BAB I
STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
Nama Mahasiswa : Muhammad Ario Bagus Baskoro
NIM : 030.07.168
Dokter Pembimbing : dr. Mas Wishnuwardana, Sp.A
I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah
Nama An. R Tn. T
Tanggal Lahir / Umur 2 tahun 40 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki
Alamat Jln. Kali Baru, Kota Baru, BekasiBarat
Agama Islam Islam
Suku Bangsa Sunda Sunda
Pendidikan Belum Sekolah SD
Pekerjaan - Buruh
Tanggal Masuk 26 December 2012
Keterangan Hubungan dgn orangtua anak kandung.
I. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 29 December 2012, pukul 20.00 WIB,
dengan bapak pasien.
1
A. Keluhan utama
BAB cair sejak 1 minggu SMRS
B. Keluhan tambahan
Muntah dan lemas
C. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang atas rujukan Puskesmas Kota Baru dengan keluhan BAB cair sejak 1
minggu SMRS. Frekuensi BAB lebih dari 10 kali per hari, jarak antara BAB sekitar
setengah jam, konsistensi BAB encer, warna dempul keluar sedikit-sedikit, berlendir, tidak
ampas maupun darah.
Keluhan pasien disertai muntah, muntah dirasakan setelah 2 hari sakit muntah berisi
makanan. Pasiem juga merasa lemas. Demam, kejang, batuk pilek disangkal orang tua
pasien. BAK pasien tidak ada keluhan.
Sebelumnya, pasien sudah berobat ke Puskesmas dan diberi pengobatan. Namun
dikarenakan tidak ada perubahan , pasien dibawa ke UGD RSUD Kota Bekasi dan
disarankan untuk dirawat.
D. Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat alergi
maupun riwayat kejang sebelumnya disangkal.
E. Riwayat penyakit keluarga
Ibu pasien meninggal positif hiv.
F. Riwa yat kehamilan dan persalinan
Kehamilan :
Perawatan antenatal : Tidak tahu
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Kelahiran :
Tempat kelahiran : Rumah Bersalin
Ditolong oleh : Bidan
2
Cara persalinan : Normal
Masa gestasi : 11 bulan
Keadaan bayi
Berat lahir : 3500 gram
Panjang badan lahir : 49 cm
Langsung menangis : Ya
Pucat : Tidak
Biru : Tidak
Kuning : Tidak
Kejang : Tidak
Nilai Apgar : Tidak Tahu
Kelainan Bawaan : Tidak ada
Anak ke : Kedua
G. Susunan keluarga
Pasien adalah anak kedua dari dua bersaudara.
H. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Pertumbuhan Gigi I : ±7 bulan
Motorik Kasar
o Tengkurap : ±5 bulan
o Duduk : ±7 bulan
o Merangkak : ±9 bulan
o Berdiri bila dipegang : ±9 bulan
o
Motorik Halus
Pasien sudah dapat memegang benda-benda sejak berusia ±8 bulan
Bahasa
Pasien sudah mengoceh “mama” sejak berusia ±9 bulan
3
Sosial
Pasien sudah mulai mengenali ayah ibunya sejak ±9 bulan dan dapat berinteraksi.
Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal.
I. Riwayat gizi dan makanan
Umur ASI/PASI Buah/Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0-2 bln √
2-4 bln √
4-6 bln √
6-8 bln √ √
8-10 bln √ √ √
Kesan: Riwayat gizi cukup
J. Riwayat imunisasi
Vaksin Waktu pemberian
Hepatitis B Sewaktu lahir, 1 bulan dan 6 bulan
BCG Bulan pertama
DPT 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan
Polio 6 hari, 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan
Campak Umur 9 bulan
Kesan: Riwayat imunisasi cukup
K. Riwayat sosial ekonomi
Pasien berasal dari keluarga ekonomi rendah. Ayah pasien bekerja sebagai tukang ojeg.
II. Pemeriksaan Fisik (27 December 2012)
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah: tidak dilakukan
Nadi : 100x/menit
Suhu : 36,3°C
Laju nafas : 32x/menit
4
Berat badan : 7kg
Tinggi badan : 72 cm
Status generalis
Kulit : Warna kuning kecoklatan, turgor kulit berkurang
Kepala : Bentuk tidak ada kelainan, rambut hitam distribusi merata, tidak teraba benjolan.
Mata : Bentuk tidak ada kelainan, kedudukan bola mata simetris, kelopak mata cekung,
konjungtiva tidak anemis dan tidak hiperemis, sklera tidak ikterik,
Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang
Hidung : Bentuk tidak ada kelainan, septum nasal tidak deviasi, sekret (-)
Mulut : Bentuk tidak ada kelainan, bibir merah muda kering, tidak sianosis, lidah tidak
kotor tepi tidak hiperemis, tonsil dan faring sukar dinilai,
Leher : Bentuk tak ada kelainan,kaku kuduk(-),KGB tidak teraba membesar
Thorax
Paru
Inspeksi : simetris pada kedua hemithorax, retraksi iga (-/-)
Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : tampak sedikit membuncit, tidak tampak gambaran usus dan pelebaran vena
Auskultasi : bising usus (+) meningkat
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-), tidak teraba pembesaran hati&lien, turgor kulit
berkurang
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Genitalia eksterna : Laki -laki tidak ada kelainan
Ekstremitas : Akral hangat, deformitas (-), udem (-/-), sianosis (-/-), rash - , petechiae –
5
Status Neurologis
Refleks Babinsky : -/-
Refleks Brudzinsky I : -/-
Refleks Brudzinsky II : -/-
Kaku Kuduk : (-)
Kernig : -/-
Refleks patella : Normal
Refleks tendo biceps : Normal
Refleks triceps : Normal
Refleks achilles : Normal
III. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah pada tanggal 27 December 2012, Pk.13.30 WIB :
Darah Rutin Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 11,1 gr/dl 11-16
Leukosit 7.900 /mm3 5.000-10.000
Trombosit 216.000 /mm3 150.000-400.000
Hematokrit 34,7 % 40-48
Elektrolit Hasil Satuan Nilai Normal
Na 133 meq/L 135-145
K 1.6 meq/L 3,5-5,0
Cl 92 meq/L 94-111
GDS Mg/dL Nilai Normal
198 Mg/dL 60-100
Eritrosit 5,60 4-5 jt/uL
6
Imunoserologi Hasil Nilai Normal
Tahap I Reaktif SD Non Reaktif
Tahap II Reaktif Insec Non Reaktif
Tahap III Reaktif Fokus Non Reaktif
IV. Resume
Pasien seorang anak laki-laki umur 2 tahun datang ke UGD RSUD KOTA BEKASI dengan
keluhan BAB cair sejak 1 minggu SMRS. BAB lebih dari 10 kali per hari, encer, warna kuning,
ampas (-), lendir (+), darah (-). Keluhan disertai muntah dan pasien merasa lemas, batuk berdahak
(-), pilek (-).
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, nadi 100x/menit, RR
32x/menit, SB 36,3oC. Dari pemeriksaan fisik abdomen didapat bising usus (+) meningkat, turgor
kulit berkurang. Dari hasil laboratorium elektrolit Na 133 meq/l, K 1,6 meq/l CL 92 meq/l. gds 196
mg/dl serta imunoserologi AntiHIV reaktif positif.
V. Diagnosis Kerja
HIV
VI. Penatalaksanaan
- IVFD KaEN 3B 25 tpm
- Cotrimoxazole syrup 2 x 1 cth
- Zinkid syrup 1 x 1 cth
- L-Bio 2 x 1 sachet
- Ranitidine 2x0,3 cc
- Koreksi kalium 2x3x0,3 =5 meq (KCL)
VII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia
7
Analisis Kasus
Pasien ini didiagnosis HIV berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.. keluhan diare yang dirasa sejak 1minggu SMRS. muntah pada 4 hari SMRS,Lemes
Pemeriksaan fisik HR: 100x/menit, RR: 32x/menit, Suhu: 36,3oC, bising usus (+)
meningkat, turgor kulit berkurang. Dari hasil laboratorium elektrolit Na 133 meq/l, K 1,6 meq/l
CL 92 meq/l. gds 196 mg/dl serta imunoserologi AntiHIV reaktif positif
Pada pasien ini didapatkan gejala inisial seperti diare dan adanya faktor risiko yaitu orang
tua pasien meninggal + HIV serta pada pemeriksan laboratorium didapatkan anti HIV reaktif
positif.
Pada HIV, sindroma retrovirus akut. Infeksi HIV terbanyak melalui infeksi Ibu-anak yang
diturunkan melalui kehamilan kelahiran dan menyusui. Pada HIV anak pemeriksaan fisik biasanya
normal. Dapat ditemukan gejala inisial dapat sangat sedikit, seperti limfadenopati,
hepatosplenomegali, atau yang tidak spesifik seperti kegagalan untuk tumbuh diare rekuren atau
kronis, pneumonia interstitial.
8
TINJAUAN PUSTAKA
HIV
2.1 ETIOLOGI
Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency Virus (HIV)
adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae.Sampai sekarang baru
dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated
virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di
Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai
penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-
lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.
Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun
1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986
nama virus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli
merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target.
Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang
disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain,
dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh
pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama
hidup penderita tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic
Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan
glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor
yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel
glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin). Sedangkan gp 41 atau
disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat
berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu
membentuk sinsitium. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV
termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah
dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV
dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.
9
2.2 PATOFISIOLOGI INFEKSI HIV
Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem imun
akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel Thelper yang memiliki
reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi penting sel
T helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan
pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga penurunan sel T
CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah terinfeksi.
Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel dendritik.
Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut ke sel-sel
limfoid. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4.
Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada
permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, sehingga
limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi HIV. Limfosit-
limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan tampak sebagai limfadenopati dari
sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja dan orang dewasa. HIV akan menginfeksi sel
CD4 yang sangat berespon terhadapnya sehingga kehilangan respon dan kontrol pertumbuhan
terhadap HIV. Ketika replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6 minggu sejak infeksi) akan terjadi
viremia yang tampak secara klinis sebagai flulike syndrome (demam, rash, limfadenopati, atrhralgia)
terjadi 50-70% pada orang dewasa. Dengan terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-
4 bulan, muatan virus dalam darah mengalami penurunan secara substansial, dan pasien memasuki
masa dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit.
Replikasi HIV-1 permulaan pada anak tidak menunjukkan adanya manifestai klinis pada
anak. Walaupun di tes dengan menggunakan PCR atau isolasi virus untuksequence asam nukleat dari
virus.
Beberapa mekanisme yang diduga berhubungan dengan turunnya kadar CD4 pada orang
dewasa dan anak-anak ialah mekanisme-mekanisme dari HIV-mediated single cell killing, formasi
multinukleus dari sel giant pada CD4 baik yang terinfeksi maunpun yang tidak (formasi syncytia),
respon imun spesifik untuk virus (sel natural killer, sitotoksisitas seluer tergantung antibodi), aktivasi
mediasi superantigen sel T (membuat sel T lebih peka terhadap HIV), autoimun dan apoptosis.
Ada 3 pola penyakit ditemukan pada anak-anak. Tepatnya 15-25% bayi baru lahir yang
terinfeksi HIV pada negara berkembang muncul dengan perjalanan penyakit yang cepat, dengan
gejala dan onset AIDS dalam beberapa bulan pertama kehidupan, median waktu ketahanan hidup
ialah 9 bulan jika tidak diobati. Pada negara miskin, mayoritas bayi baru lahir akan mengalami
perjalanan penyakit seperti ini. Telah diketahui bahwa infeksi intrauterin bertepatan dengan periode
pertumbuhan cepat CD4 pada janin. Migrasi yang normal dari sel-sel ini menuju ke sumsum tulang,
limpa, dan timus yang menghasilkan penyebaran sistemik HIV, tidak dapat dicegah oleh sistem imun
yang imatur dari janin. Infeksi dapat terjadi sebelum pembentukan ontogenik normal sel imun, yang
mengakibatkan gangguan dari imunitas. Anak-anak dengan keadaan seperti ini menunjukkan hasil
tes PCR yang positif (nilai median 11.000 kopi/ml) pada 48 jam pertama kehidupan. Bukti ini
menunjukkan terjadinya infeksi inuterin. Muatan virus akan terus meningkat dalam 2-3 bulan
10
(750000kopi/ml) dan menurun secara perlahan. Berbeda dengan orang dewasa bahwa muatan virus
pada anak-anak tetapi tinggi selama 1-2 tahun pertama.
Infeksi perinatal mayoritas yang terjadi di negara berkembang (60-80%) mengalami pola
penyakit yang kedua ini, yang mempunyai perjalanan penyakit yang lebih lambat, dengan median
ketahanan hidup selama 6 tahun. Banyak pasien dengan penyakit ini memiliki tes kultur yang negatif
dalam 1 minggu pertama kehidupan dan dipertimbangkan sebagai pasien bayi yang terinfeksi
intrapartum. Pada pasien mauatn virus akan meningkat dengan cepat dalam 2-3 bulan pertama
kehidupan (median 100.000 kopi/ml) dan menurun secara lambat setelah 24 bulan. Ini berbeda
dengan orang dewasa dimana muatan virus berkurang dengan cepat setelah infeksi primer.
Pola ketiga dari perjalanan penyakit (long-term suvivors) muncul dalam jumlah kecil (<5%),
dan infeksi virus yang cacat (adanya defek pada gen virus). Perubahan sistem imun anak-anak karena
infeksi HIV akan menyerupai infeksi HIV pada orang dewasa. Penurunan sel T akan kurang dramatis
disebabkan karena pada bayi terjadi limfositosis relatif. Sebagai contoh, jumlah CD4 1.500 sel/mm3
pada anak.
Aktivasi sel B muncul pada infeksi awal pada kebanyakan anak sebagai bukti
hipergammaglobulinemia dengan kadar antibodi anti-HIV-1 yang tinggi. Respon ini memperlihatkan
adanya disregulasi dari supresi sel T dari sintesis antibodi sel B dan peningkatan jumlah CD4 aktif
dari respon humoral sel limfosit B. Disregulasi dari sel B mendahului berkurangnya CD4 pada
kebanyaka anak, dan dapat berguna sebagai alat bantu diagnosis infeksi HIV pengganti bila tes
diagnosis spesific (PCR, kultur) tidak ada atau terlalu mahal. Meskipun peningkatan kadar
imunoglobulin, bukti dari produksi antibodi spesifik tidak muncul pada beberapa anak.
Hipogamaglobulinemia sangat jarang.
Pengaruh terhadap sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan orang
dewasa. Makrofag dan mikroglia mempunyai peran penting dalam dalam neuropatogenesis HIV, dan
dari data dilaporkan astrosit juga dapat berpengaruh. Meskipun mekanisme pada sistem saraf pusat
belum begitu jelas, pertumbuhan otak pada bayi muda dipengaruhi 2 mekanisme, yaitu virus itu
sendiri yang dapat menginfeksi bermacam-macam sel otak secara langsung ,atau secara tidak
langsung dengan cara mengeluarkan sitokin (IL-1α, IL-1, TNF- α, IL-2) atau oksigen reaktif dari
limfosit atau makrofag yang terinfeksi HIV.
Perjalanan Penyakit
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut :
- Infeksi virus(2-3 minggu)
- Sindrom retroviral akut (2-3 minggu)
- Gejala menghilang + serokonversi
- Infeksi kronis HIV-asimtomatik (rata-rata 8 tahun)
- Infeksi HIV/AIDS simtomatik (rata-rata 1,3 tahun)
11
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut Sindrom retroviral akut atauAcute
Retroviral Syndrome. Sindrom retroviral akut diikuti oleh penurunan CD4 dan peningkatan kadar
RNA HIV dalam plasma (viral load). Hitung CD4 perlahan-lahan akan menurun dalam beberapa
tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5-2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam
keadaan AIDS. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian turun
sampai titik tertentu. Dengan berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan akan meningkat. Pada
fase akhir penyakit akan ditemukan hitung sel CD4<200/mm3, diikuti timbulnya infeksi
opportunistik, munculnya kanker tertentu, berat badan menurun, dan munculnya komplikasi
neurologis. Tanpa obat ARV rata-rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun >3 ialah 3,7 tahun.
Window period adalah masa dimana pemeriksaan tes serologis untuk antibodi HIV masih
menunjukka hasil negatif sementara sebenarnya virus sudah ada dalam jumlah banyak dalam darah
penderita. Window period menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena pada masa itu orang
dengan HIV sudah mampu menularkan kepada orang lain misalnya melalui darah yang didonorkan,
bertukar jarum suntik pada IDU atau melalui hubungan seksual. Sebenarnya pada saat itu
pemeriksaan laboratorium telah mampu mendeteksinya karena pada window period terdapat
peningkatan kadar antigen p24 secara bermakna.
2.3 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi bervariasi antara bayi, anak-anak dan remaja. Pada kebanyakan
bayi pemeriksaan fisik biasanya normal. Gejala inisial dapat sangat sedikit, seperti limfadenopati,
hepatosplenomegali, atau yang tidak spesifik seperti kegagalan untuk tumbuhm diare rekuren atau
kronis, pneumonia interstitial. Di Amerika dan Eropa sering terjadi gangguan paru-paru dan
sistemik, sedangkan di Afrika lebih sering terjadi diare dan malnutrisi.
Terdapat berbagai klasifikasi klinis HIV/AIDS 2 diantaranya menurut enter for Disease
Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO).
Klasifikasi HIV menurut CDC pada anak menggunakan 2 parameter yaitu status klinis dan
derajat gangguan imunologis, lihat tabel 2.1 dan tabel 2.2.
DEFINISI STATUS
IMUNOLOGIS
KATEGORI IMUNOLOGIS
JUMLAH CD4+ DAN PERSENTASI TOTAL LIMFOSIT
TERHADAP USIA
<> 1-5 tahun 6-12 tahun
µL % µL % µL %
1. Nonsuppressed ≥ 1500 ≥ 25 ≥ 1000 ≥ 25 ≥ 500 ≥ 25
2. Moderate suppression 750-1499 15-24 500-999 15-24 200-499 15-24
3. Severe suppression <> <15 <> <15 <> <15
Tabel 2.1 Klasifikasi HIV pada Anak Kurang dari 13 Tahun Berdasarkan Jumlah CD4 dan
Persentasi Total Limfosit Terhadap Usia(
Klasifikasi Secara Klinis
12
1. Nonsuppressed N1 A1 B1 C1
2. Moderate suppression A2 C2 B2 C2
3. Severe suppression A3 C3 B3 C3
Tabel 2.2 Klasifikasi HIV menurut CDC pada Anak Kurang dari 13 Tahun Secara Klinis
Kriteria klinis untuk infeksi HIV pada anak-anak kurang dari 13 tahun.
Kategori N : pasien-pasien asimptomatik. Tidak ditemukan tanda maupun gejala yang
menunjukkan adanya infeksi HIV, atau pasien hanya dapat ditemukan satu bentuk kelainan
berdasarkan kategori A.
Kategori A : pada pasien dapat ditemukan dua atau lebih kelainan, tetapi tidak termasuk kategori B
atau C :
- Lymphadenopathy (≥ 0.5 cm pada dua tempat atau lebih, dua KGB yang bilateral dianggap
sebagai satu kesatuan).
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Dermatitis
- Parotitis
- URTI berulang atau persisten
Kategori B: moderately symptomatic. Pasien menunjukkan gejala-gejala yang tidak termasuk ke
dalam keadaan-keadaan pada kategori A maupun C, dan gejala-gejala yang terjadi merupakan
akibat dari terjadinya infeksi HIV
- Anemia
- Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis (terjadi dalam satu episode).
- Candidiasis orofaring yang terjadi lebih dari dua bulan pada anak-anak berusia enam bulan
atau kurang.
- Kardiomiopati.
- Infeksi CMVyang terjadi lebih dari satu bulan.
- Diare
- Hepatitis
- Stomatitis yang disebabkan oleh HSV (rekuren, minimal terjadi 2 kali dalam satu tahun).
- Bronkitis yang disebabkan oleh HSV, pneumonitis, atau esofagitis yang terjadi sebelum usia
satu bulan.
- Herpes zoster yang terjadi dalam dua episode berbeda pada satu dermatom.
- Leiomyosarcoma
- Pneumonia limfoid interstitiel, atau hiperplasia kelenjar limfoid pulmonal kompleks.
- Nefropati.
- Nocardiosis.
- Demam yang berlangsung selama satu bulan atau lebih.
- Toksoplasmosis yang timbul sebelum usia satu bulan.
13
- Varicella diseminata atau dengan komplikasi.
Kategori C: pasien-pasien dengan gejala-gejala penyakit yang parah dan ditemukan pada pasien
AIDS.
- Kandidiasis bronki, trakea, dan paru
- Kandidiasis esofagus
- Kanker leher rahim invasif
- Coccidiomycosis menyebar atau di paru
- Kriptokokus di luar paru
- Retinitis virus sitomegalo
- Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV
- Herpes simpleks dan ulkus kronis > 1 bulan
- Bronkhitis, esofagitis dan pneumonia
- Histoplasmosis menyebar atau di luar paru
- Isosporiasi intestinal kronis > 1 bulan
- Sarkoma Kaposi
- Limfoma Burkitt
- Limfoma imunoblastik
- Limfoma primer di otak
- Mycobacterium Avium Complex (MAC) atau M. Kansasii tersebar di luar paru
- M. Tuberculosis dimana saja
- Ikobacterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal tersebar atau di luar paru
- Pneumonia Pneumoncystitis carinii
- Pneumonia berulang
- Leukoensefalopati multifokal progresif
- Septikemia salmonella yang berulang
- Toksoplasmosis di otak
Sedangkan klasifikasi WHO pada anak ialah :
Stadium Klinis 1
Tanpa gejala (asimtomatis)
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2
Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani
Erupsi papular pruritis
Infeksi virus kutil yang luas
Moluskum kontagiosum yang luas
Infeksi jamur di kuku
Ulkus mulut yang berulang
Pembesaran parotid persisten tanpa alasan
Eritema lineal gingival (LGE)
14
Herpes zoster
Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore, sinusitis,
atau tonsilitis)
Stadium Klinis 3
Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku
Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)
Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus, lebih dari
1 bulan)
Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu)
Oral hairy leukoplakia (OHL)
Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut
Tuberkulosis pada kelenjar getah bening
Tuberkulosis paru
Pneumonia bakteri yang parah dan berulang
Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala
Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis
Anemia (<8g/dl),>
Stadium Klinis 4
Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi yang parah tanpa alasan dan tidak
menanggapi terapi
yang baku
Pneumonia Pneumosistis (PCP)
Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi tulang atau sendi,
atau meningitis,
tetapi tidak termasuk pneumonia)
Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan atau viskeral pada
tempat apa pun)
Tuberkulosis di luar paru
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)
Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ lain, yang
mulai pada usia lebih
dari 1 bulan)
Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)
Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis)
Kriptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis
Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B
15
Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV
2. 4 DIAGNOSIS
Seperti penyakit lain, diagnosis HIV lain juga ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah :
1. Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV
Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap mempertahankan status
seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya respon antibodi ibu yang ditransfer secara
transplacental. Selama priode ini, hanya anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan mengalami
respon serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme
immunoassays (EIA),immunofluorescent assays (IFA) atau HIV-1 antibody western blots (WB).
2. Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV
3. Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV
4. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika)
5. Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual.
Gejala klinis yang sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada bagian manifestasi klinis.
Sedangkan untuk diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium.
Tes untuk mendiagnosis virus harus dilakukan dalam 48 jam kehidupan pertama. Hampir 40% bayi
dapat didiagnosis pada masa ini. Disebabkan karena banyak bayi yang terinfeksi HIV mempunyai
perkembangan penyakit yang cepat sehingga memerlukan terapi yang progresif pula. Pada anak yang
terpapar HIV dengan tes virologis yang negatif pada 2 hari pertama, beberapa pendapat mengusulkan
perlu untuk dilakukan pemeriksaan kembali pada hari ke-14 untuk memaksimalkan deteksi dari virus
ini.
Terdapat beberapa tes HIV yang cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik.
Kebanyakan dari tes-tes ini hanya membutuhkan satu step pengambilan sampel dan hasilnya didapat
lebih cepat pada 2 hari pertama kehidupan, dan > 90% pada usia > 2 minggu kehidupan. Uji RNA
HIV plasma, yang mendeteksi replikasi virus lebih sensitif daripada PCR DNA untuk diagnosis
awal, namun data yang menyatakan seperti itu masih terbatas. Kultur HIV mempunyai sensitivitas
yang hampir sama dengan PCR HIV DNA, namun tekniknya lebih sulit dan mahal, dan hasilnya sulit
didapat pada beberapa minggu, dibandingkan dengan PCR yang membutuhkan hanya 2-3 hari. Uji
antigen p24 bersifat lebih spesifik dan mudah untuk dilakukan namun kurang sensitif dibandingkan
dengan uji virologis lainnya.
Seorang bayi yang terpapar oleh virus HIV dapat dinyatakan positif terinfeksi HIV jika pada
pemeriksaan serologis dari 2 (dua) sampel darah yang berbeda pada bayi (tidak termasuk darah yang
berasal dari pusat, karena adanya risiko terkontaminasi oleh darah ibu); baik dua kali hasil positif
pada pemeriksaan kultur HIV darah perifer untuk sel-sel mononuklear (peripheral blood
mononuclear cell (PMBC)), dan/atau satu hasil positif untuk DNA atau RNA polymerase chain
reaction (PCR) assay dan satu hasil postif pada kultur PMBC HIV. Pemeriksaan-pemeriksaan
16
terebut harus dilakukan pada dua waktu yang berlainan pada bayi-bayi yang belum pernah diberi ASI
sebelumnya.
Seorang bayi yang terlahir dari seorang ibu pengidap infeksi HIV dapat dinyatakan tidak
terinfeksi HIV jika tes-tes di atas tetap memberikan hasil negatif sampai usia bayi lebih dari empat
bulan dan bayi tidak mendapat ASI.
2. 5 PENATALAKSANAAN
2.5.1 Terapi Anti Retroviral (ARV)
Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres virus untuk
memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang kronis. Pengobatan infeksi
virus HIV pada anak dimulai setelah menunjukkan adanya gejala klinis. Gejala klinis menurut
klasifikasi CDC. Pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan :
1. Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 atau
persentasenya.
2. Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal, terdapat 2 pilihan :
a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.
b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan penyakit rendah atau
adanya faktor lain misalnya pertimbangan lamanya respon pengobatan, keamanan dan
kepatuhan.
Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah :
1. Peningkatan viral load
2. Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun (Kategori Imun 2
pada tabel 2.1)
3. Timbulnya gejala klinis
Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis HIV
secara dini.
2. Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama sedikitnya 1
tahun
3. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART, pentingnya
kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll.
4. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta untuk
menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART
5. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll.
6. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik akibat HIV
7. Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi
oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.
17
8. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan sebaya.
Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) dan pendampinya.
9. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang
penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebarluaskan informasi
dan pedoman baru.
10. Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.
Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak adalah serupa dengan orang
dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi, balita, dan anak yang
terinfeksi HIV.
Efek obat berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus
tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada anak menjadi tantangan
tersendiri. Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV yang
menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi manfaat
serupa dengan pemberian ART pada orang dewasa.
Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia:
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog nukleosida
yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus
dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC),
Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir (ABC).
2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini berbeda dengan NRTI
walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam golongan ini
termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV).
3. Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong rantai
panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini termasuk
Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV), dan
Lopinavir/ritonavir (LPV/r).
Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah :
Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari
Kolom B
Kolom A Kolom B
Nevirapine (NVP) AZT + ddl
Nelfinavir (NVF) ddl+3TC
d4T + ddl
AZT + 3TC
18
d4T + 3TC
Tabel 2.3 Regimen ART yang diusulkan di Indonesia
Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2 nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NRTIs) atau nevirapine dengan 2NRTIs atau protease inhibitor dengan 2NRTIs. Selain
itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine dengan didanosine atau zidovudine dengan
lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir atau ritonavir. Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-
anak, direkomendasikan beberapa regimen antiretroviral. Protease inhibitor sebagai pilihan utama
dengan 2NRTIs. Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor yang paling direkomendasikan untuk
anak-anak berusia lebih dari tiga tahun adalah 2NRTIs dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau
tanpa protease inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat
mendapat tablet, regimennonnucleoside terpiliih adalah 2NRTIs dengan nevirapine. Alternatif
pemberian regimen terapi nucleoside analogue adalah zidovudine dengan lamivudine dan abacavir.
2.5.2 Pemantauan pengobatan
Pemantauan pengobatan diperlukan untuk melihat :
1. Kepatuhan minum obat.
2. Gejala baru yang timbul akibat efek samping obat maupun dari perjalanan penyakit itu sendiri.
a. Pemantauan sebaiknya dilakukan setelah 1 bulan pengobatan dimulai dan selanjutnya
setiap 3 bulan sekali.
b. Pemantauan keberhasilan dan toksisitas ART:
1. Secara klinis
a. Berat badan meningkat
b. Tidak kena infeksi opportunistik, atau kalau pun terkena, infeksi tidak berat
c. Anamnesis gejala yang berhubungan dengan HIV seperti batuk lebih dari 2 minggu,
demam, diare, dll disertai pemeriksaan fisik.
2. Pemeriksaan laboratorium
Tes darah rutin termasuk tes darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin, gula darah,
kolesterol dan trigliserid dibutuhkan untuk memantau efek samping obat dan perjalanan
penyakit. Jenis tes yang dibutuhkan bergantung pada regimen obat yang digunakan. Tes
jumlah CD4 setiap 6 bulan sekali diperlukan untuk menentukan kapan profilaksis dapat
dihentikan. Bila tes ini belum dapat dilakukan maka dapat dipakai hitung limfosit total.
2.5.3 Indikasi untuk Mengganti Regimen atau Berhenti ART
Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan degan mengganti satu atau lebih
obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan toksisitas.
19
Mengganti terapi akibat kegagalan, untuk hal ini terdapat kriteria khusus untuk penggantian terapi
menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing-masing obat dalam kombinasi diganti
dengan yang baru) atau penghentian terapi penggantian atau penghentian dilakukan apabila :
1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi misalnya monoterapi
atau terapi dengan 2 nukleosida Nucleosida reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi terdeteksi
kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi.
3. Jumlah CD4 terus-menerus menurun setelah dites 2 kali dengan interval beberapa minggu
4. Infeksi opportunistik dengan immune reconstitution syndrome/sindrom pemulihan kembali
kekebalan.
2.5.4 Asuhan Gizi
Asuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu yang terinfeksi HIV.
Mereka akan mengalami gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan dan hal ini berkaitan
dengan kurang gizi. Penyebabnya multifaktorial antara lain karena anoreksia, gangguan penyerapan
sari makanan pada saluran cerna, hilangnya cairan tubuh akibat diare dan muntah, dan gangguan
metabolisme. Jika seseorang dengan HIV mempuyai status gizi yang baik maka daya tahan tubuh
akan lebih baik sehingga menghambat memasuki tahap AIDS.
Asuhan gizi dan terapi gizi bagi ODHA sangat penting bagi mereka yang mengkonsumsi
ARV. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi opoortunistik
dan juga sebaliknya, sehingga mmerlukan pengaturan diet seperti obat ARV dimakan ketika saat
lambung kosong.
Prinsip gizi medis pada ODHA ialah tinggi kalori tinggi protein (TKTP) diberikan secara
oral, juga kaya vitamin meneral dan cukup air. Berdasarkan beberapa penelitian, pemberian stimulan
nafsu makan, seperti megestrol acetate dan human recombinant growth hormone dapat memberikan
kenaikan berat badan dan pertumbuhan.
Seiring dengan berkembangnya penyakit, akan terjadi penurunan berat badan yang sangat
drastis (drastic wasting) dan terhambatnya pertumbuhan anak. Berkurangnya cadangan protein dapat
diatasi dengan meningkatkan intake asam amino, terutama threonine dan methionine.
Bayi yang lahir dari ibu HIV tidak boleh diberi ASI ibunya, sehingga bayi diberikan
pengganti air susu ibu (PASI). Namun dalam keadaan tertentu dimana pemberian PASI tidak
memungkinkan dan bayi akan jatuh ke dalam kurang gizi, ASI masih dapat diberikan dengan cara
diperas dan dihangatkan terlebih dahulu pada suhu di atas 66OC untuk membunuh virus HIV.
Rekomendasi terkait menyusui untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut :
1. Menyusui bayinya secara eksklusif selama 4-6 bulan untuk ibu yang tidak terinfeksi atau ibu
yang tidak diketahui status HIV-nya.
2. Ibu dengan HIV positif dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan sebaliknya memberikan
susu formula (PASI) atau susu sapi atau kambing yag diencerkan.
20
3. Bila PASI tidak memungkinkan disarankan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan
kemudian segera dihentikan untuk diganti dengan PASI.
2.6 PROGNOSIS
Viremia plasma dan hitung limfosit CD4 sesuai usia dapat menentukan resiko perjalanan
penyakit dan komplikasi HIV. Prognosis yang buruk pada infeksi perinatal berhubungan dengan
terjadinya encephalofati, infeksi, perkembangan menjadi AIDS lebih awal, dan berkurangnya jumlah
limfosit CD4 yang cepat. Tanpa terapi, kurang lebih 30% bayi yang terinfeksi berkembang menjadi
gejala klinis berat kategori C atau kematian dalam 1 tahun kehidupan. Dengan terapi yang optimal
angka mortalitas dan morbiditas menjadi rendah.
2.7 PENCEGAHAN
Edukasi dan konseling pasien yang terdeteksi terinfeksi HIV. Infeksi HIV yang muncul pada
wanita biasanya karena pengguna obat-obatan dan pasangan seksual laki-laki yang resiko tinggi.
Sehingga dibutuhkan pendidikan seks yang baik dan sehat. Konseling juga jangan hanya membahas
tentang modifikasi stress namun juga memodifikasi perubahan gaya hidup melalui pesan-pesan
budaya dan religi.
Perlu dilakukan uji tapis serologis bagi darah pendonor dan pengawasan serta perlakuan yang
lebih ketat bagi bahan-bahan yang berasal dari darah, terutama yang akan diberikan pada anak yang
perlu mendapat transfusi atau pemberian bahan yang berasal dari darah berulang-ulang atau daerah
dengan prevalensi HIV yang tinggi.
Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja, perlu dipikirkan strategi
penerapannya di sekolah dan akademi dan untuk remaja yang berada di luar sekolah.
Transmisi vertical dapat dicegah dengan memberikan terapi antiretrovirus pada ibu selama kehamilan dan memberikan profilaksis pada bayinya yang baru lahir. Wanita hamil yang terinfeksi HIV sebaiknya diberikan terapi kombinasi 3 (tiga) obat. Terapi kombinasi dapat membuat supresi virus.
KESIMPULAN
Bayi dan balita dapat tertular HIV selama kehamilan, waktu melahirkan dan saat menyusui,
jika ibunya terinfeksi HIV. Jika tertular pada awal kehamilan, kemungkinan anak akan melanjut
21
cepat ke AIDS, dan akan meninggal dalam dua tahun pertama kehidupannya, bila tidak diberi ART.
Namun pada sebagian besar anak dengan HIV, perkembangan penyakit akan lebih pelan, dan ada
harapan mereka dapat tahan hidup tanpa ART selama 8-9 tahun atau lebih.
Pengobatan HIV/AIDS yang ada saat ini dapat dikatakan belum baik, karena hanya bersifat
mensupres virus dan tidak dapat mengeradikasi virus, sehingga petugas kesehatan baiknya lebih
mementingkan upaya pencegahan daripada pengobatan.
Daftar Pustaka
1. Buku kuliah : Ilmu Kesehatan Anak : Jilid 2 : Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2002 : 593-598
22
2. Behrman RE, dkk . Human Immunodefisiensi Virus. Nelson textbook of pediatrics. 17th
edition: WB Saunders Co. 2004: 916-919.
3. Current : Medical Diagnosis & Treatment. Forty-third edition. McGraw-Hill . 2004 : 1362-
1363
4. Human Immunodefisiensi Virus,vPanduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan
Anak. RSUP Cipto Mangunkusumo. 2007 : 173 -176.
23
Recommended