem etatisme (pemerintah bersifat dominant, mendesak dan mematikan poyrmsi dan daya kreasi unit-unit ekonomi luar sector Negara).
3) Persaingan tidak sehat serta memusatkan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli atau mohopsoni :10
2. Jenis-Jenis Bank
Didalam Undang-undang Perbankan No.10 Tahun 1998 telah diatur
beberapa jenis Perbankan, dimana setiap jenis bank dapat dilihat dari
fungsinya, serta kepemilikannya juga luasnya kegiatan operasionalnya.
1) Bank Sentral
Yang menjadi Bank Sentral adalah Bank Indonesia, yang mengatur
lebih lanjut terdapat dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Dalam
pasal 8 Undang-undang nomor 23 Tahun 1999 ditentukan bahwa Bank
Indonesia bertugas untuk :
9 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT Citra Aditya Banti, Bandung, 2000, hal xi.10 Ibid, Hal 5.
16
a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
b. Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran.
c. Mengatur dan mengawasi bank.
Tugas Bank Indonesia sesuai Pasal 24 sampai dengan 35 UU No.
23 tahun 1999, tugas Bank Indonesia sebagai pengawas Perbankan hanya
sampai pada tahun 2002, yang kemudian tugas mengawasi Bank akan
dilakukan oleh Lembaga Pengawas Sector Jasa Keuangan ( LPJK )
berdasarkan Undang-undang No. 21 tahun 2011 tentang otoritas Jasa
Keuangan atau Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan yang
pelaksanaannya untuk perbankan dilakukan paling lambat tanggal 31
Desember 1013.
2) Bank Umum
Adalah bank yng dapat memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran, dimana dalam pelaksanakan kegiatan usahanya dapat secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah Pendirian Bank Umum
dapat dilakukan oleh:
a. Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
b. WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing
dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.11
3) Bank Campuran
11 Ibid, Hal.37.17
Adalah Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih
Bank Umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga
Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang dimiliki
sepenuhnya oleh warga Negara Indonesia, dengan satu atau lebih yang
berkedudukan di luar negeri.
4) Bank Devisa
Adalah Bank yang melayani lalu lintas pembayaran baik dalam dan
luar negeri misalnya melayani pembukaan dan pembayaran L/C.sebagian
besar transaksi dalam bentuk valuta asing.
5) Bank Berdasarkan Prinsip Syariah
Bank Berdasarkan Prinsip Syariah ini diatur dalam Undang-undang
Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang dilatarbelakangi adanya
suatu keyakinan dalam agama Islam yang berdasar pada prinsip syariah,
yaitu :
1. Prinsip bagi hasil (Mudharabah ).
2. Prinsip penyertaan modal ( Musharakah ).
3. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Murabahah),
atau pembiayaan barang modal berdasar sewa murni tanpa pilihan
18
(Ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari bank oleh pihak lain (Ijarah Iqtina ).
6) Bank Perkreditan Rakyat
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
(UU No.10 Tahun 1998 tertang perbankan ). Sedangkan Bank Perkreditan
Rakyat menurut Sukmadi (1994:17 ) adalah bank sekunder yang berfungsi
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa
deposito berjangka atau tabungan serta pemberian kredit.
3. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
BPR berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Dengan tujuan untuk melaksanakan Pembangunan Nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas ke arah
peningkatan kesesjahteraan rakyat banyak. Sasaran BPR adalah melayani
kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan
pensiunan karena sasaran ini belum dapat terjangkau oleh bank umum dan
untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan
kesempatan usaha, pemerataan pendapatan, dan agar mereka tidal jatuh ke
tangan renternir atau pelepas uang.
19
3.1. Tujuan BPR
BPR dalam rangka ikut membantu meningkatkan produktivitas dan
penghasilan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah, mempunyai
beberapa tujuan dalam menjalankan usaha diantaranya :
a. Menunjang kelancaran penyediaan sarana produksi terutama
permodalan dalam rangka pembangunan daerah pada umumnya
dan pembangunan desa pada khususnya.
b. Menciptakan pemerataan dalam kesempatan berusaha segolongan
ekonomi lemah di pedesaan dan menciptakan lapangan kerja
secara langsung.
c. Meningkatkan produktifitas usaha pertanian dan perdagangan di
pedesaan.
d. Meningkatkan pendapatan didesa secara nyata karena usaha kecil
dan menengah.
e. Meningkatkan taraf hidup dengan jalan memberikan kredit kepada
pedagang kecil usaha mikro.
3.2. Fungsi BPR
Menurut Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan
untuk mencapai tujuan tersebut diatas BPR juga menjalankan fungsinya
sebagai :
20
a. Memberikan permodalan dengan sistem perkreditan yang mudah
murah dan mengarah pada masyarakat pedesaan.
b. Menyediakan kelancaran penyediaan sarana permodalan untuk
kegiatan produktif.
c. Meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama masyarakat
pedesaan, dan meningkatkan untuk gemar menabung.
d. Melindungi masyarakat pedesaan dari lintah darat.
e. Untuk membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan
pembangunan daerah
Dari beberapa difinisi dan penggolongan Bank, dapat diketahui
bahwa bank memegang peranan penting dalam kehidupan perekonomian
yang merupakan pelaksanaan kegiatan moneter dan menjadi penghimpun
dana dalam jumlah yang besar dalam masyarakat. Dari uraian tersebut
diatas agar tidak terjadi pelanggaran dalam pelaksanakan pemberian
kredit pada Bank Perkreditan Rakyat, maka perlu adanya tindakan efektif
terhadap pengawasan dalam pemberian kredit kepada para nasabah
debitur, dan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia secara
teratur setiap tahunnya dilakukan juga audit dari lembaga yang
berkompeten, begitu juga audit dari pihak intern bank sendiri dimana
hasilnya akan dipakai sebagai pegangan oleh bank itu sendiri. Untuk
21
mengetahui apakah prosedur Bank Indonesia telah dilaksanakan atau
dilanggar.
Apakah efektivitas pengawasan yang dilakukan selama ini sudah
tepat dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi efektivitas sistem
pengawasan dalam pemberian kredit kepada nasabah apabila belum
efektiv maka sistem apa yang akan diterapkan sehingga menjamin
kinerja kesehatan Bank dan tidak melanggar aturan dan ketentuan Bank
Indonesia. Disamping itu apabila terjadi pelanggaran, maka tindakan apa
yang segera (represif /prefentif ) dilakukan oleh menegemen untuk
menyelamatkan Bank dari kerugian dan pelanggaran.
Bank harus mengawasi juga hubungan hukum atas pengajuan
kredit sehingga kredit itu disetujui dan kredit itu lunas tepat pada
waktunya. Dalam hal ini Bank Perkreditan Rakyat perlu menerapkan
sistem pengawasan atau prinsip-prinsip fungsi pengawasan kredit dari
permohonan kredit sampai dengan pelunasan kreditnya dan bersifat
menyeluruh sehingga kredit tersebut lunas sesuai dengan jangka
waktunya.
Tujuan pengawasan adalah mengamati pelaksanakan tugas apakah
telah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan undang-
undang Bank Indonesia, apakah pelaksanakan tugas direksi staf dan
22
karyawan telah melampaui kewenangannya, atau sesuai dengan laporan
yang telah disusun sebagai laporan rencana kerja tahunan ke Bank
Indonesia sesuai target, apakah pemberian kreditnya melampaui Batas
Minimum Pemberian Kredit ( BMPK ), bagaimana jaminan bank, sektor
apa yang tidak boleh dibiayai dan peraturan Bank Indonesia yang telah
dikeluarkan yang harus dilaksanakan oleh Bank Perkreditan Rakyat
( BPR ) antara lain:
1. Peraturan BI No.8/18/PBI/2006: Tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum BPR.
2. Peraturan BI No.8/19/PBI/2006: Tentang Kualitas Aktiva
Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif BPR.
3. Peraturan BI No.8/20/PBI/2006: Tentang Transparasi Kondisi
Keuangan BPR.
4. Peraturan BI No.8/26/PBI/2006: Tentang Bank Pekreditan Rakyat.
5. Peraturan BI No.13/1/PBI/2011: Tentang Tingkat Kesehatan Bank
Umum.
TINJAUAN UMUM KREDIT
1. Pengertian Kredit
23
Sebelum membahas seluk beluk manajemen perkreditan, maka harus
mengerti kredit itu sendiri yang mempunyai demensi beraneka ragam,
Dimulai dari kata “ Kredit “ yang berasal dari bahasa Yunani “ Credere “ yang
berarti “ Kepercayaan “ atau dalam bahasa latin “ Creditum “ yang berarti
keperyayaan dan kebenaran12 dalam praktek sehari-hari pengertian ini
selanjutnya berkembang lebih luas lagi antara lain :
1) Kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau
mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan
dilakukan ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang telah
disepakati.
2) Sedangkan pengertian yang lebih mapan untuk kegiatan perbankan di
Indonesia, yang telah dirumuskan dalam bab.1, pasal 1.2 Undang-
undang Pokok Perbankan No.7 tahun 1992 jo Undang-undang Npo. 10
tahun 1998 yang merumuskan :
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara Bank
dengan lain pihak dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah
bunga yang telah ditentukan “.
12 Dana F.Kellerman “ The New Grolier Wester International Dictionary “ Grorier, New York,1971, hal.237
24
Dalam praktek sehari-hari persetujuan kredit dinyatakan dalam bentuk
perjanjian tertulis baik dibawah tangan maupoun secara notariil, dan sebagai
pengaman pihak peminjam akan memenuhi kewajibannya akan menyerahkan
suatu jaminan baik yang bersifat kebendaan maupun bukan kebendaan.
2. Syarat-Syarat Kredit
Untuk kredit telah dikenal adanya prinsip 5 C atau the five crediet
analisis ada yang menyebut proinsip 6 C atau the six crediet analisis.
kelima prinsip yang klasik ini meliputi 13:
1) Character
Kehidupan moral salah satu factor utama satu kepercayaan yaitu
suatu kepercayaan yang mendasari keperyayaan yang positip, menilai
sampai sejauh mana integritas dari debitur tersebut untuk menyelesaikan
utangnya.
2) Capacity
Yaitu menilai kepada calon debituir mengenai kemampuan
melunasi kewajiban-kewajibannya. Pendekatan historical, yaitu usahanya
selalu mengalami kegagalan, atau malahan berkembang dapat dilakukan
melalui berbagai pendekatan antara lain :
13 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 11 – 17
25
a. Pendekatan historis, apakah bersangkutan usahanya banyak
mengalami kegagalan, atau selalu menunjukan perkembangan
yang semakin maju dari waktu ke waktu.
b. Pendekatan finansiil, yaitu dari posisi neraca dan laporan keuangan
Rugi-Laba beberapa periode terakhir.
c. Pendekatan edukasional, yaitu pendidikan para pengurus
perusahaan calon debitur.
d. Pedekatan yuridis, apakah calon debitur secara yuridis mempunyai
kapasitas untuk mewakili dirinya ataupun badan usaha yang
diwakilinya untuk mengadakan perjanjian kredit dengan bank.
e. Pendekatan managerial, yaitu sampai sejauh manakah tingkat
ketrampilan dan kemampuan nasabah dalam melaksanakan fungsi
managemen dalam memimpin perusahaannya.
f. Pendekatan tehnis, yaitu penilaian sampai sejauh kemampuan
calon debitur mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga
kerja, sumber bahan baku, peralatan kerja/mesin-mesin
administrasi dan keuangan, bahkan sampai merebut market share.
3) Capital
26
Yaitu jumlah dana/modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur.
Hal ini dapat berupa barang-barang bergerak dan tidak bergerak. Biasanya
calon debitur yang telah menanamkan dananya dalam proporsi yang besar
dibandingkan dengan kredit yang diperolehnya dari Bank tentu akan
melakukan usahanya dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab
biasanya akan berhasil.
4) Collateral
Yaitu barang jaminan yang diserahkan oleh debitur sebagai jaminan
atas kredit yang diterimanya. Biasanya secara yuridis cukup sempurna
bila jaminan tersebut marketable artinya mudah dijual atau dicairkan.
5) Condition of economy
Yaitu situasi dan kodisi politik, ekonomi, budaya dan lain-lain yang
mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat maupun untuk
suatu kurun waktu tertentu yang memungkinkan akan mempengaruhi
kelancaran usaha dan perusahaan yang memperoleh kredit.
6) Constraint
Yaitu kondisi yang tidak mungkin untuk melakukan usaha ditempat
itu walaupun unsur 5 C cukup baik (contoh usaha ternak babi didaerah
mayoritas penduduknya beragama islam).
3. Kebijaksanaan dan Asas-Asas Kredit
27
Untuk mengatasi berbagai kerumitan serta dalam upaya agar kegiatan
perkreditan tersebut dapat berjalan dengan lancar, maka diperlukan suatu
rangkaian peraturan-peraturan yang ditetapkan terlebih dahulu baik secara
tertulis ataupun tidak tertulis sebelum pelaksanakan perkreditan itu
berlangsung. Rangkaian peraturan tersebut disebut sebagai kebijaksanaan
kredit (Credit policy). Keputusan kredit tersebut harus bersifat tehnis dan
mengandung keputusan-keputusan politis.14
Azas pokok yaitu:15
1) Azas likwiditas, yaitu suatu azas yang mengharuskan bank untuk tetap
dapat menjaga tingkat likwiditasnya, karena satu bank yang tidak
likwid akibatnya sangat parah atau hilangnya kepercayaan dari para
nasabahnya atau masyarakat luas.
Bank dikatakan likwid apabila memenuhi beberapa kriteria antara lain:
a. Bank tersebut memiliki “cash assets“ sebesar kebutuhan akan
digunakan untuk memenuhi likuiditasnya.
b. Bank tersebut memiliki assets lainnya yang dapat dicairkan
sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai pasarannya
14 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 1715 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 17-22
28
Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cas
assets baru melalui berbagai bentuk hutang.
2) Azas solvabilitas, usaha pokok perbankan yaitu menerima simpanan
dana dari masyarakat dan disalurkan dalam bentuk kredit. Sehingga
bank harus pandai-pandai mengatur kebijaksanaan, surat-surat
berharga, dan mengatur tingkat kegagalan sekecil mungkin.
3) Azas rentabilitas, setiap usaha tentu mencari keuntungan baik untuk
eksistensinya maupun pengembangan usahanya. Berupa selisih antara
biaya dana dengan pendapatan bunga yang diterima dari para
debiturnya.
Keberhasilan bank untuk mengumpulkan penerimaan bunga
merupakan sumbangan yang besar bagi suksesnya bank itu sendiri. Disamping
bank harus memperhatikan azas tersebut ia harus pula memperhatikan faktor-
faktor yang mempengaruhi kebijakan perkreditan yaitu keadaan
perekonominan, perkembangan politik:
a. Peraturan-peraturan penguasa moneter yang ada.
b. Kemampuan bank yang bersangkutan dalam mengumpulkan dana biaya
yang relatip murah.
c. Volume permintaan kredit dari masyarakat business.
d. Tingkat (besarnya) laba yang diharapkan.
e. Kemampuan managemen bank itu sendiri.
29
f. Para saingan dari bank-bank/lembaga keuangan lainnya yang memasarkan
jasa perkreditan.
4. Jenis-Jenis Kredit
Dalam klasifikasi ini bentuk perkreditan dapat dilihat dari obyek yang
dibiayai dengan kredit tersebut antara lain:16
a. Kredit untuk Modal Kerja, yaitu kredit yang diberikan kepada
debiturnya untuk kebutuhan modal kerjanya. Kriteria bahwa kredit itu
akan habis dalam satu cycle usahanya.
b. Kredit investasi, yaitu kredit-kredit yang diberikan oleh perbankan
untuk membeli barang-barang modal yang tidak habis dalam satu
cycle usahanya, maksudnya proses dari pengeluaran uang kas dan
kembali menjadi uang kas akan memakan jangka waktu yang cukup
panjang setelah melalui beberapa kali perputaran.
c. Personal loan, adalah kredit yang diberikan kepada perorangan untuk
kebutuhan konsumtip.
d. Non Cash Loan, adalah kredit yang diberikan, kredit sejenis yang
belum efektif dapat ditarik secara tunai ataupun secara pemindah
bukuan, tetapi didalamnya telah terkandung adanya suatu kesanggupan
untuk melakukan pembayaran di kemudian hari.
4.1. Bank Garansi
16 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 24-30
30
a. Jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh Bank yang
mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang
menerima jaminan apabila pihak yang dijamin melakukan cidera
janji atau ingkar janji;
b. Jaminan dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya
atas surat-surat berharga seperti avalis dan endosemen yang dapat
menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila yang
dijamin cidera janji.
4.2. Fasilitas Pembukaan L/C Import
Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank untuk penjual atas
permintaan dan sesuai dengan instruksi pembeli, dimana bank
memberikan jaminan atau memberikan kuasa kepada bank bank lain
untuk melakukan pembayaran akseptasi atau negaosiasi wesel-wesel
berdasarkan penyerahan dokumen yang ditentukan sesuai syarat dan
kondisi dalam L/C yang bersangkutan.
Masih banyak kredit-kredit, Kredit kelolaan, Kredit Investasi Kecil,
Kredit Modal Kerja Permanen, di samping kredit kelayakan, kredit
mahasiswa.
Pembagian kredit menurut sifatnya:17
17 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 39-47
31
a. Berulang ( revolving credit)
Yaitu kredit yang dapat ditarik sesuai dengan kebutuhan dana
dari pihak debitur. Jangka waktunya kreditnya juga dapat
diperpanjang selama kegiatan usahanya masih ada.
b. Kredit sekali tarik (einmalig kredit/self liquidating credit )
Kredit sekali tarik untuk suatu jangka waktu kemudian harus
dilunasi sekaligus pada saat transaksi kredit yang dibiayai telah
selesai (ciri kas kredit antara lain: untuk jasa pemborong
kontrak kerja. Kredit ekspor dan seterusnya).
c. Kredit dengan plafond menurun/Kredit Investasi
Kredit tersebut diberikan sesuai jatwal sesuai dengan plafond
angsuran yang telah disepakati bersama.
A. PENGAWASAN KREDIT
1. Pengertian Pengawasan Kredit
Salah satu fungsi managemen yang penting dalam setiap kegiatan
usaha yaitu tahap “ Pengawasan “, begitu juga di dalam perkreditan, karena
kegiatan pengawasan akan merupakan penjagaan dan pengamanan terhadap
kekayaan bank yang disalurkan (diinvestasikan) di bidang perkreditan.
Kegiatan pengawasan ini akan menjadi lebih penting lagi manakala diingat
32
bahwa “kredit“ merupakan “risk assets” bagi bank., karena assets tersebut
dikuasai oleh pihak di luar bank yaitu nasabah. Untuk peningkatan effisiensi
dan penjagaan/pengamanan terhadap harta bank tersebut tentu “adminitrasi
perkreditan“ harus dapat diandalkan.18
Pengawasan kredit yaitu salah satu fungsi managemen dalam usahanya
untuk menjaga pengamanan dan pengelolaan kekayaan bank dalam bentuk
perkreditan yang lebih baik dan efisien, guna menghindari terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dengan cara mendorong dipenuhinya
kebijakan-kebijakan perkreditan yang telah ditetapkan dan mengusahakan
penyusunan administrasi kredit yang benar.
Jadi pengawasan kredit ini merupakan upaya dalam penjagaan dan
pengamanan harta bank dalam bentuk kredit. Ini bersifat preventif. Pengertian
dari pengawasan bersifat represif, untuk menyelamatkan kemungkinan-
kemungkinan kerugian yang potensiil akan timbul lebih besar, atau untuk
mecegah kerugian tersebut sama sekali, minimal harus mampu untuk
meminimisir kerugian yang akan timbul.
2. Obyek dan Fungsi Pengawasan Kredit
Obyek pengawasan kredit meliputi semua aspek perkreditan dan
semua obyek pengawasan tanpa melakukan pengecualian, yaitu :
18 Perbarindo pendidikan di Jakarta 2008, Sistem pengawasan BPR.33
1) Pengawasan terhadap semua pejabat, pegawai bank maupun pihak ke
tiga yang terkait dengan perkreditan.
2) Pengawasan terhadap semua jenis kredit, termasuk kredit kepada
pihak-pihak yang terkait dengan Bank dan debitur besar. Pengawasan
terhadap pihak-pihak terkait dengan Bank dan debitur-debitur besar
tertentu dilakukan secara lebih intensif.
Fungsi pengawasan (built in control) merupakan fungsi dari tanggung
jawab dari setiap tingkatan managemen sesuai wewenang dan tanggung
jawabnya masing-masing.
1) Fungsi pengawasan kredit harus dua arah dari upaya yang bersifat
pencegahan sedini mungkin atas terjadinya hal-hal yang dapat
merugikan bank dalam perkreditan atau timbulnya praktek pemberian
kredit yang tidak sehat dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian.
Fungsi tersebut tercermin dalam struktur pengendalian
intern/menejemen Bank yang terkait dengan perkreditan (Pecegahan
Preventif ).
2) Pengawasi kredit harus dilakukan sehari-hari oleh menegemen Bank
atas setiap pelaksanakan pemberian kredit atau yang lazim dikenal
pengawasan melekat.
34
3) Mengawasi apakah pemberian kredit telah dilaksanakan sesuai dengan
kebijakan Perkreditan Bank, Pedoman Pelaksanakan Kredit dan
ketentuan intern Bank yang berlaku.
4) Memantau perkembangan kegiatan debitur dan memberikan
peringatan sedini mungkin mengenai penurunan kualitas kredit-kredit
yang diperkirakan mengandung resiko bagi Bank melalui/ kepada unit
bisnis terkait.
5) Mengawasi apakah penilaian kolektibitas kredit telah sesuai dengan
ketentuan berlaku yang ditetapkan oleh Bank.
6) Memantau dan mengawasi secara khusus apakah pemberian kredit
kepada pihak terkait dengan Bank dan debitur-dibitur besar tertentu
telah sesuai dengan kebijakan Perkreditan Bank dan tidak melanggar
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
7) Memantau kecukupan jumlah Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP).
3. Tujuan dan Ruang Lingkup Pengawasan Perkreditan
Tujuan Pengawasan perkreditan sebagai berikut:19
1) Agar pengawasan/penjagaan dalam pengelolaan kekayaan bank
di bidang perkreditan dapat dilakukan dengan baik untuk
19 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 424-425
35
menghindarkan penyelewengan baik dari oknum-oknum
ekstern/intern bank.
2) Untuk memastikan ketelitian dan kebenaran data administrasi di
bidang perkreditan serta penyusunan perkreditan yang lebih
baik.
3) Untuk memajukan effisiensi di dalam pengelolaan dan tata
laksana usaha di bidang perkreditan dan mendorong tercapainya
rencana yang ada.
4) Untuk memajukan agar kebijakan yang telah ditetapkan seperti
tersebut diatas dipatuhi dengan baik.
Ruang lingkup pengawasan tersebut diatas akan dapat dibedakan lagi
secara lebih mendetail yaitu:20
1. Pengawasan dalam arti sempit yaitu berupa pengawasan administratif
yang mempunyai ruang lingkup untuk mengetahui kebenaran data-data
admnistratif.
2. Pengawasan dalam arti luas yaitu merupakan kegiatan pengendalian
dalam suatu perusahaan yang kita kenal dengan managemen control
yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas yaitu di bidang :
- Financial di dalam pelaksanakannya sering kita sebut Financial audit.
- Operational – Sering kita sebut Operational Audit performance audit.20 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 425
36
- Management/Policy – sering kita sebut management audit.
Apabila dilihat tingkat/pola pengawasan berbeda-beda satu sama
lainnya sesuai situasi dan kondisi dari pada debitur sendiri. Salah satu bentuk /
pola pengawasan yang dituntut bagi bank sebagai “Agent Development“
(dalam mengembangkan para pengusaha golongan ekonomi lemah) adalah
bidang pembinaan, baik pembinaan di bidang management, pembinaan tehnik
produksi. Untuk pengawasan setiap pejabat harus dapat melakukan atau
memilih sesuai dengan keadaan debiturnya.
Disamping pengawasan tersebut diatas tujuan dan kegunakan bank
juga melaksanakan Struktur Pengedalian Intern Perkreditan. ( SPIP). Struktur
Pengendalian Intern/pengendalian managemen yang memadai dalam
perkreditan diperlukan untuk menjamin tidak terjadinya penyalahgunakan
wewenang dan praktek pemberian kredit yang tidak sehat dengan
mengabaikan prinsip kehati-hatian oleh berbagai pihak yang dapat merugikan
bank. Struktur pengendalian intern bank meliputi:
a. Pengawasan Intern
1. engawasan Melekat
2. Pengawasan Fungsional
b. Pengawasan Ekstern
Pengawasan ekstern instansi, yairu dilakukan oleh BPKP dan BI.
37
4. Cara-Cara Pengawasan Kredit
a. Cara pelaksanaannya:
1. Pengawasan langsung adalah pengawasan dilaksanakan ditempat
kegiatan berlangsung, yaitu dengan inspeksi dan pemeriksaan secara
mendadak.
2. Pengawasan tidak langsung adalah pengawasan berdasarkan
pemantauan dari laporan baik bulanan triwulanan, dan pemantauan
dari kinerja dari bank yang bersangkutan.
b. Menurut waktu pelaksanaan pengawasan:
1. Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan di mulai sampai dengan
persetujuan kredit dengan mengadakan pemeriksaan dan persetujuan
rencana kerja dan rencana anggarannya. Pengawasan ini bersifat
preventif dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyelewengan,
penyimpangan dan pemborosan.
2. Pengawasan dilakukan selama pekerjaan berlangsung, untuk
memonitoring pelaksanakan kerja apakah sesuai dengan rencana kerja
sesuai arahan yang benar.
3. Pengawasan yang dilakukan represif terhadap rencana kerja dibanding
dengan hasilnya apakah tidak terjadi kebocoran sehingga merugikan
Bank.
38
4. Pengawasan terhadap kesalahan kerja bagaimana tindak lanjutnya
untuk mengatasinya.
c. Pengembangan Sistem Pengawasan
Untuk mengembangkan system pengawasan yang efisien dan
efektif, maka pejabat atau pihak Bank harus segera merespon akibat yang
akan timbul sehingga dengan segera membenahi atau meluruskan,
mengkoreksi agar tidak terjadi kesalahan yang berakibat kerugian Bank.
Atau melaporkan sesuai aturan Bank Indonesia.
d. Struktur Pengendalian Intern Perkreditan
Struktur pengedalian intern/pengedalian managemen yang
memadai dalam perkreditan diperlukan untuk menjamin tidak terjadinya
penyalahgunaan wewenang dan praktek pemberian kredit yang tidak
sehat dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian oleh berbagai pihak
yang dapat merugikan Bank, Kebijakan struktur pengendalian intern bank
meliputi :
1. Penerapam Struktur Pengendalian Intern
Struktur pengendalian intern dalam perkreditan harus
diterapkan pada semua tahapan, yaitu mulai dari permohonan kredit
sampai dengan pelunasan kredit.
2. Cakupan Struktur Pengendalian Intern Perkreditan
39
Struktur pengendalian Intern dibidang perkreditan sekurang
kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Pengawasan ganda dalam pengambilan keputusan kredit
dilakukan melalui mekanisme prinsip four-eye.
b. Pengawasan harus diterapkan pada setiap tahap proses
pemberian kredit yang mengandung unsur kerawanan
terhadap penyalah gunakan atau dapat menimbulkan kerugian
keuangan Bank. Pengawasan yang bersifat review secara
komprehensif atas kredit dimaksud dilakukan oleh Satuan
Kerja Audit Intern (SKAI). Temuan-temuan audit oleh SKAI
tersebut diinformasikan (secara tertulis) kepada Unit
Business, unit risk Management dan unit credit Restructuring
untuk ditindak lanjuti, guna mendektesi dan mengantisipasi
segala resiko perkreditan secara lebih dini sehingga kerugian
dapat dihindari dan diminimalisir.
c. Adanya mekanisme bahwa setiap pelanggaran terhadap
Kebijakan Perkreditan Bank dan Pedoman Pelaksanakan
Kredit dapat segera diketahui dan dilaporkan kepada pejabat
atau Direksi yang berwenang.
e. Kajian Berkala Atas Efektivitas Sistem Pengendalian Intern
Perkreditan
40
1. Guna menjamin efektivitas system pengendalian intern secara
berkesinambungan, Bank wajib melakukan kajian berkala atas system
pengendalian intern perkreditan.
2. Kajian berkala dimaksud dilaksanakan secara periodik berdasarkan
perkembangan factor intern dan ekstern Bank. Sehubungan dengan hal
tersebut diatas maka bagaimanakah efektivitas hukum keperdataan
(hukum perbankan) terhadap sistem pengawasan kredit apakah dapat
mencegah atau mengurangi tingkat pelanggaran didalam mekanisme
pemberian kredit di Bank
D. EFEKTIVITAS HUKUM
1. Pengertian Efektivitas Hukum
Berkaitan dengan bekerjanya hukum dalam masyarakat, yang
sering menjadi masalah urgensi adalah masalah hukum. Kata Efektifitas
berasal dari kata dasar efektif yang kemudian mendapat akhiran itas.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata efektivitas berarti :
Efektivias adalah ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya): manjur atau mujarab (tentang obat, obat itu ternyata cukup efektif mengurangi rasa sakit); dapat membawa hasil; berhasil guna (tentang usaha, tindakan); hal mulai berlakunya (tentang undang-undang, peraturan).21
21 Pusat Bahasa,Dep.Pendidikan Nasional, kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3 Jakarta 2003hal.284.41
Menurut A. Emerson, efektivitas ialah pengukuran dalam arti
tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Jelas
bila sasaran atau tujuan tercapai sesuai dengan yang direncanakan
sebelumnya adalah efektif.22
Kata efektivitas juga banyak dilontarkan oleh para ahli hukum
khususnya aliran sosiologi, baik dalam negeri maupun diluar negeri.
Istilah tersebut didasarkan atas pemikiran para ahli yang memang
mempunyai dasar tersendiri yang tumbuh menjadi teori, yang kemudian
teori-teori akan digunakan sebagai pisau analisis untuk membahas suatu
permasalahan.
Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam
bahasa Inggris “effective” yang telah mengintervensi dalam bahasa
Indonesia dan memiliki makna “berhasil” dalam bahasa Belanda
“effectief” memiliki makna “berhasil guna”. Sedangkan efektivitas
hakum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil-gunaan
hukum, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum
itu sendiri. Adapun secara terminologi para pakar hukum dan sosiologi
hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum
beragam, bergantung pada sudut pandang yang diambil.
22 Astuti Ajie Probo Retno,Pengaruh Iklim Organisasi dam Pembinaan Pegawai Terhadap Efektivitas Pelayanan Umum di KanorKec.Banyumas,PurwokertoFISIP UNSOED.2006, hal 17.
42
Soerjono Soekanto23 berbicara mengenai derajat efektivitas suatu
hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat
terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal
suatu asumsi, bahwa : “Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan
suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsi-nya
hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan
hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi
masyarakat dalam pergaulan hidup”. Dengan demikian efektivitas sebuah
hukum dalam masyarakat adalah kemampuan hukum untuk menciptakan
keadaan yang dikehendaki oleh hukum.
Dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah
kepatuhan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah
hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar
efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum. Dalam
tulisan yang lain Soerjono juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud
dengan efektivitas hukum adalah segala upaya yang dilakukan agar
hukum yang ada dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masyarakat,
artinya hukum tersebut benar-benar berlaku secara yuridis, sosialis dan
filosofis.
2. Teori Efektivitas Hukum23 Soerjono Soekanto, Factor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Jakarta Rajawali,1983, hal 62
43
Berfungsinya sebuah hukum merupakan pertanda bahwa hukum
tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk
mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.
Tujuan hukum24 tersebut tercermin dalam tujuan dibentuknya suatu
produk hukum yaitu dilihat dari tiga aspek yaitu :
a. Kepastian Hukum (reshtssicherhit)
Maksud dari kepastian hukum ialah hukum yang berlaku
tidak boleh menyimpang. Ada sebuah istilah “fiat justitia et pereat
mundus” yang artinya ialah meskipun langit akan runtuh hukum
harus tetap detegakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan
yustisiabel terhadap tindakan sewenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan
adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum
masyarakat akan lebih tertib. Tujuan dari kepastian hukum ialah
mencipkan ketertiban masyarkat.
b. Kemanfaatan (zweckmassigkeot)
Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum
harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan
sampai karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan karena
24 Iswanto, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan kedua, Purwokerto, UNSOED 2003,hal 167-168.44
hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan
didalam masyarakat.
c. Keadilan (gerechtihkeit)
Hukum harus memenuhi rasa keadilan masyarakat, artinya
bahwa setiap orang adalah sama dihadapan hukum, mendapat
perilaku yang sama, mendapat kesempatan yang sama, dan
sebagainya dalam hukum.
Agar hukum dapat berfungsi dalam masyarakat secara benar-
benar, harus memenuhi tiga unsur law of life, yakni berlaku secara
yuridis, sosiologis dan filosofis. Namun dalam realisasinya tidak semudah
itu, karena untuk mengejar berfungsinya hukum yang benar-benar
merefleksi dalam kehidupan masyarakat sangat bergantung pada usaha-
usaha menanamkan hukum, reaksi masyarakat dan jangka waktu
menanamkan ketentuan hukum secara efektif.
Kajian mengenai proses penegakaan hukum itu sendiri akan
bersinggungan dengan banyak aspek lain yang melingkupinya. Suatu hal
yang pasti bahwa, usaha untuk mewujudkan ide atau nilai selalu
melibatkan lingkungan serta berbagai pengaruh faktor lainnya. Oleh
karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang
berdiri sendiri, melainkan selalu berdiri diantara berbagai faktor, atau
45
dengan kata lain titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak sekedar
suatu rumusan hitam diatas putih yang ditetapkan dalam berbagai bentuk
peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu
sejala yang dapat diamati didalam masyarakat antara lain tingkah laku
warga masyarakat. Hal ini berarti bahwa, titik perhatian harus ditujukan
kepada hubungan antara hukum dengan faktor-faaktor non hukum
lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat.25
Pendekatan yang diungkapkan oleh Julius Stone diatas, antara lain
dapat dijumpai penerapannya diadalam hukum pada pendekatan yang
dilakukan oleh Robert B. Seidmen. Siedmen mencontoh untuk
menerapkan pandangan tersebut didalam analisanya mengenai
“Bekerjanya Hukum didalam Masyarakat”. Menurut Robert B. Siedmen
menyatakan bahwa, bekerjanya hukum di dalam masyarakat melibatkan 3
(tiga) unsur dasar, yakni : pembuat hukum, pelaksana hukum dan
pemegang peran.
Secara lebih lengkap model bekerjanya hukum model Robert B.
Seidmen ini dilukiskan dalam bagan berikut:
MODEL BEKERJANYA HUKUM DALAM MASYARAKAT
25 Ibid.hal 31.46
KEKUATAN PERSONAL DAN SOSIAL LAINNYA
Gambar 1. Bekerjanya Hukum Menurut Robert B. Seidmen
Dari bagan diatas oleh R.Seidmen diuraikan ke dalam dalili-dalil
yang dikutip oleh Sacipto Rahardjo26 sebagai berikut:
a. Setiap peraturan hukum memberi tahu tentang bagaimana seorang
pemegang peran (role occutant) itu diharapkan bertindak ;
26 Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Alumni,Bandung, 1986, hal 161.
47
UMPAN BALIKLEMBAGA PEMBUAT HUKUMUMPAN BALIK
LEMBAGA PENERAP HUKUM PEMEGANG PERAN
KEKUATAN PERSONAL DAN SOSIAL LAINNYA
KEKUATAN PERSONAL DAN SOSIAL LAINNYA
AKTIFITAS PENERAPAN
NORMANORMA
b. Bagaimana seorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu
respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-
peraturan yang ditujukan kepadanya , sanksi-sanksinya, aktifitas dari
lembaga pelaksana hukum serta keseluruhan kompleks kekuatan
sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya;
c. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai
serpons terhadap peraturan hukum merupakan funfsi peraturan-
peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya,
keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lainnya
yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari
para pemegang peran;
d. Bagaimana para pembuat hukum itu akan bertindak merupakan fungsi
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-
sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik,
ediologi dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-
umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.
Berdasarkan kutipan diatas dapat diketahui bahwa setiap anggota
masyarakat sebagai pemegang peran ditentukan tingkah lakunya oleh pola
peranan yang dimainkan baik oleh norma-norma hukum maupun oleh
kekuatan-kekuatan diluar hukum. Disamping itu, dari badan diatas
tampak pula peranan dari kekuatan-kekuatan personal dan sosial, yang
48
tidak hanya berpengaruh terhadap masyarakat sebagai sasaran yang diatur
oleh hukum melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum, dalam
kekuatan personal dan sosial ini termasuk kompleks suatu tatanan
lainnya. Hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak hanya
ditentukan oleh hukum semata akan tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan
personal dan sosial lainnya.27
Berkenaan dengan “ peran atau peranan “ dan “ status “ sebagai
tempat individu dalam hubungan sosial, Maurce Duveger28 menjelaskan
sebagai berikut : “ Setiap manusia memegang banyak sekali posisi sosial
“. Setiap posisi ini menampilkan kesempatan bagi suatu seri hubungan-
hubungan sosial. Bidang hubungan sosial ini adalah pada prinsipnya
sesuatu yang bisa dibanyangkan orang sama sekali terlepas dari indifidu
yang menduduki posisi tersebut. Kedudukan sosial yang demikian ini
dinamakan “ status “. Bagi setiap status ada sejumlah tingkahlaku yang
diharapkan dari individu, yang memegang posisi dan serentak atribut-
atribut tertentu yang seharusnya dimiliki. Diartikan sebagai “ peranan “
adalah atribut sebagai akibat dari status dan perilaku (tindakan) yang
diharapkan oleh anggota-anggota lain dari masyarakat terhadap pemegang
status. Singkatnya “ peranan “ hanyalah sebuah aspek dari status. Stoetzel
mengatakan bahwa “ Status “ adalah pola tindakan (perilaku) kolektif 27 Satjipto Raharjo,op,cit.hal 36.28 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Penerjemah Daniel Dakhidae, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1998. hal.101-102.
49
yang secara normal bisa diharapkan individu dari orang-orang lain.
Sedangkan “peranan” adalah pola tindakan (perilaku) kolektif yang
diharapkan oleh orang lain terhadap individu. Setiap orang adalah pelaku
di dalam masyarakat dimana ia hidup yang harus memainkan beberapa
peran dalam hubungan sosialnya.
Merdasarkan pada teori di atas, maka secara obyektif dapat
diinterprestasikan bahwa, tindakan individual dalam situasi tertentu
merupakan suatu kumpulan dari peranan-peranan yang dilakukan oleh
seorang individu. Tindakan yang merupakan konsekkuensi dari suatu
peran dapat dimotivasi melalui proses sosialisasi, yakni suatu dorongan
untuk mendapatkan pengakuan. Dalam masyarakat, manusia dipandang
dari peran yang dimilikinya, dengan konsep peran yang sesungguhnya
adalah berkaitan dengan konsep manusia. Setiap individu dalam
masyarakat memegang suatu peran dan ia akan berperilaku sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan dari peran yang dimilikinya, yang mana
peran tersebut dibentuk melalui kedudukannya di dalam struktur normatif
tata sosial dan oleh sistem kultur yang berlaku, sehingga peran tersebut
dibatasi oleh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam sistem
sosial tersebut.29
29 Michael Rush dan Philip Althof, Pengantar Sosiologi Politik,Penterjemah Kartini Kartono. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1987, Hal.234.
50
Setiap peran mengandung sejumlah kewajiban dan menjelaskan
kewajiban sesuai dengan peran yang dimiliki, berarti ikut membangun,
memelihara dan menjaga eksistensi sistem sosial secara keseluruhan.
Sistem sosial dilihat fungsional, mengandung sanksi-sanksi atas
kewajiban yang merupakan konsekuensi peran yang dimiliki individu-
individu serta memberikan berbagai imbalan yang merupakan pendorong
bagi individu yang menjadi pelaku dari suatu peran. Dengan demikian
peranan merupakan aspek yang dinamis dari status (kedudukan).
Apabila seeorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, maka maka dia menjalankan peranan. Peranan
menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-
kesempatan apa yang dihentikan oleh masyarakat kepadanya. Pentingnya
peranan adalah mengatur perikelakuan seseorang dan juga bahwa peranan
menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat meramalkan
perbuatan-perbuatan orang lain.Sehingga dengan demikian orang yang
bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku sendiri dengan perilaku
orang-orang sekelompoknya.30
Status dapat diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam
suatu kelompok yang lebih besar lagi. Status sosial artinya adalah tempat
seseorang dalam suatu kelompok sosial. Sehubungan dengan orang-orang
30 Soerjono Soekanto,op.cit.hal 238.51
lainnya dalam kelompok yang lebih besar lagi. Status sosial artinya
adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehingga
dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,
prestesinya, hak-hak dan kewajibannya. Secara abstrak status berarti
tempat seseorang dalam suatu pola tertentu. Dengan demikian, seseorang
dikatakan mempunyai beberapa status, oleh karena seseorang biasanya
ikut serta dalam berbagai pola kehidupan.31
Apabila konsep “ peran, norma dan status “ di atas, diaplikasikan
ke dalam permasalahan proses pembatasan kewenangan pejabat dalam
pelayanan perbankan, maka secara yuridis sosiologis seorang
pejabat/pelaksana yang melakukan hubungan transaksi dengan nasabah,
masing-masing mempunyai kedudukan (status) dan peranan. Kedudukan
merupakan wadah atau tempat hak-hak dan kewajiban-kewajiban,
sedangkan peranan merupakan proses pelaksana hak-hak dan kewajiban
tersebut, Hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pejabat/pelaksana mana
timbul berdasarkan peranan hukum dan transaksi perbankan. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa, hak merupakan wewenang untuk
berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas
yang harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Apabila hak-hak dan kewajiban-kewajiban dapat dilaksanakan maka akan
31 Ibid,hal.233-234.52
timbul kewenangan Pejabat dalam menjalankan tugasnya untuk
melakukan upaya pemberian kredit kepada masyarakat.
Paksaan di dalam hukum modern pada akhirnya didasarkan pada
wewenang rationil-legal. Akan tetapi penggunaan paksaan dapat
mengurangi kewibawaan wewenang tersebut didalam kenyataanya.
Masalahnya kemudian berkisar pada sejauh mana warga-warga
masyarakat mematuhi hukum dan apakah akibat-akibat penerapan sanksi-
sanksi sebagai pembenaran terhadap kaedah-kaedah, untuk kepentingan
mana kemudian dijatuhkan hukuman-hukuman. Terlalu banyak sanksi,
sanksi yang tidak tepat, sanksi yang tidak adil, sanksi yang sewenang-
wenang dapat mengurangi kewibawaan penegakan hukum maupun dasar
pembenaran sanksi-sanksi tersebut.
Hukum sebagaimana diterima dan dijalani di Indonesia termasuk
ke dalam katagori hukum yang modern. Modernitas tersebut tampak
dalam ciri-ciri yang berikut :32
1. Dikehendaki adanya bentuk yang tertulis, seperti tampak pada
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa
kemerdekaan kebangsaan Indonesia hendaknya disusun suatu Undang-
Undang Dasar.
32Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologi), Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal.31-32.
53
2. Hukum berlaku untuk seluruh wilayah negara, suatu pernyataan dapat
juga disimpulkan dari kata-kata dalam Undang-Undang Dasar yang
menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar tersebut disusun untuk “
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia “. Pernyataan tersebut sesuai dengan salah satu karakteristik
hukum modern yang dibuat oleh Marc Galanter, yaitu bahwa hukum
modern terdiri dari peraturan-peraturan yang bersifat uniform serta
diterapkan tanpa mengenal variasi. Peraturan-peraturan tersebut lebih
bersifat teritorial dari pada pribadi, artinya peraturan yang sama
diterapkan terhadap anggota-anggota dari semua agama, suku, kelas
daerah dan kelamin. Apabila diakui adanya perbedaan-perbedaan
maka hukum bukan sesuatu yang disebabkan oleh kualitas yang
interistik, seperti antara bangsawan dan budak atau antara kaum
Brahmana dan kelas-kelas yang lebih rendah, melainkan disebabkan
oleh fungsi, kondisi dan hasil-hasil karya yang didapat oleh seseorang
dalam kehidupan keduniaan.
3. Hukum merupakan sarana yang dipakai secara sadar untuk
mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya. Hal tersebut
dapat dilihat pada rumusan dari Repelita-repelita terdahulu.
Berbicara tentang penerapan hukum, maka kita harus melihat
hukum sebagai suatu sistem, yang selalu berinteraksi dengan sistem yang
54
lain. Lawrence M. Freidman mengemukakan adanya komponen-
komponen yang terkandung dalam hukum yaitu :33
a) Komponen yang disebut dengan struktur. Ia adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Administrasi yang mempunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini memungkinkan pemberian pelayanan dan penggarapan hukum secara teratur.
b) Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan sebagainya yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur.
c) Komponen hukum yang bersifat kultural. Ia terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum. Kultur hukum ini dibedakan antara internal legal culture yakni hukumnya, lawyers dan judged’s dan external legal cultural yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya.
Semuanya merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat sistem
hukum itu di tengah kultur bangsa secara keseluruhan.
Menurut Weber yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo,
kecenderungan umum dalam perkembangan hukum modern adalah untuk
menjadi makin rasional. Secara teoritis, perkembangan tersebut melalui
tahap-tahap sebagai berikut :34
1. Pengadaan hukum melalui pewahyuan (revelation) secara
kharismatik. Dalam istilah Weber, pengadaan hukum tersebut
terjadi melalui apa yang disebut dengan law propets, Weber
33 Esmi Warassih,Op.Cit, hal 82.34 Ibid, hal 41-42.
55
berpendapat bahwa cara pengadaan hukum seperti inilah, yaitu
melalui yaitu melalui law propets, yang benar-benar dapat disebut
sebagai pengadaan hukum yang kreatif, yaitu menciptakan sesuatu
dari nol. Pengadaan hukum dilakukan seperti dilakukan oleh ahli
hukum, bagaimana orisionilnya, tetaplah bertolak dari kaidah
hukum yang sudah ada sebelumnya.
2. Penciptaan dan penemuan hukum secara empiris oleh para Legal
honoratioris, yaitu penciptaan hukum oleh para Kautelarjuristen
(cauelary yurisprudence). Cara tersebut mengandung suatu seni
dan ketrampilan untuk menciptakan dan melakukan inovasi
hukum. Terlihat pada tahap ini, Weber hendak menunjukkan pada
pengadaan hukum yang tidak begitu saja jatuh dari keadaan entah
berentah, seperti pada tahap terdahulu, melainkan hukum yang
tercipta melalui teknik-teknik dan keterampilan tersendiri. Dalam
pencapaian ini, hukum terkait pada preseden.
3. Pembebanan (imposition) hukum oleh kekuatan-kekuatan sekular
dan teokratis.
4. Tahap yang terakhir adalah penggarapan hukum secara sistimatis
dan penyelenggaraan hukum secara profisional oleh orang-orang
yang mendapat pendidikan hukum dengan cara-cara ilmiah dan
logisformal.
56
Teori-teori selanjutnya berkisar pada penerapan sanksi-sanksi
sebagai faktor yang menyebabkan kepatuhan hukum yang oleh Barku
dianggap mempunyai kelemahanyaitu “It also has been asserted that
sanction real of threted, have adeterrent effect although this is one of the
great unexamined premises of legal theory“35 Sanksi pada hakekatnya
merupakan reaksi terhadap pelanggaran kaedah-kaedah kelompok. Sanksi
tersebut dapat berwujud sebagai sanksi positif dan sanksi negative.
Sanksi-sanksi positif adalah unsur-unsur ysng mendorong terjadinya
kepatuhan dan peikelakuan yang sesuai dengan kaedah-kaedah.
Sebaliknya sanksi-sanksi negative menjatuhkan hukuman kepada
pelanggar-pelanggar kaedah-kaedah kelompok. Dengan demikian maka
proses pemberian sanksi-sanksi, mencakup semua sistem imbalan dan
hukuman, yang akibatnya adalah suatu dukungan yang efektif untuk
mematuhi kaedak-kaedah. Perihal sanksi-sanksi tersebut Hoefnagels
mengemukakan pendapat bahwa ;36
“ It may be assumed in principle and in view of human experience that censure and encouragement are both useful for influencing behavior to conform with the law. It is known that an inner willingness in the person concerned to cooperate in the influencing process isit primary aid for influencing behavoir. It may be assumed in view of human axperience that such willingness is created more easily by encouragement than by discouragement, or censure as the case may be “
35 Ibid. hal.232.36 Ibid. hal 233.
57
Selanjutnya Hoefnagels membedakan bermacam-macam derajat
kepatuhan hukum sebagai berikut:37
1. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum
dan menyetujuinya halmana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari
mereka yang berwenang.
2. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum
dan menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian
yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang
bersangkutan.
3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan
kaedah-kaedah tersebut maupun pada nilai-nilai dari penguasa.
4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui
hukum tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai
wewenang.
5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan diapun
tidak atuh pada hukum (melakukan protes).
Sehubungan dengan efektivitas sanksi-sanksi tersebut, terutama
sanksi-sanksi negatif Shwartz dan Orleans pernah mengadakan suatu
penelitian yang menghasilkan beberapa hipotesa sebagai berikut: 38
37 Ibid, Hal 234.38 Ibid. hal 234.
58
1. Sanksi negatif (c.q.hukuman) mengurangi pelanggaran, baik yang
dilakukan oleh pelanggar maupun pihak-pihak lainnya.
2. Semakin keras sanksi negatif, semakin tinggi derajat
efektifitasnya.
3. Sanksi negatif dapat diterapkan tanpa mengakibatkan terjadinya
kerugian.
4. Kemungkinan-kemungkinan lain tidak dapat dianggap sebagai
suatu alternatif yang sederajat dengan penerapan sanksi negatif.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum
Sistem hukum dapat memainkan peranan sebagai pendukung
dan penunjangnya dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan
hukum itu sendiri. Suatu sistem hukum yang tidak efektif akan
menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai. Sistem hukum
dapat dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia didalam
masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan didalam aturan-
aturan hukum yang berlaku. Paul dan Diaz, seperti yang dikutip oleh
Esmi Warassih, mengajukan lima syarat yang harus dipenuhi untuk
mengefektifkan sistem hukum yaitu: 39
1) Mudah tidaknya makna aturan hukum itu untuk ditangkap dan
dipahami.
39 Ibid, hal 105-106.59
2) Luas tidaknya kalangan masyarakat yang mengetahui isi aturan
hukum yang bersangkutan.
3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.
4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya
mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat,
melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa.
5) Anggapan dan perlakuan dikalangan warga masyarakat
bahwaaturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang
sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.
Pernyataan diatas sangat menarik untuk dikaji dalam hubungan
dengan pembicaraan dalam budaya hukum. Hukum yang dipakai sebagai
sarana untuk mengubah tingkah laku tentunya mengandung nilai-nilai
yang berbeda dengan nilai yang telah dikenal oleh masyarakat sehingga
diperlukan komunikasi hukum agar hukum berlaku efektif. Untuk
menanamkan nilai-nilai baru sehingga dapat melembaga sebagai pola
tingkah laku yang baru di masyarakat, maka perlu adanya proses
pelembagaan dan internalisasi dalam rangka pembentukan kesadaran
hukum masyarakat, Proses pelembagaan tersebut dapat dilihat pada bagan
berikut: 40
40 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Rajawali Pers 2009 hal 127-129.60
Proses pelembagaan = efektifitas menanamkan unsur-unsur baru –
(dikurangi) kekuatan yang menentang dalam masyarakat / (dibagi)
kecepatan menanam unsur-unsur baru.
Efektivitas menanam adalah hasil yang positif dari penggunaan
tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode untuk menanamkan
lembaga baru didalam masyarakat. Semakin besar tenaga manusia, makin
ampuh alat-alat yang digunakan, makin rapi dan teratur organisasinya dan
makin sesuai sestem penanaman itu dengan kebudayaan masyarakat,
makin besar hasil yang dapat dicapai dalam usaha lembaga penanaman
itu. Setiap usaha untuk menanamkan sesuatu yang baru pasti akan
mendapat reaksi dari beberapa golongan masyarakat yang merasa
dirugikan. Kekuatan yang menentang tersebut akan berpengaruh negatif
terhadap berhasilnya proses pelembagaan. Dengan demikian maka
jelaslah bahwa apabila efektivitas menanam kecil, sedangkan kekuatan
menentang dari masyarakat besar, maka kemungkinan terjadinya sukses
dalam kelembagaan yang terkecil atau bahkan hilang sama sekali.
Demikian pula sebaliknya. Apabila efektivitas penanaman itu besar dan
kekuatan menentang dari masyarakat kecil maka jalannya proses
kelembagaan menjadi lancar.
Bekerjanya hukum masyarakat menurut Donald Black, seperti
yang disampaikan oleh Saryono Hanadi, dipengaruhi oleh faktor personal
61
(diantaranya adalah pengalaman, pengetahuan, sikap, perilaku, persepsi,
opini, kecerdasan, kepatuhan, kepemimpinan, dan lain-lain, faktor
pemegang peran, faktor pelaksana hukum dan faktor sosial.41 Faktor-
faktor sosial yang berpengaruh terhadap bekerjanya hukum dalam
masyarakat adalah:
1. Stratifikasi masyarakat, adalah kelas sosial masyarakat secara
vertikal, berhubungan dengan harta kekayaan/sosial ekonomi,
kesolehan dalam agama, kekuasaan, keturunan keluarga ningrat
dan sebagainya. Masyarakat dengan stratifikasi tinggi cenderung
memiliki kemudahan hukum dan sebaliknya. Hukum lebih banyak
berpihak pada stratifikasi yang tinggi dan banyak dikenakan pada
pihak yang berada pada posisi bawah.
2. Morfologi, yaitu hubungan horisontal dalam kehidupan sosial.
Dalam hubungannya dengan bekerjanya hukum adalah bahwa
masyarakat yang berada dalam pusat kehidupan sosial lebih
banyak memiliki hukum dan kemudahan-kemudahan hukum
daripada masyarakat yang jauh dari pusat lokasi kehidupan sosial,
sehingga jika terjadi pelanggaran maka penangannya cenderung
kurang serius pada masyarakat yang dekat dengan pusat
kehidupan sosial dibanding dengan masyarakat yang jauh.
41 Saryono Hanadi, Sosiologi Hukum, Bahan kuliah, Purwokerto, FH Unsoed, 2008.hal 5-8.62
3. Organisasi, yaitu kerjasama untuk mencapai tujuan. Hubungan
organisasi dengan bekerjanya hukum dalam masyarakat adalah
bahwa organisasi yang sudah baik dan mapan akan lebih banyak
memiliki hukum dari pada organisasi yang belum mapan.
Akibatnya, pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi yang lebih
baik cenderung tidak ditangani dengan serius.
4. Budaya, yaitu simbol dari kehidupan sosial seperti agama, nilai-
nilai, tanda kebesaran, kebiasaan dan lain-lain. Hubungan budaya
dengan bekerjanya hukum adalah bahwa kemampuan untuk
menempatkan pranata hukum di tengah-tengah sistem budaya
masyarakat. Hukum merupakan simbol dari sistem budaya yakni
adanya kesesuaian antara hukum dan sistem budaya yang ada
dalam masyarakat sebagai nilai-nilaidan sikap hukum. Dengan
demikian perubahan pada sistem budaya harus diikuti dengan
perubahan sistem hukumnya.
5. Kontrol sosial, yaitu suatu proses yang dilakukan untuk
menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan
harapan. Hubungannya dengan bekerjanya hukum dalam
masyarakat adalah bahwa kontrol sosial dijalankan dengan
menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan
kekuasaan negara sebagai lembaga yang terorganisir secara
63
politik. Dengan demikian hukum bertugas untuk memecahkan
masalah melalui pengaturan hubungan sosial dan
mempertahankan pola-pola hubungan sosial dan kaidah-kaidah
yang berlaku.
Term efektivitas secara umum Soerjono Soekanto berbicara
mengenai derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf
kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak
hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa taraf kepatuhan hukum
yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum.
Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut
telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan
melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.42Dalam ilmu sosial antara
lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatuhan atau ketaatan hukum atau
kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umunya telah menjadi
faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya suatu yang ditetapkan
dalam hal ini hukum, Soedjono Soekanto 43 berpendapat bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu faktor hukumnyam
faktor penegak hukum, faktor sarana, faktor masyarakat, dan faktor
kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh
42 Soerjono Sukanto, 1983, op.cit. Hal 62.43Soejono Sukanto, 1983, op.cit.hal 62.
64
karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak
ukur daripada efektivitas berlakunya hukum.
a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)
Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari
Undang- Undang mungkin disebabkan karena:
1. Tidak diikutinya berlakunya azas-azas Undang-Undang.
2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat
dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang.
3. Ketidak jelasan arti kata-kata didalam undang-undang
yang .mengakibatkan kesimpangsiuran didalam
penafsiran serta penerapannya.
b. Faktor penegak hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam
masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-
kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Penegak
hukum harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari
golongan sasaran, disamping mampu membawakan atau
menjalankan peranannya. Selain itu, sebagai panutan, penegak
hukum juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat
didalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah
hukum yang baru, serta memberikan keteladanan yang baik.
65
Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada
penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau
penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari
lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan
penanggulangan tersebut adalah:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam
peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi; kegairahan
yang sanga terbatas untuk memikirkan masa depan,
sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi;
3. Belum adanya kemampuan untuk menunda kepuasan suatu
kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material;
4. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan
pasangan konservatisme.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan cara
mendidik, melatih, dan membiasakan diri untuk mempunyai
sikap-sikap sebagai berikut:
1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman-pengalamann
maupun penemuan-penemuan baru. Artinya, sebanyak
mungkin menghilangkan prasangka terhadap hal-hal yang
66
baru atau yang berasal dari luar sebelum dicoba
manfaatnya;
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan-perubahan
setelah menilai kekurangan-kekurangan yang ada pada
saat itu;
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi sekitarnya
dengan dilandasi suatu kesabaran, bahwa persoalan-
persoalan tersebut berkaitan dengan dirinya;
4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin
mengenai pendiriannya;
5. Orientasi kemasa kini dan masa depan sebenarnya
merupakan suatu urutan;
6. Menyadari akan potensi-potensi yang ada dalam dirinya,
dan percaya bahwa potensi-potensi tersebut akan dapat
dikembangkan;
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada
nasib (yang buruk);
8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi
di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban maupun
kehormatan diri sendiri maupun pihak-pihak lain;
67
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil
atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap44.
c. Faktor Sarana dan Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak
mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar,
Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
Adanya hambatan penyelesaian perkara bukanlah semata-
mata disebabkan karena banyaknya perkara yang harus
diselesaikan, sedangkan waktu untuk mengadilinya atau
menyelesaikannya adalah terbatas. Penambahan jumlah hakim
untuk menyelesaikan perkara, hanya mempunyai dampak yang
sangat kecil di dalam usaha untuk mengatasi hambatan-hambatan
pada penyelesaian perkara, terutama dalam jangka panjang.
Selain itu, masalah lain yang erat hubunganya dengan
penyelesaian perkara dan sarana atau fasilitasnya, adalah soal
efektivitas dan sanksi negatif yang ancamkan terhadap peristiwa-
peristiwa pidana tertentu. Tujuan sanki-sanksi tersebut dapat
mempunyai efek yang menakutkan terhadap pelanggaran-
44 Ibid hal 34-3668
pelanggaran potensial, maupun yang pernah dijatuhi hukuman
karena pernah melanggar (agar tidak mengulanginya). Sanki
negatif yang relatif berat atau diperberat, bukan merupakan sarana
yang efektif untuk dapat mengendalikan kejahatan maupun
penyimpangan-penyimpangan lainnya.
Sarana ekonomi ataupun biaya daripada pelaksanaan
sanksi-sanksi negatif diperhitungkan, dengan berpegang pada cara
yang lebih efektif dan efisien, sehingga biaya dapat ditekan di
dalam program-program pemberantasan kejhatan jangka panjang.
Kepastian didalam penanganan perkara maupun kecepatannya,
mempunyai dampak yang lebih nyata, apabila dibandingkan
dengan peningkatan sanksi negatif belaka. Kalau tingkat kepastian
dan kecepatan penanganan perkara ditingkatkan, maka sanksi-
sanksi negatif akan mempunyi efek menakuti yang lebih tinggi
pula, sehingga akan dapat mencegah peningkatan kejahatan
maupun residivisme.
d. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan
untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu,
dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Pada dasarnya
69
masyarakat cenderung untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasikanhukum sebagai petugas atau pejabat. Salah
satu akibatnya adalah baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan
dengan pola perilaku penegak hukum tersebut, yang menurut
pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur
maupun proses.
Adanya hal itu, mengakibatkan tidak terbentuknya
kompetensi hukum dalam masyarakat. Sedangkan kompetensi
hukum tidak mungkin ada apabila warga masyarakat:
1. Tidak mengetahui atau tidak menyadari apabila hak-hak
mereka dilanggar atau terganggu.
2. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk
melindungi kepentingan-kepentingannya.
3. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum
karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik.
4. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi
yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.
5. Mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di
dalam proses interaksi dengan pelbagai unsur kalangan
formal.
e. Faktor Kebudayaan
70
Kebudayaan Indonesia merupakan sesuatu yang mendasari
hukum adat yang berlaku. Hukum adat tersebut merupakan hukum
yang berlaku dikalangan rakyat banyak. Disamping itu, berlaku
hukum tertulis (Perundang-undangan) yang timbul dari golongan
tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan
wewenang yang resmi. Hukum perundang-undangan tersebut
harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari
hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat
berlaku secara efektif.
Perubahan-perubahan sosial yang besar dan fundamental
selalu diikuti dengan penyesuaian pada segi kehidupan hukumnya.
Namun jika hukum sama sekali atau bahkan tidak dapat
memberikan tanggapan terhadap perubahan-perubahan sosial yang
terjadi, maka hukum sulit diharapkan untuk menjadi instrument
dalam menata kehidupan sosial yang semakin besar dan
komplek.45
45 Esmi Warassih, Op,cit.,hal 9.71
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian Kuantitatif dengan pendekatan Yuridis
Sosiologis. Digunakannya metode pendekatan ini didasarkan pada alasan bahwa,
dalam penelitian ini Hukum diartikan sebagai pola-pola perilaku sosial yang
terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik. Asumsi ini searah dengan
pendapat Ronny Hanitiyo Soemitro46 yang menyatakan bahwa, dalam studi hukum
yang empirik, hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang
otonom, tetapi sebagai suatu pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variabel-
variabel sosial lainnya.
2. Metode Penelitian
Dalam Penelitian ini digunakan beberapa metode penelitian, yakni :
a. Metode Survei, yaitu suatu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh
fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan
secara faktual, guna membedah dan mengenal masalah-masalah serta
46 Ronny Hanitiyo Soemitro, 1985. Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, hal. 123.72
mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang
berlangsung.47 Hasil dari survei berupa data primer, yaitu data yang bersumber
dari individu maupun kelompok masyarakat, dalam hal ini Individu Nasabah
penerima kredit dari PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA
SEJAHTERA Cilacap dan bilamana diperlukan beberapa Pejabat Bank
tersebut.
b. Metode Kepustakaan, yaitu suatu cara penelitian dengan menelusuri
literatur yang ada serta menelaahnya secara tekun guna memperoleh informasi
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.48 Metode ini digunakan
bertujuan untuk mecari teori-teori, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi
yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian ini. Hasil dari
penelusuran kepustakaan berupa data sekunder, baik yang berupa bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier yang
berkaitan dengan efektivitas sistem pengawasan internal dalam pemberian
kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA
Cilacap serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
c. Metode Dokumenter, yakni sutau penelitian dengan cara menelursuri
dokumen-dokumen resmi yang berhubungan dengan masalah yang sedang
diteliti pada institusi-institusi terkait.49 Hasil dari penelusuran dokumentasi
47 Moh. Nasir, 1999. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 65.48 Sumadi Suryabrata, 1989. Metodologi Penelitian Sosial, CV. Rajawali, Jakarta, hal 72.49 Sanapiah Faesal, 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasinya, Yayasan Asih Asah
Asuh, Malang, hal 158. 73
berupa data sekunder, terutama yang bersumber pada dokumen-dokumen
resmi dari PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA
Cilacap.
3. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini terfokus pada penelitian Deskriptif. Penelitian deskriptif adalah
suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh deskripsi, gambaran atau lukisan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diteliti.50
Dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat
efektivitas hukum pengawasan internal bank terhadap pemberian kredit kepada
Nasabah dan faktor-faktor yang cenderung berpengaruh terhadap efektivitas hukum
pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah tersebut di PT.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.
4. Lokasi Penelitian
50 Moh. Nasir, Op.Cit., hal 63.74
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di PT. Bank Perkreditas
Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. Pemilihan lokasi ini didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a. Intensitas pemberian kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
UKABIMA SEJAHTERA Cilacap tergolong tinggi yang mencakup Nasabah
dari segala lapisan masyarakat dengan berbagai jenis kredit yang diberikan;
b. PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap
merupakan salah satu bank yang relatif cepat berkembang jika dilihat dari segi
usahanya, tercatat tidak kurang dari 500 Nasabah penerima kredit dalam
periode tahun 2011/2012;
c. Secara kebetulan Peneliti berposisi sebagai pengurus Yayasan PT. Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap dan menempati
posisi cukup strategis, sehingga tidak mengalami kesulitan dalam hal
pengumpulan data;
d. Secara kebetulan Peneliti bertempat tinggal di wilayah kota Cilacap, sehingga
penelitian dapat dilakukan lebih efektif dan efisien terutama mengenai tenaga,
waktu dan biaya.
5. Populasi Penelitian
75
Populasi adalah kumpulan atau himpunan dari individu dengan kualitas serta ciri-
ciri yang telah ditetapkan.51 Dalam penelitian ini populasi mencakup seluruh individu
Nasabah penerima kredit dan beberapa Pejabat bank tersebut , dengan populasi
sasaran adalah Nasabah penerima kredit yang bermasalah dan Pejabat di bagian
Perkreditan pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Cilacap.
6. Metode Pengambilan Sampel
Untuk memperoleh jumlah sampel yang cukup representatif, pengambilan
sampel dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Simple Random
Sampling (sampel acak sederhana) dari seluruh populasi yang ada di lokasi penelitian.
Simple Random Sampling adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa
sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai
kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel.52
Berdasarkan penelitian pendahuluan diperoleh data bahwa, Nasabah Penerima
Kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap
sampai periode April 2012, tercatat kurang lebih sebanyak 600 (Enam ratus)
Nasabah Penerima Kredit dari segala lapisan masyarakat. Dari sebanyak 600 (Enam
ratus) Nasabah Penerima Kredit tersebut, diambil sampel sebanyak 5% (Lima
51 Moh. Nasir, Ibid., hal 32552 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 2008. Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES, Jakarta,
hal. 155-156.76
presen) dengan cara Acak, sehingga jumlah sampel keseluruhan dalam penelitian ini
sebanyak 30 (Tiga puluh) Nasabah Penerima Kredit pada PT. Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.
Pengambilan sampel tersebut di atas didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan mengenai karakteristik (ciri-ciri umum) homoginitas masing-masing
populasi, antara lain :
(1) Semua populasi adalah Nasabah Penerima Kredit pada PT. Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap
(2) Semua populasi dalam mengembalikan kredit kepada PT. Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap, dilakukan dengan cara
mengangsur pada setiap bulan;
(3) Semua populasi secara geografis berdomisili secara tetap di wilayah
Kabupaten Cilacap dengan adat-istiadat yang sama;
(4) Semua populasi dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan
gaya dan dialeg banyumasan.
Berdasarkan pada ciri-ciri homoginitas populasi tersebut di atas, maka dapat
diasumsikan bahwa jumlah sampel sebanyak 30 (Tiga puluh) Nasabah Penerima
Kredit yang diambil dalam penelitian ini cukup mewakili (representan), sehingga
akurasi data yang diperolehpun cukup valid dan mempunyai reliabilitas yang
memadai untuk memecahkan masalah yang dirumuskan dalam bab sebelumnya.
77
7. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini memerlukan 2 (dua) jenis data, yakni :
a. Data Primer, yakni data utama yang bersumber dari individu responden
yang menjadi sampel dalam penelitian ini yang meliputi data hasil angket
maupun wawancara;
b. Data Sekunder, yakni data penunjang data primer yang bersumber dari
buku-buku referensi, laporan penelitian, jurnal ilmiah, majalah ilmiah,
makalah seminar, hasil-hasil pertemuan ilmiah, internet dan dokumen-
dokumen resmi pada sistem informasi dan dokumentasi resmi yang ada
pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA
Cilacap.
8. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, dalam penelitian ini digunakan
beberapa metode dan instrumen penelitian sebagai berikut :
a. Metode Angket, dengan instrumen penelitian berupa Angket (kuesioner),
yang berisi pertanyaan-pertanyaan baik yang bersifat tertutup maupun yang
terbuka, yang telah disiapkan lebih dahulu untuk diisi oleh semua responden. 78
Angket (kuesioner) adalah suatu alat penelitian yang dilakukan dengan jalan
mengedarkan suatu daftar pertanyaan berupa formulir-formulir yang diajukan
secara tertulis kepada sejumlah subyek untuk mendapatkan jawaban atau
tanggapan (respons) tertulis seperlunya.53
b. Metode Interview (wawancara), dengan instrumen penelitian yang berupa
Out Line Interview atau pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-
pertanyaan pokok yang disampaikan kepada individu responden tertentu guna
melengkapi data yang tidak bisa dikumpulkan dengan metode Angket.
Interview (Wawancara) adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu
masalah tertentu, yang berupa tanya jawab secara lisan, dimana dua orang
atau lebih berhadap-hadapan secara fisik.54
c. Metode Dokumenter, dengan instrumen penelitian yang berupa Form
Dokumentasi dalam wujud matriks yang berisi informasi narasi yang
diperoleh dari sumber-sumber data sekunder.
9. Metode Pengolahan Data
53 Kartini Kartono, 1986. Pengantar Metodologi Riset Sosial, Alumni, Bandung, hal 200.54 Kartini Kartono, Ibid., hal 171.
79
Data yang terkumpul, kemudian diolah dengan menggunakan cara-cara sebagai
berikut :55
a. Mengkode Data, yaitu suatu pengolahan data yang dilakukan dengan cara
mempelajari jawaban responden, memutuskan perlu tidaknya jawaban
responden dan memberikan simbol berupa angka pada jawaban
responden;
b. Mentabulasi Data, yakni suatu pengolahan data yang dilakukan dengan
cara mengelompokkan jawaban responden dan memasukannya ke dalam
tabel-tabel, baik tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang pada tiap-
tiap tally atau kolom tabel tersebut;
c. Mengedit Data, yaitu suatu pengolahan data yang dilakukan dengan
cara mengadakan evaluasi atau mencek jawaban-jawaban semua
responden dengan menekankan pada konsistensi jawaban satu dengan
yang lain, terutama untuk pertanyaan-pertanyaan yang saling berhubungan
guna menghilangkan kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul.
10. Metode Penyajian Data
55 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Op.Cit., hal 219 – 220.
80
Dalam penelitian ini data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel-tabel,
terutama tabel distribusi frekuensi dan tabel silang. Di samping itu, data akan
disajikan pula dalam bentuk “Teks Naratif”, yakni suatu uraian pernyataan-
pernyataan yang disusun secara sistematis, logis, konsisten dan rasional. Penyajian
data dalam bentuk Teks Naratif ini digunakan untuk menjelaskan data yang berupa
angka-angka dalam tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang.
11. Definisi Operasional Variabel
a. Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank adalah kemampuan suatu
regulasi pengawasan dari diri bank untuk menciptakan keadaan atau situasi
kesehatan bank sebagaimana yang diharapkan, yang dapat dinyatakan dalam
pengukuran efektif, kurang efektif dan tidak efektif.
b. Pemberian Kredit Bank adalah suatu kegiatan bank untuk memberikan
pinjaman sejumlah dana kepada Nasabah dengan suku bunga tertentu sesuai
dengan kontrak kreditnya, yang dapat dinyatakan dalam pengukuran sesuai
regulasi, kurang sesuai regulasi dan tidak sesuai regulasi.
c. Motivasi Pengawasan adalah serangkaian pemberian dorongan kepada
seseorang untuk melakukan tindakan pengawasan dalam pemberian kredit
bank guna mencapai tujuan yang diinginkan lembaga perbankan, yang dapat
dinyatakan dalam pengukuran motivasi tinggi, sedang dan rendah.
81
d. Kepatuhan Hukum adalah tingkat kedisiplinan setiap pegawai perbankan
terhadap segala tata tertib atau regulasi yang berlaku dalam pemberian kredit
bank tersebut, yang dapat dinyatakan dalam pengukuran kepatuhan tinggi,
sedang dan rendah.
e. Intensitas Pengawasan adalah jumlah suatu kegiatan melakukan kontrol dan
pemeriksaan dalam satuan bulan terhadap pemberian kredit kepada nasabah,
yang dapat dinyatakan dalam pengukuran intensitas tinggi, sedang dan rendah.
f. Kerjasama adalah suatu tindakan bersama-sama antara pihak Bank dengan
Nasabah, dimana secara bersama-sama untuk menyumbangkan tenaga dan
pemikirannya secara sukarela dan kesadarannya untuk saling membantu guna
mencapai tujuan bersama dalam pemberian kredit, yang dapat dinyatakan
dalam pengukuran kerjasama tinggi, sedang dan rendah.
12. Metode Analisis Data
Untuk membahas permasalahan yang diungkapkan di muka, data hasil penelitian
dianalisis dengan menggunakan metode “Kuantitatif dan Kualitatatif”. Dalam
analisis Kuantitatif dipilih model analisis statistik sederhana, yang menekankan pada
penggunaan metode Distribusi Frekuensi Analisis dan Silang Analisis,56, sedangkan
56 Supranto J., 1995. Pengantar Statistik Bidang Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal 48.82
dalam analisis Kualitatif akan digunakan metode Analisis Isi (Content Analysis) dan
Analisis Perbandingan (Comparative Analysis).57
Untuk mengupas lebih mendalam dalam analisis di atas, akan digunakan metode
Interpretasi dan diskusi, yakni suatu model interpretasi dengan cara mendiskusikan
atau mendialogkan antara data di satu pihak dengan teori hukum, doktrin hukum dan
norma hukum di lain pihak. Dengan model Interpretasi dan diskusi ini, diharapkan
pengambilan keputusan sebagai kesimpulan akhir yang menyimpang sekecil mungkin
dapat dihindari.
57 Lexy J. Moleong, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal 207.
83
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian merupakan keseluruhan data hasil survey di lapangan yang
dikumpulkan dengan menggunakan Quisioner (angket), berisi pertanyaan-pertanyaan
yang disebarkan kepada 30 nasabah PT. Bank Prekrditan Rakyat (BPR) UKABIMA
SEJAHTERA Cilacap, yang bertindak sebagai sampel responden dan diambil
berdasarkan metode acak sederhana dalam penelitian ini.
Angket yang diajukan kepada responden berisi 55 buah pertanyaan-pertanyaan
yang terbagi dalam 4 variabel dan 4 indikator, dimana variabel Efektivitas hukum
pengawasan internal bank (∑X) terdapat 25 pertanyaan, yang terdiri dari indikator-
indikator ; (a) pemeriksaan terhadap kepribadian nasabah (X1) sebanyak 5 buah
pertanyaan; (b) pemeriksaan terhadap jaminan kredit (X2) sebanyak 7 buah
pertanyaan; (c) pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit (X3) sebanyak 7 buah
pertanyaan; dan (d) pemeriksaan terhadap pengembalian kredit (X4) sebanyak 6 buah
pertanyaan. Kemudian variabel motivasi pengawasan (Y1) jumlah pertanyaan
sebanyak 10 buah, variabel kepatuhan hukum (Y2) sebanyak 10 buah pertanyaan dan
variabel kerjasama Bank dan Nasabah (Y3) sebanyak 10 buah pertanyaan.
84
Adapun distribusi nilai (skor) masing-masing vaiabel dan indikator menurut 30
responden adalah sebagai berikut :
Tabel 1 :
Distribusi Nilai (Skor) Masing-masing Variabel dan Indikator
Menurut 30 Responden
No.
Resp
Faktor-Faktor Efektivitas Hukum Pengawasan
Y1 Y2 Y3 X1 X2 X3 X4 ∑X
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
29
20
28
17
29
18
29
22
28
30
23
28
29
19
30
25
21
17
26
24
30
23
30
20
27
18
28
20
30
29
19
30
30
24
30
26
20
18
28
29
21
15
24
25
22
13
25
14
23
28
16
20
19
14
18
20
17
15
26
27
15
8
14
10
15
7
14
13
15
15
15
15
15
12
14
15
13
9
13
14
18
12
21
12
17
15
18
10
16
20
21
11
15
20
16
18
21
19
20
18
21
18
20
16
21
19
21
19
21
21
21
21
21
12
20
21
20
18
20
13
16
17
17
18
18
18
18
16
16
17
8
16
16
16
16
16
9
15
17
11
70
55
72
56
71
59
71
58
68
73
65
63
67
60
66
70
63
61
70
56
85
21
22
23
24
25
29
27
29
30
29
30
30
27
30
29
20
27
21
20
21
15
15
15
15
15
17
16
19
19
20
21
21
21
20
21
16
16
15
18
14
69
68
71
73
69
No.Resp
Faktor-Faktor Efektivitas Hukum PengawasanY1 Y2 Y3 X1 X2 X3 X4 ∑X
26
27
28
29
30
28
18
22
27
28
30
24
26
30
25
20
26
18
28
21
15
13
15
12
15
18
19
21
20
18
21
20
18
21
20
14
17
16
15
16
68
69
70
68
69
Sumber : Data Primer yang diolah.
Di mana :
∑X = Efektivitas Hukum Pengawasan, merupakan jumlah keseluruhan nilai
masing-masing indikator;
X1 = Pemeriksaan terhadap kepribadian nasabah;
X2 = Pemeriksaan terhadap jaminan kredit;
X3 = Pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit;
X4 = Pemeriksaan terhadap pengembalian kredit.
Y1 = Motivasi Pengawasan;
Y2 = Kepatuhan Hukum Nasabah;
Y3 = Kerjasama Bank dan Nasabah.
86
Selanjutnya, dalam setiap pertanyaan, diberikan 3 alternatif jawaban, dimana
pada jawaban yang benar diberikan skor 3, jawaban yang kurang benar diberikan skor
2 dan pada jawaban yang tidak benar diberikan skor 1.
Untuk menghitung interval kelas pada masing-masing variabel dan indikator,
dipergunakan metode sebagai berikut :
(a) Menentukan batas interval kelas menjadi 3 tingkatan pada masing-masing
variabel dan indikator, dengan cara ;
(1) Menetapkan besarnya Range (R) dari jumlah skor masing-masing
variabel dan indokator, dengan rumus : R = Skor tertinggi – Skor
terendah;
(2) Menghitung besarnya interval kelas masing-masing variabel dan
indikator, dengan rumus :
R i = ------ K
Di mana : i = besarnya interval kelas; R = Range; K = jumlah kelas yang dikehendaki.
(b) Membagi masing-masing variabel dan indikator menjadi 3 (tiga) tingkatan
dalam bentuk tabel Distribusi Frekuensi dan tabel Silang
Berdasarkan perhitungan Interval Kelas dengan menggunakan rumus di atas,
maka diperoleh gambaran interval kelas masing-masing variabel dan indikator
sebagai berikut :
87
(1) Varibabel Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank (∑X) :
● Nilai 55 – 60, adalah rendah;
● Nilai 61 – 67, adalah sedang;
● Nilai 68 – 73, adalah tinggi.
(2) Indikator Pemeriksaan Kepribadian Nasabah (X1) :
● Nilai 7 – 9, adalah rendah;
● Nilai 10 – 12, adalah sedang;
● Nilai 13 – 15, adalah tinggi.
(3) Indikator Pemeriksaan Jaminan Kredit (X2) :
● Nilai 10 – 13, adalah rendah.
● Nilai 14 – 17, adalah sedang;
● Nilai 18 – 21, adalah tinggi.
(4) Indikator Pemeriksaan Pengelolaan Kredit (X3) :
● Nilai 12 – 14, adalah rendah;
● Nilai 15 – 17, adalah sedang;
● Nilai 18 – 21, adalah tinggi.
(5) Indikator Pemeriksaan Pengembalian Kredit (X4) :
● Nilai 8 – 10, adalah rendah;
● Nilai 11 – 14, adalah sedang;
● Nilai 15 – 18, adalah tinggi.
(6) Variabel Motivasi Pengawasan (Y1) :
● Nilai 17 – 20, adalah rendah;
● Nilai 21 – 25, adalah sedang;
● Nilai 26 – 30, adalah tinggi.
(7) Variabel Kepatuhan Hukum Nasabah (Y2) :
● Nilai 18 – 21, adalah rendah;
● Nilai 22 – 25, adalah sedang;
● Nilai 26 – 30, adalah tinggi.
88
(8) Variabel Kerjasama Bank dan Nasabah (Y3) :
● Nilai 13 – 17, adalah rendah;
● Nilai 18 – 22, adalah sedang;
● Nilai 23 – 28, adalah tinggi
89
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank Terhadap Pemberian Kredit di PT.
Bank Perkreditan Rakyat UKABIMA SEJAHTERA Cilacap
Sebagaimana dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa, pengawasan terhadap
lembaga perbankan di Indonesia merupakan tugas Bank Indonesia. Hal ini
ditentukan secara tegas dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang
Bank Indonesia, yang menyebutkan bahwa tugas Bank Indonesia mencakup antara
laian : (a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (b) mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan (c) mengatur dan mengawasi bank.
Dalam hubungannya dengan tugas Bank Indonesia untuk mengatur dan
mengawasi bank, mendapat penjabaran lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 24
Undang-Undang Bank Indonesia, yang menyebutkan bahwa dalam rangka
melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank
Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan
dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, pelaksanaan pengawasan Bank dan
mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan disebutkan bahwa :
(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indoensia;
90
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib
melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian;
(3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan
melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang
tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan
dananya kepada bank;
(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi
nasabah yang dilakukan melalui bank;
(5) Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagimana dimaksud dalam ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dari ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Bank Indonesia dan Pasal 29 Undang-
Undang Perbankan tersebut di atas, dapat diinterpretasikan bahwa tugas mengatur,
membina dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, dimaksudkan agar bank selalu
dalam keadaan sehat, dimana tingkat kesehatan bank diukur dengan indikator ;
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, wajib melakukan
kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini mengandung arti bahwa
lembaga perbankan, termasuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam melakukan
91
kegiatan usahanya, pada dasarnya wajib melakukan pengawasan secara internal bank
yang bersangkutan, di samping secara eksternal diawasi oleh Bank Indonesia.
Berkaitan dengan kegiatan usaha bank, ketentuan Pasal 13 Undang-Undang
Perbankan menyebutkan bahwa, usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito
berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. Memberikan kredit;
c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.
Berdasarkan pada hal di atas, maka secara sosiologis masalah efektivitas
pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada nasabah, pada hakikatnya
merupakan penyelenggaraan hukum perbankan yang dalam bekerjanya tidak terlepas
keterkaitannya dengan aspek-aspek non-hukum, seperti ekonomi, politik, sosial,
budaya dan sebagainya.
Dalam hubungannya dengan masalah bekerjanya hukum, sebagaimana telah
disinggung dalam bab sebelumnya, Robert B. Seidman mengemukakan teorinya yang
menyatakan bahwa, bekerjanya hukum di dalam masyarakat melibatkan 3 (tiga)
komponen dasar, yakni ; (a) Lembaga pembuat hukum; (b) Lembaga pelaksana
92
hukum; dan (c) Pemegang peranan. Dalam interaksinya, ketiga komponen dasar
tersebut selalu dipengaruhi oleh kekuatan-keuatan personal dan sosial lainnya.
Dari teori di atas dapatlah diketahui bahwa, setiap anggota masyarakat sebagai
pemegang peran ditentukan tingkah lakunya oleh pola peranan yang diharapkan
daripadanya baik oleh norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan di luar
hukum. Dengan demikian, hukum merupakan aturan-aturan yang dibuat dan
diterapkan oleh masyarakat kepada masyarakat, sehingga tidak ada alasan apriori
mengapa hukum tidak dapat beradaptasi dengan segera terhadap perubahan-
perubahan lingkungannya.
Selain itu, dari bagan tersebut di atas tampak peranan dari kekuatan sosial, yang
tidak hanya berpengalaman terhadap masyarakat sebagai sasaran yang diatur oleh
hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum, dalam kekuatan sosial ini
termasuk kompleks suatu tatanan lainnya. Hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam
masyarakat tidak bisa hanya dimonopoli oleh hukum. Artinya, tingkah laku
masyarakat tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan sosial
lainnya.
Berkaitan dengan teori tersebut, Ronny Hanitiyo Soemitro memberikan
ulasannya antara lain sebagai berikut :
“Bagaimana seorang pemegang peran bertingkah laku merupakan hasil
penjumlahan (resultance) dari semua kekuatan-kekuatan yaitu yang berasal dari orang
(personal-forces) dan yang berasal dari masyarakat (societies-forces), yang ditujukan
93
kepada pemegang peran itu. Kenyataan menunjukkan dengan jelas bahwa hampir
semua peranan di dalam masyarakat diatur oleh hukum. Apabila suatu peranan diatur
oleh hukum, maka kekuatan sosial terpenting yang beroperasi terhadap pemegang
peran adalah kegiatan dari para pejabat. Pejabat membentuk peraturan-peraturan yang
diharapkan akan dipatuhi oleh pemegang peran, sedangkan pejabat-pejabat
menempati kedudukan yang menentukan mengenai apakah suatu sanksi itu sesuai dan
apabila sesuai maka selanjutnya bertindak memaksakan sanksi tersebut. Faktor kritis
dalam menentukan bagaimana seorang pemegang peran, kekuatan-kekuatan sosial
dan personal yang bekerja terhadap pemegang peran dan kegiatan lembaga penerap
sanksi. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa lembaga pembentuk hukum dan
lembaga penerap sanksi tidak beroperasi di ruang hampa. Kedua lembaga ini juga
merupakan obyek dari norma-norma sebagai akibat dari kedudukannya dan mendapat
pengaruh dair kekuatan-kekuatan sosial dan personal”.
Apabila teori bekerjanya hukum ini diaplikasikan ke dalam masalah efektivitas
pengawasan internal bank terhadap pemberian kredit pada PT. Bank Perkreditan
Rakyat Ukabima Sejahtera Cilacap, maka yang dimaksud lembaga pembuat hukum
adalah Pemerintah, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sedangkan
yang dimaksud lembaga pelaksana hukum tidak lain adalah PT. Bank Perkreditan
Rakyat Ukabima Sejahtera itu sendiri, dan yang dimaksud dengan pemegang peran
adalah nasabah sebagai penerima kredit dari Bank Perkreditan Rakyat tersebut.
Dalam proses pelaksanaan pengawasan internal terhadap pemberian kredit, baik PT.
94
Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera maupun Nasabah sebagai penerima
kredit, selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan personal dan sosial lannya.
Untuk memperoleh gambaran tentang Efektivitas Pengawasan Internal Bank
dalam Pemberian Kredit kepada Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat
Ukabima Sejahtera, hasil penelitian mengungkapkan gambaran sebagaimana
dipaparkan dalam tabel di bawah ini :
Tabel 2 : Efektivitas Pengawasan Internal Bank Terhadap Pemberian Kredit Kepada Nasabah
No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)
Persentase(%)
123
55 – 6061 – 6768 – 73
RendahSedangTinggi
6618
20,0020,0060.00
Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah
Dari tabel di atas dapat diperoleh gambaran bahwa, dari 30 Nasabah sebagai
responden, terdapat sebanyak 6 (20,00%) responden menyatakan efektivitas
pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit adalah rendah dan sedang, serta
sebanyak 18 (60,00%) responden mengaku tingkat efektivitas pengawasan internal
Bank dalam pemberian kredit adalah tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa, sebagian besar responden menyatakan bahwa, efektivitas pengawasan internal
Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah adalah tinggi. Hal ini mengandung
arti bahwa, pengawasan internal dalam pemberian kredit kepada Nasabah yang
dilakukan oleh PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera tersebut
menunjukkan tingkat yang efektif.
95
Mendasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat diinterpretasikan secara
analogis bahwa, PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera sebagai pihak
yang bertugas melakukan pengawasan internal dalam pemberian kredit kepada
Nasabah, secara umum telah melaksanakan pengawasan sesuai dengan pedoman dan
peraturan hukum yang berlaku.
Bilamana kenyataan ini ditafsirkan dengan mendasarkan pada doktrin dari
Soerjono Soekanto, yang menyatakan bahwa, ”Efektivitas Hukum adalah
kemampuan hukum untuk menciptakan atau melahirkan keadaan atau situasi seperti
yang dikehendaki atau diharapkan oleh hukum”, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa, pengawasan internal bank sebagai salah satu peraturan yang berlaku dalam
pemberian kredit kepada nasabah, ternyata mampu mengatur untuk menciptakan
kondisi bank yang selalu dalam keadaan sehat, dimana tingkat kesehatan bank diukur
dengan indikator ; kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha pemberian
kredit bank, melalui media pengenalan pribadi nasabah, kuantitas dan kualitas
jaminan hak kebendaan, tujuan pengelolaan kredit dan kelancaran pengembalian
kredit nasabah.
Tingginya tingkat efektivitas pengawasan internal bank sebagaimana dipaparkan
di atas, dapat dibuktikan dengan melihat pada unsur-unsur sasaran pengawasan
sebagai indikator yang antara lain meliputi ; (a) Pemeriksaan Bank terhadap
kepribadian Nasabah; (b) Pemeriksaan Bank terhadap Jaminan Kredit; (c)
96
Pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit Nasabah; dan (d) Pemeriksaan Bank
terhadap pengembalian kredit.
Bilamana tingginya tingkat efektivitas pengawasan internal bank dalam
pemberian kredit kepada Nasabah tersebut, dilihat dari indikator pemeriksaan Bank
terhadap kepribadian Nasabah, maka dapat diperoleh gambaran sebagaimana
dituangkan dalam tabel di bawah ini :
Tabel 3 : Tingkat Pemeriksaan Bank Terhadap Kepribadian Nasabah
No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)
Persentase(%)
123
7 – 9 10 – 1213 – 15
RendahSedangTinggi
3324
10,0010,0080.00
Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel di atas mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah sebagai
responden, terdapat sebanyak 3 (10,00%) responden menunjukkan tingkat
pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah adalah rendah dan sedang, serta
sebanyak 24 (80,00%) responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap
kepribadian Nasabah adalah tinggi.
Dari fakta tersebut di atas, dapat diinterpretasikan bahwa sebagian besar
responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah
dalam pemberian kredit adalah tinggi. Kenyataan ini mengandung arti bahwa,
sebelum memberikan kredit kepada nasabah, Bank lebih dahulu melakukan tindakan
pengenalan terhadap pribadi nasabah secara seksama dan teliti sebagai pelaksanaan
97
dari prinsip kehati-hatian bank. Intensitas pengenalan terhadap pribadi Nasabah yang
relatif tinggi tersebut, sangat menentukan pula tingginya efektivitas pengawasan
internal bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang menyetakan bahwa,
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prisip syariah, bank umum
wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas etikad dan
kemampuan serta kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Apabila kenyataan dalam tabel 3 ini dihubungkan dengan data yang dituangkan
dalam tabel 2 di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa, tingginya tingkat pemeriksaan
Bank terhadap kepribadian Nasabah, cenderung mewarnai tingginya tingkat
efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, tingginya tingkat pemeriksaan Bank
terhadap pribadi Nasabah, merupakan keyakinan yang mendalam Bank atas
kemampuan Nasabah untuk mengembalikan kredit yang diterimanya. Hal ini mejadi
salah satu instrumen pengawasan internal Bank yang relatif efektif.
Selanjutnya, jika tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian
kredit kepada Nasabah ini dilihat dari indikator tingkat pemeriksaan Bank terhadap
jaminan kredit, dapat diperoleh gambaran bahwa, sebagian besar responden mengaku
tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang diajukan relatif tinggi. Hal
98
ini dapat dibuktkan dengan melihat data hasil penelitian yang dituangkan dalam tabel
di bawah ini :
Tabel 4 : Tingkat Pemeriksaan Bank Terhadap Jaminan Kredit
No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)
Persentase(%)
123
10 – 1314 – 1718 – 21
RendahSedangTinggi
4719
13,3323,3363,34
Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, sebanyak 4 (13,33%) responden
menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit adalah rendah, dan
sebanyak 7 (23,33%) responden menunjukkan tingkat yang sedang atas pemeriksaan
Bank terhadap jaminan kreditnya, serta sebanyak 19 (63,34%) responden menyatakan
tinggi tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang diajukan Nasabah.
Berdasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa,
sebagian besar responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan
kredit yang diajukan oleh Nasabah adalah tinggi. Dengan demikian dapat
diasumsikan bahwa, pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit merupakan salah satu
instrumen untuk melakukan pengawasan secara internal dalam pemberian kredit,
dengan maksud agar pemberian kredit yang melebihi nilai jaminan optimal mungkin
dapat dihindari. Tujuan dari pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit ini
diharapkan pemberian kredit tersebut tidak melampaui Batas Maksimal Pemberian
Kredit (BMPK) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 11 ayat (4A) Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa,
99
“Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank
dilarang melampaui Batas Maksimun pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
Jika data dalam tabel ini dihubungkan dengan tabel 2 di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang diajukan
nasabah pada dasarnya sangat menentukan bagi tingkat efektivitas pengawasan
internal Bank dalam pemberian kredit. Artinya, tingginya tingkat pemeriksaan Bank
terhadap jaminan kredit, cenderung menentukan tingginya tingkat efektivitas
pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah.
Selanjutnya, bilamana efektivitas pengawasan internal bank dalam pemberian
kredit ini, dilihat dari indikator pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang
diberikan kepada Nasabah, hasil penelitian mengungkapkan gambaran sebagaimana
tertuang dalam tabel berikut ini :
Tabel 5 : Tingkat Pemeriksaan Bank terhadap Pengelolaan Kredit Nasabah
No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)
Persentase(%)
123
12 – 1415 – 1718 - 21
RendahSedangTinggi
2127
6,673,3390,00
Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel di atas secara jelas mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah
sebagai responden, terdapat sejumlah 2 (6,67%) responden menyatakan tingkat
pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit adalah rendah, dan sejumlah 1
100
(3,33%) responden menyatakan sedang tingkat pemeriksaan Bank terhadap
pengelolaan kredit Nasabah, serta sejumlah 27 (90,00%) responden menyatakan
bahwa tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit Nasabah adalah relatif
tinggi.
Dari fakta di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, sebagian besar responden
menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang diterimanya
relatif tinggi. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang
diberiakan kepada Nasabah, mengandung maksud agar Bank dapat mengetahui secara
pasti, apakah kredit yang telah diberikan tersebut benar-benar dipergunakan sebagai
modal usaha sesuai dengan tujuan permohonan kredit yang diajukan Nasabah.
Tindakan pemeriksaan ini dilakukan, karena di dalam praktik sering terjadi tindakan
penyalahgunaan kredit oleh Nasabah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain
yang tidak sesuai dengan peruntukkan kredit sebagaimana mestinya. Dengan
demikian, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit tersebut, pada
dasarnya merupakan tinakan pengawasan Bank dalam pemberian kredit kepada
Nasabah. Hal ini berdampak terhadap kelancaran proses pengembalian kredit oleh
Nasabah sesuai dengan kesepakatan yang diperjanjikan dalam kontrak kreditnya.
Ditinjau dari perspektif Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, tindakan
pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang diberikan kepada Nasabah, pada
hakikatnya merupakan cara-cara yang ditempuh Bank untuk menyelamatkan kredit
yang telah dicairkan kepada Nasabah, dengan tujuan agar Nasabah mampu
101
mengembalikan kredit yang diambilnya dengan lancar sesuai dengan jangka waktu
yang telah disepakati dalam kontrak kredit, sehingga Bank tidak dirugikan karena
penyalahgunaan kredit oleh Nasabah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat
(3) Undang-Undang Perbankan, yang antara lain menyatakan bahwa, “Dalam
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan
usaha lainnya, Bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank dan
kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya kepada Bank”.
Apabila data dalam tabel 5 ini dihubungkan dengan data dalam tabel 2 di atas,
maka dapat diinpterpretasikan bahwa, efektivitas pengawasan internal Bank terhadap
pemberian kredit kepada Nasabah, sangat ditentukan oleh tindakan pemeriksaan Bank
terhadap pengelolaan kredit. Hal ini mengandung arti bahwa, tingginya tingkat
pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit, menentukan pula tingginya tingkat
efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit tersebut.
Di samping indikator-indikator tersebut di atas, tingkat efektivitas pengawasan
internal Bank dalam pemberian kredit, juga ditentukan pula oleh indikator tingkat
pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit. Dalam hubungannya dengan hal
tersebut, dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diperoleh gambaran sebagaimana
dituangkan dalam tabel di bawah ini :
Tabel 6 : Tingkat Pemeriksaan Bank Terhadap Pengembalian Kredit
No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)
Persentase(%)
12
8 – 1112 – 14
RendahSedang
32
10,006,67
102
3 15 - 18 Tinggi 25 83,33Total 30 100,00
Sumber : Data Primer yang diolah
Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah sebagai
responden, terdapat sejumlah 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat pemeriksaan
Bank terhadap pengembalian kredit adalah rendah, dan sejumlah 2 (6,67%)
responden menyatakan bahwa, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian
kredit menunjukkan tingkat yang relatif sedang, serta sejumlah 25 (83,33%)
responden menyatakan tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit
menunjukkan tingkat yang relatif tinggi.
Dari fakta di atas dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar responden
menyatakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit menunjukkan tingkat
yang relatif tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, tindakan pemeriksaan Bank
terhadap pengembalian kredit oleh Nasabah, merupakan tindakan pengawasan
internal Bank, yang bertujuan untuk menarik kembali dana yang telah disalurkan
kepada Nasabah melalui kredit serta keuntungan yang seharusnya diperoleh dengan
membebankan bunga dengan persentase tertentu kepada Nasabah.
Pengawasan semacam ini merupakan cara-cara yang ditempuh Bank secara
internal untuk menyelamatkan sejumlah dana yang telah disalurkan kepada Nasabah.
Cara ini dilakukan Bank, karena secara sosiologis tindakan pengembalian kredit dari
Nasbah acapkali tidak sesuai dengan jangka waktu kredit yang telah diperjanjikan.
103
Seperti halnya tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit, tindakan
pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit inipun merupakan cara-cara
pengawasan yang legal untuk dipergunakan Bank, dalam rangka menghimpun dana
kembali dari Nasabah, sehingga Bank tidak dirugikan karena pemberian kredit.
Legalisasi model pengawasan internal Bank ini, secara implisit diperkenankan oleh
ketentuan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Perbankan sebagaimana telah
disinggung di muka. Dengan demikian secara yuridis formal, model pengawasan
internal Bank dalam pemberian kredit semacam ini dijamin oleh Undang-Undang
Perbankan.
Apabila kenyataan dalam tabel 6 ini dihubungkan dengan data yang ada dalam
tabel 2 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat efektivitas pengawasan
internal Bank dalam pemberian kredit, bergantung pula pada tindakan pemeriksaan
Bank terhadap kegiatan pengembalian kredit. Hal ini mengandung arti bahwa, jika
tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit tersebut tinggi, maka
tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah
semakin dapat dilaksanakan secara efektif. Dengan demikian dapatlah
diinterpretasikan bahwa, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit,
merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat efektivitas pengawasan
internal Bank dakam pemberian kredit nampak sangat relevan dan saling
ketergantungan satu sama lainnya.
104
Berdasarkan pada uraian tersbut di atas, dapat ditarik kesimpulan secara umum
bahwa, tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit
tergolong tinggi. Artinya, tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian
kredit dapat diimplementasikan secara efektif. Tingginya tingkat efektivitas
pengawasan internal Bank terhadap pemberian kredit ini ditunjang oleh berperannya
beberapa unsur, yakni :
(1) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah dalam
pemberian kredit;
(2) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap hak kebendaan sebagai
jaminan kredit;
(3) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit Nasabah
sebagai modal usaha;
(4) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap kegiatan pengembalian kredit
dari Nasabah.
2. Pengaruh Faktor Motivasi Pengawasan, Kepatuhan Hukum dan Kerjasama Terhadap Efektivitas Pengawasan Internal Bank Dalam Pemberian Kredit
Sebagaimana dikemukakan dalam bab sebelumnya, bahwa Efektivitas hukum
merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan aspek bekerjanya hukum dalam
masyarakat yang melibatkan tiga komponen dasar seperti lembaga pembuat hukum,
lembaga penerap hukum dan masyarakat yang dikenai hukum. Ketiga komponen
105
dasar tersebut dalam interaksinya tidak terlepas pengaruhnya dari faktor-faktor sosial
dan personal lainnya.
Dalam hubungannya dengan efektivitas pengawasan internal Bank dalam
pemberian kredit kepada Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima
Sejahtera Cilacap, pada hakikatnya merupakan penyelenggaraan hukum yang dalam
interaksinya acapkali dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor dominan yang
seringkali berpengaruh terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam
pemberian kredit ini, diasumsikan antara lain faktor motivasi pengawasan, kepatuhan
hukum pengawasan dan kerjasama antar karyawan, pimpinan Bank dan Nasabah.
Ketiga faktor tersebut, merupakan kekuatan-kekuatan personal dan sosial lainnya
yang mempengaruhi interaksi lembaga penerap peraturan hukum dengan aksi-aksi
pemegang peran sebagaimana digariskan dalam teori bekerjanya hukum dalam
masyarakat model Robert B. Seidman yang telah disinggung pada pemaparan di
muka.
Bilamana efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada
Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera Cilacap ini dilihat
dari pengaruhnya faktor motivasi pengawasan, maka dapat diperoleh gambaran
bahwa sebagian besar responden menyatakan tindakan pengawasan yang dilakukan
oleh pihak Bank dalam pemberian kredit menunjukkan tingkat yang tinggi. Hal ini
dapat dibuktokan dengan melihat data hasil penelitian yang dituangkan dalam tabel
sebagai berikut :
106
Tabel 7 : Tingkat Motivasi Pengawasan dalam Pemberian Kredit
No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)
Persentase(%)
123
17 – 2021 – 2526 – 30
RendahSedangTinggi
6618
20,0020,0060,00
Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah
Dari tabel di atas dapat diungkapkan bahwa, dari 30 Nasabah yang bertindak
sebagai responden dalam penelitian ini, terdapat sejumlah 6 (20,00%) responden
menunjukkan tingkat motivasi yang rendah dan sedang, serta sejumlah 18 (60,00%)
responden menunjukkan tingkat motivasi yang tinggi dalam melaksanakan
pengawasan internal terhadap pemberian kredit kepada nasabah.
Berdasarkan pada data tersebut di atas, dapat diinterpreasikan bahwa sebagian
besar responden menyatakan tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian
kredit kepada nasabah menunjukkan tingkat motivasi yang relatif tinggi. Tingginya
tingkat motivasi pengawasan ini ditunjang pula dengan adanya motif agar dapat
terciptanya kondisi Bank yang sehat, dan suatu harapan agar dana yang telah
disalurkan melalui kredit tersebut dapat ditarik kembali melalui pelaksanaan
kewajiban nasabah melunasi utangnya. Dengan demikian, motivasi pengawasan
internal Bank dalam pemberian kredit merupakan masalah yang sangat penting
dalam setiap usaha Bank dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat melalui kredit dalam kondisi Bank
107
yang tetap sehat. Kenyataan ini sesuai dengan doktrin yang dikemukakan oleh
Buchari Zainun, yang menyatakan sebagai berikut :
“Motivasi dapat dilihat sebagai bagian yang fundamental dari kegiatan
manajemen, sehingga sesuatunya dapat ditujukan kepada pengarahan potensi dan
daya manusia dengan jalan menimbulkan, menghidupkan dan menumbuhkan tingkat
keinginan yang tinggi, kebersamaan dalam menjalankan tugas-tugas perseorangan
maupun kelompok dalam organisasi”.
Jika data dalam tabel 7 di atas diinterpretasikan dengan mendasarkan pada
doktrin Buchari Zainun tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, pemenuhan
keinginan dan pengharapan merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam
pengelolaan manajemen perbankan dengan prinsip keahati-hatian Bank, dapat
dilakukan melalui sistem pengawasan, dengan jalan melakukan segala tindakan
pemeriksaan dalam kaitannya dengan pemberian, pengelolaan dan pengembalian
kredit yang telah disalurkan kepada Nasabah. Dengan demikian motivasi merupakan
rangkaian pemberian dorongan kepada lembaga perbankan, dalam hal ini PT. Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Ukabima Sejahtera Cilacap, untuk melakukan tindakan
pengawasan internal guna mencapai tujuan yang diinginkan oleh lembaga perbankan
tersebut.
Apabila data dalam tabel 7 ini dihubungkan dengan hasil penelitian dalam tabel 2
di atas, maka nampak ada kecenderungan berpengaruhnya faktor motivasi ini
terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit. Hal ini dapat
108
dibuktikan dengan mengkaji lebih lanjut data hasil penelitian yang dituangkan dalam
tabel di bawah ini :
Tabel 8 : Pengaruh Faktor Motivasi Pengawasan terhadap Efektivitas Pengawasan Internal Bank dalam Pemberian Kredit
Motivasi
Efektivitas
Rendah Sedang Tinggi Total
F % F % F % F %
● Rendah
● Sedang
● Tinggi
4
1
1
13,34
3,33
3,33
2
2
2
6,66
6,67
6,67
0
3
15
0,00
10,00
50,00
6
6
18
20,00
20,00
60,00
Total 6 20,00 6 20,00 18 60,00 30 100,00
Sumber : Data primer yang diolah
Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, pada masing-masing tingkat
motivasi yang rendah, sedang dan tinggi, menunjukkan tingkat efektivitas
pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit yang berbeda-beda, dimana pada
tingkat motivasi yang rendah, terdapat sejumlah 4 (13,33%) responden menyatakan
tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang rendah, dan sejumlah 1 (3,33%)
responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang sedang
dan tinggi.
Selanjutnya jika dilihat dari tingkat motivasi pengawasan yang sedang, terdapat
sejumlah 2 (6,67%) responden menyatakan masing-masing menunjukkan tingkat
efektivitas pengawasan internal Bank yang rendah, sedang dan tinggi dalam
pemberian kredit kepada Nasabah.
109
Bilamana dikaji dari tingkat motivasi pengawasan yang tinggi, maka diperoleh
gambaran bahwa, sebanyak 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat efektivitas
pengawasan internal Bank yang sedang, dan sebanyak 15 (50,00%) responden
menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang relatif tinggi pula
dalam pemberian kredit.
Berdasarkan pada kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa, ada
kecenderungan faktor motivasi berpengaruh secara positif terhadap tingkat efektivitas
pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit. Hal ini nampak dari segi bahwa
semakin tinggi tingkat motivasi pengawasan, maka semakin tinggi pula tingkat
efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah.
Dengan demikian, faktor motivasi dalam pengawasan internal menunjukan adanya
hubungan yang searah dengan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam
pemberian kredit. Artinya, faktor motivasi dalam penyelenggaraan pengawasan
internal sangat menentukan efektif, kurang efektif atau tidak efektifnya pengawasan
internal dalam pemberian kredit tersebut. Dengan kata lain, tindakan pengawasan
yang didorong oleh faktor motivasi, ternyata mampu untuk menciptakan kondisi
efektivitas segala kegiatan yang berhubungan dengan pemberian kredit menjadi
lancar sesuai dengan harapan dari lembaga perbankan itu sendiri.
Selanjutnya, jika masalah efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian
kredit ini ditinjau dari pengaruhnya faktor kepatuhan Pegawai dan Pimpinan lembaga
perbankan serta Nasabah penerima kredit, maka dapat diperoleh gambaran tentang
110
tingkat kepatuhan pengawasan Bank dan Nasabah dalam kaitannya dengan pemberian
kredit yang dapat dikemukakan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 9 : Tingkat Kepatuhan Pengawasan Bank dan Nasabah dalam pelaksanaan Pemberian Kredit
No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)
Persentase(%)
123
18 – 2122 – 2526 – 30
RendahSedangTinggi
6420
20,0013,3366,67
Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel di atas mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 30 responden terdapat
sejumlah 6 (20,00%) responden menyatakan tingkat kepatuhan pengawasan Bank dan
Nasabah relatif rendah, dan sejumlah 4 (13,33%) responden menyatakan tingkat
kepatuhan pengawasan Bank dan Nasabah relatif sedang, serta sejumlah 20 (66,67%)
responden menyatakan tingkat kepatuhan pengawasan Bank dan Nasabah relatif
tinggi.
Mendasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat disimpulkan sementara bahwa,
sebagian besar responden menunjukkan tingkat kepatuhan pengawasan yang relatif
tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, kepatuhan Bank dan Nasabah terhadap
peraturan-peraturan hukum yang berkaiatan dengan pemberian kredit merupakan
kepatuhan pengawasan internal, yang mampu memelihara tingkat kesehatan Bank,
sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset dan manajemen, likuiditas,
rentabilitas solvabilitas dan aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank.
111
Dalam hubungannya dengan istilah kepatuhan, Soerjono Soekanto
mengemukakan pendapatnya bahwa. “Kepatuhan adalah suatu keadaan tertib dimana
orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi, tunduk pada peraturan-peraturan
hukum yang telah ada dengan senang hati dan kesadarannya”.
Apabila kenyataan dalam tabel 9 di atas, diinterpretasikan dengan mendasarkan
pada doktrin Soerjono Soekanto ini, maka dapat disimpulkan bahwa, tindakan
pengawasan internal Bank dapat dilakukan secara efektif, apabila didukung dengan
keadaan yang tertib, dimana Pegawai, Pimpinan dan Nasabah Lembaga perbankan
tersebut tunduk terhadap segala ketentuan hukum yang berkaitan dengan pemberian
kredit, dengan senang hati dan kesadaran pribadinya, terutama yang bersangkutan
dengan pengawasan kepribadian Nasabah, hak kebendaan sebagai jaminan kridit,
pengelolaan kredit dan pengembalian kredit. Kenyataan ini mendorong timbulnya
dugaan kuat bahwa, ada kecenderungan berpengaruhnya faktor kepatuhan terhadap
efektivitas pengawasan internal Bank dalam pelaksanaan pemebrian kredit kepada
Nasabah.
Kecenderungan berpengaruhnya faktor kepatuhan terhadap efektivitas
pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit ini, akan lebih jelas manakala data
dalam tabel 9 ini dikorelasikan dengan data yang dituangkan dalam tabel 2 tersebut
dimuka, yang dapat dituangkan dalam tabel silang sebagai berikut :
112
Tabel 10 : Pengaruh Faktor Kepatuhan Terhadap Efektivitas Pengawasan Internal Bank Dalam Pemberian Kredit
Kepatuhan
Efektivitas
Rendah Sedang Tinggi Total
F % F % F % F %
● Rendah
● Sedang
● Tinggi
3
3
0
10,00
10,00
0,00
2
0
2
6,67
0,00
6,67
1
3
16
3,33
10,00
53,33
6
6
18
20,00
20,00
60,00
Total 6 20,00 4 13,33 20 66,67 30 100,00
Sumber : Data primer yang diolah
Tabel di atas mengungkapkan bahwa, dari sejumlah 6 (20,00%) responden
dengan tingkat kepatuhan yang rendah, terdapat sebanyak 3 (10,00%) responden
masing-masing menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank relatif
rendah dan sedang dalam pemberian kredit.
Selanjutnya dari 4 (13,33%) responden yang tingkat kepatuhannya sedang,
terdapat sejumlah 2 (6,67%) responden masing-masing menyatakan tingkat
efektivitas pengawasan internal Bank relatif rendah dan tinggi dalam pemberian
kredit kepada Nasabah.
Tabel di atas mengungkap pula bahwa, dari sejumlah 20 (66,67%) responden
yang menyatakan tingkat kepatuhannya tinggi, terdapat sejumlah 1 (3,33%)
responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank adalah rendah,
dan sejumlah 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan
internal bank adalah sedang, serta sebanyak 16 (53,33%) responden menyatakan
113
relatif tinggi tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit
kepada Nasabah.
Mendasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada
kecenderungan berpengaruhnya faktor kepatuhan terhadap efektivitas pengawasan
internal secara positif dalam pemberian kredit kepada nasabah. Artinya, semakin
tinggi tingkat kepatuhan pengawasan, maka semakin tinggi pula tingkat efektivitas
pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada nasabah. Dengan
demikian dapat diasumsikan bahwa, faktor kepatuhan Bank dan Nasabah terhadap
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemberian kredit, cenderung sangat
menentukan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang dilakukan.
Di samping faktor motivasi dan kepatuhan yang cenderung mempengaruhi
tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit, faktor
kerjasama diduga kuat juga cenderung berpengaruh terhadap tingkat efektivitas
pengawasan internal Bank tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian
yang menggambarkan tingkat kerjasama pengawasan antara Bank dan Nasabah
sebagaimana dituangkan dalam tabel berikut ini :
Tabel 11 : Tingkat Kerjasama Pengawasan Dalam Pemberian Kredit
No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)
Persentase(%)
123
13 – 1718 – 2223 – 28
RendahSedangTinggi
71310
23,3343,3433,33
Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah
114
Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah yang
bertindak sebagai responden, terdapat sejumlah 7 (23,33%) responden menyatakan
tingkat kerjasama pengawasan adalah rendah, dan sejumlah 13 (43,34%)
responden menyataka tingkat kerjasama pengawasan yang relatif sedang, serta
sejumlah 10 (33,33%) responden menyatakan tingkat kerjasama pengawasan relatif
tinggi.
Dari kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden
menunjukkan tingkat kerjasama pengawasan yang relatif sedang. Kondisi ini tidak
berbeda banyak dengan responden yang menyatakan tingkat kerjasama pengawasan
yang relatif tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, unsur kerjasama dalam
melakukan pengawasan internal Bank tergolong sangat menentukan bagi efektif atau
tidak efektifnya pengawasan tersebut dalam pemberian kredit kepada Nasabah.
Tinggi, sedang dan rendahnya tingkat kerjasama dalam pelaksanaan pengawasan
internal Bank dalam pemberian kredit, secara empirik ditentukan oleh ada atau tidak
adanya unsur-unsur :
(1) Kesediaan para Pegawai dan Nasabah Bank untuk bekerjasama dengan
rekan-rekan sekerja, maupun dengan pimpinan Bank yang didasarkan untuk
mencapai tujuan bersama;
(2) Kesediaan untuk sering membantu diantara para pegawai dan nasabah
sehubungan dengan tindakan pengawasan internal bank dalam pemberian
kredit kepada Nasabah;
115
(3) Adanya keaktifan dari individu-individu dalam melakukan kegiatan-kegiatan
perbankan, tertama yang berhubungan dengan tindakan pengawasan internal
Bank dalam pemberian kredit.
Bilamana data dalam tabel 11 ini dihubungkan dengan tabel 2 di muka, maka
nampak bahwa faktor kerjasama pengawasan cenderung berpengaruh terhadap
efektivitas pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada nasabah. Hal
ini dapat dibuktikan dengan melihat data yang dituangkan dalam tabel silang sebagai
berikut :
Tabel 12 : Pengaruh Faktor Kerjasama terhadap Efektivitas Pengawasan Internal Bank Dalam Pemberian Kredit
Kerjasama
Efektivitas
Rendah Sedang Tinggi Total
F % F % F % F %
● Rendah
● Sedang
● Tinggi
4
3
0
13,33
10,00
0,00
0
3
10
0,00
10,00
33,33
2
0
8
6,67
0,00
26,67
6
6
18
20,00
20,00
60,00
Total 7 23,33 13 43,33 10 33,33 30 100,00
Sumber : Data primer yang diolah
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, secara parsial pada masing-masing
tingkatan variabel kerjasama pengawasan maupun variabel efektivitas pengawasan
internal Bank dalam pemberian kredit mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 7
(23,33%) yang menyatakan tingkat kerjasama rendah, terdapat sejumlah 4 (13,33%)
responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank juga rendah, dan
116
sejumlah 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal
Bank relatif sedang.
Selanjutnya jika dilihat dari tingkat kerjasama pengawasan yang sedang, maka
diperoleh gambaran bahwa, sebanyak 3 (10,00%) responden yang tingkat
kerjasamanya sedang, menunjukkan tingkat efektivitas pengawasan yang sedang
pula, dan sebanyak 10 (33,33%) responden dengan tingkat kerjasama yang sedang,
menunjukkan tingkat efektivitas pengawasan internal yang relatif tinggi.
Di samping itu, dari tabel di atas dapat diungkapkan pula bahwa, dari sejumlah
10 (33,33%) responden yang tingkat kerjasamanya relatif tinggi, terdapat sebayak 2
(6,67%) responden yang tingkat kerjasamanya relatif tinggi, tetapi menunjukkan
tingkat efektivitas pengawasan internal yang rendah, dan sebanyak 8 (26,67%)
responden dengan tingkat kerjaama yang tinggi, menunjukkan tingkat efektivitas
pengawasan internal yang tinggi pula.
Dari kenyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa, ada kecenderungan
yang positif berpengaruhnya faktor kerjasama terhadap tingkat efektivitas
pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit di PT. Bank Perkreditan Rakyat
Ukabima Sejahtera Cilacap. Artinya, semakin tinggi tingkat kerjasamanya pada
lembaga perbankan tersebut, maka semakin tinggi pula efektivitas pengawasan
internal Bank dalam pelaksanaan pemberian kredit kepada Nasabah. Hal ini
membuktikan bahwa faktor kerjasama atar pegawai dan pimpinan Lembaga
perbankan, sangat menentukan tingkatan efektivitas pengawasan internal Bank dalam
117
pemberian kredit kepada nasabah. Ini berarti bahwa, tindakan pengawasan internal
Bank yang efektif, secara yuridis mampu untuk memelihara kesehatan bank sesuai
dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset dan manajemen, likuiditas,
rentabilitas solvabilitas dan aspek lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan
pemberian kredit kepada nasabah.
Berdasarkan pada fakta tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, faktor
motivasi, kepatuhan dan kerjasama cenderung berpengaruh secara positif terhadap
efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah.
Artinya, semakin tinggi tingkat motivasi, kepetuhan dan kerjasama, maka semakin
tinggi pula tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit
kepada Nasabah.
Apabila kenyataan tersebut di atas, diinterpretasikan dengan mendasarkan pada
teori bekerjanya hukum model Robert B. Seidman sebagaimana telah disinggung di
muka, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan internal Bank merupakan proses
berinteraksinya antara Bank sebaai lembaga penerap peraturan hukum dengan unsur
birokrasi perbankan sebagai pihak pemegang peran. Tindakan pengawsan internal
Bank ini pada dasarnya merupakan aksi-aksi yang dapat dimainkan oleh lembaga
perbankan, yang merupakan respons positif dari unsur Birokrasi perbankan sebagai
pihak pemegang peran, yang dalam interaksinya tidak terlepas dari pengaruhnya
faktor personal dan sosial lainnya. Faktor personal yang berpengaruh secara positif
terhadap efektivitas pengawasan internal Bank mencakup motivasi pengawasan dan
118
kepatuhan hukum, sedangkan faktor kerjasama merupakan faktor sosial. Ketiga
faktor ini, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama cenderung berpengaruh
secara positif terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam proses pemberian
kredit kepada Nasabah.
119
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian dan analisis sebagaimana telah dipaparkan
pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan-simpulan sebagai berikut :
1. Tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada
Nasabah, menunjukkan tingkat yang relatif tinggi. Tingginya tingkat
efektivitas pengawasan internal Bank ini ditunjang dengan indikator-
indikator:
a. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah;
b. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang
diajukan oleh Nasabah;
c. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit
Nasabah;
d. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit
oleh Nasabah;
2. Faktor motivasi pengawasan, kepatuhan hukum dan kerjasama, cenderung
berpengaruh secara positif terhadap efektivitas pengawasan internal Bank
dalam pemberian Kredit. Artinya, semakin tinggi tingkat motivasi, kepatuhan
dan kerjasama, maka semakin tinggi pula tingkat efektivitas pengawasan
internal Bank dalam pemberian krdedit kepada Nasabah.
120
B. Saran-saran
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tingkat kerjasama antara lembaga perbankan
dengan pegawai birokrasi perbankan masih relatif sedang, maka hendaknya
perlu ditingkatkan kerjasama yang sekarang ada untuk masa-masa mendatang,
sehingga tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada
Nasabah dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
2. Meskipun tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit tergolong
efektif, namun dalam praktiknya masih terdapat pula tindakan penyalahgunaan
kredit yang tidak sesuai dengan tujuan permohonan kredit yang dilakukan oleh
Nasabah, maka hendaknya perlu Bank meningkatkan pengawasannya terutama
dalam pengelolaan kredit yang diterima oleh Nasabah, agar penggunaan
kreditnya sesuai dengan tujuan permohonan kredit yang diajukan.
121
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pengawasan BPR BANK INDONESIA. Strategi dan Arah Kebijakan
BPR. Makalah yang disampaikan pada Seminar dan Training tentang BPR
di Jakarta, tanggal 5 September 2006.
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2000.
Duverger, Maurice. Sosiologi Politik. Alih Bahasa : Daniel Dakhidae. Jakarta :
Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
Hanadi, Saryono. Sosiologi Hukum. Bahan kuliah. Purwokerto : FH Unsoed, 2008.
Iswanto. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Kedua. Purwokerto : UNSOED, 2003.
Mulyono, Teguh Pudjo. Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil. Edisi 1.
Yogyakarta : BPFE, 1987.
Perbarindo. Sistem Pengawasan BPR. Makalah yang disampaikan pada Seminar dan
Training Komisaris tentang Pengawasan BPR di Jakarta, tahun 2008.
122
Pusat Bahasa, Dep.Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3.
Jakarta, 2003,
Raharjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-pengalaman di Indonesia. Alumni. Bandung, 1986..
Retno, Astuti Ajie Probo. Pengaruh Iklim Organisasi dam Pembinaan Pegawai
Terhadap Efektivitas Pelayanan Umum di Kantor Kec.Banyumas.
Purwokerto : FISIP UNSOED, 2006.
Rush, Michael, dan Althof, Philip. Pengantar Sosiologi Politik. Alih Bahasa : Kartini
Kartono. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1987.
Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta :
Rajawali, 1983.
…………………. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
Sukarman. Efektivitas Kepmenkes 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Purwokerto : Pascasarjana Unsoed,
2011.
123
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO
PENELITIAN : EFEKTIVITAS HUKUM PENGAWASAN INTERNAL BANK TERHADAP PEMBERIAN KREDIT KEPADA NASABAH DI PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) UKABIMA SEJAHTERA CILACAP
Nomor Responden : …………
I. Pengantar
Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi tugas dan kewajiban dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh derajat kesarjanaan dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED). Di samping itu, tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas hukum pengawasan internal bank terhadap pemberian kredit kepada Nasabah dan pengaruhnya faktor motivasi pengawasan, kepatuhan hukum, dan kerjasama terhadap tingkat efektivitas hukum pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. Demi tercapainya tujuan penelitian ini, maka peneliti dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat memohon kesediaan dari Bapak/Ibu/Saudara untuk membantu mengisi angket/daftar pertanyaan yang peneliti sediakan dan sudilah kiranya Bapak/Ibu/Saudara mengisi angket tersebut dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam kesempatan yang baik ini peneliti juga mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kesediaan dari Bapak/Ibu/Saudara yang telah meluangkan waktu untuk mengisi angket ini dan peneliti mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada pertanyaan yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu/Saudara sekalian.
II. Petunjuk Pengisian
Dalam angket yang peneliti sebarkan ini, terdiri dari 2 (dua) bagian besar, yakni : □ Bagian A, berisi Identitas Responden, Untuk bagian ini Bapak/Ibu/Saudara
cukup mengisi kolom yang telah tersedia; □ Bagian B, berisi daftar pertanyaan. Untuk bagian ini Bapak/Ibu/Saudara
cukup memilih satu jawaban yang dianggap benar menurut Bapak/Ibu/
125
Saudara, dengan memberikan tanda silang (X) di depan jawaban yang tersedia.
III. Angket Penelitian
A. Identitas Responden 1. Nama Nasabah : ………………(TIDAK DISEBUT) 2. Umur Nasabah : ………………. Tahun 3. Jenis Kelamin : a. Laki-laki; b. Perempuan 4. Tingkat Pendidikan : a. Sekolah Dasar (SD); b. S.L.T.P. c. S.L.T.A. d. Perguruan Tinggi (PT)
B. Daftar Pertanyaan
(1) Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank 1. Apakah sebelum pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu
melakukan pemeriksaan terhadap pribadi Nasabah ? Jawab : a. Selalu memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa.
2. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah dalam pemberian kredit kepada Nasaah, pihak Bank selalu mempertimbangkan kemampuan ekonomi Nasabah ?Jawab : a. Selalu mempertimbangkan, b. Kadang-kadang mempertimbangkan, c. Tidak pernah mempertimbangkan.
3. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank memeriksa jenis usaha Nasabah yang akan dibiayai ?Jawab : a. Ya memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa.
4. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu melakukan pemeriksaan terhadap kondisi usaha Nasabah yang akan dibiayai ?Jawab : a. Selalu memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa.
126
5. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu menanyakan terhadap relasi Nasabah dengan bank-bank lainnya ?Jawab : a. Selalu menanyakan; b. Kadang-kadang menanyakan; c. Tidak pernah menanyakan.
6. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu melakukan pemeriksaan terhadap kelayakan jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah ?
Jawab : a. Selalu memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa.
7. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah pihak Bank melakukan penafsiran terhadap nilai jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah ?
Jawab : a. Ya menafsirkan; b. Kadang-kadang menafsirkan; c. Tidak tahu.
8. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah besarnya nilai penafsiran bank terhadap jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah, sesuai dengan nilai yang senyatanya ?Jawab : a. Sesuai; b. Kurang sesuai; c. Tidak sesuai.
9. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank dapat menerima jaminan kebendaan yang bukan atas nama pemohon kredit (atas nama orang lain) ?Jawab : a. Menerima; b. Kadang-kadang menerima; c. Tidak tahu.
10. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah dalam pemberian kredit, pihak Bank menerima jaminan kebendaan di luar hak tanggungan seperti Bukti Pemelikan Kendaraan Bermotor (BPKB) yang diajukan oleh Nasabah ?Jawab : a. Menerima; b. Kadang-kadang menerima; c. Tidak tahu.
127
11. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah nilai jaminan kebendaan yang diajukan dalam permohonan kredit, sesuai dengan besarnya nilai kredit yang disetujui pihak Bank ?Jawab : a. Sesuai; b. Kurang sesuai; c. Tidak sesuai.
12. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, pernahkah Bank memberikan kredit yang besarnya nilai kredit lebih besar daripada nilai jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah ?Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak tahu
13. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank mengadakan studi kelayakan tentang kemampuan Nasabah dalam mengalokasikan kredit yang diterimanya ?
Jawab : a. Ya mengadakan; b. Kadang-kadang mengadakan; c. Tidak tahu.
14. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, Apakah pihak Bank melakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian peruntukan kredit pada bidang usaha Nasabah ?Jawab : a. Ya memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak tahu.
15. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah kredit yang diberikan oleh Bank digunakan sesuai dengan tujuan permohonan kredit ?Jawab : a. Sesuai; b. Kurag sesuai; c. Tidak sesuai.
16. Apakah usaha Nasabah yang dibiayai kredit tersebut mengalami perkembangan dalam produktivitasnya ?Jawab : a. Berkembang; b. Kurang berkembang; c. Tidak berkembang.
17. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah pihak Bank mengetahui kondisi usaha Nasabah yang dibiayai oleh kredit tersebut ?Jawab : a. Mengetahui; b. Tidak mengetahui; c. Tidak tahu.
128
18. Apakah dengan pemberian kredit oleh Bank tersebut, Nasabah merasa ada keuntungan ekonomi ?Jawab : a. Ya menguntungkan; b. Kurang menguntungkan; c. Tidak menguntungkan.
19. Apakah pihak Nasabah mampu mengembalikan kredit yang diterimanya kepada Bank secara wajar ?Jawab : a. Mampu;
b. Kurang mampu; c. Tidak mampu.
20. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah dalam pengembalian kredit yang telah diterimanya tergolong lancar ?Jawab : a. Lancar; b. Kurang lancar; c. Tidak lancar.
21. Pernahkah Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah Bank mendapatkan suatu peringatan dari pihak Bank selama proses pengembalian kredit yang diambil ?Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang; c. Tidak pernah.
22. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap tindakan pengawasan yang dilakukan Bank dalam penggunaan kredit yang diterimanya ?Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas.
23. Bagaimanakah sikap Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap cara pengawasan yang dilakukan oleh Bank atas kredit yang diterimanya ?Jawab : a. Setuju; b. Kurang setuju; c. Tidak setuju.
129
24. Apakah cara pengawasan yang dilakukan Bank terhadap kredit yang diterima Nasabah sesuai dengan prosedur yang berlaku ?Jawab : a. Sesuai; b. Kurang sesuai; c. Tidak sesuai.
25. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah tindakan pengawasan yang dilakukan Bank terhadap kredit yang diberikan tersebut bermanfaat ?Jawab : a. Bermanfaat; b. Kurang bermanfaat; c. Tidak bermanfaat.
(2) Motivasi Pengawasan
26. Apakah dengan pemberian kredit oleh Bank mendorong kebutuhan usaha Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah lebih baik ?Jawab : a. Mendorong; b. Kurang medorong; c. Tidak mendorong.
27. Apakah pihak Bank mampu untuk menciptakan hubungan yang baik antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan karyawan-karyawan bank ?
Jawab : a. Mampu;b. Kurang mampu;c. Tidak mampu;
28. Apakah pihak Bank berusaha untuk memberi kesempatan kembali kepada Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah untuk memamfaatkan kredit berikutnya ?Jawab : a. Berusaha; b. Kurang berusaha; c. Tidak berusaha.
29. Apakah pihak Bank menghargai hasil usaha Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah atas alokasi kredit yang diberikan ?Jawab : a. Menghargai; b. Kurang menghargai; c. Tidak menghargai.
30. Bagaimana pendapat Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah tentang cara Bank dalam melakukan pengawasan terhadap kredit yang diberikan ?Jawab : a. Bijaksana; b. Kurang bijaksana; c. Tidak bijaksana.
130
31. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, bagaimanakah perlakukan Bank kepada sesama Nasabah pengambil kredit ?Jawab : a. Baik; b. Kurang baik; c. Tidak baik.
32. Apakah Bank selalu memperhatikan akan adanya penilaian dan memberikan penghargaan terhadap usaha Bpk/Ibu/Sdr yang dibiayai dengan kredit tersebut ?Jawab : a. Selalu memperhatikan; b. Kadang-kadang memperhatikan; c. Tidak memperhatikan.
33. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan adanya pengawasan terhadap tujuan penggunaan kredit ?Jawab : a. Puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas.
34. Apakah pihak Bank selalu memberikan jaminan akan terpenuhinya kebutuhan usaha Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah ?Jawab : a. Selalu memberikan jaminan b. Kurang memberikan jaminan; c. Tidak memberikan jaminan.
35. Apakah pihak Bank memberikan isentif atas berhasilnya usaha dan lancarnya pengembalian kredit yang diberikan kepada Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah ?Jawab : a. Selalu memberi; b. Kadang-kadang memberi; c. Tidak perah memberi.
(3) Kepatuhan Hukum
36. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank selalu mematuhi ketentuan tentang batas maksimal pemberian kredit ?Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kurang mematuhi; c. Tidak mematuhi.
131
37. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank selalu mematuhi tentang ketentuan jaminan kebendaan dalam pemberian kredit ?Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kurang mematuhi; c. Tidak mematuhi.
38. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank selalu memberikan peringatan terhadap Nasabah yang lalai membayar pengembalian kreditnya ?Jawab : a. Selalu memperingatkan; b. Kadang-kadang memperingatkan; c. Tidak memperingatkan.
39. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank sealu mematuhi prosedur pemeriksaan kelayakan Nasabah dalam pemberian kredit ?Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kurang mematuhi; c. Tidak mematuhi.
40. Apakah Bank dalam melakukan pengawasan terhadap kredit yang diberikan kepada Nasabah selalu nenatuhi kontrak krditnya ?Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kadang-kadang mematuhi; c. Tidak mematuhi.
41. Jika Bank menghendaki adanya jaminan tambahan atas kredit yang diberikan kepada Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah akan dipenuhi ?Jawab : a. Dipenuhi; b. Kadang-kadang dipenuhi; c. Tidak dipenuhi.
42. Bilamana Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, mendapatkan saran-saran dari Bank tentang pengolaan usahanya, apakah Bpk/Ibu/Sdr melaksanakannya sesuai dengan saran-saran tersebut ?Jawab : a. Sesuai; b. Kadang-kadang sesuai; c. Tidak sesuai.
43. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap pelayanan Bank dalam pemberian kredit ?Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas;
132
c. Tidak puas.
44. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap penerapan kebijakan Bank tentang kredit yang diberikan ?Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas.
45. Sudahkah Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah merasa puas dengan besarnya kredit yang diberikan Bank ?Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas.
(4) Kerjasama Bank dan Nasabah
46. Pernahkah pihak Bank mengikutsertakan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dalam suatu kegiatan-kegiatan tertentu yang diadakan oleh Bank ?Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak pernah.
47. Apakah Bpk/Ibu/Sdr sebagai nasabah pernah diikutsertakan dalam kegiatan sosialisasi tentang kebijakan-kebijakan bank yang berlaku ?Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak pernah.
48. Apakah Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah pernah mengadakan kerjasama dengan pimpinan atau pegawai Bank tersebut ?Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak pernah.
49. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah adanya kerjasama antara pegawai bank dengan Nasabah, dirasakan adanya sesuatu yang memaksa dan memberatkan ?Jawab : a. Ya merasakan; b. Sedikit merasakan; c. Tidak sama sekali.
133
50. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah adanya kerjasama antara pegawai bank dengan Nasabah, merupakan sesuatu yang menguntungkan bagi kedua pihak ?Jawab : a. Ya menguntungkan; b. Sedikit menguntungkan; c. Tidak sama sekali.
51. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, jika kerjasama dengan pihak Bank tersebut memberikan keuntungan ?Jawab : a. Puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas.
52. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, menimbulkan perlakuan yang berbeda kepada para Nasabah ?Jawab : a. Tidak sama sekali; b. Sedikit membedakan; c. Sangat membedakan.
53. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, dapat menunjang untuk memperoleh fasilitas kredit yang diberikan ?Jawab : a. Tidak sama sekali; b. Sedikit menunjang; c. Sangat menunjang.
54. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, dapat mendorong pengembalian kredit tepat waktu sesuai kontrak kreditnya ?Jawab : a. Mendorong; b. Kadang-kadang mendorong; c. Tidak mendorong.
55. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, dapat mempengaruhi pengawasan dalam pemberian kredit kepada Nasabah ?
Jawab : a. Sangat berpengaruh;b. Sedikit berpengaruh;c. Tidak berpengaruh.
134