7/30/2019 Graves s Disease
1/24
MAKALAH FARMAKOTERAPI I
AUTOIMUN 1
GRAVESS DISEASE
Disusun oleh :
Angelia Rosari (108114115)
Yudhytha Anggarhani Q. (108114116)
Evan Gunawan (108114117)
Stefanus Indra G. (108114118)
Sherly Damima (108114119)
Desi Irwanta Kate (108114124)
FKK-B 2010
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
7/30/2019 Graves s Disease
2/24
2
7/30/2019 Graves s Disease
3/24
A. EPIDEMIOLOGI
Penyakit Graves merupakan salah satu penyebab hipertiroid dengan prevelansi
sebesar 50 -80% dari kasus hipertiroid. Gravess disease dialami kurang lebih 0,5% dari
populasi penduduk dunia, sedangkan di Indonesia belum diketahui secara pasti. Berdasarkan
jenis kelamin penderitanya jenis kelamin wanita lebih mudah mengalami Gravess disease
dibandingkan dengan pria, dengan rasio wanita : pria yaitu diantara 5 : 1 sampai 10 : 1.
Meskipun semua umur dapat mengalami Gravess disease, tetapi usia puncak penderita
penyakit ini berumur antara 40 60 tahun untuk semua jenis kelamin. Sedangkan untuk ras
Gravess disease dapat diaktakan dialami oleh seluruh ras yang ada di populasi dunia, karena
Gravess disease merupakan penyakit yang terpaut gen (Brent, 2008).
B. DEFINISI
Penyakit Graves adalah penyakit autotoimun dimana tiroid terlalu aktif, menghasilkan
hormon tiroid secara berlebihan, yang disebabkan karena TSAb yang berikatan dengan
TSHR pada sel tiroid yang menginduksi sintesis dan pelepasan hormon tiroid. Adanya
jumlah berlebih dari tiroid ini menyebabkan ketidakseimbangan metabolisme serius yang
dikenal sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis, dan kelainannya yang dapat mengenai
mata dan kulit. Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksikosis yang tersering dijumpai
dan dapat terjadi pada segala usia, lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Penyakit
ini ditandai dengan perbesaran ukuran kelenjar tiroid (Paunkovic, 2007).
C. PATOFISIOLOGI
1. Autoimunitas
Autoimunitas merupakan respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan Self-
Tolerance sel B, sel T atau keduanya. Sedangkan penyakit autoimun merupakan suatu
bentuk kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respons
autoimun. Penyakit-penyakit yang tergolong dalam penyakit autoimun seperti Graves
3
7/30/2019 Graves s Disease
4/24
disease, diabetes melitus tipe I, anemia pernisiosa, reumatoid artritis, tiroiditis, vitiligo,
serta multipel sklerosis (Baratawidjaja, 2010).
2. Kelenjar tiroid
Kelenjar tiroid normal merupakan suatu kelenjar padat, cokelat kemerahan, licin,
dan terdiri atas dua lobus lateral serta terdapat jaringan penghubung di bagian tengah
(isthimus) (Mcphee, 2007). Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus lateral besar, terletak di
bawah dan anterior dari laring (Kumar, 2005). Kelenjar tiroid akan membentuk hormon
tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3), yaitu asam amino yang mengandung iodium dan
berfungsi untuk mengatur laju metabolik tubuh seperti peningkatan katabolisme
karbohidrat dan lemak serta stimulasi sintesis protein di berbagai jenis sel (Mcphee,
2007).
3. Regulasi Sekresi Tiroid
Terdapat berbagai macam faktor-faktor tropik yang ada di hipotalamus, di
antaranya seperti Thyroid Stimulating Hormone (TSH), Adrenocorticotropic Hormone
(ACTH),Follicle Stimulating Hormone (FSH), serta Lutenizing Hormone (LH). Dengan
adanya respons terhadap faktor-faktor tropik tersebut (dalam hal ini faktor tropik tersebut
yaitu TSH), maka tirotrof yang merupakan bagian dari kelenjar hipofisis pada bagian
lobus anterior yang bertugas untuk memproduksi TSH akan melepaskan TSH ( Thyroid
Stimulating Hormone) tersebut. TSH yang berikatan dengan reseptornya di epitel folikel
tiroid menyebabkan pengaktifan dan perubahan konfirmasi dari reseptor sehingga
reseptor berikatan dengan protein G stimulatorik (Kumar, 2005).
Protein G yang teraktivasi menyebabkan terjadinya peningkatan kadar cAMP
intrasel dan merangsang pelepasan hormon tiroid yaitu hormon tiroksin (T4) dan
triiodotironin (T3). Hormon T4 dan T3 kemudian dibebaskan ke sirkulasi sistemik,
sebagian besar akan terikat secara reversibel ke protein plasma thyroxine-binding
globulin (TBG) untuk kemudian diangkut ke jaringan perifer. Di jaringan perifer
sebagian besar T4bebas mengalami deiodinasi menjadi T3 sehingga aktivitasnya menjadi
meningkat karena T3 lebih aktif dibandingkan dengan T4.Interaksi antara hormon tiroid
ini dengan reseptor hormon tiroid di nukleus menyebabkan terbentuknya kompleks
4
7/30/2019 Graves s Disease
5/24
antara reseptor-hormon multiprotein yang berikatan dengan thyroid hormone response
elemen di gen-gen sasaran yang mengatur transkripsi gen-gen sasaran tersebut (Kumar,
2005).
Gambar 1. Mekanisme regulasi sekresi hormon Tiroid
(Kumar, 2005).
4. Penyakit Graves
Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan pembesaran
kelenjar tiroid dari ukuran normal. Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar
tiroid membesar dua sampai tiga kali dari ukuran normalnya (Mcphee, 2007). Penyakitini disebabkan oleh adanya sejumlah antibodi di dalam serum, termasuk antibodi yang
berikatan dengan reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone), antibodi ini mirip
dengan TSH. Antibodi yang dihasilkan oleh tubuh ini nantinya akan berikatan dengan
reseptor hormon TSH secara berkelanjutan, sehingga produksi dari T3 serta T4 menjadi
meningkat dan terjadilah kelebihan produksi tiroid (Kumar, 2005).
5
7/30/2019 Graves s Disease
6/24
Berikut merupakan beberapa autoantibodi yang dihasilkan oleh tubuh yang
berikatan dengan reseptor TSH :
a. Pada serum pasien yang mengalami penyakit Graves terdapat TSH-R [stimulation]
Ab, yang merupakan suatu antibodi terhadap reseptor TSH di membran epitel folikel
tiroid atau biasa disebut sebagai long-acting thyroid stimulator(LATS) atau thyroid-
stimulating immunoglobulin (TSI). Adanya thyroid-stimulating antibodies (TSAb)
akan berikatan dan mengaktifkan thyrotropin receptor(TSHR) pada sel tiroid yang
selanjutnya akan mensintesis dan melepaskan hormon tiroid. Terbentuknya TSAb
dapat disebabkan oleh:
i. Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi yang dapat
bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan yang banyak diteliti
adalah organisme Yersinia enterocolica. Beberapa subtipe organisme ini
mempunyai binding sites untuk TSH, dan beberapa pasien dengan penyakit
Graves juga menunjukkan antibodi terhadap anti-Yersinia.
ii. Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal komponen
tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi antigenik, sehingga
bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan TSAb.
iii. Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama dirahim
tidakdeleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb harus dirangsang dan
mengalami diferensiasi menjadi antibody-secreting cells yang secara terus-
menerus distimulasi. Aktivasi, pengembangan dan kelanjutannya mungkin terjadi
karena rangsangan interleukin atau sitokin lain yang diproduksi oleh sel T helper
inducer.
(Kumar, 2005).
6
7/30/2019 Graves s Disease
7/24
Gambar 2. Skema pathomekanisme Graves disease
(Karasek dan Lewinski, 2003).
b. Selain itu terdapat pula Thyroid growth-stimulating immunoglobulin (TGI), TGI ini
ditujukan kepada reseptor TSH yang diperkirakan berperan dalam proses proliferasi
epitel folikel tiroid (Kumar, 2005).
c. TSH binding inhibitor immunoglobulin (TBII): Merupakan antibodi reseptor anti
TSH, TBII ini mencegah TSH untuk berikatan secara normal dengan reseptornya di
sel epiteltiroid. TBII ini kemudian meniru kerja dari TSH sehingga terjadi stimulasi
aktivitas sel epitel tiroid (Kumar, 2005).
7
7/30/2019 Graves s Disease
8/24
Gambar 3. Patogenesis Graves Disease
(Kumar, 2005).
5. Faktor Resiko Terjadinya Penyakit Graves
Berikut merupakan beberapa faktor resiko terjadinya penyakit Graves antara lain
berupa:
a. Faktor genetik
Faktor genetik dapat pula menjadi faktor resiko terjadinya Penyakit Graves ini
yaitu keberadaan dari haplotip histokompabilitas mayor tertentu seperti HLA-B8
dan HLADR3. Penyebab lainnya yaitu terjadinya Polimorfisme pada gen
citotoxic T-lumphocyte-associated-4 (CTLA-4) yang juga berperan menyebabkan
terjadinya Gravess disease. Protein HLA sangat penting untuk memaparkan
antigen ke sel T yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis
TSHRAb yang akan bereaksi dengan reseptor TSH di dalam membran sel tiroid
sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid. Sedangkan CTLA-
4 merupakan reseptor inhibitorik yang mencegah respons sel T terhadap antigen-
antigen dari tubuh sendiri (Kumar, 2005).
8
7/30/2019 Graves s Disease
9/24
b. Infeksi
Terjadinya infeksi dapat berperan dalam pengembangan terjadinya
autoimunitas. Agen infeksi tertentu memiliki. Infeksi ini dapat terjadi pada
kelenjar tiroid. Namun peran dari agen infeksi dalam penyakit ini belum banyak
dijelaskan, Bakteri Yersinia enterocolitica memiliki protein antigen pada
membran selnya yang sama dengan TSHR (Thyroid Stimulating Hormone
Receptor) pada sel folikuler kelenjar tiroid yang diduga dapat mempromosi
terjadinya penyakit Graves (Kronemberg et al., 2008).
c. Stres
Stres dapat pula memicu terjadinya Gravess disease, seperti stres dalam
bentuk emosional yang berat, setelah terjadi demam yang lama ataupun stres
akibat suatu kecelakaan. Dengan mekanisme yang nonspesifik, stres dapat
menginduksi sistem kekebalan tubuh , memberikan efek pada pelepasan hormon
corticotropin dan cortisol. Pada stres yang akut, terjadi kelebiahan kompensasi
kekebalan tubuh yang akhirnya dapat memicu terjadinya autoimun tiroid. Hal
seperti ini dapat terjadi pada masa kehamilan dan pada individu yang
mempunyai kerentanan genetik (Kronemberg et al., 2008).
d. Gender
Gravess disease lebih banyak terjadi pada wanita (setelah pubertas)
dibandingkan pada pria. Gravess disease terkait dengan kromosom X yang
dimiliki oleh wanita. Adanya fenomena penonaktifan kromosom X (XCI)
menyebabkan terjadinya autoimun sehingga mengakibatkan kekacauan pada
respon imun dalam tubuh wanita. Sedangkan pada pria, penyakit Gravess
disease ini dapat terjadi pada usia yang lanjut (Kronemberg et al., 2008).
e. Kehamilan
Kelenjar thyroid merupakan hal yang normal pada saat kehamilan meskipun
kehamilan wanita normal sering meningkatkan gejalasuggesting hyperthyroidism,
seperti detak jantung yang cepat, berkeringat dan tidak dapat mentoleransi
terhadap panas. Jumlah kadar thyroxine (T4) dan tiiodothyronine (T3) dalam
serum meningkat pada saat kehamilan. Saat jumlah estrogen tinggi maka akan
meningkatkan hormon thyroid(Kronemberg et al., 2008).
9
7/30/2019 Graves s Disease
10/24
f. Iodin dan obat
Yodium dan obat-obatan yang mengandung yodium seperti amioarone dapat
memicu terjadinya Gravess disease. Yodium bekerja dengan cara merusak sel-sel
tiroid dan mengakibatkan adanya pelepasan antigen tiroid seingga terjadi
penurunan sistem kekebalan tubuh. TSHRAb akan memicu pembentukan hormon
tiroid yang banyak, sehingga tirotoksikosis menjadi berkurang dan terjadilah
gangguan dalam sistem kekebalan tubuh (Kronemberg et al., 2008).
g. Irradiation
Irradiation tidak termasuk dalam faktor resiko yang tinggi dalam
menyebabkan terjadinya Gravess disease. Namun, pada populasi yang sering
terkena paparan radiasi, resiko Gravess disease meningkat. (Kronemberg et al.,
2008).
6. ManifestasiGravess Disease
a. Oftalmopati
Penyakit Graves juga dapat mempengaruhi mata, yang disebut juga
sebagai oftalmopati infiltratif. Oftalmopati ini terjadi karena volume jaringan
ikat retro-orbita serta otot ekstraokular meningkat. Peningkatan ini dapat terjadi
akibat beberapa hal di bawah ini yang antara lain seperti :
- Infiltrasi ruang retro-orbita oleh sel mononukleus terutama sel T yang
berlebihan,
- Terjadi edema dan pembengkakan inflamatorik dari otot ekstraokular,
- Akumulasi komponen matriks ekstraseluler, khususnya glikosaminoglikan
(GAGs) hidrofilik (misal: asam hialuronat,kondroitin sulfat),
- Peningkatan jumlah infiltrasi lemak (adiposit)
(Kumar, 2007).
Perubahan-perubahan ini yang kemudian akan mendorong bola mata ke
depan serta dapat mengganggu fungsi otot-otot dari ekstra okular. Salah satu
mekanisme oftalmopati akibat infiltrasi ruang retro-orbita oleh sel mononukleus
yang berlebih yaitu sebagai berikut: fibroblas pra-adiposit mengekspresikan
reseptor TSH sehingga menjadi sasaran serangan oleh autoimun. Sel T yang
10
7/30/2019 Graves s Disease
11/24
aktif terhadap fibroblas ini akan mengeluarkan sitokin, yang kemudian akan
merangsang proliferasi fibroblas dan sintesis protein matriks ekstrasel
(glikosaminoglikan) dan meningkatkan ekspresi reseptor TSH permukaan
sehingga respons autoimun terus berkembang dan hasilnya berupa infiltrasi
progresif dari ruang retro-orbita serta oftalmopati (Kumar, 2007).
Gambar 4. Imunopatologis Oftalmopati Garves
(Ginsberg, 2003).
b. DermopathyManifestasi ini jarang terjadi, hanya terjadi pada 1-2% penderita Graves
disease. Karakteristik dermopathy adalah adanya infiltrasi limfotik pada kulit,
akumulasi GAGs, dan edema. Produksi berlebih GAGs terutama asam hialuronat
karena adanya stimulasi dari fibroblast menjadi penyebab utama dermopathy.
Namun, penyebab meningkatnya stimulasi fibroblas sendiri sampai sekarang belum
11
7/30/2019 Graves s Disease
12/24
jelas (Karasek dan Lewinski, 2003). Produksi asam hialuronat berlebih akan
menyebabkan akumulasi cairan pada jaringan kulit, dan menyebabkan edema.
Tetapi beberapa teori menyatakan adanya edema akan menyebabkan penurunan
kembalinya lymph dari kaki bagian bawah dan meningkatkan waktu paruh stimulasi
fibroblas pada sitokin secara lokal. Penelitian lain menunjukkan fibroblas pada
bagian tubuh lain mempunyai regulasi dan mekanisme yang berbeda(Schwartz,
2002).
D. GEJALA DAN TANDA
Hipertiroid yang disebabkan oleh Gravess disease memiliki gejala dan tanda yang
bervariasi. Gejala pada Gravess disease meliputi :
1. Penurunan berat badan
2. Tidak tahan atau intoleran terhadap adanya panas
3. Insomnia atau kesulitan tidur
4. Tremor
5. Peningkatan frekuensi dari buang air besar
6. Otot proksimal yang menjadi lemah
7. Mudah marah atau emosi yang sulit untuk diatur
8. Menstruasi yang tidak teratur
9. Terjadi iritasi pada mata
10. Pandangan yang menjadi kabur
11. Mudah lelah
(De Groot, 2012).
Sedangkan tanda dari Gravess disease meliputi:
1. Takikardia
2. Kulit yang hangat, lembab dan halus
3. Reflex yang berlebihan
4. Mata yang menonjol keluar dar orbitnya dan kelopak mata
5. Jantung yang berdebar
(De Groot, 2012).
12
7/30/2019 Graves s Disease
13/24
E. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DiagnosisGravess disease berdasarkan pada tanda dan gejala yang muncul pada
pasien dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium, tes fungsional
seperti radionuclide uptake, adanya ophtalmopathy, adanya antibodi spesifik (TSAb), dan
ultrasonografi (Paunkovic, 2007).
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi :
Gambar 5. Skema diagnosis Gravess disease
(Ginsberg, 2003).
Test laboratorium Fungsi Keterangan Nilai normal
13
7/30/2019 Graves s Disease
14/24
TSH Pemeriksaan untuk mengukur
hormon TSH dalam darah dan
mengetahui gangguan berasal
dari kelenjar tiroid atau
hipofiisis anterior
Jika T4 menurun dan
TSH meningkat atau
normal, maka gangguan
dari keelnjar tiroid. Jika
TSH turun maka dari
hipofisis anterior.
Dewasa : 2-5,4
U/ml
Bayi baru lahir :
7/30/2019 Graves s Disease
15/24
thirotropin
reseptor
selama kehamilan
TSI Bioassay mengukur produksi
AMP siklik
setelah serum pasien
diterapkan untuk tiroid
sel folikel atau thirotropin
reseptor
Spesifik terhadap
aktivitas reseptor
stimulasi tirotropin ;
lebih mahal dan lebih
lama dibandingkan
dengan antibodi reseptor
immunoglobulin
Antibodi TPO Pengukuran antibodi pada
enzim tiroid peroksidase
Antibodi TPO
meningkat pada
kebanyakan pasien
dengan penyakit
Hashimoto, tetapi juga
sering
meningkat pada
penyakit Grave; elevasi
tidak
spesifik untuk diagnosis
penyakit GraveUltrasonografi
tiroid
Berguna untuk mendeteksi
nodul
Jika sebuah penelitian
uptake radioiodine
tidak dapat dilakukan
CT scan atau MRI
pada bagian leher
Penggambaran tiroid dalam
konteks trakea,
esofagus, dan dada
Digunakan hanya jika
ada gejala atau tanda-
tanda pada saluran
napas
Gambaran orbital Berguna dalam kasusproptosis unilateral, yang
ditandai asimetri
ophthalmopathy, atau
hilangnya penglihatan dan
dalam beberapa kasus
Teknik meliputi CT,MRI, dan ultrasonografi
15
7/30/2019 Graves s Disease
16/24
kerusakan
gerakan otot ekstraokuler
(Brent, 2008) dan (Sutedjo, 2008).
F. PENATALAKSANAAN
Penanganan yang sering dilakukan pada penderita hipertiroid adalah dengan
terapi pengobatan antitiroid, melakukan operasi, dan dengan RAI. Seluruh penanganan
ini dilakukan untuk meminimalkan kelebihan hormon tiroid yang diproduksi dan
mengurangi gejala dan efek jangka panjang dari hipertiroid. Terapi yang diberikan harus
diberikan secara individual tergantung umur, jenis kelamin, jenis dan tingkat keparahan
hipertiroid, adanya kondisi non-tiroid, dan respon terhadap terapi yang diberikan.
1. Obat AntitiroidObat antitiroid, khususnya Thionamida (propiltiourasil dan metimazol),
merupakan terapi lini pertama yang biasa digunakan pada penderita Graves Disease.
Kedua obat ini bekerja dengan menghambat pengikatan iodida yang dapat digunakan
untuk menghasilkan hormon tiroid. Selain itu, Propiltiourasil juga menghambat
perubahan T4 menjadi T3. Propiltiourasil (PTU) memiliki waktu paruh 1,5 jam dan
methimazole memiliki waktu paruh 6 jam. Karena methimazole memiliki waktu
paruh yang lebih lama dibanding PTU, beberapa studi menyatakan bahwa
metimazhole lebih efektif dibandingkan PTU dengan sedikitnya efek samping yang
ditimbulkan. Efek samping yang mungkin timbul, yaitu ruam, nyeri sendi, radang
hati, dan agranulocytosis. Agranulositosis terjadi pada sekitar 0,1 hingga 0,3% dari
pasien yang diobati dengan salah satu dari obat ini. Pasien harus dianjurkan untuk
menghentikan obat antitiroid jika ada tanda-tanda potensi agranulositosis, seperti
demam, sakit tenggorokan, atau sariawan. Kadar aminotransferase dan berat badan
juga dapat meningkat (Dipiro et al., 2008).
Dosis awal propylthiouracil adalah 200 hingga 300 mg sampai 1200 mg per
hari setiap 8 sampai 12 jam atau 4 sampai 6 jam ketika digunakan dalam dosis besar.
Sedangkan methimazole adalah 20 sampai 40 mg sehari dalam 1-3 dosis terbagi. Pada
awal pengobatan, dokter biasanya memberikan dosis besar yang akan dikontrol efek
terapinya terhadap level hormon tiroid 4 sampai 6 minggu setelah pengobatan awal.
16
7/30/2019 Graves s Disease
17/24
Dan selanjutnya pasien akan menjalani pengobatan dengan obat antitiroid ini selama
18 sampai 24 bulan (Center of Diabetes and Endocrinology, 2013).
2. Iodida
Mekanisme kerja iodida adalah memblokir pelepasan hormon tiroid,
menghambat biosintesis hormon tiroid, dan mengurangi ukuran serta vaskularisasi
kelenjar. Terapi tersebut akan memberikan perbaikan gejala dalam waktu 2 sampai 7
hari terapi, dan konsentrasi T4 dan T3 serum dapat dikurangi selama beberapa
minggu. Meskipun mengurangi pelepasan T4 dan T3, sintesis hormon tiroid tetap saja
meningkat, sehingga kelenjar banyak menyimpan hormon. Hal ini merupakan alasan
mengapa iodine tidak digunakan dalam terapi tunggal (Dipiro et al., 2008). Di
samping itu, terapi ini memberikan respon terapi yang hampir tidak terlihat hasilnya
karena berkurangnya efek berlangsung dengan sangat cepat. Tetapi terapi dengan
menggunakan iodin lebih efektif dalam menghambat sintesis hormon tiroid pada
kondisi tirotoksikosis dibandingkan dengan thionamide. Iodine juga akan berguna
dalam terapi pada penderita thyrotoxic crisis, thyrocardiac disease, dan untuk operasi
(Kronemberg et al., 2008).
Jika iodin akan digunakan, maka penggunaannya harus bersamaan dengan
thionamide dengan dosis yang besar untuk efektivitas terapinya. Dosis iodin yang
digunakan untuk mengontrol tirotoksikosis adalah 6 mg per hari, jumlah yang lebih
sedikit dibandingkan dengan dosis yang biasa diberikan. 6 mg setara dengan 1/8 tetes
SSKI atau 1 tetes Lugols solution. Banyak dokter yang meresepkan 5 hingga 10 tetes
dalam sehari. Dosis tersebut sangat besar dibanding dengan dosis efektif minimalnya.
Terkait dengan keefektifan dan keamanan terapi, regimen dosis yang
direkomendasikan adalah 2 hingga 3 tetes SSKI diberikan dua kali dalam sehari
(Kronemberg et al., 2008). Terapi tersebut diberikan melalui mulut, atau melalui
injeksi pada perut. Pemberian melalui mulut akan menyebabkan larutan diserap oleh
mukosa mulut (Kronemberg et al., 2008), dan diberikan melalui air atau jus (Dipiro et
al., 2008). Pemberian melalui perut akan menimbulkan kontraindikasi karena sediaan
thionamide tidak ada yang tersedia dalam bentuk parenteral. Penggunaannya untuk
pasien yang akan menjalani operasi diberikan selama 7 14 hari sebelum operasi
dijalankan. Sebagai adjunct RAI, SSKI seharusnya tidak digunakan sebelumnya,
17
7/30/2019 Graves s Disease
18/24
tetapi setelah 3 sampai 7 hari terapi RAI, sehingga RAI bisa terkonsentrasi di dalam
tiroid. Efek toksik yang paling umum terjadi dalam terapi ini adanya reaksi
hipersensitivitas, pembengkakan kelenjar ludah, iodism, dangynecomastia (Dipiro et
al., 2008).
3. Radioiodine Theraphy
Merupakan secondline therapy pada penderita Gravess disease. Pada terapi
ini, pasien diberikan radioaktif iodin131 (RAI) secara per oral (p.o), yang berupa cairan
tak berwarna dan tak berasa yang terserap dengan baik di tiroid dan terkonsentrasi di
thyroid. Iodin131 mempunyai waktu paruh 8 hari (Dipiro et al., 2008).
Terapi dengan RAI diberikan berdasarkan pertimbangan ukuran perbesaran
kelenjar, reuptake iodin131, dan laju pelepasannya. Namun dosis juga bergantung pada
variasi sensitivitas individu dalam merangsang TSHR (Kronemberg et al, 2008).
Terapi biasa diberikan dalam single dose 5 15 mCi (80 200 microCi/g per
jaringan) (Dipiro et al., 2008). Sedangkan pasien yang mengalami kerusakan tirod
dengan nilai reuptake iodin131 antara 75% - 90% diberikan dosis 20 mCi (Kronemberg
et al, 2008).
Mekanisme kerja RAI dengan mengganggu sintesis hormon dengan cara
menggabungkan hormone thyroiddan thyroglobulin. Setelah seminggu, folikel yang
mengabsorbsi RAI dan folikel disekitarnya akan mengalami nekrosis sel (kerusakan
sel), kerusakan folikel, pembentukan sel yang aneh/tak biasa, nuclear pynosis dan
perusakan saluran yang ada dalam kelenjar (Dipiro et al., 2008).
Sebelum diterapi dengan menggunakan RAI, pasien umumnya diberikan obat
antitiroid untuk mencegah kenaikan hormon tiroid setelah diterapi dengan RAI, sebab
peningkatan hormon tiroid berbahaya bagi pasien berusia lanjut dengan faktor resiko
ischemic heart disease yang dapat menyebabkan kematian; di samping itu obat
antitiroid juga mencegah peningkatan RAI setelah pemberian tiroid yang memiliki
efek optalmopati (Kronemberg et al, 2008).
Efek samping terapi dengan radiaktif iodin131pada 1% pasienadalah radiation
thyroioditis, yaitu suatu keadaan terjadinya thyroxicosis yang disebabkan adanya
pelepasan T3 dan T4 karena ada perusakan hormon thyroid. Untuk mengatasai efek
18
7/30/2019 Graves s Disease
19/24
samping ini biasanya pasien diterapi dengan NSAIDs dan beta-adrenergic blockers
(Ross, 2011). Selain itu penggunan RAI dapat menyebabkan hypothyroidsm yang
dapat diatasi dengan penggunaan kembali obat antitiroid 3-7 hari setelah terapi
dengan RAI. Pada 10% pasien dengan manifestasi ophtalmopathy, terapi dengan RAI
dapat memperburuk gejala. Namun, dapat diatasi dengan terapi dengan
glukokortikoid, misalnya prednison 0,4-0,5 mg/kgBB, satu bulan sebelum terapi
dengan RAI dan setelah terapi dengan RAI. Meskipun begitu, selama tetapi RAI
dipergunakan sejauh ini, tidak ada peningkatan prevalensi leukemia dan frekuensi
kerusakan genetik pada pasien dan keturunan pasien yang dulunya menerima terapi
RAI (Kronemberg et al, 2008).
RAI tidak diberikan pada wanita hamil dan menyusui karena radioaktif
tersebut dapat membahayakan tiroid fetus dan dapat diekskresikan melalui air susu
(U.S. Deparment of Health and Human Services, 2008).
Pasien yang diterapi dengan RAI harus diisolasi selama kurang lebih 8 hari
untuk mencegah efek radiasi ke orang lain. 4 minggu setelah pemberian RAI akan
dilakukan monitoring kondisi pasien termasuk cek serum t4 dan kadar TSH. Jika
terapi pertama dengan RAI gagal maka jangka waktu minimal pasien boleh diterapi
kembali dengan RAI adalah 3 bulan berikutnya. Bagi pasien wanita yang
merencanakan hamil, maka harus adsa jeda waktu antara 4-6 bulan setelah terapi
dengan RAI (Ross, 2011).
19
7/30/2019 Graves s Disease
20/24
Gambar 6. Mekanisme kerja RAI
(Ross, 2011)
4. Thyroidectomy
Seperti RAI, thyroidectomy merupakan salah satu opsi secondline therapy pada
penderita Gravess disease. Thyroidectomy merupakan operasi untuk mengambil
kelenjar tiroid, baik pengambilan secara total maupun partial (sebagian). Operasi ini
disarankan bagi penderita Gravess disease terutama dengan manifestasi ophtalmopathy
(Bhimji, 2011).
Kontraindikasi terapi ini ditujukkan pada pasien dengan kondisi hamil, karena
anestesi yang digunakan dapat membahayakan fetus (Goyal, 2012).Efrek samping terapi ini antara lain :
a. Hypoparatiroidsm
2% pasien yang melakukan thyroidectomy mengalami hipoparatiroid berulang
dan 0,6% lainnya mengalami hipoparatiroid permanen. Hipoparatiroid berulang
20
7/30/2019 Graves s Disease
21/24
disebabkan adanya penghilangan paratiroid secara tidak sengaja dan adanya
gangguan suplai darah ke sisa paratiroid yang ada, sehingga menimbulkan
hipokalemia yang biasanya muncul 1-7 hari setelah operasi (Kronemberg et al, 2008).
Patofisiologi dari hipokalemia ini belum diketahui secara pasti. Tetapi, diperkirakan
karena iskemia pada kelenjar paratiroid atau peningkatan pelepasan endhotelin 1 pada
reaktan fase akut (Goyal, 2012). Hipoparatiroid ini ditandai dengan naiknya level
fosfat dan menurunnya kadar kalium dalam darah. Untuk hipoparatiroid yang ringan
dapat diterapi dengan menggunakan kalsium glukonat secara intravena. Sedangkan
untuk hipoparatiroid yang lebih berat dapat diterapi dengan kalium karbonat p.o 1g
tiga kali sehari (Kronemberg et al, 2008).
b. Luka pada saraflaryngealyang menyebabkan kesulitan untuk berbicara dengan nada
yang tinggi , serak, batu, bermasalah pada saat menelan, atau gangguan pada saat
berbicara (Bhimji, 2011). Kondisi ini dapat diterapi dengan laryngoscopy atau
videostroboscopy untuk membetulkan posisi dan pergerakan dari pita suara (Goyal,
2012).
c. Infeksi
1-2% pasien dengan thyroidectomy mengalami infeksi. Namun, dengan
majunya teknologi yang digunakan jumlahnya semakin berkurang. Manifestasi klinis
yang tampak seperti eritema, cellulitis, dan abses. Terapi yang dapat dilakukan untuk
abses berupa pemberian antibiotik spektrum luas. Sedangkan untuk cellulitis dapat
diberikan antibiotik untuk bakteri gram positif (Goyal, 2012).
d. Thyrotoxic storm
Thyrotoxic storm merupakan gejala dan tanda terjadinya thyrotoksis yang
parah. Hal ini sangat jarang terjadi, dan biasanya merupakan komplikasi serius terkait
dengan toxic multinodular goiter atau terjadi sebagai akibat dari pengobatan
thyrotoxicosis yang belum selesai atau belum diobati sama sekali (Kronemberg et al.,
2008).
Pasien dengan thyrotoxic storm harus dipantau secara intensif pada awal
pengobatan. Terapi bertujuan untuk menghambat sintesis hormon tiroid dan
21
7/30/2019 Graves s Disease
22/24
pelepasannya, serta memerantarai antagonis adrenergik aksi hormon tiroid perifer dan
mencegah hyperpyrexia (Kronemberg et al., 2008).
Terapi yang biasa digunakan adalah obat antitiroid yang digunakan dalam dosis
besar (propylthiouracil 300 sampai 400 mg setiap 4 sampai 6 jam sehari) yang
diberikan melalui mulut, perut, atau rektal. Methimazole lebih sering digunakan
karena memiliki aksi tambahan berupa penghambatan dalam merubah T4 menjadi T3
melalui iodothyronine deiodinase tipe 1 pada jaringan perifer dan kelenjar tiroid itu
sendiri yang berperan dalam menghasilkan hormon tiroid yang diperlukan untuk
membentuk T3. Selanjutnya sebagai obat kedua digunakan SSKI dua kali sehari 3
tetes atau dengan solusi Lugol dua kali sehari sepuluh tetes. SSKI mampu
menghambat pelepasan hormn dari kelenjar tiroid secara akut. PTU harus diberikanlebih dulu sebelum pembe rian iodine untuk menghambat sintesis hormon tiroid dari
iodida (Kronemberg et al., 2008).
Dexamethasone juga harus diberikan dalam dosis besar (8 mg per hari per oral)
untuk mengontrol respon stress yang timbul, menghambat pelepasan hormon tiroid,
dan pengubahan T4 menjadi T3, dan mensinergikan aksi iodida dan PTU. Jadi
penggunaan kombinasi antara PTU, iodida, dan dexamethasone dapat
mengembalikan jumlah T3 pada keadaan normal dalam waktu 24 hingga 48 jam
terapi dan pemulihan akan berlangsung selama satu minggu (Kronemberg et al.,
2008).
e. Neck hematoma
Ekstravasasi / rembesan sel darah pada leher sehingga menyebabkan
coagulopathy yang menyebabkan perdarahan. Pasien dengan kondisi ini diterapi
dengan operasi (Goyal, 2012).
22
7/30/2019 Graves s Disease
23/24
DAFTAR PUSTAKA
Bhimji, Shabir, 2011, Thyroid Gland Removal,
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002933.htm, diakses tanggal 24 April
2013.
Bratawidjaja, K., Rengganis, I., 2010, Imunologi Dasar, Edisi ke-9, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. PP: 313-315.
Brent, G. A., 2008, Graves Disease, The New England Journal of Medicine 358;24.
Center of Diabetes and Endocrinology, 2013, Graves Disease, U.S. Department of Health and
Human Services.
De Groot, L. J., 2012,Diagnosis and Treatment of Graves Disease,Thyroid Disease Manager.
Dipiro et al., 2008, Pharmacotherapy: A Pathophisiology Approach, 7th Edition, McGraw Hill,
USA, PP. 1252, 1253.
Ginsberg, Jody, 2003, Diagnosis and Management of Gravess Disease, Canadian Medical
Assosiation Journals 168 (5).
Goyal, Neerav, 2012, Thyroidectomy, http://emedicine.medscape.com/article/1891109-
overview#a1, diakses tanggal 24 April 2013.
Karasek, M., Lewinski, A., 2003, Etiopathogenesis of Gravess Disease, Neuroendrocinology
Letters Nos. Vol. 24.
Kumar, V., Abbas, A., Fausto, N., 2005, Dasar Patologis Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran,
EGC, Jakarta. PP. 1188-1197.
Kronemberg et al., 2008, Williams Textbook of Endocrinology, Saunder Elsevier, Philadelphia,
pp. 351, 353,354.
McPhee, S., Ganong, W., 2007, Patofisiologi Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran, EGC,
Jakarta, PP. 617-630.
Paunkovic, N., Paunkovic, J., 2007, The Diagnostic Criteria of Graves Disease and Especially
The Thyrotropin Receptor Antibody; Our Own Experience, Hellenic Journal of Nuclear
Medicine.
23
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002933.htmhttp://emedicine.medscape.com/article/1891109-overview#a1http://emedicine.medscape.com/article/1891109-overview#a1http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002933.htmhttp://emedicine.medscape.com/article/1891109-overview#a1http://emedicine.medscape.com/article/1891109-overview#a17/30/2019 Graves s Disease
24/24
Ross, D. S., 2011, Radioiodine Therapy for Hyperthyroidism, The New England Journal of
Medicine 364;6.
Schwartz, K. M., et al, 2002,External Personal Experience : Dermopathy of Gravess Disease,
The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 87(2):438 446.
Sutedjo, A.Y., Buku saku mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan laboratorium, edisi
keempat, PP.63-65.
U.S. Department of Health and Human Services, Graves Disease, http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFMQFjAG&url=http%3A%2F
%2Fwww.endocrine.niddk.nih.gov%2Fpubs%2Fgraves
%2Fgraves.pdf&ei=8lF2UZmyBMyxrAeE1YDICA&usg=AFQjCNE1cYKNHBZxfqsM
8lHTl79SasawUg&bvm=bv.45512109,d.bmk, diakses tanggal 15 April 2013.
Wiersinga, W, 2011,Autoimmunity in Graves Ophthalmopathy: The Result of an Unfortunate
Marriage Between TSH Receptors and IGF-1 Receptors, J Clin Endocrinol Metab, 98:
2388-2394.
24
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFhttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFhttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFhttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CF