1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Masa puber merupakan saat terjadinya perubahan-perubahan dalam
tubuh seorang anak yang mengiringi rangkaian pendewasaan. Pada masa ini,
anak-anak akan mengalami berbagai perubahan atau transisi baik secara
fisik maupun psikologis yang bisa saja menjadi pengalaman yang
membingungkan, meresahkan atau bahkan mendatangkan rasa malu karena
beberapa hal. Selama masa puber hormon-hormon dalam kulit banyak
memproduksi minyak pada kulit yang dapat memicu timbulnya jerawat atau
acne vulgaris. Jerawat bukan merupakan suatu penyakit yang mengancam
jiwa, namun dapat mempengaruhi kualitas hidup dengan memberikan efek
psikologis yang buruk.
Jerawat merupakan penyakit peradangan yang terjadi akibat
penyumbatan pada pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul,
pastul dan bopeng (scar) pada daerah wajah, leher, lengan atas, dada dan
punggung. Timbulnya jerawat berkaitan dengan kebersihan kulit dan
aktifnya kelenjar minyak pada kulit. Menurut para peneliti, setiap satu
centimeter persegi kulit, terdapat kira-kira 14 sampai 15 kelenjar minyak.
Dalam masa puber, kelenjar-kelenjar ini lebih aktif memproduksi sebum (zat
mengandung minyak untuk meminyaki kulit). Baik remaja pria maupun
wanita, hormon androgen memegang peranan dalam berkembangnya
jerawat. Sesungguhnya, penyebab jerawat bukan minyak atau sebum
tersebut. Sel-sel kulit yang overaktif pada lapisan dasarlah yang lebih
banyak berperan dalam berkembangnya jerawat. Hal itu dimungkinkan
karena beberapa faktor yaitu akibat minyak terperangkap, adanya sel-sel
kulit mati dan tidak dibersihkan, serta adanya bakteria. Jerawat juga
menyebabkan peradangan dikulit yang dipicu oleh bakteri
Propionibacterium acne, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus
aureus (Wasitaatmadja, 1997).
2
Pengobatan jerawat dilakukan dengan memperbaiki abnormalitas
folikel, menurunkan produksi sebum yang berlebih, menurunkan jumlah
koloni P. acnes yang merupakan bakteri penyebab jerawat dan menurunkan
inflamasi pada kulit. Populasi bakteri P. acnes dapat diturunkan dengan
memberikan suatu zat antibakteri seperti eritromisin, klindamisin dan
benzoil peroksida (Wyatt dkk., 2001). Namun, obat-obat ini memiliki efek
samping dalam penggunaannya sebagai anti jerawat antara lain resistensi
antibiotik, iritasi, kerusakan organ dan terjadinya imunohipersensitivitas
(Wasitaatmadja, 1997). Masyarakat Indonesia biasa menggunakan tanaman
herbal dalam mengobati Jerawat. Tanaman herbal mempunyai nilai
ekonomis dan efek samping lebih kecil dibandingkan dengan obat-obat
sintesis. Salah satu tanaman yang diketahui memiliki aktivitas anti bakteri
adalah daun sirsak (Annona muricata Linn.). Dalam pengobatan empiris,
daun sirsak berfungsi untuk mengatasi luka borok, bisul, kejang, jerawat,
dan kutu rambut. Daun Sirsak mengandung senyawa flavonoid dan polifenol
yg merupakan turunan fenol yang bekerja sebagai antiseptik dan disinfektan
sedangkan senyawa alkaloid yg terkandung dalamnya merupakan senyawa
basa yg memiliki efek bakterisida (Sari, dkk, 2010). Namun, penggunaan
secara tradisional dinilai tidak praktis dan kurang efisien. Sehingga perlu
dikembangkan formulasi tanaman herbal yang tepat agar penggunaannya
aman dan lebih efektif (Wasitaatmadja, 1997).
Sediaan anti jerawat yang telah banyak beredar di pasaran yaitu dalam
bentuk gel, krim dan losio. Jenis sediaan yang banyak disukai adalah bentuk
losio. Sediaan dalam bentuk losio lebih banyak digunakan karena
konsistensi yang berbentuk cair memungkinkan pemakaian yang cepat dan
merata pada permukaan kulit sehingga mudah menyebar dan dapat segera
kering setelah pengolesan serta meninggalkan lapisan tipis pada permukaan
kulit (Lachman dkk, 1994). Berdasarkan hal tersebut maka dibuatlah sediaan
losio ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata Linn.). Hal inilah yang
melatarbelakangi penelitian untuk mencari alternatif bagi masyarakat dalam
pengobatan jerawat yang berasal dari bahan alam yang memiliki efek
3
samping minimal. Formulasi losio pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan tiga variasi komposisi karaginan dengan tujuan untuk
mengetahui efektivitas ekstrak setelah diformulasi dan memperoleh
formulasi losio ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata Linn.) yang
memberikan efektivitas paling baik dibandingkan dengan kontrol positif
terhadap bakteri S. epidermidis dan P. acnes.
I.2. Rumusan Masalah
a. Apakah ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata Linn.) mempunyai
aktivitas antibakteri terhadap bakteri P. acne dan S. epidermidis?
b. Apakah ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata Linn.) dapat
diformulasi dalam bentuk sediaan losio?
c. Bagaimana aktivitas antibakteri sediaan gel dari ekstrak etanol daun
sirsak (Annona muricata Linn.) terhadap bakteri penyebab jerawat?
I.3. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol daun sirsak (Annona
muricata Linn.) terhadap bakteri P. acne dan S. epidermidis.
b. Memformulasi sediaan losio antijerawat yang mengandung ekstrak
etanol daun sirsak (Annona muricata Linn.)
c. Mengetahui bagaimana aktivitas antibakteri sediaan losio dari ekstrak
etanol daun sirsak (Annona muricata Linn.) terhadap bakteri penyebab
jerawat.
I.4. Manfaat Penelitian
a. Memberikan informasi tentang efek antijerawat dari ekstrak etanol daun
sirsak (Annona muricata Linn.) terhadap bakteri P. acne dan S.
epidermidis yang diformulasikan dalam sediaan losio
b. Menambah nilai guna nilai jual pada daun sirsak (Annona muricata
Linn.) dikalangan masyarakat
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Tanaman Sirsak (Annona muricata Linn.)
II.1.1 Taksonomi
Menurut Tjitrosoepomo (1991), sistematika dari sirsak (Annona
muricata Linn.) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatopyta
Kelas : Dikotil
Ordo : Ranales
Famili : Annonaceae
Genus : Annona
Spesies : Annona muricata Linn.
II.1.2 Deskripsi
Sirsak merupakan pohon yang tinggi dapat mencapai sekitar 3-8
meter. Daun memanjang, bentuk lanset atau bulat telur terbalik, ujung
meruncing pendek, seperti kulit, panjang 6-18 cm, tepi rata. Bunga berdiri
sendiri berhadapan dengan daun dan baunya tidak enak. Daun kelopak
kecil. Daun mahkota berdaging, 3 yang terluar hijau, kemudian kuning,
panjang 3.5-5 cm, 3 yang terdalam bulat telur, kuning muda. Daun kelopak
dan daun mahkota yang terluar pada kuncup tersusun seperti katup, daun
mahkota terdalam secara genting. Dasar bunga cekung sekali. Benang sari
banyak penghubung ruas sari di atas ruangsari melebar, menutup ruangnya,
putih. Bakal buah banyak, bakal biji 1. Tangkai putik langsing, berambut
kepala silindris. Buah majemuk tidak beraturan, bentuk telur miring atau
bengkok, 15-35 kali, diameter 10-15 cm. Biji hitam dan daging buah putih
(Steenis, 2003). Akar tunggang, perbanyakan dengan biji. Daun dan biji
bisa dibuat untuk ramuan insektisida nabati, tetapi daun dan biji sirsak perlu
dihaluskan terlebih dahulu lalu dicampur dengan pelarut. Buah yang mentah,
biji, daun, dan akarnya mengandung senyawa kimia annonain.
5
II.1.3 Kandungan dan Khasiat
Daun sirsak mengandung alkaloid, tanin, dan beberapa kandungan
kimia lainnya termasuk annonaceous acetogenins. Annonaceous acetogenins
merupakan senyawa yang memiliki potensi sitotoksik. Senyawa sitotoksik
adalah senyawa yang dapat bersifat toksik untuk menghambat dan
menghentikan pertumbuhan sel kanker. Daun sirsak dimanfaatkan sebagai
pengobatan alternatif untuk pengobatan kanker, yakni dengan
mengkonsumsi air rebusan daun sirsak. Selain untuk pengobatan kanker,
tanaman sirsak juga dimanfaatkan untuk pengobatan demam, diare, anti
kejang, anti jamur, anti parasit, anti mikroba, sakit pinggang, asam urat,
gatal-gatal, bisul, flu, dan lain-lain (Mardiana, 2011).
II.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain,
berupa bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas
simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral. Simplisia
tumbuhan obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik
sebagai bahan obat atau sebagai produk. Ekstrak tumbuhan obat dapat
berfungsi sebagai bahan baku obat tradisional atau sebagai produk yang
dibuat dari simplisia (Depkes RI, 1979).
II.3 Ekstrak
II.3.1 Pengertian
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi III (1979), yang dimaksud
dengan ekstrak yaitu berupa sediaan kering, kental atau cair yang dibuat
dengan cara menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok,
diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Pembuatan ekstrak dimaksudkan
agar zat berkhasiat yang terdapat dalam simplisia terdapat dalam bentuk
yang mempunyai kadar tinggi dan hal ini memudahkan zat berkhasiat dapat
diatur dosisnya (Depkes RI, 1995). Simplisia nabati adalah berupa tanaman
utuh, bagian tanaman utuh, eksudat tanaman. Kriteria cairan penyari yang
baik harus memenuhi syarat antara lain murah dan mudah didapat, stabil
6
secara kimia fisika, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah
terbakar dan selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki
dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Anonim, 1986).
II.3.2 Metode Ekstraksi
Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain
maserasi, perkolasi, soxhletasi, dan infundasi. Metode ekstraksi dipilih
berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat dan daya
penyesuaian dengan macam tiap metode ekstraksi dan kepentingan dalam
memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel, 1989).
a. Maserasi
Proses maserasi merupakan cara penyari yang dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplia penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat
berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain. Sepuluh bagian simplisia
dengan derajat halus yang cocok dimasukan dalam bejana dituangi 75
bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terhindar dari
cahaya. Sambil berulang diaduk, diserkai lalu dipekatkan dengan penguapan
dan tekanan pada suhu rendah 50°C hingga konsentrasi yang dikehendaki.
Cara ekstraksi ini sederhana dan mudah dilakukan, tetapi membutuhkan
waktu lama (Anonim, 1986).
b. Perkolasi
Perkolasi merupakan proses penyarian serbuk simplisia dengan pelarut
yang cocok dengan melewatkan secara perlahan-lahan melewati suatu
kolom, serbuk simplisia di masukan ke dalam perkolator. Dengan cara
penyarian ini mengalirnya penyari melalui kolom dari atas ke bawah melalui
celah untuk keluar ditarik oleh gaya berat seberat cairan dalam kolom.
Dengan pembaharuan yang terus menerus bahan pelarut, memungkinkan
berlangsungnya suatu maserasi bertingkat (Ansel, 1989).
c. Sokletasi
Bahan yang akan disaring berada dalam kantong ekstraksi (kertas
karton) di dalam sebuah alat ekstraksi dari gelas yang diantara labu suling
dan suatu pendingin air balik dan dihubungkan melalui pipet. Labu tersebut
7
berisi bahan pelarut yang menguap dan jika diberi pemanasan akan menguap
mencapai kedalam pendingin balik melalui pipa pipet, Pelarut mampu
memberikan perlindungan dari kontaminasi mikroba (Ansel,1989).
d. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk
menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati.
Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah
tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh dengan
cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Anonim, 1986).
II.4 Kulit
II.4.1 Uraian Kulit
Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan
memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan
dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah
mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-
menerus, respirasi, pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat,
pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar
ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap
tekanan dan infeksi dari luar (Tranggono dan Latifah, 2007).
II.4.2 Struktur Kulit
Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu: Lapisan epidermis,
lapisan dermis dan lapisan hipodermis (Wasitaatmadja, 1997):
a. Lapisan Epidermis
Epidermis merupakan bagian kulit paling luar yang paling menarik
untuk diperhatikan dalam perawatan kulit, karena kosmetikdipakai pada
bagian epidermis. Ketebalan epidermis berbeda-bedapada berbagai bagian
tubuh, yang paling tebal berukuran 1 milimetermisalnya pada telapak tangan
dan telapak kaki, yang paling tipisberukuran 0,1 mm terdapat pada kelopak
mata, pipi, dahi danperut. Sel-sel epidermis disebut keratinosit. Epidermis
melekat eratpada dermis karena secara fungsional epidermis memperoleh
zat-zatmakanan dan cairan antar sel dari plasma yang merembes melalui
8
dinding-dinding kapiler dermis ke dalam epidermis.Lapisan epidermis
terdiri atas 5 lapisan: stratum korneum (lapisan tanduk), stratum lusidum
(lapisan jernih), stratum granulosum (lapisan butir), stratum spinosum
(lapisan taju) dan stratum basalis (lapisan benih).
b. Lapisan Dermis
Lapisan dermis ini jauh lebih tebal daripada epidermis dan tersusun
atas jaringan fibrosa dan jaringan ikat yang elastis. Lapisan ini terdiri atas: a.
Pars papilaris, yaitu bagian yang menonjol ke dalam epidermis berisi ujung
serabut saraf dan pembuluh darah; b. Pars retikularis, yaitu bagian bawah
dermis yang berhubungan dengan lapisan hypodermis yang terdiri atas
serabut kolagen. Serat-serat kolagen ini disebut juga jaringan penunjang,
karena fungsinya dalam membentuk jaringan-jaringan kulit yang menjaga
kekeringan dan kelenturan kulit.
c. Lapisan Hipodermis
Lapisan ini terutama mengandung jaringan lemak, pembuluhdarah dan
limfe. Cabang-cabang dari pembuluh-pembuluh dan saraf-saraf
menujulapisan kulit jangat.Jaringan ikat bawah kulit berfungsi
sebagaibantalan atau penyangga bagi organ-organ tubuh bagian dalam dan
sebagai cadangan makanan.
II.4.3 Fungsi Biologik Kulit
Menurut Tranggono dan Latifah (2007) fungsi dari kulit yaitu:
a. Proteksi
Serabut elastis yang terdapat pada dermis serta jaringan lemak
subkutan berfungsi mencegah trauma mekanik langsung terhadap interior
tubuh. Lapisan tanduk dan mantel lemak kulit menjaga kadar air tubuh
dengan cara mencegah masuknya air dari luar tubuh dan mencegah
penguapan air, selain itu juga berfungsi sebagai barrier terhadap racun dari
luar. Mantel asam kulit dapat mencegah pertumbuhan bakteri di kulit.
b. Termoregulasi
Kulit mengatur temperatur tubuh melalui mekanisme dilatasi dan
konstriksi pembuluh kapiler dan melalui perspirasi, yang keduanya
9
dipengaruhi saraf otonom. Pusat pengatur temperatur tubuh di hipotalamus.
Pada saat temperatur badan menurun terjadi vasokonstriksi, sedangkan pada
saat temperatur badan meningkat terjadi vasodilatasi untuk meningkatkan
pembuangan panas.
c. Persepsi Sensoris
Kulit sangat sensitif terhadap rangsangan dari luar berupa tekanan,
raba, suhu dan nyeri. Rangsangan dari luar diterima oleh reseptor-reseptor
tersebut dan diteruskan ke sistem saraf pusat selanjutnya diinterpretasi oleh
korteks serebri.
d. Absorbsi
Beberapa bahan dapat diabsorbsi kulit masuk ke dalam tubuh melalui
dua jalur yaitu melalui epidermis dan melalui kelenjar sebasea dari folikel
rambut.
II.4.4 Absorbsi Obat melalui Kulit
Tujuan umum pengunaan obat topikal pada terapi adalah untuk
menghasilkan efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan
epidermis. Daerah yang terkena, umumnya epidermis dan dermis, sedangkan
sediaan topikal tertentu seperti pelembab dan antimikroba bekerja
dipermukaan kulit saja (Lachman, dkk., 1994). Beberapa cara penetrasi obat
yang mungkin ke dalam kulit menurut Tranggono dan Latifah (2007), yaitu:
lewat antara sel-sel stratum korneum (interselular), menembus sel-sel
stratum korneum (transelular), melalui kelenjar keringat, melalui kelenjar
sebasea dan melalui dinding saluran folikel rambut.
II.5 Jerawat
II.5.1 Uraian Jerawat
Jerawat merupakan penyakit peradangan yang terjadi akibat
penyumbatan pada pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul,
pastul dan bopeng (scar) pada daerah wajah, leher, lengan atas, dada dan
punggung. Peradangan dipicu oleh bakteri Propionibacterium acne,
Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus (Mitsui, 1997;
Wasitaatmadja, 1997).
10
II.5.2 Penyebab terjadinya Jerawat
Adapun penyebab terjadinya jerawat yang berasal dari dalam
maupun tubuh manusia yaitu (Mitsui, 1997) :
a. Hormonal
Sekresi kelenjar sebaseus yang hiperaktif dipacu oleh pembentukan
hormon testoteron (androgen) yang berlebih, sehingga pada usia pubertas
akan banyak timbul jerawat pada wajah, dada, punggung, sedangkan pada
wanita selain hormon androgen, produksi lipida dari kelenjar sebaseus
dipacu oleh hormon luteinizing yang meningkat saat menjelang menstruasi.
b. Makanan
Para pakar peneliti di Colorado State University Department of Health
and Exercise menemukan bahwa makanan yang mengandung kadar gula dan
kadar karbohidrat yang tinggi memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
menimbulkan jerawat. Secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa mengkonsumsi
terlalu banyak gula dapat meningkatkan kadar insulin dalam darah, dimana
hal tersebut memicu produksi hormon androgen yang membuat kulit jadi
berminyak dan kadar minyak yang tinggi dalam kulit merupakan pemicu
paling besar terhadap timbulnya jerawat.
c. Kosmetik
Penggunaan kosmetika yang melekat pada kulit danmenutupi pori-
pori, jika tidak segera dibersihkan akan menyumbat saluran kelenjar palit
dan menimbulkan jerawat yang disebut komedo. Kosmetik yang paling
umum menjadi penyebab timbulnya jerawat yaitu kosmetik pelembab
yanglangsung menempel pada kulit.
d. Infeksi Bakteri
Propionibacterium acnes (Corynebacterium acnes) dan
Staphylococcus epidermidis biasanya ditemukan pada lesi-lesi akne.
Berbagai strain Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis
dapat menghidrolis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol, asam
lemak bebas tersebut memungkinkan terjadinya lesi komedo.
II.5.3 Tahap terjadinya Jerawat
11
Pada kulit yang semula dalam kondisi normal, sering kali terjadi
penumpukan kotoran dan sel kulit mati karena kurangnya perawatan dan
pemeliharaan, khususnya padakulit yang memiliki tingkat reproduksi
minyak yang tinggi. Akibatnya saluran kandung rambut (folikel) menjadi
tersumbat. Sel kulit mati dan kotoran yang menumpuk tersebut, kemudian
terkena bakteri acne, maka timbulah jerawat. Jerawat yang tidak diobati
akan mengalami pembengkakan (membesar dan berwarna kemerahan)
disebut papule. Bila peradangan semakin parah, sel darah putih mulai naik
ke permukaan kulit dalam bentuk nanah (pus), jerawat tersebut disebut
pastules (Mitsui, 1997).
Jerawat radang terjadi akibat folikel yang ada di dalam dermis
mengembang karena berisi lemak padat, kemudian pecah, menyebabkan
serbuan sel darah putih ke area folikel sebasea, sehingga terjadilah reaksi
radang. Peradangan akan semakin parah jika kuman dari luar ikut masuk ke
dalam jerawat akibat perlakuan yang salah seperti dipijat dengan kuku atau
benda lain yang tidaksteril. Jerawat radang mempunyai ciri berwarna merah,
cepat membesar, berisi nanah dan terasa nyeri. Pastules yangtidak terawat,
maka jaringan kolagen akan mengalami kerusakan sampai pada lapisan
dermis, sehingga kulit/wajah menjadi bopeng (Scar) (Mitsui, 1997).
II.5.4 Penanggulangan Jerawat
Usaha pengobatan jerawat menurut Wasitaatmadja (1997) dapat
dilakukan dengan 3 cara:
a. Pengobatan Topikal
Prinsip pengobatan topikal adalah mencegah pembentukan komedo
(jerawat ringan), ditujukan untuk mengatasi menekan peradangan dan
kolonisasi bakteri, serta penyembuhan lesi jerawat dengan pemberian bahan
iritan dan antibakteri topikal seperti; sulfur, resorsinol, asam salisilat,
benzoil peroksida, asam azelat, tetrasiklin, eritromisin dan klindamisin.
b. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk penderita jerawat sedang sampai
berat dengan prinsip menekan aktivitas bakteri, menekan reaksi radang,
12
menekan produksi sebum dan mempengaruhi keseimbangan hormonal.
Golongan obat sistemik misalnya: pemberian antibiotik (tetrasiklin,
eritromisin dan klindamisin).
c. Bedah Kulit
Bedah kulit ditujukan untuk memperbaiki jaringan parut yang terjadi
akibat jerawat. Tindakan dapat dilaksanakan setelah jerawat sembuh baik
dengan cara bedah listrik, bedah pisau, dermabrasi atau bedah laser.
II.6 Bakteri Penyebab Jerawat
Nama bakteri berasal dari kata “bacterion” (bahasa Yunani) yang
berarti tongkat atau batang. Sekarang nama itu dipakai untuk menyebut
sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berbiak dengan pembelahan
diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop
(Dwidjoseputro, 1988). Bakteri penyebab jerawat umumnya adalah
Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis.
II.6.1 Bakteri Propionibacterium acne
Dalam penelitian ini salah satu bakteri yang digunakan adalah
Propionibacterium acne. Propionibacterium acne adalah organisme utama
yang pada umumnya memberikontribusi terhadap terjadinya jerawat.
Adapun sistematika bakteri Propionibacterium acne menurut Irianto (2006)
adalah sebagai berikut:
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Propionibacteriaceae
Famili : Propionibacterium
Spesies : Propionibacterium acne
Propionibacterium acnes adalah termasuk gram-positif berbentuk
batang, tidak berspora, tangkai anaerob ditemukan dalam spesimen-
spesimen klinis, beberapa strain/jenis adalah aerotoleran, tetapi tetap
menunjukkan pertumbuhan lebih baik sebagai anaerob. Bakteri ini
13
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan asam propionat, sebagaimana
ia mendapatkan namanya (Irianto, 2006).
II.6.2 Bakteri Staphylococcus epidermidis
Sistematika bakteri Staphylococcus epidermidis menurut Irianto (2006)
adalah sebagai berikut:
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Micrococaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus merupakan sel gram positif berbentuk bulat biasanya
tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur.
Staphylococcus epidermidis membentuk koloni berupa abu-abu sampai
putih, non patogen, koagulasi negatif, tidak memfermentasi manitol, dapat
bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Staphylococcus epidermidis
merupakan flora normal pada kulit. Infeksi stafilokokus lokal tampak
sebagai jerawat dan infeksi folikel rambut atau abses (Irianto, 2006).
II.7 Losio
Losio adalah emulsi cair yang etrdiri dari fase minyak dan fase air
yang dapat tercampur dengan adanya emulgator. Losio dapat mengandung
satu atau lebih bahan aktif. Losio dimaksudkan untuk pemakaian luar kulit
sebagai pelindung. Konsistensi yang berbentuk cair memungkinkan
pemakaian yang cepat dan merata pada permukaan kulit sehinggan mudah
menyebar dan dapat segera kering setelah pengolesan serta meninggalkan
lapisan tipis pada permukaan kulit (Lachman dkk, 1994)
Terdapat dua bentuk emulsi dalam bahan dasar kosmetik yaitu emulsi
minyak dalam air dan emulsi air dalam minyak. Losio merupakan emulsi
tipe minyak dalam air, dimana minyak merupakan fase terdispersi (internal)
dan air merupakan fase pendispersi (eksternal). Tipe losio kulit umumnya
terdiri dari 10-15% fase minyak, 5-10% humektan dan 75-85% fase air
14
(Morwanti, 2006). Fase minyak dan fase cair dipanaskan dan diaduk secara
terpisah pada suhu 70-75oC, kemudian kedua fase tersebut dicampur pada
suhu 70oC dengan pengadukan. Pengadukan terus dilakukan hingga
mencapai suhu kamar. Pada temperature 70oC pencampuran fase cair dapat
terjadi dengan baik (Agnessya, 2008).
Metode pembuatan losio hampir sama dengan metode pembuatan
suatu suspensi, emulsi atau larutan. Losio dapat dibuat dengan
menambahkan eksipien ke suatu pasta halus dan sisa fase cairan
ditambahkan sambil diaduk (Kuswahyuning dan Sulaiman, 2008).
II.7.1 Komposisi Losio
a. Asam Stearat
Asam stearat berupa zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan
hablur putih atau kuning pucat, mirip lemak lilin. Asam stearat praktis tidak
larut dalam air, larut dalam 20 bagian etanol (95%) P, dalam 2 bagian
kloroform P dan dalam 3 bagian eter P. suhu lebur tidak kurang dari 54oC
(Depkes RI, 1979). Asam stearat secara luas digunakan dalam formulasi
sediaan oral dan topical sebagai agen pengemulsi, pelarut, lubrikan pada
tablet dan kapsul. Dalam formulasi sediaan topical, asam stearat digunakan
sebagai agen emulsifikasi pelarut. Asam stearat merupakan bahan non toksik
dan tidak mengiritasi (Rowe, dkk., 2009).
Gambar 1 Struktur Kimia Asam Stearat
b. Trietanolamin
Trietanolamin berupa cairan kental, tidak berwarna hingga kuning
pucat, berbau lemah mirip amoniak, higroskopik. Mudah larut dalam air
dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut dalam kloroform P (Depkes RI,
1979). Larut dalam aseton, karbon tetraklorida, methanol dan air, dalam 24
bagian benzen, dalam 63 bagian etil eter. Tidak cocok dengan adanya asam
mineral, tembaga, reagen seperti thyonyl klorida yang dapat memebentuk
produk toksik (Rowe dkk., 2009).
15
Trietanolamin secara luas dalam formulasi obat topikal terutama dalam
pembentukan emulsi. Fungsi trietanolamin yaitu sebagai agen alkalis (basa)
dan agen pengemulsi. Ketika dicampur dalam kadar yang sesuai dengan
asam lemak, seperti asam stearat atau asam oleat, trietanolamin membentuk
sebuah sbaun anionic dengan pH sekitar 8, dimana dapat digunakan sebagai
suatu agen emulsifikasi untuk menghasilkan butir halus, emulsi minyak
dalam air yang stabil (Rowe, dkk., 2009).
Gambar 2 Struktur Kimia Trietanolamin
c. Gliserin
Berupa cairan seperti sirup, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, manis
diikuti rasa hangat dan higrokopik. Jika disimpan dalam waktu yang lama
pada suhu rendah dapat memadat membentuk massa hablur tidak berwarna
yang tidak melebur hingga suhu mencapai lebih kurang 20oC. Dapat
bercampur dengan air dan etabol (95%) P, praktis tidak larut dalam
kloroform P, dalam eter P dan minyak lemak (Depkes RI, 1979). Tidak
cocok dengan adanya oksidator kuta seperti kromium trioksid, potassium
klorat atau potasium permanganat. Dalam formulasi farmasetis topikal dan
kosmetik, gliserin digunakan sebagai humektan dan emolien (Rowe, dkk.,
2009).
Gambar 3 Struktur Kimia Gliserin
d. Parafin Cair
Parafin cair berupa cairan kental, transparan, tidak berfluorosensi,
tidak berwarna, hampir tidak berbau dan hampir tidak mempunyai rasa.
Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut dalam
16
kloroform P dan dalam eter P (Depkes RI, 1979). Terutama digunakan
sebagai bahan tambahan pada formulasi obat topical seperti emulsi minyak
dalam air, sebagai pelarut dan lubrikan pada formulasi tablet dan kapsul.
Tidak cocok dengan oksidator kuat (Rowe, dkk., 2009).
e. Metil Paraben
Metil paraben memiliki ciri-ciri serbuk hablur halus, berwarna putih,
hampir tidak berbau dan tidak mempunyai rasa kemudian agak membakar
diikuti rasa tebal (Depkes, 1979). Metil paraben banyak digunakan sebagai
pengawet dan antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi
farmasi dan digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan paraben
lain atau dengan antimikroba lain. Pada kosmetik, metil paraben adalah
pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Jenis paraben lainnya
efektif pada kisaran pH yang luas dan memiliki aktivitas antimikroba yang
kuat. Metil paraben meningkatkan aktivitas antimikroba dengan panjangnya
rantai alkil, namun dapat menurunkan kelarutan terhadap air, sehingga
paraben sering dicampur dengan bahan tambahan yang berfungsi
meningkatkan kelarutan. Kemampuan pengawet metil paraben ditingkatkan
dengan penambahan propilen glikol (Rowe, dkk., 2009).
Gambar 4 Struktur Kimia Metil Paraben
f. Aquadest
Aqua destilata atau air suling merupakan cairan jernih, tidak berwarna,
tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Air suling dibuat dengan menyuling
air yang dapat diminum (Depkes RI, 1979).
g. Karaginan
Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester
kalium, natrium, magnesium dan kalsium sulfat dengan galaktosa dan 3,6
17
anhidrogalaktopolimer. Karaginan merupakan sneyawa polisakarida yang
tersusun oleh D-galaktosa dan l-galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa yang
terhubungkan oleh ikatan 1,4 glikosiklik. Karaginan secara khusus dalam
sediaan topikal berguna sebagai bahan pengental yaitu bahan yang mengatur
kekentalan dan mempertahankan kestabilan suatu produk. Tujuannya dalam
pembuatan losio yaitu untuk mencegah terpisahnya partikel dari emulsi
(Mitsui, 1997).
Gambar 5 Struktur Kimia Karaginan
II.8 Landasan Teori
Jerawat merupakan penyakit peradangan yang terjadi akibat
penyumbatan pada pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul,
pastul dan bopeng (scar) pada daerah wajah, leher, lengan atas, dada dan
punggung. Peradangan dipicu oleh bakteri Propionibacterium acne,
Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus (Mitsui, 1997;
Wasitaatmadja, 1997).
Daun sirsak merupakan salah satu tanaman obat yang secara empiris
sering digunakan untuk mengobati luka borok, bisul, kejang, jerawat, dan
kutu rambut. Pada penelitian sebelumnya, diketahui bahwa infusa daun
sirsak poten membunuh S. aureus. Dari uji tabung dan identifikasi dengan
Kromatografi Lapis Tipis infusa daun sirsak mengandung senyawa
flavonoid, polifenol, dan alkaloid. Flavonoid dan polifenol merupakan
turunan fenol yang bekerja sebagai antiseptik dan desinfektan. Sedangkan
Alkaloid memiliki efek bakterisida (Sari, dkk, 2010).
Pengobatan jerawat dapat dilakukan dengan menggunakan sediaan
topikal. Pada penelitian ini diformulasi sediaan losio antijerawat yang
18
berasal dari ekstrak etanol daun sirsak. Losio merupakan sediaan emulsi cair
yang terdiri dari fase minyak dan fase air yang dimaksudkan untuk
pemakaian luar sebagai pelindung. Dengan konsistensi losio yang cair
memungkinkan pemakaian cepat dan merata dalam penyebarannya
(Lachman dkk, 1994). Pembuatan losio menggunakan konsentrasi karaginan
yang berbeda untuk melihat kekentalan dan stabilitas sediaan yang
dikhawatirkan dapat terpisah fase emulsinya (Mitsui, 1997). Pengujian
stabilita losio dilakukan secara fisika dan kimia yaitu organoleptis, uji daya
sebar, uji daya lekat, viskositas dan pH. Pengujian mikrobiologi dilakukan
dengan mengukur aktifitas antibakteri terhadap P. acne dan S. epidermidis
menggunakan metode difusi agar dengan menghitung besarnya diameter
zona hambatan sekitar kertas cakram dari losio yang dibandingkan dengan
kontrol positif.
II.9 Hipotesis
Ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata Linn.) mempunyai
aktivitas antibakteri terhadap bakteri P. acne dan S. epidermidis dalam
bentuk sediaan losio karena mengandung senyawa flavonoid, polifenol dan
alkaloid.
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat penguap
vakum, anak timbangan, autoklaf, batang pengaduk, bejana maserasi,
blender, bulb, cawan petri, corong kaca, cover glass, erlenmeyer, gelas
beker, gelas object, gelas ukur, kaca arloji, hot plate, jangka sorong, jarum
ose, kertas millimeter blok, laminar air flow cabinet, labu ukur, lemari
pendingin, mikropipet, mortar dan stamper, oven, pinset, pembakar bunsen,
penggaris, pH meter, pipet tetes, pisau, sendok stainless, sendok tandu,
stopwatch, sudip, tabung reaksi, termometer, timbangan analitik, viskometer
stormer
III.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi aquades, asam
stearat, bacto agar, bacto beef extract, bacto peptone, darah kambing, daun
sirsak (Annona muricata Linn.), etanol teknis, gliserin, karaginan, kertas
merang (sampul coklat), kertas saring Whatman no. 1, media nutrient agar,
media agar darah (blood agar), metil paraben, Natrium klorida, parafin cair,
sediaan lotio anti jerawat yang beredar di pasaran: lotio anti jerawat mustika
ratu, spiritus, standar Mc. Farland no. 0,5, trietanolamin, Tryptic Soy Agar
III.1.3 Bakteri Uji
Bakteri uji yang digunakan pada penelitian ini adalah kultur bakteri
Propionibacterium acnes dan kultur bakteri Staphylococcus epidermidis.
III.2 Cara Penelitian
III.2.1 Rancangan Penelitian
20
Gambar 6 Skema Rancangan Penelitian
III.2.2 Variabel penelitian
Penelitian ini menggunakan variabel bebas (independent) dan variabel
terikat (dependent). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi
hambat minimum ekstrak etanol daun sirsak dan kosnentrasi karaginan,
sedangkan variabel terikat adalah aktivitas antibakteri ekstrak, kekentalan
dan stabilitas losio serta aktivitas antibakteri losio ekstrak etanol daun sirsak.
III.2.3 Tempat dan Waktu
21
Penelitian dilakukan dilaboratorium Teknologi Farmasi Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak. Penelitian dimulai bulan
Januari 2014.
III.2.4 Objek Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah daun sirsak (Annona
muricata Linn.). Metode pengambilan sampel menggunakan metoden non-
random purposive yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan
tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Kriteria daun sirsak yang digunakan
yaitu daun sirsak yang masih muda. Sampel daun sirsak berasal dari
pekarangan rumah yang berada di Jl. Wonoyoso I Gg. V No. 3.
III.2.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat
mewakili dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel
(Notoatmodjo, 2002) yaitu :
1. Daun sirsak yang digunakan adalah daun sirsak muda
2. Zona jernih (penghambatan) bakteri terjadi selama 18-24 jam
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak
dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel
penelitian (Notoatmodjo, 2002) yaitu :
1. Terdapat sampel berupa daun sirsak yang sudah tua
2. Zona jernih (penghambatan) bakteri terjadi selama > 18-24 jam
III.2.6 Cara kerja
III.2.6.1 Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan adalah daun sirsak (Annona muricata Linn.)
yang diambil dari pekarangan rumah yang berada di Jl. Wonoyoso I Gg. V
No. 3
III.2.6.2 Pengolahan Sampel
Daun sirsak (Annona muricata Linn.) yang telah dikumpulkan,
dibersihkan dari pengotor yang melekat (sortasi basah) kemudian dicuci
22
dengan air mengalir, lalu ditiriskan. Kemudian disebarkan di atas kertas
koran sehingga airnya terserap. Sampel dikeringkan di dalam lemari
pengering (suhu 50oC), kemudian sampel dihaluskan hingga derajat
kehalusan tertentu dengan menggunakan blender.
III.2.6.3 Pembuatan Ekstrak
Serbuk simplisia diekstraksi dengan cara maserasi dengan
menggunakan pelarut etanol. Serbuk ditimbang, dimasukkan ke dalam
wadah kaca lalu dituang pelarut etanol secukupnya sampai serbuk simplisia
basah, diamkan beberapa jam. Setelah itu ditambah pelarut etanol sampai
bahan tumbuhan terendam sempurna. Maserasi dilakukan selama tiga hari
sambil sesekali diaduk. Setelah tiga hari, cairan penyari dienaptuangkan
(didekantir) sehingga diperoleh maserat I. Kepada ampas ditambahkan
pelarut etanol sampai terendam sempurna. Proses maserasi dilakukan lagi
selama tiga hari, cairan penyari dienaptuangkan sehingga diperoleh maserat
II. Proses maserasi diulangi lagi sehingga diperoleh maserat III. Maserat I, II
dan III digabung dan disaring. Maserat diuapkan pelarutnya dengan alat
penguap vakum putar pada suhu tidak lebih dari 40ºC (Adams, dkk, 1970).
III.2.6.4 Persiapan dan Uji Aktivitas Antibakteri terhadap Ekstrak
a. Pembuatan Nutrient Agar
Sebanyak 23 gram nutrient agar dilarutkan dalam air suling steril
sebanyak 1000 ml kemudian dipanaskan hingga semua larut, dalam keadaan
panas larutan tersebut kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer. Lalu
disterilkan di autoklaf 121oC selama 15 menit (Difco, 1997).
b. Pembuatan Blood Agar
Sebanyak 40 gram Tryptic Soy Agar (TSA) dilarutkan ke dalam 1000
mL akuadest steril, kemudian pH media diukur sampai 7,3 dan dipanaskan
selanjutnya disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
Hangatkan darah kambing segar sebanyak 50 mL sampai suhu hingga
50°C. TSA steril didiinginkan sampai suhu mencapai 50°C kemudian darah
kambing segar dituangkan ke dalam labu berisi TSA (Hadioetomo, 1993).
c. Pembuatan Larutan NaCl 0,9%
23
Natrium klorida ditimbang sebanyak 9 gram lalu dilarutkan dalam air
suling sedikit demi sedikit dalam labu ukur 1000 ml sampai larut sempurna.
Lalu ditambahkan air suling sampai garis tanda. Disterilkan di autoklaf pada
suhu 121o C selama 15 menit
d. Pembuatan Agar Miring
Ke dalam tabung reaksi yang steril dimasukkan 3 ml media nutrient
agar steril, didiamkan pada temperatur kamar sampai sediaan membeku pada
posisi miring membentuk sudut 45oC. Kemudian disimpan dalam lemari
pendingin pada suhu 5oC.
e. Penyiapan Inokulum
1. Pembuatan Stok Kultur Bakteri Propionibacterium acne
Biakan bakteri P. acne dari strain utama diambil dengan jarum ose
steril lalu diinokulasikan pada permukaan media nutrient agar miring,
kemudian diinkubasikan pada suhu 35±2o C selama 24 jam
2. Pembuatan Stok Kultur Bakteri Staphylococcus epidermidis
Biakan bakteri S. epidermidis dari strain utama diambil dengan
jarum ose steril lalu diinokulasikan pada permukaan media nutrient agar
miring, kemudian diinkubasikan pada suhu 35±2o C selama 24 jam
3. Pembuatan Inokulum Bakteri Propionibacterium acne
Koloni bakteri P. acne diambil dari stok kultur diambil
menggunakan jarum ose steril kemudian disuspensikan ke dalam 10 ml
larutan NaCl 0,9% steril lalu diinkubasikan pada suhu 35±2oC sampai
didapat kekeruhan dengan transmitan 25% menggunakan alat
spektrofotometer UV panjang gelombang 580 nm (Depkes RI, 1995).
4. Pembuatan Inokulum Bakteri Staphylococcus epidermidis
Koloni bakteri S. epidermidis diambil dari stok kultur diambil
menggunakan jarum ose steril kemudian disuspensikan ke dalam 10 ml
larutan NaCl 0,9% steril lalu diinkubasikan pada suhu 35±2oC sampai
didapat kekeruhan dengan transmitan 25% menggunakan alat
spektrofotometer UV panjang gelombang 580 nm (Depkes RI, 1995).
5. Sterilisasi Alat dan Bahan
24
Alat-alat non gelas disterilkan terlebih dahulu di dalam autoklaf pada
suhu 121°C selama 15 menit dan alat-alat gelas disterilkan di oven suhu
160-170°C selama 2 jam. Jarum ose dibakar dengan api bunsen.
6. Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Etanol Daun Sirsak dengan
Berbagai Konsentrasi
Sebanyak 5 gram ekstrak etanol daun sirsak ditimbang, lalu
ditambahkan etanol hingga volume total 10 ml dan diaduk hingga larut dan
didapat konsentrasi 500 mg/ml, kemudian dibuat pengenceran dengan
konsentrasi 400, 300, 200, 100 dan 50 mg/ml.
7. Pengujian Aktivitas Antibakteri terhadap Ekstrak
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan terhadap ekstrak etanol daun
sirsak dengan berbagai konsentrasi. Pengujian ini dilakukan dengan metode
difusi agar.
i.Bakteri Propionibacterium acne
Sebanyak 0,1 ml inokulum dimasukkan ke dalam cawan petri steril,
setelah itu dituang media nutrient agar sebanyak 20 ml dengan suhu 45–
50oC. Selanjutnya cawan digoyang di atas permukaan meja, agar media dan
suspensi bakteri tercampur rata. Pada media blood agar yang telah padat
diletakkan beberapa kertas cakram, dipipet 0,1 ml larutan uji ekstrak etanol
daun sirsak dengan berbagai konsentrasi, kemudian diinkubasi dalam
inkubator pada suhu 35±2oC selama 18–24 jam, setelah itu diukur diameter
daerah hambatan (zona jernih) pertumbuhan di sekitar cakram dengan
menggunakan jangka sorong (Hadioetomo, 1993).
ii.Bakteri Staphylococcus epidermidis
Sebanyak 0,1 ml inokulum dimasukkan ke dalam cawan petri steril,
setelah itu dituang media nutrient agar sebanyak 20 ml dengan suhu 45–
50oC. Selanjutnya cawan digoyang di atas permukaan meja, agar media dan
suspensi bakteri tercampur rata. Pada media nutrient agar yang telah padat
diletakkan beberapa kertas cakram, dipipet 0,1 ml larutan uji ekstrak etanol
daun sirsak dengan berbagai konsentrasi, kemudian diinkubasi dalam
inkubator pada suhu 35±2oC selama 18–24 jam, setelah itu diukur diameter
25
daerah hambatan (zona jernih) pertumbuhan di sekitar cakram dengan
menggunakan jangka sorong (Hadioetomo, 1993).
III.2.6.5 Pembuatan Losio
Sediaan losio yang dibuat terdiri atas tiga formula. Tiap formula
mengandung konsentrasi karaginan yang berbeda-beda seperti yang
ditunjukkan pada tabel 1. Losio masing-masing formula dibuat sebanyak
100 gram dan tipe formula direplikasi sebanyak 3 kali.
Tabel 1 Formula Losio Ekstrak Etanol Daun Sirsak
Bahan Kandungan per 100 gram
LA LB LC
Ekstrak etanol daun sirsak KHM KHM KHM
Asam stearat 2.5 2.5 2.5
Trietanolamin 1 1 1
Karaginan 0.5 0.75 1
Gliserin 5 5 5
Parafin cair 7 7 7
Metil paraben 0.1 0.1 0.1
Pewangi qs Qs qs
Aquadest Ad 100 gram Ad 100 gram Ad 100 gram
Keterangan:
LA : Formula losio dengan konsentrasi karaginan 0,5 %
LB : Formula losio dengan konsentrasi karaginan 0.75 %
LC : Formula losio dengan konsentrasi karaginan 1 %
26
Gambar 7 Skema Pembuatan Losio
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan losio dipisahkan
menjadi dua bagian antara fase minyak dan fase air. Asam stearat dan
paraffin cair yang merupakan fase minyak dimasukkan dalam cawan
penguap. Gliserin, trietanolamin, karaginan dan aquadest yang merupakan
fase air dicampur dalam gelas beker. Sebelumnya karaginan dilarutkan
terlebih dahulu dalam dalam beberapa bagian air sebelum dicampur dalam
fase air. Lalu sisa air ditambahkan dalam campuran fase air. Fase air dan
minyak dipanaskan dan diaduk dalam suhu 70-75oC secara terpisah hingga
tercampur homogen. Proses pencampuran kedua fase dilakukan pada suhu
70oC karena pada suhu tersebut terjadi emulsifikasi. Proses pengadukan
dilakukan hingga kedua fase tersebut homogen dan mencapai suhu 40oC.
27
Kemudian dimasukkan ekstrak etanol daun sirsak sedikit demi sedikit dan
gerus hingga homogen, selanjutnya metal paraben dimasukkan ke dalam
pada suhu 35oC agar tidak merusak zat aktif kemudian dilakukan
pengadukan (Anita, 2008). Pewangi ditambahkan pada tahap akhir.
III.2.6.6 Pemeriksaan Stabilitas Fisik dan Kimia Losio
Losio dengan variasi ekstrak etanol daun sirsak sebagai bahan aktif
dievaluasi sifat fisiknya meliputi uji organoleptis, daya sebar, daya lekat,
viskositas serta sifat kimianya yaitu pH. Pengamatan dilakukan 5 hari sekali
pada hari ke 0, 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 (Morwanti, 2006). Pemilihan rentang
dikarenakan perubahan viskositas mulai terjadi 5-15 hari setelah emulsi
dibuat dan sete;ah itu relative konstan (Rieger, 2000).
a. Uji Organoleptik
Pemeriksaan terhadap organoleptik yang dilakukan meliputi warna,
bau, dan konsistensi yang diamati secara visual.
b. Uji Daya Sebar
Sebanyak 0.5 gram losio diletakkan di atas kaca arloji yang dibuat
berskala dnegan kertas millimeter blok. Diatas losio diletakkan kaca arloji
dan pemberat menjadi 150 gram, selanjutnya didiamkan selama 1 menit,
kemudian dicatat diameter penyebarannya dan dihitung luas penyebaran
dengan persamaan 1 (Ameliana dan Winarti, 2011). Pengukuran dilakukan
masing-masing satu kali tiap replikasi formula.
L = 𝜋 . r2……………………………………………………… (persamaan 1)
Keterangan : L = luas penyebaran losio (cm2)
𝜋 = phi (3,14)
R = jari-jari penyebaran losio (cm)
c. Uji Daya Lekat
Sebanyak 0,5 gram losio diratakan diatas gelas objek yang telah
diketahui luasnya. Diletakkan gela sobjek yang lain diatas losio tersebut.
Kemudian ditekan dengan beban 1 kg selama 5 menit. Kemudian dilepaskan
beban seberat 80 gram dan dicatat waktunya hingga kedua gelas objek
28
terlepas. Pengukuran dilakukan masing-masing sati kali pada tiap replikasi
formula.
d. Uji Viskositas
Viskositas losio diukur dengan menggunakan viskosimeter stormer.
Sebanyak 200 gram losio dimasukkan kedalam wadah lalu diberi beban
hingga baling-baling dapat berputar ketika rem dilepas. Saat rem dilepas
maka pemberat akan meluncur ke bawah dan nilai rpm akan muncul pada
alat. Dilakukan prosedur yang sama dengan beban yang bervariasi (kelipatan
30). Dicatat rpm yang dihasilkan pada masing-masing beban. Kemudian
hitung Kv alat dengan memasukkan nilai beban yang menghasilkan 200
rpm. Selanjutnya dicari persamaan regresi linier dnegan pH nilai x adalah
bobot (gram) vs nilai y adalah rpm. Nilai y pada persamaan regresi dianggap
nol, sehingga dapat diperoleh nilai x yaitu nilai Wf. Nilai viskositasnya
dihitung dengan persamaan 2 :
η = 𝑘𝑣 (𝑤−𝑤𝑓)
𝑟𝑝𝑚 ……………………………………………… (persamaan 2)
Keterangan : η = viskositas (poise)
kv = tetapan alat
w = massa pemberat (gram)
wf = intersep yield value (gram)
rpm = kecepatan
e. Uji pH
Losio uji diambil secukupnya kemudian dimasukkan kedalam pH
meter dan dicatat nilai pH yang ditunjukkan oleh pH meter. Pengukuran
dilakukan masing-masing satu kali pada tiap replikasi formula.
III.2.5.7 Uji Mikrobiologi Sediaan
Uji mikrobiologi untuk mengetahui aktivitas antibakteri sediaan losio
ekstrak etanol buah belimbing wuluh yang dilakukan dengan metode difusi
agar menggunakan kertas cakram dengan cara mengukur diameter hambatan
pertumbuhan bakteri terhadap bakteri P. acne dan bakteri S. epidermidis.
a. Bakteri Propionibacterium acne
29
Sebanyak 12 ml media blood agar dituangkan ke dalam cawan petri
steril. Pada media yang telah padat, inokulum bakteri P. acne ditanam
menggunakan jarum ose dengan menggoreskannya. Kemudian diletakkan
beberapa kertas cakram dengan diameter 6 mm, dipipet 0,1 ml losio ekstrak
etanol daun sirsak dan kontrol positif lotion jerawat mustika ratu
dimasukkan ke dalam kertas cakram, kemudian diinkubasi dalam inkubator
pada suhu 35±2oC selama 18-24 jam, setelah itu diukur diameter daerah
hambatan (zona jernih) pertumbuhan di sekitar cakram dengan
menggunakan jangka sorong (Hadioetomo, 1993).
b. Bakteri Staphylococcus epidermidis
Sebanyak 12 ml media nutrient agar dituangkan ke dalam cawan petri
steril.Pada media yang telah padat, inokulum bakteri S. epidermidis ditanam
menggunakan jarum ose dengan menggoreskannya. Kemudian diletakkan
beberapa kertas cakram, dipipet 0,1 ml losio ekstrak etanol daun sirsak dan
kontrol positif lotion jerawat mustika ratu dimasukkan ke dalam kertas
cakram, kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35±2oC selama 18-
24 jam, setelah itu diukur diameter daerah hambatan (zona jernih)
pertumbuhan di sekitar cakram dengan menggunakan jangka sorong
(Hadioetomo, 1993).
III.2.6.9 Analisis Data
Data yang didapat berupa aktivitas antibakteri sediaan dengan berbagai
seri konsentrasi dan hasil stabilitas sediaan. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan program R-Commander seri 2.14.1. R adalah suatu kesatuan
software yang terintegrasi dengan beberapa fasilitas untuk perhitungan dan
penampilan grafik. Pengujian yang dilakukan adalah One Way ANOVA
(Analysis of Varians) untuk membandingkan nilai signifikansi dari formula
I, II dan III. Selanjutnya dilakukan uji T dengan uji T Independent untuk
mengetahui nilai perbandingan sediaan losio ekstrak dengan kontrol positif.
30
DAFTAR PUSTAKA
Adams, R., Johnsons, J.R., and Wilson, C.F., Jr. 1970. Laboratory Experiments in
Organic Chemistry. Edisi Keenam. Mac Millan Publishing Co, Inc. New
York
Agnessya, R. 2008. Kajian Pengaruh Penggunaan Natrium Alginat dalam
Formulasi Skin Lotion. Skripsi, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Ameliana, L dan Lina Winarti. 2011. Uji Aktivitas Antinyamuk Lotion Minyak
Kunyit sebagai Alternatif Pencegah Penyebaran Demam Berdarah
Dengue. J. Trop. Phar. Chem
Anita, S.B. 2008. Aplikasi Karaginan Dalam Pembuatan Skin Lotion. Skripsi,
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Anonim. 1986. Sediaan Galenika. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta
Ansel, C.H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. UI Press. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Difco Laboratories. 1977. Difco Manual of Dehydrated Culture Media and
Reagents for Microbiology and Clinical Laboratory Procedures. Ninth
edit ion. Difco Laboratories. Detroit Michigan
Dwidjoseputro, D. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta
Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Irianto, K. 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme Jilid I. CV.
Yrama Widya. Bandung
Kuswahyuning, R dan Sulaiman, T.N.S. 2008. Teknologi dan Formulasi Sediaan
Semi Padat. Pustaka Laboratorium Teknologi Farmasi Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta
31
Lachman, L., Herbert, A.L., dan Joseph, L.K. 199). Teori dan Praktek Farmasi
Industri Edisi III. UI Press. Jakarta
Mardiana,L.,Ratnasari,J. 2011. Ramuan dan Khasiat Sirsak. Penebar Swadaya.
Jakarta
Mitsui, T. 1997. New Cosmetic Science. Elsevier. Tokyo
Morwanti, D.A. 2006. Aplikasi Dimethicone (Silicone Oil) sebagai Pelembut
dalam Proses Pembuatan Skin Lotion. Skripsi, Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Notoatmodjo,S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta
Rieger, M.M. 2000. Harry’s Cosmeticology, Eight Edition. Chemical Publishing
Co, Inc. New York
Rowe, R.C., Sheskey, P.J and Owen, S.C. 2009. The Handbook of
Pharmaceutical Excipients. Pharmaceutical Press and the American
Pharmacists Association. London
Sari, Yeni Dianita. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Infusa Daun Sirsak (Annona
ruricata L.) secara In Vitro terhadap Staphylococcus aureus Atcc 25923
dan Escherichia coli Atcc 35218 serta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya.
Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta
Steenis, C.G.G.J. 2003. Flora. Cetakan Kesembilan. Terjemahan Surjowinoto M
dkk. PT Pradnya Paramita. Jakarta
Tjitrosoepomo, G. 1991. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. UGM Press.
Yogyakarta
Tranggono, R.I., dan Latifah, F. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik. Editor: Joshita Djajadisastra. Penerbit Pustaka Utama. Jakarta
Voigt, R. 1984. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. UGM Press. Yogyakarta
Wasitaatmadja, S.M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Penerbit UI-Press.
Jakarta
Wyatt et al,. 2001. Dermatological Pharmacology. In: Hardman JG, Limbird IE,
Eds. Goodman and Gillman’s The Pharmacological Basis of Therapeutic
10th Ed. Mc Graw Hill. New York