i
GAGASAN KEADILAN DALAM ETIKA IBN
MISKAWAYH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Khoiriyah
NIM : 11140331000054
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M
ii
GAGASAN KEADILAN DALAM ETIKA IBN
MISKAWAYH
Diajukan Ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Khoiriyah
NIM: 11140331000054
Dosen Pembimbing
Iqbal Hasanuddin, M.Hum.
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Khoiriyah
NIM : 11140331000054
Tempat, Tgl. Lahir : Menggala, 10 Februari 1995
Program Studi : Aqidah dan Filsafat Islam
Judul Skripsi : Gagasan Keadilan Dalam Etika Ibn Miskawayh
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1)
di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah
dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil
plagiasi dari karya orang lain, maka penulis bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Desember 2018
Penulis
Khoiriyah
NIM. 11140331000054
iv
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi berjudul “GAGASAN KEADILAN DALAM ETIKA IBN
MISKAWAYH” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Desember
2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
Jakarta,12 Desember 2018
Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Tien Rohmatin, MA. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA.
NIP. 19680803 199403 2 002 NIP. 19780424201503 1 001
Penguji 1, Penguji II,
Dr. Edwin Syarif, MA. Drs. Nanang Tahqiq, MA.
NIP. 19670918 199703 1 001 NIP. 19660201 199103 1 001
Dosen Pembimbing
Iqbal Hasanuddin, M.Hum.
v
MOTTO
Start with Basmallah, End with Hamdallah
Fight From Zero More Than Meaningful
vi
ABSTRAK
GAGASAN KEADILAN DALAM ETIKA IBN MISKAWAYH
Khoiriyah
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran keadilan Ibn
Miskawayh. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif
analitis. Sementara itu, teknik dalam pengumpulan data yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini ialah kajian pustaka (library research). Sumber primer dalam
penulisan skripsi ini adalah salah satu karya Ibn Miskawayh, yaitu Tahdzīb Al-
Akhlāq yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Helmi Hidayat.
Keadilan dalam pandangan Ibn Miskawayh adalah sikap jiwa yang melahirkan
kebajikan. Oleh karena itu, ia juga menjelaskan tentang jenis-jenis keadilan,
meliputi keadilan Tuhan, keadilan alam, dan keadilan manusia. Ibn Miskawayh
juga berpendapat bahwa manusia yang adil bukan hanya memperoleh
keseimbangan atau harmoni pribadi melainkan juga dengan orang lain. Posisi atau
jalan tengah menurut Ibn Miskawayh merupakan keadaan sedemikian rupa
sehingga jiwa dapat menempati posisi yang utama (al-faḍilah). Maka keadilan
dan posisi pertengahan dapat berlaku seterusnya dalam kehidupan sesuai dengan
tantangan zaman dan tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari keutamaan
moral.
Kata Kunci: Keadilan, Jiwa, Jalan Tengah, Ibn Miskawayh.
vii
KATA PENGANTAR
“Dengan menyebut nama Allāh Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.”
Alhamdulillah puji syukur yang tak terhingga bagi Allah SWT, Yang
Maha Memudahkan segala urusan hamba-Nya dan senantiasa menyertai setiap
langkah hamba-Nya. Karena atas kuasa-Nya lah akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi sederhana ini yang berjudul Gagasan Keadilan dalam
Etika Ibn Miskawayh. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada junjungan besar Nabi Muḥammad SAW.
Dalam penulisan skripsi ini tentu melibatkan berbagai pihak yang turut
membantu baik spirit maupun materil dari awal proses penulisan hingga
terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu, penulis juga ingin menyampaikan
terimakasih kepada:
1. Bapak Iqbal Hasanuddin, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi hangat, mengoreksi
dan memberikan banyak kritik dan saran-sarannya. Big thanks Sir!
2. Ibu Dra. Tien Rohmatin, MA. selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam dan Bapak Dr. Abdul Hakim Wahid, MA. selaku Sekretaris Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan dorongan kepada
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
3. Seluruh Guru Besar, dosen, staff perpustakaan, dan civitas akademika
beserta keluarga besar Fakultas Ushuluddin, khususnya Bapak Hanafi,
viii
MA. selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah membagikan begitu
banyak ilmu pengetahuan sekaligus bimbingannya selama empat tahun ini.
4. Keluarga penulis, khususnya kedua orang tua penulis yang telah
membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayang, perjuangan, dan
pengorbanan yang begitu luar biasa. Teruntuk Ayahanda, Jamari dan
ibunda Mardiyah, (alm) kakek Sarman dan nenek Misirah, uncle Suyadi
dan aunty Mariyamah. Ketiga kakak tercinta penulis, mas Irul beserta
isterinya mbak Lia, ayuk Yati beserta suaminya mas Habib, mas Tri
beserta isterinya mbak Atun dan adik tercinta Ahmad. Serta keponakan-
keponakan onty tersayang ananda Irwan, Bilqis, Hafitzh, (alm) Altan,
Naura, Faqih, Zahra, dan Fajar. Terima kasih untuk doa, semangat, dan
dukungannya kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.
5. Especially for my honey yang selalu memberikan motivasi dan menjadi
alarm bagi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Terimakasih banyak atas kesabaranmu dalam mengarahkan dan senantiasa
meluangkan waktumu untuk mendiskusikan skripsi ini.
6. Sahabat terbaik sekaligus teman seperjuangan penulis baik suka maupun
duka diperantauan, Ulfiyatul Khoiroh, Nur Kholifah, S.Sos, Ade Nur
Ikhlashiah Ahmad. Terima kasih untuk kebersamaan dan segala hal positif
yang telah diberikan kepada penulis selama ini.
Kawan-kawan terbaik penulis di program studi Aqidah dan Filsafat Islam
Angkatan 2014 (MAFIA 2014), khususnya kepada Amna, Zia, Rizka,
Jojo, Zen, Emha, Via, Luckmen, bang Rey, pres Mahmud, Key, Madon,
pak pejabat Qur, bang Wildan, pak kades Fiqih, Dani, Yola, Fatma, Nisa,
ix
Aya, Ita, Ujer, Dede, Aldy, dir Fufu, dan Anu. Terimakasih karena telah
menjadi teman diskusi yang menghangatkan, bersedia membantu dengan
tulus dan ikhlas ketika penulis mengalami kesulitan serta selalu
memberikan dampak positif bagi penulis.
Teman-teman seperjuangan penulis di Monash Institute Ciputat sebagai
keluarga pertama penulis diperantauan, Himpunan Mahasiswa Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam (HMJ-AFI), kawan-kawan Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, KOHATI KOMFUF, ciwi-ciwi
Latihan Khusus Kohati (LKK) tingkat Nasional cabang Bandar Lampung,
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA-FU), Forum Diskusi
PIUSH (Pojok Inspirasi Ushuluddin), para COK (Cuma Orang Kecil) dan
teman-teman kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) PANAH SOSIAL 055
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017,
serta para senior-junior yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Terima kasih untuk semua ilmu dan pengalaman yang pernah diberikan
kepada penulis.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan untuk semua pihak
yang telah penulis sebutkan di atas, āmīn. Penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca secara umum dan penulis pada khususnya. Penulis juga
berharap skripsi ini dapat memperkaya khazanah keilmuan khususnya dalam
bidang Etika/Ilmu Akhlak.
Jakarta, 12 Desember 2018
Penulis
Khoiriyah
NIM. 11140331000054
x
Pedoman Transliterasi
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
„ „ ع t t ت
gh gh غ ts ts ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dz ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
‟ ‟ ء sy sy ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
ā ā آ
ī ī إِى
ū ū او
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iv
MOTTO .................................................................................................................. v
ABSTRAK .............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... x
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 9
F. Metode Penelitian..................................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan .............................................................................. 11
BAB II PANDANGAN FAILASUF YUNANI TENTANG KEADILAN
A. Keadilan Menurut Platon ......................................................................... 15
B. Keadilan Menurut Aristoteles .................................................................. 28
BAB III BIOGRAFI IBN MISKAWAYH
A. Riwayat Hidup ......................................................................................... 40
B. Latar Belakang Intelektual ....................................................................... 42
C. Karya-karya .............................................................................................. 46
BAB IV KEADILAN DALAM ETIKA IBN MISKAWAYH
A. Definisi Keadilan Dalam Etika ................................................................ 49
B. Jenis-jenis Keadilan ................................................................................. 59
C. Keadilan Merupakan Watak Jiwa ............................................................ 68
D. Keadilan Sebagai Jalan Tengah .............................................................. 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 77
B. Saran ......................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 80
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibn Miskawayh adalah seorang failasuf yang membahas mengenai
keadilan. Ia lahir di kota Rayy (Iran) pada tahun 320 H/932 M dan wafat di
Asfahan pada 9 Safar 421 H/16 Februari 1030 M.1. Ia dikenal sebagai bapak etika
Islam. Ia telah merumuskan dasar-dasar etika dalam kitabnya Tahdzīb al-Akhlāq
wa Taṭhir al-A‟rāq (pendidikan budi dan pembersihan akhlak). Sumber pemikiran
etika Ibn Miskawayh berasal dari falsafah Yunani, peradaban Persia, ajaran
syariat Islam dan pengalaman pribadi.2 Keadilan merupakan bagian dari
pemikiran etika Ibn Miskawayh. Pembahasannya tentang keadilan juga tidak
terlalu jauh berbeda dengan para failasuf Yunani, terutama Platon dan
Aristoteles.3
Dalam penelitian ini, tidak semua failasuf Yunani akan dikaji di sini,
karena terlalu banyaknya. Di sini hanya dibahas Platon dan Aristoteles karena
kedua failasuf ini cukup mewakili falsafah Yunani dan menjadi dasar serta
pijakan para failasuf berikutnya.
Dasar pemikiran Platon tentang keadilan adalah kecendrungannya untuk
mengkaitkan norma-norma yang memiliki daya ikat mutlak. Pemikiran ini
berkaitan dengan problem tentang hukum dan alam, nomos dan physis. Dasar
falsafah Platon adalah “Ide/Idea”, ide bagi Platon adalah citra pokok dan perdana
1Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 204.
2Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), h. 87.
3Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, h. 204.
2
dari realitas. Dalam bahasa Yunani ide disebut eidos, berarti gambar atau citra.
Oleh sebab itu, ide menurut Platon tidak boleh disamakan dengan kata ide dalam
bahasa Indonesia yang berarti gagasan atau cita-cita.4 Namun demikian ide bukan
hanya gagasan yang terdapat di dalam pikiran saja dan bersifat subyektif
melainkan gagasan yang dibuat dan diciptakan manusia dan bersifat obyektif.
Dalam konteks doktrin ide Platon, ide keadilan bisa ditujukan dalam kaitannya
dengan ide Polis, karena perenungan tentang polis akan menghasilkan sebuah
citra di mana hukum dalam pandangannya tidak menemukan peran sama sekali.
Tema keadilan mendominasi dalam karyanya, Politeia atau Republic.
Dalam bukunya Politeia, Platon mengatakan bahwa di antara ide-ide
terdapat suatu tatanan atau hieraki. Puncak dari segala ide adalah ide “Yang Baik”
(agathon). Ide “Yang Baik” ini adalah ide dari segala ide, dan karenanya secara
kualitatif melampaui mereka. Ibarat matahari yang sinarnya membuat mata
manusia sanggup melihat dan mengenali segala sesuatu, demikian pula “Yang
Baik” merupakan sebab segala pengetahuan dan kebenaran dan karenanya berada
lebih tinggi dan jauh lebih indah daripada segala pengetahuan dan kebenaran.5
Berdasarkan ajarannya mengenai ide-ide ini, Platon menyatakan adanya
dua dunia, yakni dunia ide-ide yang hanya terbuka bagi rasio manusia (dunia
rasional) dan dunia jasmani yang hanya terbuka bagi panca indera manusia (dunia
inderawi). Dalam dunia rasional tidak ada perubahan, perubahan hanya ada dalam
dunia inderawi yang memang benar-benar memperlihatkan ketidakmantapan atau
4Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Yogyakarta: PT Kanisius, 2004), h.
48. 5Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual, h. 50.
3
ketidakkekalan. Dengan teori dua dunianya ini, Platon berhasil mendamaikan
pertentangan antara pemikiran Herakleitos dan Parmenides. Herakleitos
berpendapat bahwa segala sesuatu senantiasa berubah dan tidak ada sesuatu pun
yang sempurna sifatnya. Platon mengatakan bahwa hal tersebut memang benar,
tetapi hanya berlaku di dunia inderawi. Sementara Parmenides berpendapat bahwa
“yang ada” (segala-galanya) itu sempurna, utuh dan kekal. Platon mengatakan
bahwa hal tersebut benar juga, tetapi hanya berlaku untuk dunia rasional atau
dunia ide-ide.6
Dengan demikian gagasan tentang keadilan Platon berangkat dari
pemikirannya tentang ide. Ide keadilan akan dapat dinyatakan bila diterapkan
dalam suatu komunitas negara ideal. Dalam negara ideal tersebut ada peraturan
dasar yang disebut nomos yang di dalamnya terdapat partisipasi tentang gagasan
keadilan dalam kehidupan masyarakatnya.
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan
dalam karyanya The Nichomachean Ethics, Politics dan Rethoric. Lebih
khususnya, dalam buku Nichomachean Ethics, buku ini banyak membahas
keadilan umum Aristoteles. Bagian penting dari pandangannya ialah keadilan
semestinya dipahami dalam pengertian kesamaan. Aristoteles membuat perbedaan
penting antara kesamaan geometri dan aritmatika. Kemudian, ia membagi
keadilan menjadi lima macam, yaitu keadilan komutatif, keadilan konvensional
(keadilan legal), keadilan kodrat alam (sunnatullah), keadilan korektif
(pembetulan), dan keadilan distributif.
6Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual, h. 51.
4
Keadilan menurut Aristoteles terbagi menjadi dua jenis, pertama keadilan
sebagai taraf hukum dan kedua keadilan sebagai kesetaraan. Dalam
pandangannya, keadilan ialah sebuah tindakan yang terletak di antara memberikan
tidak terlalu banyak dan juga tidak terlalu sedikit sehingga bisa diartikan
memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya.
Berbeda dengan Platon, ia lebih membahas keadilan dalam ranah politik. Artinya,
Aristoteles memahami keadilan sebagai sesuatu yang berada diluar kemampuan
manusia biasa di mana suatu keadilan tersebut hanya ada dalam sebuah hukum
dan perundang-undangan yang telah dibuat.
Dalam pandangan Aristoteles keutamaan-keutamaan yang harus dimiliki
manusia adalah keberanian, penguasaan diri, kemurahan hati, kebesaran hati, budi
luhur, harga diri, sikap lemah lembut, kejujuran, keberadaban, keadilan, dan
persahabatan.7 Sedangkan, Platon membagi keutamaan-keutamaan menjadi empat
macam, yaitu kebijaksanaan, keberanian, sikap tahu diri, dan keadilan.8 Maka,
keadilan merupakan salah satu bentuk keutamaan yang harus dimiliki manusia.
Secara umum, tulisan Ibn Miskawayh mengenai keadilan („adl) bersifat
Aristoteles, meskipun demikian, bagi Miskawayh kebajikan ini merupakan suatu
bayangan dari keesaan Tuhan,9 atau disebut keseimbangan sejati. Pengetahuan
tentang cara atau batas setiap persoalan merupakan prasyarat dari keadilan, namun
berbeda dengan Aristoteles, ia berpendapat bahwa keadilan merupakan fungsi
kehendak ilahiah bukan sekedar pemikiran rasional dan sikap kehati-hatian.
7Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008), cet. I, h. 190. 8Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika, h. 188.
9Ibn Miskawayh, Tahdzīb Al-Akhlāq (Beirut: Mansyurat Al-Jamal, 2011), h. 93.
5
Seorang raja, sebagai khalifah Tuhan, dapat melaksanakan kebijaksanaan secara
rinci sesuai dengan keadaan waktu dan tempat tanpa merusak nilai-nilai kehendak
ilahiah.
Aristoteles mengakui kebajikan secara samar-samar dalam bentuk
kebebasan yang tidak sempurna. Ia berpendapat bahwa hal itu berarti memberi
“orang-orang yang layak, dalam proporsi dan waktu yang tepat”. Sedangkan bagi
Ibn Miskawayh, hal tersebut menjadi keberlebihan terhadap keadilan dan dapat
menghilangkan segala kemungkinan meremehkan keadilan itu sendiri, asalkan
efek prasangkanya terbatas pada orang yang baik itu saja dan penerima itu sendiri
merupakan suatu pilihan yang layak untuk itu. Dengan demikian, kemurahhatian
merupakan suatu bentuk keadilan yang aman dari gangguan.10
Keadilan juga berhubungan dengan masalah kehidupan. Platon
membedakannya menjadi dua macam. Pertama, kehidupan yang sesuai dengan
intelegensi, yaitu kehidupan alamiah dan kehidupan menurut materi, yaitu
kehidupan berdasarkan kemauan. Ibn Miskawayh menyebut dua kehidupan
tersebut dengan istilah gerak melingkar. Pertama, gerak ke arah intelegensia
artinya selalu mendekati Tuhan, menemukan diri, menuju kekekalan jiwa,
orientasi menuju Tuhan seperti yang dicontohkan oleh tokoh sufi. Sedangkan,
kedua gerak ke arah materi artinya menjauh dari Tuhan, keluar dari diri dan
menuju kebinasaan jiwa. Demikian pula dengan kematian, oleh karena itu Platon
mengatakan: Jika Anda mati berdasarkan kemauan, maka anda hidup secara
alamiah. Di sini “kemauan” diartikan sebagai “hasrat”.
10
M. M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1996), h. 94-95.
6
Namun Ibn Miskawayh berpendapat bahwa mati berdasarkan kemauan
ini bukan berarti penolakan terhadap dunia, hal itu merupakan sikap mereka yang
tak tahu apa-apa tentang dunia ini dan mengabaikan kenyataan bahwa manusia
secara fitrah beradab dan tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Mereka yang
mengabaikan masalah dunia secara tidak adil karena mereka menginginkan
layanan yang lain tanpa bersedia melayani yang lain disebut sebagai ketidakadilan
sejati.
Ibn Miskawayh dalam kitabnya Tahdzīb Al-Akhlāq membagi keadilan ke
dalam beberapa bagian, yaitu jenis-jenis keadilan dan dalam salah satu jenis-jenis
keadilan terdapat bagian-bagian keadilan yang khusus diupayakan oleh manusia.11
Kemudian ia juga banyak mendefinisikan makna keadilan, menjelaskan keadilan
sebagai watak jiwa, keadilan sebagai jalan tengah dan memberikan sedikit
gambaran tentang keadilan politik. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai macam
keadilan tersebut didasarkan pada keadilan jiwa baik dari pemikiran jiwa Platon
maupun Aristoteles. Begitupula dengan keadilan politik, Ibn Miskawayh juga
mengikuti doktrin Platon dan Aristoteles.
Jenis-jenis keadilan menurut Ibn Miskawayh terbagi menjadi tiga yakni
keadilan Tuhan, keadilan alam, dan keadilan manusia. Keadilan Tuhan adalah
mutlak, sedang keadilan alam menurut ketetapan Tuhan. Keadilan manusia akan
terwujud jika manusia itu dapat mewujudkan keadilan itu sendiri. Sedangkan
keadilan yang khusus diupayakan oleh manusia terdapat dalam bagian keadilan
manusia, meliputi keadilan dalam pembagian uang atau kehormatan, keadilan
11
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak terj. dari Tahdzib Al-Akhlaq oleh
Helmi Hidayat (Bandung: Mizan: 1998), cet. IV, h. 110.
7
dalam transaksi jual beli dan segala sesuatu yang di dalamnya dapat terjadi
ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak.12
Failasuf-failasuf berikutnya, seperti Naṣīr al-Dīn Al-Ṭūsī dan Al-Ghazālī,
terpengaruh oleh pemikiran etika Ibn Miskawayh. Akan tetapi, ia juga
terpengaruh oleh para failasuf Yunani, seperti Platon, Aristoteles, Galen, Stoa dan
hukum/ syariat Islam.13
Di sisi lain, meski pemikiran Ibn Miskawayh telah
berhasil mempengaruhi para failasuf berikutnya, tidak dipungkiri pula bahwa ia
juga dipengaruhi oleh failasuf muslim, seperti Al-Kindī, Al-Fārābi, dan Al-Rāzī.
Dengan demikian, Ibn Miskawayh merupakan failasuf muslim yang
mengharmonisasikan pemikiran etika melalui Yunani dan Islam.14
Setelah membaca dan menganalisa secara rinci uraian etika Ibn
Miskawayh di atas, sedikit dapat disimpulkan bahwa Ibn Miskawayh ialah
failasuf muslim yang humanis di mana keadilan menjadi bagian tatanan moral
kehidupan yang mengatur tingkah laku dan hubungan manusia. Atas dasar latar
belakang pemikiran tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
tersebut dalam pembahasan skripsi yang berjudul “Gagasan Keadilan Dalam
Etika Ibn Miskawayh”.
12
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 116. 13
Osman Amin, Lights on Contemporary Moslem Philosophy (Kairo: The
Renaissance Bookshop, 1958), cet. I, h. 42-43. 14
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam Buku Pertama terj. dari History of Islamic Philosophy (Bandung: Mizan, 2003),
cet. I, h. 317.
8
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dipahami bagaimana
pandangan Ibn Miskawayh mengenai keadilan. Agar batasan masalah lebih
terarah dan fokus, maka permasalahan yang dikaji dibatasi dengan gagasan
keadilan menurut Ibn Miskawayh. Kemudian penulis merumuskan masalah dalam
penelitian ini dan pokok permasalahan tersebut dijabarkan ke dalam bentuk
pertanyaan. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana
gagasan keadilan menurut Ibn Miskawayh?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gagasan keadilan Ibn
Miskawayh.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini antara lain:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif
bagi pengembangan wacana keilmuan, khususnya dalam bidang
keislaman dan lebih memahami pemikiran-pemikiran para tokoh
intelektual Muslim terutama dalam bidang akhlak/etika.
2. Dapat menjadi bahan bacaan atau literatur serta bahan rujukan dalam
bidang akhlak/etika pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta serta menambah khazanah kepustakaan di
Indonesia.
9
E. Tinjauan Pustaka
Berkaitan dengan tema yang penulis angkat, penulis tidak menemukan
tulisan yang secara spesifik membahas pemikiran Ibn Miskawayh mengenai
keadilan. Maka, dengan demikian tema yang penulis angkat merupakan tema
pertama yang dikaji.
Namun terdapat beberapa tulisan tentang Ibn Miskawayh yang berhasil
penulis temukan, diantaranya:
Pertama, Pendidikan Akhlak (Komparasi Pemikiran Ibn Miskawayh dan
Al-Ghazali), oleh Andika Ukik Krisnando. Skripsi prodi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (2016). Dalam
penulisannya ini, ia membahas tentang pendidikan akhlak perspektif Ibn
Miskawayh dan Al-Ghazali yang kemudian dari kedua pemikiran tokoh tersebut
ia komparasikan.
Kedua, Konsep dan Strategi Pendidikan Akhlak Menurut Ibn Miskawayh
dalam Tahdzib Al-Akhlak, oleh Muthoharoh. Skripsi prodi Ilmu Pendidikan
Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang
(2014). Dalam penulisannya ini, ia mendeskripsikan tentang konsep dan strategi
pendidikan akhlak menurut Ibn Miskawayh.
Ketiga, Pengaruh Kesehatan Jiwa Terhadap Akhlak dalam Pemikiran
Ibn Miskawayh, oleh Akmad Samnuranto. Skripsi prodi Aqidah dan Filsafat Islam
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2017). Dalam
10
penulisannya ini, ia menjelaskan tentang pengaruh kesehatan jiwa terhadap
akhlak dalam pemikiran Ibn Miskawayh.
Keempat, Konsep Pendidikan Akhlaq terhadap Manusia Menurut Ibn
Miskawayh, oleh Nur Rokhim. Skripsi prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas
Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (2009). Dalam penulisannya
ini, ia memaparkan tentang konsep pendidikan akhlaq terhadap manusia dalam
pandangan Ibn Miskawayh.
Kelima, Konsep Pendidikan Akhlak dalam perspektif Ibn Miskawayh,
oleh Taifurrohman. Skripsi prodi Pendidikan Agama Islam IAIN Sunan Ampel
Surabaya (2012). Dalam penulisannya ini, ia menjabarkan tentang konsep
pendidikan akhlak perspektif Ibn Miskawayh.
Dari berbagai skripsi yang sudah peneliti baca meskipun sama tentang
pemikiran Ibn Miskawayh, akan tetapi sudut pembahasannya berbeda. Perbedaan
dengan pembahasan skripsi yang peneliti ambil yaitu tentang gagasan keadilan
Ibn Miskawayh.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan kajian perpustakaan
(library research) yaitu menghimpun buku atau tulisan yang ada kaitannya
dengan tema skripsi. Adapun buku-buku yang menjadi sumber primer dalam hal
ini tentunya kitab dan buku-buku karya Ibn Miskawayh tersendiri yang beberapa
di antaranya telah diterjemahkan. Kitab tersebut adalah Tahdzīb al-Akhlāq dan
terjemahannya, Menuju Kesempurnaan Akhlak yang diterjemahkan oleh Helmi
11
Hidayat Sedangkan sumber-sumber sekunder adalah dari buku-buku yang
memiliki hubungan dengan tema pembahasan dalam penelitian ini.
Adapun teknik analisisnya adalah deskriptif analitis. Maksudnya adalah
penelitian ini berupaya menggambarkan sedemikian rupa pemikiran Ibn
Miskawayh mengenai gagasan keadilan, yang kemudian penulis analisa sehingga
dapat memberikan kejelasan baik bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Selanjutnya teknik penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan pedoman transliterasi dalam
penulisan skripsi ini mengacu pada Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh
Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin (HIPIUS) tahun 2013.
G. Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan skripsi ini penulis akan membuat sistematika
pembahasannya dalam beberapa bab dan sub bab.
Diantaranya sebagai berikut:
Bab I berisi latar belakang masalah yang mengemukakan alasan penulis
membahas topik ini, dilanjutkan dengan perumusan masalah, hal ini dilakukan
supaya pembahasannya lebih terfokus dan dapat menjawab masalah-masalah yang
dihadapi. Setelah itu, tujuan dan manfaat penelitian yang dilanjutkan dengan studi
kepustakaan untuk mengetahui bahwa topik yang penulis bahas tidak sama
12
dengan tulisan-tulisan yang lain. Kemudian, metode penelitian membahas
bagaimana cara melakukan penelitian dan melalui pendekatan apa yang dilakukan
oleh penulis. Terakhir, sistematika penulisan menjelaskan pembagian bab secara
keseluruhan, disertai uraian singkat tentang isi masing-masing bab tersebut.
Bab II membahas pandangan failasuf Yunani tentang keadilan, meliputi:
keadilan menurut Platon dan keadilan menurut Aristoteles. Dalam bab ini
membahas para tokoh failasuf Yunani yang mempengaruhi pemikiran etika Ibn
Miskawayh, yaitu Platon dan Aristoteles.
Bab III menguraikan tentang biografi Ibn Miskawayh meliputi riwayat
hidup, latar belakang intelektual dan karya-karyanya.
Bab IV menjelaskan tentang keadilan dalam perspektif Ibn Miskawayh
meliputi: definisi keadilan dalam etika Miskawayh, jenis-jenis keadilan, keadilan
merupakan watak jiwa, dan keadilan sebagai jalan tengah.
Bab V berisi kesimpulan dan saran. Pada bab ini penulis akan
menjelaskan kesimpulan yang mengulas isi pembahasan yang telah dijelaskan
sebelumnya dan merupakan jawaban dari rumusan masalah disertai saran-saran
agar penulisan seperti ini dapat dilakukan lebih baik di masa-masa yang akan
datang.
13
BAB II
PANDANGAN FAILASUF YUNANI TENTANG KEADILAN
Keadilan telah menjadi pokok perbincangan yang mendalam sejak awal
munculnya falsafah Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas,
mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial.
Terdapat dua macam pendekatan yang dapat digunakan untuk
mendefinisikan keadilan, yaitu pendekatan etimologi dan pendekatan terminologi.
Dari sisi etimologi, keadilan berasal dari bahasa Arab al-„Adl,15
yang artinya
sesuatu Yang Baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan
cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Dalam kamus Mahmud Yunus
„Adlu, berarti adil (lawan aniaya), yang adil, lurus, sama dan pertengahan.16
Kata “keadilan” dalam Bahasa Inggris berarti “justice” yang berasal dari
bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda
yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya
justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan
yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan
(3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum
suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).
15
Sedangkan kata „Adala dalam kamus Rodhe University diartikan sebagai "Keteguhan
hati, moral yang baik. Sebuah istilah hukum Arab yang menunjukkan kualitas tertentu,
kepemilikan yang diperlukan untuk fungsi dan kantor publik dan yuridis. Pemilik „adala disebut
„adl. Seorang saksi dalam melanjutkan sebelum qadl harus menjadi 'adl. Dalam kelompok waktu
yang diakui, saksi yang tidak dapat dihalangi, yang disebut shahid atau 'adl, datang untuk
membentuk suatu penengah dari profesi hukum dan bertindak sebagai notaris atau ahli menulis”. 16
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyyah,
2009), h. 257.
14
Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan
merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan
dengan aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan
pendistribusian menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan.
Namun tentu tidak demikian halnya jika ingin memainkan peran menegakkan
keadilan.17
Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan pelbagai aliran pemikiran
hukum dan teori-teori sosial lainnya.18
Dalam mempelajari keadilan dan
ketidakadilan, maka harus memeriksa menyangkut jenis tindakan mana ia terkait,
jenis jalan tengah seperti apa keadilan itu dan ekstrem apa saja diantaranya. Suatu
tindakan adil menempati posisi di antara dua ekstrem tersebut.19
Oleh karena itu,
dalam membahas teori keadilan dalam penulisan skripsi ini dijelaskan dan
dijabarkan macam-macam keadilan menurut Platon dan Aristoteles, yang mana
akan ada dua sub bab pembahasan inti keadilan yang akan dibahas yakni keadilan
jiwa dan keadilan politik.
17
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 137. 18
Berbagai macam permasalahan keadilan dan kaitannya dengan hukum yang
berkembang dari berbagai aliran pemikiran dapat dibaca pada buku: W. Friedmann, Teori dan
Filsafat Hukum; Susunan II, (Legal Theory), diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, cetakan Kedua
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1994). 19
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics oleh Embun Kenyowati (Bandung: Teraju, 2004), h. 111.
15
A. Keadilan Menurut Platon
1. Biografi Platon
Pemikiran Ibn Miskawayh tentang keadilan dipengaruhi oleh beberapa
failasuf Yunani, salah satunya ialah Platon. Platon namanya, Plotinos yang hidup
di zaman Kekaisaran Romawi, dalam Enneades menyebutnya penuh hormat
sebagai ho theios Platon (Platon yang Ilahi). Kemudian Plotinos dijuluki al-
Shaykh al-Yunani, sementara tradisi Islam yang sama menyebut Platon menjadi
Aflaṭun. Sedangkan orang Italia mengikuti bahasa Yunani dan menuliskannya
dengan tambahan “e” menjadi Platone. Orang Jerman mengikuti persis orang
Yunani Platon, orang Prancis menyebutnya Platon (sama dengan orang Yunani,
tetapi pelafalannya berakhiran “ong”), orang Spanyol membahasakannya dengan
tekanan di “o” menjadi Platón. Orang Inggris menamainya Plato (dilafalkan
menjadi Pləto).
Sementara itu orang Indonesia selalu melafalkan dan menuliskannya
dengan istilah Plato mengikuti orang Belanda yang mengikuti penulisan latin
(Plato, deklinasi ketiga, genetifnya menjadi Platonis) daripada Yunani sendiri.
Oleh karena itu, penulis menyarankan agar menggunakan istilah Platon. Hal ini
juga lebih logis dan merujuk pada kata turunan <Platonisme, Platonik> atau
<Platonisian> diasalkan pada kata dasar Platon daripada Plato. Dalam Bahasa
Yunani memang ditulis Platōn bukan Plato dan kebanyakan bahasa internasional
pun juga menyebutnya demikian.20
Dalam beberapa literatur Indonesia juga sudah
menggunakan istilah Platon seperti karya A. Setya Wibowo yang berjudul Lysis
20
Platon, Lysis (Tentang Persahabatan) terj. oleh A. Setyo Wibowo (Yogyakarta:
Kanisius, 2015), h. 3-4.
16
(Persahabatan) buku yang penulis pakai langsung untuk menjelaskan asal-usul
nama Platon, Xarmides (Keugaharian), Paideia: Falsafah Pendidikan Platon, dan
Areté Hidup Sukses Menurut Platon. Maka selanjutnya, nama Platon akan penulis
gunakan ketika menuliskan tokoh ini.
Platon dilahirkan di Athena tahun 427 SM, ia termasuk dalam kalangan
bangsawan kaya yang hidup ketika Yunani menjadi pusat kebudayaan besar
selama empat abad.21
Platon merupakan tokoh besar, ia dilahirkan dari keluarga
yang terkemuka, dari kalangan politisi. Semula ia ingin bekerja sebagai seorang
politikus, akan tetapi kematian Sokrates memadamkan ambisinya untuk menjadi
seorang politikus.22
Di samping itu, perkembangan politik di negaranya sedang
tidak baik. Ia ingin mengisi dunia dengan cita-citanya, namun pelajaran dari guru
yang sebelumnya, Kratilos murid Herakleitos hanya berlalu seperti air dan tidak
membekas di hati Platon yang terpengaruh dari tradisi keluarganya.
Selama 8 tahun Platon menjadi murid Sokrates, pengaruh Sokrates lah
yang membekas di hatinya dan ia menjadi muridnya yang setia sampai akhir
hidupnya. Ia bepergian sampai ke Italia dan Sisilia.23
Setelah kembali dari
pengembaraannya, ia mendirikan sekolah “Akademia”24
. Maksud Platon
mendirikan sekolah itu ialah: memberikan pendidikan yang intensif dalam ilmu
21
Tim Nuansa, Plato: Filosof Yunani Terbesar (Bandung: Nuansa, 2009), h. 11. 22
Harun Hadiiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 38. 23
Harun Hadiiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, h. 39. 24
Akademia adalah sekolah yang didirikan Platon sendiri. Sekolah itu diberi nama
demikian karena halamannya dekat dengan kuil yang didedikasikan kepada pahlawan perang
Yunani Kuno yang bernama Akademios.
17
pengetahuan dan falsafah. Ia memegang pimpinan akademi itu selama 40 tahun,
hingga akhirnya sekolah itu berakhir pada abad ke-6 Masehi.25
Ajaran Platon tergambar dari ucapan Sokrates. Sokrates digambarkan
sebagai juru bahasa isi hati rakyat Athena yang tertindas karena kekuasaan yang
bergantian dan kekuasaan demokrasi yang meluap menjadi anarki dan sewenang-
wenang digantikan oleh seorang tiran dan oligarki yang akhirnya membawa
Athena lenyap di bawah kekuasaan asing. Ia pandai menyatukan puisi, ilmu seni
dan filosofi, pandangan yang dalam dan abstrak sekalipun dapat dilukiskannya
dengan bahasa yang indah, sehingga tidak ada yang dapat menandinginya dalam
hal ini. Hukuman meminum racun yang dijatuhkan kepadanya dipandang sebagai
perbuatan dzalim. Peristiwa tersebut dipastikan menjadi motif besar pencarian
Platon tentang sebuah sistem politik yang ideal di mana orang seperti Sokrates
bisa hidup, bukan hanya terjamin hidup, tetapi juga bisa menjadi pemimpinnya.26
2. Keadilan Jiwa
Jiwa adalah gerak konflik antar berbagai dorongan dan hasrat yang ada
dalam diri manusia. Di dalam diri manusia terdapat berbagai macam hasrat yang
saling bertabrakan. Platon mendefinisikan jiwa sebagai autokineton (dia yang
menggerakan dirinya sendiri) atau aekineton (dia yang selalu bergerak). Jadi, dari
dirinya sendiri, kodrat manusia atau jiwanya adalah sebuah gerakan tanpa henti.
Jika kondisi faktual ini didominasi oleh pleonexia (hasrat tak terbatas) seperti
keyakinan kaum Sofis, maka bisa dibayangkan manusia seperti apa yang akan
muncul. Konflik antar bagian jiwanya akan menggerakan diri manusia. Karena
25
Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Yogyakarta: PT Kanisius, 2004), h.
58. 26
A. Setyo Wibowo, Paideia (Yogyakarta: PT Kanisius, 2017), h. 177.
18
itu, upaya mencari keadilan dalam jiwa memang tidak dapat lepas dari soal
“gerakan”. Jika kaum Sofis gerakannya cenderung bergerak tanpa arah, maka
upaya falsafah Platon adalah mengarahkan agar gerakan ini diorientasikan menuju
Kebaikan.27
Argumentasi Platon mengajak orang membicarakan keadilan dengan
merujuk pada “kodrat” manusia atau jiwanya. Landasan untuk membicarakan
keadilan ditemukan dalam kodrat manusia. Jika manusia yang optimal adalah
manusia yang jiwanya (kodratnya) adil, maka keadilan itu ditemukan manakala
tiap bagian jiwa bersifat optimal.
Kodrat jiwa, menurut Platon tidaklah satu. Saat membicarakan jiwa
manusia, Platon menggambarkan hadirnya tiga manifestasi hasrat (drive) dalam
diri manusia. Pertama, epithumia, yakni bagian nafsu-nafsu yang terdapat pada
bagian perut ke bawah, yang terdiri dari keinginan makan, minum, seks atau uang.
Kedua, thumos, terletak di atas bagian pertama di sekitar dada, yakni keinginan
akan kehormatan dan harga diri. Ketiga, logistikon/rasio yang terdapat pada
bagian leher ke atas/kepala.28
Di dalam praktek sehari-hari, ketiga manifestasi jiwa tersebut seringkali
saling bertarung. Misalnya, bagian perut ke bawah menginginkan makan karena
merasa lapar. Namun rasa hormat di dada mengatakan bahwa sebaiknya seseorang
tetap tinggal di kelas untuk menyelesaikan kuliah dan akhirnya rasio harus
bernegoisasi dengan epithumia dan thumos tersebut. Kemudian rasiolah yang
memutuskan untuk tetap tinggal di kelas, menahan lapar, karena alasan-alasan
27
A. Setyo Wibowo, Paideia, h. 220. 28
A. Setyo Wibowo, Paideia, h. 221.
19
yang masuk akal. Namun, adakalanya rasio dan rasa harga diri pun kalah karena
epithumia lebih mendominasi seseorang sehingga persoalan makanan baginya
adalah nomor satu dan mengalahkan segalanya.
Ketiga manifestasi jiwa di atas juga merupakan tiga prinsip jiwa.
Pertama, epitumethikon, yaitu,”that which it loves hungers, thirsts and feels the
flutter and titillation of other desire, the irrational (alogistikon) and appetitive
companion of various repletions and pleasures, yang artinya lebih menyenangi
rasa lapar, rasa haus dan segala gelitikan hasrat-hasrat lainnya yang bersifat
irrasional yang muncul menyertai setiap kepuasan dan kenikmatan.29
Sedangkan
di tempat lain, dalam buku The Republic Platon mendefinisikan epithumia sebagai
“the mass of the soul in each of us and the most insatiate by nature of wealth,
yakni kumpulan massa jiwa yang dapat ditemukan dalam setiap diri manusia dan
yang paling tak memiliki rasa puas pada hasrat akan kekayaan” jika tidak bisa
dikendalikan dengan baik maka akan mencelakakan diri.30
Epithumia adalah irrational appetite, bagian nafsu yang dengannya
manusia merasa lapar, haus, berkeinginan seksual, mencari kekayaan/uang.
Elemen ini hanya tunduk pada hukum “pain and pleasure”. Bagian epithumia
bersifat independen, memiliki kebutuhan dan keinginannya sendiri, singkatnya
memiliki cara berpikir sendiri. Secara positif, epithumia adalah keinginan mencari
kenikmatan. Sebaliknya, secara negatif, epithumia adalah apapun yang cenderung
membuat takut. Karena cara “berpikirnya” yang buta maka epithumia harus
29
A. Setyo Wibowo, Paideia, h. 222. 30
Plato, Republic. terj dari The Republik oleh Syivester G. Sukur (Jakarta: PT
Buku
Seru, 2001), h. 325.
20
dikontrol dan dikuasai agar tidak mendominasi keseluruhan manusia sehingga ia
menjadi pribadi yang hanya makan, minum, tidur atau mencari seks saja, yang
pada akhirnya jika tidak dikontrol akan dapat menghancurkan keseluruhan hidup
manusia tiap individu. Namun tidak dapat dihindarkan bahwa epithumia juga
berguna bagi kelangsungan dan keutuhan hidup manusia. Karena berkat epithumia
manusia tetap hidup dan berkembang biak. Hidup yang dimaksud di sini adalah
kelangsungan hidup biologis.
Kedua, reason atau logistikon adalah elemen kontrol yang
mengendalikan dan menguasai irrational appetite atau epithumia. Fungsi
logistikon adalah mengendalikan nafsu irrasional. Logistikon menjadi petugas
sensor yang mengomando kapan sebuah nafsu boleh dibiarkan atau harus
dikendalikan. Di sisi lain, logistikon juga memiliki fungsi integratif karena ia
melakukan itu semua demi kebaikan bersama seluruh bagian.31
Logistikon bekerja
bukan hanya sebagai pengontrol instrumental atas nafsu, tetapi juga melakukan
fungsinya demi keutuhan manusia.
Istilah rasio yang sering dipakai adalah logistikon, namun dalam
keseluruhan falsafah Platonisian, logistikon adalah reason “derajat kedua”.
Meskipun hanya terletak di kelas dua, logistikon atau logismos turut hadir di
mana-mana, mengendalikan desires manusia dan dengan itu menyatukan manusia.
Sedangkan di sisi lain, reason derajat yang lebih tinggi biasa disebut dengan nous.
Secara distingtif, bagian inilah yang oleh Platon di sebut ilahi dan immortal,
bagian ini tidak ditemukan dalam Republic.
31
A. Setyo Wibowo, Paideia, h. 223.
21
Ketiga, thumos, merupakan prinsip semangat bangga diri yang tinggi.
Sebagai contoh, Platon mengkisahkan tentang Leontios dari Aglaionos yang
ketika berjalan-jalan melewati lapangan tempat penghukuman mati merasakan di
satu sisi “a desire to see them” (ingin melihat mayat-mayat yang dieksekusi)
namun di sisi lain merasakan “a repugnance and aversion” (merasa jijik dan
menolak melihat mayat-mayat tersebut).32
Platon di sini berbicara tentang sesuatu
yang lain dari logistikon tetapi lain dari irrational appetite. Karena tindakan
Leontios ini justru bertentangan dengan nafsu yang hanya ingin mencari rasa
nikmat dan menghindari rasa sakit. Terdapat elemen lain dalam jiwa yang
membuat Leontios marah, namun bukan sekedar anger, melainkan indignation,
kemarahan yang reasonable akibat sebuah injustice yang terjadi.
Thumos adalah rasa bangga, harga diri atau gagah diri yang membuat
orang bisa menahan keinginan irrational appetite, ia menjalankan fungsi ini
karena ia mengikuti nasihat-nasihat logistikon. Dengan nasihat logistikon inilah
thumos dapat mengendalikan epithumia. Thumos juga berfungsi khusus untuk
menjaga diri, bagian fungsi ini yang sangat penting. Ia menjadi pembantu
logistikon untuk menenangkan epithumetikon/epithumia.
Namun, sebagaimana epithumetikon yang jika tidak dapat dikendalikan
maka akan membawa manusia ke dalam kepentingan partikularnya dengan
merusak keseluruhan manusia, demikian juga thumos.33
Terkadang thumos dapat
menundukkan keseluruhan diri manusia demi kepentingan spesifiknya. Seseorang
32
A. Setyo Wibowo, Paideia, h. 224. 33
A. Setyo Wibowo, Paideia, h. 226.
22
bisa kehilangan akal dan tidak menggunakan logistikon karena harga diri lebih
dominan dalam hal tertentu.
Menurut Platon, jiwalah yang menjadi penggerak badan. Jiwa
menurutnya adalah “dia yang menggerakan dirinya sendiri” (autokineton). Jiwa
adalah kompleksitas semua gerakan internal dalam diri manusia seperti
digambarkan di atas. Kadang ia termanifestasikan dalam badan, kadang melulu
bersifat internal. Maka dari itu, definisi jiwa menurut Platon merujuk pada “gerak
pada dirinya sendiri”. Kemudian secara sekunder barulah gerakan jiwa itu
dikaitkan dengan manifestasi sematis (wujud-wujud ragawi). Dalam arti itulah
pemikiran Platon tentang manusia dikatakan memberi prioritas kepada jiwa
ketimbang badan. Menurutnya, jati diri manusia adalah jiwanya, sementara badan
adalah sesuatu yang bersifat “tanda” bagi jiwanya.34
3. Keadilan Politik
Keadilan adalah salah satu dari keempat kebajikan pokok atau keutamaan
yang harus dimiliki oleh setiap individu dan oleh seluruh kelas dan golongan
dalam negara ideal. Oleh sebab itu, keadilan merupakan salah satu kebajikan
pokok atau perorangan dan masyarakat. Keadilan mengaitkan ketiga kebajikan
pokok atau keutamaan lainnya, yakni pengendalian diri, keperkasaan dan
kebijaksanaan atau kearifan, karena keadilan haruslah menjadi keutamaan bagi
seluruh bagian jiwa dan bagi semua kelas dalam negara. Dengan demikian,
34
A. Setyo Wibowo, Arete (Yogyakarta: PT Kanisius, 2010), h. 35.
23
keadilan adalah pemelihara kesatuan dan keutuhan jiwa manusia serta pemelihara
kesatuan dan keutuhan negara.35
Dunia Yunani, tempat tinggal Platon adalah situasi yang sedang tidak
stabil dan tercerai berai. Di Surat VII ia memberi kesaksian bahwa “korupsi
(pembusukan) atas hukum-hukum yang tertulis dan adat istiadat kita terjadi
dengan kecepatan yang luar biasa” (Surat VII 325d). Dengan konteks tersebut, di
dalam bukunya Platon “Republic”, Platon mewacanakan figur failasuf raja/ratu,
menurutnya seorang failasuflah yang tepat untuk dijadikan pemimpin. Masyarakat
yang buruk jiwanya hanya bisa ditransformasikan lewat penataan negara oleh
pemimpin seperti itu yang dipersiapkan lewat cara-cara tertentu. Transformasi
tersebut dimulai melalui pendidikan. Anak-anak yang berbakat menjadi pemimpin
harus dimasukan dalam proses panjang paideia (pendidikan yang artinya
pembudayaan).
Langkah pertama, anak-anak harus dibentuk sensibilitasnya
(kepekaannya). Ketika masih berusia dini mereka dibekali dengan pendidikan
musik yang di dalamnya mengenai tentang sastra, kisah kepahlawanan. Kemudian
pendidikan gimnastik agar jiwa anak-anak selaras, harmonis, sederhana dan penuh
kontrol diri. Jika jiwa sudah tertata ke arah apa-apa yang harmonis dan baik, maka
ketika usia menjelang dewasa kemudian mereka diisi dengan ilmu-ilmu teoritis
antara lain: matematika, geometri ruang, astronomi dan dialektika. Setelah seleksi
35
J. H Rapar, Filsafat Politik Plato Aristoteles Augustinus Machiavelli (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 73.
24
lebih lanjut dan melewati kehidupan selama 15 tahun, akhirnya bisa dipilih siapa
yang layak menjadi raja/ratu failasuf.36
Penjabaran tentang sosok raja/ratu tersebut di atas barangkali terlalu
linear. Di satu sisi, tentu ada program, namun, di sisi lainnya Platon menyadari
lewat pengalamannya terutama saat kegagalan Sokrates mencerahkan Athena, di
samping itu kegagalan-kegagalan pribadinya saat mendidik Tiran di Syrakusa.
Reformasi politik bukanlah sesuatu yang mudah. Platon mengetahui persis bahwa
memunculkan pemimpin adalah tugas yang sulit. Apalagi ia juga menjelaskan
bahwa seandainya failasuf raja/ratu seperti itu ada, mengingat kodrat alamiahnya
sebagai failasuf (born natural philosopher) adalah menikmati kontemplasi, maka
ia juga harus dipaksa untuk berkuasa. Meskipun program pendidikan untuk
melahirkan pemimpin dibuat dengan seksama, tidak ada kepastian bahwa mereka
sungguh akan berkuasa. Dengan cara tersebut, wacana failasuf raja/ratu yang
dikemukakan oleh Platon kemudian mengalami beberapa kesulitan:
a) Situasi masyarakat sudah rusak/tidak stabil, sehingga perlu menyeleksi
anak-anak yang hendak dididik.
b) Calon yang dipilih harus memiliki bakat-bakat khusus.
c) Jika akhirnya kedua cara tersebut di atas menghasilkan failasuf raja/ratu
yang diharapkan, tidak dengan mudahnya orang tersebut bersedia turun
lagi ke “goa gelap” (dunia politik) untuk memegang kekuasaan.37
Pada poin (a) Platon juga menyadari bila masyarakat sudah sedemikian rusak, jika
anak-anak berbakat khusus berhasil ditemukan, lantas siapakah yang mampu
36
A. Setyo Wibowo, Paideia, h. 178. 37
A. Setyo Wibowo, Paideia, h. 179.
25
mendidik mereka. Platon sendiri menyadari bahwa dirinya dan kawan-kawannya
termasuk “masyarakat yang rusak itu sendiri” sehingga tidak memungkinkan
untuk mendidik anak-anak tersebut menjadi seperti yang diharapkan.
Sulitnya untuk memunculkan failasuf raja/ratu membuat Platon dalam
bukunya Republic ia menyatakan bahwa figur seperti ini bisa datang berkat
chance atau divine inspiration. Platon yang rasional percaya bahwa jika sebuah
kesempatan datang, maka figur-figur kolos kagathos (yang elok dan baik), maka
figur failasuf raja/ratu akan muncul sendiri seolah dipaksa Sang Nasib guna turun
mengurusi kondisi masyarakatnya yang rusak. Pemikiran Platon tentang keadilan
adalah kecenderungannya untuk mengkaitkan norma-norma itu sendiri yang mesti
memiliki daya ikat mutlak. Pemikiran ini berkaitan dengan problem tentang
hukum dan alam, nomos dan physis.
Dasar falsafah Platon adalah “Ide”, ide bagi Platon adalah sebagai
sesuatu yang tetap, yang tidak berubah dan yang kekal. Namun demikian ide
bukan hanya gagasan yang terdapat di dalam pikiran saja, yang bersifat subyektif,
ide juga bukan gagasan yang dibuat dan diciptakan manusia, tetapi ide bersifat
obyektif. Dalam konteks doktrin ide Platon, ide keadilan bisa ditujukan dalam
kaitannya dengan ide Polis, karena perenungan tentang polis akan menghasilkan
sebuah citra di mana hukum dalam pandangannya tidak menemukan peran sama
sekali. Tema keadilan mendominasi dalam karyanya, Politea atau Republic.38
38
Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual, h. 48.
26
Keadilan berarti seseorang membatasi dirinya pada kerja dan tempat
dalam hidup yang sesuai dengan panggilan kecakapan dan kesanggupannya.
Dengan demikian gagasan tentang keadilan Platon berangkat dari pemikirannya
tentang ide. Ide keadilan akan dapat dinyatakan bila diterapkan dalam suatu
komunitas negara ideal. Dalam negara ideal tersebut ada peraturan dasar yang
disebut nomos yang di dalamnya terdapat partisipasi tentang gagasan keadilan
yang pada gilirannya berperan serta dalam gagasan kebajikan.
Dalam Politeia, Platon mencita-citakan suatu pola kehidupan kenegaraan
Yang Baik. Kehidupan itu akan tercapai bila masyarakat ditata menurut cita-cita
keadilan. Menurut Platon keadilan adalah keadaan selaras dan seimbang berbagai
tatanan atau lapisan masyarakat. Masyarakat adil adalah masyarakat yang
dipersatukan oleh tatanan harmonis di mana tiap-tiap anggota memperoleh
kedudukan sesuai kodrat, tingkat pendidikan atau profesinya. Manusia akan sehat
dan utuh apabila semua bagian jiwanya berada dalam hubungan selaras satu sama
lain, begitu halnya polis.
Dengan pandangan semacam itu, Platon dapat membangun suatu model
negara. Dalam negara terdapat tiga golongan, yakni (1). golongan Penjamin
nafkah/produktor (money-makers), (2). Para penjaga (the helpers/guardians), dan
(3). Para pemimpin (the counselors/philosopher kings).39
Golongan pertama
adalah kelompok yang bekerja agar barang kebutuhan manusia dapat tersedia
(seperti para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi dan pelaut). Golongan
kedua, yakni golongan penjaga, ialah para pengawas dan pengatur golongan
39
A. Setyo Wibowo, Paideia, h. 228.
27
pertama agar tidak hanya memikirkan kepentingannya.40
Golongan kedua ini
seluruhnya harus mengabdi pada kepentingan umum. Maka mereka perlu
dikondisikan agar di antara mereka tidak berkembang berbagai kepentingan
pribadi. Mereka perlu dididik secara intensif sejak umur dua tahun dengan
konsentrasi pada mata pelajaran yang mengembangkan disiplin dan kebijaksanaan
(seperti gimnastic, falsafah dan seni musik).
Pada akhirnya, para pemimpin negara diambil dari antara para penjaga
yang paling mendalami falsafah. Dengan kata lain, pemimpin negara Yang Baik
adalah seorang failasuf raja atau ratu failasuf. Seorang failasuf raja adalah orang
yang sanggup mengenali ide-ide atau hakikat sejati di balik realitas inderawi yang
mudah berubah-ubah. Hal itu mungkin karena ia telah mengatasi berbagai
kelekatan pada nafsu dan indera dan dengan demikian, ia bebas dan pamrih.
Seorang failasuf raja dapat memimpin masyarakat dengan berorientasi pada ide
tertinggi, yaitu ide “Yang Baik”.41
Platon sadar bahwa gagasannya tidak dapat terealisasi dalam kenyataan
politik.42
Namun, setidaknya ia merumuskan suatu kerangka permasalahan yang
sungguh penting bagi kehidupan bermasyarakat dan kehidupan politik, yakni
bahwa pemimpin harus berorientasi pada “Yang Baik” (lepas dari berbagai
pamrih) agar dapat mewujudkan keadilan.
40
Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual, h. 57. 41
Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual, h. 57. 42
Dalam sejarah filsafat gambaran ideal mengenai negara yang dicita-citakan Platon ini
disebut utopia. Utopia berasal dari kata Yunani “ou-topos, yang berarti kira-kira “tidak ada
tempatnya” atau (negeri) “antah berantah”. Pemikiran utopis mengkonstruksikan dan
menggambarkan negara atau masyarakat pada suatu tempat yang memang belum pernah ditinggali
dan belum pernah ada, namun keberadaannya bisa diterima sebagai suatu kemungkinan dalam
horizon pemikiran.
28
Dalam bukunya yang lain tentang politik yang ditulis sesudah Politeia,
yakni Nomoi (undang-undang atau hukum), Platon meninggalkan gagasannya
mengenai raja-failasuf atau failasuf-raja sebagai penguasa negara. Di sini ia
menyatakan bahwa bukan seorang pribadi, melainkan hukum atau undang-undang
tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus dapat diterima oleh akal budi dan
menjamin keadilan bagi seluruh warga. Dengan demikian, Platon tidak
menekankan lagi seorang individu, melainkan suatu sistem perundang-undangan
yang adil dan rasional sebagai penjamin negara Yang Baik dalam Nomoi.
B. Keadilan Menurut Aristoteles
1. Biografi Aristoteles
Aristoteles lahir 384 SM di Stageira, sebuah kota koloni Yunani di
semenanjung Chalcidice yang berada di wilayah Makedonia, yang terletak
disebelah utara Yunani.43
Kendati orang tuanya telah lama menetap di Makedonia,
namun mereka sebenarnya berasal dari Yunani. Ayahnya, Nichomacus, adalah
sahabat dan dokter keluarga Amyntas II, raja Makedonia, ayah raja Philippos dan
kakek Alexandros yang kemudian terkenal dengan nama Alexander yang Agung.
Berbeda dengan Platon (ia seorang bangsawan), Aristoteles berasal dari keluarga
menengah. Sejak kecil ia diasuh dan dididik oleh ayahnya sendiri dalam bidang
kedokteran dengan harapan agar kelak dapat mengganti kedudukan ayahnya
sebagai dokter keluarga raja Makedonia, tetapi ayahnya meninggal sebelum ia
berhasil menamatkan pelajarannya. Sekalipun demikian, ayahnya telah berhasil
43
Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual, h. 63.
29
mewariskan kepada Aristoteles suatu minat yang amat besar terhadap biologi
yang tampak jelas lewat berbagai karyanya di kemudian hari.44
Pada waktu ia berumur kira-kira 18 tahun Aristoteles dikirim ke Athena
untuk belajar pada Platon. Selama 20 tahun ia menjadi murid Platon. Setelah
Platon meninggal dunia Aristoteles mendirikan sekolah di Assos (Asia Kecil).
Pada tahun 342 ia kembali ke Makedonia untuk menjadi pendidik pangeran
Alexander yang Agung. Setelah Alexander menjadi raja, Aristoteles kembali ke
Athena dan mendirikan sekolah di sana, sekolah tersebut bernama Liseo yakni
tandingan sekolah Akademia milik gurunya sendiri, Platon.
Namun, tepat pada tahun 323 SM, setelah kematian Alexander,
Aristoteles diburu oleh pihak yang memusuhi partai Makedonia. Ia dilirik dan
dianggap membahayakan karena pemikiran politiknya berbeda dengan Alexander.
Ia nyaris dihukum mati, kemungkinan besar karena tuduhan penghujatan terhadap
para dewa. Namun,”agar orang-orang Athena tidak berdosa untuk kedua kalinya
terhadap falsafah”45
, Aristoteles melarikan diri dari kota itu dan tinggal di Khalkis
hingga akhir hayatnya dalam usia 62 tahun.
2. Keadilan Jiwa
Menurut Aristoteles, jiwa dan tubuh ibarat bentuk dan materi. Jiwa
adalah bentuk dan tubuh adalah materi. Jiwa merupakan asas hidup yang
menjadikan tubuh memiliki kehidupan. Jiwa adalah penggerak tubuh, kehendak
jiwa menentukan perbuatan dan tujuan yang akan dicapai.46
44
J. H Rapar, Filsafat Politik Plato Aristoteles Augustinus Machiavelli, h. 139. 45
Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual, h. 63. 46
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 51.
30
Ajaran Aristoteles tentang manusia melalui dua tahap. Dalam tahap
pertama ia masih dipengaruhi Platon, sehingga masih mengajarkan dualisme
antara tubuh dan jiwa, serta mengajarkan pra-eksistensi jiwa. Akan tetapi ia
meninggalkan dualisme dengan menjembatani jurang yang ada di antara tubuh
dan jiwa. Keduanya dipandang sebagai dua aspek dari satu substansi, yang saling
berhubungan dan yang nisbahnya sama seperti nisbah antara materi dan bentuk,
atau antara potensi dan aktus. Jika tubuh adalah materi, maka jiwa adalah
bentuknya. Jika tubuh adalah potensi, maka jiwa adalah aktusnya.
Jiwa adalah aktus pertama yang paling asasi, yang menyebabkan tubuh
menjadi tubuh hidup. Jiwa adalah asas hidup dalam arti yang seluas-luasnya, yang
menjadi asas segala arah hidup yang menggerakkan tubuh, yang memimpin
seluruh perbuatan menuju kepada tujuannya. Terjadinya jiwa dikaitkan dengan
pengembangbiakan tubuh. Pada saat manusia mati jiwanya pun ikut binasa. Maka
tiada pra-eksistensi jiwa dan tidak ada jiwa yang tak dapat mati. Pengertian
tentang jiwa yang demikian itu berlaku baik bagi manusia maupun bagi binatang
dan tumbuh-tumbuhan.47
Aristoteles mengembangkan ajaran falsafah tentang etika. Etika
Aristoteles pada dasarnya serupa dengan etika Sokrates dan Platon. Tujuannya
mencapai eudaimonia48
, kebahagiaan sebagai “barang yang tertinggi” dalam
kehidupan. Akan tetapi, ia memahaminya secara realistis dan sederhana. Ia tidak
bertanya tentang budi dan berlakunya, seperti yang dikemukakan oleh Sokrates. Ia
tidak pula menuju pengetahuan tentang idea yang kekal dan tidak berubah-ubah,
47
Harun Hadiiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, h. 51. 48
Eudaimonia adalah virtue ethic atau moral yang baik yang basisnya atau arahnya pada
kebahagiaan menurut Sokrates, Platon dan Aristoteles.
31
tentang idea kebaikan, seperti yang ditegaskan oleh Platon. Ia menuju pada
kebaikan yang tercapai oleh manusia sesuai dengan gendernya, derajatnya,
kedudukannya, atau pekerjaannya. Tujuan hidup tidak hanya mencapai kebaikan
atau untuk kebaikan, melainkan merasakan kebahagiaan.49
Banyak orang mengartikan kebahagiaan itu jika memperoleh
kehormatan, kesenangan dan harta. Namun ketiga hal tersebut menurut Sokrates
bukanlah kebahagiaan sejati. Karena kehormatan menurutnya adalah sesuatu yang
hanya tergantung pada penilaian orang, kesenangan hanya bersifat sementara dan
harta masih ada target di depannya. Artinya ketiga hal tersebut bukanlah puncak
kebahagiaan. Sebagai contoh puncak kebahagiaan misalnya, seorang dokter,
kesehatanlah Yang Baik, bagi seorang pejuang, kemenanganlah Yang Baik dan
bagi seorang pengusaha, kemakmuranlah Yang Baik. Yang menjadi ukuran ialah
kegunaannya yang praktis. tujuan kita bukan mengetahui, melainkan berbuat.
Bukan untuk mengetahui apa budi, melainkan supaya kita menjadi orang yang
berbudi.
Bagaimana berlakunya budi itu, bergantung pada pertimbangan manusia.
Oleh sebab itu, tugas etika ialah mendidik kemauan manusia untuk memiliki sikap
yang pantas dalam segala perbuatan. Orang harus mempunyai pertimbangan yang
sehat, tahu menguasai diri, pandai mengadakan keseimbangan antara keinginan
dan cita-cita. Menurut Aristoteles budi pikiran meliputi: kebijaksanaan,
kecerdasan dan pendapat yang sehat. Budi perangai meliputi: keberanian,
kesederhanaan, pemurah hati dan lain-lain. Tiap-tiap budi perangai Yang Baik
49
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics, h. 12.
32
harus duduk sama tengah antara dua sikap yang paling jauh. Misalnya, berani
berada diantara pengecut dan nekat, suka memberi berada di antara kikir dan
pemboros, rendah hati berada di antara berjiwa budak dan sombong, hati terbuka
berada diantara pendiam dan pengobrol. Budi itu terdapat antara manusia karena
perbuatannya. Ajaran tentang jalan tengah itu menunjukkan sikap hidup yang
sesuai dan benar dengan pandangan falsafah Yunani umumnya.50
Budi akan mempengaruhi sikap manusia, maka manusia perlu pandai
menguasai diri. Jika orang tak tahu menguasai diri, terjadi pertentangan antara
pikiran dan perbuatan. Manusia tidak selamanya tepat pertimbangannya, adil
sikapnya. Kadang-kadang, ia berbuat yang tidak masuk akal, adakalanya
tindakannya dikuasai oleh naluri kehewanan yang bersarang di dalam tubuhnya.
Oleh sebab itu, perlu sekali manusia tahu menguasai diri. Manusia yang tahu
menguasai diri, hidup sebagaimana mestinya, tidak terombang-ambing oleh hawa
nafsu, tidak tertarik oleh kemewahan.51
Menurut Aristoteles manusia harus mengambil jalan tengah ketika
terdapat masalah tentang etika yang perlu dijalankan. Ada tiga hal lagi yang perlu
dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan hidup, antara lain:
1) Manusia harus memiliki harta secukupnya, supaya hidupnya terpelihara.
Kemiskinan mengakibatkan perilaku rendah bagi manusia, memaksa ia
menjadi loba/serakah. Kepemilikan membebaskan dia dari kesengsaraan
dan keinginan yang meluap, sehingga ia menjadi orang yang berbudi.
50
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2016), h. 234. 51
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, h. 235.
33
2) Alat yang terbaik untuk mencapai kebahagiaan ialah persahabatan.
Menurut Aristoteles, persahabatan lebih penting daripada keadilan.
Sebab, jika orang-orang bersahabat, dengan sendirinya keadilan timbul
antara mereka. Seorang sahabat sama dengan satu jiwa dalam dua orang.
Hanya persahabatan lebih mudah tercapai antara orang yang sedikit
jumlahnya dari antara orang banyak. Semua manusia adalah sahabat
maka tidak akan ada kemiskinan, karena sahabatnya yang kaya telah
menghilangkan kemiskinannya.
3) Keadilan. Keadilan adalah dua segi. Pertama, keadilan dalam arti
pembagian barang-barang yang seimbang, relatif sama menurut keadaan
masing-masing. Kedua, keadilan dalam arti memperbaiki kerusakan yang
ditimbulkan. Misalnya perjanjian mengganti kerugian, ini keadilan
menurut hukum.52
Inti dari tercapainya kebahagiaan menurut Aristoteles adalah jika kondisi
jiwa yang berada dalam keselarasan dengan kebajikan yang produknya akal,
karena berfungsinya rasionalitas manusia dengan kebajikan. Artinya jika pikiran
seseorang sehat, perilakunya baik maka jiwa pun akan tenang. Misalnya pencuri,
koruptor dan lain sebagainya. Jadi, kunci bahagia adalah akal jernih selaras
dengan perbuatan akan melahirkan perbuatan baik, maka jiwa akan bahagia.
Namun untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang lingkungan sekitar juga
mempengaruhi. Akan tetapi, hal itu dapat diatasi dengan kuatnya mental untuk
52
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, h. 236.
34
menangani faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut, maka dengan demikian
akan menjadi orang yang bijak.
Bahagia seharusnya menimbulkan kesenangan jiwa. Ini tercapai dengan
kerja pikiran. Kerja pikiran tidak mencari tujuan di luar yang dilakukan,
melainkan mencari kesenangan dalam diri sendiri. Kesenangan jiwa itu
mendorong orang bekerja lebih giat. Karena rasa puas, tak kenal lelah dan
kesanggupan beristirahat pembawaan dari kerja pikiran, kebahagiaan yang
sebesar-besarnya bagi manusia terletak di dalamnya. Keadilan dan persahabatan,
menurut Aristoteles adalah budi yang menjadi dasar hidup bersama dalam
keluarga dan negara.
3. Keadilan Politik
Setiap tindakan tentunya memiliki tujuan dan setiap manusia
menginginkan tujuan “Yang Baik”, yaitu baik yang tertinggi.53
Pengetahuan akan
Yang Baik ini sangat penting bagi kehidupan. Sehingga pengetahuan tentang
Yang Baik ini harus dipikirkan, termasuk ke dalam ilmu induk yang paling
otonom dan paling menyeluruh. Mengenai hal tersebut, politik di sini sangat tepat
sekali. Karena, Yang Baik menentukan ilmu pengetahuan apa yang harus ada
dalam negara. Maka untuk merealisasikan hal tersebut, terdapat beberapa
kemampuan-kemampuan yang harus dicapai dan kemampuan-kemampuan
tersebut sangat dihormati, misalnya dalam merancang strategi, manajemen rumah
tangga dan kemampuan berbicara/berpidato yang mana hal-hal tersebut terdapat
53
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics oleh Embun Kenyowati (Bandung: Teraju, 2004), h. 2.
35
dalam politik. Karena ilmu pengetahuan menggunakan seluruh ilmu-ilmu lain dan
karena mengatur apa yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh orang banyak.
Tampaknya mencakup semua tujuan semua ilmu pengetahuan. Dengan demikian,
tujuan politik adalah Yang Baik bagi manusia.
Menurut Aristoteles, adil dalam urusan politis ada di antara orang yang
menjalankan kehidupan pada umumnya agar hubungannya dengan orang lain
menjadikannya mencukupi diri sendiri, bebas dan setara secara proporsional
maupun secara aritmatik. Karena itu, dalam masyarakat hal ini bukanlah
masalahnya, tidak ada yang adil dalam arti politis dalam hubungannya dengan
berbagai anggota antara satu dengan lainnya, tetapi hanya ada sesuatu yang
mengandung sesuatu yang mirip dengan apa yang adil. Yang adil hanya ada di
antara orang-orang yang hubungannya diatur oleh hukum, dan hukum ada di mana
ketidakadilan terjadi.54
Penilaian menurut hukum memutuskan dan membedakan antara apa yang
adil dan apa yang tidak adil. Di mana ada ketidakadilan, di sana ada tindakan
tidak adil. Meskipun tindakan tidak adil tidak selalu menunjukkan bahwa ada
ketidakadilan dan tindakan tidak adil berarti merujuk seseorang terlalu banyak
sesuatu yang secara intrinsik baik dan sedikit secara intrinsik buruk. Itulah
sebabnya tidak membenarkan peraturan oleh manusia, tetapi peraturan oleh akal
karena manusia akan mengambil bagian terlalu besar untuk dirinya sendiri dan
menjadi lalim. Suatu aturan (yang benar) adalah penjaga yang adil. Dengan
demikian, ia juga adalah penjaga keseimbangan dan keadilan. Seseorang berpikir
54
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics, h. 127.
36
pengatur yang adil adalah orang yang tidak memperoleh bagian yang lebih besar
dari bagiannya. Ia tidak memberikan kepada dirinya sendiri bagian yang lebih
besar tentang apa yang secara intrinsik baik, sejauh bagian itu proporsional
terhadap jasanya.
Oleh karena itu, manfaat untuk banyak orang dan keadilan dalam hal ini
disebut “kebaikan orang lain”. Konsekuensinya, seseorang harus diberi
kompensasi dan hal ini terdapat dalam kehormatan dan keistimewaan. Bagi
mereka, hal ini bukan merupakan kompensasi yang mencukupi menjadi
sewenang-wenang atau lalim. Sebagai contoh, apa yang adil bagi tuan seorang
budak dan seorang ayah, hal tersebut tidak sama persis dengan adil secara
politik.55
Dengan demikian, yang secara politik tidak adil dan adil tidak berlaku.
Secara politik, adil adalah tergantung pada undang-undang dan diberlakukan
kepada orang-orang yang memiliki kemampuan alamiah terhadap hukum, yaitu
orang yang memiliki persyaratan persamaan dalam mengatur dan diatur.
Sederhananya adalah “adil” adalah orang yang mengikuti aturan/hukum dan
jujur, sedangkan “tidak adil” adalah orang yang tidak mengikuti aturan/hukum
dan tidak jujur.56
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan
dalam karyanya Nichomchean Ethics, Politic dan Rethoric. Lebih khususnya,
dalam buku Nichomachean Ethics, buku ini sepenuhnya ditujukan bagi keadilan
55
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics, h. 129. 56
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics, h. 112.
37
yang berdasarkan falsafah umum Aristoteles. Yang sangat penting dari
pandangannya adalah bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian
kesamaan. Aristoteles membuat perbedaan penting antara kesamaan proporsi
geometri dan kesamaan proporsi aritmatika.
Lebih lanjut Aristoteles membedakan dua jenis kebajikan, yakni
kebajikan intelektual dan kebajikan praktis. Kebajikan intelektual adalah
pengetahuan atau pemahaman yang dimiliki oleh para failasuf, ilmuwan, dan lain
sebagainya. Sedangkan kebajikan praktis adalah suatu tindakan atau perasaan
yang berupa kebajikan moral. Kebajikan moral sendiri terbagi menjadi dua
macam, yakni universal justice dan particular justice.57
Universal justice adalah
semua jenis kebajikan (moral justice) atau kebajikan akhlak. Sementara particular
justice terdiri dari lima macam.
Pertama, keadilan komutatif, yaitu keadilan yang berhubungan dengan
persamaan yang diterima oleh setiap orang tanpa melihat jasa-jasanya. Artinya
harus bersikap sama terhadap semua orang dan tidak melihat dari segi manapun.
Sederhananya adalah sama rata. Sebagai contoh misalnya, siswa yang
mengumpulkan tugas, maka ia berhak mendapatkan nilai seperti siswa lainnya,
maka perlakuan ini adil. Contoh lain, seorang koruptor yang hukumannya tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku, maka perlakuan ini tidak adil.
Kedua, keadilan konvensional (keadilan legal), yaitu keadilan yang
mengikat warga negara karena telah disepakati melalui kekuasaan khusus.
Keadilan ini menekankan pada aturan atau kebiasaan yang harus dilakukan warga
57
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics, h. 115.
38
negara yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan. Artinya seorang warga negara
telah dapat menegakkan keadilan setelah menaati hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di dalam sistem pemerintahan. Sederhananya
adalah adil sesuai dengan hukum yang disepakati.58
Sebagai contoh misalnya,
menjalankan peraturan lalu lintas, taat membayar pajak, memiliki KTP dan lain
sebagainya, jika hal tersebut dipatuhi oleh setiap warga negara maka bisa
dikatakan adil . Contoh lain, suatu golongan agama yang ingin menjadikan
Negara Indonesia sebagai negara khilafah, sementara Indonesia memiliki dasar
negara yakni Pancasila dan UUD 1945, maka inilah perlakuan yang tidak adil.
Ketiga, keadilan kodrat alam (sunnatullah), yaitu keadilan yang
bersumber pada hukum alam atau hukum kodrat yang mana hukum alamiah
ditentukan oleh akal manusia yang dapat merenungkan sifat dasarnya sebagai
makhluk yang berakal dan bagaimana seharusnya perilaku yang patut dilakukan
oleh sesama manusia. Sederhananya adalah disesuaikan dengan pemberian orang
lain. Sebagai contoh misalnya, perbuatan baik atau buruk akan mendapat balasan
yang setimpal sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan, maka hal ini disebut
adil. Contoh lain yang bisa diluruskan dengan keadilan kodrat alam misalnya
kasus LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Trasnsgender) karena secara sunnatullah
hal tersebut tidak dibenarkan.
Keempat, keadilan korektif (keadilan perbaikan/pembetulan), yaitu
keadilan yang dimaksudkan untuk mengembalikan ketidakadilan atau suatu
keadaan atas status kepada kondisi yang seharusnya, dikarenakan kesalahan dalam
58
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics, h. 113.
39
perlakuan/tindakan. Sebagai contoh misalnya, seorang terpidana dibebaskan
karena ternyata terjadi kekeliruan atau kesalahpahaman dalam perlakuan hukum.
Contoh lain, kekayaan yang diraih saat ini oleh seseorang bisa jadi pada saat
zaman nenek moyang dahulu didapatkan dengan cara yang tidak baik, maka harus
ada perbaikan misalnya membayar pajak bagi orang-orang kaya yang menikmati
jalan tol dan hasil pajak bisa dibagikan kepada orang-orang yang kurang mampu
sehingga mereka juga bisa menikmati keadilan.59
Kelima, keadilan distributif, yaitu keadilan yang diterima seseorang
berdasarkan jasa-jasa atau kemampuan yang telah disumbangkannya/sebuah
prestasi. Keadilan ini menekankan pada asas keseimbangan yaitu antara bagian
yang diterima dengan jasa yang telah diberikan. Sederhananya adalah keadilan
yang diberikan sesuai dengan prestasi/reward. Sebagai contoh misalnya,
pemberian nilai kepada mahasiswa sesuai dengan prestasi yang telah dicapai.
Contoh lain, seorang karyawan yang telah bekerja bertahun-tahun dan telah
mendedikasikan diri, maka berhak mendapatkan reward, misalnya kenaikan gaji,
jabatan, dan lain sebagainya.60
59
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics, h. 120. 60
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics, h. 118.
40
BAB III
BIOGRAFI IBN MISKAWAYH
A. Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibn Miskawayh adalah Abū ʻAlī Aḥmad (Muḥammad) bin
Yáqūb bin Ibn Miskawayh.61
Ia lahir di kota Rayy (Iran) pada tahun 320 H/932 M
dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421 H/16 Februari 1030 M.62
Mengenai
agamanya, Yaqut berkata bahwa ia mula-mula beragama Majusi, kemudian
memeluk Islam. Namun, ayahnya membenarkan bahwa Ibn Miskawayh sendiri
sebenarnya adalah orang Islam. Di samping itu, Muḥammad yang menyertai
namanya juga mencerminkan jika ia adalah putera seorang Muslim.
Nama aslinya adalah Aḥmad Muḥammad bin Yáqūb, disebutkan pula
dengan nama Abu Ali Miskawayh yang diambil dari nama keluarga. Ibn
Miskawayh adalah seorang failasuf Islam yang pertama kalinya membicarakan
masalah akhlak dalam kitabnya Tahdzīb al-Akhlāq yang saat ini sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Menuju Kesempurnaan Akhlak. Ibn
Miskawayh menjelaskan masalah keadilan dan jalan untuk mencapainya. Selain
belajar falsafah, beliau juga mempelajari sejarah, ilmu sejarah yang ia pelajari
yakni dari karya Abū Bakr Aḥmad Ibn Kāmil al-Qāḍī yang berjudul Tarikh al-
Ṭabari. Sedangkan ilmu falsafah ia dapatkan dari Ibn Khammar,63
sedangkan
falsafah Aristoteles dan ilmu kimia dipelajarinya dari Abū al-Ṭayyib al-Rāzī.
61
Moeflih Hasbullah, Filsafat Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 210. 62
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 204. 63
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Press,
2012), h. 127.
41
Menurut Ensiklopedia Islam di Indonesia Ibn Miskawayh lahir di kota
Rayy (Iran) pada tahun 320 H/932 M dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421 H/16
Februari 1030 M.64
Ibn Miskawayh merupakan golongan pejabat dan intelektual
yang memperoleh kemajuan pesat di bawah perlindungan Buwaihiyyah (abad ke-
4 sampai 5 H/abad ke-10 sampai 11 M) dan yang memberikan sumbangsih kepada
kehidupan intelektual dan kultural yang kaya dalam periode ini. Berawal dari
berbagai ilmu pengetahuan dan kesusastraan yang ia pelajari sehingga membentuk
elemen-elemen utama kultur di masanya. Sampai pada akhir hayatnya, ia menjadi
seorang pakar dan penulis yang tekun.65
Ibn Miskawayh hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah
(320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi‟ah. Ibn
Miskawayh memiliki hubungan baik dengan orang-orang penting dan penguasa di
zamannya. Sudah cukup lama ia mengabdi kepada para wazir dan amir Bani
Buwaih yakni pada Wazir Ḥasan bin Muḥammad al-Azdari al-Maḥlabi di
Baghdad (348-352 H/ 963 M). Setelah al-Mahlabi meninggal, ia diterima oleh
Wazir Abū Faḍl Muḥammad Ibn al-„Ᾱmid di Rayy (352-360 H), masa
pengabdiannya dengan Ibn al-„Ᾱmid ini ia diangkat sebagai pustakawan istana
selama tujuh tahun. Oleh karena itu, dari jabatan tersebut Ibn Miskawayh
mendapat kesempatan untuk memanfaatkan perpustakaan istana untuk membaca
berbagai macam literatur serta ia mempelajari falsafah Yunani dari buku-buku
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sehingga dari hasil bacaannya
64
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, h. 204. 65
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak terj. dari Tahdzib Al-Akhlaq oleh
Helmi Hidayat (Bandung: Mizan: 1998), cet. IV, h. 18.
42
tersebut, ia dapat menulis dan mampu menghasilkan karya-karya yang
berkualitas.
Setelah Ibn al-„Ᾱmid wafat pada tahun 360 H/970 M, Ibn Miskawayh
tetap mengabdi kepada putra Ibn al-„Ᾱmid yang bernama Wazir Abū al-Fatḥ Alī
bin Muḥammad (360-366 H), dengan jabatan yang sama yakni sebagai
pustakawan istana. Hingga pada akhirnya Abū al-Fatḥ dipenjarakan dan
meninggal pada tahun 366 H/976 M, kemudian Abū al-Fatḥ digantikan oleh
musuh sengitnya, wazir terkemuka dan ahli sastra yakni Al-Ṣahib Ibn „Abbād.
Sejak saat itu, Ibn Miskawayh meninggalkan Rayy dan menuju Baghdad, di
sanalah ia mengabdi pada istana pangeran Buwaihiyyah yakni Amir Addud ad-
Daulah bin Buwaih (367-372 H).66
Oleh pangeran Buwaih tersebut ia memperoleh
kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan jabatan-jabatan lain.
Setelah pangeran Buwaih meninggal, ia tetap mengabdi kepada para
amir-amir berikutnya. Sehingga dari berbagai jabatan-jabatan yang didudukinya
tersebut menjadikannya tokoh yang berpengaruh di ibukota Buwaihiyyah.
Menjelang tahun-tahun terakhir dari hidupnya, ia memilih untuk belajar dan
menulis sampai pada akhirnya ia meninggal di usianya yang lanjut pada tahun 421
H/1050 M.
B. Latar Belakang Intelektual
Dari latar belakang pendidikan Ibn Miskawayh tidak ditemukan data
sejarah yang rinci. tetapi ditemukan beberapa keterangan, bahwa ia mempelajari
sejarah yang ia pelajari dari karya Abū Bakr Aḥmad Ibn Kāmil al-Qāḍī yang
66
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 19.
43
berjudul Tarikh al-Ṭabari. Sedangkan ilmu falsafah ia dapatkan dari Ibn
Khammar,67
seorang mufassir ternama mengenai falsafah dan karya-karya
Aristoteles.68
Sedangkan ilmu kimia dipelajarinya dari Abū al-Ṭayyib al-Rāzī,
seorang ahli kimia. Keahliannya dalam berbagai bidang ilmu, ia dapat
dikelompokkan sebagai seorang pemikir, moralis dan sejarawan Parsi yang paling
terkenal.69
Ibn Miskawayh merupakan seorang failasuf yang representatif dalam
bidang akhlak (falsafah etika) dalam Islam. Meski terpengaruh oleh budaya asing,
terutama Yunani, namun usahanya sangat berhasil dalam melakukan harmonisasi
antara pemikiran falsafah dan pemikiran Islam, terutama dalam bidang akhlak.
Pemikiran Ibn Miskawayh diwarnai oleh pemikiran para pendahulunya
dari para failasuf Yunani dan Muslim, seperti Plato, Aristoteles, Galen, kaum
Stoa, Al-Kīndī, Al-Fārābī dan lain sebagainya. Selain pendidikan dari guru
langsung, di sisi lain Ibn Miskawayh juga memperdalam pemikirannya secara
otodidak. Apalagi pada saat Ibn Miskawayh diberi kepercayaan sebagai
pustakawan. Kesempatan menjadi pustakawan tersebut tidak disia-siakannya
untuk menimba ilmu pengetahuannya.
Ibn Miskawayh dikenal sebagai bapak etika Islam. Ia telah merumuskan
dasar-dasar etika dalam kitabnya Tahdzīb Al-Akhlāq wa Taṭhir al-A‟raq
(Pendidikan Budi dan Pembersihan Akhlak). Sementara sumber falsafah etika Ibn
67
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 127. 68
Moeflih Hasbullah, Filsafat Sejarah, h. 211. 69
M. M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1996), h. 85.
44
Miskawayh berasal dari falsafah Yunani, peradaban Persia, ajaran syariat Islam
dan pengalaman pribadi.70
Gelar guru ketiga setelah al-Fārābī disandangkan kepada Ibn Miskawayh
karena dikenal sebagai seorang ilmuwan agung. Ia merupakan ilmuwan hebat
yang juga dikenal sebagai seorang failasuf, penyair dan sejarawan yang sangat
terkenal.71
Terlepas dari sejarah perjalanan hidup Ibn Miskawayh yang sangat
minim penjelasannya, penulis mencoba menggali dari sisi tahun di masa
kehidupan Ibn Miskawayh. Secara umum masa hidup Ibn Miskawayh adalah pada
abad 9-10. Pada saat itu Islam dikuasai oleh Dinasti „Abbasiyah yang memimpin
Islam dalam periode yang cukup lama, yakni pada tahun 750 M sampai 1030 M/
abad ke-7 sampai abad ke-12 M.72
Adapun secara khusus Ibn Miskawayh berada dalam kepemimpinan
„Abbasiyah tepatnya pada periode ketiga. Karena dalam dinasti „Abbasiyah
terbagi menjadi lima periode kepemimpinan. Periode pertama berlangsung pada
tahun 750-847 M, periode kedua pada tahun 847-945 M, periode ketiga pada
tahun 945-1055 M. Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa masa kehidupan
Ibn Miskawayh berada pada akhir „Abbasiyah periode kedua dan ketiga.73
Pada periode „Abbasiyah ketiga (334 H-447 H/ 945 M-1055 M) Dinasti
„Abbasiyah dikuasai oleh Bani Buwaih. Bani Buwaih merupakan tiga putera
Buwaih yang ingin mengubah nasib dengan memasuki militer di dalam pasukan
70
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Fajar Interpratama Offset,
2005), h. 328. 71
Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam, h. 87. 72
Badri Yatim, Historitografi Islam (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 69. 73
Badri Yatim, Historitografi Islam, h. 70.
45
Makan Ibn Kali, salah seorang panglima di Dailam. Karir putera Buwaih dalam
bidang militer menjadikan mereka sebagai penguasa yang diberi gelar Amir al-
Umara oleh Khalifah. Oleh karena itu, Bani Buwaih inilah yang menguasai
daerah Persia. Bani Buwaih menganut aliran Syiah. Sehingga hal tersebut
menjadikan ciri bahwa aliran Syiah berkembang pesat di Persia.74
Kedudukan Syiah sebagai aliran yang dianut Bani Buwaih ini kemudian
berdampak pada Ibn Miskawayh sendiri. Seperti yang disebutkan oleh
Sudarsono,” Ibn Miskawayh merupakan pemikir yang menganut aliran Syiah”.75
Bahkan Hasyimsyah juga menyampaikan bahwa Ibn Miskawayh menghabiskan
usianya untuk mengabdi kepada Bani Buwaih.76
Meskipun dengan kondisi perbedaan paham aliran yang dianut antara
Bani Buwaih sebagai penganut Syiah dengan Bani Abbas yang menganut aliran
Sunni. Namun, tidak menjadi kendala bagi kedua pemimpin ini dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Para pemimpin Bani Buwaih tak mau kalah,
mereka juga memberikan perhatian dan penghargaan yang cukup besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga pada masa Bani Buwaih banyak
failasuf yang bermunculan, Ibn Miskawayh salah satunya.77
Masa puncak kejayaan Bani Buwaih adalah pada masa „Aḍud al-Daulah
yang berkuasa pada tahun 367-372 H. Perhatiannya terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan kesusasteraan amat besar, sehingga pada masa ini Ibn
Miskawayh mendapatkan kepercayaan menjadi bendaharawan, pada masa ini pula
74
Badri Yatim, Historitografi Islam, h. 71. 75
Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 89. 76
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 56. 77
Badri Yatim, Historitografi Islam, h.71.
46
Ibn Miskawayh mulai dikenal sebagai seorang failasuf, ilmuwan dan penyair.
Namun keberhasilan politik dan kemajuan ilmu pada saat itu tidak dibarengi
dengan ketinggian akhlak, bahkan secara umum sedang dilanda kemerosotan
akhlak, baik di kalangan atas, menengah dan bawah. Oleh sebab itu, masalah
penurunan akhlak tersebut yang memotivasi Ibn Miskawayh untuk memusatkan
perhatian dan pemikirannya pada etika Islam78
Di akhir masa kehidupannya Ibn Miskawayh menghabiskan sisa
umurnya dengan belajar dan menulis. Karena itu, hal tersebut menjadi bukti
bahwa Ibn Miskawayh juga memegang jabatan strategis sebagai bendaharawan.
Hanya sedikit pemaparan mengenai biografi Ibn Miskawayh, dikarenakan
keterbatasan literatur dan beberapa literatur hanya menjelaskan hal-hal penting
saja. Seperti karya-karyanya dan keterlibatannya dalam kondisi politik yang ada
pada saat itu. Namun pemikiran Ibn Miskawayh tidak akan pernah padam, bahkan
selalu menjadi rujukan dalam dunia pemikiran terutama falsafah etika/akhlak.
C. Karya-karya
Beberapa jumlah karya tulis Miskawayh dalam tulisan Abdul Aziz
Dahlan yang mendasarkan kepada para penulis masa lalu adalah sebanyak 18
buah judul yang kebanyakan berbicara tentang jiwa dan akhlak (etika).79
Sementara Yaqūt memberikan 13 buah karya Miskawayh, antara lain:80
1. Al-Fauz al-Akbar (keberhasilan Besar)
2. Al-Fauz al-Asghar (keberhasilan Kecil)
78
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 56. 79
Oliver Leaman,” Ibnu Miskawaih” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, editor
Sayyed Hossein Nasr (Bandung: Mizan, 2003), h. 310-311. 80
M. M. Syarif, Para Filosof Muslim, h. 83.
47
3. Tajārib al-Umam (Pengalaman Bangsa-bangsa sejak awal sampai masa
hidupnya/ sebuah sejarah tentang Banjir Besar yang ditulis pada tahun
369 H/979 M)
4. Uns al-Faraīd (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata
mutiara)
5. Tartīb al-Sa‟adah (akhlak dan politik)
6. Al-Muṣṭafa (syair-syair pilihan)
7. Jawīdān Khirād (kumpulan ungkapan bijak)
8. Al-Jāmi‟
9. As-Ṣiyār (aturan hidup)
Mengenai karya-karya di atas, al-Qifti hanya menyebutkan karya Ibn
Miskawayh nomor 1,2,3 dan 4 dan menambahkan sebagai berikut:81
10. Tentang Pengobatan Sederhana (mengenai kedokteran)
11. Tentang Komposisi Bajat (mengenai seni memasak)
12. Tahdzib al-Akhlaq (pendidikan akhlak)
13. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman)
Nomor 2, 3 dan 13 kini masih ada dan telah diterbitkan. Di samping itu
ada lima daftar lagi yang tak disebut oleh Yaqut dan al-Qifti, yaitu:
14. Risālah fī al-Lazzāt wal-Ᾱlam fī Jauhar al-Nafs (Naskah di Istanbul,
Raghib Majmu‟ah No. 1463, lembar 57a-59-a)
81
M. M. Syarif, Para Filosof Muslim, h. 84-85.
48
15. Ajwibāh wa As‟ilah fi al-Nafs wal-Aql (tanya jawab tentang jiwa. Dalam
Majmu‟ah tersebut terdapat di Istanbul, Raghib)
16. Al-Jawab fī al-Masā‟il al-Tsalats (jawaban tentang tiga masalah. Naskah
di Teheran, Fihrists Maktabat al-Majlis, II, No. 634 (31)
17. Risālah fī Jawāb fi Su‟al „Alī bin Muḥammad Abū Ḥayyān al-Sufi fī
Haqīqat al-Aql (Perpustakaan Mashhad di Iran, I, No. 43 (137))
18. Thahārat al-Nafs (kesucian jiwa. Naskah di Koprulu, Istanbul, No. 767)
Muḥammad Bāqir ibn Zaīn al-Abidīn al-Hawanṣari mengatakan bahwa ia
juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Parsi (Raudhat al-Jannah,
Teheran, 1287 H/1870 M, hlm. 70).82
Mengenai urutan karya-karyanya, yang kita ketahui dari Miskawayh
sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar, dan Tahdzīb al-
Akhlāq ditulis setelah Tartib al-Sa‟adah.83
82
Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam, h. 89. 83
M. M. Syarif, Para Filosof Muslim, h. 85.
49
BAB IV
KEADILAN DALAM ETIKA IBN MISKAWAYH
A. Definisi Keadilan dalam Etika
Keadilan merupakan salah satu pemikiran etika Ibn Miskawayh. Dalam
bukunya Tahdzīb al-Akhlāq, ia banyak memaparkan mengenai keadilan. Karyanya
ini mencoba menunjukkan bagaimana untuk memperoleh watak-watak yang lurus
untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral benar terorganisasi dan
tersistem.84
Dasar argumentasinya adalah tinjauannya tentang sifat dasar jiwa,
yang diambil dari Platon sebagai entitas dan substansi yang berdiri sendiri, yang
berbeda dengan gagasan Aristoteles mengenai jiwa. Jiwa, menurut Ibn
Miskawayh, dapat dipandang sebagai sesuatu yang berbeda dengan badan karena
beberapa alasan. Jiwa menjadi pembeda antara manusia satu dengan manusia
lainnya, ia memanfaatkan badan dan bagian-bagiannya dan ia juga berusaha
menjalin hubungan dengan alam-alam wujud yang lebih spiritual dan lebih
tinggi.85
Ibn Miskawayh membagi jiwa menjadi tiga daya: 1. daya rasional atau
jiwa rasional (al-nafs al-nāṭiqah), 2. daya emosi atau jiwa emosi (al-nafs al
sabu‟īyah/ al-nafs al-ghaḍabīyyah), 3. daya syahwat atau nafsu syahwat (al-nafs
al-bahīmīyyah)86
. Daya rasional (al-nafs al-nāṭiqah) adalah jiwa yang menjadi
dasar berpikir, membedakan dan menalar hakikat segala sesuatu. Pusat daya ini
terdapat di otak. Daya emosi (al-nafs al sabu‟īyah/ al-nafs al-ghaḍabīyyah),
84
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), h. 114. 85
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 115. 86
Maftukhin, Filsafat Islam (Yogyakarta: Teras, 2012), h. 122.
50
adalah jiwa yang menjadi dasar kemarahan, tantangan, keberanian atas hal-hal
yang menakutkan, keinginan berkuasa, keinginan pada ketinggian pangkat dan
berbagai kesempurnaan. Pusat daya ini terdapat di dalam jantung. Daya syahwat
(al-nafs al-bahīmīyyah), adalah jiwa yang menjadi dasar syahwat, usaha mencari
makan, kerinduan untuk menikmati makanan, minuman dan perkawinan serta
berbagai macam kenikmatan inderawi lainnya. Pusat daya ini terdapat di dalam
hati.87
Daya syahwat adalah daya jiwa yang paling rendah, daya emosi yang
paling tengah dan daya rasional yang paling terhormat. Manusia dapat menjadi
manusia karena ketiga daya tersebut. Dengan jiwa rasional manusia dapat
membedakan diri dengan hewan dan bahkan dapat menyamakan diri dengan
malaikat.
Keadilan (al-„adalah) adalah gabungan dari tiga keutamaan al-nafs.
Dikatakan demikian, karena seseorang tidak dapat disebut ksatria jika ia tidak
adil. Demikian pula orang tidak dapat disebut pemberani jika ia tidak mengetahui
keadilan jiwa atau dirinya mengarahkan semua inderanya untuk tidak mencapai
tingkat nekad (al-taḥawwur) maupun pengecut (al-jubn). Al-ḥakīm tidak akan
memperoleh al-ḥikmat apabila ia tidak menegakkan keadilan dalam berbagai
pengetahuannya dan tidak menjauhkan diri dari sifat kelancangan (al-safah) dan
kebodohan (al-balah). Dengan demikian, manusia tidak akan dikatakan adil jika
ia tidak mengetahui cara menggabungkan antara al- ḥikmat (kebijaksanaan), al-
syajā‟ah (keberanian) dan al-„iffah (kesederhanaan). Sehingga dari ketiga
87
Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2002), h. 88.
51
keutamaan tersebut menghasilkan keseimbangan (al-I‟tidāl). Keseimbangan ini
kemudian diinterpretasikan secara Phytagorean dan Neo-Platonik sebagai cara
penyatuan, bahwa prinsip utama hidup di dunia ini adalah sebagai pengganti
(surrogate) atau bayangan keesaan (ẓhill al-waḥdah/shadow of unity). Pada
hakikatnya kesatuan ini merupakan sinonim dari kesempurnaan sesuatu
(perfection of being) dan pada lain kesempatan ia juga merupakan sinonim dari
kebijaksanaan yang sempurna (perfect goodness).88
Ibn Miskawayh dengan meyakinkan berpendapat bahwa gagasan tentang
keadilan Ilahi atau keadilan sempurna adalah idea tunggal yang hanya berurusan
dengan prinsip-prinsip yang kekal dan immaterial. Sebaliknya, keadilan manusia
berubah-ubah dan bergantung pada karakter komunitas tertentu dan anggota-
anggotanya. Hukum Ilahi menentukan apa yang harus dilakukan di setiap tempat
pada setiap saat, sedangkan hukum negara mempertimbangkan adat kebiasaan
yang bisa berubah dan relatif/serba mungkin pada masanya.
Ibn Miskawayh berpendapat bahwa keadilan memang diartikan sebagai
pertengahan antara al-ẓulm dan al-inzilam. Al-ẓulm berarti memperoleh hak milik
dari sumber dan cara yang tidak semestinya (berbuat aniaya). Sedangkan al-
inzilam adalah menyerahkan hak milik kepada yang tidak semestinya dengan cara
yang tidak semestinya pula (teraniaya).89
Pengertian keadilan di sini disepakati oleh para failasuf bukan sebuah
keutamaan tersendiri melainkan keutamaan secara menyeluruh. Keadilan ini
88
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak terj. dari Tahdzib Al-Akhlaq oleh
Helmi Hidayat (Bandung: Mizan: 1998), cet. IV, h. 108. 89
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 109.
52
merupakan gabungan dari semua keutamaan. Oleh karena itu, keadilan hanya
akan tercapai jika setiap jiwa mewujudkan masing-masing keutamaan.
Secara umum tulisan Ibn Miskawayh tentang keadilan („adl) bersifat
Aristoteles, meskipun baginya kebajikan ini merupakan suatu bayangan dari
keesaan Tuhan, yakni keseimbangan sejati. Pengetahuan tentang cara atau batas
setiap persoalan merupakan prasyarat dari keadilan, namun berbeda dengan
Aristoteles, ia berpendapat bahwa keadilan merupakan fungsi kehendak ilahiah
bukan sekedar pemikiran rasional dan sikap kehati-hatian. Seorang raja, sebagai
khalifah Tuhan, dapat melaksanakan kebijaksanaan secara terinci sesuai dengan
keadaan waktu dan tempat tanpa merusak nilai-nilai kehendak ilahiah.90
Ibn Miskawayh mengartikan keadilan sebagai titik tengah dari beberapa
sisi. Keadilan merupakan kebajikan paling sempurna dan paling dekat dengan
kesatuan. Kesatuan adalah sesuatu yang memiliki kemuliaan dan tingkatan paling
tinggi.91
Keadilan dapat terwujud melalui rasa takut dan kekuatan.92
Seperti yang dijelaskan oleh Dedi Supriyadi dalam bukunya Pengantar
Filsafat Islam. Pada saat Ibn Miskawayh membicarakan sifat dasar kebajikan, ia
menggabungkan gagasan Aristotelian dengan gagasan Platonik. Sementara itu,
meskipun Ibn Miskawayh tidak dikenal sebagai sufi tetapi agaknya ia juga tidak
dapat menolak kenyataan bahwa usaha memperoleh keselamatan pribadi
hakikatnya juga termasuk salah satu ciri kesufian. Artinya untuk memperoleh
keselamatan harus memiliki jiwa seperti seorang sufi. Kebajikan muncul sebagai
90
M. M. Syarif, Para Filosof Muslim, h. 93-94. 91
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 115. 92
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam (Semarang: CV Toha Putra,
1993), h. 50.
53
kesempurnaan aspek jiwa yang menggambarkan esensi kemanusiaan, yakni akal,
dan yang membedakannya dari bentuk-bentuk eksistensi yang lebih rendah.
Kebaikan akan meningkat selama diri mengembangkan dan memperluas
kemampuan yang dimiliki untuk mengasah dan menerapkan akal pada kehidupan.
Cara-cara untuk melakukan hal ini harus sesuai dengan jalan tengah, titik terjauh
dari dua titik ekstrem dan keadilan muncul jika diri berupaya untuk mengelola hal
itu.93
Ibn Miskawayh mengembangkan seperangkat kebajikan yang berkaitan
dengan kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan dan keadilan yang menguraikan
perkembangan moral yang hendak dituju. Ia mengkombinasikan pembagian
kebajikan versi Platon dengan pemahaman versi Aristoteles tentang apa
sesungguhnya kebaikan itu dan menambahkan gagasan bahwa akan lebih baik bila
kebajikan-kebajikan ini dapat diperlakukan sebagai suatu kesatuan. Hal ini karena
ia mengidentikkan kesatuan dengan kesempurnaan, dan mencirikan keragaman
dengan kemajemukan objek fisik tak bermakna. Gagasan Phytagorean semacam
itu disukai lebih dari sekedar lantaran pesona estetis.94
Etika dapat juga disebut sebagai filsafat moral. Filsafat moral sangat
berkaitan dengan psikologi, sehingga Ibn Miskawayh memulai risalah besarnya
itu dengan akhlak, dengan menyatakan doktrinnya tentang jiwa. Masalah
peralihan psikologi ke akhlak disajikan dengan mengikuti doktrin Platon, ia
mempersamakan pembawaan-pembawaan jiwa dengan kebajikan-kebajikan. Jiwa
mempunyai tiga pembawaan: rasional, keberanian, hasrat dan tiga kebajikan yang
93
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 115-116. 94
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 116.
54
saling berkaitan: bijaksana, berani dan sederhana. Dengan keberkaitan ketiga hal
itu, maka dapat diperoleh yang keempat, yaitu: keadilan. Sejauh ini Ibn
Miskawayh adalah Platonis, namun kemudian ia menjadi Aristotelian dan
menganggap kebajikan sebagai jalan tengah di antara dua kejahatan.95
Dalam kesempatan lain Ibn Miskawayh juga membedakan antara
pengetahuan jiwa dan pengetahuan panca indera. Secara tegas ia katakan bahwa
panca indera tidak dapat menangkap selain apa yang diraba atau diindera.
Sementara jiwa dapat menangkap apa yang dapat ditangkap pancaindera, yakni
yang dapat diraba dan juga yang tidak dapat diraba.96
Pancaindera terdiri dari
perabaan, pengecapan, penciuman, penglihatan dan pendengaran. Masing-masing
memahami obyek inderawi tertentu. Pancaindera mengindera objek yang berbeda
dengannya dalam hal cara. Misalnya, pengecapan mengindera kelembaban yang
berbeda dalam hal cara karena kelembaban lidah. Udara yang ada di bagian dalam
telinga memiliki cara tertentu. Jika ada udara lain yang bergerak ke dalamnya,
maka manusia akan menginderanya. Artinya indera mengindera sebagai akibat
berbagai perubahan yang ditimbulkan obyek inderawi melalui keadaan fisik
indera.
Indera kolektif adalah daya di mana sketsa-sketsa inderawi yang
diperoleh pancaindera lahiriah berkumpul dan membedakan di antara sketsa-
sketsa tersebut. Pusat indera ini ada di bagian depan otak. Kemudian indera
kolektif mendorong sketsa inderawi ke dalam daya fantasi. Pusat daya ini terletak
di salah satu bagian depan otak. Daya fantasi mendorong sketsa inderawi ke daya
95
M. M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1996), h. 93. 96
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 134.
55
ingat, sedangkan daya ingat seperti gudang yang menyimpan berbagai sketsa
inderawi yang dapat dihadirkan ketika dibutuhkan. Pusat daya ini terletak di
bagian belakang otak.97
Pemaparan dari daya-daya di atas melahirkan daya pikir. Daya pikir
adalah daya yang menimbulkan proses berpikir dan mengarah pada akal. Hanya
manusia yang memiliki daya tersebut. Daya inilah yang membedakan manusia
dengan hewan. Derajat manusia dan tingkat perbedaannya dengan hewan
tergantung pada tingkat dinamika, konsistensi, kebenaran penalaran serta
kemampuan membedakan dari daya pikir. Intinya, kadar kemanusiaan manusia
bergantung pada kadar kesempurnaan dinamikanya dan kadar penerimaannya
terhadap pengaruh akal. Sesungguhnya daya pikir merupakan daya psikis yang
luhur, yang melihat hasil perolehan inderawi, kesamaan dan perbedaannya. Daya
pikir berusaha mengenal sebab-sebab dan prinsip-prinsip makrokosmos. Itulah
sebabnya dapat dikatakan bahwa tugas daya pikir adalah membuka tugas akal,
yaitu memahami hakikat segala sesuatu. Dampak daya ini terlihat di bagian dalam
tengah otak.
Puncak dari daya-daya yang telah dijelaskan di atas adalah daya rasional.
Daya rasional atau jiwa rasional terbagi menjadi dua bagian atau dua daya.
Pertama, daya teoretis dan kedua, daya praktis. Kesempurnaan awal manusia
terwujud melalui daya rasional teoretis. Daya inilah yang membuatnya rindu pada
ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu membuatnya berpandangan, berpikiran dan
97
Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, h. 91.
56
merenung secara benar, sehingga ia tidak salah tentang suatu keyakinan dan tidak
ragu-ragu terhadap suatu hakikat.
Ilmu berujung pada perkara-perkara maujūdāt/ makrokosmos secara
berurutan sampai ke ilmu Ilahi yang merupakan tingkatan terakhir ilmu. Ia
percaya kepadanya, merasakan kedamaian dan ketenangan karenanya lantaran
kebingungannya hilang, sehingga ia menyatu dengannya. Dengan daya rasional
yang bersifat praktis, manusia dapat mewujudkan kesempurnaannya yang kedua
yaitu kesempurnaan akhlak. Jika manusia mengalami kesempurnaan bagian akal
rasional yang bersifat teoretis atau ilmiah dan bagian daya rasional yang bersifat
praktis, maka manusia mengalami kesempurnaan total.98
Ibn Miskawayh berpendapat bahwa manusia memahami hakikat dengan
dua cara atau dua pola. Pertama, melalui pancaindera, dalam hal ini hewan juga
sama. Kedua, melalui akal yang khusus untuk manusia, sedangkan hewan tidak
memilikinya. Pemahaman rasional ini tidak membebaskan manusia dari
ketergantungan terhadap pemahaman inderawi, kecuali melalui latihan yang lama.
Hal tersebut disebabkan karena jika manusia ingin melihat makna rasional untuk
tujuan memahaminya, maka sketsa-sketsa inderawi itu muncul di dalam daya jiwa
karena mendominasi dan mendekatkan kepadanya. tetapi dengan melakukan
latihan olah batin dan pembiasaan diri untuk menalar hal-hal yang rasional dan
memutuskan diri dari indera sesuai kemampuan, maka akan terlihat keluhuran dan
kelebihan hal-hal yang rasional atas hal-hal yang inderawi.
98
Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, h. 93.
57
Manusia akan melihat bahwa hal-hal yang inderawi bagi akal sama
dengan sesuatu yang bercampur bagi sesuatu yang terwujud.99
Oleh karena itu,
semua obyek inderawi berubah-ubah dan mengalir atau tidak berada dalam satu
situasi. Jika indera memahami sesuatu, maka ia akan segera berganti dan berubah,
sedangkan obyek rasional bersifat tetap dan tidak berubah.
Ibn Miskawayh berpendapat bahwa di dalam jiwa terkandung
pengetahuan rasional utama yang tidak bersumber dari alat indera. Dengannya
jiwa dapat memahami obyek inderawi yang salah dan yang benar, membedakan di
antara obyek-obyek inderawi yang ada, memahami sebab-sebab perbedaan dan
persamaan yang terkandung di dalamnya, serta memahami kesalahan-kesalahan
alat indera dan mengembalikan hukum-hukumnya. Contohnya mata, terkadang
salah dalam memahami matahari bahwa ia kecil padahal matahari amat besar.
Mata juga salah dalam menangkap sesuatu bergerak berdasarkan titik edar, lalu ia
melihatnya seperti lingkaran atau kalung. Mata juga salah dalam memahami
pensil yang terendam di dalam air, sehingga melihatnya seperti bengkok, padahal
sebenarnya lurus.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa akal mengawasi kerja indera dan
membetulkan kesalahan-kesalahannya. Jika jiwa mengetahui bahwa indera salah,
maka jiwa tidak akan mengambil ilmu tersebut dari indera, tetapi ia
mengambilnya dari dirinya sendiri atau dari pengetahuan rasional utama yang ada
di dalamnya.100
99
Ibn Miskawayh, Tahdzīb Al-Akhlāq (Beirut: Mansyurat Al-Jamal, 2011), h. 33. 100
Ibn Miskawayh, Tahdzīb Al-Akhlāq, h. 8.
58
Ibn Miskawayh juga menjelaskan proses tahapan mekanisme perolehan
pengetahuan melalui indera, dan dimulai dengan pencerapan pancaindera lahiriah
terhadap objek inderawi. Indera mengumpulkan obyek inderawi tersebut di dalam
indera kolektif kemudian memindahkannya ke daya fantasi lalu ke daya ingat.
Semua tingkat pemahaman tersebut ada pada hewan dan manusia. Namun, ada
daya lain dari jiwa yang khusus dimiliki manusia dan tidak ada pada hewan yaitu
daya pikir, di sanalah berlangsung dinamika kognitif, orientasi menuju akal dan
pemahaman hakikat segala sesuatu yang ada di dalam akal. Jika manusia
mencapai tingkatan ini, maka potret kemanusiaan di dalam dirinya menjadi
sempurna dan mencapai titik ujung garis vertikal.
Selain itu, jika manusia mencapai tingkatan tersebut, maka ia akan
mengalami dua keadaan. Pertama, ia akan mengalami peningkatan normal, artinya
ia tetap mempertahankan gagasan tentang semua maujūdāt/ makrokosmos selama
hidupnya agar mendapatkan hakikatnya sesuai kapasitas manusia sehingga
gagasannya menjadi kuat, pandangannya menjadi tajam dan ia dapat melihat
perkara-perkara ketuhanan. Kemudian, perkara-perkara pertama yakni akal
menetap di dalam dirinya dan tampak lebih jelas sehingga tidak dibutuhkan lagi
qiyās burhāni/ analogi argumentatif. Penampakan ini lebih tinggi, lebih bercahaya
dan lebih jelas dibandingkan akal. Kedua, ia mengalami perkara-perkara tersebut
tanpa peningkatan bahkan membuatnya mundur karena melakukan kontak
dengannya. Misalnya, manusia berkembang dari daya indera ke daya fantasi, lalu
ke daya pikir. Selanjutnya, dari daya pikir ke pemahaman hakikat segala sesuatu
59
yang ada di dalam akal. Hal itu karena daya-daya tersebut saling berkaitan secara
ruhani.101
Ibn Miskawayh memberikan penjelasan mengenai jalan pengetahuan.
Pertama, jalan para ahli hikmah dan failasuf yakni jalan yang naik dari indera ke
akal. Kedua, jalan bagi para nabi yakni jalan yang turun dari Akal Aktif di mana
hakikat-hakikat memancar dari kebenaran ke akal manusia kemudian ke daya
pikir, ke daya fantasi, lalu ke indera. Ibn Miskawayh memandang adanya
kesamaan hakikat yang menjadi tujuan dari kedua jalan tersebut.
B. Jenis-Jenis Keadilan
Ibn Miskawayh membagi keadilan secara umum menjadi tiga macam,
yaitu: keadilan alam (al-„adl al-ṭhabi‟i/natural justice), keadilan manusia (al-„adl
al-wad‟i/conventional justice), dan keadilan Tuhan (al-‟adl al-ilahi/divine
justice). Keadilan yang khusus diupayakan manusia, ada dalam salah satu dari
ketiga macam keadilan ini, karena itu keadilan yang khusus diupayakan manusia
tidak dapat dipisahkan dari ketiga keadilan lainnya. Inti dari masing-masing
keadilan tersebut adalah bernilai baik selama sisi keharmonisan hubungan dari
unsur-unsur yang hakikatnya berbeda.102
Adapun penjabaran jenis-jenis keadilan di atas sebagai berikut: Pertama
keadilan alam (al-„adl al- ṭhabi‟i/natural justice). Unsur dari benda-benda alam
adalah bersifat fisik tidak akan pernah terbebas dari pluralitas, maka benda-benda
fisik tersebut tidak akan pernah pula menyatu dalam arti yang sebenarnya,
melainkan hanya lebih dekat kepada persatuan dalam arti kiasan atau pengganti
101
Ibn Miskawayh, Tahdzīb Al-Akhlāq, h. 97. 102
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 120.
60
persamaan. Melalui persamaan ini, benda-benda yang bersifat fisik menerima
suatu penyatuan atau keseimbangan, tetapi benda-benda tersebut tetap memelihara
identitasnya sendiri dan tidak dapat didominasi atau dirusak oleh sekelompok
benda lain. Hal seperti inilah yang dimaksud dengan keadilan alam. Tanpa adanya
keadilan seperti ini, alam secara keseluruhan akan hancur.
Inti adanya keadilan alam adalah adanya ekstrem yang bertentangan
masing-masing ekstrem mewujud dalam pertentangan yang sama kuat sehingga
bagian-bagian tersebut mempunyai daya eksistensi berbeda-beda. Kondisi ini
melahirkan gerak melingkar yang hakikatnya adalah satu. Di sini tidak ada yang
kalah atau menang. Oleh karena itu, ia menjadi satu dengan yang memelihara
wujudnya.103
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan Tuhan adalah juga keadilan
alam. Oleh karena itu, Aristoteles hanya membagi keadilan menjadi dua jenis,
yaitu keadilam alam dan keadilan manusia. Ibn Miskawayh justru
mempertentangkan keadilan alam dengan keadilan Tuhan. Namun, Ibn
Miskawayh juga mengakui ada sisi persamaan antara keadilan alam dan keadilan
Tuhan. Menurut Ibn Miskawayh, meskipun keduanya sama-sama abadi, keadilan
Tuhan/Ilahi eksis dalam alam immateri sedangkan keadilan alam hanya eksis
dalam alam materi. Untuk menjelaskan pemahaman tentang hal ini, Ibn
Miskawayh mengutip teori Phythagorean tentang paham bilangan. Teori ini
menyatakan bahwa bilangan merupakan abstraksi dari sesuatu yang terbilang. Jika
103
Agus Darmaji, “Laporan Penelitian Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn
Miskawayh”, Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999,
h. 43.
61
sesuatu yang terbilang itu dihilangkan, maka bilangannya tetap tidak akan hilang
atau berubah.
Dengan demikian, keadilan alam terjadi karena masing-masing benda
alam eksis pada dirinya. Eksis pada diri ini muncul karena ada dua sisi ekstrem
yang sama-sama kuat atau sama-sama lemah. Sepertinya teori ini dapat ditarik
pengertian bahwa eksistensi sesuatu akan eksis dikarenakan oleh eksis lainnya,
yakni ekstrem-ekstremnya. Kedua, keadilan manusia (al-„adl al-
wad‟i/conventional justice). Keadilan ini dibagi menjadi dua: umum, artinya
disetujui oleh setiap orang dan khusus, hanya disetujui oleh bangsa, daerah,
sampai yang terkecil (dua individu). Norma dalam keadilan ini tidak bisa tetap
dan absolut.104
Dalam keadilan ini terdapat bidang-bidang keadilan yang khusus
diupayakan manusia, yakni dengan cara menjaga keselarasan atau keseimbangan
fakultas-fakultas jiwanya sehingga satu dengan yang lainnya tidak saling
berselisih dan menindas. Hal ini berlaku pada kesehatan jiwa, berguna pula pada
kesehatan tubuh. Jika jiwanya mulia, maka akan bisa dicapai apabila manusia
dapat menjaga keseimbangan.105
Seperti halnya Aristoteles, Ibn Miskawayh juga berpendapat bahwa
manusia yang adil bukan hanya memperoleh keseimbangan atau harmoni pribadi
melainkan juga dengan orang lain. Adapun bidang-bidang keadilan dalam
kaitannya dengan orang lain dibagi menjadi tiga, yaitu:106
104
Agus Darmaji, “Laporan Penelitian Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn
Miskawayh”, h. 44. 105
M. S. Khan, An Unpublished Treatise of Miskawaih On Justice or Risala fi Mahiyat
Al-Adl li Miskawaih (Leiden: E. J. Brill, 1964), h. 30. 106
M. S. Khan, An Unpublished Treatise of Miskawaih On Justice or Risala fi Mahiyat
Al-Adl li Miskawaih, h. 29.
62
Pertama, keadilan dalam pembagian uang atau kehormatan. Untuk
memperoleh keadilan dalam pembagian uang atau kehormatan, digunakan ilmu
hitung yang oleh Ibn Miskawayh disebut perbandingan terpisah ( al-nisbat al
munfaṣhilah/ discrete proportion). Keadilan dalam hal ini berbentuk proporsi
terpisah yang ada di antara empat premis, yaitu di mana hubungan premis pertama
dengan premis kedua sama dengan hubungannya antara premis ketiga dengan
premis keempat.107
Contohnya, “orang ini terhadap kehormatan ini atau terhadap
uang ini, sama dengan setiap uang yang sama derajatnya terhadap (kehormatan
atau uang) yang sama. Jika benar begitu, bagian ini harus diberikan
kepadanya”.108
Maksud dari bentuk pertama ini adalah derajat seseorang memiliki
kesamaan terhadap uang atau pun kehormatan.
Kedua, keadilan dalam pembagian transaksi seperti jual beli. Adapun
persoalan-persoalan yang terdapat pada bagian kedua, yakni transaksi-transaksi
yang disengaja, berbentuk proporsi bersambung (al-nisbat al-
mutaṣhillah/continuous proportion). Contohnya,”Pembuat pakaian ini terhadap
pembuat sepatu itu sama dengan pakaian ini terhadap sepatu itu.”Kendatipun
demikian, juga bisa kita katakan:”Pembuat pakaian ini terhadap tukang kayu, atau
pakaian itu terhadap sepatu sama dengan sepatu terhadap kursi.”Dari kedua
contoh di atas jelas sekali bahwa proporsi pertama hanya terjadi dalam kedalaman
saja, sementara proporsi kedua terjadi dalam keluasan dan juga kedalaman.
Jelasnya, bahwa proporsi pertama terjadi di antara dua universal dan dua
partikular yang lebih identik dengan kedalaman, sedangkan proporsi kedua terjadi
107
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics oleh Embun Kenyowati (Bandung: Teraju, 2004), h. 119. 108
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 116.
63
dalam keluasan antara dua partikular, dan dapat juga terjadi antara dua universal
dan dua partikular.109
Untuk keadilan dalam kaitannya dengan transaksi yang tidak disengaja,
yang di dalamnya terdapat ketidakadilan, dipergunakan perbandingan geometris
(al-nisbat al-misaḥiyyat/geometrical proportion).110
Adapun keadilan yang akan
diterapkan ketika menjadi ketidakadilan dan penindasan, itu lebih mendekati
proporsi geometris yang telah disebutkan di atas. Karena ketika ada hubungan
tertentu antara seseorang dengan orang lain, dan yang pertama meniadakan
hubungan itu dengan berbuat tidak adil atau merugikan yang kedua, maka
keadilan menuntut agar orang pertama memperoleh persamaan dan hilanglah
kelebihan dan kekurangan.
Ibn Miskawayh tidak menginginkan membuat perbandingan antara diri
sendiri dengan orang lain. Jika tetap juga dibuat perbandingan, maka hasilnya
tidak mudah didapat secara tepat, dikarenakan perbandingan hanya bisa dilakukan
jika semua unsur perbandingan diperoleh. Di samping itu, diperlukan juga
pengetahuan tentang posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem
kekurangan dalam setiap hal. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan di
bidangnya masing-masing. Cukup rumit sekali untuk memperoleh perbandingan
yang tepat. Ibn Miskawayh memberikan ilustrasi sebagai berikut: Jika ada sebuah
garis lurus yang dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama, maka dia harus
mengambil dari yang lebih panjang, lalu menambahkannya pada yang lebih
109
M. S. Khan, An Unpublished Treatise of Miskawaih On Justice or Risala fi Mahiyat
Al-Adl li Miskawaih, h. 30. 110
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 117.
64
pendek, sederhananya yang kurang ditambah dan yang lebih dikurangi.111
Sehingga diperoleh persamaan dan hilanglah kelebihan dan kekurangan. Oleh
sebab itu, untuk memperoleh kesesuaian dalam perbandingan dimungkinkan
menggunakan berbagai pendekatan yang sesuai dengan objeknya. Di antara
pendekatan itu adalah perbandingan dengan hitungan, geometri dan penyesuaian
(al-nisbat al-ta‟līfīyyah).112
Menurut Ibn Miskawayh, keadilan yang diupayakan manusia diarahkan
kepada keadilan terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Kedua arah keadilan ini
masing-masing mempunyai tingkat kesulitan. Keadilan untuk diri sendiri berarti
keseimbangan dan keharmonisan masing-masing jiwa yang ada dalam dirinya.
Untuk mengatasi kesulitan mencapainya diperlukan pemahaman secara pasti
posisi tengah dari masing-masing jiwa. Adapun cara memperoleh keadilan
terhadap orang lain dapat tercipta melalui berbagai pendekatan, seperti
pendekatan bilangan, geometri atau persesuaian, yang intinya harus diperoleh
kesamaan. Keadilan hanya akan terwujud bila segala aspek yang mungkin ada
pengaruh bagi terciptanya ketidakadilan (berbuat aniaya atau teraniaya), mestilah
diwaspadai. Jika demikian, yang dapat disebut adil di sini berarti adil untuk diri
sendiri dan adil untuk pihak lain, termasuk terhadap alam dan Tuhan.
Pembuat aturan dan perundang-undangan harus menyesuaikan situasi dan
kondisi. Semua pengaturan atau perundang-undangan tidak boleh berlaku tetap
melainkan dapat diubah sesuai perubahan situasi dan adat. Hal ini dimungkinkan
karena bisa jadi sesuatu bernilai adil dalam waktunya, namun pada waktu yang
111
M. S. Khan, An Unpublished Treatise of Miskawaih On Justice or Risala fi Mahiyat
Al-Adl li Miskawaih, h. 26. 112
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 117.
65
lainnya bisa berubah menjadi tidak adil. Di sini bisa dilihat bahwa ukuran bagi
keadilan manusia adalah peraturan atau perundang-undangan yang disepakati.
Ketiga, keadilan Tuhan (al-„adl al-ilahi/divine justice). Seperti yang telah
dijelaskan di atas, Ibn Miskawayh membedakan antara keadilan alam dengan
keadilan Tuhan sesuai pada pandangannya bahwa keadilan Tuhan/Ilahi eksis
dalam alam immateri sedangkan keadilan alam hanya eksis dalam alam materi.
Tugas manusia mengenai keadilan ini adalah manusia harus berperilaku menurut
kewajibannya terhadap Penciptanya dan sesuai dengan batas kemampuan. Karena
keadilan itu merupakan memberikan apa yang harus diberikan kepada orang yang
tepat dengan cara yang benar, maka tak dapat dimengerti jika manusia tidak
melakukan kewajibannya terhadap Tuhannya yang telah memberi kebaikan yang
tak terhingga ini.
Kemudian, dari ketiga jenis-jenis keadilan di atas, Ibn Miskawayh
menekankan salah satu aspek terpenting yakni Ibn Miskawayh menegaskan
kewajiban manusia terhadap Tuhannya. Meskipun sudah jelas, Ibn Miskawayh
berusaha mengemukakan persoalan yang cocok dengan tema keadilan tersebut.
Menurutnya, jika keadilan hanya bisa terwujud dalam aksi timbal-balik
mengambil dan memberi atau dalam berbagai kehormatan yang telah diuraikan di
atas, maka Tuhan memiliki hak atas kita, karena kita sudah terlalu banyak
memperoleh pemberian dan nikmat yang tak terhingga dari-Nya. Sebab orang
yang diberi kebaikan, meskipun sedikit, lantas ia tak pernah mau membalasnya
dengan kebaikan yang serupa, maka orang seperti ini berlaku lalim.113
113
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 121.
66
Maka dari itu Ibn Miskawayh memberikan contoh dalam kitabnya
Tahdzīb al-akhlāq, jika seorang raja yang adil menyebarkan keadilan, meluaskan
kemakmuran, gigih membela negara, memperhatikan seluruh rakyat, membasmi
anarki serta menggerakan produksi dalam negeri demi kemaslahatan kehidupan
rakyatnya. Maka tak dipungkiri lagi raja ini sudah melaksanakan tugasnya yang
terbaik terhadap rakyatnya. Artinya, ia melakukan hal yang terbaik bagi dirinya,
meski kebaikan itu dilakukan untuk seluruh rakyatnya. Oleh sebab itu, tentu saja
raja ini berhak menerima balasan dari seluruh rakyatnya. Jika rakyatnya hanya
bisa menikmati nikmat yang diberikannya, sedangkan raja sendiri tidak menerima
balasan apa pun, maka lalimlah rakyat yang demikian.114
Menurut Miskawayh, semestinya rakyat dapat membalas kebaikan sang
raja. Bentuk balasan rakyat untuk sang raja yakni senantiasa bersikap baik,
berterima kasih, selalu patuh, tidak melawan raja baik secara sembunyi maupun
terang-terangan, menunjukkan cinta yang tulus, memenuhi permintaan raja sesuai
dengan batas kemampuan, serta mengikuti cara raja dalam mengatur rumah
tangga, keluarga dan sahabatnya. Karena hubungan raja dengan negara dan
rakyatnya, sama dengan hubungan seorang kepala rumah tangga dengan rumah
dan keluarganya. Dengan demikan, barangsiapa tidak membalas kebaikan tersebut
dengan ketaatan dan kecintaan yang tulus, berarti ia telah berlaku licik dan lalim.
Kelicikan dan kelaliman ini, jika terjadinya berkaitan dengan nikmat yang banyak,
maka perbuatan tersebut lebih keji dan buruk sekali. Sebab, membalas kenikmatan
114
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 121-122.
67
harus sesuai dengan kedudukannya, dalam ukuran dan manfaatnya, serta berkaitan
dengan kuantitasnya.115
Sebagaimana yang dijelaskan Ibn Miskawayh, jika membalas
kenikmatan itu merupakan perbuatan baik dan kewajiban rakyat terhadap raja dan
para pemimpin kita. Maka jauh lebih benar dan tepat jika rakyat harus membalas
kebaikan Raja Diraja, yang dari-Nya setiap saat manusia menerima berbagai
bentuk anugerah yang tak terhingga, maka manusia harus melaksanakan
kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan.116
Meskipun Sang Pencipta tak pernah
membutuhkan pertolongan dan upaya kita, maka sangat keji dan lalim jika
manusia tidak melaksanakan kewajiban terhadap-Nya, atau manusia tak membalas
nikmat dan anugerah itu dengan perbuatan yang membuat manusia terlepas dari
kelaliman dan manusia telah gagal memenuhi syarat keadilan.117
Dari pemaparan yang begitu panjang di atas Ibn Miskawayh
menyimpulkan bahwa balasan manusia terhadap Allah yang telah memberi
anugerah hidup serta menciptakan alam semesta beserta isinya yang dapat
dimanfaatkan adalah dengan cara bersyukur dan beribadah serta mengikuti
perintahnya dan menjauhi larangannya. Dan alangkah lalimnya jika seseorang
berada di antara orang-orang yang tak mensyukuri dan tak menaati serta berbuat
baik kepada Allah, padahal seseorang sudah menikmati banyak anugerah yang
diberikan oleh Allah kepada makhluk-Nya.
115
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 122. 116
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 122. 117
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 122-123.
68
C. Keadilan Merupakan Watak Jiwa
Ibn Miskawayh berpendapat bahwa watak jiwa bukan merupakan
perbuatan, bukan pengetahuan, dan bukan daya. Dikatakan bukan perbuatan
karena hal ini telah dijelaskan pada kitab Tahdzīb al-Akhlāq dalam bab keadilan,
bahwa perbuatan dapat terjadi tanpa watak jiwa seperti dalam kasus orang yang
melakukan perbuatan-perbuatan adil tapi dia bukan orang yang adil, atau orang
yang melakukan perbuatan berani namun ia bukan pemberani. Ia juga berbeda
dari daya dan pengetahuan, karena daya dan pengetahuan masing-masing sama
bagi dua hal yang berlawanan, yaitu pengetahuan tentang dua hal berlawanan itu
sama, demikian pula daya bagi dua hal berlawanan. Tetapi watak yang baik bagi
satu dari dua hal berlawanan berbeda dengan watak yang baik bagi yang lain.
Misalnya, watak si pemberani berbeda dengan watak pengecut. Demikian pula,
watak sederhana berbeda dengan watak rakus, dan watak adil berbeda dengan
watak lalim.118
Selain itu menurut Ibn Miskawayh, keadilan dan murah hati dilakukan
dalam lingkup transaksi, penerimaan dan pembayaran. Hanya saja keadilan terjadi
dalam hal mencari uang yang sesuai dengan faktor-faktor yang telah dijelaskan di
atas. Sementara itu, murah hati terjadi dalam hal membelanjakan uang yang sesuai
dengan faktor-faktor yang juga telah dijelaskan di atas. Diibaratkan orang yang
mencari uang adalah mengambil, maka ia dikatakan sebagai orang yang pasif.
Sedangkan orang yang membelanjakan adalah memberi, maka ia dikatakan
118
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 126.
69
sebagai orang yang aktif.119
Karena inilah, maka kecintaan terhadap orang yang
murah hati lebih besar ketimbang kecintaan mereka terhadap orang yang adil,
meskipun keteraturan alam lebih didasarkan pada keadilan daripada
kemurahhatian.
Aristoteles mengakui kebajikan secara samar-samar dalam bentuk
kebebasan yang tidak sempurna. Ia berpendapat bahwa hal itu berarti memberi
“orang-orang yang layak, dalam proporsi dan waktu yang tepat”. Sedang bagi Ibn
Miskawayh, hal itu merupakan keberlebihan terhadap keadilan dan dapat
menghilangkan segala kemungkinan meremehkan keadilan itu sendiri, asalkan
efek prasangkanya terbatas pada orang yang baik itu saja, dan penerima itu sendiri
merupakan suatu pilihan yang layak untuk itu.120
Dengan demikian kemurahhatian
merupakan suatu bentuk keadilan yang aman dari gangguan.
Ciri khas kebajikan terletak pada melakukan kebaikan, bukan pada
menghindari keburukan. Sedangkan ciri khas kecintaan dan pujian orang terletak
pada membelanjakan uang, bukan pada mengumpulkan uang. dengan begitu,
orang yang murah hati adalah orang yang tidak mengagungkan uang, ia
mengumpulkan uang tersebut bukan tanpa tujuan. Namun ia mempergunakan
uang atau harta tersebut sebagaimana mestinya dan dengan sebaik mungkin,
misalnya dengan cara menginfakkannya. Ia pun memperoleh uang tersebut
dengan cara yang benar serta tanpa rasa malas. Oleh karena itu, melalui harta
tersebut ia dapat mencapai keutamaan murah hati.121
Sebab itulah, ia tidak
menghamburkan hartanya secara mubazir, namun juga tidak pelit. Maka tiap
119
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, 126-127. 120
M. M. Syarif, Para Filosof Muslim, h. 95. 121
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 127.
70
orang yang murah hati itu pasti adil, tetapi tidak setiap orang yang adil itu murah
hati.122
D. Keadilan Sebagai Jalan Tengah
Secara umum Ibn Miskawayh memberikan pengertian jalan tengah
adalah keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atau posisi tengah antara
dua ekstrem. Namun, ia cenderung berpendapat bahwa keutamaan moral secara
umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem
kekurangan masing-masing jiwa manusia. Jiwa manusia memiliki tiga bagian,
yaitu jiwa al-bahīmīyyah, jiwa al-ghaḍabīyyah, dan jiwa al-nāṭiqah.
Menurut Ibn Miskawayh, posisi tengah jiwa al- bahīmīyyah adalah al-
„iffah/temperence (kesucian diri), posisi tengah jiwa al- ghaḍabīyyah adalah al-
syajā‟ah/courage (keberanian) dan posisi tengah jiwa al-naṭiqah adalah al-
ḥikmat/wisdom (kebijaksanaan). Adapun gabungan dari posisi tengah ketiga jiwa
tersebut adalah al-„adalah/justice (keadilan). Keempat keutamaan moral tersebut
merupakan pokok. Sedangkan keutamaan lainnya adalah cabangnya. Cabang dari
keempat pokok keutamaan tersebut sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya.
Jenis dan pemahamannya pun dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.123
Ibn Miskawayh berpendapat bahwa setiap keutamaan memiliki dua
ekstrem, yang tengah adalah terpuji dan yang ekstrem adalah tercela. Posisi
tengah yang dimaksud di sini adalah suatu standar atau prinsip umum yang
berlaku bagi manusia. Posisi tengah yang sebenarnya (al-wasaṭ al-ḥaqiqi) adalah
satu, yaitu keutamaan (al-faḍilah). Yang satu di sini diistilahkan sebagai garis
122
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 127-128. 123
Ibn Miskawayh, Tahdzīb Al-Akhlāq (Beirut: Mansyurat Al-Jamal, 2011), h. 45.
71
lurus (al-khaṭ al-mustaqīm). Karena pokok keutamaan ada empat, yaitu kesucian
diri, keberanian, kebijaksanaan dan keadilan. Maka yang tercela ada delapan,
yaitu 1) Nekad (al-taḥawwur/recklessness), 2) Pengecut (al-jubn/cowardice), 3)
Rakus (al-syaraḥ/profligacy), 4) Dingin Hati (al-khumūd/frigidity), 5)
Kelancangan (al-safah/impudence), 6) Kebodohan (al-balah/stupidity), 7) Aniaya
(al-jaur/al-ẓulm/tyranny), dan 8) Teraniaya (al-muhanat/al-inzhilam/servility).124
Menurut Aristoteles, posisi tengah di bidang moral bukan merupakan
proporsi ilmu hitung. Oleh karena itu, Aristoteles berpendapat bahwa posisi
tengah sangat relatif. Meskipun Ibn Miskawayh mengakui adanya sifat relatif bagi
posisi tengah, namun Ibn Miskawayh tidak ingin menjadikan ukuran tengah
tersebut berasal dari perorangan tetapi berupa kaidah umum yang berlaku bagi
setiap orang. Pendapat Aristoteles mengenai alat pengukuran sikap
pertengahan/moral adalah akal125
, sedangkan pendapat Ibn Miskawayh terhadap
alat ukur tersebut adalah akal dan syariat.
Ibn Miskawayh menjabarkan sikap tengah dalam moral (al-wasaṭ fī al-
akhlāq) tidak membawa satu pun ayat al-Qur‟an atau Hadits. Namun demikian,
spirit ajaran jalan tengah ini adalah islami karena memang banyak dijumpai ayat-
ayat al-Qur‟an yang memberi pesan untuk hal tersebut, misalnya tidak boleh kikir
tetapi juga tidak boleh boros, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan.
Ajaran mengenai jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai ajaran yang
mengandung arti dan nuansa dinamis.
124
Ibn Miskawayh, Tahdzīb Al-Akhlāq, h. 164. 125
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics oleh Embun Kenyowati (Bandung: Teraju, 2004), h. 46.
72
Letak dinamikanya terlihat pada tarik-menarik antara kebutuhan,
peluang, kemampuan dan efektivitas. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu
dalam dinamika, mengikuti gerak zaman. Pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pendidikan, ekonomi merupakan pemicu bagi gerak
zaman. ukuran jalan tengah selalu berubah mengikuti perubahan ekstrem
kekurangan dan ekstrem kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang
materi misalnya, si kaya dan si miskin tidak dapat disamakan.
Sebagaimana Ibn Miskawayh yang mengadopsi pemikiran keadilan
Platon, jika keadilan itu telah berhasil dicapai oleh seseorang, maka bagian
jiwanya akan menyinari bagian lainnya, sebab dalam keadilan ini tercapai seluruh
kebajikan jiwa. Pada saat seperti inilah jiwa bangkit dan melakukan perbuatan-
perbuatannya dengan cara yang paling baik. Itulah batas kedekatan manusia yang
berbahagia dengan Tuhannya.126
Mengikuti Platon, Ibn Miskawayh berkata pula bahwa keadilan
menduduki posisi tengah, yang tidak sama dengan kebajikan-kebajikan lain yang
telah dijelaskan di atas. Karena keadilan berada di tengah, sementara kelaliman
berada di kedua ujungnya. Kelaliman berada di dua ujung, yakni merupakan
kelebihan dan kekurangan. Sebab, tindakan lalim tak lain adalah mengupayakan
kelebihan dan kekurangan sekaligus atau mengupayakan kelebihan atas apa yang
memberikan manfaat dan kekurangan atas apa yang memberikan kerugian.127
Oleh karena itu, Ibn Miskawayh berpendapat bahwa orang yang lalim
mempraktekan kelebihan dan kekurangan secara bersamaan. Untuk yang
126
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 124. 127
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 125.
73
mendatangkan manfaat pada dirinya ia memberikan lebih, sedangkan untuk orang
lain ia memberinya kurang. Sementara itu, untuk hal yang merugikan dirinya
seminimal mungkin ia mendapat sedikit, sedangkan orang lain ia berharap
mendapatkan banyak. Maka dari itu, kebajikan-kebajikan yang telah diuraikan di
atas adalah sebagai titik tengah di antara keburukan-keburukan, juga merupakan
batas dan ujungnya. Sebab titik tengah di sini adalah ujung keburukan. Oleh sebab
itu, pada saat seseorang menjauh dari titik tengah, berarti dia semakin dekat pada
keburukan.128
Menurut Ibn Miskawayh keadilan juga dapat diartikan sebagai
persamaan. Artinya, keadilan yang merupakan persamaan pada suatu saat berlaku
pada kuantitas, di saat lain pun berlaku kualitas dan seterusnya. Sebagai contoh,
proporsi antara air dengan udara, misalnya bukan dalam kuantitas tetapi dalam
kualitas. Andai saja hal tersebut dalam kuantitas, maka kedua benda ini harus
sama ukurannya. Namun, dalam hal ini pastilah keduanya akan saling
mengungguli dan salah satunya tentu akan mengurangi, sedangkan yang satunya
lagi akan menjadi substansinya sendiri. Begitu juga pada api dan udara. Jika
masing-masing unsur ini saling meredusir satu dengan yang lainnya, maka akan
hancur leburlah jagat raya ini dalam waktu yang singkat.129
Namun, Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan daya pada masing-
masing unsur tersebut dengan adil. Semuanya saling berupaya, namun yang satu
tidak akan mengatasi yang lainnya secara penuh, tetapi hanya diujung-ujungnya
saja yang bertemu. Adapun totalitasnya tidak dapat saling mengatasi, sebab daya
128
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 125. 129
M. S. Khan, An Unpublished Treatise of Miskawaih On Justice or Risala fi Mahiyat
Al-Adl li Miskawaih, h. 27.
74
mereka adalah sama. Keadilan dalam hal inilah yang dikatakan Nabi Muhammad
bahwa,” Dengan keadilan, berdirilah langit dan bumi”. Jika yang satu lebih kuat
dari yang lainnya, meskipun dengan kekuatan yang lebih sedikit saja, maka yang
lebih kuat itu akan menelan yang kurang kuat dan menguasainya. Oleh karena itu,
maka akan hancur leburlah alam jagat raya ini. Oleh sebab itu, Maha Suci Dia
yang telah menegakkan keadilan.130
Dari berbagai pemaparan di atas, bagi Ibn Miskawayh jelas sekali bahwa
semua kebajikan mencerminkan keseimbangan-keseimbangan dan bahwa
keadilan merupakan nama yang mencakup seluruh kebajikan. Semakin jelas pula,
karena syariat agama menentukan perbuatan-perbuatan sukarela yang merupakan
hasil dari berpikir dan peraturan Ilahi, maka orang yang berpegang teguh pada
syariat agama dalam perbuatannya pasti orang yang adil, dan orang yang
melanggarnya pasti orang yang lalim. Untuk itulah, Ibn Miskawayh mengatakan
bahwa keadilan ini sebutan untuk orang-orang yang berpegang teguh pada syariat
agama. Ibn Miskawayh juga berpendapat, bahwa keadilan adalah sikap jiwa yang
melahirkan kebajikan, dalam artian jika seseorang telah memiliki sikap adil, maka
secara tidak langsung ia pasti akan tunduk dan patuh pada syariat agama dengan
tangan terbuka dan tidak akan menentangnya dengan cara apa pun.131
Demikian yang dimaksud dengan posisi tengah, yakni posisi tengah
adalah keadaan sedemikian rupa sehingga jiwa dapat menempati posisi yang
utama (al-faḍilah). Jika seseorang selalu berusaha menempuh posisi tengah dalam
segala hal, maka sifat-sifat utama, yaitu kesucian diri, keberanian, kebijaksanaan
130
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 126. 131
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 126.
75
dan keadilan akan dapat dihasilkan. Dari penjabaran di atas dapat ditarik benang
merah bahwa ajaran jalan tengah tidak hanya memiliki nuansa dinamis namun
juga memiliki nuansa fleksibel. Karena itu, posisi pertengahan dapat berlaku
seterusnya sesuai dengan tantangan zaman dan tanpa menghilangkan nilai-nilai
esensial dari keutamaan moral.
Perbedaan yang cukup mencolok dari Aristoteles dengan Ibn Miskawayh
adalah landasan untuk memperoleh posisi tengah atau keutamaan. Aristoteles
hanya menyebut akal, sedangkan Ibn Miskawayh menyebut akal dan syariat. Ibn
Miskawayh menyatakan bahwa akal dan syariat menempati posisi penting pada
tempatnya masing-masing. Akal berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah
jiwa al-nāṭiqah, sedangkan syariat berfungsi efektif untuk terciptanya posisi
tengah jiwa al-bahīmīyyah dan jiwa al-ghaḍabiyyah.
Mengenai keadilan politik, Ibn Miskawayh terpengaruh pula oleh
pemikiran politik failasuf Yunani, terutama Platon dan Aristoteles. Ibn
Miskawayh menegaskan bahwa yang dapat menjaga tegaknya syari‟at Islam
adalah imam yang kekuasaanya seperti kekuasaan raja. Penguasa yang berpaling
dari agama adalah penjajah (mutaghalib).132
Penguasa semacam ini tidak berhak
disebut sebagai raja. Raja adalah pengawal utama aturan-aturan Tuhan dan
menjaga agar masyarakat tetap berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama.
Oleh karena itu, Ibn Miskawayh berpendapat bahwa antara agama dan
negara tidak dapat dipisahkan. Agama dan kerajaan ibarat dua saudara kembar
atau dua sisi mata uang yang sama (two side of the same coin), yang satu tidak
132
Maftukhin, Filsafat Islam, h.130.
76
dapat sempurna tanpa yang lain. Raja yang berkuasa berkewajiban menjaga
tegaknya agama, melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh, tidak lengah, dan
tidak mengejar kenikmatan pribadi. Raja yang melampaui batas kewenangannya
akan mengakibatkan kelemahan dan kerusakan. Rakyat menjadi sengsara dan
kebahagiaan tidak pernah didapat. Oleh karenanya raja yang demikian harus
diganti dengan raja yang adil.133
133
Maftukhin, Filsafat Islam, h.131.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berbicara mengenai keadilan erat sekali kaitannya dengan jiwa. Karena
jiwa merupakan dasar dari terwujudnya keadilan. Ibn Miskawayh membagi jiwa
menjadi tiga daya: pertama daya rasional atau jiwa rasional (al-nafs al-nāṭiqah)
pusat daya ini terletak di bagian otak, kedua daya emosi atau jiwa emosi (al-nafs
al sabu‟īyah/ al-nafs al-ghaḍabīyyah) pusat daya ini terletak di bagian jantung,
dan ketiga daya syahwat atau nafsu syahwat (al-nafs al-bahīmīyyah) pusat daya
ini terletak di bagian hati. Hal ini tidak jauh berbeda seperti kodrat jiwa yang
disajikan oleh Platon. Daya syahwat adalah daya jiwa yang paling rendah, daya
emosi yang paling tengah dan daya rasional yang paling terhormat.
Menurut Ibn Miskawayh, posisi tengah jiwa al- bahīmīyyah adalah al-
„iffah/temperence (kesucian diri), posisi tengah jiwa al- ghaḍabīyyah adalah al-
syajā‟ah/courage (keberanian) dan posisi tengah jiwa al- nāṭiqah adalah al-
ḥikmat /wisdom (kebijaksanaan). Adapun gabungan dari posisi tengah ketiga jiwa
tersebut adalah al-„adalah/justice (keadilan). Jadi, keadilan (al-adalat) adalah
gabungan dari tiga keutamaan al-nafs. Dengan demikian, manusia tidak akan
dikatakan adil jika ia tidak mengetahui cara menggabungkan antara al- ḥikmat
(kebijaksanaan), al- syajā‟ah (keberanian) dan al-„iffah (kesucian diri).
Ibn Miskawayh membagi keadilan menjadi tiga macam, yaitu: Pertama,
keadilan alam (al-„adl al-ṭhabi‟i/natural justice). Kedua, keadilan manusia (al-
78
„adl al-wad‟i/conventional justice). Ketiga, keadilan Tuhan (al-ilahi/divine
justice). Dalam pandangan Ibn Miskawayh, keadilan Tuhan/Ilahi eksis dalam
alam immateri sedangkan keadilan alam hanya eksis dalam alam materi. Ibn
Miskawayh juga memberikan ilustrasi untuk menggambarkan perbandingan moral
seperti sebuah garis lurus. Pendapat Ibn Miskawayh terhadap alat ukur moral
adalah akal dan syariat.
Seperti halnya Aristoteles, Ibn Miskawayh juga berpendapat bahwa
manusia yang adil bukan hanya memperoleh keseimbangan atau harmoni pribadi
melainkan juga dengan orang lain. Adapun bidang-bidang keadilan dalam
kaitannya dengan orang lain dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama, keadilan dalam
pembagian uang atau kehormatan. Kedua, keadilan dalam pembagian transaksi
seperti jual beli. Ketiga untuk keadilan dalam kaitannya dengan transaksi yang
tidak disengaja, yang di dalamnya terdapat ketidakadilan.
Ibn Miskawayh berpendapat bahwa semua kebajikan mencerminkan
keseimbangan-keseimbangan dan bahwa keadilan merupakan nama yang
mencakup seluruh kebajikan. Maka, keadilan adalah sikap jiwa yang melahirkan
kebajikan. Demikian pula yang dimaksud dengan posisi tengah, yakni posisi
tengah adalah keadaan sedemikian rupa sehingga jiwa dapat menempati posisi
yang utama (al-faḍilah). Karena itu, posisi pertengahan dapat berlaku seterusnya
sesuai dengan tantangan zaman dan tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari
keutamaan moral.
79
Mengenai keadilan politik, Ibn Miskawayh terpengaruh pula oleh
pemikiran politik failasuf Yunani, terutama Platon dan Aristoteles. Ibn
Miskawayh menegaskan bahwa yang dapat menjaga tegaknya syari‟at Islam
adalah imam yang kekuasaanya seperti kekuasaan raja. Raja adalah pengawal
utama aturan-aturan Tuhan dan menjaga agar masyarakat tetap berpegang teguh
kepada ajaran-ajaran agama. Oleh karena itu, Ibn Miskawayh berpendapat bahwa
antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan.
B. Saran
Kontribusi Ibn Miskawayh bagi pemahaman akhlak khususnya dalam
etika Islam yang religius serta rasional begitu layak sekali untuk ditindaklanjuti
sebagai suatu kajian yang semestinya diteruskan dalam penelitian ke depannya.
Pemikirannya tentang keadilan diharapkan dapat diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari baik bagi setiap individu maupun seluruh lapisan
masyarakat.
Dengan demikian, penulis menyadari terbatasnya penelitian ini
dikarenakan masih banyak sekali pemikiran Ibn Miskawayh yang harus
dikembangkan. Maka dari itu, sangat dianjurkan untuk penelitian selanjutnya
menggunakan karya-karya Ibn Miskawayh secara lengkap agar penelitian yang
dilakukan memperoleh hasil yang maksimal.
80
DAFTAR PUSTAKA
Alfan, Muhammad. Filsafat Etika Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2011
Amin, Osman. Lights on Contemporary Moslem Philosophy. Kairo: The
Renaissance Bookshop. 1958
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika terj. dari The
Nichomachean Ethics oleh Embun Kenyowati. Bandung: Teraju. 2004
Dahlan, Abdul Aziz et.al (eds). Ensiklopedi Hukum Islam Jilid I. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve. 1996
Darmaji, Agus. “Laporan Penelitian Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn
Miskawayh”. Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 1999
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. 1995
Dasoeki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: CV Toha
Putra. 1993
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1992
Friedmann, W. Legal Theory oleh Muhamad Arifin. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 1994. Cet II
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius. 1980
Hasan, Mustofa. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 2015
Hasbullah, Moeflih. Filsafat Sejarah. Bandung: Pustaka Setia. 2012
Leaman (ed), Seyyed Hossein Nasr dan Oliver. Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam Buku Pertama terj. dari History of Islamic Philosophy. Bandung:
Mizan. 2003. Cet. I
81
M. S. Khan. An Unpublished Treatise of Miskawaih On Justice or Risala fi
Mahiyat Al-Adl li Miskawaih. Leiden: E. J. Brill. 1964
Maftukhin. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras. 2012
Miskawayh, Ibn. Menuju Kesempurnaan Akhlak terj. dari Tahdzib Al-
Akhlaq oleh Helmi Hidayat. Bandung: Mizan: 1998. Cet. IV
_____________. Tahdzīb Al-Akhlāq. Beirut: Mansyurat Al-Jamal. 2011
Muhaimin. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Fajar Interpratama
Offset. 2005
Najati, Muhammad Utsman. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim.
Bandung. Pustaka Hidayah. 2002
Nasution, Hasyimiyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2013.
Cet. VI
Plato. Republic. terjemahan dari The Republik oleh Syivester G. Sukur. Jakarta:
PT Buku Seru. 2001. Cet I
Platon. Lysis (Tentang Persahabatan) terj. oleh A. Setyo Wibowo. Yogyakarta:
Kanisius. 2015
Rapar, J. H. Filsafat Politik Plato Aristoteles Augustinus Machiavelli. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. 2002
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia. 2016
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya.
Bandung: CV Pustaka Setia. 2013
Syarif, M. M. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan. 1996
82
Tim Nuansa, Plato: Filosof Yunani Terbesar. Bandung: Nuansa. 2009
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: PT Kanisius.
2004
Wibowo, A. Setyo. Arete. Yogyakarta: PT Kanisius. 2010
Wibowo, A. Setyo. Paideia. Yogyakarta: PT Kanisius. 2017
Widjajanti, Rosmaria Sjafariah, SS. Etika. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. 2008. Cet. I
Yatim, Badri. Historitografi Islam. Ciputat: Logos Wacana Ilmu. 1997
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus wa
Dzurriyyah. 2009
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Press.
2012